HTC Vive Focus Plus Adalah Standalone VR Headset untuk Kalangan Enterprise

Masih ingat dengan HTC Vive Focus, standalone VR headset yang diumumkan mendekati akhir tahun 2017 lalu? Di atas kertas, perangkat tersebut terdengar sangat berpotensi dan mengusung sejumlah kesamaan seperti HTC Vive Pro, sehingga wajar apabila akhirnya HTC memosisikannya sebagai produk premium.

Meski begitu, ada satu hal yang mengganjal dari Vive Focus. Secara teknis, headset-nya telah mendukung tracking enam sudut gerakan alias 6DoF, akan tetapi controller-nya ternyata cuma dibekali sensor 3DoF. Alhasil, sinergi antar keduanya jadi tidak maksimal.

HTC Vive Focus Plus controllers

Guna membenahi problem tersebut, HTC memutuskan untuk menghadirkan model anyar bernama Vive Focus Plus yang ditujukan secara spesifik untuk kalangan enterprise. Perbedaannya? Yang paling utama adalah sepasang controller 6DoF yang sudah termasuk dalam paket penjualan.

Spesifikasi lainnya nyaris identik dengan Vive Focus orisinal. Kendati demikian, HTC mengklaim telah menyematkan lensa baru pada Vive Focus Plus sehingga kualitas visualnya meningkat cukup signifikan. Lebih lanjut, HTC juga bilang Vive Focus Plus sedikit lebih unggul dalam hal kenyamanan.

HTC Vive Focus Plus

Sebagai produk enterprise, HTC tentunya sudah menyiapkan fitur-fitur khusus seperti Kiosk Mode, Gaze Support, dan yang paling penting, device management tool untuk mengatur deployment perangkat. Terkait kapabilitas 6DoF-nya, HTC juga mengklaim sudah ada sejumlah developer yang mengerjakan aplikasi untuk memaksimalkan potensinya di dunia enterprise, semisal aplikasi simulasi pelatihan medis garapan SimforHealth.

HTC berniat mengumumkan banderol harga beserta jadwal pemasaran Vive Focus Plus di ajang Vive Ecosystem Conference (VEC) pada akhir Maret nanti. Meski produk ini disasarkan ke kalangan enterprise, HTC tidak menutup kemungkinan jika ada konsumen umum yang tertarik membelinya. Pun begitu, faktor harga akan selalu menjadi pertimbangan utama, terlebih karena salah satu rivalnya, Oculus Quest, bakal dipasarkan seharga $400 saja.

Sumber: Road to VR.

VR Headset Varjo VR-1 Andalkan Teknologi Dual Display Demi Menyajikan Visual yang Amat Tajam dan Detail

Dua tahun lalu, sebuah startup ambisius bernama Varjo mengumumkan bahwa mereka sedang mengerjakan VR headset dengan resolusi display setara mata manusia. Sesumbar itu akhirnya terealisasi dalam wujud Varjo VR-1, yang saat ini sudah mulai dipasarkan meski meleset setahun lebih dari estimasi yang dijadwalkan.

Kalau dilihat dari luar, sebenarnya tidak kelihatan ada yang istimewa dari VR-1. Desainnya banyak terinspirasi Oculus Rift, akan tetapi kesamaannya hanya sebatas itu saja. Di dalamnya, ada teknologi Bionic Display yang layak menjadi sorotan utama.

Varjo VR-1

Teknologi ini pada dasarnya melibatkan dua panel display sekaligus. Satu panel AMOLED konvensional beresolusi 1440 x 1600 pixel, lalu satu lagi panel micro-OLED 1920 x 1080 dengan tingkat kepadatan sekitar 3.000 pixel per inci yang diposisikan persis di tengah-tengah pandangan pengguna.

Field of view dari display micro-OLED ini memang terbatas, akan tetapi pada dasarnya selama pengguna VR-1 menghadap ke depan, ia akan melihat visual yang begitu tajam dan detail, dan inilah yang Varjo maksud dengan frasa “resolusi setara mata manusia”.

Pada display Vive Pro, teks nyaris tidak terbaca, tidak demikian pada VR-1 / Varjo
Pada display Vive Pro, teks nyaris tidak terbaca, tidak demikian pada VR-1 / Varjo

Setajam apa visual yang dihasilkan Bionic Display? Coba lihat gambar perbandingan antara display HTC Vive Pro (kiri) dan Varjo VR-1 (kanan) di atas. Jujur perbedaannya sangat jauh, dan ini sangat mengesankan mengingat Vive Pro sendiri merupakan salah satu VR headset dengan resolusi display tertinggi yang ada saat ini.

Tingkat detail sekelas ini tentunya bakal sangat menarik perhatian kalangan profesional, semisal tim desainer pabrikan otomotif yang hendak menggunakannya untuk fase prototyping. Kalangan profesional juga merupakan target pasar yang tepat mengingat VR-1 pastinya membutuhkan PC berspesifikasi dewa untuk menenagainya.

VR-1 sebenarnya juga bisa dipakai untuk gaming, apalagi mengingat secara teknis ia merupakan headset SteamVR, dengan fitur positional tracking yang mengandalkan base station eksternal. Kendati demikian, yang membuatnya kurang pantas adalah harganya.

Varjo membanderol VR-1 seharga $5.995, dengan biaya lisensi layanan tahunan sebesar $995. Bahkan biaya lisensinya saja sudah melebihi mayoritas VR headset, dan ini jelas berada di luar jangkauan konsumen secara umum.

Detail speedometer pun kelihatan jelas pada display VR-1 / Varjo
Detail speedometer pun kelihatan jelas pada display VR-1 / Varjo

Uang bukan masalah? Coba pertimbangkan faktor berikut: karena mengusung display ganda beserta kipas pendingin yang terintegrasi, bobot VR-1 mencapai 905 gram. Itu jelas bukan bobot yang ideal untuk dipakai gaming berlama-lama.

Hal lain yang menarik adalah rencana Varjo untuk meluncurkan aksesori tambahan guna mewujudkan kapabilitas AR pada VR-1. Jadinya nanti pelat bagian depannya akan diganti dengan pelat yang mengemas kamera, sehingga penggunanya jadi bisa melihat area di sekitarnya.

Sumber: Ars Technica.

HP Sedang Siapkan VR Headset Baru dengan Resolusi di Atas Rata-Rata

HP meluncurkan VR headset pertamanya di tahun 2017 bersamaan dengan sejumlah produsen lain. Headset tersebut merupakan bagian dari platform Windows Mixed Reality, dan desain beserta spesifikasinya banyak mengacu pada standar yang ditetapkan Microsoft. Singkat cerita, tidak banyak perbedaan di antara deretan headset Windows Mixed Reality generasi pertama kecuali dari segi estetika.

Untuk VR headset keduanya, HP ingin menciptakan sesuatu yang berbeda. Setahun terakhir ini HP habiskan untuk mengumpulkan saran dan kritik dari para konsumennya guna mengembangkan headset Windows Mixed Reality pamungkas, yang sejauh ini baru dikenal dengan codename “Copper”.

Road to VR cukup beruntung menjadi satu-satunya media yang dipersilakan menjajal prototipenya. Jurnalisnya mengatakan bahwa sepintas Copper tampak sangat mirip dengan Oculus Rift, utamanya berkat strap pada bagian atas kepala, seperti yang bisa kita lihat pada gambar render-nya di atas.

Desain strap seperti ini diyakini lebih nyaman ketimbang rancangan sebelumnya yang hanya melingkari kepala. Menurut HP, peningkatan dalam hal ergonomi memang menjadi salah satu masukan terbanyak dari konsumen, akan tetapi di atasnya masih ada lagi masukan mengenai resolusi.

Itulah mengapa HP menyematkan display yang sangat berkualitas pada Copper, dengan resolusi 2160 x 2160 pixel per mata. Resolusinya ini bahkan jauh di atas Samsung HMD Odyssey+, yang sejauh ini merupakan headset Windows Mixed Reality dengan display paling tajam (resolusi 1440 x 1600 pixel per mata).

Seperti halnya Odyssey+, Copper turut mengunggulkan pengalaman penggunaan yang terbebas dari efek screen door. Bedanya, HP sama sekali tidak memanfaatkan semacam diffuser pada Copper untuk mencapai hal tersebut, sehingga pada akhirnya tidak ada kompromi sama sekali pada ketajaman gambar.

Sayangnya untuk urusan field of view, Copper masih berada di level yang sama seperti Oculus Rift maupun HTC Vive, meski itu sebenarnya bukanlah hal yang buruk apabila dibandingkan dengan Microsoft HoloLens yang lebih terbatas lagi perihal field of view. Terkait dimensinya, HP masih merahasiakannya, akan tetapi Road to VR mendapati Copper cukup ringan ketika sedang dikenakan.

Rencananya, Copper bakal dipasarkan sebagai produk profesional, akan tetapi di saat yang sama HP juga tidak akan membatasi kalangan konsumen yang tertarik. Harganya masih belum diketahui, demikian pula jadwal perilisannya. Semoga saja tahun ini.

Sumber: Road to VR.

HTC Luncurkan Dua VR Headset Baru: Vive Pro Eye dan Cosmos

Event CES 2019 baru saja resmi dimulai, dan kita sudah langsung kedatangan berita besar di ranah virtual reality: HTC menyingkap bukan cuma satu, melainkan dua VR headset anyar sekaligus, yakni HTC Vive Pro Eye dan HTC Cosmos.

Vive Pro Eye, seperti yang bisa kita lihat dari namanya, adalah headset Vive Pro tapi yang sudah diimbuhi dengan fitur eye tracking terintegrasi. Ini berarti perangkat mampu memonitor pergerakan mata sekaligus arah pandangan pengguna, yang pada akhirnya dapat membantu meningkatkan performa VR.

HTC Vive Pro Eye

Penjelasan lebih spesifiknya, perbaikan performa ini diwujudkan berkat teknologi foveated rendering. Teknologi ini memungkinkan perangkat untuk me-render lebih sedikit pixel (hanya pada bagian yang terlihat oleh pengguna saja), dan foveated rendering sendiri tidak mungkin tercapai tanpa ada campur tangan sistem eye tracking.

Sejauh ini HTC masih belum membeberkan spesifikasi lengkap Vive Pro Eye, akan tetapi semestinya tidak berbeda jauh dari Vive Pro, apalagi jika melihat wujud keduanya yang identik. Pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai kuartal kedua 2019, tapi estimasi harganya belum diketahui.

HTC Cosmos / HTC
HTC Cosmos / HTC

Untuk HTC Cosmos, produk ini sejatinya merupakan rival langsung dari Oculus Quest. Keduanya sama-sama merupakan VR headset tipe standalone yang dapat beroperasi secara mandiri. Yang sedikit berbeda, Cosmos rupanya juga bisa ‘meminjam’ tenaga dari PC maupun smartphone ketika diperlukan.

Berbekal sepasang kamera pada bagian depan, kemudian masing-masing satu di sisi kiri dan kanan, Cosmos mampu menawarkan inside-out tracking, yang artinya ia sama sekali tak perlu didampingi kamera maupun sensor eksternal untuk bisa beroperasi sepenuhnya.

Sayangnya, tidak seperti Vive Pro Eye, Cosmos masih belum memiliki jadwal rilis sama sekali. Kalau melihat Oculus Quest yang dijadwalkan dirilis di musim semi nanti, semestinya Cosmos juga tidak jauh-jauh dari itu.

Sumber: Ars Technica.

Kerja Sama Antara McLaren dan HTC Lahirkan Vive Pro McLaren Limited Edition

Bulan Mei lalu, McLaren menjalin kerja sama dengan HTC sebagai bagian dari upaya mereka mengembangkan program esport-nya, Shadow Project. Kemitraan tersebut secara otomatis menjadikan HTC Vive Pro sebagai perangkat VR resmi untuk kompetisi esport yang diselenggarakan sang produsen supercar asal Inggris.

Salah satu agenda kolaborasi keduanya adalah merilis edisi khusus Vive Pro. Dijuluki Vive Pro McLaren Limited Edition, logo McLaren beserta aksen oranye khasnya tampak kontras pada headset maupun controller-nya. Yang dibundel sejatinya sama persis seperti Vive Pro full kit, tapi dengan imbuhan dua game bertema balap.

Yang pertama adalah rFactor 2 McLaren Edition, game balap karya Studio 397. Yang kedua adalah McLaren Garage VR Experience, yang pada dasarnya merupakan semacam simulator untuk menjadi kru pit stop pada sebuah tim balap. Kedua game ini sebelumnya hanya bisa didapat secara eksklusif oleh pelanggan layanan Viveport.

Sebagai edisi spesial, harganya tentu lebih mahal: $1.549, dibandingkan dengan Vive Pro full kit biasa yang dihargai $1.199.

Dilihat dari perspektif lain, kerja sama antara McLaren dan HTC Vive ini berpotensi memopulerkan tren VR esport yang sejauh ini masih kalah pamor dari esport ‘normal’. Esport tema balapan sudah cukup laris, jadi sekarang waktunya melangkah lebih jauh lagi ke ranah VR.

Sumber: Engadget.

Oculus Go Kedatangan Fitur Casting, Konten Dapat Di-stream ke Smartphone atau Tablet

Dari segi performa, Oculus Go memang tidak semumpuni Oculus Quest yang akan meluncur tahun depan. Namun dengan banderol $200, ia merupakan VR headset yang pantas dibeli semua orang, bahkan termasuk konsumen Oculus Rift seandainya mereka bosan bermain dan hendak bersantai di home theater virtual.

Sebagai perangkat portabel, Oculus Go dapat selalu menemani penggunanya ke mana pun mereka pergi. Terlepas dari itu, tidak ada yang bisa menyangkal fakta bahwa VR headset merupakan gadget yang bersifat privat. Maksudnya, cuma penggunanya sendiri yang bisa menikmati konten yang disajikan.

Itu berarti kita tidak bisa pamer ke orang lain tanpa mempersilakan mereka menggunakannya sendiri. Solusinya, menurut Oculus, adalah fitur Casting yang baru saja mereka rilis versi beta-nya untuk Oculus Go.

Oculus Go Casting

Fitur ini pada dasarnya memungkinkan konten yang tengah tersaji di Oculus Go untuk di-stream ke perangkat mobile. Asalkan smartphone atau tablet-nya terhubung ke jaringan Wi-Fi yang sama seperti Oculus Go, Casting bisa langsung diaktifkan melalui menu Oculus Go.

Ini berarti orang di sekitar kita dapat ikut menyimak apa yang sedang kita mainkan atau tonton di Oculus Go, tanpa perlu meminjam perangkatnya. Jadi semisal pengguna sedang berkunjung ke rumah teman, mereka bisa pamer dan semuanya bisa ikut menyaksikan tanpa harus menggunakan perangkat secara bergantian.

Oculus Go Casting

Kedengarannya sepele memang, tapi fitur ini setidaknya bisa mengurangi kesan bahwa pengguna VR headset adalah manusia-manusia egois yang tidak peduli dengan sekitarnya selagi asyik berada di realita buatan. Sangat disayangkan Casting hanya kompatibel dengan ponsel atau tablet, setidaknya untuk saat ini. Akan lebih menarik lagi jika konten dari Oculus Go juga dapat di-stream ke TV.

Sumber: Oculus.

Oculus Rift Cuma Cocok untuk Gaming, Layanan Video On-Demand-nya Dihentikan

Apa fungsi VR headset selain untuk gaming? Tidak ada, kalau konteks yang dibicarakan adalah VR headset kelas desktop macam Oculus Rift. Bukankah penggunanya juga bisa menikmati video 360 derajat? Ya, namun potensi besar perangkat itu sebaiknya diarahkan ke gaming saja sepenuhnya.

Kalau Anda tidak percaya, coba lihat kebijakan terbaru yang ditetapkan Oculus. Mereka baru saja menghentikan layanan video on-demand (VOD) untuk Oculus Rift, yang berarti pengguna headset tersebut tak lagi bisa membeli atau menyewa video untuk ditonton menggunakan perangkatnya masing-masing.

Buat yang sudah terlanjur membeli, koleksi videonya masih bisa dinikmati sampai 20 November nanti, namun Oculus juga berencana untuk mengganti pengeluaran konsumen Rift di layanan VOD-nya selama ini. Kalau memang masih ngotot ingin menonton video 360 derajat, toh masih ada sajian dari platform seperti Facebook 360.

Keputusan ini didasari observasi Oculus yang menyimpulkan bahwa mayoritas konsumen Rift menggunakan perangkatnya murni untuk gaming. Lain halnya dengan Oculus Go, yang lebih diarahkan ke multimedia mengingat spesifikasinya memang lebih ‘lemah syahwat’.

Itulah mengapa layanan VOD masih bakal bisa diakses oleh konsumen Oculus Go. Yang masih tanda tanya adalah Oculus Quest, namun dugaan saya perangkat itu juga akan diperlakukan seperti Rift saat dirilis tahun depan, mengingat spesifikasinya memang jauh lebih mumpuni ketimbang Go.

Sumber: Variety.

Google Singkap Controller Eksperimental untuk VR Headset Lenovo Mirage Solo

Lenovo Mirage Solo yang dirilis pada bulan Januari lalu adalah VR headset tipe standalone pertama untuk platform Google Daydream. Selain dapat beroperasi sendiri tanpa perlu tersambung ke PC maupun diselipi smartphone, perangkat itu juga mengemas hardware yang kapabel untuk tracking 6DoF (six degrees of freedom), yang memungkinkan pergerakan tubuh pengguna di dunia nyata untuk merepresentasikan pergerakannya di dunia virtual.

Biasanya, kapabilitas seperti ini hanya bisa terwujud dengan bantuan sensor atau kamera eksternal, seperti kasusnya pada HTC Vive. Di sini, sensor pada headset akan langsung melacak posisi controller guna mengestimasikan koordinat pengguna. Itu berarti controller-nya pun juga harus mengemas sensor yang kapabel, dan sayangnya itu tidak terjadi pada Mirage Solo.

Headset-nya memang mendukung tracking 6DoF, tapi ternyata controller-nya tidak, sehingga pada akhirnya pengalaman VR yang ditawarkan platform Daydream masih belum bisa se-immersive HTC Vive. Namun ke depannya ini sudah pasti bakal dibenahi, dan indikasinya sudah mulai terlihat sekarang.

Kepada para developer, Google baru saja menyingkap controller 6DoF untuk headset Daydream tipe standalone, spesifiknya Lenovo Mirage Solo tadi. Controller eksperimental ini dilengkapi sejumlah tombol, termasuk sebuah touchpad kecil yang juga dapat diklik. ‘Bola’ di bagian ujungnya adalah bagian yang akan dilacak oleh sensor pada headset.

Lenovo Mirage Solo
Lenovo Mirage Solo / Lenovo

Di samping controller khusus, tracking 6DoF pada platform Daydream rupanya juga banyak bergantung pada software, spesifiknya machine learning. Ini dibutuhkan untuk mengestimasikan posisi dan orientasi controller dalam konteks 3D secara akurat. Pemanfaatan software jelas jauh lebih ekonomis ketimbang mengandalkan hardware ekstra.

Sebelum konsumen dapat membelinya, developer bakal lebih dulu kebagian jatah supaya mereka bisa mengembangkan konten yang sesuai. Google juga sama sekali tidak menyinggung soal perilisannya untuk publik, bisa jadi skenario itu baru terwujud ketika headset Daydream standalone generasi kedua meluncur.

Pada kesempatan yang sama, Google turut mengumumkan fitur untuk headset Daydream standalone bernama “See-Through Mode”. Fitur ini memungkinkan pengguna headset untuk melihat kondisi di sekitarnya menggunakan kamera yang tertanam di sisi depan perangkat, sehingga konten AR pun juga dapat dinikmati menggunakan headset yang sama.

Sumber: Road to VR dan The Verge.

Google Luncurkan Chrome untuk VR Headset Daydream

Google merancang Chrome supaya dapat digunakan di semua perangkat dan platform. Namun sampai kemarin masih ada yang terlewatkan, yakni Daydream VR bikinan Google sendiri. Beruntung Google sudah menyadarinya sejak lama, dan baru saja merilis Chrome untuk Daydream.

Bukan cuma headset Google Daydream View yang kebagian jatah, tapi juga yang bertipe standalone seperti Lenovo Mirage Solo. Pada prakteknya, Chrome edisi VR ini justru lebih berguna di VR headset tipe standalone macam Mirage Solo, sebab kalau dengan Daydream View asumsinya Anda bisa membuka browser lewat smartphone.

Google memastikan bahwa semua fitur Chrome versi desktop maupun mobile juga tersedia di sini, mulai dari bookmark, incognito mode sampai voice search. Tidak ketinggalan juga fitur yang diracik khusus untuk Chrome versi Daydream, yakni Cinema Mode, yang akan mengoptimalkan tampilan video dalam medium VR.

Kehadiran Chrome di Daydream ini juga berarti konsumen dapat menikmati konten VR lebih banyak lagi. Pasalnya, sejak tahun lalu Chrome sudah mengemas dukungan standar WebVR. Jadi seandainya ada konten VR yang tidak dikemas menjadi aplikasi oleh pengembangnya, pengguna headset Daydream masih bisa menikmatinya secara immersive lewat Chrome.

Sumber: Google.

HTC Demonstrasikan Multi-Room VR dengan Vive Pro dan SteamVR 2.0

Salah satu alasan untuk membeli HTC Vive Pro ketimbang Vive orisinil, di samping peningkatan kualitas visual, adalah antisipasi fitur baru yang akan datang. Salah satunya adalah dukungan atas platform SteamVR 2.0 yang tengah Valve matangkan, yang diklaim mampu mewujudkan tracking dalam area yang lebih luas daripada sebelumnya.

Area yang lebih luas itu pun tidak harus berupa satu ruangan besar, tapi bisa juga yang terdiri dari beberapa ruangan sekaligus. Dan ini telah didemonstrasikan sendiri oleh HTC lewat sebuah video yang diunggah ke Twitter oleh Alvin Wang Graylin selaku petinggi Vive Tiongkok.

Dalam video tersebut, tampak seorang pengguna Vive Pro berpindah dari satu ruangan menuju ke dua ruangan lainnya. Di setiap ruangan telah terpasang masing-masing dua base station SteamVR 2.0, sehingga ketika dilihat dari headset, ketiga ruangan itu membentuk satu area virtual yang luas.

Bisa dilihat juga bahwa sang pengguna Vive Pro mengambil controller baru setiap kali ia berpindah ruangan, membuktikan bahwa ia dapat mengetahui keberadaan controller tersebut secara fisik meski matanya sedang tertutupi headset, sekaligus membenarkan klaim Valve soal kehebatan kinerja tracking SteamVR 2.0.

Itu baru enam base station, sekarang bayangkan apa yang bisa kita lakukan dengan 16 base station, yang menurut Alvin juga sempat mereka uji coba meskipun tidak ada videonya. Kendati demikian, sepertinya kita masih harus menunggu cukup lama sebelum multi-room VR ini dapat terealisasi.

Alan Yates yang mewakili Valve menjelaskan bahwa untuk sekarang SteamVR baru bisa memonitor keberadaan empat base station dalam satu kesempatan. Singkat cerita, masih banyak yang harus dikerjakan Valve sebelum multi-room VR bisa terwujudkan.

Sumber: UploadVR.