CEO Epic Games Sebut Google Lakukan Bisnis Tanpa Etika

Kesuksesan Unreal Engine dan juga popularitas Fortnite memang membawa Epic Games menjadi salah satu raksasa baru dalam industri video game. Hal ini tentu dirasakan juga oleh sang CEO Tim Sweeney yang kini menjadi semakin berani untuk memperjuangkan produk-produknya.

Sebelumnya, industri video game dikejutkan dengan perseteruan antara Epic Games melawan Apple yang berlanjut ke meja hijau. Ketika perkara dengan Apple masih menunggu keputusan pengadilan, Tim kelihatannya mengalihkan perhatiannya kepada Google.

Hal ini dilakukan oleh Tim lewat cuitannya di Twitter yang mengutip berita tentang Google melakukan instalasi otomatis aplikasi pelacakan kontak (untuk COVID-19) pada smartphone tanpa seizin penggunanya yang berada di Amerika Serikat.

Seperti yang terjadi sebelumnya dengan Apple, Tim langsung menyerang Google dengan menyebut bahwa para pengguna yang malang diblokir untuk memasang Fortnite lewat Google Play Store. Namun Google malah memasang aplikasi tanpa persetujuan penggunanya.

Tim bahkan menyebut apa yang dilakukan Google tersebut sebagai ‘bisnis tanpa etika’. Cuitan ini pun mendapat dukungan dari para pengikut Tim yang bahkan mendorong sang CEO untuk membuat mobile store mereka sendiri.

Dalam cuitan-cuitan setelahnya, Tim Sweeney juga masih menyerang baik Apple maupun Google. Namun uniknya, ia memberikan apresiasi terhadap Microsoft terutama pada kehadiran Windows 11 dengan mengatakan bahwa “versi 2021 dari Microsoft adalah versi terbaik dari Microsoft yang pernah ada.”

Meskipun tidak menyinggungnya secara langsung, kelihatannya Sweeney memuji Microsoft atas keputusan untuk memperbolehkan para pengembang di store-nya dapat menggunakan sistem pembayaran sendiri dan menyimpan 100% pendapatannya.

Apakah selain untuk menyerang raksasa Google, cuitan-cuitan dari Tim Sweeney ini juga mengindikasikan bahwa mereka tidak akan bekerja sama untuk pasar mobile? Apalagi di cuitannya yang lain, ia me-retweet informasi bahwa Windows 11 akan mendukung aplikasi Android.

Ataukah cuitan ini akan berakhir juga sebagai tuntutan kepada Google ke jalur hukum oleh Epic Games? Apalagi dengan posisinya sekarang, Tim dengan Epic Games memang telah mampu melawan raksasa teknologi yang dianggap merugikan mereka.

Program Gratisan Epic Games Store Justru Bantu Tingkatkan Penjualan Game di Platform Lain

Beberapa minggu terakhir ini, Epic Games Store (EGS) menerima perhatian lebih besar dari biasanya. Kita tahu bahwa mereka rutin memberikan game gratisan setiap minggunya, tapi kita mungkin tidak menyangka kalau game gratisannya bisa sebergengsi GTA V.

Epic Games juga belum menunjukkan tanda-tanda mau berhenti bagi-bagi game AAA. Setelah GTA V, penawaran gratisnya mencakup Civilization VI dan Borderlands: The Handsome Collection. Lalu yang mungkin jadi pertanyaan, apakah developer dan publisher-nya tidak rugi dengan adanya program seperti ini?

Tidak, karena tentu saja Epic Games telah membayar pihak developer dan publisher sebagai bentuk kompensasinya, seperti dijelaskan oleh Creative Assembly, yang baru-baru ini mengumumkan bahwa game terbarunya, Total War Saga: Troy, bisa didapat secara gratis pada hari pertama perilisannya di Epic Games Store.

Lebih lanjut, program gratisan EGS justru malah bisa membantu meningkatkan penjualan di platform lain seperti Steam. Hal itu diungkapkan langsung oleh CEO Epic Games, Tim Sweeney, pada wawancaranya bersama GameSpot.

"Mystery Game" mengindikasikan game gratisan selanjutnya adalah judul blockbuster / Epic Games
“Mystery Game” mengindikasikan game gratisan selanjutnya adalah judul blockbuster / Epic Games

Tanpa membeberkan data yang spesifik, beliau mengklaim bahwa game yang pernah digratiskan di EGS malah bertambah laris penjualannya. Bukan cuma di Steam, tapi juga di platform console sekaligus.

Alasannya, menurut Tim, adalah “increased awareness“; banyak gamer yang baru menyadari bahwa suatu game sangat menarik untuk dimainkan pasca mendapatkannya secara cuma-cuma via EGS, dan itu pada akhirnya menginspirasi gamer lain – yang mungkin tidak sempat mengklaim game-nya selama digratiskan oleh EGS – untuk membeli game tersebut.

Kalau tidak digratiskan, mereka mungkin tidak akan pernah terpikir untuk mencoba game yang bukan termasuk dalam genre favoritnya. Tim memakai Satisfactory sebagai contoh, yang mungkin kurang banyak dilirik karena masuk kategori simulasi. Peluang seperti inilah yang ingin EGS hadirkan melalui program game gratisannya.

Buat Epic Games sendiri, tentu saja program gratisan ini berjasa membawa jutaan konsumen baru ke ekosistemnya. Meski mungkin untuk mengubah mereka menjadi konsumen yang loyal memerlukan lebih dari sekadar koleksi game gratisan; fitur-fitur baru dan penyempurnaan terhadap Epic Games Launcher tentu tidak kalah penting, dan untungnya Epic Games sudah mulai menerapkannya.

Sumber: GameSpot.

Epic Games ‘Terpaksa’ Melepas Fortnite di Google Play

Ketika pengguna PC sudah lama maklum mereka harus menggunakan banyak platform untuk mengakses konten berbeda, Google Play ialah satu-satunya portal ‘resmi’ di Android buat mendapatkan aplikasi. Tapi dari sejak pertama meluncurkan Fortnite di perangkat bergerak, Epic Games menolak menyediakan game populernya itu di Google Play. Mereka memilih menggunakan software buatan sendiri.

Namun sebuah perubahan datang minggu ini. Epic Games akhirnya menyerah dan resmi meluncurkan Fortnite di Google Play setelah 18 bulan memanfaatkan Fortnite Launcher/Epic Games App. Alasan mengapa Epic terpaksa melakukannya adalah karena Google ‘menempatkan app-app third-party di posisi yang kurang menguntungkan’ dengan cara memperingati pengguna terhadap potensi adanya masalah dan mengkategorikan software yang tidak tersaji via Play sebagai malware.

Dalam sebuah pernyataan, Epic menjelaskan bahwa sejumlah strategi Google jelas merugikan aplikasi pihak ketiga, baik dilihat dari sudut pandang bisnis maupun teknis. Contohnya adalah peringatan keamanan dan notifikasi update software yang muncul terus-menerus, kesepakatan dengan operator mobile serta vendor hardware yang restriktif. Selain itu lewat Play Protect, Google belakangan mulai aktif memblokir software-software yang diperoleh dari luar Play.

Dengan munculnya Fortnite secara resmi di Google Play, mulai sekarang Epic harus membayar Google sebesar 30 persen atas pemasukan yang mereka peroleh dari transaksi in-app. CEO Epic Tim Sweeney memang cukup vokal dalam mengutarakan ketidakpuasannya terhadap peraturan Apple App Store dan Google Play. Menurutnya, pemilik platform sering menyalahgunakan posisi mereka dan membebankan biaya tinggi pada developer.

Saat Fortnite dilepas di Android, Sweeney sempat menyampaikan bahwa potongan 30 persen merupakan angka yang sangat besar. Sementara itu, developer harus menggunakan 70 persen profit untuk terus mengembangkan konten, mengoperasikan, dan mendukung permainan mereka. Sebagai pemilik layanan distribusi digital, Epic sendiri menerapkan pembagian keuntungan 88:12 – menggoda banyak developer buat merilis game di storefront mereka.

Sikap Epic ini memang memperlihatkan ketidaksukaan mereka terhadap praktek monopoli pemegang platform, tapi bukankah tim pencipta Fortnite itu juga menerapkan strategi eksklusif di Epic Games Store? Hal inilah yang dikeluhkan oleh banyak gamer di PC terhadap Epic Store.

Terlepas dari penyediaan Fortnite di Google Play, sentimen Epic Games tidak berubah. Sweeney tetap berharap agar Google merevisi kebijakan serta cara mereka menjalankan bisnis dalam waktu dekat sehingga semua developer bisa bebas menjangkau konsumen dan menjajakan konten melalui layanan yang transparan. Epic bahkan meminta sang raksasa internet untuk tidak memaksa developer buat menggunakan metode pembayaran Google.

Sayangnya, Google menolak permintaan tersebut. Google menyatakan, mereka punya model bisnis dan kebijakan pembayaran sendiri, yang memungkinkan perusahaan menyediakan perkakas untuk membantu developer buat berkembang sembari memastikan pengguna tetap aman.

Via The Verge.

Bos Epic Games Ingin Developer Berhenti Gunakan Sistem Loot Box

Di industri game, loot box adalah salah satu topik kontroversial yang sering dibahas. Tahun lalu, pemerintah Amerika Serikat bahkan berencana membuat regulasi tentang loot box. Loot box menjadi pembicaraan hangat karena belakangan, semakin banyak game yang menggunakan sistem tersebut. Game-game populer sekalipun menggunakan sistem loot box, seperti Overwatch, Apex Legends, dan FIFA. Memang, penggunaan sistem loot box terbukti menguntungkan. Belum lama ini, Nintendo mendapatkan US$1 miliar dari game mobile. Game yang memberikan kontribusi paling besar adalah Fire Emblem, yang merupakan game gacha. Namun, CEO Epic Games, Tim Sweeney merasa, developer harus berhenti menggunakan sistem loot box atau gacha demi mendapatkan untung.

“Kita harus bertanya pada diri kita sendiri, sebagai industri, kita mau menjadi industri seperti apa? Apa kita ingin seperti Las Vegas, yang penuh dengan perjudian… atau kita mau dikenal sebagai kreator dari produk yang bisa dipercaya oleh konsumen?” kata Sweeney, menurut laporan Dexerto. Dia merasa, saat ini, industri game sedang berada di persimpangan jalan dan mereka harus memilih jalan yang benar. “Kita harus berhati-hati dalam menciptakan game yang pengalaman bermain para pemain dipengaruhi oleh jumlah uang yang dihabiskan. Sistem loot box memiliki mekanisme yang sama dengan judi. Hanya saja, Anda tidak bisa mendapatkan uang Anda kembali di loot box.”

X-ray Llama dalam Fortnite. | Sumber: Dexerto
X-ray Llama dalam Fortnite. | Sumber: Dexerto

Sweeney memang tidak hanya besar omong. Fortnite sempat mengimplementasikan sistem loot box, yang berbentuk Llama, dalam mode Save the World. Ketika penggunaan sistem loot box ini dianggap “predatory”, Epic memutuskan untuk mengubahnya. Mereka membuat agar pemain bisa tahu item yang mungkin mereka dapatkan ketika mereka membeli sebuah Llama. Selain itu, setelah Epic mengakuisisi Psyonix — developer Rocket League — pada 2019, Sweeney juga mengubah sistem loot box yang ada dalam game Rocket League.

Keputusan Epic memengaruhi beberapa developer lain untuk melakukan hal yang sama. Salah satunya adalah Bungie yang memutuskan untuk menghilangkan sistem konten random berbayar pada Destiny 2. Mengingat Fortnite masih menghasilkan uang untuk Epic — pada tahun 2019, Epic mendapatkan US$1,8 miliar dari Fortnite — keputusan Sweeney mungkin akan mendorong developer lain untuk berhenti menerapkan sistem loot box.

Sweeney mengatakan, untuk mendapatkan keuntungan jangka panjang, sebuah developer harus bisa membuat hype tentang game-nya. Dia memberikan contoh kerja sama Fortnite dengan Star Wars dan Marvel. Dia menambahkan, sekarang, game tak hanya dimainkan untuk menghilangkan stres, tapi telah menjadi “tempat” bagi para pemain untuk berkumpul. Karena itu, industri game memiliki tanggung jawab atas jutaan orang yang bermain game mereka setiap hari.

Sumber header: Polygon

Epic Games Luncurkan Platform Distribusi Digital Pesaing Steam

Bagi kalangan kasual, Epic Games terkenal lewat permainan battle royale populer, Fortnite. Tapi menelusuri perjalanannya di ranah gaming, Epic Games merupakan salah satu developer berpengalaman yang punya andil besar di industri – terutama melalui pengembangan Unreal Engine. Umur studio asal North Carolina itu bahkan lebih tua dari Valve Corp.

Sejauh ini, Epic Games dan Valve punya khalayaknya sendiri dan berbisnis tanpa berkompetisi langsung. Namun boleh jadi, dalam waktu dekat keduanya akan mulai bersaing. Di minggu ini, diketahui bahwa tim di belakang seri Gears of War itu punya agenda untuk meluncurkan platform distribusi pesaing Steam. Namanya cukup sederhana, tapi terdengar catchy di telinga: Epic Games Store.

CEO Tim Sweeney menjelaskan bahwa mereka sudah lama ingin menggarap platform yang dapat menyambungkan tim Epic Games dengan para pemain. Awalnya, mereka bereksperimen lewat Fortnite – permainan ini tidak ada di Steam, hanya bisa diakses melalui software milik Epic Games. Sweeney bilang, percobaan tersebut berhasil dan berkeinginan untuk membuka gerbangnya bagi developer lain.

Ketika Valve menerapkan pembagian keuntungan 30 banding 70, Epic Games Store menawarkan angka yang lebih menggoda buat studio third-party: mereka hanya meminta komisi 12 persen, dan sisanya diterima oleh sang pencipta permainan. Epic Games berencana untuk meluncurkan platform ini secara ‘perlahan-lahan’, dengan koleksi game yang tak terlalu banyak dan mereka pilih sendiri.

Epic Games Store 1

Penambahan jumlah game akan terus dilakukan di tahun 2019, hingga nanti saat Epic Games merasa yakin mereka tak perlu lagi melakukan kurasi. Tiap permainan yang dijual di sana tetap harus mendapatkan persetujuan sang penyedia layanan, namun mereka hanya akan melakukan penakaran dari sisi teknis dan bukan berdasarkan konten – kecuali pada permainan-permainan bertema dewasa.

Dengan kemudahan akses serta jumlah pengguna yang sangat banyak, Steam memang terlihat berada di atas angin. Belum lama ini, Valve juga mengungkap rencana buat mengurangi persentase imbalan dari 30:70 jadi 25 persen. Kemudian mereka hanya mengambil 20 persen dari tiap penjualan game senilai  US$ 50 juta. Lewat langkah ini, Valve tampaknya ingin menjaga agar publisher blockbuster tidak menarik diri dari Steam.

Menariknya, Tim Sweeney sempat bilang bahwa mereka tidak berkeinginan untuk berduel dengan Steam. Epic Games hanya ingin ‘memberikan penawaran terbaik bagi developer serta memperluas kesempatan pencipta konten buat berkreasi’. Epic Games Store akan dapat diakses di tanggal 6 Desember besok, ditandai oleh dilangsungkannya The Game Awards 2018.

Itu berarti, Epic Games resmi mengikuti jejak Electronic Arts dan Activision-Blizzard dalam menyediakan platform distribusinya sendiri.

Sumber: UnrealEngine.com. Tambahan: VentureBeat.