When the Past was Around, Game Tentang Patah Hati dari Developer Lokal

Penerbit dan developer game asal Tangerang, Toge Productions, kembali mengumumkan sebuah game yang unik dan kental akan nuansa artistik. Berjudul When the Past was Around, game ini memiliki genre point-and-click puzzle, dan mengangkat tema seputar cinta terutama tentang patah hati.

Dikembangkan oleh Mojiken Studio yang juga berada di balik game She and the Light Bearer, When the Past was Around bercerita tentang seorang gadis dan kekasihnya dalam dunia surealis yang berisi ruang-ruang dari berbagai zaman dan kenangan. Sang gadis, yang bernama Edda, harus “melarikan diri” dari jebakan masa lalu dengan cara membuka pintu-pintu tersebut, menyelesaikan puzzle, kemudian pada akhirnya menemukan rahasia antara dirinya dan sang kekasih.

When the Past was Around - Screenshot 1
Sumber: Steam

When the Past was Around mengajak pemainnya menyelami perasaan cinta, kemudian melepaskan sesuatu yang dicintai itu, serta segala kesenangan maupun kesedihan yang menyertai keduanya. Mojiken Studio mengembangkan game ini terinspirasi dari puisi yang dibuat oleh Brigitta Rena, sang Director yang juga merupakan developer kunci She and the Light bearer dan A Raven Monologue.

Dari dulu Mojiken dikenal sebagai developer yang gemar mengeksplorasi seni serta gaya penceritaan surealis, dan rupanya game ini masih mempertahankan ciri yang sama. Menurut keterangan di halaman Steam, game ini pada awalnya adalah bagian dari program internal Mojiken Studio yang disebut #MojikenCamp. Program itu bertujuan untuk melakukan eksperimen tentang cara kita menyampaikan cerita, serta menciptakan sebuah pengalaman unik dalam kerangka media seni interaktif—video game.

When the Past was Around - Screenshot 2
Sumber: Steam

Bila Anda penasaran ingin mencoba When the Past was Around, Toge Productions telah menyediakan versi prolog yang bisa Anda unduh secara gratis di Steam atau situs itch.io. Sementara versi full nanti direncanakan rilis untuk PC pada musim semi tahun 2020 (sekitar Maret – Juni 2020). Tersedia juga downloadable content bernama Supporter Pack, yang bisa Anda beli sekarang juga untuk menunjukkan bahwa Anda ingin mendukung para kreator game ini.

When the Past was Around - Screenshot 3
Sumber: Steam

When the Past was Around Supporter Pack berisi wallpaper resolusi tinggi untuk desktop dan mobile, artwork promosi, seluruh aset yang digunakan dalam game, sketsa, serta musik latar. Rencananya setelah game ini dirilis penuh Supporter Pack juga akan mendapat konten tambahan berupa bundel Art & Soundtrack. Apakah Anda berminat untuk mencoba game karya developer lokal yang satu ini?

Necronator: Dead Wrong dari Toge Productions Dapat Suntikan Dana Rp3 Miliar

Modern Wolf, penerbit game indie asal Inggris, akan menjadi publisher dari Necronator: Dead Wrong buatan Toge Productions. Tidak hanya itu, Modern Wolf juga akan memberikan dana sebesar Rp3 miliar pada developer asal Tangerang itu untuk pengembangan Necronator: Dead Wrong. Sama seperti game lain buatan Toge, game terbaru mereka ini juga mengambil genre strategi dengan unsur komedi.

Dalam pernyataan resmi, Toge Productions memuji Modern Wolf sebagai publisher yang sangat memedulikan kesejahteraan developer. Dalam kerja samanya dengan Toge, Modern Wolf juga tak sekadar mendanai pembuatan Necronator. “Selain uang untuk pengembangan game, sebagai publisher, Modern Wolf juga memberikan support dengan menghubungkan Toge Productions dengan rekan-rekan yang dapat membantu pengembangan game Necronator: Dead Wrong, seperti mencarikan co-writer,” kata PR Toge Productions, Lasheli Dwitri ketika dihubungi melalui pesan singkat. “Selain itu, untuk urusan PR dan marketing untuk Necronator: Dead Wrong juga dibantu oleh Modern Wolf.”

Sumber: Steam
Sumber: Steam

Sebaliknya, Toge juga memperkenalkan Modern Wolf dengan perwakilan dari Badan Ekonomi Kreatif (BEKRAF), Hari Santosa Sumgkari dan Joshua Simadjuntak dalam acara Gamescom yang diadakan pada 20-24 Agustus lalu di Jerman. “Kerja sama Toge Productions dan Modern Wolf merupakan tonggak sejarah bagi kemajuan industri game Indonesia dan membangkitkan kepercayaan dunia internasional terhadap produk dan perusahaan game Indonesia,” kata Hari Santosa Sungkari, Deputi Infrastruktur Bekraf soal kerja sama antara Toge dengan Modern Wolf.

Sheli menceritakan, kerja sama antara Toge dengan Modern Wolf berawal dari kicauan viral tentang game Necronator yang masih dalam pengembangan. “Dari sana, ada beberapa pihak yang mengontak kami, menunjukkan ketertarikan mereka. Salah satunya adalah Modern Wolf. Setelah saling menghubungi, kami merasa cocok dengan publisher itu,” ujarnya. Dia menyebutkan, proses hingga kerja sama ini ditentukan memakan waktu sekitar tiga bulan. Komunikasi dilakukan menggunakan Google Hangout untuk video call dan juga email. “CEO Modern Wolf juga sempat mengunjungi kantor kami pada bulan Juli untuk due diligence,” katanya.

Sumber: Steam
Sumber: Steam

Saat ini, Necronator: Dead Wrong telah tersedia di Steam dalam bentuk Early Access. Diperkirakan, game tersebut akan diluncurkan pada akhir tahun ini. Dalam game terbaru buatan Toge ini, Anda akan bisa menjadi salah satu dari dari beberapa commander yang ada untuk membangkit sang Necronator dan menjadi Dark Lord of Livmore. Masing-masing commander memiliki spell dan unit unik, serta alasan yang berbeda-beda untuk membangkitkan sang Necronator.

Game itu bukanlah game pertama yang Toge buat dan diluncurkan di Steam. Sebelum ini, Toge Productions juga sudah dikenal dengan seri Infectonator, yang juga merupakan game strategi. Ketika ditanya mengapa Toge tampaknya terus memilih untuk membuat game strategi, Sheli menjelaskan, “Game strategi kami sebenarnya bersifat ringan, dan itu juga karena kami suka dengan game-game strategi.”

[Review] She and the Light Bearer – Tenggelam di Buai Hangat Ibunda

Sesekali, satu dalam beberapa lusin purnama, dunia punya kesempatan untuk menerima kunjungan dari sebuah game yang sulit dijadikan bahan review. Tiap orang bisa punya alasan masing-masing mengapa game yang dimaksud menyandang status demikian. Mungkin karena ulasan, seringkas dan segenerik apa pun akan menghilangkan unsur kejutan di dalamnya sehingga merusak pengalaman bermain. Atau sebab game itu terlalu divisive, hanya bisa diapresiasi kalangan tertentu sehingga penilaian dari seorang pengulas akan sulit diterima penggemar.

She and the Light Bearer, bagi saya, termasuk dalam kelompok karya dengan karakteristik di atas—sulit untuk diulas. Namun dengan alasan berbeda. Memainkan She and the Light Bearer, saya merasa seperti sedang berhadapan dengan seorang manusia, atau katakanlah, seorang wanita. Di dalam hati saya bisa saja menyimpan penilaian, bahwa dia memiliki kelebihan, apakah itu dari kecantikan, sikap, dan cara berpikir, namun juga karakteristik lain yang dapat kita sebut sebagai kekurangan.

Tapi memangnya siapa saya, sampai bisa menghakimi seseorang berdasarkan hitung-hitungan karakteristiknya? Siapa saya, sampai merasa berhak melabelinya dengan angka-angka, lalu merasa seolah angka-angka itu menjadi penentu nasib sesuatu yang berada di luar kekuasaan saya? Lagi pula apa yang saya perhatikan dan nilai, semuanya hanyalah terdiri dari hal-hal yang terlihat. Padahal nilai seorang manusia lebih banyak ditentukan oleh apa yang ada di dalamnya.

She and the Light Bearer - Screenshot 1

Seperti halnya kekurangan yang ada di diri manusia tidak membuatnya kurang sebagai seorang manusia karena ciptaan Tuhan begitu agung, kekurangan dalam She and the Light Bearer tidak membuatnya kurang sebagai sebuah karya karena karya ini adalah karya yang agung. Karya yang membuat saya bertanya-tanya, apa yang ada di pikiran penciptanya, mengapa dan bagaimana ia membayangkan, merancang, lalu mengejawantahkan angan-angannya dari alam imajinasi menjadi kata-kata dan ilustrasi. Yang mana, mungkin bila saya bertanya langsung ke si pencipta pun, ia tidak akan bisa mendeskripsikan dan membuat saya merasakan seluruh hal yang menjadi inspirasinya.

Hal terbaik yang bisa saya coba adalah menerka-nerka.

Mengintip lubuk di balik lalang

Ketika saya pertama kali meluncurkan aplikasi She and the Light Bearer, saya langsung disambut sebuah kalimat yang sepertinya sengaja diletakkan di depan untuk membentuk atau mengontrol ekspektasi pemain. “Sebuah cerita dari Mojiken Studio diterbitkan oleh Toge Productions,” katanya. Sebuah cerita. Bukan sebuah game. Walaupun secara teknis ini memang berwujud game, dan bukan hal aneh bila sebuah game punya bobot yang dominan di sisi cerita, kalimat itu membuat saya paham bahwa She and the Light Bearer, lebih penting dari identitasnya sebagai sebuah game, adalah sebuah cerita.

Alih-alih mencari-cari unsur permainan interaktif atau aksi mendebarkan, She and the Light akan lebih menyenangkan bila Anda memainkannya sambil membayangkan sebuah pop-up book berisi dongeng anak-anak. Lepaskan sejenak masa dewasa, lalu ingat kembali perasaan gembira yang muncul ketika kita melihat gambar warna-warni muncul mencuat dari atas lembar-lembar kertas, biasanya tak lebih dari sebuah bidang datar tapi ternyata bisa mengambil wujud lebih nyata.

She and the Light Bearer - Screenshot 2

Selaras dengan kisahnya tentang seekor Kunang-Kunang yang harus pergi ke dalam hutan dan mencari sosok “Ibu”, sebagian besar objek yang akan Anda lihat dalam tiap adegan She and the Light Bearer terdiri dari makhluk-makhluk hidup. Memang ada juga batu, tanah, serta benda-benda diam lainnya, namun lebih banyak dari itu adalah rumput, dedaunan, ranting, serta sulur-sulur yang memenuhi lingkungan rimba.

Yang dilakukan Mojiken Studio terhadap makhluk-makhluk hidup tadi adalah membuat mereka tampil selayaknya diri mereka di dunia nyata: hidup dan bergerak. Objek-objek di layar, yang wujudnya sudah seperti lembaran-lembaran pop-up book tadi, nyaris seluruhnya dianimasikan dengan begitu rajin. Satu helai rumput dengan helai lainnya punya bentuk dan goyangan yang berbeda-beda. Kabut, cahaya matahari, yang menerobos sela-sela kanopi seolah bisa Anda rasakan langsung sejuk dan hangatnya.

Bila berbicara tentang kualitas visual suatu karya, sering kita mewakili gambaran keseluruhannya dengan satu kata saja. Bagus. Atau mungkin dua kata, bagus banget. Tapi sepatah dua patah kata itu tak cukup untuk menjabarkan hal-hal kecil seperti di atas. Hal-hal yang biasanya taken for granted padahal penting untuk membuat dunia jadi lebih hidup, tak hanya di dalam karya tapi di kehidupan nyata juga.

She and the Light Bearer - Screenshot 3

Sementara desain dekoratif keseluruhan dalam game ini lekat akan nuansa etnik, yang sungguh sayang saya tak tahu terinspirasi dari kebudayaan mana karena saya bukan pakarnya. Warna-warna pastel yang digunakan menghadirkan nuansa ceria, namun tidak berarti keseluruhan ceritanya berisi ceria saja. Di saatnya, Anda juga akan menemukan si Kunang-Kunang berada dalam posisi berbahaya, sedih, suram, mencekam. Sebagaimana sudah seharusnya kisah petualangan seorang pahlawan.

Kepingan-kepingan cermin hati

She and the Light Bearer adalah cerita yang singkat. Dengan bermain secara santai, Anda bisa menyelesaikannya dalam lebih kurang empat jam saja. Tapi singkat bukan berarti tak mengesankan. Selama perjalanan singkat itu, Kunang-Kunang akan bertemu para penghuni belantara yang, mungkin beda dari bayangan Anda, eksentrik dan istimewa dengan kejenakaannya masing-masing. Berpisah dengan makhluk-makhluk ini seiring tamatnya cerita agak menyedihkan, karena rasanya saya masih ingin menghabiskan lebih banyak waktu untuk bercengkerama bersama mereka.

Yang mengherankan, meski dengan waktu yang singkat dan gaya penceritaan yang cenderung berkelakar, tokoh-tokoh penghuni hutan itu bisa terasa hidup, bukan sekadar pemeran anekdot satu dimensi. Maka dari itu ketika berlangsung adegan penting yang melibatkan mereka, empati juga emosi yang dibangkitkan cukup terasa. “Jangan nilai buku dari sampulnya,” ungkapan demikian cocok sekali untuk menggambarkan para penghuni hutan. Lebih dari sekali saya dibuat terkejut oleh bagaimana mereka berperan dalam petualangan si Kunang-Kunang.

She and the Light Bearer - Screenshot 4

Kekuatan para tokoh She and the Light Bearer semakin dipertegas oleh penyulihan suara yang sama eksentriknya dengan karakter mereka. Padahal semua percakapan menggunakan ucapan racau serupa bahasa Simlish, tapi penyulihan suaranya tetap dilakukan dengan akting yang serius. Terkadang di tengah cerita saya berhenti lalu bertanya-tanya, seberapa banyak kerja keras yang dibutuhkan Mojiken untuk menciptakan produk seni seperti ini. Juga seberapa banyak kesenangan yang mereka rasakan selama prosesnya.

She and the Light Bearer dapat dimainkan dalam berbagai bahasa. Secara pribadi sih, saya berpendapat bahwa Anda sebaiknya menggunakan bahasa Indonesia sedari awal. Setelah itu bila berminat baru cobalah versi bahasa Inggrisnya (atau bahasa lain sesuai kemampuan). Alasannya, karena nuansa yang ditimbulkan oleh naskah versi Indonesia dengan versi Inggris cukup jauh berbeda.

Mana yang lebih bagus itu jelas subjektif. Tapi mengingat para kreator game ini adalah orang-orang Indonesia, ada rasa autentik di naskah Indonesia yang tidak akan Anda dapatkan di versi Inggris. Selera humor asli sang penulis, muatan-muatan dan referensi lokal, juga gaya bahasa yang mungkin akan familier bagi penikmat buku-buku cergam terjemahan, baru akan muncul seluruhnya di pilihan bahasa ini. Pun dalam personalitas tokoh-tokoh, ada selisih yang lumayan memengaruhi nuansa cerita.

She and the Light Bearer - Screenshot 5

Satu saja kritik/masukan yang ingin saya sampaikan dari seluruh ulasan, saya pikir Mojiken Studio perlu editor naskah lebih ketat lagi. Tidak terlalu mengganggu pengalaman keseluruhan sebetulnya, tapi naskah versi Indonesianya mengandung kesalahan ketik yang jumlahnya cukup terasa, juga kurang konsisten dalam tata penulisan ejaan dan tanda baca. Mengingat She and the Light Bearer sebagian besarnya adalah cerita, alangkah sempurna apabila standar penulisan mendapat perhatian sama besarnya dengan unsur audio visual.

Melankolia

Mampirlah ke halaman Steam game ini, niscaya Anda melihat tulisan bahwa She and the Light Bearer dipersembahkan oleh Mojiken Studio, Toge Productions, dan Pathetic Experience. Nama yang disebut terakhir adalah grup musik akustik asal Surabaya, terdiri atas dua gitaris yaitu Dhimas Zoso dan Bagussatya. Tidak umum bukan, penyebutan nama grup musik sebagai salah satu kreator utama dalam deskripsi sebuah game? Akan tetapi setelah Anda memainkan She and the Light Bearer, pencantuman itu sangat dapat dimengerti, musik mereka merupakan salah satu faktor sentral dalam game ini.

Tanpa mengecilkan peran kru lainnya seperti produser, pemrogram, atau pemasar, hasil jadi She and the Light Bearer adalah suguhan lengkap yang memanjakan indera-indera kita lewat kata-kata, gambar, dan suara sekaligus secara kontinu. Lantunan dawai kental akan melodi tanah air, disandingkan beberapa instrumen lain yang sebagian modern tapi sebagiannya lagi masih tradisional, membuat telinga terasa teduh. Saya tak ingat sudah berapa kali saya tertidur ketika memainkannya! Bukan sebab bosan, tapi tak kuat menahan buaian nada bak ninabobo nan begitu damai.

She and the Light Bearer - Screenshot 6

Yang teramat menarik, semakin cerita mendekati titik puncak kontribusi segi suara terhadapnya justru semakin besar. Termasuk integrasinya ke dalam aspek interaktif permainan yang buat saya tidak tertebak, bahkan hingga layar kredit selesai bergulir. Dan penggambaran adegan di detik-detik klimaks dirancang begitu apik sehingga membuat kita merasa sedang terlibat dalam sesuatu yang besar. Mengingatkan bahwa di dunia ini ada hal-hal lain di luar diri kita, hal-hal yang lebih besar, atau bisa jadi lebih penting, daripada egoisme individu-individu.

Saya tidak tahu She and the Light Bearer ini metafora tentang apa, juga tidak mau berkontemplasi tentang apa pesan moral yang ingin si penciptanya sampaikan. Hal-hal seperti itu mungkin lebih baik kita biarkan menjadi ide yang bebas berkembang dalam kepala masing-masing. Saya hanya tahu bahwa kisah si Kunang-Kunang Pembawa Cahaya, Tuan Jamur Yang Maha Agung, Kembang Kelam, Jenderal Kentang, serta penghuni-penghuni hutan lainnya, adalah kisah yang layak diingat dan disampaikan kepada sebanyak-banyaknya insan. Seperti Nenek Putih yang mendongengkan cerita ini pada anak-anak kecil di awal cerita, kini saya pun menjadi pengantar pesan yang merekomendasikan game ini kepada Anda.

Melewati kaki langit

Perjalanan si Kunang-Kunang mengemban misi mulia telah selesai. Cerita She and the Light Bearer sudah berakhir. Selanjutnya apa? Apa yang akan dibuat oleh Mojiken Studio berikutnya, dan akan ke arah mana perkembangan industri game Indonesia di masa depan? Pertanyaan-pertanyaan demikian adalah hal yang muncul di kepala saya selepas selesai bermain.

She and the Light Bearer - Screenshot 7

Seiring nama-nama para kreator muncul bergantian di layar, saya tidak bisa tidak berpikir bahwa orang-orang ini akan menjadi tokoh industri game lokal yang penting di masa depan. Saya membayangkan bahwa suatu hari nanti para gamer Indonesia akan merasakan hype bersama-sama ketika mendengar adanya game baru yang di dalamnya tercantum nama Brigitta Rena, Elwin Lysander, Masdito Bachtiar, dan kawan-kawan. Sama seperti kita bersemangat menyambut sebuah judul baru hanya gara-gara di sampulnya ada tulisan “A Hideo Kojima Game”. Malah kalau bisa, tidak hanya gamer Indonesia tapi juga di seluruh dunia.

Tidak banyak studio game bervisi seperti Mojiken Studio, yang ingin mendorong medium interaktif ini ke cakrawala baru sebagai sarana penyampaian cerita. Dan hal itu sepenuhnya wajar, sebab menciptakan sesuatu yang baru jelas punya risiko lebih tinggi daripada mengikuti selera pasar arus utama. Tapi justru studio seperti inilah yang membuat industri game menjadi menarik.

Saya tak sabar menunggu karya besar keluaran Mojiken Studio berikutnya. Hingga saat itu tiba, saya akan coba mengajak orang-orang—termasuk Anda—untuk mencicipi She and the Light Bearer terlebih dahulu. Pengalaman di dalamnya tidak cukup sekadar diceritakan lewat ulasan, harus dirasakan sendiri. Bila tulisan ini berhasil membuat Anda mencobanya, akan saya hitung sebagai satu catatan kesuksesan kecil dalam hidup.

Selamat bertualang, Pembawa Cahaya. Titip salam untuk Ibu.

She and the Light Bearer - Screenshot 8

Sparks:

  • Desain visual bergaya etnik dengan tampilan menyerupai pop-up book, benar-benar serasa membuka lembaran-lembaran buku cerita
  • Cerita singkat bermakna, sering kali humoris namun juga berhasil membuat kita merenung
  • Musik nuansa folk yang kental akan melodi nusantara, teduh di telinga dan dramatis pada waktunya
  • Karakterisasi para penghuni hutan mengesankan, mereka bukan hanya tokoh tapi juga terasa seperti teman
  • Adegan ending yang indah luar biasa

Slack:

  • Standar penulisan naskah versi bahasa Indonesia kurang konsisten

She and the Light Bearer dan My Lovely Daughter Resmi Dirilis untuk Switch

Semakin banyak saja produk karya anak bangsa yang dirilis di console Nintendo Switch. Maklum, dengan total penjualan hardware mencapai lebih dari 34 juta unit, serta jumlah game yang belum terlalu ramai, platform ini memungkinkan game indie untuk mendapatkan visibilitas tinggi. Apalagi Switch itu sendiri memang merupaka console/handheld yang keren dan asyik untuk dimainkan.

Kali ini, Toge Productions menerbitkan dua game andalan mereka ke Switch dalam waktu yang hampir berdekatan. Pertama yaitu My Lovely Daughter, game bertema alchemist simulator yang dikembangkan oleh perusahaan asal Tangerang, Gamechanger Studio. Kedua yaitu She and the Light Bearer, game bergenre point-and-click adventure karya Mojiken Studio, yang dikenal suka membuat karya dengan nilai artistik tinggi.

My Lovely Daughter sudah dirilis pada tanggal 23 Mei 2019 lalu, dan bisa Anda dapatkan melalui Nintendo eShop dengan harga US$14,99 (sekitar Rp213.000). Game ini menceritakan tentang seorang pria bernama Faust yang kehilangan ingatan, yang tiba-tiba terbangun dan menemukan bahwa anak gadisnya telah meninggal dunia. Sebagai Faust, Anda harus melakukan berbagai eksperimen alkimia untuk berusaha menghidupkan sang anak tercinta. Menghidupkan orang mati adalah ilmu terlarang dalam alkimia, jadi bisa ditebak bahwa cerita ini tidak akan berisi pelangi dan bunga-bunga saja.

Sementara She and the Light Bearer dibanderol dengan harga sedikit lebih murah, US$9,99 (sekitar Rp142.000). Game kedua ini dirilis pada tanggal 6 Juni 2019 lalu, dan menceritakan perjalanan seekor kunang-kunang kecil dalam mencari sosok yang disebut The Mother. Keunikan game terletak pada desain visual dan dialognya yang dirancang agar menyerupai buku-buku dongeng.

Selain merilis kedua game tersebut, Toge Productions juga baru saja meluncurkan demo untuk game baru mereka yang berjudul When the Past Was Around. Game ini juga merupakan hasil karya Mojiken Studio, jadi sudah barang tentu akan memiliki estetika menarik juga. When the Past Was Around menceritakan kisah seorang gadis dan monster di dunia misterius yang terdiri dari ruangan-ruangan berisi memori berbagai masa. Anda dapat mengunduh demonya secara gratis untuk PC Windows dan MacOS di situs itch.io.

Sumber: Toge Productions

Promosikan Politik Tanpa Polemik, Toge Productions Rilis Board Game Circus Politicus

Indonesia sedang dilanda kehangatan suasana politik jelang pemilihan presiden di tanggal 17 April nanti, dan Toge Productions sebagai salah satu developer/penerbit game lokal ternama tidak ketinggalan untuk turut meramaikan. Kali ini mereka menawarkan hiburan bukan dalam produk video game, melainkan board game dengan judul Circus Politicus. Ini adalah langkah pertama Toge Productions di dunia board game setelah mengembangkan video game selama sepuluh tahun.

Bisa ditebak dari judulnya, Circus Politicus adalah board game jenaka yang bertema parodi cerita-cerita politik baik di dalam maupun di luar negeri. Terinspirasi dari tokoh-tokoh serta berbagai kejadian penting di dunia nyata, Circus Polticus menempatkan kita dalam posisi manajer tim sukses pasangan kandidat politik. Pemain harus mengatur strategi, berkonspirasi, serta meraih suara lewat janji-janji demi memenangkan agenda politik calon yang mereka usung.

Circus Politicus - Characters
Karakter-karakter Circus Politicus | Sumber: Toge Productions

Anda akan bertemu dengan karakter-karakter kocak yang merupakan pelesetan dari tokoh politik sungguhan, seperti Jokowo, Prabowi, Theresa June, Donold Trump, Jim Kong Un, dan sebagainya. Tokoh-tokoh ini disuguhkan dalam wujud kartu dengan karikatur menarik karya ilustrator asal Jakarta, WD Willy. Toge Productions mengemas Circus Politicus sebagai board game dengan aturan main simpel, namun tetap memiliki strategi mendalam.

Circus Politicus - Back Cover
Circus Politicus bisa dimainkan oleh 2 – 4 pemain | Sumber: Toge Productions

Circus Politicus pada awalnya lahir dari acara Global Game Jam 2017, di mana para peserta ditantang untuk menciptakan game dalam waktu 48 jam saja. Menurut Kris Antoni, CEO Toge Productions, saat itulah mereka menciptakan prototipe Circus Politicus dan langsung melihat bahwa game ini memiliki potensi.

Circus Politicus - Cards
Gunakan berbagai manuver politik | Sumber: Toge Productions

“Sempat ada banyak diskusi tentang tema yang akan diangkat permainan ini, namun setelah melihat aturan bermain yang makin diperbaharui serta menyaksikan ramainya pembicaraan yang terjadi di dunia maya, kami putukan untuk menjadikan Circus Politicus sebuah game parodi bertema politik. Jadilah sebuah permainan politik tanpa polemik,” kata Kris dalam siaran pers.

Circus Politicus - Play Session
Play session Circus Politicus di Arcanum Hobbies, Kuningan City | Sumber: Toge Productions

Circus Politicus tersedia di pasaran mulai tanggal 25 Maret 2019 dengan harga banderol Rp200.000. Bagi para peminat, pemesanan sudah dapat dilakukan melalui halaman Tokopedia milik Toge Productions. Game ini juga akan tersedia secara offline di berbagai toko board game di Indonesia. Toge Productions berharap Circus Politicus bukan hanya menjadi hiburan, namun juga dapat menjadi sarana untuk mendamaikan masyarakat Indonesia yang bermusuhan akibat mendukung pasangan calon berbeda, sekaligus menyadarkan kita supaya tidak termakan strategi-strategi politik yang dapat memecah belah bangsa.

Toge Productions Boyong RPG Indonesia Azure Saga: Pathfinder ke Nintendo Switch

Sejak meluncurkan divisi penerbitan game (game publishing) pada tahun 2017 lalu, Toge Productions telah membantu cukup banyak developer-developer lokal merilis karya mereka di platform global. Mulai dari GameChanger Studio dengan My Lovely Daughter, Rolling Glory Jam dengan Rage in Peace, hingga Mojiken Studio dengan She and the Light Bearer, portofolio Toge Productions cukup sarat akan karya-karya lokal berkualitas dan bernilai seni tinggi.

Tak lama lagi Toge Productions akan menambahkan satu lagi karya lokal ke dalam jajaran game yang mereka terbitkan, yaitu Azure Saga: Pathfinder. Game ini merupakan RPG bergenre fiksi ilmiah yang dikembangkan oleh developer asal Bandung, MassHive Media. Sebelumnya, Azure Saga: Pathfinder juga sudah terbit di platform PC pada tahun 2018 lalu dan mendapat penerimaan yang positif di Steam.

Azure Saga: Pathfinder - Screenshot 1
Sumber: Steam

Azure Saga: Pathfinder bercerita tentang masa depan yang jauh di mana umat manusia sudah tersebar ke berbagai penjuru semesta dan sedang berada di ambang kepunahan. Anda akan mengalami petualangan bersama Synch, seorang ilmuwan muda, untuk mencari ayahnya yang hilang serta menelusuri legenda planet Azure. Konon, planet ini mengandung begitu banyak kehidupan dan sumber daya alam sehingga dapat membawa umat manusia kembali ke kejayaan.

Mengusung gaya pertarungan turn-based ala RPG Jepang klasik, serta tampilan visual 2D beresolusi tinggi, Azure Saga: Pathfinder menyajikan suasana dan cerita yang tak kalah dari RPG keluaran developer-developer luar negeri. Game ini juga menyediakan kustomisasi karakter cukup mendalam, serta berbagai puzzle yang akan membuat petualangan Anda lebih berkesan.

Azure Saga: Pathfinder - Screenshot 2
Sumber: Steam

Toge Productions menyebut versi Nintendo Switch sebagai Azure Saga: Pathfinder Deluxe Edition, karena versi ini sudah mencakup seluruh DLC kostum yang dulunya harus dibeli terpisah. Beberapa perbaikan juga dilakukan untuk membuat Azure Saga: Pathfinder Deluxe Edition lebih nyaman dimainkan dari versi aslinya.

Azure Saga: Pathfinder Deluxe Edition akan dirilis pada tanggal 21 Maret 2019. Bila Anda melakukan pre-order lewat Nintendo eShop, Anda akan mendapatkan potongan harga sebesar 15%. Saya sendiri berharap supaya MassHive Media juga dapat melakukan porting ke PS4, karena RPG bertema sci-fi begini tampaknya akan sangat cocok di console Sony tersebut.

Sumber: Toge Productions, Nintendo

Game Indonesia Sabet Dua Penghargaan di SEA Game Awards Malaysia

Para developer game Indonesia semakin gencar menunjukkan tajinya di dunia internasional. Selain banyak merilis game di console modern seperti PS4 dan Switch, mereka juga meraih berbagai penghargaan di pameran luar negeri. Di antara para pengukir prestasi itu adalah perusahaan asal Tangerang yang sudah cukup lama berkecimpung di industri game, yaitu Toge Productions.

Anda mungkin mengenal nama Toge Productions dari seri game zombi andalan mereka, Infectonator. Namun sejak tahun 2017 lalu Toge Productions juga membuka divisi penerbitan game yang kini membawahi beberapa studio, antara lain Rolling Glory Jam, Mojiken Studio, Tahoe Games, dan GameChanger Studio. Dalam ajang SEA Game Awards di acara Level Up KL 2018 Malaysia akhir Oktober kemarin, Toge Productions berhasil meraih dua gelar penghargaan.

Coffee Talk
Coffee Talk

Game pertama yang memenangkan penghargaan adalah Coffee Talk, sebuah visual novel buatan Toge Productions sendiri. Mengambil inspirasi dari game indie terkenal VA-11 Hall-A, Coffee Talk menempatkan pemain dalam posisi seorang barista yang harus piawai meracik minuman sambil mendengar keluh kesah pelanggan di dunia fantasi modern. Coffee Talk meraih gelar Best Storytelling di SEA Game Awards.

Sementara itu, She and the Light Bearer karya Mojiken Studio menyabet penghargaan Best Visual Art berkat tampilannya yang mengambil nuansa estetika kisah dongeng. Mojiken memang memiliki visi untuk menciptakan game bernilai seni tinggi, sebuah visi yang akhirnya menarik minat Toge Productions untuk berinvestasi di perusahaan tesebut.

She and the Light Bearer
She and the Light Bearer

Malaysia sendiri sebagai tuan rumah juga tak kalah “garang”. Dari sepuluh penghargaan yang ada, enam di antaranya jatuh ke tangan developer asal Malaysia, sedangkan dua sisanya diterima oleh perusahaan asal Singapura. Berikut adalah daftar penghargaan lengkapnya:

  • Grand Jury Award – No Straight Roads (Metronomik/Malaysia)
  • Audience Choice Award – Iteno (Why Creative/Malaysia)
  • Rising Star Award – Songbird Symphony (Joysteak Studios/Singapore)
  • Best Technology – Nightstream (Streamline Games/Malaysia)
  • Best Visual Art – She and the Light Bearer (Mojiken Studio/Indonesia)
  • Best Game Design – Re: Legend (Magnus Games/Malaysia)
  • Best Audio – Songbird Symphony (Joysteak Studios/Singapore)
  • Best Storytelling – Coffee Talk (Toge Productions/Indonesia)
  • Best Innovation – Simulacra: Pipe Dreams (Kaigan Games/Malaysia)
  • Best Student Game – Terminus Lockdown (Glenmarie Games KDU University/Malaysia)

Mengingat terdapat lebih dari seratus game yang bersaing di ajang SEA Game Awards, apa yang dicapai Toge Productions adalah prestasi yang membanggakan. Apalagi She and the Light Bearer sebelumnya juga mendapat penghargaan di Busan Indie Connect Festival 2018 untuk kategori Excellence in Art. Mojiken Studio berhasil menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia punya SDM industri game yang layak diperhitungkan.

Sayangnya saat ini belum ada kepastian tentang jadwal rilis dua game pemenang penghargaan tersebut. Toge Productions hanya memberi perkiraan bahwa Coffee Talk akan dirilis pada tahun 2019, dan She and the Light Bearer pada tahun 2018. Sebentar lagi tahun 2018 akan segera berakhir. Bisakah She and the Light Bearer rilis sesuai waktu yang dijanjikan?

Platformer Lokal Rage in Peace Meluncur ke Switch dan Steam pada November 2018

Satu lagi game buatan Indonesia akan segera meluncur ke Steam dan Nintendo Switch. Rage in Peace adalah action platformer yang dapat membutmu mengamuk saat bermain, persis seperti judulnya. Tak lain tak bukan, penyebabnya yaitu tingkat kesulitan game ini yang sangat tinggi dan akan menantang kapabilitas otak Anda hingga maksimal.

Rage in Peace bercerita tentang Timmy Malinu, pemuda biasa-biasa saja yang punya impian untuk meninggal dalam keadaan tidur, di rumah, damai tanpa drama. Suatu hari, malaikat maut mendatangi Timmy dan berkata bahwa sudah waktunya bagi Timmy untuk meninggal. Tapi sebelum itu, si malaikat maut memberi kesempatan kepada Timmy agar bisa mewujudkan impiannya.

Rage in Peace | Screenshot 1
Rage in Peace | Sumber: Nintendo

Anda harus mengantar Timmy pulang ke rumah melalui medan yang berat lagi penuh jebakan maut. Berbeda dengan platformer seperti seri Mega Man atau Mario Bros., gaya permainan Rage in Peace punya fokus kuat pada kemampuan mengingat. Saat pertama kali main Anda pasti sangat sering mati, tapi seiring Anda menghafal timing serta lokasi jebakan yang ada, kemungkinan untuk menyelesaikan level akan semakin terbuka lebar.

Pertama kali diumumkan pada tahun 2016, Rage in Peace merupakan buah karya studio game asal Bandung bernama Rolling Glory Jam dan diterbitkan oleh Toge Productions. Pada awalnya Rage in Peace dibuat hanya sebagai purwarupa dalam sebuah game jam. Namun melihat respons positif dari berbagai pihak (termasuk YouTuber kenamaan PewDiePie), Rolling Glory Jam akhirnya mengembangkannya menjadi game utuh.

Rage in Peace | Screenshot 2
Rage in Peace | Sumber: Nintendo

Rage in Peace juga memiliki keunikan dalam ceritanya yang tak biasa. Pada umumnya game bergenre platformer tidak begitu mementingkan cerita, namun Rolling Glory Jam justru ingin ada nilai lebih dalam unsur tersebut. Kisah Rage in Peace yang berkaitan erat dengan kematian namun disajikan dengan gaya humoris adalah hasil inspirasi dari buku karya Paulo Coelho, Like the Flowing River.

Saya sudah pernah mencoba memainkan Rage in Peace beberapa kali saat Rolling Glory Jam membawa game ini ke pameran-pameran. Dan memang benar, game ini sangat menantang sekaligus membuat geregetan. Karena strategi kemenangan utama adalah hafalan, setiap kali saya terkena jebakan saya selalu merasa, “Seharusnya saya bisa menghindari itu!” Rasa geregetan itu juga yang membuat kita terdorong untuk mencoba lagi dan lagi hingga berhasil lolos sebuah level.

Rage in Peace | Screenshot 3
Rage in Peace | Sumber: Nintendo

Rage in Peace akan dirilis di PC Windows dan Mac OS X via Steam, serta di Switch via Nintendo eShop pada tanggal 8 November 2018. Tersedia juga DLC album soundtrack berisi 19 lagu yang digubah oleh berbagai musisi indie keren tanah air, termasuk di antaranya Ikkubaru, Monkey Melody, Peonies, Gardika Gigih, dan L’Alphalpha. Dapatkah Anda mengantar Timmy pulang dengan selamat?

Sumber: Rolling Glory Jam, Nintendo

Game Ultra Space Battle Brawl Buatan Developer Surabaya Resmi Dirilis di Nintendo Switch

Menggembirakan rasanya melihat permainan-permainan buatan developer lokal meluncur di layanan distribusi digital populer, tapi seberapa sering Anda menyaksikan pelepasannya di console? Kabar baiknya, saat ini hal tersebut semakin mudah dilakukan karena para produsen hardware dan pemilik platform kian menyadari pentingnya mendukung ranah indie.

Dan tepat pada hari ini, satu permainan buatan developer lokal resmi meluncur untuk console Nintendo Switch. Game tersebut mempunyai judul Ultra Space Battle Brawl, dikembangkan oleh tim Mojiken Studio asal Surabaya dengan Toge Productions sebagai publisher-nya. Yang paling menarik dari peluncuran Ultra Space Battle Brawl adalah, game dirilis perdana di wilayah Jepang dan sudah memperoleh sertifikasi CERO A.

Menjelaskan apa itu Ultra Space Battle Brawl tidaklah mudah. Ia merupakan kombinasi dari genre fighting dan olahraga baseball, dan difokuskan pada aspek multiplayer offline. Dalam video wawancara bersama IGN Jepang, Toge Productions mendeskripsikannya sebagai ‘Pong dengan steroid’.

Ultra Space Battle Brawl (disingkat USBB) mengadu dua orang pemain atau lebih dalam arena 2D. Namun tak seperti Street Fighter di mana gamer berbaku hantam hingga tinggal tersisa satu orang, di USBB, tugas Anda adalah menghancurkan gem/kristal (?) punya lawan menggunakan proyektil seperti bola. Gem muncul dalam beragam wujud: memanjang, terbagi dua, atau bulat – diposisikan di belakang karakter.

Aspek visual juga menjadi sisi unik dari permainan ini. Developer mengusung arahan desain ‘neonpixel art bergaya Jepang 80, yang dipadu bersama karakter-karakter orisinal serta elemen budaya Indonesia – termasuk pemanfaatan musik funkot. Betul sekali, game ini mungkin bisa mengubah pandangan Anda terhadap musik house yang hampir selalu diasosiasikan dengan pengendara truk tersebut. Meski demikian, perlu diketahui bahwa Manami Matsumae turut berpartipasi dalam pengembangannya.

USBB 1

USBB siap menyajikan pengalaman bermain multiplayer berisi empat orang dalam mode berbeda. Dan jika kebetulan Anda lagi sendirian, game juga telah dibekali story mode. Pemain disuguhkan lebih dari 10 pilihan karakter, masing-masing mempunyai kelebihan dan kekurangan, serta skill berbeda.

USBB 2

Di situs Nintendo Jepang, Ultra Space Battle Brawl dijajakan seharga 円 1.600 atau kiasaran Rp 200 ribu, namun saya belum bisa memastikan apakah game sudah bisa diakses oleh pemilik Nintendo Switch di Indonesia. Berdasarkan trailer yang dipublikasikan Mojiken di pertengahan tahun 2017, mereka sempat punya niatan buat melepas USBB di Steam. Semoga saja rencana tersebut tidak dibatalkan…

USBB 3

UPDATE: Game sudah tersedia global.

Tambahan info: Toge Productions.

Berdarah-Darah Membangun Perusahaan “Gaming”

Seperti yang terungkap dalam tulisan sebelumnya, bisnis game cenderung dekat dengan konsep gambling. Ada faktor X yang menjadi penentu sukses atau tidaknya suatu produk. Modelnya sama seperti saat membuat film dan lagu. Agar semakin paham dengan industri game, coba simak prinsip dasar bagaimana perusahaan game melakukan monetisasi.

Ambil contoh terdekat mobile game kekinian seperti Mobile Legends yang sedang digandrungi Gamal dan orang Indonesia lainnya. Game ini memanfaatkan in-app purchase untuk monetisasinya. Caranya dengan membuat item dan fitur dalam setiap hero yang disematkan. Sistem pembayarannya menggunakan diamond atau poin yang dikumpulkan setiap kali bermain.

Harganya bervariasi, untuk memperoleh 250 diamond perlu merogoh kocek Rp75 ribu, 500 diamond Rp149 ribu, hingga yang termahal 5 ribu diamond senilai Rp1,49 juta. Lewat cara ini, perusahaan game mendapat keuntungan sesuai dengan kesepakatan porsi yang sudah disetujui dengan Android/iOS. Kisarannya untuk perusahaan game sebesar 70% dan untuk Google 30% bila memakai platform Android.

Ada cara lain mendapatkan keuntungan bila memasarkan produk lewat mobile, yakni iklan. Salah satu platform yang menyediakan layanan ini adalah Admob dari Google. Rumus kasar yang bisa diterima perusahaan lewat iklan adalah Daily Active User (DAU) x Session x Harga Iklan / 1.000.

DAU adalah berapa banyak orang yang memainkan/membuka aplikasi dalam sehari. Session itu berapa kali pemain membuka aplikasi dalam sehari. Sedangkan harga iklan adalah biaya yang dibayarkan dari aktivitas iklan di aplikasi.

Cara monetisasi terakhir dari mobile game adalah membuat game berbayar. Sekali membayar, pengguna dapat mengunduh aplikasi secara eksklusif.

Sumber pendapatan lain bagi perusahaan game adalah memproduksi game premium untuk PC dan konsol. Untuk game PC bisa dijual lewat platform Steam. Sedangkan konsol bisa dijual secara digital atau fisik lewat prinsipal masing-masing, yakni Nintendo, Xbox, dan PlayStation.

Cara monetisasi di atas hanya berlaku ketika perusahaan menjual produk game buatan mereka sendiri, atau lebih mudah disebut dengan business to consumer (B2C). Perusahaan sebenarnya juga bisa mengambil proyek lepas untuk klien (B2B), ini disebut advergame.

Terakhir, perusahaan juga bisa menjual merchandise karakter game yang mereka buat. Cara ini bisa dilakukan jika karakter game sudah kuat dan berbekas di benak pengguna. Ambil contoh termudah adalah karakter Angry Birds. Merchandise karakter ini beragam mulai dari t-shirt, gelas, mug, gantungan kunci, topi, hingga pakaian untuk pria maupun wanita.

Meski industri game kurang mendapat bantuan pendanaan dari pemodal lokal, bagi orang-orang sudah sedari awal punya passion kuat dengan bisnis ini, halangan apapun akan ditebas, termasuk soal pemodalan.

Dari tiga perusahaan game yang ditemui penulis, ketiganya memang pada akhirnya mendapat investasi dari modal ventura supaya bisa melakukan ekspansi bisnis. Meskipun demikian, semua pendiri punya pengalaman sama ketika mengawali bisnisnya. Yaitu, merogoh kocek sendiri saat awal bisnis berdiri.

Para pendiri ini enggan memberi tahu penulis tentang detail pendapatan yang mereka peroleh dengan berbagai alasan, namun mereka bersedia menceritakan perjalanan merintis bisnis hingga seperti sekarang.

Toge Productions

Tim Toge Productions / Toge Productions
Tim Toge Productions / Toge Productions

Toge Productions adalah perusahaan game indie yang didirikan Kris Antoni bersama seorang temannya pada 2009. Keduanya tertarik terjun ke industri ini karena sempat mengambil waktu senggang di luar jam kantor ikut kompetisi game.

Sejak itu, mereka sadar bahwa industri game ini ada pasarnya. Kebetulan jenis game yang tenar pada saat itu adalah game flash. Model bisnisnya, kreator menawarkan produknya ke situs marketplace khusus game Flash untuk dilelang (bidding) dan masuk sebagai koleksi konten.

Ketika pemilik marketplace tertarik, artinya game tersebut laku terjual dengan harga bidding. Konsep setiap marketplace berbeda-beda, ada yang diperuntukkan untuk konten eksklusif, ada yang tidak. Nama-namanya seperti Flash Game License dan Kongregate.

Game Flash pertama yang dibuat Toge adalah Days 2 Die di 2009, terjual dengan harga US$3 ribu (kurs dollar Rp10 ribu) dan proses pengerjaan selama tiga bulan. Perolehan ini tentu membawa untung bagi mereka berdua, sebab modal awal yang dialokasikan untuk Days 2 Die sekitar Rp20 juta. Itu berasal dari masing-masing sisa tabungan.

Kemudian, Toge mulai menyeriusi bisnis game dengan rajin membuat game berbasis Flash. Seluruh hasil penjualannya, kembali diputar untuk produksi game baru yang lebih ambisius. Untungnya, game berikutnya dari Toge memiliki nilai jual lebih besar, sehingga menghasilkan profit sekitar Rp1 juta-Rp2juta. Di tahun kedua, Toge sudah bisa merekrut orang baru.

“Modalnya hanya dari tabungan untuk hidup dan laptop masing-masing yang sudah punya. Kita selalu usaha untuk selalu irit, bahkan pernah makan indomie saja selama tiga bulan,” terang Kris.

Infectonator Hot Chase Won Best Mobile Game

Penjualan utama Toge adalah produk B2C, membuat game premium khusus untuk PC dan konsol. Sasaran pengguna Toge adalah internasional, bukan lokal. Dengan cara itu, menurut Kris, justru perusahaan bisa lebih sustain karena bisnis game premium lebih jelas dan tidak serumit mobile game.

Toge sempat mengambil bisnis advergame untuk B2B. Namun terpaksa dihentikan karena penghasilan yang didapat kurang sesuai dengan jerih payah.

Agar Toge tetap bertahan, perusahaan berusaha untuk menekan beban ongkos operasional dengan meminimalkan jumlah karyawan. Makanya kualitas karyawan yang dicari Toge adalah multi skill. Mereka bisa bantu untuk musik, desain, art, dan lainnya.

“Kita selalu berusaha setiap merekrut orang harus kalkulasi gajinya, apakah make sense dengan budget yang ada. Apakah bisa di-cover dengan tenaga yang kita punya sekarang. Kalau ternyata [budget] enggak cukup, ya lakukan sendiri. Jika memang benar-benar butuh baru hire orang.”

Dengan memutar keuntungan saat merintis Toge, Kris mengaku tidak pernah memiliki rencana untuk mengambil pinjaman dari pihak manapun. Entah itu bank ataupun ke orang tua sendiri. Sebab, hal ini sama saja menambah risiko.

“Jujur saja, kami rada anti dengan minjem ke bank karena itu nambah risiko. Kami lebih suka manage dari apa yang kita punya. Jangan sampai ada kondisi terpaksa pinjam. Syukurnya itu belum pernah terjadi di Toge.”

Kris pun menggambarkan struktur keuangan yang dimiliki Toge dengan proses produksi game. Setiap Toge ingin membuat proyek baru, pihaknya membuat estimasi berapa lama proses pembuatannya. Misal estimasi yang dibuat adalah 6 bulan, maka Toge harus menyiapkan gaji karyawan dan biaya operasional kantor sesuai rentang waktu tersebut.

Karena ada faktor X, kemungkinan proyek bisa molor maka perlu ada buffer. Toge mengalikan estimasi awal hingga dua kali lipat, sehingga dapat estimasi akhir satu tahun proyek game harus selesai. Selama setahun, sedari awal Toge sudah memastikan budget-nya telah siap.

“Kita selalu coba untuk tetap slim dan small. Semakin banyak orang belum tentu buat proyek cepat selesai. Malah bisa buat biaya makin besar. Banyak yang enggak sadar, di industri kreatif itu mindset-nya jangan kayak buat pabrik. Bukan berarti ada dua orang bisa buat puisi lebih cepat.”

Proses pengerjaan game, dimulai dari pemilihan tema. Toge selalu berusaha untuk menghindari tren dan mengambil dari sisi lain. Toge jarang sekali melakukan riset pasar untuk mencari tahu kemauan pasar seperti apa.

Ambil contoh untuk game Infectonator. Membawa karakter zombie lantaran alasan pribadi Kris yang penyuka makhluk tersebut. Permainan ini mengandaikan diri Anda sendiri sebagai penyebar wabah untuk menyerang seluruh manusia. Tujuan akhirnya semua manusia musnah dan menjadi zombie.

Cara memainkannya, Anda hanya cukup tap layar smartphone dan melakukan beberapa upgrade untuk pasukan zombie. Game ini pertama kali rilis sebagai game Flash, lalu di-port ke mobile game pada 2012. Untuk proses pembuatannya sendiri dimulai pada 2011.

“Infectonator itu game paling populer di Toge. Itu game yang benar-benar di luar tren dan genre manapun. Kebetulan iseng mau buat game yang simpel, gak perlu mikir. Lalu dapat inspirasi saat main salah satu game flash, cara mainnya reaksi berantai, tapi itu bom. Itu lucu sih, akhirnya kita brainstorming untuk mengembangkan lebih lanjut.”

Saat membuat Infectonator, belum ada tambahan karyawan selain Kris dan Jonathan. Awalnya membuat minimum viable product (MVP) berisi inti dasar game sebelum ditambah fitur lainnya sehingga menjadi versi penuh. Berangkat dari MVP, Toge ingin melihat respon pasar apakah orang suka dan bagaimana masukannya.

Setelah berhasil membuktikan banyak pengguna yang memberi masukan, Toge mulai menambah fitur-fitur tambahan yang terbagi menjadi beberapa milestone. Setiap milestone membutuhkan waktu pengerjaan sekitar 2-3 bulan.

Suasana kantor Toge / Toge
Suasana kantor Toge / Toge

Dengan pembagian milestone ini, Toge mau membuktikan apakah fitur yang satu per satu ditambahkan ini bisa diterima pengguna atau tidak. Bila tidak, Toge bisa mengatasi risikonya sedini mungkin. Intinya, proses pengerjaan game tidak boleh melebihi budget yang sudah ditentukan sejak awal proyek dimulai.

Untungnya karena dipecah-pecah menjadi milestone, Toge punya kesempatan untuk men-spin off menjadi game tersendiri. “Berkat ada milestone, menjadikan rate of failure kami tidak tinggi. Dari semua proyek, yang fail atau enggak kelar sekitar 30% dari total produk. Untungnya begitu.”

Kris mengklaim Infectonator masih menjadi produk game terbesar yang memberikan pendapatan ke perusahaan, meski sudah lama dirilis. Meski tidak disebutkan pendapatan terkini dari game tersebut, namun dia menggambarkan pada tahun pertama dirilis pendapatan kotornya mencapai Rp2 miliar. Angka tersebut berasal dari in-app purchase dan pembelian aplikasi di iOS. Adapun jumlah unduhan Infectonator itu sendiri di Google Play telah mencapai 5 juta kali.

“Dengan perbanyak produk berkualitas, kita ingin produk punya tale yang panjang dan terus make money, seperti Infectonator itu. Satu game bisa terus make money sampai lima tahun kemudian, lalu diakumulasi dengan game lainnya itu akan cukup menghidupi Toge. Dari segi effort, maintenance-nya tidak tinggi karena kami perlakukan game sebagai produk, bukan servis.”

Untuk menambah sumber pendapatan, kini Toge menambah divisi bisnis baru yakni publisher game mulai pertengahan tahun ini pasca DNC masuk sebagai investor. Ada tujuh game dari perusahaan game lokal yang menjadi mitra Toge, beberapa di antaranya Ultra Space Battle Brawl (Mojiken Studio), My Lovely Daughter (GameChanger Studio), Hellbreaker (Tahoe Games), dan MagiCat (Kucing Rembes).

Untuk model bisnis sebagai Toge Publisher, perusahaan memberikan bantuan pendanaan sebesar 50% dari total budget perusahaan game. Kemudian Toge akan membantu pemasaran dan konsultasi. Pembagian komisi antara Toge dengan perusahaan game adalah 30-70 atau 50-50 tergantung kesepakatan.

Secara total, Toge telah memproduksi sekitar 30 game. 20 di antaranya adalah game Flash, dan sisanya adalah game premium untuk PC dan konsol. Sebagian game juga tersedia versi mobile yang dipublikasi lewat pihak ketiga. Mobile game yang hadir dalam versi aplikasi di antaranya Infectonator Hot Chase dan Infectonator.

Arsanesia

Beda perusahaan beda strategi. Perusahaan game asal Bandung Arsanesia sempat menawarkan bisnis servis B2B untuk mendapatkan arus kas. Arsanesia didirikan oleh Adam Ardisasmita beserta tiga kawannya pada April 2011.

Tim Arsanesia / Arsanesia
Tim Arsanesia / Arsanesia

Arsanesia mulanya berdiri karena kampus Adam, Institut Teknologi Bandung (ITB), menggelar kompetisi bekerja sama dengan Nokia. Ketika itu perlombaan membuat mobile game dengan sistem operasi Symbian di 2010. Adam pun tertarik. Sepuluh ide terbaik mendapat hadiah sebesar US$4 ribu dan tim Adam terpilih jadi salah satu pemenang.

Aplikasi yang dia buat adalah Gamelan Player, game simulator alat musik tradisional Gamelan asal Sunda dikemas dalam bentuk digital untuk ponsel Nokia. Aplikasi tersebut kemudian dibawa ke Singapura untuk menjadi showcase. Responnya terlihat dari awal peluncuran. Sekitar 80% unduhan berasal dari luar negeri dengan total perolehan 200 ribu unduhan.

Setahun berikutnya, Arsanesia kembali melanjutkan kolaborasi dengan Nokia dengan meluncurkan mobile game Temple Rush: Prambanan. Temanya masih membawa budaya lokal, kebetulan pada saat itu marak terjadinya klaim budaya Indonesia oleh Malaysia. Adam dan tim pun mulai berkomitmen untuk menyeriusi dunia kewirausahaan di industri game dengan membentuk badan hukum di 2013.

“Saya termasuk salah satu kelompok yang mendapat stimulus awal dari Nokia untuk terjun di dunia game. Mereka kasih stimulus dengan mengeluarkan jutaan Euro untuk developer game lokal [meng]-upgrade pengetahuan, dapat bantuan dana, dan exposure-nya,” kata Adam.

Menurut Adam, apa yang dilakukan dari Nokia pada waktu itu merupakan stimulus terbesar yang membuat perusahaan game lokal tetap bisa bertahan hingga kini. Setelah Nokia diberitakan diakuisisi Microsoft, banyak studio game berguguran karena mereka tidak mempersiapkan rencana bisnis yang matang. Seolah-olah, dukungan yang tadinya melimpah tiba-tiba hilang begitu saja.

Syukurnya Arsanesia sudah mempersiapkan diri dengan terjun sebagai perusahaan yang menyediakan jasa servis untuk korporat (B2B), semenjak rutin berkolaborasi dengan Nokia. Dengan bekal pengalaman tersebut, Arsanesia menawarkan servis advergame ke korporat sejak 2011 hingga 2014 untuk tetap menghidupi perusahaan.

roly poly penguin

Saat fokus ke B2B, Adam sempat mengajukan kredit ke bank. Proposalnya hampir disetujui bank. Arsanesia menggunakan invoice dari klien sebagai agunan. Namun akhirnya memutuskan untuk tidak jadi mengambil. Pertimbangannya karena kebutuhan dana selain diarahkan untuk menyelesaikan permintaan klien juga ada keinginan pengembangan produk B2C.

“Kami percaya masih perlu tambahan ilmu dan dari B2B itu salah satu solusinya. Jadi win win, kita bisa belajar sekaligus dibayar.”

Biaya yang digunakan untuk membuat Roly Poly sebesar Rp250 juta dengan rentang waktu pembuatan selama satu tahun. Seluruh anggaran tersebut habis untuk membayar gaji karyawan sekitar 8 orang terdiri atas animator, artist, programmer, game designer, magang, serta memakai jasa sound effect game dari pihak ketiga.

Sedangkan untuk ongkos pemasaran lebih banyak memakai strategi organik dengan memanfaatkan media sosial dan cross promotion dengan pengembang game lainnya. Tak hanya itu, strategi pemasaran Arsanesia lebih diarahkan meningkatkan visibilitas produk dalam Google Play, misalnya muncul dalam Features dan Editors Choice.

Cara tersebut dinilai lebih efektif, murah, dan Arsanesia bisa mendapatkan user yang lebih berkualitas karena potensi untuk meng-uninstall (churn rate) rendah.

“Dari hasil perolehan di B2B, kami tabung profit sedikit demi sedikit untuk modal mengembangkan produk B2C. Ternyata Roly Poly Penguin enggak hit, setelah sekian lama kami tidak buat produk. Akhirnya agar perusahaan tetap berjalan, kami terpaksa jalanin B2B lagi.”

Kemudian di 2016, Arsanesia bertemu dengan mitra yang tertarik dengan mobile game dan peduli dengan edukasi anak. Akhirnya mereka berdua memutuskan untuk membentuk unit usaha baru, Arsa Kids. Ada tujuh produk dari Arsa Kids yang sudah dirilis, seperti Pippo Belajar Alfabet, Pippo Belajar Bentuk, Pippo Belajar Rasi Bintang, dan Pippo Belajar Binatang.

Di saat yang sama, Arsanesia berhenti melayani bisnis B2B dan fokus mengembangkan Arsa Kids. Untuk monetisasinya, seluruh mobile game yang dibuat Arsanesia menggunakan in-app purchase. Agar Arsanesia dapat terus mengembangkan produk B2C, sejak pertengahan tahun ini perusahaan mendapat investasi tahap awal dari DNC dengan nominal dirahasiakan. Arsanesia akan menggunakan dana tersebut untuk menemukan produk B2C yang tepat dan bisa menghasilkan pendapatan bagi perusahaan.

“Sebelum DNC masuk, lebih dari 90% [revenue] dari B2B. Kami sekarang sudah tidak lakukan B2B sama sekali, makanya unit B2C harus perform banget. Ini yang menantang karena ibarat kata B2C adalah nature dari perusahaan game.”

Agate Studio

Hampir mirip dengan perjalanan Arsanesia, Agate Studio, perusahaan game yang sama-sama berasal dari Bandung, juga harus menempuh jalur B2B sejak pertama kali dirintis pada 2009.

Setelah 6 tahun bersifat bootstrap, Agate Studio akhirnya mengambil pendanaan dari VC / Agate Studio

Agate mulai dirintis ketika 18 orang mahasiswa tingkat tiga di ITB, termasuk Arief Widhiyasa (CEO Agate) dan Aditia Dwiperdana (Serious Games Studio Head Agate) tertarik ikut beberapa kompetisi membuat game di 2008. Meski tidak ada yang dimenangkan, hal itu justru membuat mereka jadi tertarik untuk mengembangkan studio game lokal.

Di tahun yang sama, tim Agate mendapat kesempatan untuk ikut memamerkan game buatannya di Indonesia Game Show Jakarta. Pengunjung booth yang memainkan game Agate ternyata responnya sangat positif, memicu semangat untuk menyeriusi bisnis ini lebih dalam.

“Menurut pengunjung perasaan mereka saat main game sangat senang. Ini jadi titik balik kami bahwa buat game itu bukan untuk menyenangkan diri sendiri saja, tapi bisa buat orang lain ikut bahagia,” kata Aditia.

Alhasil, tim pun mulai meresmikan Agate menjadi studio di April 2009. Awalnya mereka memberikan catatan, apabila dalam jangka waktu tiga tahun tidak menghasilkan penghasilan terpaksa akan ditutup. Rata-rata dari mereka belum mendapat restu orangtua.

Modal mendirikan studio itu berasal dari patungan masing-masing pendiri, total dana yang didapat sekitar Rp120 juta. Agate mulai memproduksi 40 game Flash dan menjualnya ke berbagai portal marketplace, namun hanya 18 di antaranya yang laku.

Salah satu game perdana Agate, English Defendant laku dengan harga US$500, dengan kata lain tidak balik modal. Sampai akhirnya dana operasional habis. Sebab lebih dari separuh modal habis untuk menyewa rumah beserta perabotannya yang memakan biaya sekitar Rp100 juta.

Seluruh founder pun terpaksa harus digaji sebesar Rp50 ribu selama enam bulan dengan waktu kerja hingga 15 jam sehari. Akhirnya Agate memutuskan untuk mendirikan divisi advergame (B2B, B2B2C, dan B2G) demi memutar arus kas.

“Digaji Rp50 ribu itu karena ada dua alasan, kita butuh latihan manajemen untuk beneran gaji tiap bulan. Lagipula kami masih dapat uang saku dan tinggal dengan orang tua. Kedua, karena kita tidak mau jadi software house yang kumpul bila ada proyekan saja. Selama ngerjain proyek itu enggak jelas entitasnya. Kita memang ingin Agate jadi mata pencaharian yang layak.”

Founder baru bisa digaji sesuai standar UMR setahun kemudian, setelah Agate terjun ke advergame. Proyek pertama yang dikerjakan Agate adalah membuat game untuk Microsoft dengan menggunakan teknologi Silverlight. Nilai proyeknya sekitar belasan juta, sayang Aditia enggan membeberkan detilnya.

Sejak terjun ke advergame, Agate mulai bisa membayarkan gaji sesuai UMR. Mulai dapat mengembangkan tim, sebab tujuan Agate didirikan adalah wadah yang menampung talenta dengan kesamaan visi. Orang lokal dapat bekerja di perusahaan game, tanpa harus ke luar negeri dengan standar gaji yang tidak terlalu besar.

“Kita ngejar-nya bukan per orang bisa digaji besar, tapi bisa menampung orang lebih banyak. Sejauh ini bisnis terus berkembang dan total tim ada 120 orang. Itu pun masih kurang karena banyak servis yang akhirnya tidak bisa diambil karena overload.”

Divisi advergame di Agate akhirnya menjadi trademark di benak pemain industri. Puluhan klien sudah ditangani, mulai dari perusahaan agency, EO, FMCG, hingga untuk keperluan kampanye presiden. Nilainya bisa mencapai ratusan juta tergantung kompleksitasnya. Komposisi pendapatan Agate bisa dibilang imbang 50-50 antara advergame dan produk B2C.

Agate Rilis Game Mobile Kedua Untuk Pasar Jepang / Agate Studio
Agate Rilis Game Mobile Kedua Untuk Pasar Jepang / Agate Studio

Agate terbilang cukup sering mengajukan pinjaman kredit ke bank, namun selalu ditolak karena tidak memiliki aset yang bisa dijadikan agunan. Padahal Agate sudah menyodorkan invoice perjanjian bisnis yang pasti dibayarkan klien.

Aditia mengaku Agate pernah hampir mendapat fasilitas KUR ritel dengan plafon yang dibutuhkan sebesar Rp500 juta, tapi tidak jadi karena prosesnya sudah terlanjur ditutup.

Kendati sudah terjun ke advergame, tidak lantas Agate meninggalkan “khitah”-nya sebagai perusahaan game. Di 2010, Agate tetap memproduksi mobile game dengan memakai metode monetisasi in-app purchase.

Sumber pendanaannya berasal dari subsidi perolehan profit bisnis B2B. Dari seluruh produk B2C yang dirilis Agate, paling tidak semuanya berhasil mencapai Break Even Point (BEP), walaupun belum ada yang benar-benar mencetak profit hingga berkali-kali lipat.

Dalam manajemen pembuatan game, Agate selalu melakukan riset pasar, bagaimana visibilitas dan proyeksi sebelum membuat minimum viable product (MVP). Kemudian versi Beta Plus untuk dievaluasi selama tiga bulan dengan merilis langsung ke pengguna atau negara tertentu demi melihat traksi. Dari situ Agate baru bisa memastikan apakah produk tersebut layak dilanjutkan atau tidak.

“Dulu sih kita idealis, sekarang enggak. Kalau awal idealis tapi dapat dibuktikan lewat validasi bagaimana kenyataan di pasarnya bagaimana, itu bisa. Kita pernah buat game yang selesainya sampai setahun. Jadinya malah backfire, tren sudah terlalu banyak berubah. Sekarang kita mulai gesit untuk develop produk.”

Selain memutar profit sendiri, Agate mendapat tambahan dana segar dari empat angel investor lokal di 2011. Mereka kenal dengan tim Agate secara personal dan percaya dengan apa yang ingin dilakukan. Tahun lalu, Agate mendapat investasi Pra Seri A dari modal ventura lokal Maloekoe Ventures senilai lebih dari Rp13 miliar.

Bila ditotal hingga kini, Agate sudah merilis lebih dari 200 game dan dimainkan oleh lebih dari 5 juta pengguna, baik di Indonesia maupun secara global.

Beberapa mobile game terbaru Agate di antaranya Fantasista, Love Spice, Dungeon Chef, Kuis Iseng, Trio Lestari, dan Juragan Terminal. Sebagian di antaranya khusus dirilis untuk pasar internasional.