Ini Dia Permainan-Permainan Finalis The Game Awards 2019

Jurnalis Geoff Keighley memutuskan untuk menciptakan The Game Awards karena acaranya yang sebelumnya ia tangani – Spike Video Game Awards – lama-lama lebih bersifat komersial. The Game Awards dilangsungkan sejak 2014, dan jumlah pemirsanya terus bertambah di tahun-tahun berikutnya. Dan sesuai tradisi, seremoni The Game Awards tahun ini akan digelar di bulan Desember besok.

Menjelang momen seremoni, sudah jadi kebiasaan bagi penyelenggara untuk mengumumkan daftar permainan yang berpeluang merebut gelar-gelar paling bergengsi. Namun tak cuma game, The Game Awards juga menganugerahkan penghargaan pada sosok-sosok yang berkontribusi besar bagi industri. Pemenang nantinya dipilih oleh komite juri, tapi The Game Awards juga mempersilakan para gamer buat memilih langsung permainan-permainan favorit mereka.

The Game Awards 2019 1

Nominasi The Game Awards 2019 terbagi dalam 29 kategori, tapi seperti yang saya bilang sebelumnya, tak semuanya merupakan judul permainan. Ada juga aktor/aktris, kreator konten, tim, hingga pemain esports dengan prestasi yang istimewa. Daftar lengkapnya bisa Anda simak di bawah:

 

Game of the Year

  • Control
  • Death Stranding
  • Resident Evil 2
  • Sekiro: Shadows Die Twice
  • Super Smash Bros. Ultimate
  • The Outer Worlds

 

Action Game

  • Apex Legends
  • Astral Chain
  • Call of Duty: Modern Warfare
  • Devil May Cry 5
  • Gears 5
  • Metro Exodus

 

Action/Adventure Game

  • Borderlands 3
  • Control
  • Death Stranding
  • Resident Evil 2
  • The Legend of Zelda: Link’s Awakening
  • Sekiro: Shadows Die Twice

 

Art Direction

  • Control
  • Death Stranding
  • Gris
  • Sayonara Wild Hearts
  • Sekiro: Shadows Die Twice
  • The Legend of Zelda: Link’s Awakening

 

Audio Design

  • Call of Duty: Modern Warfare
  • Control
  • Death Stranding
  • Gears 5
  • Resident Evil 2
  • Sekiro: Shadows Die Twice

 

Community Support

  • Apex Legends
  • Destiny 2
  • Final Fantasy XIV
  • Fortnite
  • Tom Clancy’s Rainbow Six Siege

 

Family Game

  • Luigi’s Mansion 3
  • Ring Fit Adventure
  • Super Mario Maker 2
  • Super Smash Bros. Ultimate
  • Yoshi’s Crafted World

 

Fighting Game

  • Dead or Alive 6
  • Jump Force
  • Mortal Kombat 11
  • Samurai Shodown
  • Super Smash Bros. Ultimate

 

Fresh Indie Game

  • ZA/UM
  • Nomada Studio
  • Deadtoast Entertainment
  • Mobius Digital
  • Mega Crit
  • House House

 

Game Direction

  • Control
  • Death Stranding
  • Resident Evil 2
  • Sekiro: Shadows Die Twice
  • Outer Wilds

 

Games For Impact

  • Concrete Genie
  • Gris
  • Kind Words
  • Life Is Strange 2
  • Sea of Solitude

 

Independent Game

  • Baba Is You
  • Disco Elysium
  • Katana Zero
  • Outer Wilds
  • Untitled Goose Game

 

Mobile Game

  • Call of Duty: Mobile
  • Grindstone
  • Sayonara Wild Hearts
  • Sky: Children of Light
  • What the Golf?

 

Multiplayer Game

  • Apex Legends
  • Borderlands 3
  • Call of Duty: Modern Warfare
  • Tetris 99
  • Tom Clancy’s The Division 2

 

Narrative

  • A Plague Tale: Innocence
  • Control
  • Death Stranding
  • Disco Elysium
  • The Outer Worlds

 

Ongoing Game

  • Apex Legends
  • Destiny 2
  • Final Fantasy XIV
  • Fortnite
  • Tom Clancy’s Rainbow Six Siege

 

Performance

  • Ashly Burch (The Outer Worlds)
  • Courtney Hope (Control)
  • Laura Bailey (Gears 5)
  • Mads Mikkelsen (Death Stranding)
  • Matthew Porretta (Control)
  • Norman Reedus (Death Stranding)

 

Role-Playing Game

  • Disco Elysium
  • Final Fantasy XIV
  • Kingdom Hearts III
  • Monster Hunter World: Iceborne
  • The Outer Worlds

 

Score & Music

  • Cadence of Hyrule
  • Death Stranding
  • Devil May Cry 5
  • Kingdom Hearts III
  • Sayonara Wild Hearts

 

Sports/Racing Game

  • Crash Team Racing Nitro-Fueled
  • Dirt Rally 2.0
  • Efootball Pro Evolution Soccer 2020
  • F1 2019
  • FIFA 20

 

Strategy Game

  • Age of Wonders: Planetfall
  • ANNO 1800
  • Fire Emblem: Three Houses
  • Total War: Three Kingdoms
  • Tropico 6
  • Wargroove

 

VR/AR Game

  • Asgard’s Wrath
  • Blood & Truth
  • Beat Saber
  • No Man’s Sky
  • Trover Saves the Universe

 

Esports Game of the Year

  • Counter-Strike: Global Offensive
  • Dota 2
  • Fortnite
  • League of Legends
  • Overwatch

 

Content Creator of the Year

  • Jack ‘Courage’ Dunlop
  • Benjamin ‘ Dr. Lupo’ Lupo
  • Soleil ‘Ewok’ Wheeler
  • David ‘Grefg’ Martinez
  • Michael ‘Shroud’ Grzesiek

 

Esports Coach

  • Eric ‘Arden’ Hoag
  • Nu-Ri ‘Cain’ Jang
  • Fabian ‘Grabbz’ Lohmann
  • Kim ‘Kkoma’ Jeong-Gyun
  • Titouan ‘Sockshka’ Merloz
  • Danny ‘Zonic’ Sorensen

 

Esports Host

  • Eefje ‘Sjokz’ Depoortere
  • Alex ‘Machine’ Richardson
  • Paul ‘ Redeye’ Chaloner
  • Alex ‘Goldenboy’ Mendez
  • Duan ‘Candice’ Yu-Shuang

 

Esports Player

  • Kyle ‘Bugha’ Giersdorf
  • Lee ‘Faker’ Sang-Hyeok
  • Luka ‘Perkz’ Perkovic
  • Oleksandr ‘S1mple’ Kostyliev
  • Jay ‘Sinatraa’ Won

 

Esports Team

  • Astralis
  • G2 Esports
  • OG
  • San Francisco Shock
  • Team Liquid

 

Esports Event

  • 2019 Overwatch League Grand Finals
  • EVO 2019
  • Fortnite World Cup
  • IEM Katowice 2019
  • League of Legends World Championship 2019
  • The International 2019

The Game Awards 2019 2

Ada 107 permainan yang ada di daftar finalis The Game Awards 2019, dan jika diteliti lebih jauh, Death Stranding tampak mendominasi dengan masuk ke delapan kategori nominasi berbeda, disusul oleh Control (tujuh nominasi), lalu diikuti oleh Sekiro: Shadows Die Twice (lima nominasi), serta Resident Evil 2 dan The Outer Worlds (masing-masing empat nominasi). Untuk Game of the Year, saya pribadi menjagokan remake Resident Evil 2 dan Sekiro. Dua game tersebut merupakan favorit saya di tahun ini.

Para pemenang rencananya akan diumumkan di tanggal 12 Desember 2019 melalui acara seremoni yang dilangsungkan di Microsoft Theater, Los Angeles.

The Game Awards 2019 3

Yang Nyata dan Fana di Balik Tabir Pertumbuhan Esports Fighting Game

Generasi console kedelapan (era PS4 dan para rivalnya) rasanya tak berlebihan bila disebut sebagai masa renaissance bagi dunia fighting game. Di generasi ini banyak sekali judul fighting game bermunculan setiap tahunnya, bukan hanya dari franchise yang mainstream tapi juga judul baru ataupun franchise “jadul” yang tiba-tiba datang kembali.

Di generasi ini kita melihat Super Smash Bros. Ultimate menembus rekor sebagai judul fighting game terlaris sepanjang masa. Kita juga melihat judul seperti Samurai Shodown dan Fighting EX Layer tiba-tiba bangkit setelah mati suri selama belasan tahun. Arc System Works, perusahaan veteran di dunia fighting game 2D, dikontrak Bandai Namco untuk membuat Dragon Ball FighterZ yang akhirnya membuat dunia gempar. Yang mungkin terdengar absurd, Riot Games mengakuisisi sebuah studio untuk menciptakan fighting game berbasis League of Legends.

Perusahaan-perusahaan developer juga semakin berani melakukan hal-hal “gila” dalam fighting game bikinan mereka. Siapa yang menyangka bakal ada karakter Final Fantasy muncul di Tekken, atau Terminator muncul di Mortal Kombat? Karakter di Super Smash Bros. Ultimate jumlahnya sudah seperti Suikoden saja, BlazBlue: Cross Tag Battle punya karakter yang literally berbentuk sebuah tank, dan kalau Anda menganggap Wii U sebagai anggota console generasi kedelapan, maka di generasi ini pula para kreator Tekken telah menciptakan fighting game kompetitif dengan tema Pokémon.

Dibandingkan dengan kondisi satu dekade lalu, dunia fighting game di era ini telah berubah jadi jauh lebih seru dan lebih menarik. Rasanya saya tidak akan kaget lagi melihat pengumuman apa pun yang muncul dari dunia fighting game karena sudah terlalu banyak yang nyeleneh. Yang bisa membuat saya terkejut mungkin hanya bila Capcom memasukkan karakter-karakter playable seri Rival Schools ke Street Fighter V, tapi kita sama-sama tahu hal itu tidak akan terjadi.

Berebut panggung kompetisi

Fighting game is growing, katanya. Pasar fighting game sedang tumbuh. Hal ini rasanya telah menjadi konsensus di diskusi mana pun. Tapi kemudian yang jadi pertanyaan adalah, sebetulnya tumbuhnya sebesar apa? Kita bisa melihat pertumbuhan ini dari dua sisi. Pertama, dari sisi peminat fighting game secara kompetitif. Dan kedua, dari sisi jumlah pemain secara keseluruhan (kompetitif dan kasual).

Untuk mengukur minat kompetitif, kita bisa menggunakan jumlah pengunjung dan kompetitor EVO yang merupakan ajang fighting game terbesar dunia sebagai benchmark. Menelusuri perkembangan EVO selama tiga tahun terakhir, kita dapat menemukan bahwa:

  • EVO 2017 dihadiri 6.812 kompetitor dan 8.964 pengunjung
  • EVO 2018 dihadiri 7.437 kompetitor dan 10.541 pengunjung
  • EVO 2019 dihadiri 9.234 kompetitor, belum ada info jumlah pengunjung

Perlu diingat bahwa angka di atas ada jumlah kompetitor unik yang berpartisipasi dalam seluruh event, jadi jumlahnya akan berbeda dengan jumlah kompetitor yang tercatat per game, misalnya dalam artikel berikut. Ini karena pemain fighting game kerap kali mengikuti lebih dari satu cabang kompetisi. Angka-angka ini juga hanya mencakup kompetitor di cabang pertandingan utama, tidak termasuk side tournament.

Sumber angka-angka di atas adalah pernyataan resmi yang dirilis oleh pihak EVO dan pencatatan di smash.gg, jadi mungkin saja terdapat perbedaan data dengan data milik pihak ketiga, misalnya One Frame Link. Namun perbedaannya tidak akan terlalu banyak.

Angka-angka di atas menunjukkan bahwa peminat fighting game kompetitif memang terus meningkat setiap tahunnya, dengan angka peningkatan kurang lebih 9% di tahun 2018 dan 24% di tahun 2019. Bila dibandingkan ke belakang lagi, misalnya EVO 2012, pertumbuhannya akan terlihat lebih drastis. Jumlah pengunjung tahun tersebut hanya sekitar 5.000 orang, dan partisipannya hanya sekitar 3.500 orang.

EVO 2019 - Hosts
Wajah-wajah familier di panel EVO, Sajam, Tasty Steve, dan Tom Cannon | Sumber: Robert Paul via EVO

Selain jumlah kompetitor/partisipan, hal lain dari EVO yang bisa kita jadikan benchmark adalah jumlah game yang dipertandingkan, dan game apa saja yang dipertandingkan. Meskipun mungkin ada kaitannya juga dengan perjanjian bisnis antara pihak EVO dengan para sponsor, muncul atau tidaknya sebuah game di EVO memberikan gambaran apakah ekosistem game tersebut sehat atau tidak.

Sejak tahun 2013, EVO umumnya mempertandingkan 9 judul game di panggung utama. Akan tetapi angka ini sempat turun menjadi 8 di tahun 2014 dan 2018. Selain itu, perubahan dari tahun 2018 ke 2019 juga menunjukkan hal yang menarik. Mari kita lihat bersama di bawah.

Perubahan EVO 2013 ke EVO 2014:

  • Super Street Fighter IV: Arcade Edition diganti Ultra Street Fighter IV
  • Ultimate Marvel v. Capcom 3 tetap ada
  • Super Smash Bros. Melee tetap ada
  • Injustice: Gods Among Us tetap ada
  • Street Fighter x Tekken dihapus
  • The King of Fighters XIII tetap ada
  • Persona 4 Arena diganti BlazBlue: Chronophantasma
  • Tekken Tag Tournament 2 tetap ada
  • Mortal Kombat 9 diganti Killer Instinct

Perubahan EVO 2017 ke EVO 2018:

  • Street Fighter V diganti Street Fighter V: Arcade Edition
  • Super Smash Bros. for Wii U tetap ada
  • Super Smash Bros. Melee tetap ada
  • Tekken 7 tetap ada
  • Injustice 2 tetap ada
  • Guilty Gear Xrd REV 2 tetap ada
  • Ultimate Marvel vs. Capcom 3 dihapus
  • BlazBlue: Central Fiction diganti BlazBlue: Cross Tag Battle
  • The King of Fighters XIV dihapus
  • Penambahan DragonBall FighterZ

Perubahan EVO 2018 ke EVO 2019:

  • DragonBall FighterZ tetap ada
  • Street Fighter V: Arcade Edition tetap ada
  • Tekken 7 tetap ada
  • Super Smash Bros. for Wii U diganti Super Smash Bros. Ultimate
  • Super Smash Bros. Melee dihapus
  • BlazBlue: Cross Tag Battle tetap ada
  • Guilty Gear Xrd REV 2 dihapus
  • Injustice 2 diganti Mortal Kombat 11
  • Penambahan Samurai Shodown
  • Penambahan Soulcalibur VI
  • Penambahan Under Night In-Birth Exe: Late[st]

Ketika sebuah game dihapus dari daftar EVO, biasanya itu berarti telah terjadi satu di antara dua kemungkinan. Pertama, developer game tersebut telah merilis judul lain atau sekuel yang lebih baru. Contohnya Persona 4 Arena dan BlazBlue: Chronophantasma yang sama-sama dikembangkan oleh Arc System Works, atau Mortal Kombat 9 dan Killer Instinct yang dibuat oleh NetherRealm Studios. Kemungkinan kedua adalah komunitas game tersebut telah menyusut cukup jauh, sehingga diperkirakan bila game itu tampil di EVO maka peminatnya akan kurang, misalnya Street Fighter x Tekken yang sudah ada sejak EVO 2012 dan di tahun 2014 belum ada pengganti/sekuelnya.

Akan tetapi EVO 2018 cukup menimbulkan kehebohan karena hanya mempertandingkan 8 game, padahal saat itu ada fighting game yang baru keluar: Marvel vs. Capcom Infinite. Seharusnya game ini menjadi pengganti dari Ultimate Marvel vs. Capcom 3, akan tetapi pihak EVO memilih tidak mengikutsertakannya. Alasannya adalah karena Marvel vs. Capcom Infinite mendapat penerimaan yang buruk di kalangan gamer, dan pada saat berdekatan muncul game lain dengan gaya permainan sangat mirip (2D tag team fighting) yaitu Dragon Ball FighterZ.

EVO 2019 lebih “ramai” lagi kasusnya, dan mungkin bisa dibilang agak lucu. Ini adalah tahun di mana saking banyaknya judul fighting game beredar di pasaran, EVO sampai harus menghapus game yang masih memiliki komunitas sangat besar: Super Smash Bros. Melee. EVO 2019 juga tidak mempertandingkan Dead or Alive 6 setelah kasus “pornoaksi” yang mereka anggap tidak sesuai dengan identitas brand EVO, padahal Dead or Alive 6 baru saja dirilis dan merupakan franchise yang cukup besar juga.

Sebagai gantinya, EVO 2019 menampilkan tiga game baru sekaligus yang tidak ada di tahun sebelumnya, yaitu Soulcalibur VI, Samurai Shodown, dan Under Night In-Birth Exe: Late[st] (UNIST). Bila kita mengikutsertakan Dead or Alive 6, artinya dalam rentang waktu satu tahun antara EVO 2018 ke EVO 2019 telah terbit empat judul baru yang kesemuanya berpotensi punya basis massa besar. Tiga di antaranya bahkan merupakan franchise senior di dunia fighting game.

Itu pun sebetulnya belum semua. Masih ada game lain yang berpotensi tampil di EVO, yang juga muncul dalam rentang waktu tersebut, yaitu Fighting EX Layer. Dibuat oleh Arika yang sudah menciptakan fighting game sejak 1995, Fighting EX Layer memiliki gameplay yang kompetitif dan karakter-karakter yang menarik, namun sayangnya penjualan game ini tidak mencapai target yang diinginkan para developernya. Meski tidak banyak dihujat seperti Marvel vs. Capcom Infinite, mungkin inilah alasan mengapa Fighting EX Layer tidak tampil di EVO.

Tren banyaknya fighting game ini tampaknya masih akan terus berlanjut setidaknya hingga tahun 2020 nanti. EVO 2020 sudah mengumumkan lima game yang akan dipertandingkan, yaitu BlazBlue: Cross Tag Battle, Samurai Shodown, Super Smash Bros. Ultimate, Soulcalibur VI, dan Tekken 7. Sisa 4 slot lagi masih bisa diisi siapa saja, entah game lama atau game baru.

Ada setidaknya 4 fighting game baru yang berpotensi untuk dirilis di tahun 2020, yaitu Under Night In-Birth Exe: Late[cl-r] (UNICLR), Granblue Fantasy Versus, Guilty Gear Strive, dan The King of Fighters XV. Street Fighter V, meskipun belum diumumkan resmi, tampaknya tidak akan tergeser dari panggung utama EVO, dan ada rumor bahwa Capcom akan meluncurkan versi baru yang disebut Street Fighter V: Tournament Edition (sekarang telah resmi diumumkan sebagai Street Fighter V: Champion Edition). Artinya tinggal 3 slot yang tersisa. UNICLR, Granblue Fantasy Versus, KOF XV, dan Guilty Gear Strive bisa jadi harus berebut 3 slot tersebut melawan Mortal Kombat 11 dan Dragon Ball FighterZ yang usianya juga masih relatif muda.

Memang EVO bukan satu-satunya panggung kompetisi bagi fighting game. Masih banyak turnamen besar lain berskala global, seperti Combo Breaker, CEO, dan sebagainya. Ditambah lagi, para penerbit/developer game bisa saja meluncurkan sirkuit kompetisi sendiri. Dead or Alive 6, walaupun tidak masuk EVO, punya sirkuit sendiri bernama Dead or Alive 6 World Championship. The King of Fighters dan Samurai Shodown juga memiliki kompetisi global SNK World Championship. Sementara Arc System Works sudah lama menjalankan turnamen yang bernama ArcRevo World Tour.

Akan tetapi turnamen-turnamen seperti ini skalanya jauh lebih kecil dari EVO, sehingga tidak bisa memberikan exposure yang setara pada game tersebut. Uang hadiah yang ditawarkan pada kontestan pun jumlahnya lebih rendah. EVO saat ini sudah merupakan semacam kiblat yang menentukan tren di dunia fighting game kompetitif, jadi game yang muncul di turnamen-turnamen third party pun tidak akan jauh berbeda dari lineup EVO.

Sebuah game yang sangat populer dan/atau disokong oleh penerbit besar bisa jadi akan menciptakan ekosistem kompetitif yang mandiri dan sustainable, seperti Capcom Pro Tour atau Tekken World Tour. Tapi tidak semua game bisa seperti itu. Lebih sering, sebuah judul fighting game harus rela “berbagi pasar” dengan game lain. Sebuah game yang saat ini populer, bisa saja tiba-tiba jadi sepi begitu muncul judul baru yang tak kalah menarik. Dragon Ball FighterZ saja, yang laku keras hingga 4 juta kopi di pasaran, kehilangan lebih dari 50% kompetitor mereka dari EVO 2018 ke EVO 2019. Apalagi game lain yang punya fanbase lebih kecil.

Combo Breaker 2019 - Mortal Kombat 11
Game di turnamen fighting game umumnya tak jauh beda dari EVO | Sumber: Thomas Tischio via Combo Breaker

Fighting game tak harus esports

Apakah ini berarti pasar fighting game saat ini sudah terlalu ramai, dan sudah waktunya bagi para developer untuk “menginjak rem”? Sebetulnya ini pertanyaan yang agak sulit, dan tergantung dari kepentingannya, jawaban seseorang akan berbeda-beda. Bila kita berbicara spesifik tentang keterlibatan fighting game dalam esports, misalnya, maka kemungkinan jawabannya adalah ya.

Jumlah fighting game yang demikian banyak membuat para tournament organizer (TO) kesulitan untuk memfasilitasi semuanya. Jumlah pemain fighting game secara umum memang meningkat, tapi peningkatannya tidak sampai membuat genre ini membludak seperti Fortnite atau PUBG. Itu pun tidak semua pemain fighting game berminat bermain secara kompetitif. Banyak di antara mereka yang lebih suka bermain kasual saja, jadi peningkatan penjualan game belum tentu dibarengi dengan peningkatan jumlah peminat/pemain esports di dalamnya.

Peningkatan yang selama ini terjadi bukanlah meningkatkan status genre fighting game dari niche menjadi mainstream, tapi sekadar dari niche menjadi niche yang sedikit lebih besar. Ada beberapa game yang bisa menjaring pemain dalam jumlah banyak, misalnya Super Smash Bros., Street Fighter, atau Tekken. Namun kebanyakan dari mereka adalah pemain kasual, hanya sedikit sekali yang berubah menjadi pemain kompetitif.

Bram Arman, seorang TO yang cukup senior dari komunitas Advance Guard, menyebutkan bahwa perkembangan judul atau intellectual property (IP) fighting game yang belakangan semakin banyak itu seperti menggali kubur sendiri. “Dari sisi demografik sebenarnya numbers of fighting games players sendiri pertumbuhannya memang bisa dibilang sedikit sekali. Karena untuk konversi (membuat seseorang mau membeli fighting game) itu memang harus ada keinginan dari individu itu sendiri,” ujarnya, “Memang dengan adanya suatu turnamen, pameran, itu membantu penetrasi. Tapi jumlah yang terkonversi menurut analisa saya sedikit sekali.”

Bram juga menyoroti jadwal perilisan judul-judul fighting game, IP baru ataupun sekuel, yang relatif berdekatan satu sama lain. Alih-alih menggaet pemain baru, ujung-ujungnya pembelinya adalah orang-orang yang sama juga, yang selama ini sudah menggemari genre fighting dan sudah malang-melintang bermain berbagai judul fighting game. Jadi banyaknya judul game yang laris bukan berarti jumlah pemainnya bertambah. Bisa jadi itu hanya berarti setiap pemain mau mengeluarkan uang lebih banyak untuk membeli game.

Bram memberi contoh Granblue Fantasy Versus dan Guilty Gear yang akan terbit tahun 2020 nanti. Menurutnya, dua game ini nantinya akan dimainkan oleh komunitas yang sama, yaitu komunitas penggemar “anime fighters”. Sementara untuk menarik penggemar dari luar komunitas ini, hanya bisa kembali lagi ke minat masing-masing orang. Bram merasa bahwa para developer fighting game harus lebih pandai mencari perhatian pasar dengan cara yang lebih menarik lagi.

Granblue Fantasy Versus - Screenshot
Granblue Fantasy Versus, target pasarnya ditengarai akan sama dengan Guilty Gear | Sumber: Dual Pixels

Di sisi lain, Jason Nuryadin dari komunitas Drop the Cap berpendapat bahwa meningkatnya jumlah fighting game adalah hal yang baik, karena itu akan mendorong para developer untuk meningkatkan kualitas agar mereka mampu bersaing di pasar. Namun ini juga akan memberikan sedikit dampak buruk, yaitu membuat komunitas jadi lebih terpecah dari sebelumnya. “Tapi kembali lagi ke nature FGC (fighting games community) di mana pemain fighting game kebanyakan main lebih dari 1 game, kurasa itu bukan masalah berat,” paparnya.

Jason menyebut generasi ini sebagai masa renaissance dalam fighting game, tapi masih belum tepat jika dikatakan overcrowded. Menurutnya, kini genre fighting telah berubah dari sekadar “product to play” menjadi juga “product to watch” karena adanya esports. Hal ini turut membantu fighting game berkembang dengan baik.

Akan tetapi ia merasa bahwa esports ini pun sebenarnya hanya bisa tumbuh bila ada peran komunitas. Memang sejak dulu ekosistem kompetitif fighting game selalu berasal dari gerakan-gerakan akar rumput. EVO yang kini jadi event raksasa pun pada awalnya tumbuh dari event antar komunitas, bukan serta-merta muncul karena ada sponsor yang menggelontorkan dana besar-besaran.

Supaya komunitas itu bisa tumbuh subur, Jason ingin para developer bisa memberikan core gameplay serta dukungan yang baik dalam fighting game milik mereka. “Apakah core gameplay dari game tersebut well-beloved juga, dan apakah support dari developer juga ada (seperti prize pool dan lain-lain). Tapi kita ga bisa doubt, yang namanya esports itu salah satu strategi ampuh buat developer investasi ke fighting game, walau penuh risiko,” papar Jason.

Gelud - Gathering
Gelud ingin merangkul penggemar segala fighting game | Sumber: Gelud – Fighting Games Enthusiasts

Sementara itu, Mahessa Ramadhana dari komunitas Gelud – Fighting Game Enthusiasts (dulunya Fighting Game Enthusiasts Bandung) berkata bahwa jumlah game yang semakin banyak ini memang sedikit merepotkan. “Kalau dari komunitas, Gelud agak ribet karena Gelud mau cover berbagai judul fighting game. Jadi susahnya pas gathering sering bingung, mau game apa aja yang dipasang,” paparnya.

Tapi itu hanya masalah dari sudut pandang pegiat komunitas saja. Menurut Mahessa, secara umum banyaknya judul fighting game ini bukan masalah karena kebanyakan pemain fighting game (FG) ujung-ujungnya hanya akan main beberapa judul besar saja. “Kebanyakan judul-judul FG sekarang judul-judul kecil, dan judul-judul kecil ini biasanya yang main emang penggemar game-game niche. Penggemar game-game niche tendensinya main segala macam game, jadi ga begitu kepecah juga,” kata Mahessa.

Ia melanjutkan, “Kalau ada fragmentasi, lebih kerasa fragmentasi karena banyak pilihan, jadi orang-orang pilih yang pas sama dia. Yang nggak pas dia ga main. Jadi mungkin malah efeknya positif, orang-orang jadi lebih gampang nemu game yang emang dia suka.” Pendapat Mahessa ini serupa dengan apa yang dikatakan oleh YouTuber fighting game terkenal Maximilian Dood, yaitu bahwa daripada oversaturation atau overcrowded, kondisi dunia fighting game saat ini lebih tepat dibilang, “Kita sekarang jadi punya pilihan.”

Demi kesenangan, atau demi penghasilan?

Mungkin satu hal yang kita tidak boleh salah kaprah, adalah tentang seberapa besar potensi finansial yang ada di ekosistem fighting game kompetitif. Perkara uang ini sebetulnya topik cukup sensitif yang telah membuat komunitas fighting game global terpecah-belah.

Ada yang memandang esports fighting game sebagai bisnis menjanjikan, lalu lupa bahwa komunitasnya—yang sudah berusia puluhan tahun—punya nilai-nilai yang mesti dijaga. Ada yang melihat pertumbuhan event yang belakangan semakin besar, kemudian menuntut agar TO memberi kompensasi lebih pada para partisipan. Ada yang merasa bahwa kompensasi tambahan itu tidak perlu, karena selama ini TO sudah banyak berkorban kerja suka rela. Ada yang bercita-cita hidup sebagai atlet fighting game profesional, tapi para atlet yang mereka idolakan justru berkata, jangan masuk esports fighting game kalau tujuanmu adalah mencari uang.

Transisi ekosistem fighting game dari dunia kompetitif grassroot menjadi esports profesional menimbulkan berbagai konflik dan perbedaan pendapat. Terkadang sedih juga melihatnya, apalagi bila level konfliknya bukan orang lawan orang tapi sudah antar organisasi yang punya pengaruh luas. Dan sebetulnya kalau dipikir-pikir, argumen-argumen yang berlawanan itu semuanya bisa terasa benar, tergantung dari kita berada di posisi mana dan punya kepentingan apa.

Memang betul bahwa ada peluang di dunia esports fighting game. Namun dikatakan “besar” pun, sebetulnya pasarnya masih jauh lebih kecil dibandingkan cabang-cabang esports lainnya. Karakteristik para stakeholder dan pasarnya pun berbeda dengan, misalnya, ekosistem MOBA atau battle royale.

Super Smash Bros. Ultimate, pemecah rekor fighting game tersukses sepanjang masa, mungkin terlihat besar dengan angka penjualan sebesar 15 juta kopi. Bila harga 1 kopi game adalah US$60, itu artinya Super Smash Bros. Ultimate meraup revenue sebesar US$900.000.000. Revenue fighting game terlaris sepanjang masa masih lebih kecil dibandingkan penghasilan PUBG sepanjang tahun 2018 saja, yang sudah menembus angka miliaran dolar.

Judul fighting game yang dianggap mainstream seperti Street Fighter V dan Tekken 7, sebetulnya “hanya” punya angka penjualan sekitar 4 juta kopi saja. Dibandingkan beberapa cabang esports lain di luar sana, pasar fighting game masih merupakan “kue kecil”. Seperti sus atau donat mini, enak dan manis memang, tapi bila semua orang berebut maka tidak akan ada yang kenyang.

Saya rasa apa yang dibutuhkan oleh ekosistem esports fighting game kali ini adalah keseimbangan antara diskusi, partisipasi, dan ekspektasi. Pihak-pihak yang punya kepentingan seyogyanya duduk bersama untuk mencari seperti apa jalan keluar yang lebih baik. Pelaku-pelaku industri esports perlu lebih mendengarkan kebutuhan komunitas karena merekalah yang selama ini banyak bekerja keras untuk menyuburkan ekosistem ini. Dan terakhir, mencari keuntungan lewat esports fighting game itu sah-sah saja, tapi mereka yang mengambil jalan ini juga harus sadar bahwa sebetulnya pasar fighting game—kompetitif maupun kasual—belum sebesar itu.

Sepuluh atau dua puluh tahun lalu, mungkin semua orang bisa setuju bahwa keaktifan di ekosistem fighting game adalah pencurahan passion semata. Tapi kini hal itu mulai berubah. Pemain, TO, investor, pelan-pelan semua stakeholder mulai mengharap ada sesuatu yang bisa didapat sebagai imbalan atas kerja keras mereka, dan itu wajar. Asal ingat saja, untuk tidak meminta lebih dari kue yang sedang terhidang di atas meja.

Sumber Header: Timothy Kauffman

Pringles Turut Meriahkan DreamHack Winter 2019 Sebagai Festival Partner

Popularitas esports dewasa ini mendorong banyak brand non-endemic untuk terjun ke dalamnya dan menunjukkan dukungan. Menurut laporan Nielsen, partisipasi brand non-endemic bahkan mencapai hampir 50% dari keseluruhan sponsorship esports pada tahun 2018. Mereka datang dari berbagai macam cabang industri, dari otomotif, e-commerce, bank, hingga mungkin yang paling umum, industri makanan dan minuman.

Di antara sponsor-sponsor non-endemic itu, ada satu brand yang punya posisi cukup menarik, yaitu Pringles. Brand keripik kentang yang berada di bawah naungan Kellogg’s itu sangat gencar mendukung esports, bahkan mereka ingin dipandang sebagai sebuah brand endemic. Pringles ingin menjadi bagian natural dari komunitas esports, sebagaimana diungkapkan oleh Toan Nguyen pada bulan Maret 2019 lalu.

Untuk mewujudkan hal itu, Pringles telah menjalin kerja sama dengan ESL yang meliputi berbagai event sepanjang tahun 2019. Tapi sebetulnya tidak hanya ESL, Pringles juga berkolaborasi dengan pihak organizer lain, misalnya DreamHack. Baru-baru ini, organizer yang berbasis di Swedia tersebut mengumumkan bahwa Pringles akan menjadi Festival Partner dalam acara DreamHack Winter 2019.

“Kami bangga Pringles memutuskan untuk berpartner dengan kami seiring mereka mengincar perkembangan aktivasi gaming dan esports. Tidak ada keraguan bahwa Pringles adalah brand yang kuat di wilayah makanan ringan, menjadikan dua perusahaan kami pasangan yang sangat cocok, dan kami yakin para pengunjung DreamHack Winter akan sama senangnya,” demikian ujar Marcus Lindmark, Co-CEO DreamHack, dilansir dari Esports Insider.

https://twitter.com/DreamHack/status/1177606378275426304

Sebagai hasil kolaborasi itu, DreamHack meluncurkan landing page berisi kompetisi bernama Fan Can Art. Para penggemar bisa mengunduh sebuah template untuk merancang desain kaleng Pringles mereka sendiri dan mengikutkannya dalam kompetisi. Pemenang kompetisi itu akan memperoleh hadiah berupa PS4 serta seperangkat produk. Seluruh partisipan juga akan mendapat diskon 10% untuk tiket Day Pass di DreamHack Winter.

Secara fisik, Pringles akan hadir dalam acara DreamHack Winter 2019 dengan booth bernama “Pop, Play, Eat”. Para pengunjung bisa mendapatkan berbagai macam hiburan di sana. Menurut Hend Hassona, Market Activation Manager di Pringles, kolaborasi dengan DreamHack Winter ini menunjukkan betapa pentingnya komunitas esports dan gaming di mata Pringles.

DreamHack Winter 2019 - BYOC Tournaments
DreamHack Winter 2019 memfasilitasi sejumlah turnamen BYOC (Bring Your Own Computer) | Sumber: DreamHack

DreamHack Winter 2019 itu sendiri akan digelar pada tanggal 29 November – 1 Desember 2019 di Jönköping, Swedia. Termasuk di dalamnya adalah kompetisi Fortnite berhadiah US$250.000, turnamen CS:GO DreamHack Open 2019, turnamen Super Smash Bros. Ultimate European Circuit, dan lain-lain. Di samping itu event ini juga memfasilitasi turnamen BYOC (Bring Your Own Computer) untuk sejumlah game populer, seperti Rocket League, Magic the Gathering: Arena, hingga Minecraft. Anda dapat membaca info lebih lengkap tentang event ini di situs resmi DreamHack Winter 2019.

Sumber: Esports Insider, DreamHack

All-Star eSports League Mau Adakan Liga Esports Gratis untuk Siswa SMA

Esports kini semakin diakui sebagai olahraga. Pada Desember lalu, esports diumumkan sebagai salah satu cabang resmi SEA Games 2019. Sama seperti olahraga tradisional, regenerasi adalah hal yang sangat penting di esports. Para atlet esports berbakat tak serta-merta muncul begitu saja. Di Indonesia, ada High School League (HSL) yang ditujukan untuk siswa SMA dan setingkat serta Indonesia eSports League (IEL) untuk tingkat mahasiswa. Jordan Zietz melihat perkembangan esports sebagai kesempatan untuk berbisnis. Dia membuat All-Star eSports League, yang bertujuan untuk mengadakan turnamen esports di tingkat SMA di Amerika Serikat. Liga ini menawarkan tiga game, yaitu Fortnite, Overwatch, dan Super Smash Bros. Ultimate.

Zietz baru saja mendapatkan kucuran dana dari Eric Bensussen, President PowerA, perusahaan pembuat game controller. Meski tidak disebutkan berapa jumlah investasi itu, menurut laporan VentureBeat, dana investasi tersebut mencapai jutaan dollar. Dana itu akan digunakan untuk mempublikasikan keberadaan liga SMA ini dan juga meningkatkan jumlah partisipan. Selain itu, dana ini juga akan digunakan untuk menambah total hadiah yang ditawarkan All-Star eSports League. Zietz mengatakan, total hadiah liga tersebut mencapai US$1 juta dalam bentuk beasiswa, komputer, perangkat gaming, dan hadiah lainnya.

“Banyak sekolah yang bertanya tentang cara untuk mendorong siswa mereka terlibat dalam esports, terutama siswa yang saat ini tidak mengikuti kegiatan ekstrakurikuler apapun,” kata Zietz, dikutip dari VentureBeat. “Sebagian orang yang tak terlalu kuat secara fisik tak bisa sukses di olahraga. Dulu, saya sering mengalami cedera di SMA. Saya mencoba untuk bermain american football, lacrosse, dan saya juga mencoba mendayung. Dengkul, mata kaki, dan punggung saya pernah patah. Saya pernah mengalami berbagai cedera. Jadi, pada akhirnya saya memutuskan bahwa olahraga tidak cocok untuk saya.” Beberapa awktu lalu, Extreme Networks dan eCampus News membuat laporan yang menyebutkan, keberadaan program esports di sekolah mendorong para siswa untuk lebih rajin ke sekolah.

Sumber: All-Star eSports League via VentureBeat
CEO Jordan Zietz. Sumber: All-Star eSports League via VentureBeat

Zietz berkata, All-Star eSports League tumbuh dengan cepat dalam waktu enam bulan belakangan. Saat ini, dia menyebutkan, telah ada 5.000 tim yang ikut serta dalam platform buatannya. “Tujuan utama saya sekarang adalah menjangkau sekolah sebanyak-banyaknya,” ujarnya. Keluarga Zietz memang terbiasa berwirausaha. Sang kakak, Rachel Zietz, membuat perusahaan pertamanya ketika dia berumur 13 tahun. Sementara Jordan Zietz membuat perusahaan pertamanya, sebuah perusahaan persewaan game, saat dia berumur 12 tahun. Dia juga sempat untuk membuat perusahaan virtual reality sebelum dia memutuskan untuk fokus di esports.

“Saya selalu tertarik dengan olahraga dan gaming, tapi saya senang bisa bekerja sama dengan Jordan karena dia membawa semangat ini ke tingkat yang lebih serius. Dia benar-benar peduli dengan apa yang dia lakukan, dan saya pikir, inilah yang membuat perusahaan terus sukses,” kata Bensussen.

Zietz bukan satu-satunya orang yang tertarik untuk menyelenggarakan liga esports di tingkat SMA. Ialah Delane Parnell, yang membuat platform PlayVS. Belum lama ini, PlayVS mengumumkan bahwa mereka juga telah mendapatkan kucuran dana. Namun, Zietz mengatakan, platform-nya berbeda dengan PlayVS, yang mengharuskan para peserta membayar untuk bisa bertanding. All-Star eSports League milik Zietz gratis. “Mereka meminta bayaran pada para peserta, sementara kami tidak. Karena kami percaya, hal ini membuat pemain berbakat tidak bisa menunjukkan kemampuan mereka,” kata Zietz. “Sebagai siswa dan gamer, saya percaya, semua orang harus bisa berpartisipasi dan sistem PlayVS itu diskriminatif.”

Universitas di California Tawarkan Beasiswa untuk Pemain Super Smash Bros.

Video game dan pendidikan terkadang masih dipandang sebagai dua hal yang saling bertentangan, padahal sebetulnya tidak harus seperti itu. Dengan semakin menyebarnya popularitas esports di kalangan pelajar, kini beberapa lembaga pendidikan sudah mulai memberi dukungan bagi mereka yang berprestasi dalam video game kompetitif. Contoh lembaga yang melakukannya adalah University of California, Irvine (UCI).

Dilansir dari Esports Insider, UCI berencana untuk memberikan beasiswa bagi pemain Super Smash Bros. Ultimate di tahun akademik 2019 – 2020. Para mahasiswa yang saat ini menempuh pendidikan di UCI bisa meraih beasiswa tersebut dalam sebuah ujian tryout  di bulan Oktober nanti. Ujian tersebut akan diadakan di UCI Esports Arena, fasilitas gaming/esports di UCI yang terwujud berkat kerja sama dengan perusahaan PC gaming iBUYPOWER di tahun 2016.

CSL - Super Smash Bros 1
Sumber: CSL

“Komunitas Smash di UCI adalah salah satu klub gaming yang terbesar dan paling bersemangat di kampus,” ujar Mark Deppe, Director of UCI Esports, “Kami beruntung bisa menawarkan beasiswa untuk para pemain League of Legends dan Overwatch. Ketika ada donatur muncul dengan keinginan untuk mendukung salah satu game favoritnya, kami tahu ini adalah sesuatu yang harus kami kejar untuk menciptakan lebih banyak oportunitas bagi komunitas pelajar gaming Super Smash Bros. Ultimate.”

Donatur yang disebutkan Deppe adalah para pemilik Street Media, perusahaan yang menaungi beberapa media seperti Irvine Weekly dan LA Weekly. Mereka menyediakan dana hingga US$50.000 yang akan dibagi ke 6 mahasiswa, masing-masing mendapat US$6.000. Sisa dananya akan digunakan untuk keperluan administrasi program ini.

CSL - Super Smash Bros 2
Sumber: CSL

Para mahasiswa yang mendapat beasiswa juga akan dibebani dengan beberapa kewajiban. Misalnya, mereka harus berkomitmen mengikuti latihan Super Smash Bros. Ultimate sebanyak 10 – 15 jam per minggu. Para penerima beasiswa juga diharuskan memiliki nilai GPA kumulatif di atas 2.0 dan mengikuti aturan-aturan lain yang ada di UCI.

Prestasi UCI di dunia esports sendiri tergolong sudah cukup mentereng. Tim League of Legends UCI tahun lalu berhasil menjuarai National College Championship dan terbang mewakili wilayah Amerika Utara dalam kompetisi International College Cup. Februari lalu, dua tim UCI juga bertanding di turnamen Collegiate Starleague cabang Super Smash Bros. dan berhasil maju ke babak kualifikasi divisi.

“Saya rasa banyak orang yang memandang UCI sebagai pemimpin dan investasi ini dapat meyakinkan sekolah-sekolah lain bahwa Smash adalah esports top-tier yang patut dipertimbangkan. Mudah-mudahan masuknya kami bisa mendorong pihak-pihak lain untuk melirik (Smash) dan membantu menumbuhkan ekosistemnya,” demikian ujar Deppe dalam sebuah wawancara dengan CSL.

Super Smash Bros. memang sudah lama dikenal sebagai cabang fighting game yang punya komunitas kuat. Bahkan tanpa dukungan resmi dari Nintendo, ekosistem esports di akar rumput untuk Super Smash Bros. Melee telah tumbuh subur dan hingga kini menolak untuk mati. Game terbarunya, Super Smash Bros. Ultimate, bahkan mencetak jumlah partisipan tertinggi ajang turnamen dunia EVO 2019. Semoga saja Super Smash Bros. bisa lebih populer sehingga membuka lebih banyak kesempatan bagi mereka yang ingin berkarier secara profesional di dalamnya.

Sumber: Esports Insider, Collegiate Starleague, UCI Esports

Inilah Hasil Lengkap Seluruh Cabang Pertandingan Utama di EVO 2019

Festival dan kompetisi fighting game terbesar di dunia tahun ini, EVO 2019, baru saja selesai. Berbagai pertarungan seru dan drama menghiasi Mandalay Bay, Las Vegas, pada tanggal 2 – 4 Agustus (5 Agustus waktu Indonesia) kemarin, menjadikannya akhir pekan yang tak terlupakan bagi banyak orang. Bila Anda penggemar genre fighting game yang sempat menonton siaran pertandingan tersebut, tentu Anda tahu bagaimana hebohnya acara ini, terutama di beberapa cabang pertandingan yang memang sangat hype.

Kini para juara dunia telah ditetapkan, masing-masing pulang membawa hadiah tersendiri serta kebanggaan. Siapa saja mereka, dan bagaimana perjuangan mereka mendaki tangga kejuaraan EVO yang sangat kompetitif? Langsung saja simak di bawah.

Tekken 7

EVO 2019 - Tekken 7 Champion
Sumber: Stephanie Lindgren/EVO

EVO cabang Tekken tahun ini mempertontonkan rivalitas antara dua “dewa” Tekken dunia, yaitu Knee dari Korea Selatan dan Arslan Ash dari Pakistan. Arslan Ash yang awal 2019 lalu menjadi juara EVO Japan 2019, melawan Knee yang merupakan juara EVO 2018. Hasilnya adalah pertarungan epik, diakhiri dengan Arslan Ash yang melakukan sujud syukur di panggung EVO setelah menumbangkan Knee. Arslan Ash jadi pemain pertama dunia yang memegang gelar EVO dan EVO Japan sekaligus!

Peringkat Top 8 EVO 2019 Tekken 7:

  • Juara 1: Team vSlash | Arslan Ash
  • Juara 2: ROX Dragons | Knee
  • Juara 3: Red Bull | Anakin
  • Juara 4: Yamasa | Take
  • Juara 5: Yamasa | Nobi
  • Juara 5: COOASGAMES | Noroma
  • Juara 7: THY | Chikurin
  • Juara 7: UYU | LowHigh

Street Fighter V: Arcade Edition

EVO 2019 - SFV Champion
Sumber: Bonchan

Setelah menjuarai CEO 2019 dan VSFighting 2019 kemarin, nama Bonchan langsung melejit jadi pemain yang difavoritkan untuk menjuarain EVO. Ekspektasi tersebut dijawab kontan oleh Bonchan dengan permainan Sagat dan Karin yang luar biasa. Pemain bernama asli Masato Takahashi ini sudah lama dipandang sebagai salah satu pemain Street Fighter terkuat di Jepang, namun baru kali ini ia membuktikannya dengan meraih trofi juara dunia EVO.

Peringkat Top 8 EVO 2019 Street Fighter V: Arcade Edition:

  • Juara 1: Red Bull | Bonchan
  • Juara 2: Nasr eSports | BigBird
  • Juara 3: Cygames | Infexious
  • Juara 4: Fudoh | Fujimura
  • Juara 5: iDom
  • Juara 5: Yoshimoto Gaming | Machabo
  • Juara 7: AZ | Kichipa-mu
  • Juara 7: ALUS | YangMian

Dragon Ball FighterZ

EVO 2019 - DBFZ Champion
Sumber: Stephanie Lindgren/EVO

Kazunoko yang jadi juara Dragon Ball FighterZ World Tour 2018/2019 ternyata harus puas terhenti di peringkat Top 8. Sebagai gantinya, babak Grand Final kali ini adalah runback (tanding ulang) dari EVO 2018 antara GO1 melawan SonicFox. Tahun lalu SonicFox jadi juaranya, tapi tahun ini GO1 berhasil membalas kekalahan tersebut dan meraih gelar EVO untuk pertama kalinya. Begitu seru dan penuh emosi pertandingan ini sampai-sampai setelahnya GO1 langsung tak kuasa menahan air mata.

Peringkat Top 8 EVO 2019 Dragon Ball FighterZ:

  • Juara 1: Cyclops Athlete Gaming | GO1
  • Juara 2: Echo Fox | SonicFox
  • Juara 3: Cyclops Athlete Gaming | Fenritti
  • Juara 4: Vodafone Giants | Shanks
  • Juara 5: HiroHiro
  • Juara 5: Jumper7b
  • Juara 7: Evil Geniuses | NYChrisG
  • Juara 7: Burning Core | Kazunoko

Samurai Shodown

EVO 2019 - SamSho Champion
Sumber: Famitsu

Cabang Samurai Shodown di EVO 2019 benar-benar terasa seperti sebuah nostalgia. Bukan hanya karena franchise Samurai Shodown itu sendiri yang akhirnya bangkit setelah “tidur” sekian lama, kompetisinya di level Top 8 pun penuh dengan performa hebat dari nama-nama veteran, termasuk Infiltration, Justin Wong, Kazunoko, dan Alex Valle. Infiltration sudah pernah meraih gelar EVO di cabang Super Street Fighter IV: Arcade Edition (2012), Street Fighter x Tekken (2013), Street Fighter V (2016), dan kini Samurai Shodown (2019). Berikutnya gelar apa yang diincarnya?

Peringkat Top 8 EVO 2019 Samurai Shodown:

  • Juara 1: Infiltration
  • Juara 2: Burning Core | Kazunoko
  • Juara 3: Justin Wong
  • Juara 4: HB | Reinald
  • Juara 5: LU | Alex Valle/CaliPower
  • Juara 5: RB
  • Juara 7: TF | DidimoKOF
  • Juara 7: Brook | ZJZ

Super Smash Bros. Ultimate

EVO 2019 - SSBU Champion
Sumber: Echo Fox

Super Smash Bros. Ultimate (SSBU) membuktikan bahwa game ini memang layak menjadi cabang EVO dengan jumlah partisipan terbanyak. Bermain mengandalkan Joker dari Persona 5, MKLeo sempat nyaris tereliminasi tapi ia melakukan bracket reset di Grand Final dengan skor 3-2. Momentum tidak berhenti sampai di situ, karena kemudian MKLeo meraih angka sempurna dan mengalahkan Tweek dengan skor 3-0. Pemuda berusia 18 tahun ini pun menjadi juara perdana EVO untuk cabang Super Smash Bros. Ultimate.

Peringkat Top 8 EVO 2019 Super Smash Bros. Ultimate:

  • Juara 1: Echo Fox | MKLeo
  • Juara 2: Team SoloMid | Tweek
  • Juara 3: Solary | Gluttony
  • Juara 4: eUnited | Samsora
  • Juara 5: ProtoBanham
  • Juara 5: Raito
  • Juara 7: GameWith | Zackray
  • Juara 7: Rogue | Light

Mortal Kombat 11

EVO 2019 - MK11 Champion
Sumber: SonicFox

Keistimewaan SonicFox alias Dominique McLean bukan hanya karena dia ahli bermain fighting game, tapi karena ia mampu berkompetisi di lebih dari satu cabang sekaligus. Setelah runner-up di Dragon Ball FighterZ, SonicFox langsung beraksi di Mortal Kombat 11 dan membawa pulang gelar juara. Tampaknya posisi pemain yang satu ini sebagai raja game buatan NetherRealm Studios masih sulit untuk diingkari.

Peringkat Top 8 EVO 2019 Mortal Kombat 11:

  • Juara 1: Echo Fox | SonicFox
  • Juara 2: Burning Core | Dragon
  • Juara 3: Nasr Esports | TekkenMaster
  • Juara 4: UYU | Deoxys
  • Juara 5: PxP | A Foxy Grampa
  • Juara 5: Panda Global | Tweedy
  • Juara 7: Panda Global | Hayatei
  • Juara 7: Noble | Semiij

Soulcalibur VI

EVO 2019 - Soulcalibur Kayane
Sumber: Chris Bahn/Kayane

Cabang Soulcalibur VI tahun ini cukup spesial karena prestasi yang diraih Kayane, satu-satunya pemain perempuan yang mencapai peringkat Top 8 di EVO. Apalagi EVO juga untuk pertama kalinya mengadakan panel berjudul “The Women of the FGC” yang mendiskusikan peran perempuan di komunitas fighting game. Performa Yuttoto yang memenangkan kejuaraan dengan Voldo pun sangat mengesankan. Siapa bilang Voldo di Soulcalibur hanya joke character?

Peringkat Top 8 EVO 2019 Soulcalibur VI:

  • Juara 1: BNE | Yuttoto
  • Juara 2: BlueGod
  • Juara 3: Oplon | SkyII
  • Juara 4: Woahhzz
  • Juara 5: Tamonegi
  • Juara 5: Panda Global | Shen Chan
  • Juara 7: Orange | Kayane
  • Juara 7: DF | Saiyne

Under Night In-Birth Exe:Late[st]

EVO 2019 - UNIST Champion
Sumber: Robert Paul/EVO

Popularitas Under Night In-Birth pelan tapi pasti semakin tumbuh, dan tahun ini di EVO berhasil menjadi salah satu game kategori anime fighters dengan partisipan terbanyak—lebih tinggi dari BlazBlue dan hampir sama dengan Dragon Ball FighterZ. French Bread selaku developer seri ini pun menjawab dedikasi para penggemar dengan mengumumkan game baru setelah turnamen berakhir, yaitu Under Night In-Birth Exe:Late[cl-r].

Peringkat Top 8 EVO 2019 Under Night In-Birth Exe:Late[st]:

  • Juara 1: WP | ClearLampO
  • Juara 2: Ouhuu-Hittou
  • Juara 3: Hishigata
  • Juara 4: Kure
  • Juara 5: Neji
  • Juara 5: PUB | Rikir
  • Juara 7: Libekichi
  • Juara 7: Senaru

BlazBlue: Cross Tag Battle

EVO 2019 - BBCTAG Champion
Sumber: Stephanie Lindgren/EVO

Sama seperti Super Smash Bros. Ultimate, cabang BlazBlue: Cross Tag Battle juga dihadiri oleh penampilan karakter dari seri Persona. Bila juara SSBU menang menggunakan Joker, di sini Kyamei berhasil sampai ke Grand Final mengandalkan Akihiko Sanada dan Mitsuru Kirijo dari Persona 3. Tapi sayangnya ia harus menyerah terhadap duet Ruby Rose dan Yang Xiao Long dari RWBY, yang dimainkan oleh Shinku.

Peringkat Top 8 EVO 2019 BlazBlue: Cross Tag Battle:

  • Juara 1: Gravity Gaming | Shinku
  • Juara 2: FCRYUKYU | Kyamei
  • Juara 3: Domi
  • Juara 4: Mekasue
  • Juara 5: CYCLOPS Athlete Gaming | Fenritti
  • Juara 5: Bace
  • Juara 7: JonaKim
  • Juara 7: Susano’o | KojiKOG
EVO Japan 2020 - Announcement
Sumber: EVO Japan

Itulah deretan peraih prestasi di ajang Evolution Championship Series 2019. Setelah semua pertandingan berakhir, pihak EVO rupanya sudah menyiapkan panggung kompetisi berikutnya: EVO Japan 2020! Tiga game utama sudah diumumkan yaitu BlazBlue: Cross Tag Battle, Soulcalibur VI, dan Tekken 7, tapi ini masih akan terus bertambah. Sementara waktu dan lokasinya telah ditetapkan pada 24 – 26 Januari 2020, di Makuhari Messe International Exhibition Mall, Chiba, Jepang. Kita tunggu saja akan seseru apa kompetisi itu nantinya.

Sumber: EVO, EventHubs

Jadwal Lengkap dan Daftar Komentator EVO 2019 Diumumkan

Ajang kompetisi fighting game akbar Evolution Championship Series (EVO) 2019 akan digelar kurang dari seminggu lagi. Selama tiga hari yaitu tanggal 2 – 4 Agustus, ribuan penggemar, pemain, dan pelaku industri akan berkumpul di Mandalay Bay, Las Vegas, untuk merayakan keseruan genre fighting yang semakin lama semakin populer saja. Sembilan game populer akan dipertandingkan di panggung utama, ditambah sederet judul lain yang turut meramaikan entah sebagai turnamen sampingan atau permainan kasual.

Menonton pertandingan fighting game di level tertinggi memang sangat seru, tapi keseruan itu tak lengkap tanpa adanya komentator yang membuat hype semakin tinggi. EVO 2019 pun dihadiri oleh sejumlah komentator, dan belum lama ini pihak panitia telah mengumumkan siapa saja nama yang tampil. Tentunya mereka terdiri dari tokoh-tokoh dengan banyak kontribusi di komunitas fighting game. Berikut ini beberapa yang perlu Anda ketahui.

James Chen

James Chen
James Chen | Sumber: Red Bull

Salah satu komentator senior di dunia fighting game, James “jchensor” Chen adalah kreator konten yang telah aktif bahkan sejak internet belum populer. Menyebut diri sebagai Fighting Game Historian, James Chen aktif melakukan streaming di Twitch, membuat tutorial fighting game di YouTube, serta mengupas segala hal menarik seputar fighting game. Bila Anda menyaksikan turnamen fighting game berskala besar, James Chen nyaris selalu hadir di dalamnya.

Ryan Hart

Ryan Hart
Ryan Hart | Sumber: Capcom Pro Tour

Ryan Joseph Hart alias Prodigal Son adalah atlet esports asal Inggris yang telah menggeluti banyak cabang fighting game. Ia pernah menjadi juara EVO di tahun 2004 dan 2008 untuk cabang Tekken, di samping banyak kompetisi lainnya. Kini ia bekerja sebagai kreator konten dan host di ESL, namun masih sesekali datang ke turnamen sebagai peserta bila ada waktu luang.

L.I. Joe

Joe Ciaramelli alias Long Island Joe adalah pemain Street Fighter yang dikenal sangat menggemari karakter Urien. Reaksinya ketika bertemu dengan pengisi suara Urien, serta kegembiraan yang ia luapkan ketika Urien diumumkan untuk Street Fighter V, adalah beberapa hal tentangnya yang telah viral di dunia maya. Ia sempat meraih Top 8 di EVO 2016, dan kini aktif menjadi organizer untuk turnamen East Coast Throwdown.

Jiyuna

Jiyuna
Jiyuna bersama Daigo Umehara | Sumber: Red Bull

Andrew “Jiyuna” Fidelis adalah pria asal Amerika Serikat yang tinggal di Jepang. Sebagai orang yang mahir bahasa kedua negara, Jiyuna punya peran krusial dalam menyampaikan informasi dari komunitas fighting game Jepang ke Amerika, dan sebaliknya. Ia bekerja sebagai penerjemah untuk Daigo Umehara, juga merupakan karyawan untuk ARIKA (studio di balik game Fighting EX Layer).

Seth Killian

Sebagai mantan Community Manager di Capcom, nama Seth Killian sering kali muncul bersamaan dengan berita penting di dunia fighting game. Ia juga merupakan salah satu co-founder EVO bersama Tom Cannon, Tony Cannon, dan Joey Cuellar. Ia sempat menjadi Game Designer di Sony Santa Monica Studio sebelum akhirnya pindah ke Radiant Entertainment. Pada tahun 2016 Riot Games mengakuisisi Radiant Entertainment, dan kini Killian menduduki posisi Lead Designer di Riot.

Seth Killian
Seth Killian | Sumber: Polygon

Selain nama-nama di atas masih banyak sekali tokoh komunitas fighting game lainnya, dan Anda akan bisa menyaksikan siaran mereka semua pada acara EVO nanti. Pihak EVO juga telah merilis jadwal lengkap pertandingan untuk seluruh cabang game yang bisa Anda pantau di bawah.

EVO 2019 - Schedule
Jadwal lengkap EVO 2019 | Sumber: EVO

Seluruh jadwal ini menggunakan zona waktu PDT (Pacific Daylight Time), jadi Anda perlu menambahkan 14 jam untuk menyesuaikan dengan zona Waktu Indonesia Barat. Bila Anda tidak sempat menyaksikan keseluruhan rangkaian acara selama tiga hari, setidaknya Anda perlu mencatat waktu untuk menyaksikan babak final turnamen dengan jadwal berikut:

  • Soulcalibur VI – Sabtu, 3 Agustus 2019, 10:00 WIB
  • Under Night In-Birth Exe:Late[st] – Minggu, 4 Agustus 2019, 00:00 WIB
  • Dragon Ball FighterZ – Minggu, 4 Agustus 2019, 3:00 WIB
  • Samurai Shodown – Minggu, 4 Agustus 2019, 6:00 WIB
  • Mortal Kombat 11 – Minggu, 4 Agustus 2019, 10:00 WIB
  • BlazBlue: Cross Tag Battle – Minggu, 4 Agustus 2019, 23:00 WIB
  • Street Fighter V: Arcade Edition – Senin, 5 Agustus 2019, 2:00 WIB
  • Tekken 7 – Senin, 5 Agustus 2019, 6:30 WIB
  • Super Smash Bros. Ultimate – Senin, 5 Agustus 2019, 9:00 WIB

Sumber: Evolution Championship Series

Pertumbuhan Partisipan EVO, Bukti Minat Esports Fighting Game Meningkat Pesat

Seiring EVO 2019 semakin dekat, diskusi di komunitas fighting game tentang acara ini semakin hangat saja. Sebagian bersemangat dan menunjukkan gairah positif, tapi ada juga yang skeptis atau kesal karena berbagai hal. Maklum, EVO alias Evolution Championship Series adalah ajang kompetisi fighting game paling prestisius dunia saat ini, jadi setiap orang tentu punya ekspektasi masing-masing.

Ada dua topik yang belakangan banyak jadi bahan perbincangan terkait EVO. Pertama adalah hilangnya judul Super Smash Bros. Melee dari daftar turnamen utama. Yang kedua yaitu tentang jumlah partisipan judul-judul yang ada dan apa maknanya dalam ekosistem fighting game secara umum. Keduanya memang topik yang cukup penting, jadi wajar bila kemudian ada yang pro ataupun kontra.

Tidak dapat dipungkiri bahwa Super Smash Bros. Melee telah bertahun-tahun menjadi salah satu judul teramai dan terbesar dalam EVO. Meskipun judul yang dirilis untuk console GameCube ini usianya sudah belasan tahun, komunitasnya sangat kuat dan bersemangat untuk menjaga ekosistem kompetitif tetap berjalan. Sejak tahun 2013, game ini selalu menduduki jumlah partisipan 4 besar di EVO.

Bahkan ketika Nintendo ingin melarang Super Smash Bros. Melee tampil di EVO, mereka tetap vokal memperjuangkan agar turnamen bisa berjalan. Bisa dibilang, justru komunitas Super Smash Bros. Melee-lah yang membuat esports Super Smash Bros. bertahan hingga sekarang dan direstui oleh Nintendo. Jadi wajar bila mereka kecewa dan banyak melayangkan protes terhadap keputusan panitia EVO.

Pernyataan Joey “MrWiz” Cuellar (CEO EVO) baru-baru ini tentang jumlah partisipan di EVO 2019 membuat semakin banyak orang di komunitas fighting game yang bersuara sumbang. Pasalnya, ada dua game yang memiliki partisipan tak sampai 1.000 orang, yaitu Soulcalibur VI (742) dan BlazBlue: Cross Tag Battle (640). Orang mulai berandai-andai bahwa jika turnamen Super Smash Bros. Melee tetap diadakan, angka partisipannya pasti bisa lebih tinggi. Sebagian juga menyebut Soulcalibur VI dan BlazBlue: Cross Tag Battle sebagai “game mati” karena jumlah partisipannya sedikit.

Satu hal yang mungkin mereka lupa, adalah bahwa angka yang diraih dua judul itu sebetulnya sama sekali bukan angka yang sedikit. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan partisipan EVO 2019 dengan tahun-tahun sebelumnya. Salah satu catatan di forum Shoryuken menunjukkan data historis EVO sejak 2012 hingga sekarang, dan dari sini kita bisa lihat bahwa baik Soulcalibur VI maupun BlazBlue: Cross Tag Battle sebetulnya tergolong masih populer.

Partisipan EVO 2012:

  1. Street Fighter IV – 1.520
  2. Marvel vs. Capcom 3 – 1.248
  3. The King of Fighters XIII – 1.072
  4. Street Fighter x Tekken – 448 tim (896 orang)
  5. Soulcalibur V – 416
  6. Mortal Kombat 9 – 304

Partisipan EVO 2013:

  1. Super Street Fighter IV: Arcade Edition – 1.601
  2. Ultimate Marvel v. Capcom 3 – 1.297
  3. Super Smash Bros. Melee – 696
  4. Injustice: Gods Among Us – 582
  5. Street Fighter x Tekken – 545
  6. The King of Fighters XIII – 433
  7. Persona 4 Arena – 400
  8. Tekken Tag Tournament 2 – 355
  9. Mortal Kombat 9 – 233

Partisipan EVO 2014:

  1. Ultra Street Fighter IV – 1.979
  2. Ultimate Marvel vs. Capcom 3 – 1.014
  3. Super Smash Bros. Melee – 970
  4. BlazBlue: Chronophantasma – 508
  5. Killer Instinct – 338
  6. The King of Fighters XIII – 319
  7. Injustice: Gods Among Us – 311
  8. Tekken Tag Tournament 2 – 257

Partisipan EVO 2015:

  1. Ultra Street Fighter IV – 2.227
  2. Super Smash Bros. for Wii U – 1.926
  3. Super Smash Bros. Melee – 1.869
  4. Mortal Kombat X – 1.162
  5. Guilty Gear Xrd SIGN – 968
  6. Ultimate Marvel vs. Capcom 3 – 816
  7. Tekken 7 – 458
  8. Persona 4 Arena Ultimax – 437
  9. Killer Instinct – 397

Partisipan EVO 2016:

  1. Street Fighter V – 5.107
  2. Super Smash Bros. for Wii U – 2.662
  3. Super Smash Bros. Melee – 2.372
  4. Pokken Tournament – 1.180
  5. Guilty Gear Xrd Revelator – 910
  6. Ultimate Marvel vs. Capcom 3 – 782
  7. Mortal Kombat XL – 713
  8. Tekken 7 – 549
  9. Killer Instinct – 546

Partisipan EVO 2017:

  1. Street Fighter V – 2.622
  2. Super Smash Bros. for Wii U – 1.515
  3. Super Smash Bros. Melee – 1.435
  4. Tekken 7 – 1.278
  5. Injustice 2 – 883
  6. Guilty Gear Xrd REV 2 – 827
  7. Ultimate Marvel vs. Capcom 3 – 648
  8. BlazBlue: Central Fiction – 499
  9. The King of Fighters XIV – 375

Partisipan EVO 2018:

  1. DragonBall FighterZ – 2.575
  2. Street Fighter V: Arcade Edition – 2.484
  3. Tekken 7 – 1.538
  4. Super Smash Bros. for Wii U – 1.354
  5. Super Smash Bros. Melee – 1.351
  6. BlazBlue: Cross Tag Battle – 1.178
  7. Guilty Gear Xrd REV 2 – 629
  8. Injustice 2 – 363

Partisipan EVO 2019:

  1. Super Smash Bros. Ultimate – 3.492
  2. Street Fighter V: Arcade Edition – 1.929
  3. Tekken 7 – 1.885
  4. Samurai Shodown – 1.719
  5. Mortal Kombat 11 – 1.567
  6. Under Night In-Birth Exe: Late[st] – 1.156
  7. DragonBall FighterZ – 1.191
  8. Soulcalibur VI – 742
  9. BlazBlue: Cross Tag Battle – 640
UNIST - Screenshot
Pelan tapi pasti, Under Night In-Birth jadi judul “anime fighters” paling populer | Sumber: Steam

Memang bila dibandingkan judul-judul di atasnya, partisipan Soulcalibur VI dan BlazBlue: Cross Tag Battle di tahun 2019 tergolong rendah. Tapi sebetulnya angka tersebut pun termasuk tinggi bila dibandingkan EVO tahun-tahun sebelumnya. Andai angka ini terjadi di tahun 2012, maka dua judul itu akan masuk sebagai turnamen terpopuler keempat dan kelima. Artinya sebenarnya mereka bukan “game mati”, hanya saja EVO telah tumbuh menjadi begitu besar dan begitu ramai sehingga angka 742 dan 640 orang terlihat sedikit.

Bagi para pemain Super Smash Bros. Melee, Super Smash Bros. Ultimate memang tetap merupakan sebuah game berbeda. Akan tetapi Super Smash Bros. Ultimate memiliki gameplay yang cukup baik untuk dimainkan kompetitif. Beberapa pemain profesional Smash pun telah berpindah dari Melee ke Ultimate, contohnya seperti Armada, Mew2King, dan Hungrybox, meskipun ada juga yang tetap memainkan keduanya. Komunitas Melee dan Ultimate belum sepenuhnya bersatu, tapi melihat jumlah partisipan Super Smash Bros. Ultimate di tahun 2019 lebih tinggi dari Super Smash Bros. Melee dan Super Smash Bros. for Wii U digabung pada tahun sebelumnya, dapat kita simpulkan bahwa ada potensi untuk mengarah ke sana.

Terlepas dari opini yang beredar tentang pro dan kontra EVO 2019, angka-angka di atas menunjukkan satu hal yang pasti. Yaitu bahwa minat masyarakat terhadap fighting game kompetitif telah meningkat sangat pesat dalam tujuh tahun terakhir. Para penggemar Soulcalibur dan BlazBlue pun tidak perlu kecil hati, karena seri kesayangan mereka masih tetap populer. Hanya saja belakangan ini fighting game berkualitas di pasaran sudah sangat lumrah, dan ada judul-judul dengan penggemar yang lebih banyak.

Memang EVO 2019 belum bisa memecahkan rekor partisipan Street Fighter V di tahun 2016 yang fantastis melebihi 5.000 orang. Tapi ketika Street Fighter VI muncul nanti, jangan heran bila rekor itu terlampaui dengan mudah. Fighting game sudah bukan lagi esports “bawah tanah” yang digelar di arcade center secara kecil-kecilan, tapi sudah menjadi tontonan mendunia dengan banyak penggemar setia. Mudah-mudahan di Indonesia pun bisa demikian.

Sumber: Shoryuken, Joey Cuellar

Pendaftaran EVO 2019 Ditutup, Organizer Wacanakan Perubahan Distribusi Hadiah

Ajang kompetisi fighting game terbesar di dunia EVO 2019 semakin mendekat. Dengan sisa waktu kurang dari sebulan, panitia EVO hari ini baru saja menutup registrasi turnamen. Berikutnya tinggal menunggu waktu saja sampai hari-H acara, yaitu tanggal 2 – 4 Agustus di Mandalay Bay, Las Vegas.

EVO 2019 mempertandingkan sembilan game dari berbagai developer. Ketika daftar game ini diumumkan, ada sebagian komunitas yang kecewa karena Super Smash Bros. Melee tidak muncul. Padahal game itu telah menjadi judul utama selama enam tahun terakhir, bahkan salah satu cabang dengan jumlah partisipan paling ramai. Tapi keputusan EVO untuk meninggalkan Super Smash Bros. Melee dapat dimengerti. Selain memang usianya sudah sangat tua, juga telah ada pengganti yang layak yaitu Super Smash Bros. Ultimate.

Seiring pendaftaran turnamen ditutup, CEO EVO Joey “MrWiz” Cuellar menunjukkan jumlah partisipan total untuk semua semua game yang dipertandingkan. Ternyata Super Smash Bros. Ultimate berhasil menjadi game dengan partisipan terbanyak, bahkan menurut Cuellar, EVO 2019 juga merupakan turnamen Smash terbesar yang pernah ada sepanjang sejarah. Berikut ini jumlah partisipannya:

  • Super Smash Bros. Ultimate – 3.492
  • Street Fighter V: Arcade Edition – 1.929
  • Tekken 7 – 1.885
  • Samurai Shodown – 1.719
  • Mortal Kombat 11 – 1.567
  • Under Night In-Birth Exe: Late[st] – 1.156
  • Dragon Ball FighterZ – 1.191
  • Soulcalibur VI – 742
  • BlazBlue: Cross Tag Battle – 640

Angka di atas menunjukkan bahwa kepopuleran Super Smash Bros. Ultimate tidak hanya terjadi di kalangan gamer kasual, tapi juga gamer serius dan profesional. Di bulan April lalu Nintendo mengabarkan bahwa judul ini telah terjual 13,81 juta kopi di seluruh dunia, mengalahkan total penjualan console Wii U sepanjang masa.

Super Smash Bros. Ultimate - Screenshot
Super Smash Bros. Ultimate | Sumber: Nintendo

Ini juga menunjukkan bahwa para fans Super Smash Bros. kompetitif akhirnya bisa bersatu setelah sekian lama terpecah (Smash Melee vs. Smash modern). Tampaknya keputusan Masahiro Sakurai membuat Super Smash Bros. Ultimate dapat dinikmati untuk kasual sekaligus esports adalah keputusan yang sangat tepat.

Di samping menutup pendaftaran, ada satu isu lagi yang diangkat Cuellar berkaitan teknis EVO nanti, yaitu distribusi hadiah. Sudah jadi tradisi EVO sejak tahun 2002 bahwa juara 1 di EVO berhak membawa pulang sebagian besar uang hadiah (60%). Namun organizer EVO ingin melakukan perubahan dengan menurunkan jumlah hadiah juara 1 dan 2, tapi menaikkan hadiah peringkat-peringkat di bawahnya (sampai Top 8).

Lewat Twitter, Cuellar membuka polling untuk menentukan sistem mana yang sebaiknya digunakan. Saat artikel ini ditulis polling tersebut telah diikuti 16.682 orang, dengan 92% suara mendukung sistem distribusi hadiah baru. Jadi kemungkinan besar perubahan ini benar-benar akan diterapkan.

Selain pilihan yang ditawarkan Cuellar, banyak juga penggemar yang memberi masukan lain tentang distribusi ini. Misalnya memberikan hadiah tidak hanya untuk Top 8 namun hingga Top 32, atau setidaknya memberikan semacam cendera mata agar mereka punya kenang-kenangan untuk dibawa pulang. Ada juga usulan yang nyeleneh seperti “winner takes all”. Mana pilihan yang nantinya diambil Cuellar dan para panitia EVO, kita tunggu saja di tanggal 2 Agustus nanti.

Sumber: EventHubs, Joey Cuellar

Kawinkan Capcom Pro Tour dan Neo Geo World Tour, FV x SEA Major 2019 Digelar di Malaysia

Capcom Pro Tour sudah di depan mata! Terhitung mulai bulan Maret ini, serangkaian turnamen di seluruh dunia akan digelar untuk memberikan CPT Point kepada para petarungnya, untuk kemudian menentukan siapa yang berhak maju ke acara puncak Capcom Cup 2019 di bulan Desember. Sirkuit turnamen resmi ini akan berlangsung selama sembilan bulan, dengan total prize pool mencapai lebih dari US$600.000.

Sesuai pengumuman dari Capcom di akhir Januari kemarin, sirkuit Capcom Pro Tour 2019 memiliki empat tingkatan turnamen, yaitu Super Premier Event, Premier Event, Ranking Event, dan Online Ranking Event. Salah satu organizer populer Asia Pasifik, BEast of the East, dalam waktu dekat akan menggelar turnamen berkasta Ranking Event di kota Kuala Lumpur, Malaysia. Turnamen ini bernama FV x SEA Major 2019.

Mengapa namanya demikian? Itu karena turnamen ini merupakan hasil kerja sama antara BEast of the East dengan Flash Vision Esports, organisasi fighting game terbesar di Malaysia. Flash Vision sendiri selama ini sudah memiliki turnamen yang cukup bergengsi dengan nama FV Cup, namun sejak tahun 2018, FV Cup telah terintegrasi sebagai bagian dari kompetisi SEA Major.

FV x SEA Major 2019 - Poster
Sumber: BEast of the East

Berbeda dengan kompetisi-kompetisi genre lain yang biasanya berwujud satu event berdiri sendiri, sudah jadi hal lumrah di dunia fighting game bila ada satu event yang diisi beragam kompetisi sekaligus. Contohnya bisa kita lihat dalam turnamen Fight Fest 2019 yang berlangsung pada bulan Januari lalu. FV x SEA Major 2019 pun isinya bukan hanya Ranking Event Capcom Pro Tour, tapi melingkupi beberapa acara lain.

Berikut ini daftar kompetisi dalam FV x SEA Major 2019, beserta game yang dilombakan:

  • CPT Asia Ranking 2019 (Street Fighter V: Arcade Edition)
  • Neo Geo World Tour 2 (The King of Fighters XIV, The King of Fighters 98, Metal Slug)
  • Console Games (Tekken 7, Dragon Ball FighterZ, Soulcalibur VI, Super Smash Bros. Ultimate, Ultra Street Fighter IV)
  • Mobile Games (Mobile Legends: Bang Bang)

Sama seperti Fight Fest 2019, rupanya FV x SEA Major 2019 juga merupakan salah satu pemberhentian kompetisi Neo Geo World Tour 2. Uniknya lagi rupanya tak hanya fighting game, tapi judul yang dilombakan juga mencakup Metal Slug. Kompetisi final SEA Major 2019 sendiri nantinya akan digelar di Singapura pada tanggal 12 Oktober, dan merupakan turnamen CPT dengan kasta Premier Event.

FV x SEA Major 2019 - MLBB
Ada turnamen MLBB juga di sini | Sumber: BEast of the East

Berhubung FV x SEA Major 2019 merupakan turnamen CPT, sudah bisa ditebak bahwa akan muncul pemain-pemain kawakan yang turut bertanding. Beberapa nama yang sudah dikonfirmasi BEast of the East antara lain meliputi Itabashi Zangief, OilKing, Fujimura, Sako, Tokido, John Takeuchi, Bonchan, dan lain sebagainya. Anda yang mengikuti dunia esports Street Fighter pasti tahu bahwa mereka semua adalah nama-nama besar dengan prestasi tingkat dunia.

FV x SEA Major 2019 akan digelar di gedung Lightbox, Kuala Lumpur, Malaysia. Turnamen ini terselenggara berkat dukungan berbagai pihak, temasuk di antaranya Victrix Pro, GameStart Asia, Capcom Pro Tour, Twitch, dan XSplit. Untuk informasi lebih lanjut, Anda dapat mengunjungi situs resmi BEast of the East di tautan berikut.

Sumber: BEast of the East