Startup Genome: Ekosistem Startup Jakarta Bernilai 1.063 Triliun Rupiah

Ibukota Indonesia, Jakarta, menempati urutan ke-15 dari 100 kota di seluruh dunia dalam daftar “Top 10 Emerging Ecosystems by Ecosystem Value” yang dirilis oleh Startup Genome bertajuk Global Startup Ecosystem Report (GSER) 2023. Nilai ekosistem startup Jakarta diestimasi sebesar $71 miliar (lebih dari Rp1.063 triliun).

Di urutan pertama dan kedua ditempati oleh Nanjing ($127 miliar) dan Detroit ($103 miliar). Lalu, setelah Jakarta secara berderetan ditempati oleh Hong Kong ($54 miliar) dan Kuala Lumpur ($46 miliar).

Bicara peringkat, bila dirunut dari tiga tahun lalu, posisi Jakarta merosot sejak 2022 keluar dari 10 besar. Di 2020, Jakarta masuk urutan kedua, kemudian turun ke urutan ketiga di 2021. Lalu di 2022, merosot ke urutan ke-12, jauh lebih unggul dari Hong Kong (2) dan Guangzhou (6), untuk skala Asia. Adapun pada tahun ini, peringkat Jakarta kembali turun ke peringkat 15.

Walau begitu, dilihat berdasarkan nilai ekosistem startup Jakarta dari tahun ke tahun mencatatkan tren peningkatan. Di 2021 diestimasi bernilai $34 miliar, melonjak hampir dua kali lipat menjadi $62 miliar di tahun berikutnya.

Global Startup Ecosystem Report (GSER) 2023

Ini adalah tahun ketiga Startup Genome merilis daftar ekosistem dari kota-kota sebagai bagian dari laporan GSER, dalam rangka menyoroti area metropolitan yang mendapatkan relevansi dan berdampak pada ekonomi dengan cara yang bermakna.

Dalam laporannya, Startup Genome menjelaskan Emerging Ecosystem Ranking merupakan komunitas startup pada tahap awal pertumbuhan. Metodologi yang digunakan untuk pemeringkatan ini dimaksudkan untuk menampilkan ekosistem yang menunjukkan potensi tinggi untuk menjadi pemain global teratas di tahun-tahun mendatang.

Bobot faktor yang digunakan untuk mengurutkan ekosistem ini sedikit berbeda dari yang digunakan dengan Global Startup Ecosystem Ranking untuk mencerminkan status kemunculannya dan menekankan faktor yang lebih berpengaruh dalam ekosistem yang baru mulai tumbuh. Bobot yang diberikan pun lebih sedikit dengan nilai exit lebih dari $50 juta dan aktivitas startup lebih terfokus pada pendanaan tahap awal.

Dari seluruh kota yang diurutkan, disimpulkan bahwa keseluruhan kota di Top 100 Emerging Ecosystem bernilai lebih dari $1,5 triliun, naik 50% dari 1 Juli 2019–31 Desember 2021 hingga 1 Juli 2020–31 Desember 2022. Kemudian, Eropa adalah wilayah yang paling terwakili di Emerging Ecosystem, terlihat dari kontribusinya dari 37% hingga 41% sejak GSER 2022.

Dijelaskan lebih jauh, pendanaan tahap awal mencakup pendanaan tahap awal dan seri A. Pendanaan tahap awal merupakan indikator penting dari kesuksesan potensial karena sebagian besar startup yang menerima putaran seri A telah menunjukkan potensi mereka dengan menciptakan produk yang layak minimal, dengan menghasilkan pendapatan, atau dengan menunjukkan bahwa mereka hampir meluncurkan produk.

“Oleh karena itu, jumlah dan jumlah putaran tahap awal dalam suatu ekosistem merupakan indikator keberhasilan dan pertumbuhannya,” tulis Startup Genome.

Untuk mendukung temuannya tersebut, laporan ini juga mencantumkan 10 kota dengan ekosistem total pendanaan tahap awal terbesar. Jakarta masuk ke dalam urutan ke-2 dengan nilai $1,52 miliar. Urutan pertama ditempati oleh Guangzhou ($1,56 miliar), setelah Jakarta diisi oleh Hong Kong ($1,45 miliar).

Selain itu, berdasarkan total perusahaan unicorn yang berhasil dicetak dalam satu dekade terakhir, Jakarta mendapat urutan ketiga dengan total tujuh unicorn. Sementara itu, Hong Kong memiliki 11 unicorn dan Guangzhou memiliki 10 unicorn.

Menariknya, dari 19 kota dengan pencetak unicorn terbanyak, lima kota di antaranya: Guangzhou, Chengdu, Nanjing, Wuhan, dan Wuxi, berasal dari Tiongkok. Bila ditotal mencapai 36 unicorn. Lalu disusul India, dengan total 11 unicorn dari kota Pune (7) dan Chennai (4).

Cerita Startup: Nusantics dalam Usaha Memanjukan Penelitian Mikrobioma demi Menopang Struktur Kehidupan

Sharlini Eriza Putri, Vincent Kurniawan, dan Revata Utama adalah tiga anak muda dari berbagai latar belakang yang memiliki rasa ingin tahu sangat besar: Putri merupakan ahli kimia, Kurniawan ahli di bidang teknik industri, dan Utama merupakan lulusan ilmu biomedis dengan pengalaman di bidang teknologi genomik. Ketiganya memiliki kepedulian yang sama: Masalah kesehatan yang disebabkan oleh degradasi lingkungan yang semakin hari semakin parah dan membahayakan masyarakat.

Para sahabat ini ingin mengetahui lebih lanjut tentang alasan di balik masalah tersebut, yang membuat mereka mempelajari dunia mikrobioma, ekosistem mikroorganisme yang kompleks termasuk bakteri, jamur, dan virus yang hidup di dalam dan di dalam setiap makhluk hidup di Bumi, termasuk tubuh manusia. Setiap orang memiliki profil mikrobioma yang unik. Hal ini memainkan peran penting dalam pengembangan sistem kekebalan.

Para ilmuwan percaya bahwa kombinasi mikrobioma yang sehat dari semua elemen di planet ini — lautan, tanah, manusia, hewan, dan tumbuhan — menopang struktur kehidupan. Oleh karena itu, memahami pentingnya keseimbangan mikrobioma dapat mengarah pada cara hidup yang lebih berkelanjutan bagi manusia dan lingkungan. Atas dasar pemikiran tersebut, grup ini mendirikan Nusantics pada tahun 2019, startup teknologi genom pertama dan satu-satunya di Indonesia.

(ki-ka): Vincent Kurniawan sebagai COO, Sharlini Eriza Putri sebagai CEO, dan Revata Utama selaku CTO Nusantics / Nusantics.
(ki-ka): Vincent Kurniawan sebagai COO, Sharlini Eriza Putri sebagai CEO, dan Revata Utama selaku CTO Nusantics / Nusantics.

“Genom adalah ‘cetak biru’ dari organisme. Kita tahu bahwa tubuh manusia terdiri dari sel-sel yang membangun organ dan kemudian sistem organ, yang akhirnya menjadi satu manusia. Yang tidak diketahui banyak orang adalah bahwa 52% tubuh manusia terdiri dari mikrobioma, dan tanpa mikrobioma, kita tidak akan menjadi manusia yang berfungsi sepenuhnya,” kata CTO Nusantics Revata Utama kepada KrASIA.

“Kami menggunakan teknologi genom untuk mempelajari interaksi dan hubungan antara keanekaragaman mikrobioma dan manusia.”

Startup ini pertama kali memperkenalkan teknologinya ke industri kecantikan. Di labnya, Nusantics Hub, startup tersebut melakukan tes usap wajah bagi konsumen untuk menilai dan menilai keragaman mikrobioma kulit. Mereka juga menyediakan layanan konsultasi untuk perawatan keseimbangan mikrobioma kulit. Menurut Nusantics, mikrobioma yang beragam dan seimbang sangat penting untuk kulit yang sehat, jadi memahami keseimbangan mikrobioma dapat menghasilkan pilihan yang tepat tentang produk perawatan kulit yang sesuai dengan kondisi fisik alami seseorang.

“Kami memilih industri kecantikan karena itu merupakan sektor yang sangat menguntungkan dan tidak memiliki regulasi yang rumit. Penerapan teknologi skin microbiome juga relevan dengan kehidupan konsumen sehari-hari,” ungkap CEO Nusantics Sharlini Eriza Putri.

Langkah selanjutnya startup ini adalah berkolaborasi dengan berbagai pemain di industri, seperti perusahaan perawatan kulit dan kosmetik, untuk mengembangkan produk ramah mikrobioma.

Bisnis inti Nusantics terletak pada kapabilitas R&D. Selain membudidayakan produk dan layanan kecantikan, Nusantics berencana bekerja sama dengan pemangku kepentingan di bidang kesehatan dan pendidikan untuk memproduksi test kit untuk menganalisis dan memantau profil mikrobioma.

Terlibat dalam produksi alat tes COVID-19

Saat virus Corona mulai menyebar di Indonesia, sangat sulit untuk melakukan tes karena minimnya alat. Karena CTO Nusantics memiliki pengalaman dalam metode polymerase chain reaction (PCR), startup tersebut memutuskan untuk mendekati Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi Indonesia (BPPT) dan dengan sukarela membuat prototipe test kit COVID-19. Kemudian, mereka bergabung dengan satuan tugas virus korona nasional BPPT bidang penelitian dan inovasi teknologi (TFRIC-19).

“Sebelum Nusantics, saya bekerja di sebuah perusahaan yang berfokus pada diagnostik molekuler, di mana saya terlibat dalam penelitian dan pengembangan teknologi chip-in-a-tube, PCR digital, serta mikrobioma. Dasar dari teknologi genom adalah PCR,” ujar CTO Nusantics Revata Utama.

Pemetaan genom sangat penting karena virus terus bermutasi untuk beradaptasi dengan inang dan lingkungannya, dan sekuensing seluruh genom sangat penting untuk penelitian dan pengembangan vaksin COVID-19 di Indonesia.

Pandemi telah memberi startup ini tujuan baru. Nusantics telah mengembangkan dua generasi alat uji COVID-19. Jenis pertama didistribusikan ke 19 provinsi di seluruh Indonesia sebagai bagian dari gerakan Indonesia Pasti Bisa, program yang diprakarsai oleh perusahaan modal ventura tahap awal East Ventures bekerja sama dengan BPPT dan perusahaan farmasi milik negara Bio Farma untuk mendukung produksi 100.000 COVID -19 alat uji. Proyek ini mendistribusikan 100.020 alat uji RT-PCR Juni lalu.

“Karena generasi pertama diciptakan pada awal pandemi, tujuan utama kami adalah menyediakan alat tes dengan cepat. Kami membuatnya dengan desain singleplex, sedangkan generasi kedua dibuat dengan desain multipleks yang membuat proses diagnostiknya tiga kali lebih cepat dan relevan dengan mutasi terkini,” kata Utama.

Bio Farma telah memproduksi dan mengkomersialkan kedua generasi test kit tersebut, dengan kapasitas produksi 1,5 juta test kit per bulan. Jika diperlukan, hasilnya bisa digandakan.

Tanpa kepastian akan akhir dari pandemi, Nusantics terus mengembangkan alat tes generasi ketiga yang dapat mendeteksi virus SARS-CoV-2 dari sampel air liur.

“Kami masih dalam proses meneliti apakah sampel air liur bisa digunakan sebagai pengganti swab. Pengalaman menjalani tes usap bisa jadi tidak nyaman, bahkan menyakitkan bagi sebagian orang. Hidung pasien mungkin gatal setelahnya dan mereka akan bersin, yang membuat petugas kesehatan yang melakukan tes berisiko terkena virus. Karena itu mereka perlu memakai alat pelindung diri, ”kata Utama.

“Mengambil sampel dari air liur tentu lebih mudah, tidak melukai pasien dan lebih aman bagi praktisi medis. Secara teori, tes ini juga lebih murah karena membutuhkan lebih sedikit tenaga medis, ”kata Utama. Pengembangan test kit generasi ketiga ini direncanakan akan selesai pada akhir Maret.

Nusantics baru-baru ini mengumumkan pendanaan Seri A dengan jumlah yang tidak diungkapkan yang dipimpin oleh East Ventures. Dana tersebut akan digunakan untuk meningkatkan kemampuan R&D dengan analisis mikrobioma dan diagnostik medis. Penasihat usaha East Ventures Triawan Munaf juga akan bergabung dengan dewan komisaris Nusantics.

“Riset terkait mikrobioma bermanfaat bagi konsumen, mitra industri, serta pemerintah. Visi jangka panjang kami adalah menjaga keanekaragaman hayati di Indonesia dengan melakukan penelitian dan diagnosis terkait mikrobioma. Dengan begitu, kita bisa mencegah kerusakan lingkungan di masa mendatang,” kata Putri.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Laporan Startup Genome: Jakarta Peringkat Kedua dalam “Emerging Startup Ecosystem”

Jakarta menempati urutan kedua dari 100 kota di seluruh dunia dalam daftar “emerging startup ecosystem” menurut laporan tahunan Global Startup Ecosystem Report (GSER) yang dipublikasi Startup Genome.

Peringkat teratas ditempati oleh Mumbai. Setelah Jakarta, ada Zurich, Helsinki, dan Guangzhou. Peringkat Jakarta tertinggi dibandingkan negara tetangga lainnya di Asia Tenggara, seperti Kuala Lumpur (11), Manila (urutan 31-40), Bangkok (51-60), dan Ho Chi Minh City (71-80).

Startup Genome merilis daftar ekosistem kota-kota ini untuk pertama kalinya sebagai bagian dari laporan GSER dalam rangka menyoroti area metropolitan yang mendapatkan relevansi dan berdampak pada ekonomi dengan cara yang bermakna.

Dalam tiap laporannya, Startup Genome umumnya menampilkan posisi kota yang masuk dalam daftar global startup ecosystem. Nama-nama kota yang masuk dalam posisi teratas relatif masih sama. Misalnya, Silicon Valley, New York, London, Beijing, dan Boston masuk dalam urutan lima besar secara berurutan.

Startup Genome mencatat hampir dua kali lipat jumlah ekosistem yang dipelajari sejak 2019, menilai lebih dari 270 ekosistem di lebih dari 100 negara untuk peringkat 30 teratas secara global dan runner up.

Dalam menyusun peringkat, Startup Genome menggunakan metodologi yang fokus pada faktor-faktor yang lebih relevan dengan wilayah yang mulai mencapai investasi dan inovasi tingkat tinggi.

Secara keseluruhan, laporan ini menggabungkan sejumlah sumber data untuk menentukan peringkat ekosistem, termasuk data dari Crunchbase, Orb Intelligence, PitchBook, Dealroom, dan mitra lokal dari tiap wilayah.

Mereka juga mencampur data dari internal yang diambil dari wawancara bersama lebih dari 100 pakar, ditambah data dua tahun hasil survei yang mengambil lebih dari 10 ribu responden tiap tahun.

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Startup Genome menggabungkan data untuk menghasilkan empat skor utama yang memeringkat kinerja, pendanaan, jangkauan pasar, dan talenta dari tiap kota dalam skala satu hingga 10.

Mumbai yang masuk ke peringkat pertama dari urutan ini, mencetak skor 10 pada masing-masing faktor tersebut. Sementara Jakarta, hanya talenta yang menempati skor 9 dibandingkan skor metrik lainnya yang menempati skor 10.

Bersamaan dengan peringkat ekosistem yang muncul, Startup Genome juga membagi peringkat dari tiap kota berdasarkan nilai total ekosistem dan pendanaan tahap awal. Jakarta masuk dalam posisi teratas dengan nilai ekosistem $26,3 miliar, disusul Guangzhou ($19,2 miliar), dan Kuala Lumpur ($15,3 miliar).

Pun untuk metrik pendanaan tahap awal, Jakarta menempati posisi teratas dengan sekitar $845,9 juta diinvestasikan untuk startup tahap awal berdasarkan estimasi dari 2017-2018. Posisi kedua ditempati oleh Barcelona dengan nilai investasi $472,7 juta.

Laporan Startup Genome hanya melihat ekosistem dari tiap kota yang menjadi ibu kota suatu negara. Jika merujuk pada laporan lainnya, seperti StartupBlink menyebutkan peringkat Indonesia merosot ke-54 dari tahun sebelumnya ke-41.

Jakarta masuk ke dalam urutan ke-41 dari seluruh kota di dunia yang peringkatnya merosot pula sebanyak dua peringkat. Wajar jika Jakarta masih menjadi kota terdepan dalam mendukung ekosistem startup, kota-kota lainnya masih mengejar karena butuh faktor pendukung.

Laporan lain yang disusun oleh East Ventures – Digital Competitiveness Index bisa menjadi acuan lain untuk mendorong ekosistem ekonomi digital masing-masing wilayah di Indonesia jadi lebih bersaing. Di sana juga menyebutkan Jakarta menjadi provinsi dengan indeks tertinggi (79,7), sementara Papua menempati urutan terakhir (17,7).

Pendukung ekosistem

Ketika ekosistem dari kota ini berkembang, semua perusahaan tahap awal saling bersaing secara global. Maka, dibutuhkan peranan penting dari ekosistem pendukung untuk memuluskan rencana ke depan.

Seluruh informasi tersebut bisa meniru dari para pemimpin ekosistem global agar masing-masing ekosistem bisa memperkuat di mana letak kekuatan mereka. Startup Genome merekomendasikan lima hal.

Mulai dari founder teknologi untuk penggerak pertama dan awal secara global atau regional. Contoh terdekatnya adalah Silicon Valley, Boston, dan Seattle. Kedua, hub bisnis global yang menjadi penggerak bisnis dan pusat keuangan global, contohnya adalah London, New York, dan Singapura.

Ketiga, pusat talenta R&D untuk produksi teknologi, contohnya adalah Tel Aviv dan Stockholm. Keempat, pasar besar yang dilindungi, misalnya Beijing, Shanghai, dan Jakarta. Terakhir, tempat kreatif kosmopolitan yang mengedepankan keterbukaan dan kualitas hidup, seperti di Berlin dan Melbourne.

Rekomendasi lainnya

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Laporan Startup Genome dapat diarahkan untuk semua stakeholder dalam ekosistem startup, baik dari startup itu sendiri, para investor, dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan. Kondisi pandemi global tentunya menghantam perekonomian yang menjalar ke berbagai lini bisnis, termasuk startup.

Perusahaan teknologi global dengan ketersediaan banyak dana, bisa sukses untuk pivot saat pandemi, di sisi lain banyak startup lain yang sedang kesusahan. Pendanaan global dikatakan turun hingga 20% sejak Desember 2019.

Dari hasil surveinya, pada pertengahan tahun ini lebih dari 40% startup global berada dalam kondisi “zona merah” ketika berbicara soal ketersediaan dana segar. Artinya, mereka hanya ada beberapa bulan untuk bertahan hidup atau runway yang pendek.

Jika mereka tidak berhasil membalikkan kondisi, mereka terpaksa harus tutup. Begitupun untuk startup yang sudah mendapat pendanaan minimal Seri A atau ke atas, sepertiganya hanya punya runway sampai enam bulan. Kondisi untuk melakukan penggalangan pendanaan jadi jauh menantang.

Oleh karenanya, Startup Genome merekomendasikan perlunya kehadiran pemerintah untuk menginjeksi startup tersebut agar dapat beroperasi. Bahwasanya, startup diyakini dapat membantu proses pemulihan ekonomi, punya andil banyak untuk melipatgandakan nilai ekonomi di tiap industrinya, dan mampu menggiring ekonomi pasca krisis tetap kompetitif.

“Tanpa startup, teknologi, finansial, kesehatan, dan industri lainnya akan tetap stagnan. Siapa yang ingin hidup di dunia yang di mana sistem perbankan didominasi oleh beberapa pemain, sehingga bisnis dan konsumen tidak punya alternatif lain untuk mengelola uangnya,” tulis dalam laporan tersebut.

“Ketika startup berkembang dan menjadi pemain penting di industrinya, akan membawa nilai lebih dan martabat di dalam ekosistem kota di mana mereka beroperasi,” sambungnya.

Rekomendasi yang bisa diambil pemerintah, menurut Startup Genome adalah merancang pendanaan yang efektif. Pola ini sudah diterapkan di Inggris yang membuat Coronavirus Future Fund. Pendanaan ini spesifik menargetkan startup yang masih pra-revenue dan pra-profit yang mengandalkan penyertaan saham dan surat utang dari pemerintah dengan kisaran kebutuhan $150 ribu sampai $6 juta.

Atau melindungi talenta berbakat, misalnya yang dilakukan pemerintah Uni Emirat Arab yang memperpanjang visa untuk warga asing yang menetap tanpa tambahan biaya.

Jakarta Named on the List of Cities with Most Competitive Startup Ecosystem

Indonesia’s Communication and Creative Industry People (MIKTI) with Indonesia’s Creative Economy Agency (Bekraf) stated a total of 1,019 startups made in Indonesia by 2018. Both institutions said Jakarta named into the list of cities with the competitive startup ecosystem in global.

Based on Genome’s Global Startup Ecosystem Report 2019, Jakarta-based startups labeled as “Late-Globalization Phase”, along with 8 other top-tier cities, such as Sydney, Paris, San Diego, and Sao Paulo. This category is only a row under the top startup ecosystem mostly placed in cities as Silicon Valley, New York, Beijing, Singapore, and London.

There are reasons why Genome put Jakarta on the list. One is for the government’s regulation of creating specific acceleration board for stock exchange for startup by Indonesia’s Stock Exchange (IDX) and the rise of incubator and accelerator program in Jakarta.

Head of MIKTI, Joddy Hernady said that this is Indonesia’s first time to include in improving global startup ecosystem. It should brief them of Indonesia’s position on the global map of the digital startup.

“That is why MIKTI provides our data to Genome and meet the current position,” he said.

MIKTI data shows the 529 startups based in Jabodetabek. It makes 52% of the whole country.

Several factors would create a better startup ecosystem in Jakarta. As Joddy speaks one of it is to enter the global market. His observation eyes very lack Indonesian-based startups to make it into the global market besides Gojek.

“We aim for more. The overseas exit is good, IPO cross-country is fine. That is the thing, for our startups to spread,” he added.

Talents are centralized in Jakarta

Bekraf’s Deputy of Infrastructure, Hari Santosa Sungkari explained the rich ecosystem of digital startups in Jakarta can’t be separated from universities in Jabodetabek.

The high concentration of universities around Jakarta has taken the wheel of the startup ecosystem.

“There are 389 universities and some incubators in Jabodetabek. Specifically placed from Jakarta to the west through BSD, there are some in Depok, but mostly in West Jakarta,” he said.

From the current situation, plans have made to build-up the digital startup ecosystem in Bandung, Yogyakarta, and Makassar. Joddy said those cities are as potential as Jakarta for many high-quality universities to drive the ecosystem.

MIKTI’s data says Yogyakarta and Bandung are two cities with most startup population after Jakarta. Such finest technology universities are everywhere as each benchmark.

In order for the ecosystem to not only grow in those three areas, MIKTI is to open online training for an easy way to monitor startup development throughout Indonesia.

“We are making the curriculum, there will be special courses for talent development and the business startup. The incubation will be online and we’re on development,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Jakarta Masuk Daftar Kota dengan Ekosistem Startup Paling Potensial

Masyarakat Industri Kreatif dan Komunikasi Indonesia (MIKTI) dan Badan Ekonomi Kreatif Indonesia (Bekraf) mengemukakan jumlah startup di Indonesia mencapai 1.019 buah pada 2018. Kedua instansi itu mengumumkan bahwa Jakarta masuk ke dalam jajaran kota dengan ekosistem startup yang bersaing secara global.

Berdasarkan Global Startup Ecosystem Report 2019 dari Startup Genome, ekosistem startup di Jakarta dilabeli ‘Late-Globalization Phase’, bersanding dengan 8 kota besar lain seperti Sydney, Paris, San Diego, Sao Paulo. Kategori yang disematkan kepada Jakarta itu hanya satu strip di bawah kategori ekosistem terbaik yang dihuni kota-kota seperti Silicon Valley, New York, Beijing, Singapura, dan London.

Ada beberapa alasan Genome memasukkan nama Jakarta ke dalam daftar tersebut. Contohnya adalah relaksasi peraturan dari pemerintah seperti pembentukan papan akselerasi tempat jual beli saham khusus startup oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) dan keberadaan inkubator serta akselerator yang sudah cukup mapan di Jakarta.

Ketua Umum MIKTI Joddy Hernady mengatakan ini pertama kalinya Indonesia ikut serta dalam pemeringkatan ekosistem startup global. Pemeringkatan ini membantu mereka memahami posisi Indonesia dalam peta startup digital global.

“Makanya MIKTI memberikan data-data kita ke Genome dan ketemulah posisi ini yang sekarang,” ujar Joddy.

Data MIKTI menunjukkan 529 startup bermukim di Jabodetabek. Ini berarti hampir 52 persen dari totak startup seantero negeri.

Ada sejumlah faktor agar ekosistem startup di Jakarta bisa lebih baik. Joddy menyebut salah satunya adalah akses ke pasar global. Menurutnya masih sangat sedikit startup digital asal Indonesia yang sanggup menembus pasar luar negeri selain Gojek.

“Kita berharap yang seperti itu lebih banyak. Exit-nya bisa di luar, IPO bisa di luar. Itu yang disebut paling top, startup kita bisa ke mana saja,” sambung Joddy.

Talenta Masih Terpusat di Jakarta

Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Santosa Sungkari menjelaskan suburnya ekosistem startup digital di Jakarta salah satunya tak lepas dari banyaknya perguruan tinggi di Jabodetabek.

Konsentrasi perguruan tinggi yang padat di sekitar Jakarta dinilai menggerakkan roda ekosistem startup.

“Ada 389 universitas di Jabodetabek dan beberapa inkubator ada di sana. Kalau mau spesifik Jakarta ke barat lalu BSD itu yang paling banyak walaupun ada juga di Depok, tapi yang paling banyak di Jakarta Barat,” tutur Hari.

Berkaca dari keadaan tersebut, ada rencana memperkuat ekosistem startup digital di Bandung, Yogyakarta, dan Makassar. Joddy menyebut ketiga kota itu punya potensi seperti Jakarta karena memiliki perguruan tinggi berkualitas yang dapat memotori ekosistem.

Dari data MIKTI, Yogyakarta dan Bandung merupakan dua kota yang memiliki jumlah startup terbesar setelah Jakarta. Keberadaan kampus-kampus teknik ternama bisa jadi tolok ukur potensi kedua kota itu.

Agar ekosistem tak berkembang hanya di tiga kota besar tadi, MIKTI berniat membuka pelatihan online untuk memudahkan geliat startup di seluruh kota di Indonesia.

“Kita lagi bikin kurikulumnya, akan ada course untuk pengembangan bakat dan startup itu sendiri. Jadi inkubasinya lewat online dan kita lagi bikin platform itu,” pungkas Joddy.