Pandemi Beri Momentum bagi Platform Social Commerce

Seiring penurunan jumlah pengunjung di pusat perbelanjaan dan toko retail, para pebisnis harus memutar otak untuk bisa tetap bertahan atau terkikis perlahan. Kehadiran konsep social commerce yang menyatukan aktivitas sosial dan niaga dalam beberapa tahun terakhir dinilai sebagai sebuah inovasi yang tepat guna, terlebih di tengah pandemi yang sedang melanda berbagai belahan dunia.

Berdasarkan laporan yang dibuat Econsultancy bersama Magento dan Hootsuite pada bulan Oktober 2019 berjudul “The State of Social Commerce in Southeast Asia”, industri social commerce diproyeksikan akan bertumbuh signifikan. Dengan lebih dari 350 juta pengguna internet di Asia Tenggara dan 90% masyarakat terhubung ke internet menggunakan smartphone, peluang untuk
bertransaksi sangatlah besar.

Di Indonesia sendiri, sudah ada beberapa layanan yang mengarahkan bisnis mereka pada konsep social commerce, sebut saja Woobiz, TapTalk.io, dan layanan baru Storie.

Memanfaatkan momentum

Pandemi Covid-19 yang saat ini membatasi ruang gerak dan aktivitas di tempat publik turut mendorong pergeseran kebiasaan masyarakat dalam berbelanja. Meskipun tren belanja online sudah marak dilakukan sejak akses internet semakin mudah, pandemi ini semakin mendorong tren konsumsi online yang sudah berjalan beberapa tahun terakhir.

Co-Founder Woobiz Putri Noor Shaqina mengakui, sejak pandemi ada dampak yang cukup signifikan dalam pertumbuhan bisnis. “Kami melihat peningkatan rata-rata trannsaksi mitra lebih dari 30% setiap bulannya sejak pandemi,” ujarnya.

Menurut laporan Comscore bertajuk “COVID-19 and its impact on Digital Media Consumption in Indonesia”, beberapa fakta menarik diajukan mengenai konsumsi masyarakat atas media digital di masa pandemi.

WhatsApp, Facebook, dan Instagram merajai peringkat mobile app yang paling sering digunakan. Pembatasan interaksi sosial langsung mendorong semangat para pelaku industri untuk bisa mencari pendapatan tanpa harus melangkah ke luar rumah. Hal ini tidak lepas dari fitur-fitur di media sosial seperti “Instagram Story” yang turut membantu penjual dalam melakukan pemasaran.

Sebagai salah satu layanan yang menawarkan solusi teknologi dalam pengelolaan pesan untuk UKM, TapTalk.io, melalui representatifnya mengungkapkan, “Momentum ini telah memicu percepatan transformasi teknologi sejauh enam tahun, karena itu para pelaku industri harus bisa memanfaatkan hal ini untuk menyiapkan online presence bagi bisnisnya agar lebih mudah dijangkau oleh pelanggan.”

Saling melengkapi

Tidak dapat dipungkiri, konsep social commerce melekat erat dengan ranah e-commerce. Masih di laporan Econsultancy, pada tahun 2025, pasar e-commerce diproyeksikan akan melebihi $100 miliar per tahunnya. Hal ini turut mendongkrak popularitas social commerce.

Co-Founder Storie Rizky Kaljubi menyampaikan, “Saat ini e-commerce dan transaksi secara digital semakin familiar. Penetrasi media sosial juga semakin banyak dalam berbagai lini bisnis. Semakin banyak pelaku industri ingin memiliki penghasilan dari digital dan semakin banyak brand beralih dari tradisional menuju soft selling.

Data Comscore menunjukkan peningkatan signifikan terjadi pada industri e-commerce tanah air selama pandemi.

Mengenai peta persaingan industri social commerce dan e-commerce, pihak TapTalk.io berkomentar, “Menurut kami, social commerce tidak bersaing langsung dengan sektor e-commerce, tetapi bisa berjalan seiring dan saling melengkapi. Hal ini juga karena peran social commerce diperlukan untuk menghidupkan kembali human touch di dalam aktivitas transaksi jual beli secara digital.”

Tantangan ke depan

Meskipun banyak data yang menunjukkan tren positif, industri social commerce tidak semata-mata imun terhadap tantangan. Sebagai industri yang tergolong baru di Indonesia, masih diperlukan edukasi merata, baik ke sisi bisnis maupun konsumennya. Salah satu solusi yang ditawarkan Woobiz adalah Wooniversity, sebuah komitmen memberikan dampak nyata melalui media pelatihan dan edukasi secara langsung.

Putri menambahkan, “Banyak reseller yang masih belum nyaman memesan produk jualannya melalui platform online dan banyak juga yang tertarik tapi belum bisa berjualan [..] Kami ingin mengedukasi para mitra kami juga melatih mereka untuk dapat berjualan demi meningkatkan kemampuan ekonomi.”

TapTalk.io memiliki pandangan tersendiri. Menurut mereka, masih banyak bisnis yang mengkategorikan kanal social commerce ini sebagai third-level channel atau kanal tambahan untuk pengembangan bisnis mereka.

“Tetapi kami melihat ke depannya, channel sosial ini akan menjadi salah satu kebutuhan utama bagi bisnis untuk dapat menjangkau pelanggan, tidak hanya untuk keperluan penjualan, namun juga dukungan after sales yang lebih baik dan terintegrasi untuk para pelanggan,” ujar juru bicara TapTalk.io.

Storie App Aims to Become “Social Commerce”, Providing Honest Review of Beauty Products

The use of social media for sales has been very common in this industry. There is a term used to refer to this concept, it’s social commerce. In the past year, platforms with this concept are emerging, such as Woobiz and Chilibeli.

This is an issue that inspired several Alibaba Group UCWeb alumni consisting of Liu Feida, Rizky Maulana, and HE Yaoming to contribute to the challenges of the Indonesian beauty industry through the social commerce platform, Storie.

Regarding the potential of social commerce Rizky said, “We see that social media is driving the trend including the beauty industry. Therefore, Storie was founded by combining social media with e-commerce.”

He said that Storie’s basic idea was to invite Indonesian women to be more confident in embracing their true selves. Furthermore, a beauty app launched, offering honest reviews of makeup, skincare, and contemporary lifestyle.

In this application, users are offered honest reviews from beauty vloggers and/or the general public about makeup and skincare trends without having to fear getting “bullied” or being ridiculed by the audience. Storie wants to provide a safe place for users to express themselves and their passion in the beauty industry.

Beautytech in Indonesia

With a population of more than 130 million women, the Indonesian beauty industry is a market with many opportunities while at the same time requiring specific ways of entrance and to survive in this business. Previously, one of Indonesia’s beautytech platforms had secured new funding. This practically shows hope of technology penetration in the beauty industry.

“Indonesia is a blue ocean market for the beauty industry, we see more accessible information through digital media and channels. It’s easier for local and international products to enter the Indonesian market and form a very dynamic market where quality becomes crucial but not the only success factor for a product,” Rizky explained.

In terms of strategy, Storie intend to capture the demand and pain points in today’s society. One of them is inaccurate information and the lack of a community with a positive vibe. The company, entering one year old in May, has also launched an application for Android users with total downloads exceeding 500 thousand and around 100 thousand active users per day.

In terms of content curation, the company has dedicated two special teams, the QC (Quality Control) team and the content standardization team to set benchmarks and filter the contents on the platform. During the pandemic, there are many changes occurred in the business plan and monetization strategy, but the company tried to see this as a momentum to be able to innovate better.

Business strategy

In terms of monetization, Rizky revealed that the revenue is mostly comes from brand deals launching campaigns and products. “In the future, we will work with all brands to make their products available at Storie,” Rizky added.

In the near future, Storie will also launch a new initiative on its platform to facilitate transactions in the application and perfect its social commerce concept.

In late 2019, the company was selected as one of three Indonesian startups to participate in the second batch of Sequoia Capital’s accelerator program, Surge. Alpha JWC Ventures also participated in a seed round through this Surge program.

Entering the new normal, the company sees hope “As a dynamic company, as well as a society that is increasingly moving towards digital, the team believes there is always an opportunity to develop more.

“Covid-19 is quite inevitable and has changed how the world works also business and technology, and everything will lead to a digital platform, digitizing all lines of life. We build a company that is ready to transform to answer that challenge,” Rizky concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Aplikasi Storie Suguhkan Ulasan Jujur tentang Produk Kecantikan, Berambisi Jadi “Social Commerce”

Pemanfaatan media sosial untuk kepentingan penjualan sebenarnya sudah menjadi hal yang lazim. Ada istilah yang lebih sering digunakan untuk menyebut konsep ini, yakni social commerce. Dalam setahun terakhir, platform yang mengusung konsep tersebut mulai banyak bermunculan, sebut saja Woobiz dan Chilibeli.

Hal tersebut dilihat oleh beberapa alumni UCWeb Alibaba Group yang terdiri dari Liu Feida, Rizky Maulana, dan HE Yaoming sebagai sebuah kesempatan, untuk bisa berkontribusi dalam menjawab tantangan dunia kecantikan Indonesia melalui platform social commerce Storie.

Mengenai potensi social commerce Rizky menyampaikan, “Kami melihat media sosial telah menjadi alat penggerak tren termasuk dunia kecantikan. Oleh karena itu Storie kami dirikan, dengan mengombinasikan antara media sosial dengan e-commerce.”

Pihaknya mengungkapkan bahwa ide dasar Storie adalah untuk mengajak perempuan Indonesia lebih percaya diri dalam menilai diri mereka masing-masing. Dari situ, lalu diluncurkan sebuah aplikasi kecantikan yang menjunjung tinggi kejujuran membahas makeup, skincare, dan lifestyle kekinian.

Dalam aplikasi ini, pengguna ditawarkan review jujur dari para beauty vlogger dan atau masyarakat pada umumnya tentang tren makeup dan skincare tanpa harus takut mendapatkan “bully” atau cemooh oleh audiens. Storie ingin menyediakan tempat yang aman untuk pengguna mengekspresikan diri dan passionnya di dunia kecantikan.

Beautytech di Indonesia

Dengan jumlah populasi perempuan lebih dari 130 juta, industri kecantikan di Indonesia adalah sebuah market yang menjanjikan banyak kesempatan sekaligus membutuhkan cara yang tepat sasaran untuk bisa masuk serta bertahan dalam bisnis ini. Sebelumnya, salah satu platform beautytech Indonesia juga baru saja mendapatkan pendanaan. Hal ini menunjukkan adanya harapan pada penetrasi teknologi di dunia kecantikan.

“Indonesia is a blue ocean market for beauty industry, kami melihat dengan semakin mudahnya akses informasi melalui media dan kanal digital. Semakin mudahnya produk lokal dan juga internasional memasuki pasar Indonesia membentuk suatu pasar yang sangat dinamis dimana kualitas dan mutu dari sebuah produk akan sangat menentukan tapi tidak menjadi satu satunya faktor keberhasilan sebuah produk,” jelas Rizky.

Dari sisi strategi, Storie mencoba menangkap keinginan dan pain point yang di hadapi masyarakat saat ini. Salah satunya adalah informasi yang kurang akurat serta kurangnya komunitas yang membawa vibe positif. Perusahaan yang genap berusia satu tahun pada bulan Mei kemarin ini juga telah meluncurkan aplikasi untuk pengguna Android dengan total unduhan melebihi 500 ribu serta pengguna aktif sekitar 100 ribu per hari.

Dari sisi kurasi konten, pihaknya menyebutkan telah mendedikasikan dua tim khusus, yaitu tim QC (Quality Control) serta tim standardisasi konten untuk menetapkan benchmark dan menyaring konten-konten yang ada dalam platform. Selama pandemi ini, diakui ada banyak perubahan yang terjadi dalam rencana bisnis dan strategi monetisasi, namun perusahaan mencoba melihat hal ini sebagai sebuah momentum untuk bisa berinovasi lebih baik.

Rencana bisnis

Dalam monetisasi bisnis, Rizky menyimpulkan bahwa selama ini revenue datang dari brand deals yang ingin meluncurkan campaign maupun launching produk. “Ke depannya kami akan berkerja sama dengan semua brand agar produknya dapat di jual di Storie,” Rizky menambahkan.

Dalam waktu dekat, Storie juga akan meluncurkan inisiatif terbaru dalam platformnya untuk mempermudah transaksi dalam aplikasi serta menyempurnakan konsep social commerce miliknya.

Di akhir tahun 2019 lalu, perusahaan ini terpilih menjadi salah satu dari tiga startup Indonesia untuk mengikuti program akselerator Sequoia Capital, Surge batch kedua. Alpha JWC Ventures juga turut berpartisipasi dalam seed round bersama melalui program Surge ini.

Memasuki tatanan new normal perusahaan melihat adanya harapan” Sebagai perusahaan yang dinamis, serta masyarakat yang semakin bergerak ke arah digital, pihaknya meyakini adanya kesempatan untuk bisa semakin berkembang.

“Tidak dapat dimungkiri Covid-19 telah mengubah tatanan dunia dan bisnis serta teknologi, dan semua akan mengarah ke platform digital, digitalisasi semua lini kehidupan. Dan kami adalah perusahaan yang siap bertransformasi menjawab tantangan itu,” tutup Rizky.

Application Information Will Show Up Here

Tiga Startup Indonesia Terpilih dalam Surge, Program Akselerasi Milik Sequoia

Surge, program akselerator dari Sequoia India, memperkenalkan tiga startup baru asal Indonesia yang menjadi bagian dari program akselerasi mereka pada 2019 ini.

Surge kini telah menjalankan dua gelombang program akselerasi. Gelombang kedua Surge menghadirkan 20 startup asal India dan Asia Tenggara, tiga di antaranya dari Indonesia yakni Storie, Chilibeli, dan Rukita.

Storie sendiri adalah platform yang berisi review produk gaya hidup untuk memberi referensi bagi konsumen. Sementara Chilibeli adalah platform social commerce yang menghubungkan petani dengan agen dalam memasarkan produknya. Sedangkan Rukita merupakan startup proptech yang membuat solusi co-living untuk milenial di perkotaan.

Gelombang sebelumnya yang diikuti 17 startup, Surge juga memilih dua startup asal Indonesia yakni Bobobox dan Qoala.

Dalam program ini Surge menggelontorkan US$1 juta hingga US$2 juta kepada masing-masing startup. Adapun pembekalan yang diberikan meliputi cara melakukan pendanaan, akses ke mentor kelas dunia, pengembangan talenta, hingga studi banding ke pusat-pusat teknologi dunia.

“Program ini membawa startup terpilih untuk belajar ke kota-kota seperti Singapura, Bengaluru, Beijing, hingga Silicon Valley,” ujar Director Surge Rajan Anandan.

Nama Sequoia Capital sebagai venture capital cukup harum di Indonesia karena sejumlah investasi besar yang ia berikan kepada startup ternama seperti Tokopedia, Gojek, atau Traveloka. Kehadiran Surge sebagai akselerator startup berusia dini jadi taring baru Sequoia.

Namun menurut Rajan, Sequoia sudah lama aktif mendukung startup berusia dini. Adapun alasan mereka membentuk Surge adalah besarnya peluang yang tercipta dari startup baru yang kerap diikuti oleh besarnya kendala yang harus dihadapi.

“Memulai sebuah perusahaan sangat sulit, ada begitu banyak tantangan seperti fundraising, hiring, membangun fondasi perusahaan, mencari mentor yang tepat, hingga menggelar pendanaan baru. Pengumpulan dana jauh lebih berat ketika perusahaan masih berstatus seed,” imbuh Rajan.

Selesai dengan gelombang kedua, Surge mengumumkan pendaftaran program gelombang berikutnya sudah bisa diikuti. Surge tidak menargetkan jumlah startup yang akan mereka bina namun menekankan startup ideal adalah founder yang andal dan industri yang masih punya ruang cukup besar untuk dieksplorasi.

Program akselerasi Surge berlangsung selama sepekan dalam empat bulan. Sistem yang mereka gunakan pun bersifat open architecture, artinya investor lain bisa ikut dalam putaran pendaan Surge yang pertama.

Seperti dalam laporan Google & Temasek 2019, Asia Tenggara masih menjadi kawasan seksi bagi para pelaku ekonomi digital. Dalam laporan terbaru itu, ekonomi yang dimotori internet di kawasan Asia Tenggara mencapai US$100 miliar dan angka itu diprediksi terus meroket hingga US$300 miliar pada 2025.

Vietnam dan Indonesia menjadi poros utama pertumbuhan tersebut dengan tingkat pertumbuhan mencapai 40 persen per tahun.