Dukung Talenta Digital Indonesia, START Summit 2022 Tokopedia Usung Tema Driving Innovation At Scale

Tokopedia melalui Tokopedia Academy kembali menggelar START Summit 2022 – konferensi teknologi tahunan Tokopedia – pada (16/07). START Summit 2022 dihadirkan sebagai bentuk komitmen Tokopedia untuk mengembangkan potensi talenta digital Indonesia. Konferensi teknologi besutan Tokopedia ini dilangsungkan demi membangun industri teknologi tanah air serta menyokong upaya pemerintah untuk memenuhi prediksi kurangnya 9 juta talenta digital di tahun 2030.

Leontinus A. Edison, Co-Founder and Vice Chairman Tokopedia, dilansir dari Virtual Media Briefing untuk START Summit 2022 (15/07) menyatakan bahwa, “Tokopedia berfokus untuk mengembangkan talenta digital melalui berbagai macam upaya dibawah payung besar yakni Tokopedia Academy. Salah satu upaya tersebut adalah dengan menyelenggarakan START Summit.”

Menyongsong Tema Driving Innovation At Scale

START Summit adalah konferensi teknologi tahunan yang diselenggarakan oleh Tokopedia yang mana tahun ini mengusung Tema Driving Innovation At Scale. START Summit Tahun 2022 diharapkan mampu menjadi wadah berbagi pengalaman, solusi, inovasi, serta ladang networking bagi para talenta digital Indonesia. Melalui START Summit 2022, Nakama –sebutan karyawan Tokopedia– akan membahas bagaimana cara Tokopedia dalam memanfaatkan teknologi untuk menyelesaikan masalah dalam skala besar (at scale).

“Harapannya, apa yang kami bagikan di sini dapat memantik terciptanya berbagai inovasi-inovasi baru yang solutif untuk sebanyak-banyaknya masyarakat Indonesia,” papar Leontinus.

START Summit 2022 mengundang puluhan pembicara ahli dengan pembahasan yang berpusat pada Core Engineering, Data, Infrastructure and Productivity, Front-End, serta Security/Data Protection and Privacy Office/Risk. Pembicara ahli tersebut di antaranya adalah Leontinus, CTO Tokopedia Herman Widjaja, COO Tokopedia Melissa Siska Juminto, serta SVP of Data Protection and Privacy Office Tokopedia Leny Suwardi.

Engineering Manager Tokopedia, M. Ilham Jamaludin, salah satu pembicara START Summit 2022 yang membahas Stabilitas Aplikasi, menjelaskan, “Peserta START Summit 2022 bisa memperoleh ilmu berdasarkan praktik nyata Nakama, berbagi ide inovasi yang solutif, serta networking dengan sesama pegiat teknologi hingga para ahli.”

Mengembangkan Talenta Digital melalui Tokopedia Academy

 

START Summit 2022 Tokopedia
START Summit 2022 Tokopedia

Tokopedia merupakan perusahaan teknologi yang inklusif di mana siapapun dapat berkarya melalui teknologi. Untuk mendukung hal tersebut, salah satu upaya yang dilakukan oleh Tokopedia adalah dengan mengembangkan Tokopedia Academy.

Tika Widiati, Software Engineer Lead Tokopedia dan salah satu pembicara mengenai API Monitoring di START Summit 2022,  memaparkan, “Lewat Tokopedia Academy, dalam hal ini START Summit, seluruh pegiat teknologi di Indonesia memiliki kesempatan yang sama untuk belajar, berkolaborasi dan mendapatkan kurikulum yang relevan terkait teknologi, langsung dari para ahli di bidangnya.”

START Summit merupakan salah satu inisiatif di bawah naungan Tokopedia Academy dan menjadi upaya Tokopedia mewujudkan pemerataan pengetahuan lewat teknologi. START Summit 2022 dapat diakses masyarakat secara gratis oleh siapa saja. Acara tahunan bertema teknologi terbesar dari Tokopedia ini dilangsungkan secara virtual dan dapat diakses melalui kanal Tokopedia Play, situs web Tokopedia Academy, akun YouTube resmi Tokopedia, dan akun YouTube resmi Inside Tokopedia

Rangkaian Program Menarik Tokopedia Academy

Selain START Summit, Tokopedia Academy memiliki sederet program lain yakni START Women in Tech (konferensi teknologi untuk talenta digital perempuan), START CX First Summit (konferensi tentang customer experience), kerja sama dengan pihak universitas dengan pembuatan pusat AI, serta Tokopedia Goes to Campus

Tidak hanya itu, Tokopedia Academy bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika RI melalui SIBERKREASI, menghadirkan Tokopedia NextGen. Tokopedia Academy juga mengadakan program Magang Bersertifikat dan Hackathon DevCamp sebagai kolaborasi dengan program Kampus Merdeka Kemendikbud Ristek RI.

Semangat Komerce Jadi Penghubung Digitalisasi UMKM dan Industri E-Commerce

Dari 514 kota di Indonesia, 15 area kota masuk kategori metropolitan yang menyumbang 50%-70% dari ekonomi digital Indonesia. Besarnya pengaruh kota metropolitan ini menimbulkan pertanyaan tentang peran dan potensi kota-kota yang tersisa di kancah ekonomi digital.

Banyak pihak berpandangan gelombang pertumbuhan digital berikutnya akan didorong oleh area non-metropolitan—terutama 177 kota tier-2 dan tier-3-nya. Dengan pendekatan dan kolaborasi yang tepat, ekonomi digital di kota-kota tingkat 2 dan tingkat 3 dapat meningkat tiga kali lipat pada 2025 dan menyumbang 30%-50% dari keseluruhan ekonomi digital, naik dari 20%-40% pada 2020. Namun, membuka potensi ekonomi digital di kota-kota tier 2 dan tier 3 Indonesia tidak akan mudah. Kota-kota ini berperilaku berbeda dan menghadapi serangkaian tantangan berbeda dalam mengadopsi perilaku digital.

Kesempatan tersebut tak disia-siakan Nofi Bayu Darmawan saat kembali ke tanah kelahirannya, Purbalingga. Awalnya Komerce berbentuk gerakan sosial yang memberikan pelatihan untuk anak-anak  Purbalingga mengenai industri e-commerce, bidang yang Bayu kuasai.

“Agar dampaknya tersistem dan luas, saya ubah yang awalnya social movement menjadi sebuah perusahaan. Dulu namanya Kampung Marketer. Dinamakan itu karena mimpi saya waktu itu ingin membuat internet marketers di daerah agar mereka dapat penghasilan dengan marketing barang-barang,” ujar Bayu kepada DailySocial.id.

Dengan visi ingin membentuk pola pikir seperti startup digital, Kampung Marketer rebranding menjadi Komerce pada awal 2021 kemarin. Momentum tersebut dimanfaatkan Bayu merekrut profesional sebagai mitra. Pilihannya tertuju pada Syaefullah Syeif. Sebelumnya, Syaefullah pernah bekerja di Grab sebagai Customer Experience Team Lead, sehingga dirasa tepat secara bersama memimpin Komerce yang fokus pada penyediaan talenta outsource untuk membantu bisnis UMKM go online.

Bisnis tersebut sejalan dengan ambisi Komerce untuk menjadi end-to-end e-commerce enabler untuk UMKM. Realisasinya adalah melalui kontribusi talenta digital yang sudah dijalankan sejak 2017 untuk membantu usaha kecil, memungkinkan direkrut secara remote (remote hiring) atau on site (UMKM membawa talenta ke kantor mereka) di industri e-commerce.

Solusi ini dinamai Komhire (talent-as-a-service), dengan peranan di tiga area: training, job matchmaking, dan monitoring performance.

Talenta-talenta ini memiliki spesifikasi keahlian sebagai customer service, advertiser, admin marketplace, dan admin media sosial. UMKM tinggal mencocokkan kebutuhan mereka tanpa biaya berlangganan dan ketentuan maksimal penggunaan jasa.

UMKM cukup membayarkan biaya bulanan untuk Komerce berupa biaya administrasi, sementara untuk talenta yang direkrut berupa gaji pokok bulanan dan bonus yang telah direkap dan dibayarkan langsung ke rekening talenta.

“Kami harus menjaga performa talent tetap bagus karena ekspektasi UMKM tentu ingin bisnisnya maju. Dalam arti lain produk ini adalah ‘menjual performance manusia’. Baik remote atau pun on site, kami menyediakan pelatihan rutin untuk me-maintain knowledge dan skill mereka agar tetap ready to hire.”

Saat ini, ada lebih dari ratusan pebisnis yang menjadi mitra Komerce dan memberdayakan lebih dari 1300 talenta muda yang mengikuti pelatihan yang diselenggarakan Komerce. Mereka tidak hanya datang dari Purbalingga dan wilayah Jawa Tengah saja, tetapi juga dari Yogyakarta dan daerah lainnya. Diklaim Komerce telah menyalurkan pendapatan lebih dari Rp1 miliar setiap bulannya.

Rintis Komship

Tak berhenti di situ, Komerce mulai merintis produk lainnya, Komship, yang bergerak sebagai agregator layanan logistik untuk membantu bisnis mengelola proses pesanan dan pengiriman barang ke seluruh Indonesia. Bayu bercerita, Komship ini hadir dengan latar belakang isu yang muncul setelah transaksi harian yang berhasil dibukukan talenta di Komhire menembus angka ribuan hingga puluhan ribu transaksi.

“Dari situ muncul masalah baru. Ternyata pencatatan order dan pengiriman masih kurang seamless. Akhirnya dengan konsep ‘low hanging fruit’, kami eksekusi di segmen shipping dan management orders dengan connect ke ekspedisi besar dan mengintegrasikan teknologinya, sehingga UMKM dapat mengirim paket dengan terjangkau dan dapat dijemput di mana saja.”

Solusi tersebut sekaligus menjawab kebutuhan konsumer atas skema pembayaran COD (Cash on delivery) yang begitu tinggi. Pebisnis sampai sekarang masih menghadirkan solusi tersebut agar tetap mendapat pembeli. Melalui Komship, pebisnis bisa memilih opsi COD Payment dan reguler (non-COD) melalui situs, setelah memasukkan inpur order transaksi.

“Jika enabling COD, deal-deal-an dengan ekspedisi langsung biasanya pencairan dana dua sampai tiga kali seminggu, tapi kami punya value dana COD bisa cari setiap hari sehingga cash flow pebisnis tidak terganggu.”

Sebagai tahap awal, Komship telah diujicobakan ke pelaku UMKM yang berada di wilayah Barlingmascakeb (Purbalingga, Banjarnegara, Banyumas, Cilacap dan Kebumen) untuk pengiriman ke seluruh Indonesia. Komship telah menandatangani kerja sama dengan lebih dari 5 ekspedisi besar melalui integrasi teknologi (open API) dan menawarkan efisiensi ongkos pengiriman dimulai dari penghematan 25% ongkos kirim.

Komship hadir sebagai solusi berdiri sendiri di Komerce. UMKM yang bukan pengguna Komhire tetap bisa menggunakan jasa Komship, begitupun sebaliknya. Namun, jika konsumen mengakses semua produk Komerce, dashbornya akan saling terintegrasi dan ini menjadi benefit maksimal bagi UMKM.

Pengembangan berikutnya

“Rencana berikutnya kami akan meluncurkan Kompack, agregator fulfillment yang akan dirintis Mei mendatang. Kami ingin menjembatani orang-orang di kota besar yang punya ruangan luas dan terutilisasi dengan UMKM di daerah yang ingin drop barang ke sana sebagai last mile delivery. Kami eksekusi satu per satu hingga gol kami nanti dari hulu ke hilir dapat support UMKM buat digitalisasinya.”

Konsep Komerce berhasil menarik perhatian Co-founder Bukalapak Achmad Zaky untuk berinvestasi melalui Achmad Zaky Foundation (ZAF) bersama Indigo Telkom Acceleration Program. Tidak disebutkan nominal dalam putaran tahap awal ini.

Bayu menyebutkan dana tersebut digunakan perusahaan untuk merekrut talenta teknologi. “Karena startup daerah seperti kami memiliki tantangan tersendiri mendatangkan top tech talent. Tech talent ini sebagai implementasi atas fokus Komerce untuk mendigitalisasi UMKM agar di[daya guna menggunakan platform] e-commerce lebih maksimal,” tutupnya.

Mendorong Peningkatan Jumlah dan Kompetensi Talenta Digital di Indonesia

Meskipun pertumbuhan startup lokal makin besar jumlahnya, hal ini tidak dibarengi dengan pertumbuhan jumlah para pengembang siap kerja. Banyak perusahaan teknologi besar yang mengambil jalan pintas dengan mempekerjakan tenaga kerja dari negara lain, terutama India.

DailySocial mencoba memahami kendala, tantangan, dan potensi solusi untuk membantu meningkatkan jumlah dan kompetensi tenaga pengembang lokal.

Memahami kurikulum

Meskipun secara basic mereka sudah cukup mengerti apa itu pemrograman, diklaim masih banyak sarjana ilmu komputer yang tidak menguasai benar konsep bahasa pemrograman secara keseluruhan.

CEO Hactiv8 Ronald Ishak mengklaim kurikulum yang diajarkan ke mahasiswa di universitas tidak dibarengi dengan update teknologi yang cepat berubah. Standarisasi pengajaran yang diberikan dosen kebanyakan hanya seputar konsep-konsep fundamental. Hal ini membatasi wawasan dan pengetahuan mereka mengenai bahasa pemrograman.

“Berdasarkan laporan yang dirilis oleh World Bank tahun 2019 lalu, hanya sekitar 16% saja lulusan Computer Science di Indonesia yang bekerja. Jumlah tersebut menurut saya sangat buruk,” kata Ronald.

Menurut pantauan CEO Kotakode Peter Tanugraha, masih banyak universitas yang tidak menggunakan materi terkini. Idealnya semua materi, modul, dan textbook selalu diperbarui. Tidak disarankan menggunakan materi lama yang sudah tidak relevan.

“Misalnya untuk proyek akhir tahun di sekolah masih menggunakan stack yang lumayan tua usianya yang saat ini tidak pernah digunakan, tapi sebagian besar masih diajarkan di sekolah,” kata Peter.

Sementara menurut CEO PT Brainmatics Cipta Informatika Romi Satria Wahono, belajar dari pengalamannya selama ini ketika bersinggungan dengan dunia pendidikan dan akademisi, persoalan kurikulum memang menjadi kendala yang menyebabkan belum masifnya jumlah pengembang yang berkualitas di Indonesia. Persoalan menumpuknya mata kuliah juga dianggap membatasi para mahasiswa melakukan pelatihan langsung.

“Berbeda dengan negara lain, Indonesia sistem pembelajaran fokus kepada hafalan. Mahasiswa tidak diajarkan untuk berpikir lebih kritis dan inovatif, yang dalam hal ini akan sangat membantu mereka menguasai bahasa pemrograman,” kata Romi.

Romi melihat ada baiknya dosen lebih aktif memperkaya wawasan, mengikuti seminar, dan terlibat lebih dekat lagi dengan mahasiswa dengan cara mengajak mereka bergabung ke sebuah proyek. Penting juga untuk universitas melakukan pembaruan modul dan textbook, menyesuaikan update dari materi yang mereka kumpulkan.

Teaching people tidak bisa memikirkan materi saja, tapi lebih kepada keinginan untuk memberikan edukasi yang relevan kepada mahasiswa,” kata Romi.

Di sisi lain, Romi melihat idealnya perusahaan teknologi ternama di Indonesia tidak hanya terpaku pada mereka yang siap bekerja.  Perusahaan seharusnya memberikan edukasi dan pelatihan ke mereka yang baru saja lulus kuliah saat bergabung di perusahaan.

Peranan platform coding class

Saat ini makin mahasiswa dan kalangan umum yang memanfaatkan kelas coding atau pelatihan pemrograman yang dtawarkan platform seperti Hacktiv8, DicodingProgate atau Kotakode. Salah satu keunggulan yang diklaim platform seperti ini adalah pembaruan materi yang dilakukan secara rutin.

“Sudah banyak jumlah para siswa yang kemudian memutuskan untuk mengambil pengetahuan tambahan secara mandiri memanfaatkan platform kami. Kami melihat sebagian besar sudah sukses dan berhasil bekerja di startup dan perusahaan teknologi ternama di tanah air,” kata Ronald.

Hacktiv8 juga melakukan pendekatan ke perusahaan teknologi. Mereka membantu mencari talenta dengan skill yang sedang dibutuhkan perusahaan saat ini.

“Hacktiv8 lebih mempersiapkan talenta yang sesuai dengan arahan yang mereka coba capai. Dengan demikian, ketika mereka sudah lulus dari program kita, mereka akan lebih siap bekerja,” kata Ronald.

Sementara Kotakode mencoba mempermudah para pengembang Indonesia mempelajari materi yang biasanya hanya tersedia dalam bahasa Inggris. Meskipun pengembang idealnya harus mengerti bahasa Inggris, perusahaan mencoba menjembatani para talenta untuk mempelajari lebih dalam materi-materi teknis.

“Kotakode sedang membangun infrastruktur programming dengan menambahkan konten di Google dan menyediakan Q&A yang bisa diakses. [..] Itu adalah kontribusi Kotakode untuk membantu talenta di Indonesia dengan memberikan resources yang besar,” kata Peter.

Potensi pengembang Indonesia

Memasuki tahun 2021, menurut Ronald, sudah banyak prestasi dan peningkatan jumlah talenta digital Indonesia. Namun demikian, ada beberapa persoalan yang masih mengganjal baginya. Salah satunya rendahnya apresiasi startup ke pengembang Indonesia dari sisi gaji. Masih banyak pengembang dengan kemampuan di atas rata-rata tidak dihargai dengan gaji yang sesuai. Akibatnya banyak yang memilih bekerja di negara lain.

“Kondisi remote working saat ini telah memudahkan mereka untuk bekerja secara fleksibel, sehingga makin banyak programmer asal Indonesia yang memilih bekerja di perusahaan asal Singapura dan Malaysia yang menawarkan gaji yang (lebih) besar,” kata Ronald.

Menurut Ronald, di tahun 2021 yang menjadi sorotan saat ini tidak lagi pengembang, tapi arsitek atau Product Manager yang kualitasnya dianggap masih di bawah rata-rata dan kurang memahami cara membangun produk yang ideal. Ujung-ujungnya perusahaan teknologi (kembali) menggunakan tenaga kerja asing yang memiliki kemampuan dan pengalaman mumpuni dalam merancang produk.

“Dari kondisi tersebut baiknya programmer lokal bisa belajar gaya dan skill mereka [tenaga kerja asing], sehingga bisa menambah wawasan dan pengalaman,” kata Ronald.

Sementara menurut Peter, tren mempekerjakan tim dari negara lain didasari kebutuhan perekrutan tim dalam jumlah besar dan memiliki pengalaman dan skill yang baik. Tak heran berujung pada pembukaan kantor di negara lain. Hal ini adalah langkah strategis.

Ke depannya Romi memprediksi skill yang dibutuhkan pengembang tidak hanya kepiawaian dalam hal coding, tetapi juga kemampuan menyampaikan ide dan komunikasi yang baik. Untuk itu Romi menyarankan mahasiswa untuk lebih aktif lagi bergabung dengan berbagai komunitas di kampus.

“Saya melihat tidak hanya specialist geek saja yang akan lahir nantinya, namun juga versatilist yang mampu menyampaikan ide mereka dengan baik,” kata Romi.

Bagaimana Startup di Luar Jawa Mengejar Ketertinggalan SDM

Sumber daya manusia merupakan faktor penting, jika bukan yang terpenting, dalam sebuah startup. Tanpa ada talenta yang mumpuni, sebuah perusahaan rintisan tidak akan bisa bergerak cepat dan berdampak sebagaimana karakter startup pada umumnya.

Beberapa tahun terakhir ini, kebutuhan akan SDM, khususnya di bidang teknologi dan informasi, terus meningkat. Kebutuhan tersebut mungkin relatif tidak terlalu menjadi masalah bagi startup-startup di kota besar, terutama di Jakarta tempat kebanyakan mereka bermukim.

Namun bagaimana dengan mereka yang di luar Pulau Jawa? Bagaimana pandemi memengaruhi aspek SDM startup di sana? Kami berbicara dengan tiga pemimpin startup yang beroperasi di Medan, Makassar, dan Batam.

Jauh tertinggal

CEO Topremit Hermanto Wie mengakui keberadaan talenta di sektor digital di Sumatera Utara masih minim jika dibandingkan dengan kota-kota besar di Pulau Jawa. Kurangnya SDM di sektor ini merupakan buah dari banyak variabel. Hermanto menyebut salah satu yang paling berkontribusi ialah minimnya startup digital di sana.

“Bisa dibilang berbanding lurus dengan jumlah demand, yaitu jumlah startup di Sumut ini masih berkembang,” cetus Hermanto.

Menurut Hermanto usaha berbasis digital memang belum menjamur. Sekalipun ada talenta unggulan, keberadaan startup belum begitu dilirik. Manufaktur, perbankan, logistik, masih menjadi pilihan utama SDM di sana. Ia menilai hal itu terjadi karena pengetahuan akan kerja startup di tempatnya belum diketahui banyak orang, sehingga tidak mencerminkan sebagai salah satu destinasi tempat kerja yang menarik.

Keadaan serupa dialami Roro Mega Cahyani. Roro adalah CEO & Co-Founder Zeal Indonesia, startup yang beroperasi di Batam, Kepulauan Riau. Minimnya pengetahuan masyarakat akan peluang kerja di startup menjadi tantangan. Keberadaan Nongsa Digital Park (NDP) yang dibuat pemerintah sebagai kawasan ekonomi khusus sedikit lebih menguntungkan Roro dan pelaku startup digital di sana. Menurutnya, tak sedikit yang berkeinginan mengadu nasib di Singapura dan Malaysia dengan bekal keahlian digital.

Mindset mereka sudah mengerti kalau kuliah doang enggak cukup. Kerjanya nanti mungkin di Singapura atau Malaysia. Tapi yang jadi kendala butuh waktu untuk belajar. Kadang kendalanya finansial,” ujarnya.

Jika faktor informasi mengenai pekerjaan startup yang masih sedikit di Batam dan Sumatera Utara menjadi faktor dominan, di Makassar kondisinya berbeda. CEO Mallsampah Saifullah Adi menjelaskan, ekosistem startup di Makassar memang sudah terbentuk. Hanya saja pertumbuhannya tergolong stagnan.

Ekosistem startup berarti institusi-institusi yang biasa mendukung perkembangan startup termasuk inkubator dan akselerator. Menurut Adi, jumlah keduanya di Makassar dan Kawasan Timur Indonesia secara umum masih terlampau sedikit untuk mengangkat pertumbuhan startup di sana.

“Salah satu penyebab mungkin ekosistem yang belum cukup baik. Inisiatif pemerintah dan swasta belum cukup besar dalam memantik ekosistem tumbuh. Bisa dihitung jari berapa inkubator, komunitas, atau akselerator di Indonesia Timur,” tutur Adi.

Mengakali keadaan

Keberadaan SDM krusial bagi perjalanan hidup startup. Tanpa kemewahan yang dinikmati kolega mereka di Pulau Jawa, pelakon startup di luar Pulau Jawa mengakali hal ini dengan berbagai cara. Adi memilih menjalin hubungan erat dengan sejumlah komunitas. Komunitas itu bisa ada di dalam atau luar kampus. Dengan begitu, Adi mengaku bisa sedikit lebih mudah mencari bakat-bakat yang diperlukan.

Di situasi pandemi ini, kebutuhan transformasi digital jadi jauh lebih cepat. Keberadaan talenta yang tepat, lagi-lagi, jadi kebutuhan yang wajib dipenuhi.

“Kami menggunakan bantuan komunitas-komunitas di sekitar kami, misal komunitas tech di luar atau dalam kampus,” imbuhnya.

Sementara Hermanto menilai sosialisasi tentang dunia startup perlu lebih gencar menyasar talenta muda di sana. Sosialisasi itu bisa berbentuk sesi berbagi informasi untuk pelajar di bangku kuliah dan sekolah. Startup yang sudah ada di sana, menurutnya, juga harus membuka kesempatan lebih lebar kepada lulusan baru. Selain diserap ke industri lain, ada kalanya Hermanto melihat SDM unggulan di wilayahnya justru hijrah ke ibu kota.

Untuk itu Hermanto memilih memberi keleluasaan bagi karyawan Topremit mengeksplorasi keahlian dan mendukungnya dengan sejumlah fasilitas mumpuni untuk pengembangan diri.

“Kami melakukan employer branding dan memperlihatkan suasana kerja yang fun, tim yang solid, dan tempat untuk belajar dan berkembang,” lengkap Hermanto.

Data Digital Competitive Index 2020 dari East Ventures memperlihatkan masih ada jurang besar antara suplai talenta digital di Jawa dan luar Jawa. Namun itu tidak menjadi alasan bagi tiga startup tersebut untuk tidak berkembang.

Hermanto menyebut pihaknya berencana mempekerjakan SDM yang berada di zona waktu berbeda untuk mengantisipasi permintaan pelanggan setiap saat. Dengan sumber daya yang mereka miliki, ketertinggalan SDM di wilayahnya bisa ditutup dengan merekrut SDM di negara lain.

“Kita ingin hire employee di timezone yg berbeda sehingga permintaan customer tetap bisa terpenuhi 24/7 dan team saya dpt belajar tentang culture dari nationality lain,” pungkas Hermanto.

Sementara Adi berpendapat kebutuhan SDM yang tepat dan unggul sangat krusial untuk startupnya yang bergerak di bidang lingkungan. Kebutuhan itu menguat seiring kesadaran masyarakat tentang lingkungan terus meningkat selama masa pandemi ini sehingga permintaan untuk layanan mereka otomatis juga terangkat.

Sadar akan ketertinggalan ekosistem digital di wilayahnya, Adi memperkirakan perkembangannya akan lebih lambat dibanding kolega mereka di Pulau Jawa.

Supply and demand yang ada tentu tidak sebesar di Pulau Jawa. Ini salah satu yang membuat ekosistem mungkin tidak berkembang dengan cukup baik,” ujar Adi.

Sedikit optimis, Roro melihat perkembangan ekosistem digital di Batam yang diinisiasi pemerintah sebagai kesempatan besar. Keberadaan NDP, menurutnya, akan jadi faktor pembeda bagi ekosistem digital di Batam dan lingkunp Sumatera pada umumnya, sekaligus mempercepat daya saing talenta digital di sana.

“Makanya enggak heran ada talenta dari Jawa yang pindah ke Batam,” pungkas Roro.

The Story of Overpaid Talents in Indonesia’s Tech Startup Ecosystem

It is quite common to find most startups offering substantial salaries for a series of expertise. Software Engineer, for example, is a type of work that is often associated with a high salary in startups.

Not only engineers but some other occupations are also tempted by a large sum of salaries. All this is inseparable from the combination of imbalanced supply-demand human resources and startup culture that emphasized rapid growth compared to traditional companies.

Recently, there was a problem as we observed the startup habit of giving exorbitant salaries to their employees. First, when funding dried up, employees’ layoffs can occur quickly. Second, their previously high salary can make it harder for companies to recruit due to their grade which is considered above average.

The budget hotel startup, OYO, has recently made the news after firing thousands of its employees in India, China, and also in the United States. Similar official announcements have not yet been heard from their operations in Indonesia. However, rumors have been spreading on social media.

We discuss with several people from the headhunter’s office to find out more whether it is true that startups are to “blame” for resources’ too expensive labels and considered “damaging prices”.

Lack of Resources

David Wongso, who works as Transearch International’s Managing Director, a human resources recruitment company, said that the first thing to understand is the availability of human resources which is sadly not getting along with the growing number of startups in Indonesia, at least until 2030. Not only startups, but the rise of conventional companies to digitize their businesses also add to the imbalance of the supply-demand of digital talent.

David also discovered another factor on the lean structure of startups that often caused some employees to level up so quickly from junior to senior management. Therefore, David said it is not surprising that such a large gap can causes remuneration for some human resources swelling.

“Some of them get leapfrog promotions jumping from middle to senior management,” David told DailySocial.

Rendi – an alias – is Gojek alumnus with expertise in marketing. The ex-Gojek status has successfully paved the way to join other startups. Although, not exactly as stated by David, Rendi managed to jump over mid-level management when moving to another startup.

Rendi agrees on the startup habit that is willing to pour out a large amount of remuneration of the desired talents. However, this does not apply at all levels and places. As Rendi said, his previous office only provides fantastic remuneration at the senior management level, not the junior and middle levels.

“For example, entry-level marketing for the strategic category has quite low offering. Nevertheless, other marketing positions such as Head or VP or any kind can be the real deal because mostly hijacked from big companies,” Rendi said.

High Demand

Another story comes from Haryotomo Wiryasono who works as a senior consultant at Glints, a recruitment platform. Haryo claimed that the term overpaid for startup talents is quite debatable.

According to Haryo, the demands and workload of startup employees are the main factors of the high salary. Investors’ pressure to achieve growth and impact leads to the extra work of the startup members. This is different from the conventional business model of the company which focuses on profits and the company’s long-term survival even though the results are slower growth.

“They don’t have the privilege of conventional companies. While we know that one of the startups that we know the oldest, like Facebook, is still in its teens but it has a huge impact,” he explained.

The three people above admit that startup culture influences the workforce climate. Haryo claimed to get a story from his client that the price tag of startup talents is too expensive. Rendi, in his new place, had failed several times to acquire talents of well-known startups because of the different standard salary.

However, David who has a long journey in the HR recruitment sector said the expensive price tag was not everlasting sweet. It’ll soon be a burden for the workers if they are unable to meet the expectations of their price tags. In the end, exorbitant salaries for digital talents who have worked in startups can be justified if they succeed in bringing their expertise, which is actually needed by many companies.

“Indeed, digital talents selected and eliminated from startup, when they return to work in large companies, they must be able to adapt to the company’s culture. Whether they are overpaid and have no leadership and managerial skills, it will be an obstacle for them,” David said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Fenomena Talenta “Overpaid” di Ekosistem Startup Teknologi Indonesia

Sudah menjadi pengetahuan bersama bahwa tak sedikit startup menawarkan gaji yang cukup besar bagi sejumlah bidang keahlian. Software Engineer misalnya adalah jenis pekerjaan yang identik dengan bayaran mahal di startup.

Tak hanya engineer, beberapa talenta di keahlian lain pun tak luput dari iming-iming gaji besar. Semua ini tak lepas dari kombinasi supply-demand sumber daya manusia yang masih berat sebelah dan kultur operasional startup yang menekankan pertumbuhan yang cepat jika dibandingkan dengan perusahaan tradisional.

Belakangan ada masalah yang terlihat dari kebiasaan startup memberi gaji selangit kepada karyawannya. Pertama, ketika sumber pendanaan mengering, pemutusan hubungan kerja bisa terjadi dengan cepat. Kedua, gaji tinggi mereka di tempat sebelumnya dapat menyulitkan perusahaan-perusahaan untuk merekrut talenta tadi karena dianggap jauh di atas rata-rata yang mereka sanggupi.

Belum lama startup hotel bujet, OYO, masuk ke dalam pembicaraan ini setelah memecat ribuan karyawan mereka di India, Tiongkok, juga di Amerika Serikat. Pengumuman resmi serupa memang belum terdengar dari operasional mereka di Indonesia. Meski demikian desas-desus mengenai hal itu sudah berkeliaran di media sosial.

Kami berbicara dengan beberapa orang dari kantor headhunter untuk mengetahui lebih jauh apakah benar startup pantas “disalahkan” atas label SDM yang terlalu mahal sehingga dianggap “merusak harga”.

Kelangkaan sumberdaya

David Wongso yang bekerja sebagai Managing Director Transearch International, sebuah perusahaan rekrutmen sumber daya manusia, mengatakan pertama-tama yang harus dipahami adalah ketersediaan SDM belum mengimbangi jumlah startup yang terus bertambah di Indonesia setidaknya hingga 2030 nanti. Tak hanya startup, gelombang perusahaan konvensional mendigitalisasi bisnis mereka juga menambah jomplangnya neraca permintaan dan suplai talenta digital.

Faktor lain yang ditemukan David adalah struktur ramping startup kerap kali menyebabkan sejumlah personel mengalami lompatan yang relatif lebih cepat dari level manajemen junior ke manajemen senior. Maka, menurut David, tak mengherankan gap yang sedemikian besar itu menyebabkan remunerasi bagi sejumlah SDM jadi membengkak.

“Sebagian dari mereka mendapatkan leapfrog promosi melompati jenjang middle management ke senior management,” ujar David kepada DailySocial.

Rendi–bukan nama sebenarnya–merupakan alumni Gojek dengan keahlian di bidang pemasaran. Status alumni Gojek berhasil memuluskan jalannya bergabung ke startup lain. Meski tidak persis seperti yang diutarakan David, Rendi berhasil melompati manajemen level menengah saat pindah ke startup lain.

Rendi mengamini kebiasaan startup yang rela menggelontorkan uang yang cukup besar untuk remunerasi SDM yang diinginkan. Meskipun demikian, hal itu tak berlaku di semua level dan tempat. Menurut Rendi, di tempat ia bekerja sebelumnya remunerasi fantastis hanya terjadi di level manajemen senior, namun tidak di level junior dan menengah.

“Misal ya entry level marketing yang masih kategori strategic, itu offering-nya lumayan rendah. Tapi marketing yang misal Head atau VP atau apapun bisa gede banget karena kebanyakan hijack dari perusahaan besar,” ucap Rendi.

Tuntutan tinggi

Cerita lain datang dari Haryotomo Wiryasono yang bekerja sebagai konsultan senior di Glints, sebuah platform rekrutmen. Haryo mengaku istilah overpaid untuk para talent asal startup masih bisa diperdebatkan.

Menurut Haryo, tuntutan dan beban kerja personel startup menjadi penyebab utama bayaran yang mereka terima jadi sangat tinggi. Tekanan investor untuk mencapai target pertumbuhan dan dampak yang diincar berujung pada kerja ekstra para punggawa startup. Ini berbeda dengan model bisnis perusahaan konvensional yang menitikberatkan profit dan keberlangsungan hidup perusahaan dalam jangka panjang meski hasilnya pertumbuhan mereka lebih lambat.

“Mereka tidak punya privilese seperti perusahaan konvensional. Sementara kita tahu salah satu startup yang kita kenal paling tua, seperti Facebook, itu umurnya masih belasan tahun tapi dampaknya sudah besar banget,” jelasnya.

Ketiga orang di atas mengakui bahwa kultur startup berpengaruh terhadap iklim tenaga kerja. Haryo mengaku mendapat cerita dari kliennya bahwa label harga tenaga kerja dari startup terlampau mahal. Rendi di tempat barunya beberapa kali gagal mendaratkan talenta dari startup ternama karena standar gajinya yang berbeda cukup jauh.

Namun David yang sudah lama bekerja di sektor rekrutmen SDM berujar label harga mahal tak selalu manis. Label harga mahal akan jadi beban bagi si pekerja ketika mereka tak mampu memenuhi ekspektasi dari label harga mereka. Pada akhirnya gaji selangit bagi talenta digital yang pernah bekerja di startup dapat terjustifikasi jika berhasil membawa keahlian mereka yang sejatinya kian dibutuhkan banyak perusahaan.

“Tentunya talenta digital yang terseleksi dan gugur dari startup, ketika mereka kembali bekerja di perusahaan besar, harus bisa beradaptasi dengan budaya yang unik dari perusahaan. Bila mereka overpaid dan tidak memiliki kemampuan leadership dan manajerial, maka akan menjadi kendala bagi mereka,” pungkas David.

Mengatasi Krisis Kebutuhan Talenta Digital

Besarnya permintaan talenta digital, yang kebanyakan datang dari startup dan perusahaan teknologi, tidak dibarengi dengan ketersediaan talenta digital yang sepadan. Melihat permasalahan tersebut, sudah waktunya startup mengubah konsep proses recruitment mereka dengan cara yang berbeda.

Tidak hanya mencari talenta saat posisi tersebut dibutuhkan, perusahaan mulai perlu menjemput bola dengan melakukan branding, targeted employee, dan kegiatan lainnya yang menempatkan startup Anda terbuka untuk didekati target talenta yang diincar.

Dalam riset yang dirilis Robert Walters terungkap, kenyamanan dan kesempatan untuk menambah wawasan dan skill di kalangan pegawai merupakan salah satu poin yang diincar pencari kerja atau talenta digital ketika sedang memilih lapangan pekerjaan yang ideal.

Tidak lagi mengharapkan benefit dalam bentuk kesejahteraan atau kenyamanan, fleksibilitas dan keleluasaan jam kerja menjadi alasan utama mengapa mereka memutuskan untuk memilih startup atau korporasi tertentu untuk bekerja.

Dalam survei tersebut juga disebutkan sekitar 70% divisi personalia perusahaan menemukan bahwa kekurangan talenta digital bisa mempengaruhi pertumbuhan bisnis perusahaan, terutama dalam hal pengembangan produk. Sementara 68% menyebutkan dibutuhkan sedikitnya tiga bulan bagi perusahaan untuk menemukan talenta yang ideal di posisi yang dibutuhkan.

Dalam artikel kali ini, DailySocial mencoba merangkum lima poin penting yang wajib diterapkan untuk mengatasi krisis kebutuhan talenta digital.

Branding

Istilah branding ternyata tidak hanya berlaku saat sedang melancarkan kegiatan pemasaran. Branding juga bisa diterapkan saat perusahaan ingin merekrut talenta digital yang relevan. Tidak hanya mengandalkan job listing atau informasi lowongan pekerjaan secara offline atau online, tetapi juga memposisikan perusahaan lebih luas di acara atau kegiatan tertentu. Sebagai contoh membuka booth di job fair atau langsung mengunjungi universitas untuk mencari talenta yang relevan. Intinya bersedia ‘going extra mile‘ demi mendapatkan talenta terbaik tanpa harus menunggu terlebih dahulu.

Perusahaan teknologi besar, seperti Tokopedia, Bukalapak atau Gojek lebih mudah dikenali talenta digital karena nama besar yang mereka sandang. Kondisinya berbeda bagi startup baru yang memerlukan effort lebih besar. Cara paling efektif adalah memanfaatkan media sosial, situs resmi perusahaan, dan mengikuti kegiatan job fair di universitas dan lokasi lainnya dengan memberikan pengenalan yang lebih baik tentang perusahaan Anda.

“Menjadi salah satu startup unicorn tentunya menguntungkan bagi kami, Tokopedia untuk dikenal secara luas. Namun demikian hal tersebut bukan berarti kami bisa mendapatkan talenta digital dengan mudah. Dibutuhkan kegiatan pendukung lainnya untuk kami melakukan proses rekrutmen. Mulai dari memanfaatkan media sosial, mengikuti job fair hingga melancarkan kegiatan roadshow. Melalui kegiatan ini kita melihat pertumbuhan talenta digital cukup stabil,” kata Senior Recruitment Manager Tokopedia Lita Rosalia.

Benefit

Dalam riset yang dilakukan Robert Walters ditemukan sejumlah data menarik, misalnya sekitar 58% calon pegawai mengingnkan jam kerja yang fleksibel ketika sedang mencari tempat bekerja, 49% mencari asuransi untuk anggota keluarga, 46% menginginkan kebebasan untuk remote working.

Kemudian 36% mencari asuransi pribadi, 30% ingin mendapatkan kesempatan untuk belajar dan training, sementara itu 27% menginginkan keleluasaan untuk cuti dan hanya 16% saja yang mencari keuntungan uang pulsa dan transportasi.

Melihat munculnya fenomena baru, seperti remote working dan jam kerja yang lebih fleksibel, Pendiri Geekhunter Ken Iswari menegaskan, hal tersebut menjadi permintaan yang cukup umum saat ini, ketika teknologi sudah membantu mempercepat proses bekerja.

“Menjadi hal yang sah-sah saja ketika mereka mencari dua kebutuhan tersebut. Saat ini kita sedang ada di era masa depan yang baru untuk bekerja. Masa depan ini tidak lagi terbatas pada lokasi atau jam kerja, selama pegawai tersebut bisa bertanggung jawab menyelesaikan pekerjaan,” kata Ken.

Di Geekhunter, Ken mulai menerapkan sistem bekerja remote dan jam kerja fleksibel kepada pegawai, namun dengan catatan jika mereka bisa mempertanggungjawabkan kebebasan tersebut. Jika mereka tidak bisa memberikan hasil pekerjaan yang ditargetkan meskipun sudah mendapatkan kebebasan untuk bekerja remote dan jam kerja yang fleksibel, pilihan fasilitas tersebut akan dihapuskan dari pegawai terkait.

Perusahaan dihadapkan pilihan untuk penerapan benefit khusus bagi perusahaan yang disesuaikan dengan kebutuhan. Jika memang tidak bisa diterapkan untuk semua pegawai, manajemen bisa menentukan departemen atau divisi tertentu yang relevan yang dapat menikmati fasilitas ini.

Adaptasi dan kolaborasi

Ketika startup atau perusahaan masih terbilang baru, jumlah pegawai atau talenta digital belum terlalu banyak jumlahnya. Namun ketika pertumbuhan bisnis sudah semakin meningkat dan kebutuhan menambah anggota tim untuk posisi tertentu sudah mulai bermunculan, proses rekrutmen tidak bisa dihindarkan. Ketika pegawai baru mulai masuk secara bertahap, pastikan adaptasi dan proses perkenalan kepada semua anggota tim dan manajemen dilakukan untuk mendukung kolaborasi.

Salah satu cara mengenali apakah calon pegawai tersebut cocok untuk ditempatkan di posisi yang dibutuhkan adalah dengan menilai poin-poin berikut: apakah calon pegawai tersebut memiliki potensi untuk bisa bekerja dalam tim, apakah calon pegawai cukup nyaman bekerja memanfaatkan teknologi dan platform yang biasa digunakan, apakah calon pegawai memiliki kemampuan lain yang belum ada di pegawai yang sudah bekerja, apakah ada pegawai di perusahaan yang bisa membantu calon pegawai tersebut mengatasi kelemahan atau kekurangan yang ada.

Untuk poin yang terakhir bisa diterapkan ketika perusahaan masih kesulitan untuk menemukan posisi tertentu, namun dengan memanfaatkan talenta yang ada mereka bisa dilatih untuk bisa menempati posisi yang dicari. Pegawai yang merasa mendapatkan dukungan dari perusahaan dijamin akan lebih bersemangat saat bekerja dan memiliki motivasi untuk memberikan hasil yang terbaik.

“Kami di Tencent Thailand sejak hari pertama selalu membantu pegawai untuk meningkatkan jenjang karier mereka. Intinya kita harapkan pegawai bisa tumbuh bersama dengan perusahaan dengan menciptakan kolaborasi tim yang positif dan meningkatkan kemampuan mereka,” kata Associate Director Talent Acquisition Tencent Thailand Wareerat Toni K.

Pelatihan talenta digital

Riset Robert Walters juga mengungkapkan, sebanyak 61% pegawai berharap mendapatkan training atau pelatihan yang bisa meningkatkan kemampuan mereka. Sementara 36% berharap bisa terlibat dalam cross-functional project, 35% orang juga berharap bisa mengikuti workshop atau pelatihan dalam skala mendasar.

Berikutnya 28% berharap bisa mendapatkan kesempatan rotasi pekerjaan dan 28% lainnya bisa mendapatkan kesempatan berbagi pengalaman dengan profesional lainnya. Survei tersebut juga menyebutkan 24% ingin menghadiri konferensi dan mendapatkan mentorship, sementara 22% berharap bisa mendapatkan on-the-job training, dan 11% ingin mendapatkan kesempatan untuk memperluas jaringan.

Pelatihan dan kesempatan memperkaya wawasan ternyata menjadi catatan penting bagi calon pegawai, karena berharap bisa memapu meningkatkan kemampuan yang berpengaruh ke promosi dan peningkatan jenjang karier.

Cara lain yang bisa dilakukan perusahaan adalah memberikan kesempatan kepada mereka menjadi perwakilan perusahaan atau speakermoderator saat acara konferensi atau kegiatan offline lainnya.

“Di AnyMind Group kami selalu memberikan kesempatan untuk pegawai mengikuti training untuk meningkatkan kemampuan mereka melalui platform belajar internal. Dalam hal ini adalah memanfaatkan AnyMind University dan sumber daya internal lainnya seperti training yang sesuai dengan fungsinya hingga sesi untuk berbagi memanfaatkan Facebook, email mingguan perusahaan dan masih banyak lagi,” kata Country Manager AnyMind Group Indonesia Lidyawati Aurelia.

Leadership

Tidak  hanya membina relasi yang positif antar tim, para pimpinan (dari manajemen hingga supervisor) diharapkan bisa menempatkan posisi mereka dengan tepat dan membina hubungan yang baik dengan semua pegawai. Para pemimpin juga bisa melakukan komunikasi yang lancar dan tepat dengan pegawai. Tidak hanya dalam konteks urusan bisnis, namun juga meningkatkan kreativitas pegawai.

Kepemimpinan di perusahaan juga bisa menentukan budaya dan arah perusahaan. Di era digital saat ini, penting bagi pemimpin perusahaan untuk mempercayai teknologi dan bagaimana Anda bisa mengakselerasi teknologi tersebut ke dalam bisnis. Untuk mengaktifkan proses tersebut, perusahaan perlu menyisihkan sumber daya dan waktu untuk memungkinkan para profesional teknologi berinovasi dan menciptakan nilai untuk bisnis.

“[Pemanfaatan] Digital mau tidak mau akan menjadi bagian besar dari dunia kita dan perusahaan yang tidak berubah cukup cepat hanya akan kalah. Upayakan untuk tidak terlalu meminta tim Anda terlalu fokus untuk membuktikan ROI dari semua upaya digital dan inisiatif. Organisasi perlu memberdayakan tim untuk melihat masa depan jangka panjang sehingga mereka dapat berinovasi dan memberikan kontribusi yang relevan untuk bisnis,” kata Digital Leader & Transformation Expert Carolyn Chin-Parry.

Pada akhirnya, kemampuan teknis seperti kemampuan mengembangkan kode tidak harus menjadi prioritas ketika mencari seorang pemimpin. Sebaliknya, ia perlu memiliki pemahaman yang baik tentang lanskap teknologi, yang dibarengi dengan kemampuan manajemen pemangku kebijakan yang kuat untuk membantu meyakinkan bisnis akan nilai inovasi teknologi dan mengatasi krisis kebutuhan digital talent.

Kemkominfo Alokasikan Lebih dari 100 Miliar Rupiah untuk Beasiswa Sekolah TI

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mengalokasikan anggaran Rp109,4 miliar untuk merealisasikan program digital talent scholarship. Diharapkan program ini bisa mencetak 20 ribu talenta digital yang memperoleh sertifikat.

Dikutip dari Katadata, dalam menyediakan dana tersebut Kemkominfo mengalihkan anggaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke Badan Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Sumber Daya Manusia (SDM) untuk pengembangan vokasi talenta digital dan sertifikasi Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI).

“Tidak ada perubahan signifikan dari segi nilai. Melainkan pergeseran karena terjadi refocusing ke litbang karena pemerintah punya program digital talent. Sumbernya dari PNBP,” terang Menteri Kemkominfo Rudiantara.

Pemerintah menargetkan ada 25 ribu peserta yang mengikuti program vokasi ini. Dari jumlah itu, 20 ribu diantaranya bakal mendapat sertifikat. Untuk merealisasikan itu pemerintah mengajak kerja sama dengan 28 universitas negeri dan swasta, 22 politeknik, dan lima perusahaan teknologi global.

Program ini menyediakan empat akademi. Pertama, untuk lulusan baru akan tersedia 6 ribu beasiswa. Materi yang diajarkan terkait keamanan siber bekerja sama dengan Cisco untuk 1000 siswa. Lalu, 3 ribu beasiswa untuk big data analytics, kecerdasan buatan, dan cloud computing. Kemudian, 2 ribu beasiswa terkait Internet of Things (IoT) dan mesin pembelajar bekerja sama dengan AWS.

Kedua, vocational school graduate academy dengan memberikan 4 ribu beasiswa kolaborasi dengan 22 politeknik. Ada lima SKKNI junior yang diberikan kepada masing-masing 800 penerima beasiswa, yakni network administrator, web developer, mobile programmer, graphic design, dan intermediate animator.

Kedua jenis akademi ini, peserta diwajibkan mengikuti kelas online kewirausahaan digital.

Ketiga, coding teacher academy untuk 4 ribu penerima beasiswa kerja sama dengan Google dan Dicoding. Keempat, online academy untuk 11 ribu penerima penerima beasiswa. Dari jumlah itu, materi cyber operation dan CCNA security akan diberikan kepada 1.500 penerima beasiswa bekerja sama dengan Cisco. Di tambah 1.000 penerima beasiswa bekerja sama dengan AWS.

Terakhir, 1.500 beasiswa untuk materi programming operation, kolaborasi dengan Cisco. Lalu, masing-masing 1.500 beasiswa untuk materi digital skill dan digital policy, kerja sama dengan Microsoft. Serta, materi big data untuk 2 ribu beasiswa dengan AWS.

Upaya ini dilakukan pemerintah karena menurut data McKinsey, Indonesia diproyeksi kekurangan SDM digital 600 ribu per tahun. Ada gap 9 juta talenta digital hingga 2030.

Meski begitu, menurut Rudiantara, semestinya talenta di bidang digital harus dilatih sedini mungkin. Beda kondisinya dengan Singapura, di mana sejak pre-school mereka didorong untuk belajar coding dengan berpikir sesuai logika.

Saat ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sudah menyiapkan materi coding dalam silabus di SMK untuk pendidikan dasar. Untuk perguruan tinggi, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) didorong untuk membuat program studi terkait teknologi.

“Pemerintah siapkan semua ini supaya terintegrasi,” pungkasnya.

Kemkominfo mendapat pagu anggaran pada tahun ini sebesar Rp5,4 triliun untuk menjalankan tujuh program. Pagu ini naik sekitar Rp484 miliar dibandingkan tahun lalu Rp4,9 triliun.

Program yang akan dijalankan terdiri dari infrastruktur telekomunikasi, pengembangan ekosistem digital, literasi digital dan media, pengendalian konten, layanan publik, government public relation, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).

Rudiantara Ajak Perusahaan Teknologi Asing Turut Ciptakan Talenta Digital di Indonesia

Persoalan talenta hingga saat ini masih menjadi kendala di Indonesia. Minimnya kemampuan dari generasi muda Indonesia terkait dengan teknologi dan bisnis digital menjadi perhatian pemerintah. Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara secara agresif mengajak startup hingga perusahaan teknologi untuk membantu Indonesia meningkatkan kemampuan dan skill tenaga digital di Indonesia.

Dalam acara peresmian data center kedua Alibaba Cloud (09/1), Menkominfo turut mengajak perwakilan Alibaba Cloud untuk membantu Indonesia melahirkan talenta digital. Sehingga impor tenaga kerja asing tidak lagi menjadi prioritas dari startup hingga perusahaan teknologi di Indonesia.

“Saya tidak menyarankan startup atau perusahaan teknologi untuk mempekerjakan tenaga asing sebagai engineer di Indonesia. Namun dengan memberikan pengetahuan dan wawasan yang luas kepada talenta, tentunya bisa lebih memberikan manfaat lebih untuk tenaga kerja digital di Indonesia.”

Dalam hal ini Rudiantara merekomendasikan Alibaba Cloud untuk menghadirkan kurikulum dan silabus di sini. Sebelumnya Rudiantara juga telah menyampaikan niat tersebut kepada Jack Ma untuk membangun akademi di Indonesia. Namun untuk saat ini fokus lebih kepada pelatihan dan kelas dalam skala kecil terlebih dulu.

Menanggapi permintaan Menkominfo, Alibaba Cloud masih menampung masukan tersebut dan tentunya berupaya untuk terus mendukung program dari pemerintah Indonesia.

Program 20 ribu talenta digital Indonesia

Selain mengajak startup dan perusahaan teknologi untuk menciptakan pelatihan, kelas hingga akademi pemrograman, Kementerian Kominfo juga telah menggandeng sekitar 20 universitas di 12 kota di Indonesia untuk menerapkan pelajaran seperti big data, artificial intelligence, cyber security, cloud computing dan digital business ke dalam kurikulum mereka.

Targetnya hingga tahun 2019 mendatang sudah lahir sekitar 20 ribu talenta digital baru di Indonesia. Selain lima kurikulum yang direkomendasikan, Kominfo juga ingin menambah Internet of Things, robotics dan programming ke dalam program talenta digital Indonesia.

“Pemerintah Indonesia selama ini sudah cukup terbuka kepada investor asing untuk berinvestasi di Indonesia. Tapi kami juga mengajak mereka untuk memberikan kontribusi lain dalam bentuk pendidikan untuk talenta di Indonesia,” kata Rudiantara.