10 Soundtrack Kolaborasi GameDev dan Musisi Lokal untuk Penikmat Senja

Video game dan musik adalah dua hal yang dari dulu sudah tak bisa dipisahkan. Lewat bantuan musik lah, medium ini bisa menjadi penghantar emosi yang kuat lagi serta memberi kenangan yang melekat lama. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa musik dan emosi memiliki peran dalam membentuk ingatan dalam otak manusia, sehingga kadang dengan mendengar suatu musik kita bisa langsung terngiang suatu adegan dalam game meski game itu sendiri sudah tidak kita mainkan untuk waktu lama.

Developer-developer game di Indonesia pun belakangan ini semakin getol memasukkan musik sebagai aspek penting dalam karya mereka. Tak jarang pula ada game yang mengandung kolaborasi dengan musisi lokal untuk mengisi track lagu di dalamnya.  Untuk mengisi akhir pekan Anda, mari kita sejenak menikmati beberapa soundtrack yang telah menjadi bahan kolaborasi antara developer dan musisi lokal berkualitas. Sebetulnya bila harus membuat versi lengkap, daftar ini tentu akan panjang sekali karena kolaborasi itu jumlahnya sangat banyak. Tapi setidaknya kami mencoba memilihkan beberapa yang menarik dan cocok untuk Anda nikmati sambil bersantai di kala senja. Check them out!

Ikkubaru – Love Me Again

Band asal Bandung yang satu ini mungkin sudah tak asing lagi di kalangan para pecinta musik indie dan penggemar lagu-lagu Jepang. Melantunkan lagu-lagu bergenrey city pop, Ikkubaru mengajak kita bernostalgia ke era 80an namun dengan sentuhan modern. Warna musik yang mereka hasilkan cukup unik karena mendapat influence dari gaya barat dan Indonesia juga. Lagu “Love Me Again” dapat Anda temukan dalam album musik pertama mereka, Amusement Park, dan muncul sebagai soundtrack dalam game Rage in Peace.

Pathetic Experience feat. Christabel Annora – Purna

Lantunan gitar akustik dengan suasana musik tradisional nusantara adalah karakter yang akan Anda temui di karya-karya Pathetic Experience. Karena itulah karya mereka cocok untuk jadi bagian dari game She and the Light Bearer. Dipadu dengan vokal Christabel Annora yang sendu, lagi ini seolah-olah mengantar Anda bercengkerama dengan sosok ibu pertiwi. Simak juga ulasan She and the Light Bearer kami di sini.

The Panturas – Queen of the South

The Panturas adalah salah satu dari beberapa musisi yang mengisi trek lagu untuk film DreadOut. Film adaptasi game karya Digital Happiness itu baru tayang di layar perak di awal 2019 kemarin, namun lagu “Queen of the South” ini sebetulnya sudah dirilis sejak Februari 2018. Tema dan lirik lagunya memang sedikit mistis karena terinspirasi kisah Nyi Roro Kidul, tapi jangan tertipu. Lagu ini sangat fun dan dijamin membuat tubuh bergoyang!

L’Alphalpha – Future Days

Band yang katanya merupakan salah satu favorit bos Hybrid ini tergolong senior di kancah permusikan indie dalam negeri. Maklum, mereka sudah berkarier selama kurang lebih 13 tahun sejak dibentuk. “Future Days” pun sudah terbit di dalam album mereka pada tahun 2013, Von Stufe Zu Stufe (yang artinya kira-kira adalah “Dari Waktu ke Waktu”). Seperti hangatnya sore, lirik lagu ini mengajak kita merenung banyak dalam kesederhanaan. Anda dapat menemukannya dalam game Rage in Peace.

Vesuvia – Memories Yet to Come

Sejak masih berkecimpung di komunitas Touhou dan Vocaloid, Vesuvia sudah terkenal sebagai salah satu musisi dengan warna unik dan kualitas produksi yang tinggi. Karya-karya mereka pun memiliki variasi yang cukup luas, dari nuansa jaz, EDM, hingga orkestra. Sayangnya, “Memories Yet to Come” yang merupakan lagu ending Valthirian Arc: Hero School Story ini masih belum tersedia di platform musik seperti iTunes atau Spotify. Tapi Anda dapat mendengar cuplikannya lewat trailer di bawah. Valthirian Arc: Hero School Story dapat Anda mainkan di PC, PS4, dan Switch.

Polka Wars – Mapan

Puitis, sendu, dan baper. Kira-kira demikian kesan yang saya dapatkan saat mendengar lagu ini. Di balik susunan katanya yang penuh rima, lirik “Mapan” menyimpan kesedihan yang mungkin sangat relatable dengan kondisi banyak kaum Millennial perkotaan. Ketika impian-impian bertabrakan dengan seramnya realita, terkadang kita terpaksa (atau sebenarnya tidak terpaksa?) mengambil pilihan yang tak sesuai kata hati demi sebuah label, “mapan”. Lagu ini menjadi salah satu pengisi di film DreadOut.

Okky Ade Chandra & Various Artists – In Peace

Sekali mendengar suara berat dan petikan gitar akustik Okky Ade Chandra, pasti rasanya sulit untuk dilupakan. Apalagi dengan lirik-lirik yang biasa berbahasa Inggris, orang yang tak tahu siapa penyanyinya bisa mengira pria ini bukan orang Indonesia. Dalam lagu “In Peace”, ia berkolaborasi dengan beberapa musisi lain, yaitu Novi Purnama, serta Ezza dan Koi dari band post-rock UnderTheBigBrightYellowSun (UTTBBYS). Dari judulnya, tentu Anda bisa menebak lagu ini muncul dalam game apa, bukan?

Peonies – Thin Holidays

Grup musik asal Jakarta yang satu ini cukup unik karena mengusung formasi tiga orang tanpa memiliki drummer. Dalam proses penciptaan lagunya mereka kerap dibantu oleh additional drummer, tapi bila Anda menonton mereka live, nuansanya akan berbeda. Peonies membawakan lagu alternative pop yang enak untuk didengar secara santai, sambil ngemil donat atau milk tea. Contohnya seperti lagu “Thin Holidays” ini. Lagi-lagi lagu indie keren yang mengisi soundtrack Rage in Peace.

North to East feat. Faishal Tanjung – Sky

Satu lagi lagu keren pengisi film DreadOut. Dentuman lembut kick drum diselingi akor piano sesekali, dan langit biru yang baru selesai menyibak mendung, adalah resep mujarab untuk menghibur Anda ketika mengalami patah hati. Tapi langit biru pun pada waktunya akan pergi, berganti dengan ufuk jingga atau malam yang penuh kerlip bintang. Kehidupan pun begitu. Ada waktunya cerah, tapi tak boleh enggan memberi ruang bagi masa yang lebih kelam. Mari hadapi dengan terus berjalan ke depan.

Sajama Cut – Rest Your Head on the Day

Satu lagi band senior yang telah aktif sejak tahun 1999, Sajama Cut sudah melanglang buana ke berbagai penjuru dunia serta mengisi soundtrack untuk beberapa film populer. Dan kini mereka bekerja sama dengan Rolling Glory Jam untuk mengisi game Rage in Peace. Seperti judulnya, “Rest Your Head on the Day” sangat cocok sebagai lagu penutup hari, sekaligus penutup dari playlist artikel ini. Apalagi sambil menonton video dokumenter di bawah. Selamat mendengarkan, selamat beristirahat. Mari jumpa lagi ketika mentari terbit esok hari.

Sumber Gambar: Pexels

Agate Akuisisi Ekuator Games, Jamin Masa Depan Seri Celestian Tales

Agate yang merupakan perusahaan developer dan penerbit game terbesar di Indonesia baru saja mengumumkan langkah akuisisi terhadap sebuah perusahaan game lain, yaitu Ekuator Games. Menurut siaran pers yang dirilis Agate, bergabungnya dua perusahaan yang sama-sama bermarkas di Bandung ini telah resmi berlaku sejak tanggal 5 Januari 2019, dengan total nilai akuisisi senilai Rp5 miliar.

Akuisisi ini merupakan salah satu bentuk kolaborasi talenta-talenta game developer lokal, juga usaha untuk meningkatkan kualitas karya anak bangsa. CEO Agate, Arief Widhiyasa, mengatakan bahwa ia ingin mempersatukan kekuatan milik Agate dengan talenta para kru Ekuator Games, dengan harapan mereka bisa bersama-sama mendorong perkembangan industri game Indonesia ke ranah global.

Celestian Tales: Old North | Screenshot 1
Celestian Tales: Old North | Sumber: Steam

Rumor tentang bergabungnya kedua perusahaan ini sudah beredar sejak sekitar perempat akhir 2018, namun pengumuman resminya baru diluncurkan sekarang. Ekuator Games pun sebenarnya telah bekerja sama dengan Agate sejak lama sebelum terjadinya akuisisi. Penggabungan ini bisa dibilang sebuah acara “pulang kampung”, karena Ekuator Games sendiri sebenarnya didirikan oleh kru yang sebagian besar adalah mantan karyawan Agate.

“Sebelum merger Ekuator udah co-dev sama Agate buat project baru. Di project ini Ekuator practically bergerak sebagai divisi sendiri yang terpisah dari Agate. Setelah merger kita masih jadi divisi sendiri, tapi integrated dengan Agate,” jelas Cipto Adiguno, eks-CEO Ekuator Games yang kini menjabat sebagai Vice President of Consumer Games di Agate.

Selain proyek baru yang belum bisa diumumkan tersebut, sebagian kru Ekuator Games juga sempat terlibat dalam pembuatan Valthirian Arc: Hero School Story. Sementara dalam game bikinan Ekuator Games, yaitu Celestian Tales: Old North, pengerjaan soundtrack digarap oleh para komponis dari divisi musik Agate yang dulunya disebut sebagai Agate Simfonia.

Salah satu manfaat langsung yang muncul dari merger antara Agate dan Ekuator Games ini adalah jaminan atas masa depan franchise Celestian Tales. Ketika proyek Celestian Tales dimulai, Ekuator Games merencanakan agar game tersebut menjadi sebuah trilogi. Celestian Tales: Old North merupakan bagian pertama, dan Ekuator telah merilis DLC cerita tambahan berjudul Howl of the Ravager. Akan tetapi game keduanya, yaitu Celestian Tales: Realms Beyond, mengalami hambatan sehingga belum bisa diselesaikan.

“Sebagai bagian deal merger Agate akan funding sisa development Celestian Tales sampai memenuhi semua kewajiban Kickstarter-nya. IP-nya jadi milik Agate,” demikian ungkap Cipto kepada Hybrid. Menurut jadwal yang mereka cantumkan di situs Kickstarter, Celestian Tales: Realms Beyond seharusnya dirilis pada bulan Desember 2017. Dengan adanya merger ini para penggemar Celestian Tales bisa tenang karena petualangan Lucienne, Reynard, dan kawan-kawan pasti akan diceritakan sampai selesai.

Selain merger dengan Ekuator Games, Agate juga tengah mempersiapkan diri untuk melakukan relokasi markas. Saat ini kru Agate sudah mencapai 170 orang, dan kantor Agate yang berada di Bandung wilayah Gegerkalong kurang memadai untuk jumlah tersebut. Semoga saja semua perubahan ini dapat terus membawa dampak positif, dan Agate bisa menciptakan produk yang melampaui kesuksesan Valthirian Arc: Hero School Story nantinya.

Penjualan Valthirian Arc Capai Rp7 Miliar, Balik Modal dalam Waktu 3 Bulan

Sebuah kabar baik datang dari Agate, developer asal Bandung yang juga merupakan studio game terbesar di Indonesia. Melalui siaran persnya, Agate baru-baru ini mengumumkan bahwa game terbaru mereka yaitu Valthirian Arc: Hero School Story telah berhasil mencapai penjualan senilai US$500.000. Dengan kurs saat ini (US$1 = Rp14.195) artinya angka tersebut setara dengan kurang lebih Rp7,1 miliar.

Pencapaian tersebut diraih oleh Valthirian Arc: Hero School Story dalam waktu cukup singkat, hanya tiga bulan sejak perilisannya. Angka sedemikian besar juga menandakan bahwa game ini telah mencapai break event point, alias balik modal. Agate melaporkan bahwa keuntungan terbesar diperoleh dari penjualan game fisik dari region 2, yaitu Inggris dan Eropa. Khususnya di platform PC, game ini sempat menduduki peringkat 2 best-seller di Steam wilayah Inggris Raya.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 5
Valthirian Arc: Hero School Story

Salah satu cara Agate untuk mendongkrak popularitas Valthirian Arc: Hero School Story adalah dengan rajin membawa game mereka ke berbagai ajang pameran luar negeri. Salah satunya seperti MCM Comic Con di kota London, pada bulan Oktober 2018 lalu, di mana Valthirian Arc mendapat cukup banyak peminat. Agate juga pernah memamerkan game ini di acara Tokyo Game Show 2018 serta PlayStation Experience SEA (PSX SEA) 2018 di Bangkok. Selain itu, Agate pun gencar mengirimkan publikasi ke berbagai media, baik media lokal ataupun luar negeri.

Dalam distribusi Valthirian Arc: Hero School Story, Agate bekerja sama dengan penerbit asal Inggris yang sudah cukup senior, yaitu PQube. PQube telah lama menangani game untuk berbagai platform, termasuk judul-judul ternama seperti seri BlazBlue, Harvest Moon, serta Senran Kagura.

Valthirian Arc - PlayStation Experience SEA
Valthirian Arc dan beberapa game lokal lain dalam PSX SEA 2018 | Sumber: Duniaku.net

Dengan kesuksesan seperti ini, Agate telah membuktikan bahwa developer Indonesia juga mampu menciptakan produk yang memiliki daya saing di pasar video game global. Valthirian Arc: Hero School Story bisa Anda dapatkan secara fisik ataupun digital di PS4 dan Switch, juga di PC via Steam. Anda dapat membaca ulasan kami tentang Valthirian Arc: Hero School Story di tautan berikut.

[Review] Valthirian Arc: Hero School Story – Lulus dengan Nilai Cukup

Saya memiliki sebuah kebiasaan buruk ketika menulis review alias ulasan game. Menulis ulasan untuk game yang sudah jelas keren itu mudah. Begitu pula dengan menulis ulasan game yang memang sudah jelas jelek. Tapi ada sebuah ruang menyebalkan di antara “keren” dan “jelek” yang selalu membuat saya frustrasi, yaitu ketika sebuah game punya potensi besar untuk jadi keren namun tersandung beberapa hal sehingga gagal mencapai status keren secara utuh. Saya mengelompokkan game semacam ini ke dalam sebuah kategori khusus, yaitu game hampir keren”.

Valthirian Arc: Hero School Story masuk ke dalam kategori tersebut. Ketika memainkan Valthirian Arc, saya sering menemukan momen-momen yang menurut saya bagus sekali. Baik dari segi cerita maupun gameplay, Valthirian Arc menggoda kita dengan janji-janji manis nan mendebarkan, namun setelah ditunggu lama ternyata tidak kunjung terealisasi. Lalu ketika saya sudah hampir bosan, putus asa, dan ingin game ini cepat tamat saja, tiba-tiba muncul momen-momen keren secara tak terduga. Saya jadi batal sebal. Tapi kemudian sebal lagi. Begitu terus-menerus. Perasaan saya seperti dipermainkan.

Ketika mengulas sebuah game yang hampir keren, biasanya gaya bahasa saya akan menjadi sedikit kasar. Sebetulnya mungkin bukan kasar sih, tapi lebih tepat disebut geregetan. Bagaimana pun juga saya ingin agar di dunia ini tidak ada game jelek, jadi ketika ada game yang punya potensi besar namun tidak tercapai maksimal, gemas sekali rasanya. Mungkinkah ini yang dinamakan tough love?

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 1

Narasi: Sampul Depan Sebuah Epos

Valthirian Arc: Hero School Story dibuka dengan adegan-adegan yang menurut saya sangat exciting (maaf, saya tak menemukan padanan kata bahasa Indonesia yang tepat). Beragam ilustrasi indah menghiasi adegan demi adegan cerita yang memperkenalkan Anda pada kondisi dan tatanan pemerintahan keraton Valthiria. Setelah menerima jabatan sebagai kepala akademi pahlawan dan bertemu para staf yang akan bekerja bersama Anda, Anda melihat tingkah laku para bangsawan dari seluruh penjuru negeri, masing-masing tampak punya agenda tersendiri.

Kemudian cerita bergerak cepat. Bencana tak dinyana tiba, dan mendadak keraton Valthiria jatuh ke dalam suatu kondisi kekosongan kekuasaan. Seorang putri yang seharusnya menjadi pewaris takhta, keberadaannya entah di mana. Lima ratu vasal Valthiria tergiur nafsu untuk merebut kuasa, dan Anda, sebagai kepala akademi yang punya pengaruh militer, tak luput dari ketertarikan mereka.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 2

Kekacauan di Valthiria semakin buncah ketika datang masalah dari luar. Sebuah sekte misterius muncul melakukan pemberontakan, dan beredar desas-desus akan suatu kekuatan jahat yang mengancam keberlangsungan keraton Valthiria. Sebagai kepala akademi, Anda mengemban tanggung jawab melatih para siswa untuk menjadi kader-kader pahlawan penjaga kesatuan negara. Jelas bukan tugas yang mudah.

Sampai di sini cerita Valthirian Arc: Hero School Story terasa cukup mendebarkan. Saya tidak berharap akan ada konflik sedalam Game of Thrones atau Final Fantasy Tactics, namun premisnya yang serupa membuat saya sangat berminat mengetahui kelanjutan ceritanya. Dan betapa kecewanya saya ketika mendapati bahwa cerita dalam game ini tiba-tiba berhenti maju, seperti mobil yang direm mendadak tanpa peringatan.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 3

Alih-alih menggali motivasi terselubung di balik para bangsawan di Valthiria, game ini malah sibuk menyuguhkan beragam quest dengan skenario yang begitu miskin faedah. Bukannya berisi intrik politik, quest yang dari deskripsinya terlihat penting ternyata hanya membuat siswa-siswi akademi saya jadi pekerja kasar. Mengumpulkan jamur, memburu babi, serta menambang mineral adalah sebagian contohnya.

Struktur quest yang mengecewakan mungkin masih bisa dimaafkan bila setidaknya cerita di dalamnya seru. Akan tetapi ternyata tidak. Kontras dengan nuansa cerita utamanya yang serius, semua quest ini malah sarat akan dialog-dialog jayus. Saya jadi curiga, jangan-jangan naskah cerita utama dan naskah quest ditulis oleh orang-orang yang berbeda.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 4

Quest dengan cerita “ringan” sebetulnya bukan barang baru di dunia RPG. Banyak game lain juga melakukannya. Tetapi ini jadi masalah ketika cerita “ringan” mengisi sekitar 90% dari game keseluruhan, bahkan termasuk di misi-misi yang seharusnya merupakan bagian dari cerita utama. Diingat-ingat lagi, cerita Valthirian Arc: Hero School Story yang saya sukai hanyalah bagian pembuka dan penutupnya saja. Sisanya betul-betul membosankan dan terasa seperti filler.

Saya juga heran, perancang quest Valthirian Arc: Hero School Story sepertinya suka sekali dengan turnamen. Bila dalam game ada satu cerita atau misi turnamen, itu sudah biasa. Tapi di sini setidaknya ada tiga deretan quest yang isinya hanya turnamen saja. Satu deret tantangan dari para ratu, satu deret misi Trials of Valthiria, dan satu deret lagi misi dari suku Kawiya. Mengapa? Mengapa harus turnamen terus? Tidak adakah alasan lain yang lebih menarik untuk turun ke dungeon dan menghajar monster?

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 5

Nantinya, ketika Anda sudah sampai mendekati akhir game, Anda akan bertemu dengan beberapa quest spesial untuk mendapatkan senjata-senjata legendaris. Dan salah satu quest senjata legendaris itu betul-betul membuat saya emosi jiwa. Bagaimana tidak? Sebelum masuk ke misi utama, saya terlebih dahulu harus:

  • Mencari kapten kapal untuk membawa saya menyeberang laut
  • Menjalankan tuas-tuas untuk membuka gerbang menuju pelabuhan
  • Kapal diserang! Bertarung melawan monster
  • Kapal diserang lagi! Bertarung lagi
  • Mencari anak untuk menjadi pemandu di pulau, ternyata si anak terperangkap
  • Mencari pelumas untuk membuka pintu perangkap
  • Melewati beberapa dungeon lainnya tanpa ada kejadian penting

Percayalah, bila daftar ini terdengar membosankan, memainkannya langsung lebih membosankan lagi. Padahal deretan quest ini harus kita lakukan untuk mendapatkan Crescent Edge, pedang legendaris dengan kekuatan terkutuk yang dapat menciptakan malam abadi. Benda sekeren itu, tapi proses mendapatkannya “receh” begini? Imbalan yang kita dapat keren sih, tapi bagaimana bisa puas bila isi quest itu sendiri tidak menarik?

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 6

Quest dalam game ini yang begitu banyak namun tidak berkesan adalah contoh kasus ketika kuantitas mengalahkan kualitas. Pada akhirnya berjibun quest itu hanya jadi wadah untuk bertarung dan grinding, termasuk juga quest cerita utamanya. Sungguh hal yang patut disayangkan, padahal premis cerita di awal punya banyak ruang untuk berkembang.

Untungnya, Valthirian Arc: Hero School Story berhasil mencapai titik yang tinggi ketika cerita sampai di klimaks. Adanya plot twist yang cukup keren (walau mungkin agak mudah ditebak), alasan untuk berempati terhadap motivasi tindakan musuh, serta perkembangan diri beberapa karakter penting sudah cukup untuk menghasilkan ketegangan yang memikat. Setidaknya setelah tamat, saya bisa berkata dengan yakin bahwa game ini punya ending yang memuaskan.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 7

Tata Permainan: Kemudi Semiotomatis

Sama seperti cerita, aspek gameplay dalam Valthirian Arc: Hero School Story juga digerogoti keputusan-keputusan aneh yang menghalangi game ini dari status keren sempurna. Pada dasarnya inti permainan Valthirian Arc: Hero School Story cukup sederhana. Sebagai kepala akademi, Anda akan merekrut siswa-siswi baru, menjalankan quest untuk meningkatkan level mereka, melengkapi mereka dengan berbagai macam senjata, dan setelah level mencukupi, mengubah mereka menjadi class tertentu. Terdapat tiga class dasar dan enam class lanjutan dalam game ini, variasinya cukup luas juga asyik untuk diulik-ulik.

Bagi Anda yang menyukai game dengan fokus pada character building semacam Ragnarok Online atau Diablo, Valthirian Arc: Hero School Story akan terasa familier dengan cepat. Ada kesenangan yang muncul dari memilih siswa untuk “dibesarkan”, karena tiap siswa punya atribut dasar berbeda-beda. Satu siswa mungkin cocok untuk dijadikan class Paladin, sementara siswa lainnya lebih cocok menjadi Arquebusier. Terdapat banyak kombinasi untuk dicoba-coba, termasuk kombinasi hura-hura misalnya party berisi empat orang Scholarsage untuk pengalaman framerate drop maksimal.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 8

Senjata-senjata langka dapat Anda peroleh lewat item drop di dungeon, membeli di pedagang keliling, atau crafting di Armory. Cara mana pun yang Anda pilih, berhasil mendapatkan senjata keren selalu terasa menyenangkan. Dengan senjata yang tepat, seorang siswa bisa tampil sangat menonjol di medan pertarungan.

Sayangnya Valthirian Arc: Hero School Story punya masalah yang aneh di perihal balancing. Secara garis besar, pertarungan dalam game ini hanya punya dua kemungkinan: Anda membunuh semua musuh dengan satu serangan, atau Anda mati dengan satu serangan. Mungkin frase “dengan satu serangan” agak berlebihan sih, tapi memang rasanya seperti itu. Bila Anda bertemu musuh yang levelnya terlalu tinggi sedikit saja, Anda akan sangat cepat mati. Sebaliknya, bila level Anda lebih tinggi dari musuh sedikit saja, musuh pun akan sangat cepat mati, termasuk musuh-musuh bos sekalipun.

Balance yang aneh itu mengingatkan saya pada game Pikmin atau Little King’s Story, yang mana sebetulnya kedua game tersebut bukanlah game action murni tapi lebih menyerupai real-time strategy (RTS). Saya menemukan bahwa taktik terbaik dalam pertarungan adalah berlari saja berputar-putar, karena biasanya musuh akan berusaha mengincar karakter yang Anda kendalikan. Sementara si musuh sibuk mengejar Anda, teman-teman Anda (yang dikendalikan komputer) dapat menghajarnya leluasa hingga ia mati tanpa perlawanan berarti.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 9

Setelah main cukup lama, persoalan balance tak lagi terasa signifikan. Saya cukup menganggap bahwa Valthirian Arc: Hero School Story adalah game dengan genre yang tak biasa, dan masalah itu sudah bisa saya abaikan. Tapi kemudian muncul satu hal lagi yang sebenarnya mungkin minor, tapi membuat saya bertanya-tanya, “Mengapa?!” Masalah itu, saudara-saudara sekalian, adalah fitur bernama Trigger Skill.

Jadi begini. Tiap class dalam Valthirian Arc: Hero School Story dapat mempelajari berbagai macam skill yang terbagi ke dalam tiga jenis: Active Skill, Permanent Skill, dan Trigger Skill. Active Skill pertama akan langsung Anda dapatkan ketika memilih class, namun untuk mendapatkan Active Skill berikutnya, Anda harus berganti ke salah satu class lanjutan dan mencapai level 25. Permanent Skill, di sisi lain, adalah skill pasif yang dapat meningkatkan atribut-atribut karakter Anda, seperti daya serang atau jumlah HP.

Dua jenis skill di atas tidak ada masalah. Yang saya permasalahkan adalah jenis skill ketiga, Trigger Skill, yaitu skill yang akan muncul secara random di tengah pertarungan. Trigger Skill ini ada banyak jumlahnya, beberapa bahkan lebih keren dan bermanfaat daripada Active Skill.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 10

Class Arc Draconus misalnya, memiliki Trigger Skill bernama Dragon Dance. Karakter Anda akan melompat sambil menebas musuh dengan gerakan spiral, lalu menghempaskan pedang ke arah lantai, menghasilkan damage yang luar biasa. Class Magi dan Medica memiliki Trigger Skill bernama Freeze, ilmu sihir yang sangat berguna untuk menghentikan gerakan lawan. Harlequin memiliki Trigger Skill bernama Poison Flask yang dapat meracuni musuh dalam area yang besar. Dan masih banyak lagi lainnya.

Pertanyaan saya: Mengapa skill yang keren-keren seperti ini malah hanya bisa dilakukan secara random? Mengapa tidak membuat semuanya jadi Active Skill saja, agar pemain dapat mengeluarkan potensi keren karakter mereka hingga batas maksimal? Mengapa saya tidak boleh spamming semua skill terus-menerus seperti Fayt Leingod di Star Ocean: Till the End of Time?

Kembali ke persoalan balance tadi, mungkin jawabannya adalah karena Valthirian Arc: Hero School Story memang bukan game action murni, melainkan semi-RTS. Bila semua skill dijadikan Active Skill, pertarungan mungkin akan jadi terlalu rusuh. Tapi saya tetap merasa sebal, sebab game ini tidak memberi kebebasan seluas-luasnya untuk mengatur aksi karakter-karakter saya.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 11

Terlepas dari keluhan-keluhan di atas, gameplay Valthirian Arc: Hero School Story secara keseluruhan menurut saya menyenangkan. Bahkan, sangat menyenangkan! Selain membawa para siswa bertarung, Anda juga harus mengatur wujud akademi Anda. Memilih ruangan dan bangunan untuk didirikan rasanya begitu menghibur, apalagi tidak ada penalti besar untuk menghancurkan ruangan/bangunan lalu memindah-mindahnya ke lokasi lain.

Setiap akhir semester, Anda harus memilih minimal satu siswa untuk diluluskan. Unsur pemilihan ini pun begitu asyik, sebab selalu ada dilema antara usaha dan imbalan yang diberikan. Bila Anda meluluskan karakter dengan level pas-pasan, uang serta poin akreditasi yang Anda dapat akan lebih sedikit. Tapi bila harus meluluskan karakter yang sudah Anda tempa hingga sangat jago, kira-kira apakah Anda rela?

Semakin sayang Anda pada siswa-siswi Anda, semakin lama waktu yang Anda butuhkan untuk meningkatkan level akreditasi sekolah. Padahal level akreditasi ini berpengaruh sangat besar. Dengan akreditasi lebih tinggi, Anda dapat mendirikan bangunan lebih banyak, melakukan upgrade fasilitas lebih jauh, termasuk juga membuka class karakter baru. Melihat akademi tumbuh dari bangunan kecil tak beratap menjadi institusi pendidikan megah lengkap dengan peternakan naga, rasanya sungguh membuat hati gembira.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 12

Audio Visual: Bernas Walau Sumber Daya Terbatas

Aspek paling saya sukai dari Valthirian Arc: Hero School Story, sudah pasti, adalah ilustrasi-ilustrasinya yang begitu menawan. Karakter-karakter dalam game ini didesain begitu ekspresif, masing-masing dengan pose yang samar namun memancarkan kepribadian dengan begitu kuat. Melihat Isabel sekilas, saya bisa merasakan bahwa ia adalah gadis yang elegan namun berjiwa bebas. Sementara melihat Mirza, langsung terasa bahwa meski terlihat urakan, diam-diam ia menyimpan karisma.

Desain karakter Valthirian Arc terinspirasi dari berbagai latar kebudayaan berbeda. Sebagian besar memang menyerupai desain Eropa era Victoria, tapi ada juga karakter-karakter dengan inspirasi dari Timur Tengah dan Indonesia. Suku Kawiya, yang desainnya menyerupai pakaian adat Bali, terlihat indah dan eksotik. Desain favorit saya sendiri adalah Shilekka, si pedagang keliling yang mengingatkan saya pada komik berjudul Otoyomegatari.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 13

Keindahan itu terus berlanjut hingga game tamat, bahkan saat credit roll pun rasanya saya gatal ingin mengambil screenshot terus-menerus. Sayangnya, meski Valthirian Arc: Hero School Story bersinar di unsur visual 2D, desain model 3D di dalamnya justru meninggalkan nilai minus.

Jangan salah sangka, bukan berarti tampilan 3D game ini jelek. Malah menurut saya sudah bagus. Penerapan gaya visual chibi di dalamnya imut namun tetap ekspresif, dan setiap class memiliki penampilan yang cukup istimewa. Para karakter, baik manusia ataupun monster, dianimasikan dengan halus, dan efek-efek yang muncul ketika mengeluarkan skill cukup layak untuk masuk standar game tahun 2018. Bangunan-bangunan di akademi pun didesain menarik dan enak dipandang mata.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 14

Nilai minus yang saya maksud semata-mata hanya masalah kurang variasi. Mungkin Agate Studio butuh anggaran lebih besar, atau kru 3D modeler lebih banyak, agar tampilan dungeon dalam game ini tidak melulu begitu-begitu saja. Bosan sekali rasanya melihat tampilan rerumputan dan gua bawah tanah yang tak jauh berubah dari awal hingga akhir. Memang ada beberapa misi yang menempatkan kita di lokasi unik, tapi misi-misi itu jumlahnya sangat sedikit.

Sisi audio Valthirian Arc: Hero School Story juga memberikan perasaan agak campur aduk. Musik dalam game ini sebetulnya bagus, tapi sayangnya background music (BGM) yang muncul terikat pada jenis dungeon yang sedang kita jelajahi. Dan karena sebagian besar dungeon punya desain monoton, BGM yang muncul juga itu lagi itu lagi. Sebagus apa pun musiknya, bila diputar terus-menerus lama-lama bikin kesal juga.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 15

Semua keluhan saya dari sisi audio visual sepertinya berakar pada persoalan yang sama, yaitu anggaran. Memang Valthirian Arc: Hero School Story bukan game AAA dengan bujet puluhan juta dolar, jadi saya rasa hal-hal tersebut bisa dimaklumi. Semoga saja game ini sukses, dan Agate Studio bisa menelurkan sekuel dengan anggaran yang lebih besar dan lebih efisien.

Kesimpulan: Hati Tak Dapat Berbohong

Jadi, apakah Valthirian Arc: Hero School Story layak dibeli atau tidak? Bila ditanya seperti itu, saya akan sulit untuk menjawab. Seperti sudah saya katakan, game ini masuk dalam kategori khusus yang dilematis, yaitu “game hampir keren”. Mungkin alih-alih menjawab, saya justru akan bertanya balik, apa yang Anda harapkan dari Valthirian Arc: Hero School Story?

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 16

Bila Anda mengharap sebuah masterpiece yang sejajar dengan game buatan para developer JRPG senior di luar sana, itu tak akan Anda temukan. Tapi bila Anda ingin melihat sejauh mana pencapaian developer Indonesia, dan siap menerima segala keunggulan beserta keterbatasannya, Valthirian Arc: Hero School Story wajib Anda miliki. Dari kacamata gamer Indonesia, menurut saya Valthirian Arc: Hero School Story akan dinikmati oleh mereka yang menghargai usaha, namun akan mengecewakan mereka yang menilai dari hasil saja.

Tugas saya sebagai reviewer hanya memberi gambaran tentang isi game ini, bukan menentukan apakah Anda harus membelinya atau tidak. Lagi pula, selera setiap orang bisa berbeda-beda. Sama seperti keputusan untuk membeli game secara umum, daripada bergantung pada ulasan atau rekomendasi orang lain, lebih baik dengarkan kata hati sendiri. Hati saya sih berkata “Yes”. Bagaimana dengan Anda?

Sparks:

  • Ilustrasi dan desain karakter sangat menawan
  • Cerita utama cukup menarik, dengan ending yang memuaskan
  • Lagu ending indah dengan vokal yang menyentuh hati
  • Model 3D para karakter cukup keren dan dianimasikan dengan baik
  • Proses menyejahterakan akademi terasa begitu menyenangkan
  • Variasi class dan skill yang luas, seru untuk diulik
  • Banyak referensi menarik ke budaya dan kultur pop Indonesia

Slacks:

  • Desain dungeon kurang variatif
  • Skenario quest sangat membosankan, termasuk quest cerita
  • Grinding yang mungkin terlalu repetitif bagi sebagian orang
  • Musik latar terlalu sering diulang-ulang
  • Sistem Trigger Skill dan balance yang aneh membuat aksi kurang maksimal
  • Framerate drop di beberapa tempat

Valthirian Arc: Hero School Story Telah Dirilis, Game Indonesia Populer di Inggris

Agate Studio, developer game asal Bandung, baru saja merayakan perilisan game terbaru mereka yang berjudul Valthirian Arc: Hero School Story. Selain terbit untuk PC, game yang menggabungkan genre RPG fantasi dengan simulasi manajemen sekolah ini adalah game pertama Agate Studio yang berhasil tembus pasar console mainstream, yaitu PS4 dan Switch.

Agate Studio bekerja sama dengan penerbit game global ternama dalam peluncuran Valthirian Arc: Hero School Story, yaitu PQube. Selama ini PQube telah berpengalaman menerbitkan berbagai macam game populer, seperti seri BlazBlue, Earth Defense Force, serta Senran Kagura.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 1
Valthirian Arc: Hero School Story | Sumber: Steam

Valthirian Arc: Hero School Story berhasil membuktikan bahwa produk buatan Indonesia bisa bersaing di tingkat internasional. Buktinya, game ini langsung mencapai peringkat 2 best-seller di Steam wilayah Inggris Raya hanya dalam waktu 24 jam sejak terbit. Hingga kini pun nama Valthirian Arc masih hinggap di bagian game baru yang trending di Steam, bersaing dengan judul-judul besar seperti Mega Man 11 dan Life is Strange 2.

Untuk memainkan Valthirian Arc: Hero School Story, Anda dapat membelinya dengan harga US$19,99 di PS Store dan Nintendo eShop, atau Rp95.999 di Steam. Ini masih belum dipotong dengan diskon 10% untuk pembelian selama seminggu pertama. Bila Anda lebih suka mengoleksi versi fisik, Valthirian Arc: Hero School Story versi PS4 dan Switch juga bisa Anda dapatkan di gerai-gerai ritel game terdekat.

Valthirian Arc: Hero School Story | Screenshot 2
Valthirian Arc: Hero School Story | Sumber: Steam

Valthirian Arc: Hero School Story merupakan game ketiga dari seri Valthirian Arc yang pertama kali diluncurkan Agate Studo pada tahun 2010 silam. Berawal dari game Flash, seri tersebut kini telah berevolusi menjadi game console dengan tampilan full 3D yang menarik. Dulu saat masih berupa proyek Kickstarter, game ini juga dikenal dengan judul Valthirian Arc: Red Covenant, namun Agate Studio mengganti judulnya agar lebih mencerminkan isi game itu sendiri.

Sama seperti prekuel-prekuelnya, di sini Anda akan berperan sebagai pimpinan sebuah akademi sihir yang harus melatih para calon pahlawan masa depan. Setiap murid dapat memilih satu di antara sembilan job (tiga job dasar dan enam job lanjutan) kemudian bertualang menyelesaikan masalah-masalah di kerajaan. Apa yang harus Anda lakukan untuk mendidik pahlawan terhebat?

Valthirian Arc: Hero School Story Akan Mendarat di PC, Switch dan PS4 Akhir Tahun Ini

Bulan Juli ini ialah momen menggembirakan sekaligus membanggakan buat para gamer Indonesia. IGX 2018 baru saja rampung kemarin dan minggu ini Game Prime 2018 akan dilangsungkan. Dan tepat pada tanggal 5 Juli 2018 silam, publisher Toge Productions dan Mojiken Studio asal Surabaya resmi melepas Ultra Space Battle Brawl untuk console Nintendo Switch.

Dan Anda mungkin sudah mendengar bahwa bukan hanya USBB saja yang disiapkan buat hadir di platform game populer. Beberapa hari lalu, tim Agate International turut mengumumkan rencana untuk melepas permainan yang telah lama mereka kerjakan di PC, Nintendo Switch dan PlayStation 4. Judul game tersebut boleh jadi juga cukup akrab di telinga kita semua, yaitu Valthirian Arc: Hero School Story.

Eksistensi dari Valthirian Arc: Hero School Story telah terdengar sejak tahun 2015. Digarap sebagai penerus Valthirian Arc 2, saat diperkenalkan, permainan tersebut mengusung sub-judul Red Covenant. Jika Anda mengikuti perjalanan Valthirian Arc: Red Covenant dari awal, maka Anda tahu seperti apa kerja keras yang Agate lakukan serta berbagai rintangan yang sudah developer lalui.

Dalam proses pengembangannya, developer sempat gagal mengumpulkan dana yang mereka butuhkan. Namun Agate tidak menyerah. Di bulan Februari 2017 mereka kembali melangsungkan kampanye di Kickstarter, dan akhirnya, Valthirian Arc: Red Covenant berhasil menggalang modal jauh di atas target minimal. Tak lama, developer  mengabarkan agenda buat meluncurkan game di bulan Agustus 2017.

Namun 2017 berlalu tanpa kemunculan Valthirian Arc: Red Covenant. Ternyata, penundaan itu dilakukan untuk mempersiapkan peluncuran permainan dalam skala lebih besar lagi. Agate tengah melakukan kolaborasi bersama publisher Inggris PQube sebagai upaya menghadirkan Valthirian Arc: Hero School Story ke lebih banyak gamer. Hal tersebut juga didukung oleh lokalisasi game ke enam bahasa lain, yakni Inggris, Perancis, Jerman, Rusia, Korea dan Mandarin.

Valthirian Arc Hero School Story 1

Agate belum mengungkap tanggal tepat peluncuran Valthirian Arc: Hero School Story, hanya bilang akan merilisnya di kuartal keempat 2018. Kabar gembiranya, status game saat ini sudah hampir rampung. Di IGX 2018 kemarin, Valthirian Arc: Hero School Story telah dapat dinikmati dari console Switch dan PS4 – baik bagian base-building serta sesi action-RPG-nya. Sisa waktu beberapa bulan ini kemungkinan besar dimanfaatkan developer buat memolesnya lebih jauh lagi.

Dugaan saya, alasan Agate mengubah sub-titel dari Red Covenant ke Hero School Story adalah agar permainan lebih mudah diterima bagi gamer yang belum familier atau sama sekali tidak pernah bermain seri Valthirian Arc. ‘Hero School Story’ secara garis besar menjelaskan tema yang diusung game tersebut.

Sumber: Agate.id.