Fokus danabijak Setelah Perolehan Lisensi dan Pendanaan External

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sempat menyebutkan bahwa fintech lending termasuk industri yang tergolong cepat pulih di masa pandemi ini. Studi yang dilakukan Bank Dunia pada tahun 2020 menunjukkan pertumbuhan volume transaksi sebesar 11% dan jumlah transaksi sebesar 13% pada perusahaan fintech global secara agregat.

Dalam rilis yang dikeluarkan Kominfo terkait industri fintech lending di Indonesia bulan Agustus lalu, disampaikan distribusi pinjaman yang diberikan sampai dengan Juni 2021 sudah menjangkau 25,3 juta masyarakat dengan total penyaluran dana sebesar Rp14.793 triliun.

Di sisi lain, masih banyak masyarakat yang belum dapat pendanaan dari bank (unbanked) dan potensial untuk digarap perusahaan fintech. Salah satunya, pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang belum terintegrasi dengan ekosistem digital.

Di Indonesia, sudah ada beberapa pemain yang menyasar pasar mikro seperti ini, sebut saja Modalku, Investree, Akseleran, juga danabijak yang pada tanggal 8 September 2021 lalu resmi mengantongi lisensi dari OJK.

Lisensi OJK

Dalam wawancara singkat bersama DailySocial.id, menurut pihak danabijak, OJK sedang berupaya keras untuk membangun industri jasa keuangan yang terukur (scalable) dan berkelanjutan.

Dalam upaya mereka baru-baru ini, OJK memberi tekanan lebih untuk menutup platform pinjaman fintech ilegal yang menyebabkan banyak masalah untuk pengguna dan industri, dan mereka terus mengatur batas suku bunga maksimum (interest rate cap) untuk menawarkan layanan yang lebih baik kepada para pengguna.

Sepanjang tahun 2021, sudah ada 42 fintech lending yang mengembalikan tanda terdaftarnya kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Ini membuat jumlah pemain fintech di tanah air tinggal 107 pemain per 8 September 2021.

CEO danabijak Markus Prommik mengungkapkan, “Dengan maraknya kehadiran pinjaman online yang ilegal, lisensi resmi dari OJK yang sudah didapat ini tentunya akan memperkuat posisi danabijak sebagai perusahaan fintech yang legal, kredibel dan dapat dipercaya oleh masyarakat luas.”

Dengan ini, perusahaan melihat bahwa pasar fintech sedang mengalami perubahan dan akan menyesuaikan bisnis untuk terus memenuhi kebutuhan pengguna seperti membangun produk-produk keuangan digital yang disesuaikan dengan setiap segmen pengguna sebagai bentuk komitmen terhadap inklusi keuangan di Indonesia.

Pertumbuhan bisnis

Setelah tiga tahun beroperasi, startup lending yang fokus pada pinjaman yang bersifat mikro ini berhasil mencatat pertumbuhan sebesar 4,5 kali untuk angka disbursement bulanan dalam waktu kurang dari setahun di tengah pandemi. Secara keseluruhan, perusahaan telah menyalurkan lebih dari 300,000 pinjaman ke lebih kurang 100,000 peminjam konsumtif dan produktif di Indonesia dan mempertahankan TKB90 di angka 95,55%.

Perusahaan mengakui, sumber dana yang digunakan kebanyakan datang dari institutional lender baik dari Indonesia maupun luar negeri. Namun, perusahaan belum bisa mempublikasikan informasi terkait jumlah dan institusi apa saja yang telah menyalurkan dana melalui platformnya.

Terkait penyaluran bulanan, saat ini danabijak telah menyalurkan lebih dari US$ 2,000,000 setiap bulannya “Target kami selanjutnya adalah mencapai US$ 10,000,000 penyaluran bulanan pada 2022.” tambah Markus

Terdapat berbagai metode pencairan dan pelunasan pinjaman dalam model bisnis fintech lending. Platform danabijak mengizinkan para penggunanya untuk melakukan pelunasan lebih awal tanpa biaya penalti guna menawarkan fleksibilitas serta menjadikan pinjaman sesuai dengan kebutuhan setiap pengguna.

Semua proses ini dijalankan secara aman sesuai dengan standar industri serta jaminan keamanan data pengguna yang ketat sesuai dengan peraturan yang berlaku.

Perusahaan juga menyediakan berbagai opsi seperti perpanjangan, restrukturisasi atau perubahan pada jadwal angsuran sehingga masyarakat dapat memahami kemampuan dalam membayar angsuran, mengatur pengeluaran bulanan mereka serta menerapkan literasi keuangan yang baik.

Selain itu, salah satu proposisi nilai yang ditawarkan danabijak yang membedakan dari perusahaan P2P lainnya adalah fokus kepada kesejahteraan finansial (financial well-being) dari seluruh pelanggan. Perusahaan saat ini masih fokus untuk menggarap kelompok underbanked dan pelaku UMKM.

Markus turut menyampaikan, “Kami juga selalu membagikan ilmu finansial dan memberikan pendidikan kepada setiap peminjam mengenai manajemen keuangan yang baik. Melalui produk digital finance, kami menemani pelanggan membangun sejarah kredit yang baik agar mereka dapat meningkatkan kehidupan mereka.”

Target ke depan

Ketika disinggung mengenai rencana ke depan, timnya mengungkapkan bahwa visi dan tujuan utama perusahaan adalah untuk mempercepat akses kredit bagi 5 juta orang dan bisnis di Indonesia pada tahun 2025.

Dari sisi pendanaan, danabijak telah mengamankan pendanaan dari GK Plug and Play, buah dari program akselerator yang diikuti pada tahun 2018. Di pertengahan tahun 2021, perusahaan disebut telah membukukan pendanaan dari beberapa investor, di antaranya adalah Kristjan Kangro (CEO dari Change Invest), serta investor baru seperti Walter Marke de Oude (Founder & Chairman dari Singlife).

“Kami menginvestasikan dana dari hasil fundraising untuk mendorong pertumbuhan, pengembangan produk, dan peningkatan data science untuk menunjang kredit skoring. Sebagai contoh, saat ini kami sudah meluncurkan beberapa produk baru (contoh: Pinjaman cicilan 3-12 bulan) dan meningkatkan kapabilitas kredit skoring.”

Mengenai rencana masa depan, danabijak mengaku akan terus membentuk kemitraan, dalam hal layanan teknologi, dengan berbagai lembaga keuangan, bank, perusahaan pembiayaan (multi-finance), dan perusahaan teknologi. “Kami percaya bahwa kolaborasi dan upaya membangun sebuah ekosistem yang menguntungkan semua orang merupakan kunci untuk pertumbuhan dan perkembangan Indonesia,” tutup Markus.

Application Information Will Show Up Here

Masalah yang Coba Diselesaikan Fintech untuk Kalangan “Unbankable” di Pedesaan

Masih besarnya jumlah masyarakat di pedesaan yang belum tersentuh oleh layanan finansial perbankan dan institusi keuangan lainnya, menjadi salah satu alasan mengapa fintech hadirkan solusi. Mereka debut menawarkan produk yang cukup mendasar, seperti voucher pulsa, pembayaran PPOB, layanan transfer dana hingga pinjaman uang. Beda dengan perbankan, mereka jadikan pebisnis mikro seperti pemilik warung sebagai agen untuk menjembatani transaksi.

Sebagai salah satu startup Indonesia yang menyadari benar peluang tersebut, Payfazz ingin menjadi layanan finansial yang hampir serupa dengan perbankan. Namun tanpa memiliki kantor cabang dan hanya mengandalkan teknologi, konsep tersebut diklaim paling ampuh untuk masyarakat yang tinggal di pedesaan.

Dalam sesi #Selasastartup kali ini, Co-founder & CEO Payfazz Hendra Kwik menjabarkan beberapa fakta menarik dan alasan mengapa saat ini masih banyak masyarakat Indonesia di luar pulau Jawa yang belum memiliki akun rekening, simpanan hingga kesempatan untuk mendapatkan modal untuk usaha kecil mereka.

“Dengan layanan yang kami miliki harapannya bisa lebih banyak lagi UKM di pedesaan mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan usaha mereka yang akan berimbas kepada masyarakat sekitar dan secara langsung meningkatkan taraf hidup masyarakat di pedesaan.”

Akses terbatas

Berdasarkan hasil riset bertajuk The Future of Southeast Asia’s Digital Financial Services yang dilakukan Google, Temasek dan Bain & Company, sekurangnya 92 juta penduduk berusia dewasa di Indonesia belum tersentuh layanan finansial (unbankable).

Masyarakat di perkotaan bisa dengan mudah datang ke bank atau lembaga finansial lainnya. Sementara bagi masyarakat yang tinggal di pelosok kesulitan untuk mendapatkan akses finansial tersebut. Dari sisi lembaga penyedia layanan pun kadang alami kendala, misal harus keluarkan modal besar untuk mendirikan kantor cabang di daerah tersebut.

Dengan alasan itulah Payfazz yakin teknologi dapat mengatasi kesenjangan tersebut. Dengan menggandeng agen yang kebanyakan adalah pemilik toko kelontong, bisa mempermudah semua proses memanfaatkan aplikasi. Bukan hanya pembelian pulsa, melalui teknologi yang dimiliki kini masyarakat yang tinggal di pedesaan juga bisa mendapatkan kesempatan untuk meminjam modal, menyimpan uang dan lainnya.

“Untuk produk keuangan dibutuhkan data yang sangat akurat, untuk itu melalui agen kami terus memberikan edukasi kepada masyarakat agar bisa memberikan data yang tepat dan terbiasa mengakses teknologi memanfaatkan aplikasi di smartphone,” kata Hendra.

Kesadaran menabung

Masih banyaknya masyarakat di pedesaan yang tidak terbiasa menyimpan hasil usaha mereka, dan menghabiskan semua hasil panen atau usaha secara langsung, kerap menjadi persoalan dan sering ditemui di pedesaan. Melalui inovasi teknologi yang dimiliki, diharapkan bisa mengajarkan lebih banyak lagi kebiasaan menabung di kalangan masyarakat pedesaan, dengan memanfaatkan agen-agen yang tersebar.

Saat ini masih banyak masyarakat pedesaan yang menyimpan uang mereka di dalam rumah dan enggan untuk menyimpan di bank karena terbatasnya layanan perbankan yang tersedia di pelosok desa. Memanfaatkan agen yang dimiliki, tentunya bisa mempermudah proses tersebut, sekaligus membantu mereka untuk terbiasa menyimpan uang dan tidak melakukan cara-cara lama dalam hal perencanaan keuangan.

“Saat ini sekitar 64% masyarakat di Indonesia tidak pernah menyimpan uang, akibatnya ketika ada bencana uang mereka hilang karena mereka hanya menyimpan di kaleng di rumah mereka. Melihat fenomena tersebut kami melihat ada suatu urgensi dengan menyediakan akses perbankan yang sama dengan di kota-kota besar untuk kemudian diterapkan di daerah,” imbuh Hendra.

Inovasi teknologi

Berawal dari hanya menyediakan produk dalam jumlah terbatas, Payfazz kini menghadirkan berbagai layanan finansial untuk masyarakat di pedesaan. Mencoba menggantikan posisi kantor cabang bank yang masih sangat minim jumlahnya.

Payfazz saat ini sudah miliki 450 ribu orang agen. Aplikasi keuangan tersebut memudahkan pemilik UKM menawarkan berbagai produk keuangan, termasuk untuk PPOB, pembayaran tagihan, transfer dana, tarik tunai, hingga pembayaran kredit. Kontribusi PPOB saja setiap bulannya hampir menyentuh Rp1 triliun.

“Fokus kami sejak awal hingga saat ini adalah meng-cater masyarakat di pedesaan yang masih underprivileged dan terkucilkan dari layanan perbankan. Harapannya kami bisa menyediakan layanan kepada lebih banyak lagi masyarakat di pedesaan bukan hanya untuk keperluan finansial pribadi namun juga untuk mengembangkan usaha mereka lebih besar lagi,” terang Hendra.