4 Catatan Menarik Seputar Menentukan Strategi untuk Penetrasi Pasar

Ada banyak inovasi yang dapat dikembangkan untuk mendigitalisasi UMKM atau pemilik usaha kecil di Indonesia. Dengan inovasi ini, mereka punya kesempatan untuk mengembangkan bisnisnya. Jalan masuknya bisa melalui layanan keuangan hingga pembukuan.

Hal ini juga seperti yang dilakukan BukuWarung melalui inovasi layanan SaaS pembukuan untuk kalangan UMKM. Apa saja pengalaman BukuWarung dalam melakukan penetrasi ke pasar hingga menetapkan strategi yang tepat?

Simak paparan menarik yang dibagikan Head of Growth/Funding Team of BukuWarung Mario Nicolas selengkapnya di sesi #SelasaStartup.

Cari masalah dan validasi di lapangan

Berkaca pada pengalamannya di BukuWarung, Mario menegaskan pentingnya menemukan masalah dan memvalidasinya di lapangan. Pada konteks ini, ia menilai pelaku usaha warung di Indonesia terbiasa menggunakan cara konvensional dalam mencatat pembukuan usahanya, misalnya buku dan kertas.

Terlebih lagi, masih banyak pemilik warung yang belum sepenuhnya dapat membedakan konsep keuangan pribadi, keluarga dalam mengelola bisnis. Menurutnya, kebanyakan dari mereka masih mencampur-campur keuangan ini menjadi satu.

“Ketika kami memulai BukuWarung di pertengahan 2019, saat itu belum banyak yang fokus ke segmen warung. Kalaupun ada, kebanyakan [membidik segmen] di kota-kota. Nah, kami validasi ke Jawa dan menemukan masih banyak yang pakai kertas dan buku,” ungkap Mario.

Malahan, lanjutnya, banyak pemilik warung melakukan pembukuan hanya untuk mencatat utang, itupun hanya nominalnya saja. Bahkan, sebanyak 90% dari yang disurvei BukuWarung, tidak mencatat data pengutang, seperti nama dan nomor telepon.

“Dari sini, kami dapat beberapa problem, lalu kami buat aplikasi dan minta ke orang sama yang kami survei untuk mencobanya. Kami pun dapat banyak feedback. Jadi, always come with a problem dan validasi ke lapangan. Pelaku usaha ini jadi punya outlet terhadap masalah yang mereka hadapi,” tuturnya.

Kenali user untuk tentukan strategi

Ketika bicara fase awal startup berdiri, segala macam strategi pasti dicoba untuk mencapai target bisnis. Ada yang berhasil dan ada yang gagal. Kendati begitu, ia menggarisbawahi bahwa semua strategi yang sukses, tidak berarti berlaku untuk semua kategori bisnis.

Ambil contoh, banyak startup yang menggunakan influencer untuk memperkenalkan produk atau layanan, tetapi tidak berarti strategi ini fits untuk vertikal bisnis lain. Startup dapat melakukan eksperimen untuk mencari tahu growth channel yang tepat.

“Maka itu, kenali dulu siapa user kita dan coba memahami sampai ke core level. Biasanya, any kind of tech, [strategi] yang paling laku itu word of mouth. Jadi, coba saja strategi satu-satu, lihat result-nya, then move on,” tambahnya.

Mengambil pelajaran dari upaya akuisisi pelanggan

Sekali lagi, Mario menekankan pentingnya melakukan validasi atas teori yang dibangun dan coba bereksperimen untuk mencari tahu. Ini merupakan salah satu pelajaran penting yang dialami Mario dalam menentukan strategi akuisisi pelanggan.

“Apapun yang kita pernah pelajari itu semuanya salah. Kami pernah berasumsi bahwa [target pengguna] kami tidak paham aplikasi, ternyata kami salah. Makanya, kami selalu validasi dan mencari cara kecil-kecilan untuk membuktikannya, seperti survei yang bisa menghasilkan data berharga,” kata Mario.

Tak kalah penting adalah membangun koneksi dengan pengguna untuk memahami apa yang sebetulnya diinginkan. Dari feedback yang diterima, startup dapat mengembangkan user experience terbaik kepada pengguna. Menurutnya, ini jauh lebih penting dibandingkan membangun basis pengguna dengan memberikan promo terus-menerus.

Kompetisi mendorong edukasi lebih cepat

Strategi diperlukan untuk membangun basis pengguna, meningkatkan bisnis, dan mempertahankan posisinya di persaingan pasar. Bagi Mario, kompetisi merupakan aspek yang baik untuk membantu edukasi pasar lebih cepat. Semakin banyak pemain, semakin bagus untuk mendorong penetrasi produk atau layanan.

“Jika hanya ada satu pemain, mungkin butuh bertahun-tahun untuk mengedukasi layanan kami. Lagipula, banyaknya pemain akan mendorong lebih banyak inovasi. Contoh, kami hadirkan inovasi pembayaran digital. Kalau sekadar aplikasi pembukuan saja, impact-nya kurang. Dengan inovasi ini, kami bisa kasih impact besar,” tuturnya.

BukuWarung sejak akhir tahun lalu menghadirkan pembayaran digital dan mengklaim telah menguasai 95% pangsa pasar pembayaran digital di aplikasi pembukuan di Indonesia.

Menerapkan “End-to-End Analytics” untuk Akuisisi Pelanggan

Salah satu tantangan bisnis yang kerap dihadapi oleh brand adalah mempertahankan pelanggan. Setelah proses akuisisi dilakukan, return visit hingga high value transaction menjadi fokus kegiatan pemasaran yang wajib dicermati. Business Director, Analytics & CRM iProspect Valuklik Dessy Amirudin mengupas tentang “end-to-end analytics” dan potensinya mendorong pertumbuhan pelanggan dalam sesi #SelasaStartup DailySocial.

Menggabungkan data online dan offline

Banyak cara untuk mengakuisisi pelanggan baru, namun masih belum banyak yang sukses mempertahankan pelanggan untuk kembali membeli produk. Dengan menerapkan end-to-end analytics semua bisa dilihat dengan jelas, misalnya seperti apa behaviour terhadap perusahaan. Sehingga bisa dilakukan aksi yang konkret, agar pelanggan bisa menjadi loyal dan engage.

“Kebanyakan brand kehilangan pelanggan karena kurangnya edukasi saat pelanggan baru bergabung atau onboarding. Dari analitik bisa dilihat problem apa yang terjadi sehingga bisa dilakukan aksi yang tepat agar tidak terjadi lagi kehilangan pelanggan,” kata Dessy.

Melalui focus group juga bisa dilakukan rebranding produk memanfaatkan feedback dari responden. Melakukan survei juga bisa dilakukan untuk menemukan masalah lebih awal terhadap produk atau layanan yang ditawarkan. Tantangan terbesar yang kerap dihadapi adalah menggabungkan data yang masuk secara online dan offline menjadi data yang unifying.

Untuk bisa menggabungkan kedua data tersebut, cara paling populer yang dilakukan dengan menerapkan Data Management Platform. Dengan cara ini, data yang masuk secara online, kebanyakan adalah anonymous data, bisa digabungkan dengan data yang bentuknya lebih detail dan kebanyakan berasal dari offline channel.

Dari data tersebut nantinya brand bisa menerapkan framework yang relevan. menyesuaikan kegiatan pemasaran yang bersifat data driven. Framework yang ideal untuk diterapkan adalah, strategi objektif, menciptakan analisis berbasis data, proses menyeleksi pelanggan dan target pelanggan, kampanye marketing, privasi dan metriks.

Menentukan tipe pelanggan

Cara lain yang bisa dilakukan agar bisa mendapatkan pelanggan yang lebih loyal adalah mempelajari lebih mendalam kebiasaan dan jenis masing-masing pelanggan. Proses yang disebut customer equity, dipercaya bisa melakukan kegiatan pemasaran dengan target pasar yang relevan.

Dalam hal ini menurut Dessy, penting untuk bisa mendapatkan pelanggan loyal dengan kategori high value. High value dalam hal ini adalah mereka yang kerap melakukan pembelian secara rutin dengan produk yang premium dan lebih fleksibel terhadap kebijakan dan persyaratan yang berlaku.

Sementara untuk pelanggan low value, kebanyakan hanya membeli barang dengan nilai yang rendah dan kerap mengeluh juga tidak terlalu fleksibel mengikuti persyaratan dan ketentuan yang berlaku. Tahapan ideal yang dipercaya ampuh untuk dilakukan adalah diawali dengan akuisisi pelanggan, growth atau menambah jumlah pelanggan dan retensi yaitu mempertahankan jumlah pelanggan yang kembali lagi membeli produk atau layanan yang ditawarkan.

“Pada akhirnya perusahaan akan sukses mendapatkan pendapatan jika bisa mengakuisisi pelanggan yang loyal, sehingga retention bisa meningkat jumlahnya dan nilai transaksi bisa bertambah,” kata Dessy.

Tiga Risiko Kegiatan Pemasaran Berbayar

Saat ini ketika semua kegiatan promosi difokuskan kepada mobile marketing, menjadikan platform tersebut terlalu crowded dan cenderung dilupakan oleh target pasar jika tidak memiliki tampilan yang unik dan stand out. Salah satu cara paling cepat untuk melakukan kegiatan promosi yang bisa mendatangkan jumlah pelanggan dan pada akhirnya profit adalah melalui kegiatan pemasaran berbayar atau paid acquisition.

Meskipun terbilang cepat mendatangkan jumlah pelanggan dengan penyaringan yang bisa disesuaikan, cara seperti ini ternyata juga memiliki efek yang tidak baik ke depannya. Artikel berikut akan membahas 4 hal negatif yang terjadi jika melakukan kegiatan paid acquisition.

Tidak bertahan lama

Meskipun budget untuk kegiatan paid acquisition bisa disesuaikan, namun pada akhirnya kegiatan pemasaran seperti ini tidak akan bertahan lama. Meskipun rewards telah diberikan kepada target pelanggan, namun jika kegiatan ini tidak didukung dengan produk yang dibutuhkan oleh pelanggan atau fungsi menarik lainnya, tidak akan mampu merangkul jumlah pelanggan yang loyal.

Bersifat sementara

Selain media sosial sudah banyak brand yang memanfaatkan influencer di Instagram hingga Youtube untuk mempromosikan produk mereka. Selain membutuhkan budget yang lumayan besar, cara seperti ini juga tidak mampu mendatangkan pelanggan yang tepat, karena sifatnya yang sementara. Untuk sesaat dalam timeline yang telah ditentukan, pelanggan baru bisa saja bertambah, namun jika budget Anda habis atau tidak cukup, kegiatan ini akan berakhir tanpa ada impact yang berkelanjutan.

Budget yang besar

Melakukan kegiatan paid acquisition artinya perusahaan harus memiliki budget extra untuk melancarkan kegiatan tersebut, terutama ketika proses tersebut perlahan mulai menurun dan tidak mengalami peningkatan yang positif. Jika hal ini terjadi, cara terbaik yang bisa dilakukan adalah untuk mengurangi Customer Acquisition Costs (CAC), selanjutnya yang bisa dilakukan adalah melihat siapa pelanggan yang secara organik masih memanfaatkan produk atau layanan Anda. Secara otomatis kegiatan ini juga akan memperlihatkan penurunan pelanggan yang kurang “aktif” menggunakan produk.

[Simply Business] Perburuan Pertama [Bagian 1]

Kalau Anda sudah memulai action dan tidak sekadar berkhayal tentang ide startup Anda, congratulations! Saya termasuk salah satu penganut kepercayaan bahwa “ideas are cheap”. Percuma punya ide yang terdengar keren kalau tidak ada action. Sudah banyak buku, artikel, blogpost yang membahas tentang ini jadi saya harap Anda sudah sadar dan berhenti berangan-angan. Aria Rajasa juga pernah menulis tentang ini di sini

Continue reading [Simply Business] Perburuan Pertama [Bagian 1]