Laporan JustWatch: Netflix Kuasai Pangsa Pasar Video Streaming Indonesia Sepanjang 2023

Netflix menjadi pemimpin pasar video streaming di Indonesia pada kuartal 4 2023 menurut laporan termutakhir yang dirilis oleh JustWatch. OTT asal Amerika Serikat ini stabil menguasai pangsa pasar selama tiga kuartal berturut-turut (Q2-Q4) sepanjang 2023, dengan angka 23%, 24%, 24%.

Menyusul Netflix, ditempati oleh Disney+ Hotsar yang tumbuh stabil di urutan kedua, hampir tiga kali lebih besar dari Prime Video. Pangsa pasarnya hanya beda 2% dari Netflix, yakni 22% pada Q4 2023. JustWatch juga mencatat pertumbuhan positif dari Iflix dan Viu. Masing-masing sebesar 16% dan 12%.

Satu-satunya OTT lokal, Vidio berada di urutan ke-5 untuk pangsa pasar sepanjang 2023. Di Q4 saja, Vidio memiliki pangsa pasar sebesar 11%. Angka ini hanya naik 1% dari tiga kuartal sebelumnya yang stabil di angka 10%.

Pengguna berbayar

Selain JustWatch, sebelumnya laporan lainnya yang dipublikasi Media Partner Asia (MPA) Media Partner Asia (MPA) mengungkapkan, Vidio memiliki 4 juta pelanggan berbayar alias terbanyak di Indonesia sepanjang 2023. Viu menyusul di posisi selanjutnya dengan lebih dari 3,5 juta pelanggan.

Posisi selanjutnya diisi oleh Disney+ Hotstar, jumlah pelanggannya beda tipis dengan Viu. Terakhir, diisi oleh Netflix dengan jumlah pelanggan berbayar sebanyak lebih dari 2 juta orang.

Diestimasi konten video di Asia Pasifik telah mencapai pendapatan $145 miliar pada 2023 dan diperkirakan terus bertumbuh sampai $165 miliar pada 2028 mendatang. Industri ini terus mengalami pergeseran signifikan dari TV ke platform online dalam hal konsumsi, keterlibatan, dan monetisasi.

Salah satu bisnis yang terdorong atas tren tersebut adalah SVOD (subscription video on-demand).

“Setelah melemah pada Q2 2023, pasar SVOD Indonesia telah pulih dengan permintaan yang lebih berkelanjutan berkat konten olahraga, lokal, dan Korea. Konten olahraga dan lokal tetap menjadi mesin utama bagi Vidio yang telah memimpin pertumbuhan kategori pada Q4 tahun 2023 dan diperkirakan akan tumbuh dengan pesat pada tahun 2024 dengan keseluruhan kategori diperkirakan akan menambah 1,3 – 1,4 juta pelanggan baru pada tahun 2024,” ujar CEO Media Partners Asia Vivek Couto.

Rangkuman OTT 2022: Disney+ dan Netflix Kuasai Pangsa Pasar Indonesia

Perkembangan video streaming terus menjadi isu yang menarik bagi Indonesia dengan populasi terbesar keempat di dunia. DailySocial.id mengompilasi berbagai sumber mengenai persaingan platform OTT populer yang banyak digunakan oleh orang Indonesia dan konten apa yang paling banyak dinikmati sepanjang 2022.

Dalam data termutakhir yang dirilis JustWatch, Disney+ Hotstar mendominasi pasar OTT dengan persentase pangsa pasarnya mencapai 23%. Kemudian, secara berurutan disusul Netflix (21%), iflix (15%), Viu (12%), Vidio (10%), Prime Video (9%), HBO GO (7%), dan lainnya (3%).

Vidio kembali menjadi satu-satunya platform OTT lokal, dengan angka dua digit melesat dari tahun sebelumnya.

JustWatch

Angka pangsa pasar ini semakin berbicara jika membandingkan pertumbuhannya dari data di 2021. Saat itu, Netflix jadi pemimpin dengan pangsa pasar 21% dan Disney+ sebesar (22%). Sementara itu, Vidio angkanya masih single digit (5%) berada di urutan ke-7, setelah Prime Video.

Informasi menariknya, meski baru seumur jagung Prime Video mampu mencetak pertumbuhan yang signifikan. OTT ini baru resmi di Indonesia pada 1 Agustus 2022, bersamaan dengan negara ASEAN lainnya, yakni Thailand dan Filipina. Dalam data JustWatch, pada 2021, pangsa pasar Prime Video saat itu berada diangka 7%.

Data regional

Dalam laporan bertajuk “SEA Online Video Consumer Insights & Analytics”, di lima negara ASEAN (Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand), Netflix dan Viu mengambil posisi tiga teratas dengan jumlah pelanggan berbayar tertinggi dan pangsa pasar gabungan sebesar 52%.

Dipaparkan juga sepanjang tahun lalu terdapat 48,4 juta pelanggan yang membayar layanan SVOD (subscription video on demand), dengan pertumbuhan hampir 4,6 juta pelanggan baru pada kuartal IV 2022. Ini adalah pertumbuhan tertinggi sejak kuartal II 2021 dengan angka 5,1 juta pengguna baru.

Bila dikompilasi pengguna berbayar yang baru bergabung sepanjang 2022 saja sebanyak 11,8 juta orang. Indonesia disebutkan berkontribusi 50% terhadap pertumbuhan di kuartal IV dan 51% untuk keseluruhan tahun 2022.

Sementara itu, Vidio dan Viu menjadi kontributor terbesar dengan menyumbang 51% dari pelanggan baru. “Kedua platform telah membangun corong akuisisi pelanggan yang kuat melalui model freemium, dengan fokus yang berkembang pada konten berbayar dan pelanggan,” kata laporan itu.

Indonesia dan Thailand tetap menjadi pasar SVOD terbesar di Asia Tenggara pada 2022, mempertahankan 75% agregat langganan SVOD. Netflix, Viu, dan Disney memiliki 52% dari total langganan SVOD di Asia Tenggara.

Analis MPA menyampaikan, upaya pelokalan Prime Video di Indonesia, Filipina, dan Thailand sukses membuat daya tarik yang kuat dengan penambahan bersih 400 ribu pengguna baru. Indonesia menjadi pasar terkuat bagi OTT milik Jeff Bezos tersebut, momentumnya didorong oleh konten dari Korea dan lokal.

Tak hanya itu, Prime Video juga meniru strategi awal yang digunakan Disney+, yakni menggandeng eksklusif operator telekomunikasi dengan basis pengguna terbesar di Indonesia, Telkomsel. Dalam kerja sama tersebut, setiap pembelian paket data pengguna dapat menikmati konten di Prime Video tanpa batas. Terdapat pula tim lokal terdedikasi yang bertugas untuk memasarkan konten dengan skala penuh, sehingga pengalamannya benar-benar dilokalkan.

Kendati Amazon agak terlambat memperkenalkan layanannya di ASEAN. Namun, potensi dari industri video streaming yang ditawarkan di kawasan ini sebesar 180 juta konsumen dengan 8 miliar jam konten OTT per bulan di seluruh wilayah, menurut sebuah studi dari The Trade Desk, membuat pencapaiannya cukup mengesankan.

Lokalisasi konten

Menurut laporan Nielsen Streaming Content Ratings, dipaparkan Vidio unggul sebagai OTT lokal yang memproduksi 40 konten seri original dalam setahun. Jumlahnya melebihi gabungan seri yang didanai oleh Netflix hingga Disney+ di Indonesia.

Strategi tersebut sukses mengantarkan OTT milik Emtek ini menjadi OTT dengan pertumbuhan konsumsi tertinggi di luar YouTube. Setelah Vidio, posisi selanjutnya diisi oleh Disney+, Netflix, Viu, RCTI+, iQiyi, dan Vision+. Laporan ini berdasarkan survei terhadap 3.700 individu di lebih dari 11 kota besar di Indonesia. Penelitian dilakukan selama Juni-Agustus 2022.

Nielsen juga memaparkan tiap platform memiliki karakternya masing-masing dalam menarik penonton (data per Juli 2022):

  • Vidio: konten lokal dan olahraga
  • Netflix: film dan serial internasional
  • Disney+ Hotstar: film anak dan keluarga
  • Viu: konten Asia/Korea
  • RCTI+: konten olahraga dan sinetron
  • iQiyi: konten Asia dan barat

Poin menarik lainnya yang diungkap adalah profil pengguna OTT (khususnya SVOD) didominasi oleh kelas atas (60%). Nielsen mengkategorikan SVOD ini adalah Netflix dan Disney+. Kedua, kategori AVOD (advertising video on demand) didominasi oleh kelompok menengah (51%), yang terdiri dari platform Vidio, RCTI+, Vision+, iQiyi, dan Viu. Komposisi kelompok menengah terbesar terpusat di linear TV dengan porsi 58%.

Nielsen
Nielsen

MPA lebih merinci mengenai Vidio. Menurut laporan MPA, di Indonesia, Vidio memimpin interaksi video online premium dengan pangsa 25% pada tahun 2022. Piala Dunia FIFA Vidio adalah kontributor utama pertumbuhan. Setelah Piala Dunia, tingkat churn akan ditentukan oleh permintaan pelanggan akan sepak bola lokal dan internasional baru serta serial drama lokal baru.

Lebih lanjut, laporan tersebut paparkan dari seluruh platform SVOD, konten AS mendominasi dengan pangsa pasar 32%, disusul Korea (25%). Sementara di Indonesia, konten lokal menguasai 23% pangsa pasar pemirsa untuk tahun tersebut di pasar Asia Tenggara.

Direktur eksekutif MPA Vivek Couto memperkirakan tahun 2023 para pemain OTT akan sangat terfokus pada retensi pelanggan, manajemen churn, dan penerapan kenaikan harga, terutama di pasar seperti Indonesia yang padat prabayar.

“Pemain kunci akan terus berinvestasi dalam pelokalan dan pemasaran strategis konten premium Korea, AS, dan olahraga, tetapi dengan latar belakang dan mantra investor efisiensi modal,” tambahnya.

MPA

Netflix

Melanjutkan dari laporan MPA, diprediksi investasi konten lokal Netflix mencapai $1,9 miliar pada tahun ini (mewakili 47% pendapatan) akan didorong oleh Korea dan Jepang, diikuti oleh India, Australia, dan sebagian Asia Tenggara. Menurut analis MPA Dhivya T, investasi konten Netflix di APAC ini memiliki dampak global.

“Serial dan anime Jepang, bersama dengan drama dan film Korea, serta film dari Indonesia dan India, telah menempati peringkat tinggi di antara judul streaming teratas secara global selama 12 bulan terakhir hingga Januari 2023,” kata dia.

Sepanjang 2022, Netflix merilis 29 drama Korea eksklusif, enam di antaranya berada di antara 10 judul dengan pencapaian teratas di APAC pada tahun 2022, menurut anak perusahaan MPA, AMPD Research.

MPA

Menariknya, laporan ini berpendapat bahwa drama Korea adalah kategori video premium streaming teratas, merebut hampir 32% dari total penayangan. Akan tetapi Dhivya menambahkan, masih perlu dilihat apakah Netflix akan terus berinvestasi sebanyak tiga hingga tujuh drama Korea baru per kuartal karena laba atas investasi yang masih minim, namun biayanya yang mahal.

Sementara, dalam skala regional APAC, disoroti ada empat konten unggul Netflix dari masing-masing negara, seperti Mismatched (India), The Whole Truth (Thailand), Mom, Don’t Do That! (Taiwan), dan The Big 4 (Indonesia). MPA memprediksi di antara delapan pasar terbesar Netflix di APAC, India dan Indonesia akan tetap menjadi pertumbuhan tertinggi.

Pasalnya, pada kuartal IV 2022, terdapat sembilan film original dari India yang berhasil mendorong jumlah tayangan dan pertumbuhan ARPU (average revenue per user) yang kuat.

Disinyalir jadi salah satu cara untuk mendongkrak jumlah pengguna, pada Februari 2023, Netflix menurunkan biaya langganan. Paket Dasar (Basic) dari sebelumnya Rp120 ribu menjadi Rp65 ribu/bulan dan Paket Standar dari Rp153 ribu jadi Rp120 ribu.

Viu

Diversifikasi konten tak hanya dari Korea, juga telah jadi agenda Viu di tengah persaingan yang ketat. MPA mencatat, tiga hingga lima drama Korea eksklusif Viu per kuartal II-IV mendorong pertumbuhan pelanggan. Dikombinasikan dengan konten variety show maupun drama memberikan diferensiasi kompetitif.

“Upaya menghadirkan konten original dan akuisisi konten free-to-air (FTA) juga berdampak dalam mempertahankan pelangggan.”

CEO Viu dan Managing Director PCCW Media Group Janice Lee mengatakan, konten Viu Original diperluas dan kemitraan distribusi yang ditingkatkan pada tingkat lokal dan regional mendorong pertumbuhan pengguna baru Viu, meningkatkan engagement, dan menghasilkan pertumbuhan yang kuat pada SVOD dan pendapatan AVOD pada 2022.

“Melihat ke depan pada tahun 2023, kami terus fokus untuk menghadirkan rangkaian penawaran konten yang hebat kepada audiens kami, dengan sebagian besar pasar kembali ke masa pra-pandemi [..],” papar Lee.

Induk Viu, PCCW Limited, mencatatkan pertumbuhan pendapatan sebesar 45% menjadi $206 juta sepanjang 2022 dan mencapai EBITDA positif untuk tahun pertama. Pengguna aktif bulanan (monthly active user/MAU) tumbuh 13% year-on-year menjadi 66,4 juta dan pelanggan berbayar tumbuh lebih dari 45% menjadi 12,2 juta. Tidak dijabarkan kontribusi pengguna dari 16 negara di mana Viu beroperasi.

Viu

Akan tetapi, diklaim pencapaian tersebut membuat Viu berada di posisi teratas dalam kategori MAU selama 12 kuartal berturut-turut dan peringkat kedua dalam pelanggan berbayar, serta menit streaming di seluruh wilayah Asia Tenggara.

Pada tahun lalu, Viu menyajikan sejumlah Viu Original, seperti Again My Life, The Law Cafe, dan Reborn Rich. Drama terakhir ini juga didistribusikan secara global ke lebih dari 170 negara. Perusahaan menjamu para aktor untuk mengunjungi para penggemar dan berinteraksi langsung. Menurut Lee, aktivitas di luar layar ini akan terus dilakukan dalam rangka meningkatkan engagement secara langsung.

“Memasuki tahun 2023, dengan pertumbuhan yang baik pada MAU maupun pelanggan berbayar, strategi Viu adalah menghadirkan konten yang hebat dan lebih banyak pengalaman tatap muka kepada para penggemar sambil memanfaatkan pertumbuhan yang kuat dalam langganan premium dan pasar iklan digital di seluruh wilayah,” pungkasnya.

6 Aplikasi Nonton Drama Korea Terbaik di Android

Industri hiburan Korea Selatan saat ini memang semakin digandrungi. Baik itu musik maupun seni peran, terkhusus drama berseri. Selain karena visualnya yang tampan dan cantik, tidak bisa dipungkiri drama dari negeri gingseng ini sangat begitu niat diciptakan dengan adegan yang patut diacungi jempol.

Jika di negaranya sendiri masyarakat dapat menikmati melalui televisi, sudah banyak lho bertebaran aplikasi on demand bagi penggemar internasional. Platform ini sendiri beberapa diantaranya memang dirancang dan bekerja sama secara resmi dengan rumah produksi drama-drama tersebut.

Tapi, kalau kamu masih modal gratisan yang bebas bayaran juga ada! Simak sampai habis ya!

Bahkan ada juga yang memuat tayangan gratis drama yang begitu populer. Apa saja? Berikut DailySocial.id sebutkan satu persatu:

VIU

Aplikasi nonton di VIU
VIU sebagai salah satu aplikasi nonton Kdrama yang sudah lama populer (Google Play)

Bagi penggemar lama drama Korea, aplikasi ini mungkin udah gak asing. Dapat dikatakan aplikasi VIU adalah surganya Kdrama. Banyak drama populer dimuat dalam aplikasi ini demi memenuhi keinginan penonton secara on demand dan mudah dijalankan.

Sudah menyediakan fitur terjemahan, penonton internasional tidak perlu khawatir akan kendala bahasa. Konten premiumnya sendiri terhitung murah mulai dari 30 ribu rupiah perbulan. Jika kamu pengguna gratis-an, siap-siap ketemu banyak iklan ya. Namun, seringkali VIU mengadakan event seru nonton gratis banyak judul drama, lho.

Tak hanya drama, variety show populer seperti Running Man, My Ugly Duckling, Knowing Brothers dan lainnya juga tersedia. Jadwal tayang yang berdekatan dengan penayangan aslinya membuat penonton gak khawatir tertinggal. Rilis subtitle sendiri cukup membutuhkan waktu 1-2 hari.

Kekurangannya sendiri, VIU termasuk aplikasi yang sering mengalami upgrade dan tidak bisa digunakan jika pengguna tidak segera melakukannya.

Netflix

Aplikasi nonton Netflix
Netflix sebagai salah satu platform nonton dengan banyak tayangan (Google Play)

Jika dulu Netflix dikenal sebagai platform film dan serial Barat, dengan pesatnya minat hiburan Korea Selatan di kalangan internasional. Netflix mulai bekerja sama dengan industry Hallyu tersebut dan melahirkan beberapa drama original yang sayang untuk dilewatkan.

Beberapa judul seperti Law School, Squid Game, Sweet Home secara eksklusif hanya dapat ditonton melalui Netflix. Sayangnya Netflix tidak memiliki fitur gratis,  pengguna dapat mengeluarkan biaya mulai 54 ribu perbulan hanya untuk device smartphone.

iQIYI

APlikasi nonton iQIYI
iQIYI juga dipenuhi banyak drama Asia (Google Play)

Bagi kamu penikmat tayang Asia, iQIYI bisa menjadi pilihan selanjutnya termasuk untuk nonton drama Korea. Subtitle multi bahasa membantu penonton lebih memahami konten video, mendukung cache offline dan proyeksi TV, pengalaman menonton layar besar yang lebih baik.

Bagi pengguna VIP dapat menikmati tayangan tanpa iklan, kualitas tinggi Blu-ray 1080P, dan efek suara Dolby. Melalui fitur histori tontonan penonton tak perlu khawatir menunda tontonan. Jika kamu sedang bingung ingin menonon apa, iQIYI juga menyediakan kolom “Top 10” berisi tayangan yang sedang ramai ditonton.

Sayangnya pengguna sering mengeluhkan tampilan subtitle yang tidak nyaman.

WeTV : Asian & Local Drama

Aplikasi nonton wetv
WeTV kini mulai populer di Indonesia (Google Play)

WeTV juga menjadi salah satu platform aplikasi menonton yang dipenuhi drama dari berbagai negara di benua Asia. Bahkan aplikasi video on demand ini cenderung dipenuhi drama dari Indonesia.Namun tidak usah khawatir, berbagai drama populer asal Korea juga dimiliki platform dengan biaya langganan mulai dari 25 ribu rupiah perbulan.

Mudahnya fitur pembayaran, didukung dengan berbagai jenis resolusi menyesuaikan keingian penonton. Serta fitur download sehingga penonton bisa menyimpan tayangan yang ingin ditontonnya nanti. Beberapa tayangan asing bahkan di dubbing ke dalam Bahasa Indonesia.

Pada sistem operasi android, beberapa pengguna mengeluhkan play button terletak diujung dengan ukuran kecil. Hal ini menggangu karena penonton tidak dapat secara mudah menjeda dan memainkan tayangan tanpa keluar dari video yang diputar.

Disney+ Hotstar

"Aplikasi

Disney+ Hotstar mungkin sebelumnya dikenal penuh dengan serial Barat. Namun kemunculan drama Korea Snowdrop yang dibintangi Jisoo Blackpink semakin mengenal Disney+ sebagai salah satu aplikasi nonton Kdrama terbaik. Beberapa drama eksklusif diproduksi Disney+ dengan jalan cerita yang cukup unik.

Kamu gak perlu khawatir deh kekurangan tontonan di Disney+. Apalagi susunan tampilannya dibuat senyaman mungkin menyesuai rumah produksi dan asal negara tayangan acara. Begitu selesai dengan satu tayangan, kamu langsung mendapat rekomendasi tayangan sejenis.

Sayangnya Disney+ masih memiliki keterbatasan mengunduh video untuk ditonton offline. Software ini hanya bisa mengunduh  5 video dan menghapus video lama secara otomatis dari penyimpanan aplikasi.

Drakor.ID

Aplikasi nonton drakor.id
Drakor.ID hadir secara gratis dengan fitur cukup baik (Google Play)

Sesuai namanya, Drakor.id memang diciptakan untuk memenuhi keiginan pecinta drama Korea. Aplikasi streaming ini dapat digunakan kapan saja mengandalkan Wi-Fi atau koneksi data, juga fitur download untuk taynagan offline.

Sebagai aplikasi gratis, Drakor.id sudah cukup unggul dalam beberapa hall oh. Mulai dari fitur Riwayat nonton dan bookmark film, backup Riwayat, serta pencarian berdasarkan genre dan judul.

Namun beberapa pengguna mengeluhkan kesulitan membuka drama tertentu meskipun koneksi internet berjalan baik.

Berdasarkan aplikasi-aplikasi di atas yang direkomendasikan banget, yang mana nih pilihanmu?

Cara Nonton Drama Korea Online dengan Smartphone

Ada banyak cara yang ditempuh untuk mengisi waktu selama WFH. Beberapa orang memilih bercocok tanam di pekarangan, beberapa lainnya memilih memelihara ikan, dan sebagian lainnya lebih memilih bersantai, nonton drama Korea online dari smartphone atau PC.

Continue reading Cara Nonton Drama Korea Online dengan Smartphone

Lanskap Platform “Video On-Demand” di Indonesia

Mengamati 3-4 minggu terakhir, di daftar 50 aplikasi terpopuler di Google Play untuk kategori Entertainment di bagian “top free” dan “top grossing” selalu bertanggar beberapa platform video on-demand (VOD), misalnya Viu, WeTV, iQIYI, Video, Netflix, iflix, HBO Go, Amazon Prime Video, dan GoPlay. Peringkatnya cukup fluktuatif naik dan turun, kendati beberapa platform anteng di posisi sepiluh besar.

Di luar peringkat itu sebenarnya masih ada platform lain yang juga jajakan layanan serupa, misalnya Catchplay, Mola TV, KlikFilm, UseeTV Go, dan lain-lain. Di kategori ini Google mencampurkan beberapa tipe aplikasi termasuk video live streaming dan layanan hiburan lainnya.

Peringkat aplikasi video streaming di Indonesia

Di waktu bersamaan, terjadi beberapa goncangan bisnis di lanskap ini yang memberikan dampak kepada dua pemain yang sebelumnya cukup populer. Penyebabnya relatif sama, soal isu finansial di internal perusahaan.

Jika Hooq akhirnya memilih undur diri, iflix masih berusaha bernapas panjang dengan menyerahkan kepemilikan perusahaan ke raksasa Tiongkok, Tencent. Tencent sendiri juga menjadi penyokong platform serupa WeTV – yang mulai merangkak populer di pasar Indonesia.

Peta persaingan kini menjadi semakin menarik. Pertama, GoPlay belum lama ini membukukan pendanaan secara independen untuk menggenjot penetrasi layanan dan tingkatkan kualitas konten orisinal. Sementara Netflix berhasil mencapai kesepakatan sehingga tidak lagi diblokir oleh operator terbesar di tanah air, Telkom Group.

Cakupan layanan

Pasar Indonesia saat ini dikepung banyak layanan VOD. Jika ditinjau dari cakupan pasarnya, para pemain tersebut bisa dipetakan menjadi tiga kategori: pemain lokal, pemain regional, dan pemain global. Kebanyakan masing-masing didukung oleh perusahaan besar yang berniat untuk menjamah pangsa pasar Over The Top (OTT).

Vidio, misalnya, dioperasikan anak perusahaan grup korporasi EMTEK yang memang berkecimpung di dunia media hiburan. Ada juga Viu, anak usaha PCCW Limited sebagai operator telekomunikasi terbesar di Hong Kong. iQIYi, platform VOD asal Tiongkok diinisiasi raksasa internet Baidu; dan lain sebagainya.

Aplikasi Video on-demand di Indonesia

Cakupan platform tersebut banyak berpengaruh pada konten-konten yang menjadi sajian utama. Digagas perusahaan tanah air, layanan-layanan lokal banyak fokus menyajikan film dan serial lokal. Seperti yang dilakukan GoPlay saat debutnya, mereka mengadaptasi serial Gossip Girl asal Amerika Serikat dalam versi Indonesia dan dibumbui cita rasa cerita lokal. Sementara RCTI+ menyajikan tayang live streaming dan on-demand dari acara-acara yang tayang di stasiun TV milik grup MNC tersebut.

WeTV dan iQIYi hadir dari perusahaan asal Tiongkok, sehingga konten film dan serial yang dihadirkan pun kebanyakan adalah acara yang dirilis rumah produksi setempat. Sementara Viu, yang sedari awal difokuskan untuk pasar regional, mencoba merangkul pasar dengan mengakomodasi berbagai serial drama Asia – menyajikan konten populer yang diproduksi di beberapa negara seperti Korea Selatan, Jepang, India dll.

Untuk pemain global yang sudah bisa diakses di Indonesia, misalnya Netflix, HBO Go, dan Amazon Prime Video, mereka lebih banyak menyajikan konten-konten dari Hollywood. Walaupun demikian, demi memberikan variasi kepada pengguna, sebenarnya masing-masing aplikasi juga memberikan pilihan konten lain – misalnya Viu yang tetap sajikan film lokal walaupun dengan jumlah yang sangat terbatas.

Cakupan konten aplikasi VOD

Diversifikasi layanan

Di saat sistem pembayaran, kompatibilitas di perangkat, dan biaya layanan makin seragam, strategi adopsi pangsa pasar yang dapat selalu dioptimalkan perusahaan VOD adalah melalui konten. Ditinjau dari aspek tersebut, beberapa pemain mencoba unggul di beberapa area. Misalnya Netflix dan Amazon Prime Video, mereka mencoba unggul dengan sajikan konten-konten orisinal yang hanya bisa ditonton di aplikasi mereka.

Sementara layanan lain, seperti iflix, Catchplay, WeTV lebih banyak menayangkan ulang film atau serial yang sebelumnya sudah ditayangkan, melalui televisi maupun layar bioskop. Aplikasi lainnya seperti Mivo, RCTI+ mencoba hadirkan pengalaman baru menonton TV dari perangkat mobile. Sementara aplikasi seperti Mola dan Bein Connect unggul karena konten eksklusif mereka ke tayangan tertentu.

Beberapa pemain memilih berada di tengah-tengah, seperti Vidio, HBO Go, dan Genflix – cakupan kontennya merangkum beberapa aspek sekaligus. MAXStream juga miliki posisi yang unik, karena ia lebih bertindak sebagai agregator konten dari platform lain.

Persaingan aplikasi video streaming Indonesia

Strategi konten ini sudah berjalan baik untuk beberapa jenis aplikasi. Di tulisan sebelumnya kami sempat merangkum bahwa Viu, Netflix, dan Vidio unggul sebagai aplikasi berbayar paling laris, karena menjawab kebutuhan masyarakat akan tontonan yang relevan.

Jika penonton ingin menyaksikan drama Asia, seperti serial Korea, maka sejauh ini jawabannya adalah Viu. Penonton ingin saksikan serial Hollywood, maka Neflix jadi pilihan. Sementara bagi yang ingin saksikan ragam film (lawas) Indonesia dan tayangan televisi, Vidio bisa menemani di perangkatnya.

Viu dan Netflix Bersaing Jadi Platform “Video on Demand” Berbayar Terpopuler di Indonesia

Ketenaran platform OTT semakin bersinar di tengah pandemi. Survei yang diselenggarakan DailySocial dan Populix, pada April lalu, menunjukkan bahwa aplikasi hiburan jatuh pada pilihan kedua (66%) untuk menjawab pertanyaan aktivitas online apa saja yang paling banyak digunakan orang Indonesia selama pandemi.

Di luar YouTube yang sifatnya freemium, Netflix dan Viu adalah dua platform berbayar yang mendapatkan antusiasme tinggi dari responden. Survei ini menarik untuk ditelaah lebih lanjut dengan dipadukan sumber-sumber data lainnya.

Berdasarkan dari data yang dimiliki DailySocial, pada April dan Mei ini Viu berada di posisi pertama untuk pengguna aktif dan total waktu yang dihabiskan di antara para pemain video on demand di Indonesia. Posisi kedua ditempati Netflix, disusul iflix, Vidio, WeTV, dan iQiyi.

Total waktu yang dihabiskan pengguna Viu dalam dua bulan tersebut mencapai angka 174,8 juta menit, diikuti Netflix (141,4 juta menit), iflix (36,9 juta menit), Vidio (27 juta menit), WeTV (8,2 juta menit), dan iQiyi (7,8 juta menit).

DailySocial tertarik membandingkan temuan tersebut ke sumber lainnya, yakni SimilarWeb. Hasilnya persis sama. Dengan rentang waktu dari Maret sampai Mei, Viu memimpin untuk metrik pengguna aktif harian (DAU) dan pengguna aktif bulanan (MAU). Rata-rata waktu yang dihabiskan per user setiap harinya mencapai satu jam.

Sementara itu, Netflix unggul dalam metrik sesi per pengguna (sessions per user) yang mencapai 7.67 sesi. Semakin tinggi angka ini bagus buat platform karena berkaitan langsung dengan traffic yang masuk. Waktu yang dihabiskan kurang lebih sama dengan capaian Viu.

Sumber: SimilarWeb
Sumber: SimilarWeb

Satu-satunya platform lokal yang masuk di listing ini adalah Vidio. Aplikasi ini unggul dalam metrik install penetration mencapai 7,72%. Ini adalah persentase dari perangkat smartphone atau tablet yang digunakan secara aktif, dalam pasar yang dipilih, yang memiliki aplikasi yang diunduh selama periode waktu yang dipilih.

Vidio juga unggul untuk metrik MAU yang mencapai 2,51 juta orang. Meskipun demikian, total konsumsi penggunanya hanya separuh pencapaian Viu dan Netflix.

Platform lokal lain, GoPlay, yang baru memperoleh pendanaan, masih memiliki jalan panjang untuk bisa bersaing dengan para pemain yang lain.

Sementara angka-angka yang diraih platform berbayar ini jelas belum bisa bersaing dengan pencapaian YouTube yang merajai industri ini.

 

Sumber: SimilarWeb
Sumber: SimilarWeb

Sumber: SimilarWeb
Sumber: SimilarWeb

Komentar Viu

DailySocial mencoba menghubungi Viu dan Netflix terkait temuan data-data di atas, tetapi hanya Viu yang bersedia. Country Head Viu Indonesia Varun Mehta tidak bersedia berkomentar tentang angka-angka terkini. Akan tetapi, dia sepakat dengan isi laporan “Southeast Asia Online Video Consumer Insights and Analytics: A Definitive Study by Media Partners Asia” untuk kuartal pertama tahun ini. Laporan yang sama DailySocial cantumkan di artikel sebelumnya.

Viu disebut menempati peringkat pertama berdasarkan jumlah pengguna diantara platform streaming video utama, tidak termasuk YouTube, di Asia Tenggara. Berdasarkan waktu yang dihabiskan, Viu ada di posisi kedua, setelah Netflix.

Laporan itu juga menyorot waktu yang dihabiskan per penonton Indonesia tiap minggunya. Viu menduduki posisi kedua, tentunya setelah YouTube. Baru setelahnya ada Catchplay, Netflix, dan OTT lainnya yang bisa disimak dalam grafik di bawah ini.

“Laporan dari MPA cukup akurat [menggambarkan pencapaian Viu],” kata Varun.

Varun menjelaskan, selama pandemi ada kenaikan 30%-35% setiap harinya. Kenaikan ini berdampak pada rata-rata waktu yang dihabiskan per pengguna. Dia mencontohkan untuk pengguna yang merupakan fan base umumnya waktu yang mereka habiskan sekitar 2 jam setiap hari.

“Jadi pas tayang pagi hari subtitle baru ada bahasa Inggris, sudah mereka tonton. Ketika ada subtitle bahasa Indonesia keluar, biasanya mereka tonton lagi. Saya kurang paham mengapa ada tren itu, mungkin mereka ingin lebih mengerti dengan bahasa Indonesia.”

Fakta pendukung lainnya adalah pengguna Viu didominasi oleh kaum perempuan (70%). Mereka ini adalah fan base konten-konten Asia seperti Korea Selatan, Thailand, Jepang yang masing-masing punya penggemarnya.

Setiap hari Viu menayangkan episode terbaru dari serial ongoing yang dinanti para pengguna. Strategi ini berhasil membawa DAU sebesar 386 ribu orang dan rata-rata waktu yang dihabiskan lebih dari satu jam, sesuai dengan durasi tayang tiap episode baru.

Meski konten Asia kini juga mulai rajin diisi Neflix ke dalam katalognya, sayangnya kami belum tahu seberapa efektivitasnya dalam mendongkrak pengguna. Posisi Netfix, sebagai platform global, memiliki kelebihan keberagaman konten yang dapat dipilih pengguna.

Sebagai bukti, Netflix terus menambah katalog secara rutin dari Korea Selatan, negara-negara Skandinavia, India, Timur Tengah, hingga Afrika. Pilihan tontonan jauh lebih kaya dan beragam. Pemilik konten juga semakin diuntungkan karena mereka bisa mendapat penonton dari belahan dunia manapun.

Viu menghindari persaingan langsung dengan Netflix karena cara tersebut terbukti membuat Hooq menyerah dan Iflix berdarah-darah.

Di Indonesia, nasib Netflix mulai mujur karena kerja samanya dengan Kemendikbud. Baru-baru ini serial dokumenter populer Netflix segera hadir di TVRI sebagai bagian dari program Belajar dari Rumah. Ini adalah pertama kalinya di dunia, tayangan Netflix disiarkan saluran televisi.

Mulai 20 Juni 2020, konten andalan seperti “Our Planet”, “Street Food: Asia”, “Tidying Up with Marie Kondo”, “Spelling the Dream”, “Chasing Coral”, dan “Night on Earth” akan tayang setiap Sabtu pukul 21.30 WIB dan tayangan ulang setiap Minggu dan Rabu pukul 09.00 WIB.

Di timing yang bersamaan, Telkom mewacanakan pemblokiran terhadap Netlix akan selesai “dalam hitungan minggu”. Sejak pemblokiran empat tahun lalu, pihak Telkom melihat Netflix sudah banyak berubah, misalnya pengawasan orang tua yang jauh lebih baik dan memiliki take down policy.

Pemblokiran sepihak oleh Telkom sebenarnya dapat dituntut konsumen karena ada hak-hak yang sengaja dihalangi. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengaku belum menerima aduan terkait hal itu dan hanya ramai di media sosial.

Netflix sendiri sudah menyediakan paket berlangganan yang lebih murah, yang memudahkan konsumennya menonton konten hanya melalui ponsel.

Perubahan selera pengguna

Country Manager Viu Indonesia Varun Mehta / Viu
Country Manager Viu Indonesia Varun Mehta / Viu

Cara pengguna Viu dalam mengakses konten juga terbilang unik untuk tiap lokasi. Mereka yang tinggal di pulau Jawa cenderung up-to-date dalam menikmati tontonan, misalnya selalu hadir setiap ada episode terbaru dari serial kesukaannya.

Sedangkan pengguna dari Sumatera sangat bervariasi. Konsumen di Sumatera Barat cenderung menonton konten yang sudah lama terkenal. Sementara pengguna di Sumatera Selatan lebih menyukai tontonan dari Indonesia daripada lainnya.

Taste-nya berubah-ubah terus. Tapi saat tayangan A World of Married Couple, semua penonton dari seluruh Indonesia kompak menonton yang sama.”

Fokus ke konten Asia, menurut Varun, sudah terbukti sesuai hipotesis awal sehingga bisa membawa Viu tetap bertahan hingga kini. Entah dengan membuat konten original dengan bahasa lokal atau adaptasi Asia dari format internasional, memasukkan konten lokal, atau membeli konten regional papan atas.

“Saat pandemi, kami juga menemukan kebiasaan baru bahwa pengguna mulai discover new content, tidak lagi menonton karena sedang viral. Akhirnya terlihat bahwa banyak pengguna yang suka dengan konten original.”

Viu juga mencatat kenaikan traffic Viu dari perangkat smartphone (85%) ketimbang dari perangkat lainnya, seperti TV atau laptop. Tidak hanya konten dari Indonesia, Korea, Jepang, Tiongkok, dan Thailand, kini Viu sudah menerbangkan konten dari India dan Timur Tengah, seperti Turki dan Mesir.

Laporan keuangan PCCW Media, induk usaha Viu, mencatatkan pengguna MAU Viu pada tahun lalu adalah 41,4 juta orang, naik 35% dari tahun sebelumnya. Pengguna Viu menyaksikan 5,7 miliar video, naik 69%. Disebutkan konten original Viu terus memberikan kontribusinya dalam meningkatkan angka pengguna.

VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar yang kami hubungi secara terpisah berkomentar, salah satu dampak pandemi adalah berhentinya penayangan pertandingan olahraga dari berbagai bidang, kecuali konten esports yang tetap berjalan.

Ketika sebagian besar tayangan olahraga berhenti, pihaknya justru menemukan fakta baru bahwa hal tersebut tidak berdampak buruk terhadap performa Vidio.

“Menurut data yang kami terima, walaupun ada penurunan jumlah tayangan dan penonton konten olahraga, ada peningkatan jumlah penonon tayangan film layar lebar, Vidio Original Series, dan tayangan live streaming. Bukan hanya live streaming TV nasional, tapi juga event eksklusif seperti Konser Satu Cara,” terangnya.

Hasil ini membuat pihaknya percaya diri bahwa Vidio tidak hanya kuat dalam sisi konten olahraga saja, namun juga konten lainnya seperti film layar lebar, Korea, Thailand, Tiongkok, drama India, animasi anak, program musik, dan konten edukasi.

Vidio tidak memberikan data terkini mengenai jumlah pengguna aktif dan pengunduhan aplikasi. Rezki hanya memastikan peningkatan cukup signifikan. Menurutnya, sejak membuat program Vidio Bebas Nonton, promosi gratis untuk menikmati konten Vidio, aplikasinya diunduh lebih dari lima juta kali dalam waktu satu bulan. HAl ini menobatkan perusahaan sebagai aplikasi nomor satu paling banyak diunduh pada April di Google Play dan App Store.

“Saat ini, Vidio telah dikunjungi lebih dari 60 juta kali dalam satu bulan. Peningkatan angka pengguna dan unduhan tak hanya di Google Play dan App Store, kami juga mengalami peningkatan unduhan untuk Smart TV sebanyak 700 ribu kali hingga Mei 2020.”

Melihat angka-angka di atas, Rezki menegaskan komitmennya untuk terus berinovasi memberikan produk terbaik dan terbaru, dalam bentuk aplikasi maupun Smart TV, demi kenyamanan konsumen.

“Salah satu kekuatan Vidio adalah perusahaan lokal yang sangat mengerti kebutuhan konsumen lokal, sehingga strategi yang kami lakukan memperkaya konten karena ini adalah segalanya untuk jenis bisnis ini, serta melakukan marketing dan channel distribution yang beragam,” tutupnya.

Berdarah-Darah Rebut Hati Penonton “Streaming” Video

Nafas platform OTT video regional mulai tersengal-sengal memasuki operasional tahun kelima. Asia Tenggara bisa dikatakan sulit untuk menjadi pemain yang dominan di pasar karena karakteristik konsumen yang disasar adalah suka membandingkan harga dan senang dimanja dengan berbagai pilihan. Hooq menjadi platform pertama yang tumbang dengan mengajukan likuidasi akhir Maret lalu.

“OTT video multi-pasar adalah bisnis padat modal dan membutuhkan komitmen investor jangka panjang karena jalur menuju profitabilitas penuh dengan tantangan dan membutuhkan sumber daya yang besar,” ujar Managing Partner Media Partners Asia Vivek Couto dikutip dari Variety.

Dia melanjutkan, “Hooq punya keuntungan sebagai first mover ketika diluncurkan lima tahun lalu. Tetapi mungkin apa yang awalnya dianggap penting secara strategis bagi sebuah grup [Singtel] yang fokus pada pemindahan hulu ke konten karena membawa manfaat dan kedekatan dengan bisnis inti mereka [telekomunikasi], menjadi non-inti bahkan tidak penting jika diperlukan investasi lebih banyak modal untuk skala berhasil di Asia Tenggara.”

Laporan keuangan Hooq pada Maret 2019 menunjukkan hasil yang kurang memuaskan. Pendapatan naik jadi $21,9 juta dari periode yang sama di tahun sebelumnya $10 juta, namun dibarengi kenaikan rugi sebelum pajak jadi $62,5 juta dari $56,6 juta.

Hooq secara implisit “menyalahkan” lanskap market dan perusahaan lain atas kejadian ini. Dalam keterangan resminya, perusahaan menyebut selama lima tahun terakhir terjadi “perubahan struktural yang signifikan dalam pasar video OTT dan lanskap kompetitifnya”.

“Biaya konten tetap tinggi dan kemauan konsumen di negara berkembang untuk berlangganan meningkat naik bertahap di tengah serangkaian pilihan yang meningkat. Karena perubahan ini, model bisnis yang layak untuk platform independen OTT menjadi semakin ditantang.”

Di belakang Hooq, nafas Iflix ikut tersengal-sengal sejak pertama kali beroperasi di 2014. Mereka merumahkan lebih dari 50 karyawan. CEO Iflix Marc Barnett menerangkan ini adalah respons perusahaan terhadap ketidakpastian dari dampak pandemi Covid-19 di seluruh dunia.

“Industri tidak kebal terhadap keadaan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Keputusan kami untuk mengurangi jumlah karyawan datang setelah pertimbangan yang cermat dan dalam hubungannya dengan langkah-langkah pemotongan biaya lainnya, untuk memastikan perusahaan bertahan dalam periode yang tidak terbatas dan tidak pasti ini,” tutur Barnett dikutip dari DealStreetAsia.

Executive Director of iflix Cam Walker / iflix
Executive Director of iflix Cam Walker / iflix

Dia mengungkapkan, perusahaan tetap fokus mengarahkan bisnis pada titik impas pada 2021 dan langkah-langkah tersebut adalah bagian dari strategi perusahaan agar tetap dalam jalur tersebut. “Kami secara alami melakukan semua yang kami bisa untuk mendukung staf yang terkena dampak baik secara profesional maupun pribadi.”

PHK adalah pilihan Iflix untuk mengurangi beban agar rencana melantai di bursa efek Australia berjalan mulus. Australian Securities and Investments Commission menetapkan, Iflix mungkin dipaksa untuk menebus lebih dari $47,5 juta convertible loan jika tidak terdaftar di bursa pada 31 Juli 2020.

Rencana IPO Iflix sebenarnya akan berlangsung pada akhir tahun lalu, namun diundur karena perusahaan harus melakukan sejumlah efisiensi dengan merumahkan sebagian besar level senior. Sejak 2016, tercatat mereka sudah melakukan rangkaian PHK agar tetap bertahap di tengah tekanan munculnya pemain OTT global.

Upaya Barnett untuk mencapai titik impas butuh perbaikan signifikan di internal perusahaan. Kerugian bersih perusahaan melebar pada 2018 jadi $158,1 juta dari defisit $120,4 juta pada tahun sebelumnya. Alhasil, arus kas bersihnya dipersempit dengan mengurangi kas operasional pada 2018 dari $67,4 juta di tahun sebelumnya menjadi $25,5 juta.

Apa yang salah?

Analis video OTT Omdia Tony Gunnarsson memaparkan Hooq gagal karena kurang modal. Bahkan ada laporan mereka tidak dapat membayar sejumlah produksi original yang sudah direncanakan.

“Secara umum, video OTT adalah bisnis yang sangat sulit, dan sejarah internet adalah bisnis dengan rentetan layanan video yang gagal. Agar berhasil, layanan video OTT harus memiliki akses ke sumber modal yang stabil untuk membayar konten baru yang menarik, rangkaian teknologi yang layak, dan layanan pelanggan yang andal,” katanya dikutip dari Campaign Asia.

Perusahaan juga harus beriklan rutin untuk mengakuisisi pengguna baru. Meski Hooq punya akses dana, dengan dukungan Singtel, Warner, dan Sony, tidak ada jaminan bakal sukses. Pada dasarnya, tanpa kontrak jangka panjang dan tanpa terikat dengan produk dan layanan lain (seperti TV kabel, kontrak seluler atau broadband), layanan video OTT tetap ada di tangan loyalitas pelanggan. Sangat sulit dijangkau.

Lima tahun sejak diluncurkan, Hooq baru menembus 1 juta pelanggan pada 2019 di lima negara. Pencapaian tersebut bukan hasil yang baik untuk layanan streaming dengan dukungan investor besar.

Pendapat lainnya diungkapkan VP Media Partners Asia Arravind Venugopal. Dia menerangkan, saat Hooq diluncurkan, semangatnya cukup kredibel dan dapat diukur. Mereka ingin memberikan konten melalui perangkat/jaringan seluler dengan harga terjangkau.

“Di atas kertas, silsilahnya benar. Hooq, di samping Iflix dan Viu, mengejar piramida konsumen bagian tengah dan bawah yang belum dilayani Netflix. Pada saat itu, visi dan kepercayaan yang dianut adalah konten Hollywood akan berhasil. Di tengah pembajakan film dan serial barat yang merajalela di kawasan ini, menawarkan ide membuat konten tersebut jadi terjangkau oleh masyarakat,” terang Arravind.

Akan tetapi, tantangan justru terletak pada pelaksanaan ide tersebut yang banyak hambatan, mulai dari struktur pasar, perilaku konsumen, pilihan konten/keadaan ekonomi, dan ketersediaan teknologi. Masalahnya, di negara yang disambangi Hooq (tidak termasuk India), membayar konten bukan bagian dari kebiasaan konsumen.

Konsumsi TV FTA (free-to-air) jauh lebih dominan dan berfungsi sebagai sumber utama konten lokal untuk masyarakat. Di banyak kasus, channel FTA juga membawa konten barat yang di-dubbing atau terjemahkan dalam bahasa lokal. Selain itu, ada tayangan olahraga lokal dan internasional dengan basis penonton yang masif.

“Meyakinkan orang untuk berlangganan bulanan [meskipun jumlahnya lebih kecil dari TV kabel berbayar] dan kemudian mengonsumsi konten on-demand [vs TV FTA], melalui jaringan data seluler mereka [dan di negara tersebut biaya data relatif tinggi], adalah salah satu batu sandungan awal yang besar.”

Sumber : Unsplash
Sumber : Unsplash

Tantangan berikutnya adalah pilihan konten. Film dan serial Barat sebagian besar sudah hadir di TV kabel atau, jika ada dana lebih, berlangganan melalui Netflix. Hal ini menekan keengganan pelanggan untuk berlangganan layanan lain, seperti Hooq dan Iflix. Padahal biaya konten itu biayanya signifikan dibandingkan ambil konten lokal.

Sejauh ini masyarakat di Asia Tenggara lebih suka konten bahasa lokal atau konten Asia, sebagaimana yang berhasil dibuktikan Viu dan eksperimen Iflix menayangkan sajian konten dari Korea Selatan.

Di sisi lain, konten lokal sebagian besar diproduksi oleh dan untuk TV kabel dan FTA. Berarti Hooq dan Iflix perlu membayar tarif premium untuk mendapatkan akses ke penulis dan perusahaan PH terbaik. Hal ini yang menaikkan anggaran konten mereka.

Bila memilih sebagai advertising video on demand (AVOD), kompetisinya sekarang harus berhadapan dengan orang-orang yang mengakses YouTube, Facebook, dan platfrom sejenis. Berkompetisi di bidang iklan, berarti tidak hanya harus membangun produk atau layanan yang benar-benar baru, tapi juga tim yang relevan.

“Hooq telah memulai jalan itu. Menempatkan tim dan beberapa produk untuk mengatasi hal ini. Tapi masih ada tantangan di atasnya, membawa penonton yang cukup untuk menikmati konten gratis. Pencapaian tersebut dapat dijual ke pihak pengiklan.”

Gunnarsson menambahkan, Hooq sadar agar semangat awalnya tetap hidup, perusahaan beberapa kali mengubah model bisnisnya sejak beberapa tahun terakhir. Contohnya menambahkan konten gratis, model freemium (ada iklan), menurunkan harga, dan membuat paket berlangganan harian. Di India, Hooq dipasarkan sebagai agregator konten berbahasa Inggris.

“Meskipun kami merekomendasikan layanan video OTT agar fleksibel dan responsif terhadap pasar lokal, saya pikir layanan harus sangat hati-hati untuk mempertahankan brand recognition dan hal-hal semacam ini [sebab] pada akhirnya dapat menjadi bumerang dan menyebabkan banyak konsumen bingung.”

Pemain global bermodal tebal

Pemain regional akan terus ditekan dengan gencaran OTT global yang sudah membawa modal tebal. Kebanyakan dari mereka mengawali India sebagai ekspansi perdana karena mayoritas penduduknya bisa berbahasa Inggris dan populasinya ada di nomor dua di bawah Tiongkok.

Tiongkok tidak masuk radar karena negara tersebut sudah menutup rapat-rapat akses pemain luar dengan serangkaian regulasi yang ketat.

Dalam menyediakan konten, Netflix menyiapkan memiliki surat hutang jangka panjang. Misalnya saja, tahun ini mereka memiliki sekitar $14,6 miliar surat hutang jangka panjang dalam pembukuannya. Sebelumnya, perusahaan menerbitkan sekitar $2,2 miliar dalam bentuk obligasi pada musim gugur lalu dan tambahan $19,1 miliar dalam bentuk kewajiban belanja konten.

Anggaran belanja konten pemain OTT global / Variety
Anggaran belanja konten pemain OTT global / Variety

Anggaran belanja terus membengkak nilainya dari tahun ke tahun, selaras dengan gencarnya pemain lain berkantong tebal yang mulai terjun. Pada 2018, anggaran Netflix mencapai $12 miliar, naik dari sebelumnya $9 miliar. Lalu, angkanya menjadi $15,3 miliar di 2019 dan tahun ini menganggarkan $17,3 miliar.

Menurut firma BMO Capital Market, Netflix akan terus berinvestasi konten dan diprediksi tembus $26 miliar pada 2028. Angka yang begitu fantastis untuk mempertahankan tahtanya sebagai pemain video streaming teratas.

Pendapatan perusahaan ikut meningkat. Mereka tahun lalu memperoleh $20,1 miliar, naik 27,62% dari tahun sebelumnya yang mencapai $16 miliar. Netflix mengantongi laba bersih sebesar $1,85 miliar, naik 54,13% dari tahun sebelumnya $1,21 miliar.

Laba tersebut didapat sepenuhnya dari biaya berlanganan yang dibayarkan konsumen per bulannya. Amerika Serikat merupakan konsumen terbesar Netflix. Diperkirakan 54% penduduk negara tersebut adalah pelanggannya.

Bila ditotal, Netflix memiliki lebih dari 167 juta pelanggan. Pada kuartal IV 2019, ada tambahan 8,8 juta pelanggan baru. Pencapaian tersebut dikatakan menakjubkan, lantaran pada saat yang sama Apple dan Walt Disney merilis layanan video streaming.

Dijabarkan lebih jauh, khususnya di Asia Pasifik, termasuk Jepang, Korea Selatan, dan Australia, dan India, jumlah pelanggan Netflix mencapai 16,2 juta orang. Di antara empat kawasan, kontribusi kawasan ini adalah yang paling rendah.

Media Partners Asia mengestimasi pada 2018, ada lebih dari 8,5 juta pelanggan di 2018 untuk kawasan APAC. Asia Tenggara berkontribusi sekitar 11% dari angka tersebut atau sekitar 935 ribu pelanggan. Angka tersebut diestimasi akan semakin tinggi, apalagi kini bisa berlangganan lewat pulsa (Indonesia).

Harga yang dibanderol untuk paket ponsel adalah Rp49 ribu per bulan, atau lebih murah setengah harga dari paket dasar sebesar Rp109 ribu.

“Kami melihat Indonesia memiliki waktu menonton (screen time) yang dua kali lebih tinggi dibanding rata-rata pengguna global,” ucap juru bicara Netflix Kooswardini Wulandari yang dikutip dari Kompas.

Pemain OTT global dan regional lainnya yang terang-terangan hadir di Indonesia dan bersaing dengan Netflix adalah Amazon Prime Video, HBO Go, dan Apple TV Plus. Selain menggunakan kartu kredit, pembayarannya bisa melalui pulsa dan GoPay (Google Play) dan Dana (untuk platform besutan Apple).

Selain pemain asal Amerika Serikat, perusahaan raksasa internet dari Tiongkok, Baidu, merilis layanan OTT-nya sendiri iQiyi ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Pembayaran layanan ini bisa menggunakan pulsa.

Kita belum bicara Disney Plus yang maha raksasa akan jaringan kontennya. Indonesia sudah pasti masuk radar Disney, meski saat ini layanan streaming tersebut mengawalinya dengan India lewat layanan video streaming lokal Hotstar pada awal April 2020.

TechCrunch melaporkan kurang dari seminggu Disney Plus Hotstar sudah menjaring delapan juta pelanggan. Hotstar sendiri tergolong layanan streaming tersohor dengan lebih dari 300 juta pelanggan. Disney Plus sendiri, sejak dirilis kurang dari lima bulan lalu, diklaim sudah memiliki lebih dari 50 juta pelanggan di seluruh dunia.

Ramai-ramai berburu pasar Asia Tenggara

Pamor Netflix terancam dengan keberadaan para pemain global ini. Sebelum mereka mulai gencar, Netflix menggaet pemerintah Indonesia (lewat Kemendikbud) untuk melatih talenta lokal membuat film yang akan dipasarkan melalui platform globalnya. Disebutkan perusahaan menyiapkan dana $1 juta dalam kerja sama tersebut.

Pemerintah sejatinya masih “abu-abu” dengan kehadiran Netflix, seperti Kemenkominfo yang mengkhawatirkan penyebaran konten negatif. Kemenkeu juga terus mengincar pemain OTT asing, termasuk Netflix, terkait pembayaran pajak.

Konten Indonesia dalam katalog Netflix jumlahnya semakin banyak. Produksi konten original sudah diuji coba melalui film “The Night Comes for Us” dan serial dokumenter “Street Food” yang meliput kisah pembuat makanan legendaris dari Yogyakarta dalam salah satu episodenya.

Selain Indonesia, mereka aktif memproduksi konten bersama sejumlah sineas tersohor, seperti Malaysia (The Ghost Bride), Thailand (The Stranded), Taiwan (Nowhere Man dan Triad Princess), dan Korea Selatan yang kini jumlah konten originalnya sudah tidak bisa hitung dengan jari.

HBO tidak mau kalah. Meski belum semasif Netflix, sejumlah sineas Indonesia pernah diajak memproduksi konten, semisal film horor Dead Mine, serial Halfworlds, Folklore, dan Serangoon Road.

Katalog harian Viu / Viu
Katalog harian Viu / Viu

Sebagai pemain regional, konten Asia adalah pilihan Viu, yang berdiri sejak tahun 2016, untuk menarik pengguna dan sejauh ini premis mereka tepat.

Country Manager Viu Indonesia Varun Mehta menerangkan, Viu kini dikenal sebagai penyedia konten hiburan Asia. Untuk itu, perusahaan terus berupaya perbanyak produksi konten lokal untuk memuaskan pelanggan di Indonesia.

Lanjutnya, meski konten hiburan dari Korea Selatan digemari, tapi selera tersebut berbeda jika membandingkan konsumen di Jakarta dan Medan misalnya. Yang terakhir lebih menyukai konten lokal.

Pada awal Maret 2020, perusahaan mulai memperkenalkan konten dari Thailand sebagai gelombang konten regional berikutnya di Asia Tenggara. Ketersediaan ini berkat kemitraannya dengan GMM dan One31.

“Kami biasanya merilis sekitar 25-40 episode drama dengan berbagai judul setiap harinya. Ketersediaan konten baru adalah faktor utama mengapa konsumen terus mengakses Viu,” terangnya seperti dikutip dari Bisnis.com.

Perusahaan juga menggaet sineas lokal Indonesia untuk memproduksi konten di Viu. Data terakhir menunjukkan pengguna aktif bulanan Viu hampir 41 juta di 16 negara dan telah ditonton selama lebih dari lima miliar menit pada tahun lalu.

Sumber : Media Partners Asia
Sumber : Media Partners Asia

Pasar video online Asia Pasifik pada 2024 diperkirakan menembus angka $50 miliar menurut Media Partners Asia. Tahun lalu diestimasi ada kenaikan 24% dari tahun sebelumnya. Mereka juga menyebut, model SVOD akan mengalami penyesuaian, sedangkan model AVOD berkontribusi pada mayoritas pendapatan.

Tujuh klaster terbesar APAC secara berurutan akan menguasai pasar video online pada 2024. Mereka adalah Tiongkok, Jepang, Australia & Selandia Baru, India, Korea, Taiwan, dan Indonesia.

Pemain lokal

Dari semua negara di regional Asia Tenggara, kue bisnis terbesar ada di Indonesia. Statista memprediksi pendapatan yang diberikan Indonesia untuk OTT sebesar $161 juta dengan 21,9 juta jumlah pengguna pada tahun ini. Kenaikan nilai ini mencapai dua digit dibandingkan tahun 2019.

Ramalan itu tampaknya benar terjadi karena dampak pandemi Covid-19 dan kebijakan kerja dari rumah membuat konsumsi layanan OTT tinggi. Telkomsel mencatat terjadi kenaikan konsumsi data untuk layanan penunjang kerja, komunikasi pesan instan, online gamesdan streaming video. Operator telekomunikasi lain juga melaporkan perolehan yang sama.

Di dalam negeri, ada sekian banyak pemain bermunculan, seperti Genflix, Vidio, GoPlay, KlikFilm (rumah produksi Falcon Pictures), MaxStream dan UseeTV Go (Grup Telkom), Mola TV, FirstMediaX. Stasiun TV FTA juga ikut merilis seperti Vision+ dan RCTI+, keduanya milik Grup MNC.

Vidio, Genflix, UseeTV, dan FirstMedia X tergolong lebih tua daripada koleganya. Mereka beroperasi sejak 2014. Dari keempatnya, Vidio bisa dikatakan punya traksi terkencang. Aplikasi ini sempat menduduki posisi pertama di Top Chart App Store dan Google Play selama pandemi berlangsung.

Kepada DailySocial, VP Brand Marketing Vidio Rezki Yanuar mengatakan, perjalanan Vidio bisa sampai ke tahap sekarang karena kekuatan konten lokal yang variatif dan bisa menyasar segala kalangan usia. Namun begitu, kekayaan konten original bagi platform OTT adalah suatu keharusan.

“Tidak dapat dipungkiri bahwa konten original dapat dipandang sebagai kekuatan dari brand OTT itu sendiri yang dapat menunjukkan jati diri dan kualitas brand. Secara spesifik, bagi kami, konten original adalah “anchor content” seperti layaknya setiap siaran stasiun televisi terestrial yang memiliki tayangan sinetron atau program andalan masing-masing,” terangnya.

Bertambahnya konten original dari berbagai OTT akan menambah volume keragaman sehingga lambat laun akan terus mengasah kualitas tontonan Indonesia dari hari ke hari. Sayangnya, Rezki enggan merinci anggaran belanja konten Vidio per tahun.

Vidio

Di dalam katalognya, Vidio menyajikan tayangan internasional seperti film dan serial dari beragai negara Asia, dari Korea Selatan, India, dan Hollywood. Lalu, tayangan TV nasional dan internasional, edukasi, religi, animasi anak, hingga ribuan pertandingan olahraga dari berbagai cabang. Tayangan film lokal juga diperkaya dari keluaran terkini hingga nostalgia.

Dia menyebut pada Maret 2020, jumlah pengguna aktif Vidio mencapai 62 juta orang, naik 30% dari bulan sebelumnya. Diprediksi tren tersebut akan meningkat seiring anjuran kerja dari rumah dan larangan mudik yang ditetapkan pemerintah. Demografi terbesar penggunanya adalah 25-34 tahun (41%), di atas 35 tahun (35%). Pria adalah pengguna terbesar 59% dibandingkan perempuan 41%.

Selain perkaya konten, harga tentu menjadi bagian “sensitif” buat pengguna Vidio. Untuk berlanganan harga yang dibanderol mulai dari Rp15 ribu (1 minggu), Rp29 ribu (1 bulan), dan Rp300 ribu (1 tahun).

Dari koleksi katalog dan harga berlangganan, sasaran pengguna Vidio tidak bisa disamakan dengan Netflix. Vidio lebih mengarah pada mass market dengan kelas menengah ke bawah. Perbedaan strategi ini memperlihatkan bahwa masing-masing OTT punya pasar masing-masing.

Ekspansi OTT global yang jor-joran membuat pemain regional dan lokal harus bersiap dengan strategi penghalau. Semakin “lokal” solusi yang konsumen dapatkan, akan semakin mudah mendapat loyalitas. Cara ini yang akhirnya dipakai beragam pemain OTT lokal.

Lagipula, seperti yang dipaparkan Arravind Venugopal, membudayakan untuk membayar suatu acara yang bisa didapat saat nonton TV di rumah yang gratis bukan suatu pekerjaan rumah yang ringan buat orang Asia Tenggara, termasuk Indonesia.

Pemerintah di tiap negara juga kompak untuk membuat aturan main yang adil agar mereka tunduk. Memblokir tentu bukan pilihan yang bijak karena di sana ada hak konsumen untuk memilih mana yang ingin mereka nikmati. Semakin dilarang, semakin mudah diterobos karena kecanggihan VPN.

Strategi Layanan Video On-Demand Viu Perbanyak Pengguna di Indonesia

Sudah hampir enam bulan Viu resmi beroperasi di Indonesia. Indonesia sendiri adalah negara ke lima yang disambangi Viu setelah sebelumnya berhasil bersinggah di Hong Kong, Malaysia, India dan Singapura. Rupanya dengan kuatnya konten video di segmen Asia terutama Korea, Jepang dan Taiwan ampuh memacu pengguna baru di Indonesia. Terhitung per hari ini, aplikasi Viu sudah diunduh lebih dari 1 juta kali oleh pengguna di Indonesia.

Aplikasi ini merupakan hasil karya anak usaha Vuclip dari PCW Media Company berbasis di Hong Kong. Data terakhir menyebut telah memiliki pelanggan terdaftar sebanyak 9 juta orang di empat negara Asia sejak pertama kali diluncurkan pada tahun ini.

Nickhil Jakatdar selaku CEO dan Founder Vuclip mengungkapkan persentase pengguna Viu di Indonesia didominasi oleh perempuan dengan persentase sekitar 80%. Pencapaian ini terbilang lebih besar bila dibandingkan pengguna Viu di luar Indonesia, rata-rata persentasenya hanya sekitar 60%-70%.

Meski Jakatdar enggan menyebutkan jumlah persis penggunanya di Indonesia, namun dari data ini menunjukkan perempuan Indonesia terbilang sangat loyal untuk meluangkan waktunya untuk menonton video dari aplikasi ini. Selain itu, perempuan Indonesia juga menempati posisi tertinggi untuk konsumsi paket data tertinggi dengan rata-rata waktu tonton 8 hingga 10 jam per bulannya.

“Perempuan Indonesia adalah konsumen terbesar Viu, mereka adalah fans yang sangat loyal terhadap konten-konten yang kami hadirkan. Dari top three content kami yang paling banyak laku ditonton adalah serial drama dari Korea, Jepang dan Taiwan,” ujarnya kepada DailySocial di sela-sela acara Indonesia Economic Forum 2016, Selasa (15/11).

Meski lebih banyak pengguna perempuan, Jakatdar menjelaskan pihaknya tidak melakukan spesifikasi konten untuk gender tertentu saja. Viu tetap fokus menyediakan berbagai kategori video, pihak penentu akhirnya akan diserahkan ke pengguna bagaiamana preferensi mereka.

Untuk menggaet lebih banyak pengguna di tanah air, Viu juga bakal meresmikan beberapa kemitraan strategis dengan perusahaan lainnya. Dalam waktu dekat akan meresmikan ada dua kerja sama strategis yang akan diumumkan, dengan salah satu bank dan perusahaan e-commerce. Sebelumnya, Viu telah menjalin kemitraan strategis dengan Telkomsel, IndiHome dan Samsung.

Tak hanya itu, pihaknya akan terus mengembangkan fitur-fitur yang dapat meningkatkan user experience, misalnya desain interface yang lebih ringkas dan fitur bernuansa lokal lainnya.

Jakatdar melanjutkan, salah satu perhatian utama Viu adalah menyajikan konten video yang ringan dan dapat dijalankan dalam bentuk jaringan apapun, sekalipun 2G. Maka dari itu, pihaknya menyajikan fitur download untuk menyesuaikan koneksi di Indonesia.

“DNA Viu adalah perusahaan teknologi, jadi kualitas video harus tetap sama sekalipun ada di koneksi yang bukan 4G.”

Tak hanya beroperasi di lima negara saja, Viu juga tengah mempersiapkan diri untuk ekspansi ke beberapa negara di kawasan Timur Tengah seperti Mesir, Arab Saudi, Oman, Kuwait dan beberapa negara di Afrika pada tahun depan. Aksi ini sekaligus melancarkan misi Viu untuk menjadi penyedia VOD OTT (Over The Top) yang fokus menghadirkan konten dari Asia dan lokal asal negara itu sendiri.

“Ada beberapa negara di Timur Tengah yang akan jajal ke depannya. Langkah pertama kami adalah beroperasi di Asia Tenggara, kemudian merambah ke India, Timur Tengah dan Afrika,” pungkas Jakatdar.

Tawarkan Konten Serial Televisi dan Film Asia, Portal Video-On-Demand Viu Hadir di Indonesia

Penyedia layanan video-on-demand premium Viu hari ini secara resmi meluncurkan layanannya di Indonesia. Aplikasi yang dimiliki oleh Vuclip dari PCW Media Company yang berbasis di Hongkong ini telah memiliki jumlah pelanggan sebanyak 9 juta orang di 4 negara di Asia.

Indonesia merupakan negara ke-5 yang disambangi oleh Viu setelah sebelumnya diluncurkan di Malaysia, India, Hong Kong dan Singapura. Sebagai layanan over-the-top (OTT), Viu mengklaim memiliki beberapa kelebihan yang tidak dimiliki oleh kompetitor lainnya. Viu menawarkan pilihan konten fim dan serial televisi terbaik dari Korea, India dan Taiwan dengan lebih dari 15 ribu jam tayang. Saat ini Viu juga telah memiliki konten lokal serial televisi Indonesia.

“Viu memiliki konten lokal yang lengkap serta pilihan bahasa Indonesia untuk semua serial televisi asal India, Korea, Taiwan hingga Indonesia untuk semua pengguna. Selain itu pengguna Viu Premium Viu juga bisa menikmati serial televisi Korea terkini setelah tayang dalam waktu 24 jam,” kata CEO dan Founder Vuclip Nickhil Jakatdar saat temu media hari ini di Jakarta.

Pilihan Freemium dan Premium

Selain bisa dinikmati di dekstop saat ini Viu juga bisa diunduh di aplikasi mobile, baik itu di platform Android dan iOS. Untuk pengguna yang telah mendaftar bisa langsung menikmati semua konten pilihan dari Viu secara gratis. Layanan freemium ini merupakan pilihan yang memudahkan pengguna untuk menikmati semua konten dengan kualitas terbaik.

Pilihan lain yang ada di Viu yaitu premium, dengan layanan ini pengguna yang ingin menikmati serial televisi terkini dalam waku 24 jam dan tanpa iklan, bisa berlangganan layanan premium dengan biaya sebesar Rp 30 ribu/bulan.

Bagi pengguna aplikasi mobile iOS sistem pembayaran secara otomatis akan dialihkan ke iTunes, sementara untuk aplikasi mobile platform Android bisa melakukan pembayaran melalui Play Store, kartu kredit dan voucher.

“Saat ini Viu belum melakukan kemitraan dengan bank bank di Indonesia atau sistem pembayaran online lainnya, namun demikian ke depannya akan kita tambahkan sistem pembayaran yang ada,” kata Nickhil.

Viu juga memiliki fitur mengunduh yang memungkinkan pengguna untuk menikmati tayangan secara offline. Dibangun di atas teknologi Dynamic Adaptive Transcoding yang dipatenkan oleh Vuclip, Viu menawarkan pengalaman menyaksikan video-on-demand yang berkualitas dengan pendekatan terbaik untuk editoriaal dan kurasi konten.

“Viu memastikan pengguna bisa memberikan pengalaman terbaik untuk pengguna menikmati tayangan di aplikasi mobile dan desktop. Namun demikian saat ini Viu belum bisa dinikmati melalui Chromecast, kedepannya tentunya teknologi tersebut akan ditambahkan demikian juga dengan konten film dan serial televisi,” kata Nickhil.

Kemitraan strategis dengan Telkomsel, IndiHome dan Samsung

Untuk menjangkau lebih banyak masyarakat di Indonesia, saat ini Viu telah menjalin kemitraan strategis dengan Telkomsel, IndiHome dan Samsung. Bagi pelanggan IndiHome Fiber-to-the-Home (FTTH), konten Viu bisa dinikmati melalui paket bundle dari Telkom dengan jaringan FTTH. Sementara itu untuk operator Telkomsel, nantinya juga akan diberikan paket khusus untuk pelaggan pra bayar dan pasca bayar Telkomsel di seluruh Indonesia.

“Untuk semua pengguna operator Telkomsel nantinya akan diberikan paket data khusus (bundling), dan mengedepankan teknologi 4G LTE Telkomsel, sehingga menyaksikan tayangan Viu di smartphone menjadi lebih cepat dan tentunya nyaman” kata VP Prepaid & Broadband Marketing Telkomsel Ririn Widaryani.

Sementara itu melalui kemitraan dengan Samsung, para pengguna samsung Galaxy yang memiliki smartphone atau tablet dapat mengakses seluruh konten Viu saat mengaktivasi layanan “penawaran kemitraan Viu” yaitu gratis selama 12 bulan.

Viu nantinya akan berkompetisi langsung dengan layanan video-on-demand dan streaming lainnya yang telah hadir di Indonesia seperti Netflix, Hooq, Tribe dan iFlix.

Layanan Mobile Video Entertainment Viu Segera Masuki Pasar Indonesia

Menambah semarak pasar yang diisi Netflix, iflix dan HOOQ, layanan mobile video entertainment besutan PCCW Media asal Hong Kong Viu juga mengincar pasar Indonesia. Setelah baru saja meresmikan ekspansinya di pasar India dan Malaysia, Indonesia akan kebagian jatahnya dalam beberapa bulan lagi.

Seperti Netflix, Viu bisa diakses melalui perangkat smartphone, tablet, maupun desktop. Dibanding Netflix, Viu bersifat freemium, artinya tetap ada konten yang bisa diakses meski tidak berlangganan. Dalam skemanya ekspansi di wilayah Asia, termasuk Indonesia, PCCW Media mengandalkan Viu sebagai layanan tambahan Vuclip, yang juga miliknya, untuk menyuplai konten dari 250 studio ternama di lingkup global.

Vuclip sendiri telah beroperasi selama delapan tahun dan tercatat memiliki sembilan juta pengguna di 10 negara.

“Viu diterima baik oleh masyarkat Hong Kong dan Singapura dan secara konsisten aplikasi Viu berada di puncak chart dalam kategori aplikasi gratis yang diunduh. Peluncuran di Singapura sejak pertengahan Januari, juga Malaysia dan India merupakan bukti komitmen kami menjadi penyedia layanan hiburan video mobile terkemuka di Asia. Kami yakin keberhasilan Viu di pasar ini juga berkat dukungan mitra strategis kami,” ucap Managing Director PCCW Media Group Janice Lee, seperti dikutip dari Multichannel.

Dalam pemberitaan tersebut, dinyatakan bahwa Viu akan tersedia untuk pasar Indonesia dalam beberapa bulan ke depan. Melirik strateginya yang diadopsi untuk pasar India dan Malaysia, Viu nampaknya juga akan bekerja sama dengan produser konten lokal di Indonesia. Model bisnis yang diimplementasi pastinya tak akan berbeda yakni freemium, menawarkan tayangan konten bebas iklan dengan beberapa konten tambahan dan kualitas gambar yang beragam.

Di pasar India dan Malaysia, Viu melayani konten dari berbagai studio seperti Media Prima, Sony Pictures, Sony Music, BBC, CBS, dan lain-lain. Pihaknya turut menjalin kerja sama dengan broadcaster Korea Selatan kenamaan yakni SBS, KBS, MBC dan CJ E&M. dan masih banyak lagi.

Sebagai layanan OTT yang berasal dari Asia, Viu memiliki keunggulan dalam memahami selera pasar, termasuk di Indonesia. Meskipun demikian, melihat bagaimana Netflix mendapat tantangan dari pihak kompetitor lokal dan regulator, Viu harus mengambil pelajaran supaya tidak ikut terpeleset.