Keberadaan Trilogi GTA Remastered Semakin Menguat

Setelah beragam rumor dan spekulasi yang mengemuka di berbagai forum dunia maya mengenai keberadaan GTA Remastered, akhirnya spekulasi ini semakin menguat setelah beberapa media game besar menginformasikan tentang kehadiran game ini.

Semua ini bermula ketika beberapa waktu lalu secara tiba-tiba induk perusahaan Rockstar, Take-Two mulai menghapus mod game-game GTA dari berbagai website. Apalagi secara spesifik Rockstar menarget mod untuk seri lawas GTA seperti GTA San Andreas dan Vice City.

Dari kasus tersebut komunitas modder dan fans mulai mencurigai bahwa Rockstar tengah merencanakan sesuatu. Apalagi setelah laporan finansial terbaru dari induk perusahaan Take Two Interactive menunjukkan bahwa Rockstar memiliki setidaknya tiga buah proyek remake/remaster yang masih dirahasiakan.

Image credit: Rockstar

Meskipun tiga buah remaster/remake ini masih belum dikonfirmasi, namun Kotaku berani mengonfirmasi dari sumber terpercaya yang mereka miliki bahwa 3 game tersebut adalah Grand Theft Auto III, Grand Theft Auto Vice City, dan juga favorit para fans Grand Theft Auto San Andreas.

Selain itu, sumber tersebut juga mengatakan bahwa ketiga game tadi akan di-remaster menggunakan Unreal Engine yang akan menggabungkan antara grafik baru dan original. Salah satu sumber yang mengaku telah melihat gameplay-nya mengatakan bahwa tampilannya mirip dengan game GTA yang diberi banyak mod.

Selain grafis, tampilan user interface juga ikut diperbarui namun tetap mempertahankan style klasiknya. Game remaster/remake ini juga dikabarkan akan mendapat perubahan konten agar lebih terasa relevan untuk game modern.

Image credit: Youtube INTER

Proyek remaster ini disebut-sebut dikerjakan oleh studio baru milik Rockstar, yaitu Rockstar Dundee. Studio ini diakusisi Rockstar tahun lalu dan awalnya bernama Ruffian Games. Beberapa karya dari studio ini antara lain Crackdown 2, Crackdown 3, dan juga HALO: Master Chief Collection.

Trilogi GTA Remastered ini dikatakan akan dijadikan bonus untuk GTA V versi next-gen, yang konon akan dirilis pada November mendatang. Ketiga game ini juga awalnya akan dirilis pada awal tahun 2021 ini, namun karena pandemi rencana tersebut harus mundur ke akhir tahun.

Sayangnya, Rockstar maupun Take Two Interactive masih belum angkat bicara mengenai laporan ini. Namun masih dari sumber yang sama, trilogi GTA Remaster ini akan tersedia untuk Playstation 4, Playstation 5, Xbox One, Xbox Series X|S, dan Nintendo Switch untuk akhir tahun. Sedangkan untuk platform mobile dan PC diperkirakan akan tiba pada 2022 mendatang.

Teknologi Display MicroLED Besutan Samsung Bakal Dipakai dalam Studio Produksi Film

Serial The Mandalorian memopulerkan tren baru di industri perfilman lewat teknik produksi yang mengandalkan studio virtual. Ketimbang menggunakan green screen, tim produksi The Mandalorian justru membangun studio khusus dengan layar LED sebagai dinding sekaligus langit-langitnya, menyederhanakan alur produksi sekaligus memaksimalkan kemampuan akting masing-masing pemeran.

Tren ini membuka peluang bisnis baru bagi produsen panel display seperti Samsung. Baru-baru ini, Samsung mengumumkan kontrak kerja samanya dengan rumah produksi asal Korea Selatan, CJ ENM, untuk membangun studio produksi virtual yang dibekali teknologi MicroLED besutan Samsung.

Diumumkan di tahun 2018, salah satu keunggulan teknologi MicroLED adalah sifatnya yang modular, yang berarti teknologi ini dapat diaplikasikan menjadi display dalam berbagai bentuk dan ukuran. Dalam konteks studio film, MicroLED dapat diaplikasikan ke dinding atau langit-langit studio yang datar, cekung, ataupun cembung, menyesuaikan dengan rancangan internal studio itu sendiri.

Untuk display utamanya, Samsung dan CJ ENM sudah merencanakan display yang berbentuk oval, dengan diameter 20 meter dan tinggi sekitar 7 meter atau lebih. Kalau mau diukur, Samsung bilang panel ini mempunyai ukuran melebihi 1.000 inci, serta mampu menampilkan konten dalam resolusi maksimum 16K dan format HDR10+.

Juga tidak kalah penting adalah pilihan frame rate yang telah dioptimalkan untuk kebutuhan produksi film, termasuk halnya opsi-opsi populer macam 23,976 Hz, 29,97 Hz, maupun 59,94 Hz. Sebelum ini, CJ ENM juga sudah lebih dulu meneken kontrak kerja sama dengan Epic Games untuk memanfaatkan game engine Unreal Engine dalam proses produksinya, sama seperti yang dilakukan oleh tim produksi The Mandalorian.

Pengamat industri dari Göteborg Film Festival memprediksi bahwa proses produksi virtual semacam ini bakal menjadi standar baru di industri perfilman dalam lima tahun ke depan, dan Samsung pun bukan satu-satunya produsen panel display yang terlibat langsung sebagai pemasok teknologi display untuk studio produksi virtual.

Belum lama ini, Sony juga dikabarkan sudah mulai menggunakan teknologi Crystal LED besutannya dalam membangun studio virtual untuk rumah produksi mereka sendiri, Sony Pictures. Sony bahkan juga sempat membeli saham Epic Games senilai $250 juta.

Sumber: Engadget dan Samsung.

Sejarah Epic Games: Lalui 4 Fase yang Berbeda-Beda

Epic Games baru saja mendapatkan investasi sebesar US$1 miliar. Dengan ini total nilai perusahaan itu mencapai US$28 miliar, menurut laporan Sky News. Epic terakhir kali mengumpulkan dana pada Juli 2020. Ketika itu, Sony menjadi salah satu investor mereka dengan menanamkan modal sebesar US$250 juta. Fortnite menjadi salah satu game terpopuler buatan Epic. Sejauh ini, jumlah pemain game battle royale tersebut telah mencapai 350 juta oarng. Selain itu, Epic juga dikenal berkat Unreal Engine mereka.

Lalu, bagaimana Epic Games bisa menjadi perusahaan game raksasa seperti sekarang? Tim Sweney, Co-founder Epic Games mengungkap, selama 30 tahun berdiri, Epic Games melalui empat fase.

 

Epic 1.0

Di era Epic 1.0 — yang berlangsung pada 1991-1997 — Epic Games bahkan belum menggunakan nama itu. Sweeney mendirikan Potomac Computer Systems (PTC) pada 1991. Ketika itu, dia masih bekerja dari rumah orangtuanya. Game pertama yang PTC rilis adalah ZZT, game action-adventure puzzle yang bisa dimainkan di MS-DOS. Sweeney membutuhkan waktu sembilan bulan untuk menyelesaikan game tersebut. Dia memperkirakan, game tersebut terjual hingga ribuan unit.

profil epic games
ZZT terjual hingga ribuan unit. | Sumber: Wikipedia

PTC berubah menjadi Epic MegaGames pada 1992. Alasan Sweeney mengubah nama perusahaannya adalah karena dia ingin serius mengembangkan bisnisnya. “Saya sadar perlu menggunakan nama yang serius. Dan tercetus ide untuk menggunakan nama “Epic MegaGames’ — agar terlihat seperti perusahaan besar,” kata Sweeney, seperti dikutip dari Gamasutra.

Dalam beberapa tahun ke depan, Epic MegaGames merilis beberapa game, seperti Jill the Jungle, Epic Pinball, dan Ken’s Labyrinth. Pada 1994, mereka meluncurkan Jazz Jackrabbit, yang didesain oleh Cliff Bleszinski dan Arjan Brussee. Jazz Jackrabbit adalah salah satu game side-scrolling platformer pertama yang diluncurkan untuk Windows dan Mac.

 

Epic 2.0

Era Epic 2.0 dimulai pada 1998. Di era ini, Epic mulai tumbuh sebagai perusahaan. Jumlah karyawan mereka naik, dari 15 orang menjadi 25 orang. Mereka juga mulai menyadari, untuk bisa menggaji semua karyawan mereka, mereka perlu membuat game yang lebih besar. Mereka lalu bekerja sama dengan GT Interactive sebagai publisher.

Pada 1998, Epic MegaGames meluncurkan Unreal, game 3D first-person shooter yang mereka kembangkan bersama dengan Digital Extremes. GT Interactive menjadi publisher dari game tersebut. Di tahun yang sama, Epic juga mulai menjual lisensi dari Unreal Engine ke developer-developer game lain. Satu tahun kemudian, Epic MegaGames kembali berubah nama, menjadi Epic Games. Bersamaan dengan itu, Epic pindah markas ke North Carolina. Masih pada 1999, Epic meluncurkan game Unreal Tournament. Sama seperti game Unreal pertama, Unreal Tournament dikembangkan dengan bantuan Digital Extremes dan dirilis oleh GT Interactive. Hanya saja, Unreal Tournament lebih fokus pada fitur multiplayer.

profil epic games
Unreal Tournament fokus pada fitur multiplayer. | Sumber: Steam

“Era Epic 2.0 berakhir karena maraknya pembajakan game PC. Menjual game single-player ketika itu hampir mustahil,” kata Sweeney, menurut laporan Polygon. “Ketika itu, kami memperkirakan, untuk setiap orang yang membeli game kami, ada empat orang yang memilih untuk memainkan versi bajakan.”

 

Epic 3.0

Epic memasuki era Epic 3.0 pada 2006. Fokus mereka pun berubah: dari membuat game untuk PC menjadi game untuk konsol. Di tahun 2006, Epic juga meluncurkan game shooter, Gears of War, untuk Xbox 360 dan PC. Microsoft Game Studios menjadi publisher dari game tersebut. Gears of War begitu sukses sehingga Epic memutuskan untuk membuat dua sekuel dari game itu. Berkat kesuksesan Gears of War, komunitas gamer konsol mulai mengenal Unreal, baik sebagai game engine maupun franchise game.

Pada Desember 2010, Epic meluncurkan Infinity Blade. Game action RPG ini dikembangkan oleh Epic dengan bantuan Chair Entertainment. Game ini merupakan game iOS pertama yang menggunakan Unreal Engine. Infinity Blade dibuat dengan tujuan untuk memamerkan versi terbaru dari Unreal Engine di iOS. Dan game tersebut sangat populer. Hanya dalam waktu empat hari sejak diluncurkan, Infinity Blade berhasil mendapatkan US$1,6 juta. Pada akhir 2011, total pemasukan untuk game ini mencapai US$23 juta.

Satu tahun kemudian, pada 2011, Epic meluncurkan Bulletstorm, yang dibuat bersama  dengan People Can Fly, studio game dari Polandia. Bulletstorm dirilis oleh Electronic Arts untuk PlayStation 3, Xbox 360, dan PC. Pada Agustus 2012, Epic membeli People Can Fly, yang kemudian turut mengerjakan Gears of War: Judgment. Masih pada 2011, Epic mengumumkan keberadaan Fortnite. Ketika itu, game tersebut hanyalah multiplayer survival game yang terinspirasi dari game jam internal di Epic.

profil epic games
Biaya produksi Gears of War 3 sudah jauh lebih besar dari game original-nya. | Sumber: Microsoft

Era Epic 3.0 berakhir karena biaya pembuatan game yang terus naik. Sebagai ilustrasi, biaya produksi game Gears of War pertama adalah US$12 juta. Sementara biaya produksi dari Gears of War 3 memakan biaya 4-5 kali lipat dari game pertama.

“Kami memperkirakan, jika kami tetap membuat Gears of War 4, biaya yang kami perlukan akan mencapai lebih dari US$100 juta. Jika game itu sukses, kami akan bisa balik modal. Namun, jika tidak, kami justru bisa bankrut,” cerita Sweeney. Hal inilah yang mendorong Epic untuk mengubah model bisnis mereka. Faktor lain yang membuat Epic tertarik untuk mengganti model bisnis mereka adalah masalah pada versi multiplayer di Gears of War: Judgment.

Sweeney menjelaskan, Epic lalu membahas rencana mereka dengan Microsoft. Namun, Microsoft tidak setuju dengan mereka. Pasalnya, apa yang ingin Epic lakukan tidak sesuai dengan rencana Microsoft. Ketika itu, Sweeney sadar bahwa publisher justru bisa menjadi penghalang bagi developer. Pada saat yang sama, Epic mulai sadar bahwa salah satu proyek mereka, Fortnite — yang awalnya dibuat sebagai game indie kecil-kecilan — bisa menjadi populer jika Epic menggunakan model bisnis free-to-play untuk game itu.

 

Epic 4.0

Pada akhir era Epic 3.0, Epic mulai menyadari bahwa game-game populer adalah live game yang kontennya terus mendapatkan update dan bukannya game AAA. Mereka pun sadar, mereka harus mengubah model bisnis mereka.

“Kami mulai berubah dari developer dengan fokus sempit pada konsol menjadi developer yang fokus pada game multiplatform dan menjadi publisher dari game kami sendiri,” ujar Sweeney. Hanya saja, untuk berubah, Epic akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. “Jadi, kami membuat keputusan yang gila. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Epic, kami mengajak investor dari luar, yaitu Tencent.”

Pada Juni 2012, Tencent mengeluarkan US$330 juta untuk membeli 48% saham Epic. Selain saham, Tencent juga mendapatkan hak untuk memilih dua orang dari tujuh anggota dewan direksi Epic. Namun, Tencent tidak akan mencampuri urusan pembuatan game. Keputusan Tencent ini sesuai dengan modus operandi perusahaan Tiongkok tersebut. Dengan pembelian saham Epic oleh Tencent, era Epic 4.0 pun dimulai. Di fase ini, Epic kembali fokus membuat game PC.

Setiap Epic berevolusi, Sweeney menyebutkan, mereka selalu mencari rekan yang bisa membantu mereka melakukan hal-hal yang mereka tidak bisa lakukan. Tak terkecuali Tencent. Menurut Sweeney, Tencent adalah rekan yang cocok untuk Epic. Alasannya, Tencent tidak hanya sukses untuk menjadi publisher nomor satu di Tiongkok, mereka juga sangat ahli dalam mengoperasikan live game.

“Tencent bukan developer game,” kata Sweeney. “Namun, mereka ahli dalam mengoperasikan game dalam skala besar dan menarik hati para konsumen. Dan kami sadar, mereka punya visi dan misi yang mirip dengan kami sehingga kami bisa belajar banyak dari mereka.”

 

Game-Game yang Merefleksikan Era Epic 4.0

Sweeney merasa, karakteristik dari setiap fase yang Epic lewati tercermin dalam game-game yang mereka buat di era tersebut. Dua game yang mencerminkan karakteristik fase Epic 4.0 adalah Paragon dan Fortnite. Kesamaan dari kedua game itu adalah dua-duanya diluncurkan dalam keadaan tidak sempurna. Tujuannya, agar para gamer bisa memainkan game-game tersebut secepat mungkin dan memberikan masukan serta saran pada Epic.

profil epic games
Paragon merupakan MOBA dengan sudut pandang orang ketiga. | Sumber: VentureBeat

“Kami tahu bahwa komunitas gamer akan selalu lebih besar dari tim kami,” kata John Wasilczyk, yang pindah ke Epic setelah bekerja selama dua tahun di Infinity Ward, mengembangkan game-game Call of Duty. “Jadi, kami berusaha untuk mendekatkan diri dengan mereka secepat mungkin. Hal itu berarti, kami merilis fitur baru bahkan sebelum ia sempurna. Dan jika komunitas merasa fitur itu tidak perlu, kami tidak akan menyempurnakan fitur tersebut. Dengan begitu, kami bisa menghemat waktu.”

Pada awalnya, Epic hendak meluncurkan Fortnite di Xbox. Namun, mereka sadar, Fortnite bisa dibuat menjadi live game yang terus mendapatkan update dari waktu ke waktu. Darren Sugg, Lead Designers dari Fortnite menjelaskan bahwa Fortnite merupakan percobaan untuk Epic. Game itu bertumbuh seiring dengan pertumbuhan ambisi Epic. Dia merasa tidak ada yang salah dengan itu. Menurutnya, di era modern seperti sekarang, tidak ada kata tamat untuk game online. Ke depan, sebuah game online masih akan terus tumbuh, menjadi lebih sempurna dengan fitur yang lebih banyak.

“Saya rasa, kebanyakan game online tidak akan tamat, selama kita masih bisa merilis update dan para pemain masih tertarik untuk memainkan game itu,” ujar Sugg. “Kami akan terus mendukung Fortnite selama masih ada orang yang memainkan game tersebut.”

 

Unreal Engine

Epic tidak hanya dikenal sebagai developer game. Mereka juga dikenal berkat Unreal Engine. Engine itu pertama kali digunakan pada game Unreal, yang dirilis pada 1998. Walau pada awalnya Unreal digunakan untuk membuat game FPS, engine itu bisa digunakan untuk mengembangkan game dari berbagai genre, mulai dari platformer, MMORPG, sampai fighting.

Pada awalnya, Epic menjual lisensi penggunaan Unreal Engine. Namun, pada 2015, mereka membiarkan Unreal Engine diunduh secara gratis. Sebagai gantinya, mereka menggunakan model bisnis royalti. Dengan model bisnis ini, Epic akan mendapatkan 5% dari total penjualan game yang menggunakan Unreal Engine. Keputusan Epic untuk menggratiskan Unreal Engine berbuah manis. Setelah Unreal Engine bisa digunakan secara gratis, ada semakin banyak developer yang tertarik menggunakan engine tersebut.

“Dulu, komunitas Unreal Engine sangat terbatas. Para developers AAA menggunakan engine kami untuk membuat game besar dan kami mengenal mereka semua. Ternyata, ada banyak developer indie berbakat — yang punya pengalaman dalam membuat game AAA atau baru pertama kali membuat game — yang juga tertarik dengan Unreal Engine. Dan mereka bisa membuat sesuatu yang hebat yang tidak pernah terpikirkan oleh kami,” ujar Sweeney.

Ke depan, Epic juga ingin mempromosikan Unreal Engine ke industri lain di luar gaming. Sweeney menyebutkan, Unreal Engine juga bisa digunakan di industri arsitektur, desain kendaraan, pembuatan film, dan lain sebagainya.

Nvidia Luncurkan Plugin DLSS untuk Unreal Engine

Diluncurkannya Radeon RX 6000 Series pada akhirnya menghadirkan kapabilitas ray-tracing ke kubu merah (AMD). Sebelum ini, jika gamer ingin menikmati efek ray-tracing yang begitu memukau, mereka tidak punya pilihan lain selain memercayakan kartu grafis dari kubu hijau (Nvidia).

Kendati demikian, AMD masih punya banyak pekerjaan rumah untuk mengejar ketertinggalannya dari Nvidia. Salah satunya adalah DLSS. Seperti yang kita tahu, AMD hingga kini masih belum punya alternatif terhadap teknologi Deep Learning Super Sampling tersebut. Di saat yang sama, Nvidia justru semakin gencar mempromosikan DLSS dan memastikan ketersediannya di lebih banyak game.

Baru-baru ini, mereka merilis plugin DLSS ke Unreal Marketplace, yang berarti semua developer yang menggunakan Unreal Engine 4 kini bisa mengintegrasikan DLSS dengan mudah ke dalam game garapannya. Ini berarti ke depannya kita bakal melihat semakin banyak lagi game yang mendukung fitur DLSS.

DLSS sendiri ada dua versi. Pada versi pertamanya, implementasinya tergolong sulit, sehingga pada akhirnya jumlah game yang mengintegrasikannya hanya ada delapan judul saja. Pada DLSS 2.0, selain kinerjanya memang semakin baik, implementasinya pun juga jauh lebih mudah.

Nvidia DLSS 2.0

Sejauh ini tercatat sudah ada 35 judul game yang mendukung fitur DLSS 2.0, dan jumlahnya pasti akan terus bertambah dengan hadirnya plugin untuk Unreal Engine tadi, sebab implementasinya pasti bakal jadi lebih simpel lagi.

DLSS sepintas mungkin terdengar kurang wah kalau dibandingkan dengan ray-tracing, tapi pada praktiknya fitur ini luar biasa bermanfaat. Dalam beberapa game, DLSS bahkan mampu meningkatkan framerate hingga dua kali lipat, tapi di saat yang sama penurunan kualitas visualnya nyaris tidak kentara (terkadang malah bisa lebih bagus).

Di game yang super-berat seperti Cyberpunk 2077 atau Watch Dogs Legion misalnya, DLSS sering kali menjadi ‘penyelamat’ agar permainan bisa berjalan stabil di 60 fps dengan efek ray-tracing dalam posisi aktif. Tanpa DLSS, tidak jarang kita harus mematikan ray-tracing agar bisa mencapai 60 fps (kecuali untuk yang menggunakan GPU kelas sultan seperti RTX 3090).

Sekadar mengingatkan, DLSS bekerja dengan me-render grafik dalam resolusi yang lebih rendah (alasan mengapa framerate bisa naik), sebelum akhirnya meng-upscale ke resolusi yang ditetapkan. Jadi kalau Anda menjalankan game di resolusi 4K dengan DLSS aktif, sebenarnya game tersebut di-render pada resolusi yang lebih rendah, namun tetap kelihatan setajam 4K berkat kepandaian AI-nya dalam hal upscaling.

Sumber: PC Gamer.

Epic Games Umumkan MetaHuman Creator, Tool Praktis untuk Ciptakan Karakter 3D yang Amat Realistis

Menciptakan karakter manusia 3D yang realistis bukanlah suatu pekerjaan mudah. Terkadang, prosesnya bisa memakan waktu hingga berminggu-minggu hanya untuk satu karakter, dan itu pun sudah dikerjakan oleh seorang seniman 3D yang cukup senior.

Namun kalau menurut Epic Games, ke depannya tidak harus serumit itu. Mereka baru saja memperkenalkan sebuah platform kreasi konten baru bernama MetaHuman Creator. Premisnya cukup sederhana: dengan hanya bermodalkan sebuah browser di komputer, kita sudah bisa menciptakan karakter 3D yang sangat realistis dalam hitungan menit.

Tanpa harus terkejut, MetaHuman Creator menggunakan Unreal Engine sebagai fondasi utamanya, tidak ketinggalan juga teknologi-teknologi animasi wajah rancangan 3Lateral dan Cubic Motion, dua perusahaan ahli yang sudah menjadi bagian dari keluarga besar Epic Games.

Kalau Anda pernah memainkan game RPG yang menawarkan fitur kustomisasi karakter, Anda semestinya bakal bisa mengoperasikan tool MetaHuman Creator ini. Pasalnya, prosesnya benar-benar mirip dan intuitif. Anda tinggal memilih bentuk wajah yang diinginkan, gaya rambutnya, tekstur kulitnya, sampai proporsi tubuhnya, dan preview sang manusia digital pun akan ditampilkan secara real-time.

MetaHuman Creator

Setelah puas dengan hasilnya, kita dapat mengunduh aset-asetnya melalui software Quixel Bridge. Selanjutnya, aset 3D tersebut bisa langsung digarap animasinya, termasuk dengan menggunakan metode motion capture berbasis iPhone. Lebih istimewa lagi, animasi yang telah selesai dibuat rupanya juga dapat diterapkan ke karakter lain yang turut diciptakan menggunakan MetaHuman Creator.

Tentu saja ini merupakan kabar baik bagi para game developer yang memang menggunakan platform Unreal Engine. Buat mereka, kehadiran tool seperti MetaHuman Creator tidak hanya dapat membantu mempersingkat waktu saja, tapi juga mungkin menghemat pengeluaran. Guna menarik perhatian para developer, Epic pun telah merilis sampel karakter manusia 3D yang bebas mereka modifikasi lebih jauh menggunakan Unreal Engine.

Selain di industri game, MetaHuman Creator tentu juga punya potensi besar di industri film, atau bahkan untuk kebutuhan yang lebih spesifik lagi, seperti VTuber misalnya. Belum diketahui kapan pastinya MetaHuman Creator bakal tersedia untuk publik, namun Epic Games sudah menargetkan jadwal perilisan di tahun ini juga. Epic juga berencana untuk membuka program early access dalam beberapa bulan ke depan.

Sumber: Epic Games.

Unreal Engine Kini Dipakai untuk Mengembangkan Sistem Infotainment Mobil

Sebagian besar dari kita mungkin tidak terlalu terkejut mengetahui peran Unreal Engine dalam proses produksi serial The Mandalorian. Namun saya yakin tidak ada yang menyangka game engine tersebut juga bisa dipakai untuk mengembangkan sistem infotainment milik mobil.

Kalau game Stardew Valley saja bisa dimainkan lewat dashboard milik mobil Tesla, semestinya skenario sebaliknya pun juga dapat diwujudkan. Menurut Epic Games sendiri, sebagian besar fungsionalitas yang dibutuhkan untuk menciptakan sistem human-machine interface (HMI) – istilah yang Epic pakai untuk sistem infotainment mobil – memang sudah tersedia di Unreal Engine sejak lama, sehingga pada dasarnya cuma tinggal dikemas secara lebih proper saja.

Apa yang perlu dilakukan Epic sekarang hanyalah menarik perhatian produsen mobil, dan rupanya mereka sudah punya satu klien besar: General Motors (GM). Mobil pertama yang akan hadir mengusung sistem infotainment yang dibuat menggunakan Unreal Engine ini adalah Hummer versi elektrik, yang sudah dijadwalkan untuk menjalani debutnya pada tanggal 20 Oktober mendatang.

Apa saja sebenarnya keuntungan memakai Unreal Engine untuk mengembangkan sistem infotainment mobil? Menurut Epic, salah satunya adalah bagaimana desainer bisa memiliki peran yang lebih besar dan tidak selamanya harus bergantung pada engineer. Jadi semisal tim desainer sedang menguji tampilan sistemnya di dashboard mobil, mereka juga bisa menerapkan sejumlah penyesuaian secara langsung di situ.

Lalu seandainya mereka sedang tidak punya akses ke prototipe mobilnya, tampilan sistemnya juga dapat dilihat melalui iPad atau tablet Android dengan mudah karena Unreal Engine memang merupakan sebuah software yang sifatnya cross-platform. Singkat cerita, Unreal Engine menawarkan peningkatan efisiensi dalam pengembangan sistem infotainment mobil.

Bagi kita sebagai konsumen, Unreal Engine juga dapat mendatangkan sejumlah keuntungan, seperti misalnya waktu loading awal sistem infotainment yang lebih cepat, sebab tidak semua porsi software-nya harus dimuat dari awal.

Tanpa harus terkejut, sistem infotainment yang ditenagai Unreal Engine juga tentu saja dapat menampilkan visual yang sangat berkualitas, dan ini cukup krusial dalam skenario seperti ketika sistem menampilkan kondisi 360° di sekitar mobil berbekal teknologi ADAS (advanced driver-assistance system) yang tersematkan.

Epic melihat potensi Unreal Engine sebagai development platform untuk sistem infotainment mobil ini bakal semakin besar ke depannya, persisnya ketika teknologi kemudi otomatis yang menyeluruh (Level 5) sudah benar-benar terwujudkan. Di titik itu, kelengkapan sistem hiburan bakal menjadi salah satu faktor penentu utama konsumen membeli mobil, sebab mereka tak lagi perlu menyetir dan ingin memanfaatkan waktu luangnya selama dalam perjalanan.

Entah itu streaming video, bermain video game, atau berkomunikasi via video call, fitur-fitur ini bakal menjadi incaran konsumen saat mobil sudah tak lagi dilengkapi setir, dan di situlah Epic melihat potensi besar pengaplikasian Unreal Engine.

Sumber: The Verge dan Epic Games.

Akun Developer Epic Games di Apple App Store Resmi Diberhentikan

Update Chapter 2: Season 4 untuk Fortnite telah resmi dirilis, dan pemain akhirnya bisa langsung merasakan serunya bertempur sebagai superhero Marvel. Sayangnya tidak semua pemain; kalau Anda bermain menggunakan iPhone, iPad, atau MacBook, update-nya itu masih belum ada sampai sekarang.

Lebih parah lagi, keanggotaan Epic Games sebagai developer di platform Apple App Store sudah resmi diberhentikan. Ya, dampak dari drama antara Epic Games dan Apple pekan lalu rupanya juga merembet ke semua karya Epic, bukan cuma Fortnite saja. Trilogi Infinity Blade pun sekarang juga sudah lenyap dari App Store. Cukup mengejutkan mengingat seri Infinity Blade selama ini hanya tersedia di iOS saja.

Bagi yang di perangkatnya masih ter-install Fortnite atau Infinity Blade, gamegame tersebut masih dapat dimainkan seperti biasa – khusus Fortnite, tidak ada konten dari update terbaru yang bisa dinikmati. Namun kalau game-nya sudah terlanjur dihapus, Anda tidak bisa lagi mengunduhnya kembali, sekalipun game-nya muncul di daftar aplikasi yang pernah dibeli/diunduh oleh masing-masing akun Apple ID.

Melalui pernyataan resmi, Apple menjelaskan bahwa Epic Games masih bersikeras ingin menawarkan mekanisme pembayarannya sendiri untuk semua pembelian konten in-game di Fortnite. “Ini tidak adil buat seluruh developer lain di App Store, dan menempatkan konsumen di tengah-tengah perlawanan Epic Games,” terang Apple.

Search "Fortnite" di App Store sekarang munculnya PUBG Mobile di paling atas / Dokumentasi pribadi
Search “Fortnite” di App Store sekarang munculnya PUBG Mobile di paling atas / Dokumentasi pribadi

Namun pertanyaan yang lebih penting adalah, bagaimana nasib Unreal Engine? Apakah peredaran game engine bikinan Epic Games ini juga jadi dilarang di App Store? Pertanyaan ini tentu sangat penting untuk dijawab mengingat Unreal Engine bisa dibilang merupakan fondasi dari segudang game lain yang ada di App Store, termasuk halnya PUBG Mobile yang jauh lebih populer ketimbang Fortnite di Indonesia.

Well, kabar baiknya, Unreal Engine tidak terdampak sama sekali, sebab Epic memang mengelolanya menggunakan akun developer yang berbeda. Tentu saja ini sejalan dengan keputusan pengadilan yang melarang Apple menghambat peredaran Unreal Engine karena berpotensi mengganggu industri gaming secara keseluruhan.

Semua ini masih belum final. Epic Games dan Apple sudah dijadwalkan bakal menjalani sidang lanjutan pada tanggal 28 September mendatang. Semoga saja kedua pihak bisa menemukan kesepakatan, sebab saya bisa membayangkan betapa kesalnya para pemain Fortnite di iOS atau macOS yang sudah terlanjur mengeluarkan uang banyak selama ini, yang tiba-tiba jadi tidak bisa menikmati update terbaru game favoritnya.

Sumber: TechCrunch.

PES Hadir Untuk Konsol Next-Gen Dengan Unreal Engine 5

Beberapa hari lalu, Konami mengumumkan seri PES terbaru untuk konsol generasi terbaru, seraya merayakan ulang tahun Pro-Evolution Soccer (PES) ke-25. Lewat sebuah video pengumuman, Konami memberi teaser seri PES terbaru yang menggunakan Unreal Engine 5, dengan menunjukkan stadion Barcelona dan Lionel Messi. Dalam video tidak disebut, seri PES mana yang akan menggunakan Engine tersebut.

Lebih lanjut, Konami lalu menjelaskan seputar rencana perilisan ini dalam sebuah blog post. Dalam post tersebut, mereka mengatakan bahwa nantinya PES akan memiliki grafis yang lebih detil dengan menggunakan Engine baru ini. “Anda bisa mengharapkan player model dan animasi yang lebih realistik, peningkatan dari segi physics, tampilan visual yang photorealistic, dan lain sebagainya.” tulis Konami dalam blog.

Selain itu, pengembang yang berbasis di kota Tokyo, Jepang ini juga menjelaskan soal rencana pengembangan PES selama beberapa tahun ke depan. Perubahan yang cukup terasa adalah perubahan dalam penyajian PES 2021. Mereka mengatakan, skala pengembangan PES untuk konsol next-gen yang cukup besar, memaksa mereka untuk “memangkas” skala pengembangan untuk area lain.

“Sebagai hasilnya, kami memutuskan untuk meluncurkan PES tahun ini dalam bentuk ‘Season Update’.” Lanjut Konami. Mengutip dari IGN, walau hanya sebagai “Season Update”, namun PES 2021 akan tetap hadir dalam bentuk standalone. Masih dari IGN, Konami mengatakan bahwa eFootball PES 2021 Season Update secara umum sama persis dengan PES 2020, namun dengan update terhadap player data dan roster, serta penambahan konten Euro 2020.

Sumber: Konami
Sumber: Konami

eFootball PES 2021 Season Update dikabarkan hadir 15 September 2020 mendatang dengan harga yang lebih murah, yaitu 24,99 Poundsterling (sekitar 464 ribu Rupiah). Sementara itu terkait Unreal Engine 5, Konami menjelaskan bahwa mereka menargetkan sudah bisa melakukan pengujian terhadap PES untuk konsol next-gen pada pertengahan 2021, dan akan dirilis di tahun yang sama. Melihat tanggalnya, maka kemungkinan besar Unreal Engine 5 akan hadir untuk seri PES 2022.

Sebelumnya PES menggunakan FOX Engine yang dibuat dan dikembangkan oleh Konami sendiri. Seri PES pertama yang menggunakan FOX Engine adalah PES 2014 yang rilis pada tahun 2013. Sejak saat itu, seri PES selanjutnya terus menggunakan FOX Engine sampai tahun 2019 lalu untuk eFootball Pro Evolution Soccer 2020. Selain seri PES, seri Metal Gear Solid juga menjadi game lain yang menggunakan FOX Engine.

Dengan PES berubah haluan menggunakan Unreal Engine, apakah ini artinya 2020 akan menjadi akhir dari pengembangan FOX Engine yang dibesut Konami?

Developer Game Kini Hanya Perlu iPhone untuk Menerapkan Teknik Facial Motion Capture

Epic Games punya mainan baru untuk para developer maupun sineas yang menggunakan Unreal Engine dalam berkarya. Mereka baru saja merilis Live Link Face, sebuah aplikasi iPhone yang dirancang untuk kebutuhan motion capture, spesifiknya pergerakan wajah seorang aktor atau aktris (facial motion capture).

Aplikasi ini memanfaatkan teknologi ARKit bawaan iOS serta sistem kamera TrueDepth milik iPhone. Cara kerjanya pada dasarnya tidak jauh berbeda dari fitur Animoji maupun Memoji, hanya saja pada Live Link Face data animasi wajahnya itu akan diteruskan secara real-time ke sebuah komputer yang sedang menjalankan software Unreal Engine.

Persis seperti teknologi facial motion capture pada umumnya, semua pergerakan wajah yang tertangkap kamera depan iPhone bakal diterjemahkan oleh aplikasi menjadi ekspresi wajah yang sama pada suatu karakter CGI. Hasilnya tentu tidak akan seakurat metode facial motion capture tradisional yang melibatkan banyak sensor yang ditempelkan pada wajah aktor, tapi setidaknya Live Link Face bisa sangat berguna untuk produksi yang berskala kecil.

Developer game indie misalnya, mereka dapat memanfaatkan aplikasi ini untuk menyempurnakan animasi wajah pada karakter-karakter dalam game buatannya. Kalau sebelumnya mereka membutuhkan perlengkapan facial motion capture yang cukup mahal sekaligus kompleks, berkat Live Link Face mereka cuma membutuhkan sebuah iPhone yang dilengkapi fitur Face ID (iPhone X, iPhone XS, iPhone 11, iPhone 11 Pro) saja.

Ini penting mengingat Unreal Engine sudah digratiskan sejak tahun 2015 lalu, dan belakangan Epic juga sudah mengubah sistem royaltinya supaya developer tak perlu membayar sepeser pun sebelum game buatannya menghasilkan pemasukan sebesar $1 juta, membuatnya lebih terjangkau lagi oleh developer dari berbagai kalangan.

Live Link Face juga dapat dilihat sebagai langkah awal Epic dalam misinya memudahkan sejumlah aspek game development melalui Unreal Engine 5. Berkat aplikasi ini, setidaknya satu area pengembangan yang sulit – facial motion capture – sudah berhasil mereka jegal menggunakan solusi yang simpel sekaligus terjangkau.

Ketertarikan Epic Games untuk berinovasi di bidang facial motion capture sejatinya tidak terlalu mengejutkan, sebab sebelum ini mereka memang sudah mengakuisisi dua perusahaan yang memang punya spesialisasi di bidang facial animation dan facial rigging.

Sumber: Epic Games.

Sony Beli Saham Minoritas Epic Games Senilai Rp3,6 Triliun

Sony menanamkan investasi sebesar US$250 juta (sekitar Rp3,6 triliun) ke Epic Games, perusahaan yang dikenal sebagai developer game battle royale Fortnite dan Unreal Engine. Dengan ini, Sony mendapatkan 1,4 persen saham di Epic, menurut laporan VentureBeat. Investasi tersebut juga memungkinkan Sony dan Epic untuk memperdalam kerja sama mereka. Sebelum ini, Epic mencari pendanaan dalam rangka untuk melakukan ekspansi Epic Game Store dan menambah staf Fortnite.

“Epic sukses mengembangkan teknologi grafis, menjadikan mereka sebagai perusahaan terdepan dalam pengembangan game engine, terbukti dari keberadaan Unreal Engine dan inovasi-inovasi lain,” kata CEO Sony, Kenichiro Yoshida, seperti dikutip dari Dot Esports. “Fortnite menjadi bukti kesuksesan Epic dalam menyajikan hiburan revolusioner. Melalui investasi ini, kami mencoba memperdalam kerja sama kami dengan Epic dalam rangka menciptakan sesuatu yang baru pada konsumen dan menguntungkan bagi industri, tidak hanya industri game, tapi juga industri hiburan.”

sony beli saham epic
Konser virtual Travis Scott di Fortnite menarik 27 juta penonton. | Sumber: Forbes

Dalam pernyataan resmi, CEO Epic Games, Tim Sweeney mengatakan bahwa Epic dan Sony memiliki visi yang sama untuk membangun teknologi yang menggabungkan unsur gaming, film, dan musik. Dengan teknologi itu, mereka ingin memungkinkan orang-orang berinteraksi dalam dunia virtual 3D. Sebelum ini, Travis Scott memang sudah pernah mengadakan konser virtual di Fortnite. Dan konser tersebut menarik 27 juta penonton. Sweeney juga mengungkap, Epic dan Sony berencana untuk membangun ekosistem digital yang lebih terbuka bagi semua konsumen dan kreator.

Mengingat Sony hanya mengakuisisi saham minoritas di Epic, developer game itu meyakinkan bahwa mereka akan tetap merilis game di platform lain. Tak hanya itu, Epic juga mengatakan bahwa baik Unreal Engine 5 maupun Fortnite buatan mereka akan tetap bisa digunakan di platform lain. Memang, selama ini, Epic selalu mengambil posisi netral dan mengembangkan teknologi cross-platform.

Meskipun begitu, kerja sama dengan Epic penting bagi Sony karena mereka harus menyiapkan diri dalam menghadapi perang konsol dengan Microsoft. Pasalnya, tahun ini, Sony dan Microsoft berencana untuk meluncurkan konsol baru mereka, PlayStation 5 dan Xbox Series X.