Menelisik Industri iCafe Indonesia di 2019 dari Perspektif Para Pemilik Bisnis

Warnet atau Warung Internet, banyak mengisi kenangan gamers (dan pelaku esports) yang lahir di tahun 90an. Dahulu tempat ini bisa dibilang sebagai satu-satunya tempat bagi kita untuk dapat mengakses internet. Sayang seiring dengan perkembangan zaman, munculnya tren smartphone dan ditambah koneksi mobile semakin baik, posisi warnet jadi semakin tegeser. Menghadapi hal tersebut, warnet zaman sekarang tampil dengan wajah baru, menjadi ruang bermain game online dengan nama iCafe atau Internet Cafe.

Model bisnis berupa penyewaan PC dan internet kencang untuk bermain game online ini terbilang cukup berhasil memperpanjang nafas bisnis icafe sampai sekarang. Namun mereka ada bukan tanpa tantangan. Badai baru kembali menerpa, badai yang bernama mobile games. Mobile games yang kini semakin baik dan bisa dimainkan secara online, lagi-lagi menciptakan disrupsi untuk model bisnis icafe.

Dalam artikel ini, saya mendengarkan keluh kesah dan pendapat dari sejumlah pelaku bisnis icafe ari beberapa daerah di Indonesia untuk mencoba menjawab berbagai pertanyaan besar. Apa kabar bisnis icafe setelah badai besar mobile games? Apa kabar bisnis icafe jika nantinya perekonomian Indonesia membaik, gamers bisa beli PC dan koneksi internet dengan murah dan tak perlu menyewa lagi?

Nasib icafe di tahun 2019

Ada beberapa alasan kenapa mobile games lebih berjaya dibanding PC, yang mungkin bisa jadi satu artikel sendiri jika saya jelaskan secara terperinci. Tapi singkatnya, game mobile menawarkan lebih banyak keuntungan bagi pemainnya seperti lebih ringkas, lebih murah, lebih mudah, sampai punya nilai ekonomi yang bisa didapatkan lewat esports. Tak heran jika posisi mobile games di pasar Indonesia yang masih berkembang, jadi lebih prima dibanding PC Games. Dampaknya, bisnis icafe pun melesu.

Herwin, pemilik icafe Pandora yang berlokasi di Makassar, Sulawesi Selatan, bercerita soal pemasukannya yang kini menurun karena keadaan tersebut. “Keadaan icafe sekarang, jujur rada sulit bersaing karena kehadiran mobile.” Ujarnya. “Tapi ada juga faktor lain, seperti bertambahnya kompetitor yang punya spek pc lebih tinggi ataupun pandangan orang yang cenderung masih negatif terhadap icafe. Namun demikian, saya cukup bersyukur bahwa Pandora masih di tahap stabil.” perjelas Herwin.

Sumber: Dokumentasi Personal
Tedi Rustendi, pemilik icafe Trapesium E-Sports Arena. Sumber: Dokumentasi Personal

Tedi Rustendi, pemilik icafe Trapesium yang berlokasi di Bandung juga mengamini apa yang dikatakan Herwin. “Sekarang omzet semakin menurun. Angka penurunan mencapai kurang lebih 50%. Tahun 2017 lalu, Trapesium bisa mendapat omzet sekitar Rp4 juta per hari, sekarang turun jadi sekitar Rp2 juta saja per hari.” jawabnya.

Tren penurunan omzet juga dirasakan oleh Hendrik Sanjaya, yang memiliki tiga cabang icafe Empirez di Lampung. “Terasa banget turunnya, sekitar 30 sampai 40 persen dibandingkan dengan omzet ketika masa PC berjaya. Kebetulan saya punya dua cabang Empirez, kalau hari biasa Empirez 2 diisi sekitar 50 sampai 70 PC pada hari biasa, 90 PC pada akhir pekan, dengan total ada 122 PC. Lalu kalau Empirez 3 ada 50 PC, yang terisi 40 PC di hari biasa lalu kalau weekend bisa full 50 PC terisi. Lalu kalau Empirez 1, sekarang sih sudah semakin sepi dan tidak menguntungkan. Rencananya sih mau dialihfungsikan saja.” jawabnya.

Tak hanya di Indonesia, tren PC Gaming memang sedang mengalami pelambatan di Amerika Serikat sana. NPD melaporkan bahwa belanja gaming Amerika Serikat, walau meningkat, namun angkanya hanya 1 persen saja jika dibandingkan pada periode yang sama (Juli – September) tahun lalu. Detil menyebutkan bahwa memang ada penurunan pada sektor konten digital untuk PC, dengan peningkatan di sektor lain seperti konten konsol, mobile, dan subscription.

Tapi, mobile games sebenarnya bukan merupakan masalah tunggal atas bisnis icafe yang kian melesu. Ketiga pemilik icafe tersebut lalu melanjutkan cerita mereka menjalankan bisnis icafe di tahun 2019. Herwin mengatakan, dalam kasusnya adalah soal faktor pandangan negatif masyarakat terhadap icafe yang masih belum hilang.

Sumber: Dokumentasi Pandora
Suasana icafe Pandora yang berlokasi di Makassar. Sumber: Dokumentasi Pandora

“Sampai sekarang, masyarakat masih memandang iCafe atau warnet sebagai hal yang negatif. Pandora berusaha sebisa mungkin mengurangi dan menangkal hal-hal negatif tersebut di icafe. Maka dari itu kami menerapkan beberapa peraturan, seperti tidak boleh merokok, larangan pakai seragam sekolah jika ingin ke icafe kami, dilarang nongkrong, dan larangan melakukan tindakan melanggar norma seperti mabuk, ataupun hal tidak senonoh.” Cerita Herwin kepada kami.

Beda dengan Herwin, Hendrik Sanjaya punya cerita tantangan yang lain. Ia mengatakan bahwa kebijakan full-day school jadi alasan turunnya jumlah pengunjung Empirez. “Selain mobile, saya merasa kebijakan full-day school sedikit banyak berdampak kepada jumlah pengunjung Empirez, terutama Empirez 2 yang memang dekat dengan 3 sekolahan.” cerita Hendrik kepada saya.

Sumber: Dokumentasi Trapesium
Sumber: Dokumentasi Trapesium

Kalau Tedi, merasa tantangannya malah datang dari faktor tradisional, yaitu persaingan antar iCafe di Bandung. Tedi mengatakan, “Banyak icafe bermunculan di berbagai daerah, hal ini sedikit banyak mempengaruhi iCafe saya sendiri, yaitu Trapesium. Selain itu menurut saya faktor penambah lainnya adalah turnamen game PC yang semakin sedikit dan hadiahnya jauh lebih kecil dibanding dengan mobile.”

Simbiosis mutualisme esports dan bisnis icafe

Mengingat posisi icafe sebagai ruang penyewaan PC untuk main game online, tak heran jika dia akan sangat terbantu dengan kehadiran esports, terutama titel esports yang dimainkan di PC. Bagaimana keduanya bisa menciptakan simbiosis mutualisme salah satunya adalah ketika pada masa keemasan Point Blank dulu kala.

Pada masa kejayaannya, banyak pemain yang terhanyut dalam mimpi menjadi pro player Point Blank. Ditambah lagi, para publisher juga mendorong icafe untuk mempromosikan Point Blank. Belum lagi, icafe merupakan salah satu akses mereka untuk menjadi seorang pro player. Hal ini tentu saja akan membuat efek domino, yang membuat icafe juga diuntungkan. Tapi itu dahulu, kalau sekarang?

Sumber: Dokumentasi Pandora
Herwin, sosok pemilik icafe Pandora di Makassar. Sumber: Dokumentasi Pandora

Ketiga owner icafe tersebut lalu melanjutkan pembahasan soal simbiosis esports dengan icafe. Herwin menyatakan opininya tersendiri soal kaitan antara hubungan antar dua hal ini. “Tren icafe mungkin jadi turun karena tim esports game PC Indonesia itu jarang bisa bertanding di internasional. Jadi kebanyakan pemain akan berpikir untuk apa saya sering-sering main, toh pemain yang sudah jago saja kesulitan bersaing di tingkat internasional” tutur Herwin memberikan opininya.

Opini tersebut bisa jadi masuk akal. Apalagi esports memang punya senjata andalan berupa “menjual mimpi” kepada para penggemarnya. Harapannya? Semakin terhanyut seorang pemain dengan mimpi jadi juara, maka semakin terhanyut juga dia dengan game yang dimainkan. Lalu apa hubungannya dengan urusan bisnis icafe?

Hyde (kedua dari kiri) saat bermain bersama FBZ dan Mikoto di tim Pandora Esports. Sumber: Pandora Esports
Hyde (kedua dari kiri) saat bermain bersama FBZ dan Mikoto di tim Pandora Esports. Sumber: Pandora Esports

Jika melihat dari sudut pandang Herwin, salah satu keterkaitannya adalah karena posisi Pandora iCafe yang sempat memiliki tim Dota dengan pemain yang cukup cemerlang. Jika Anda belum tahu, dua pemain BOOM Esports yaitu Fbz dan Mikoto sempat bermain di Pandora Esports sebelum akhirnya pindah. Brizio Adi Putra (Hyde), stand-in pengganti InYourDream di BOOM Esports untuk gelaran DreamLeague Season 13 lalu juga berasal dari Pandora Esports.

Jadi, dengan esports, pemain yang bermain di iCafe bisa jadi lebih tekun, karena melihat kawan satu icafe tempat dia main meraih mimpi kesuksesan menjadi pro player. Apalagi, Pandora Esports juga tim yang lumayan pada masanya. Sempat menjadi juara Kaskus Battleground pada tahun 2017. Tanpa adanya panggung lokal atau pemain lokal yang mencapai tingkat internasional, pemain-pemain Pandora mungkin jadi tak lagi punya pemain panutan.

Sumber: Dokumentasi Personal
Hendrik Sanjaya, pemilik icafe Empirez yang berpusat di Lampung. Sumber: Dokumentasi Personal

Hendrik Sanjaya lalu menjelaskan tentang dampak jelas esports terhadapi bisnis icafe, lewat beda durasi main pemain casual dengan pemain esports. Menurut ceritanya, pemain casual biasanya hanya main satu-dua game saja, lalu pulang. Sementara pemain esports, bisa main sampai dengan 8 jam sehari, karena kebanyakan mereka memang punya ambisi untuk jadi lebih baik. Semakin lama orang bermain di icafe, semakin untung juga, karena biaya billing yang harus dibayar jadi lebih besar.

Kalau begitu ceritanya, buat saja turnamen rutin di icafe, dengan iming-iming menjadi superstar internasional, supaya orang-orang kembali semangat mengejar mimpinya? Sayang, praktiknya tidak semudah teori. Nyatanya, gara-gara mobile games, menjadi pro player di tahun 2019 jadi tak lagi sulit. Cukup push-rank dari rumah, jadi top global, lalu setelahnya Anda bisa klaim diri sebagai “pro player”. Kalau untung, bisa direkrut tim esports. Kalau tidak beruntung? Yaa… Masih bisa bikin channel Youtube kok… Hehe.

Lalu, belum lagi icafe juga tidak memiliki kekuatan finansial sebesar itu untuk membuat turnamen esports game PC dengan hadiah super besar. Alhasil lagi-lagi, mobile games yang punya hadiah turnamen super besar serta menjanjikan karir yang menggiurkan, mengalahkan PC game.

Namun demikian, Herwin dari Pandora icafe mengaku masih secara rutin mengadakan turnamen. “Setiap bulan berganti game, kadang Dota, kadang Point Blank, tergantung peminat dan apa yang lagi rame di icafe. Kadang saya juga mencoba mempertandingkan game yang jarang dimainkan di Pandora. Harapannya adalah agar pemain dari net lain jadi datang ke icafe kita sekalian mencoba.”

Hendrik dari Empirez juga demikian, membuat turnamen setiap satu bulan sekali. Ditambah, kadang ada juga event online yang menuntut pemain datang ke icafe Empirez karena kerjasamanya dengan jaringan Nvidia Certified iCafe dan DA Arena. Hasilnya? Keduanya merasa bahwa turnamen, sedikit banyak, memang punya dampak kepada jumlah pengunjung dan keuntungan warnet.

Sumber: Dokumentasi Empirez
Suasana icafe Empirez di Lampung. Sumber: Dokumentasi Empirez

Lalu kalau begitu, bagaimana kalau kita sering-sering saja membuat turnamen di iCafe? Pasti nanti tren esports game PC bakal jadi balik lagi? Namun sayang, lagi lagi praktiknya tidak semudah teori yang terucap. Herwin memberikan opininya soal dampak rutinitas turnamen terhadap tren esports PC. “Saya rasa, turnamen rutin tidak secara otomatis mengembalikan tren esports PC. Karena yang ikut turnamen kemungkinan orangnya itu-itu saja, apalagi di kota kecil. Masalah sebenarnya memang datang dari sisi regenerasi pemain game PC. Menurut saya, banyak gamers yang masih muda tidak tahu game PC. Jadi gaming yang mereka kenal lebih dulu adalah mobile dan segera berkecimpung di game tersebut.”

Akhirnya kembali lagi, butuh pemodal yang lebih besar jika ingin tren PC gaming bisa kembali. Tapi, pemodal tersebut juga tidak bisa investasi seperti beli kucing dalam karung, alias investasi tanpa melihat daya beli masyarakat Indonesia terhadap PC dan menganalisis pasar. Ini membawa kita kepada pertanyaan berikutnya. Kalau semisal ekonomi Indonesia terus berkembang, daya beli masyarakat meningkat pesat, dan semua gamers punya PC gaming atau konsol, nasib icafe bagaimana?

Bisnis icafe di masa depan

“Saya rasa eksistensi warnet nggak bakal hilang, walau hal tersebut terjadi.” jawab Herwin dengan optimis. “Karena warnet tetap akan jadi sarana bagi semua gamers rumahan untuk berkompetisi secara offline dan membangun komunitasnya.” Tukas Herwin melanjutkan. “Karena saya sendiri merasa, bisnis warnet pada dasarnya tidak semudah cuma modal besar, PC spesifikasi tinggi, sistem jalan lalu selesai, masih banyak hal lain yang bisa dilakukan.”

Bisnis icafe saat ini memang sedang berada di persimpangan, melihat kemajuan teknologi yang segitu pesatnya. Jangan khawatir, icafe juga tidak sendirian. Pada satu dekade ini (2009-2019) kita sudah melihat bagaimana ragam bisnis ataupun profesi tersapu arus kemajuan zaman. Contohnya seperti wartel alias warung telepon, bisnis taksi, profesi ojek pangkalan, dan banyak hal bisnis dan profesi lainnya. Dan mungkin, sudah saatnya, pelaku bisnis warnet mulai menanamkan mindset inovasi layaknya para pelaku bisnis startup teknologi.

Membahas ini, Hendrik dari icafe Empirez mengakui, bahwa pada akhirnya icafe tidak lagi bisa hanya jadi sekadar tempat main game saja. “Harus jadi mixed place, misal kedai kopi di lantai satu, lalu di lantai lainnya adalah icafe, seperti konsep dari Kaesang Gallery. Yabes Elia Senior Editor Hybrid dalam tulisan membahas soal peluang warnet di masa depan juga sempat membahas ini. Dalam artikel tersebut, Turyana Ramlan yang pernah jadi Admin Pusat Komunitas Warnet Indonesia mengatakan, masih banyak peluang untuk icafe di masa depan. Bisa jadi tempat untuk iklan, merangkul mobile gaming, atau seperti yang disebut Hendrik soal mixed place.

Sumber: GGWP.id
Suasana Tokyo Gaming Space, icafe terbaru dari Reza Arap. Sumber: GGWP.id

Seakan terpancing ide kreatifnya, Herwin dari icafe Pandora jadi cerita banyak soal peluang lain yang ada di pikirannya. “Memang warnet zaman sekarang sudah tidak bisa lagi melihat pengunjung dengan mindset ‘datang-main-pulang’. Kita harus putar otak dan melakukan inovasi. Misal, belakangan fenomena streaming game sedang besar di Indonesia. Mengapa tidak icafe membuka tempat streaming house? Sediakan PC, webcam, internet cepat, dan setup yang siap untuk streaming.” Ucapnya.

Herwin lalu kembali menceritakan pengalamannya berinovasi dalam bisnis icafe. “Kalau dalam hal Pandora, kami sempat mencoba strategi memanfaatkan influencer perempuan. Tugas dia cukup sederhana, cukup datang, main dan interaksi dengan pemain icafe Pandora lainnya. Ketika saya melakukan itu, banyak owner icafe lain berpikir itu hanya buang-buang uang. Tapi nyatanya, pemain jadi berbondong-bondong datang ke Pandora, supaya bisa caper sama si influencer tadi.”

Gara-gara ide Herwin, saya jadi kepikiran. Mungkin icafe dengan konsep seperti Maid Cafe bisa jadi peluang yang baik bagi para pelaku icafe. Konsep tersebut juga bisa memunculkan aliran pemasukan baru bagi icafe. Misal, pemain icafe harus membayar sejumlah uang untuk bisa main Dota bersama sang maid. Atau mungkin… Ah sudahlah, lebih baik saya berhenti menjelaskan ide ini sebelum jiwa wibu saya jadi semakin bergejolak…

Dengan segala tantangan berat yang siap menentang bisnis warnet di masa depan, saya setuju dengan apa yang dikatakan Herwin. Di tengah badai teknologi yang datang dengan sangat cepat, para owner icafe harus sigap, tanggap dengan tren, bergeliat lincah menghadirkan inovasi agar dapur warnet bisa terus ngebul.

Pada akhirnya, walau budaya online mengakar semakin kuat, namun presensi offline tetap menjadi satu nilai lebih yang bisa ditawarkan oleh icafe. Maka dari itu icafe harus terus melakukan perubahan, sambil mengingat identitasnya sebagai tempat berkomunitas para gamers, bertemu kawan baru, ataupun mencapai mimpi menjadi juara bersama-sama.

Sumber header: Amino Apps

Kaleidoskop Dota 2 Indonesia Tahun 2019

Tahun 2019 ini cukup memberikan kesan roller coaster bagi komunitas Dota 2 di Indonesia, banyak kejadian mengejutkan dari roster shuffle sampai hasil turnamen yang diikuti oleh tim Indonesia. Berikut adalah rangkuman kejadian-kejadian scene Dota 2 Indonesia di tahun 2019.

Muhammad “InYourdreaM” Rizky transfer

Sumber: IndoEsports
Sumber: IndoEsports

InYourdreaM terbilang sering berpindah-pindah tim di tahun 2019 ini. Pada awal tahun 2019 ia berada di tim Tigers, bahkan sempat memenangkan turnamen Minor saat di sana tahun 2018. Pada akhir bulan Januari, InYourdreaM memutuskan untuk kembali ke tanah air dan memperkuat tim The Prime yang saat itu sedang mengikuti ESL National Championship. Hanya bertahan dua bulan saja, The Prime harus melepaskan InYourdreaM yang berpindah ke EVOS Esports. Sebelum adanya berita perpindahan ke EVOS Esports, banyak rumor yang beredar di komunitas Dota 2 di Indonesia mengenai kemana pindahnya InYourdreaM. Ada bahkan yang membuat rumor bahwa InYourdreaM akan mengisi roster OG Dota 2.

InYourdreaM memperkuat EVOS Esports di ESL National Championship musim kedua dan The International 2019 SEA Qualifier. Tidak lama setelah gagal untuk lolos ke The International 2019, InYourdreaM kembali lagi ke tim yang melambungkan namanya di Dota 2 yaitu BOOM Esports pada bulan Juli. Tetapi banyak orang mempertanyakan role apa yang akan dimainkan oleh InYourdreaM di BOOM Esports. Pasalnya, posisi yang kosong di BOOM Esports adalah role support 4. Akhirnya terlihat bahwa yang bermain role support 4 adalah Randy Muhammad “Dreamocel” Sapoetra. Walaupun InYourdreaM sempat memutuskan untuk vakum, saat ini ia masih bermain di roster Dota 2 BOOM Esports.

Tri “Jhocam” Kuncoro keluar BOOM Esports

Sumber: Liquipedia
Sumber: Liquipedia

Menjadi salah satu pemain support 4 terbaik di Indonesia, membuat berita keluarnya Jhocam dari BOOM Esports cukup mengejutkan. Pasalnya, terbilang sedikit pemain support 4 yang pantas untuk menggantikan Jhocam. Hal ini membuat komunitas Dota 2 Indonesia berspekulasi banyak mengenai pengganti Jhocam di BOOM Esports. Lebih dari dua setengah tahun Jhocam memperkuat BOOM Esports, dan akhirnya keluar. Cukup lama berselang, akhirnya terdengar kabar bahwa Jhocam akan memperkuat tim nasional Dota 2 Indonesia untuk SEA Games 2019 yang saat itu diwakili oleh tim PG.Barracx.

Tren disband tim Dota 2

Sumber: Revival TV
Sumber: Revival TV

Rex Regum Qeon mengumumkan bubarnya tim Dota 2 mereka pada bulan april. Melepas 4 pemainnya dan hanya menyisakan Rusman “Rusman” Hadi di timnya. Yusuf “Yabyoo” Kurniawan sempat membuat tim dengan teman-teman lamanya di Anthrophy ketika bermain di ESL National Championship, sampai akhirnya pindah ke tim asal Singapura yaitu Resurgence. Sementara Adi “Acil” Syofian Asyauri dipindah ke divisi Mobile Legends RRQ sebagai pelatih menggantikan Farand “Koala” Kowara. Lalu Rivaldi “R7” Fatah juga dipindah ke divisi Mobile Legends RRQ sebagai pemain.  Berita bubarnya RRQ Dota 2 sangat memukul komunitas Dota 2 di Indonesia. Melihat ke belakang, sejarah Dota 2 Indonesia banyak diisi oleh RRQ. Pasalnya, RRQ merupakan tim Dota 2 Indonesia pertama yang mewakili Indonesia di The International SEA Qualifier.

Berselang cukup lama dari bubarnya RRQ Dota 2, EVOS Esports mengumumkan bubarnya tim Dota 2 mereka pada bulan September 2019. Dengan ini, kita sudah tidak mungkin lagi melihat el-clasico Dota 2 Indonesia. Pasalnya, RRQ dan EVOS Esports Dota 2 sudah menjadi rival sejak lama. Sebelum EVOS Esports, tim Dota 2 EVOS Esports bernama Zero Latitude.

Andrew “Drew” Halim akan bermain di Major

Sumber: GameDaim
Sumber: GameDaim

Tidak ada angin, tidak ada buyback. Tiba-tiba Drew dikabarkan bermain memperkuat Reality Rift di kualifikasi Asia Tenggara untuk Leipzig Major. Melihat performanya di turnamen tersebut, Drew terbilang cukup bersinar bermain di Reality Rift saat di group stage dan playoffs. Pemain ini berhasil membawa timnya melaju ke Leipzig Major bersama dengan wakil Asia Tenggara yang lain yaitu Fnatic dan TNC Predator. Drew sekarang telah menjadi idola baru Dota 2 Indonesia dan ia juga terbilang masih muda. Karier di Dota 2-nya masih sangat panjang dan mudah-mudahan semakin sukses ke depannya.

Kenny “Xepher” Deo menuju turnamen Minor lagi

Sumber: Liquipedia
Sumber: Liquipedia

Xepher bermain di tim Geek Fam bersama nama-nama besar di Dota 2 Asia Tenggara seperti Carlo “Kuku” Palad, Marc Polo “Raven” Luis Fausto, Kim “DuBu” Doo-Young berhasil melaju ke babak utama Dota Summit 11 sebagai perwakilan Asia Tenggara dan berhasil duduk di posisi ke 5 pada turnamen tersebut. Karir Dota 2 Xepher di luar negeri memang sudah sejak lama. Menurut saya, memang sudah sepantasnya pemain Dota 2 Indonesia mulai bergabung dan berkarir di tim luar negeri yang berisikan pemain-pemain berbeda negara. Walaupun timnya tidak berasal dari Indonesia, setidaknya pemain Indonesia yang bermain di luar negeri akan menjadi kebanggaan bagi komunitas Dota 2 di Indonesia sendiri.

2019 telah selesai. Bagaimana menurut kalian tahun 2020 untuk Dota 2 di Indonesia?

5 Cara untuk Direkrut Jadi Pemain Esports Profesional

Bermain game, biasa dilakukan ketika Anda sedang memiliki waktu luang atau butuh hiburan. Tetapi untuk segelintir orang, bermain game adalah sebuah pekerjaan. Melihat para pemain esports profesional bertanding di turnamen besar dan memiliki banyak penggemar, tentu hal tersebut menjadi impian para gamer. Banyak orang yang kebingungan bagaimana caranya menjadi seorang pemain esports profesional. Apabila Anda berpikir sudah memiliki semua kemampuan yang dibutuhkan untuk menjadi pemain esports profesional, inilah cara-cara yang bisa Anda lakukan untuk direkrut oleh tim esports.

1. Memanjat ranking untuk jadi salah satu yang terbaik di game yang anda tekuni

Sumber: Kpopping
Sumber: Kpopping

Climbing rank atau push rank yang biasa diucapkan sekarang oleh para gamer merupakan tahap awal untuk membuktikan keahlian Anda bermain game tersebut. Masuklah ke tier ranking terbaik di setiap game, seperti Immortal di Dota 2 atau Glorious Mythic di Mobile legends.

Dengan Anda bermain di rank tertinggi tersebut, semakin memperbanyak kesempatan untuk bertemu pemain profesional sungguhan. Bermainlah sepenuh hati, agar terlihat oleh para pemain profesional ini. Intinya adalah pembuktian bahwa Anda memang memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk menjadi pemain profesional. Seringnya, salah satu cara tim esports profesional mencari anggota pemainnya adalah dengan rekomendasi dari pemain lainnya yang sudah lebih dulu bergabung.

Selain itu, berusahalah masuk ke ranking tertinggi seperti Top Global untuk MLBB. Tidak jarang juga, tim-tim esports mencari para pemain muda berbakat dari melihat peringkat Top Global.

2. Mengikuti turnamen-turnamen dan raih prestasi yang baik

Sumber: InvenGlobal
Sumber: InvenGlobal

Selain dari rekomendasi pemain profesional, tim-tim profesional juga memiliki pihak yang khusus mencari bakat pemain-pemain amatir. Para pencari bakat ini memantau pertandingan-pertandingan esports yang berlangsung secara detil. Mereka akan melihat cara bermain Anda, kecepatan dan ketepatan saat mengambil keputusan saat pertandingan, mental dan perilaku saat bertanding, dan lain-lainnya.

Jadi, Anda harus mengeluarkan seluruh kemampuan Anda ketika bertanding, bukan hanya untuk memenangkan turnamen tetapi juga untuk menarik perhatian para pencari bakat tersebut.

Satu hal yang menarik untuk diketahui adalah organisasi esports bisa saja mencari satu tim penuh (berlima untuk MOBA atau berempat untuk Battle Royale misalnya) ataupun satu pemain saja. Jadi tak ada salahnya juga, selain mengasah skill individu, Anda membiasakan diri untuk bekerja sama dengan baik dengan rekan-rekan satu tim. Kalaupun organisasi esports-nya hanya mencari satu orang, kemampuan bekerja sama pun sebenarnya juga sebuah nilai penting dari seorang pro player.

3. Melihat lowongan di akun sosial media tim esports profesional

Sumber: TEAMnxl> Facebook
Sumber: TEAMnxl> Facebook

Tidak sedikit tim esports yang membuka lowongan pemain di sosial medianya. Jadi Anda harus rajin untuk melihat akun sosial media para tim esports untuk mendaftar lowongan mereka.

Sayangnya, kembali lagi, tanpa rekam jejak prestasi ataupun rank tinggi di game, kemungkinan besar, Anda tidak akan dilirik. Jadi, lowongan ini hanyalah sebagai tambahan informasi saja jika Anda memang sudah mengantongi keahlian ataupun pengalaman.

Selain itu, Anda juga bisa follow  para petinggi ataupun pelaku di industri esports seperti AP dari RRQ, Aldean Tegar dari EVOS, Owljan dari BOOM Esports, ataupun petinggi ataupun player lainnya dari Bigetron, Alter Ego, dan kawan-kawannya untuk bisa mendapatkan informasi lebih. Satu hal yang penting dicatat, jika Anda bukan siapa-siapa dan tidak memiliki keahlian apapun, jangan mengganggu mereka juga karena bisa jadi Anda diblok atau di-blacklist kwakkawkwak…

Kecuali Anda sejago Muhammad “inYourdreaM” Rizky di Dota 2 ataupun Hansel “BnTeT” Ferdinand di CS:GO, peluang Anda lebih besar jika Anda punya lebih banyak kenalan — selain juga punya skill tentunya.

4. Melakukan live streaming

Sumber: Liquipedia
Sumber: Liquipedia

Apabila Anda sudah memiliki kemampuan yang dibutuhkan untuk bersaing di dunia kompetitif esports dan memiliki tier rank tertinggi di game yang Anda mainkan, cara yang tidak kalah efektif untuk menarik perhatian adalah melakukan live streaming. Daftarkan diri Anda di platform live streaming seperti Youtube Gaming, Facebook Gaming atau Nimo TV. Dengan begini, semakin banyak orang akan melihat kemampuan Anda dalam bermain game.

Kalaupun Anda tidak berhasil untuk di-notice oleh tim profesional, setidaknya Anda bisa melanjutkan karir Anda menjadi seorang live-streamer. Ada beberapa contoh live-streamer yang menjadi pemain esports profesional, seperti Alex “Entruv” Prawira yang sekarang menjadi pelatih PUBGM dan Free Fire untuk tim Aura Esports.

5. Mengikuti akademi esports

Sumber: Revival TV
Sumber: Revival TV

Beberapa tim esports profesional menggelar akademi esports sendiri. Contohnya RRQ Academy PUBGM dari tim Rex Regum Qeon. Di RRQ Academy PUBGM, pemain akan dilatih oleh para pemain dan pelatih RRQ divisi PUBGM yaitu Michael “StMichael” Chandra. Kesempatan ini sangat berharga bagi para pemain amatir karena Anda akan dilatih oleh para tokoh-toko profesional dan berkesempatan untuk masuk dalam organisasi esports menjadi pemain profesional.

Apabila Anda sudah diberikan penawaran untuk bergabung dengan tim esports profesional, biasanya akan dilakukan masa percobaan atau try out. Masa percobaan ini biasanya akan memakan waktu berbulan-bulan untuk melihat kecocokan permainan dengan tim yang sudah ada.

Jangan lupa akan ada sesi wawancara juga. Karena, sebagai pemain profesional, penilaiannya tidak hanya soal kemampuan bermain tetapi juga soal perilaku di depan para pelaku industri esports Indonesia. Apakah kalian memang pantas berlaku dan bermental layaknya seorang pemain profesional? Kedisiplinan merupakan hal yang sangat penting untuk menjadi yang terbaik. Dikutip dari TechRadar, pemain professional dari Gen.G Esports Korea harus berlatih selama 15 jam per hari.

Akhirnya

Karena menjadi pemain esports profesional adalah sebuah pekerjaan, jangan anggap Anda hanya akan bersenang-senang di sini. Jadi pemain pro itu memang seperti profesi lainnya yang menuntut tanggung jawab, kemauan belajar, dan kemampuan untuk bisa bekerja sama dengan rekan-rekan Anda.

Jika Anda memang sudah punya kemampuan, 5 hal tadi bisa Anda gunakan sebagai jalur untuk menuju ke tingkat profesional. Namun demikian, jika Anda masih belum punya kemampuannya, ada baiknya Anda mengasahnya terlebih dahulu.

 

Jenis Pasar Gamer Saat Ini Menurut Facebook Gaming Marketing Report 2019

Gaming tak lagi menjadi industri kecil yang ditujukan untuk segelintir orang. Menurut laporan Newzoo, pada 2019, industri gaming secara global diperkirakan bernilai US$152,1 miliar. Nilai tersebut tidak menghitung total penjualan console atau hardware lain serta pemasukan dari iklan dalam game. Pertumbuhan industri gaming yang pesat tak lepas dari semakin banyaknya perangkat untuk bermain game, mulai dari PC, console, sampai perangkat mobile. Sekarang, sebanyak 86 persen dari pengguna internet bermain game di setidaknya satu perangkat.

Menariknya, tidak semua pemain game melabeli diri mereka sendiri sebagai “gamer“, walau mereka memang senang bermain game. Sebanyak 80 persen orang yang mengaku tidak hobi main game mengatakan, mereka tetap senang bermain game di smartphone mereka. Memang, perangkat mobile menjadi salah satu alasan mengapa industri gaming bisa tumbuh subur. Tahun ini, perangkat mobilesmartphone dan tablet — diperkirakan menyumbang 45 persen dari total pendapatan industri gaming.

Seiring dengan semakin banyaknya orang-orang yang bermain game, semakin banyak pula variasi game yang muncul. Dalam 10 tahun belakangan saja, muncul berbagai genre baru dalam industri game. Tidak heran, karena preferensi dari masing-masing gamer memang berbeda-beda. Menurut laporan Facebook Gaming Marketing, ada dua indikator yang menjadi bukti bahwa preferensi para gamer kini menjadi semakin bervariasi.

guide-hanabi-mobile-legends-5
Mobile Legends adalah salah satu contoh game MOBA di smartphone.

Salah satunya adalah semakin beragamnya genre game di perangkat mobile. Jika dulu ponsel hanya bisa memainkan game yang sangat sederhana — seperti Snake — sekarang, Anda bisa memainkan game sekompleks game MOBA atau battle royale, seperti Mobile Legends dan Player Unknown’s Battleground Mobile. Bukti lain yang menunjukkan bahwa preferensi para gamer sekarang semakin beragam adalah meningkatnya minat akan properti intelektual yang familier.

Sementara itu, dalam laporannya, Facebook membagi para gamer menjadi tiga kategori, yaitu pemain hyper-casual, hardcore, dan kategori di antara keduanya. Masing-masing kategori memiliki karakteristiknya sendiri. Tergantung target pasarnya, para developer dan publisher game bisa menyesuaikan strategi atau bahkan tipe game yang akan mereka buat atau luncurkan.

Hypercasual gamer

Dalam satu tahun belakangan, tidak hanya game-game yang lebih serius yang muncul, tapi juga game hyper-casual, seperti Stack Ball, Run Race 3D, Tiles Hop: ED Rush, Clean Road, Traffic Run, dan Crowd City. Berdasarkan laporan App Annie pada Q2 2019, game-game tersebut masuk dalam daftar game yang paling sering diunduh. Salah satu ciri khas pemain game hyper-casual adalah mereka tak keberatan dengan iklan dalam game. Ini terbukti dari suksesnya sistem free-to-play yang diterapkan sejumlah game. Sebanyak 75 persen mobile gamer mengatakan bahwa mereka tak keberatan dengan iklan dalam game asalkan mereka bisa memainkan game dengan gratis. Jadi, developer yang ingin menargetkan hyper-casual gamer, mereka tak usah terlalu memerhatikan game economy dan bisa fokus untuk memonetisasi game mereka.

Sumber data: Facebook Gaming Report
Sumber data: Facebook Gaming Report

Salah satu keluhan para pemain game hyper-casual justru iklan yang monoton. Sebanyak 73 persen mobile gamer mengatakan, iklan yang mereka lihat dalam game tidak bervariasi. Padahal, sebagian besar dari mereka justru ingin melihat iklan yang beragam. Sebanyak 40 persen mengatakan ingin melihat iklan dari game lain, 39 persen ingin melihat produk lain non-game, dan 21 persen sisanya ingin iklan yang seimbang antara keduanya.

Hardcore Gamer

Sama seperti pemain game hyper-casual, hardcore gamer juga memiliki karakteristik tersendiri. Biasanya, para hardcore gamer mencari game dengan mekanisme yang kompleks dan menantang. Dulu, jika seseorang ingin memainkan game multiplayer yang rumit, dia hanya bisa menemukan game seperti itu di PC atau konsol. Sekarang, game-game mobile juga mulai memiliki mekanisme yang lebih rumit. Game-game mobile yang kompleks muncul berkat teknologi smartphone yang juga semakin canggih, memungkinkan game “berat” dijalankan di smartphone.

Karena game menjadi semakin rumit dan menantang, ke depan, para hardcore gamer kemungkinan akan menghabiskan waktu lebih banyak untuk bermain. Beberapa genre membuat pemainnya menjadi lebih aktif bermain daripada genre lainnya, seperti real-time action atau multiplayer RPG. Anda bisa melihat genre game yang membuat para pemainnya menjadi lebih sering bermain game pada grafik di bawah ini.

Sumber: Facebook Gaming Report
Sumber: Facebook Gaming Report

Dengan semakin kompleksnya gameplay mobile game, maka mulai muncul esports scene untuk mobile game. Di dunia, kompetisi untuk mobile game mulai bermunculan. Di Indonesia, yang sebagian besar masyarakatnya mengenal internet melalui smartphone, sejak awal, mobile esports memang lebih menarik daripada esports untuk PC atau konsol.

Tahun ini, turnamen dengan total hadiah terbesar di Indonesia adalah Mobile Legends Professional League Season 4 dengan total hadiah mencapai US$300 ribu atau sekitar Rp4,25 miliar. Sementara itu, di tingkat global, game-game seperti Arena of Valor, Clash Royale, dan Clash of Clans membuat mobile esports menjadi populer. Menurut Newzoo 2019 Global Esports Market Report, Arena of Valor dan Clash Royale masuk ke dalam daftar 25 game yang paling sering ditonton pada 2018. Sementara pada Desember 2018 sampai Februari 2019, total durasi video ditonton dari 10 streamer yang menayangkan konten mobile esports mencapai 12,4 juta jam.

Meskipun begitu, mobile gamer yang paling antusiasi tetap bisa ditemukan di kawasan Asia Pasifik. Sebanyak 70 persen dari pengguna internet di kawasan ini bermain game di perangkat mobile. Selain itu, dalam waktu satu bulan terakhir, 27 persen gamer di Asia Pasifik pernah menonton siaran langsung terkait game, walau tidak melulu mobile game.

Gamer antara hyper-casual dan hardcore

Tidak semua gamer bisa dikategorikan sebagai pemain hyper-casual atau hardcore. Ada gamer yang masuk dalam kategori in-between. Game yang ditujukan untuk para gamer yang masuk kategori ini biasanya memiliki elemen kompetitif dari game untuk hardcore gamer, tapi menggunakan model monetisasi layaknya hyper-casual game, yaitu menggunakan iklan.

Dota Underlords. | Sumber: Digital Trends
Dota Underlords. | Sumber: Digital Trends

Dari penggabungan ini, developer biasanya akan membuat game dengan mekanisme atau genre yang sama sekali baru. Contohnya, game auto chess atau auto battler, seperti Dota Underlords. Game ini menawarkan competitiveness dari game Dota 2 pada PC, tapi memiliki mekanisme yang lebih simpel sehingga mudah untuk dimainkan dalam perangkat mobile.

Pentingnya IP yang familier

Sekarang, industri game dan industri film semakin menyerupai satu sama lain. Di Amerika Serikat, salah satu hal yang dipertimbangkan seseorang sebelum menonton film adalah apakah mereka mengenal franchise dari film tersebut. Dalam memilih sebuah game yang hendak dimainkan, gamer juga mempertimbangkan apakah mereka kenal dengan franchise game tersebut. Sebanyak 75 persen dari gamer di PC dan konsol memutuskan game yang hendak mereka mainkan berdasar apakah sebuah game berasal dari franchise yang mereka kenal. Tak hanya itu, mereka juga biasanya loyal pada sebuah IP. Misalnya, jika game terakhir dari Call of Duty terbukti tak terlalu memuaskan, para gamer tetap tertarik untuk membeli game Call of Duty yang akan diluncurkan.

Sama seperti gamer yang bermain di PC dan konsol, franchise juga menjadi salah satu pertimbangan bagi mobile gamer. Studio film bisa memanfaatkan hal ini dengan bekerja sama dengan developer untuk membuat mobile game dari IP yang mereka miliki. Dengan timing yang tepat, kerja sama antara studio film dan developer akan menguntungkan kedua belah pihak. Salah satu contohnya adalah game Jurassic World Alive yang diluncurkan sebelum film Jurrasic World: Fallen Kingdom.

“Kami sengaja meluncurkan Jurrasic World Alive tepat sebelum perilisan film Jurrasic World: Fallen Kingdom, memungkinkan kami untuk memanfaatkan hype yang muncul dari peluncuran film terbaru dari franchise Jurrasic Park. Berkat kerja sama antara tim yang membuat film dan game kami, Jurrasic World Alive meroket ke daftar game terpopuler,” kata Fracncois Daoud, Vice President of Marketing, Ludia, developer dari Jurassic World Alive.

Sumber: Ludia
Sumber: Ludia

Opsi lain untuk developer game yang ingin bekerja sama dengan pelaku industri film adalah dengan memasukkan konten dari sebuah IP ke game mereka. Misalnya, Epic Games bekerja sama dengan Netflix untuk membuat event crossover antara Fortnite dengan Stranger Things. Bagi developer game, menggunakan IP yang sudah dikenal akan membuat game mereka menjadi lebih menarik para gamer. Selain itu, mereka juga bisa menarik penggemar dari IP tersebut.

Sementara dari sudut pemegang IP, game bisa menjadi media baru untuk berinteraksi dengan fans mereka. Tak hanya itu, jika dibandingkan dengan media lain — seperti komik, novel, atau bahkan film — game merupakan media interaktif yang bisa mendorong tingkat interaksi. Setelah sebuah IP masuk dalam game, tujuan berikutnya adalah untuk membuat para gamer bermain lebih lama.

Saat ini, ada banyak IP yang bermula dari satu media dan diadaptasi ke media lainnya. Salah satu contohnya, komik superhero buatan Marvel yang diangkat menjadi film dalam Marvel Cinematic Universe. Selain film, juga banyak game yang mengusung karakter dan dunia dari Marvel. Di Indonesia, contohnya adalah Gundala Putera Petir yang belum lama ini diangkat ke layar lebar. Contoh lainnya adalah Dilan, yang berawal dari novel, kemudian dijadikan sebagai film, dan pada saat yang sama, juga muncul game-nya. Ada juga IP yang bermula dari game, kemudian diadaptasi ke media lain. Misalnya, Assassin’s Creed atau Pokemon.

Kesimpulan

Jumlah gamer kini menjadi semakin banyak. Selain itu, label “gamer” sekarang juga tidak melulu dipandang negatif. Di satu sisi, ini adalah kabar baik bagi developer dan pubisher game, karena pasar gaming menjadi semakin luas. Di sisi lain, karena pasar gaming telah menjadi semakin matang, maka para pemain mulai bosan dengan game yang tidak menawarkan sesuatu yang baru. Ini adalah waktu yang tepat bagi developer untuk membuat game yang memiliki unsur unik yang belum pernah ada sebelumnya.

Sumber header: pxhere

Genre Game Populer di Industri Game Dalam 10 Tahun Terakhir

Dalam 10 tahun belakangan, industri game berkembang pesat. Gamer tak lagi dikaitkan dengan pecundang anti-sosial yang tak punya teman. Faktanya, berkat popularitas esports, tak sedikit gamer yang justru diusung sebagai pahlawan. Tim esports tak melulu membawa nama tim, tapi juga membawa nama negara, seperti saat tim-tim esports mewakili Indonesia di ajang SEA Games 2019. Dalam 10 tahun belakangan, tren di dunia game juga telah berubah. Muncul beberapa genre game populer di industri game.

Pada tahun 2000-an, MMORPG menjadi salah satu genre favorit. Blizzard meluncurkan World of Warcraft pada 2004. Selama enam tahun ke depan, game tersebut diklaim sebagai “MMO King”. Namun, melewati tahun 2010, Blizzard mulai kesulitan untuk memberikan update konten yang tetap menarik bagi para pemain WoW. Studio game lain menganggap ini sebagai kesempatan untuk membuat game MMORPG untuk menggantikan WoW. Karena itulah, pada awal 2010-an, muncul berbagai game MMORPG. Sebagian bahkan diklaim sebagai “WoW killer”. Dan memang, beberapa game tersebut sukses, seperti Star Wars: The Old Republic yang bahkan bertahan sampai sekarang. Meskipun begitu, WoW tetap bertahan, seperti yang disebutkan oleh Polygon.

Masih di awal 2010-an, sementara banyak studio game sibuk untuk membuat MMORPG, Defense of the Ancients — yang pada awalnya merupakan mod dari Warcraft 3 — mulai mendapatkan jumlah pemain yang cukup banyak. Sayangnya, DotA masih terikat dengan Blizzard karena menggunakan properti mereka. Para developer lalu tergerak untuk membuat game MOBA dengan desain serupa DotA. Hanya saja, kali ini, game itu tidak lagi menggunakan IP milik Blizzard. Lahirlah League of Legends pada 2009 dan Heroes of Newerth pada 2010. Namun, Heroes of Newerth akhirnya kalah populer oleh Dota 2 yang dirilis oleh Valve pada 2013. Sampai sekarang, baik Dota 2 maupun League of Legends masih memiliki jumlah pengguna bulanan aktif yang cukup banyak.

Dota 2. | Sumber: Steam
Dota 2. | Sumber: Steam

Sejak saat itu, popularitas MOBA mulai menyaingi MMORPG. Sama seperti di era keemasan WoW, banyak developer yang juga membuat game MOBA, seperti Vainglory dan Heroes of the Storm. Meskipun begitu, League of Legends dan Dota 2 tetap merajai genre MOBA. Sekarang, keduanya juga menjadi game esports paling populer. Salah satu alasannya karena kedua game ini memang menuntut para pemainnya untuk berpikir strategis dan bekerja sama dengan anggota tim masing-masing. Pada saat yang sama, gameplay yang kompleks menjadi pisau bermata dua bagi dua game MOBA tersebut, karena ini membuat jumlah pemain mereka stagnan dan tidak kunjung bertambah. Jangan menjadi profesional, jika seorang pemain ingin bisa dianggap “jago” dalam bermain Dota 2 atau League of Legends, mereka harus bisa memperhatikan banyak detail sekaligus, mulai dari skill masing-masing karakter, sinergi antara satu karakter dengan karakter lain, penempatan wards, dan lain sebagainya. Seolah itu tidak cukup buruk, tak semua pemain Dota 2 atau League of Legends mau membantu para pemain baru. Tak sedikit pemain yang sedang belajar yang mendapatkan kecaman.

Meskipun begitu, game MOBA tetap hidup sepanjang 10 tahun belakangan. Bahkan ketika game mobile menjadi semakin populer, juga muncul berbagai game MOBA untuk pemain mobile. Sebut saja Mobile Legends yang menjadi salah satu game esports terpopuler di Tanah Air.

Munculnya beberapa genre baru

Sama seperti World of Warcraft yang tampaknya tak lagi bisa digoyahkan. Dota 2 dan League of Legends tampaknya akan tetap bertahan sebagai game MOBA populer. Namun, itu bukan berarti industri game stagnan begitu saja. Setelah MOBA, kini muncul genre battle royale. Genre ini dipopulerkan oleh PlayerUnknown’s Battleground. Melihat popularitas battle royale, developer lain dengan cepat membuat game bergenre serupa, seperti Fortnite dari Epic Games atau Apex Legends dari Electronic Arts.

Tak berhenti sampai di situ, beberapa franchise game pun juga mendapatkan mode battle royale, seperti Fallout 76 dan Call of Duty: Black Ops 4. Bahkan Tetris sekalipun mendapatkan mode battle royale dengan kemunculan Tetris 99. Game racing seperti Forza Horizon 4 pun akan mendapatkan mode battle royale — yang saat ini disebut “The Eleminator” oleh Playground Games. Selama sebuah game memungkinkan puluhan pemain untuk bertemu dan bersaing dengan satu sama lain, maka game itu dapat dibuat menjadi battle royale. Tentu saja, tak semua game battle royale atau mode battle royale dalam sebuah game disambut dengan baik.

Tetris 99. | Sumber: Engadget
Tetris 99. | Sumber: Engadget

Battle royale bukan satu-satunya genre yang menjadi populer dalam satu dekade ini. Genre lain yang mulai diminati para developer adalah auto battlers. Dalam game auto battlers, pemain hanya akan diminta untuk memilih sejumlah karakter yang lalu akan melakukan battle secara otomatis. Pada akhir pertandingan, pemain yang masih memiliki karakter — atau memiliki karakter paling banyak — keluar sebagai pemenang. Saat ini, ada beberapa game auto battlers didasarkan pada IP dari game yang sudah ada, seperti Dota Underlords dari Dota 2 dan Teamfight Tactics buatan Riot Games.

Selain itu, loot shooter menjadi salah satu genre yang menjadi populer dalam 10 tahun belakangan. Genre ini muncul ketika Borderlands dirilis pada 2009. Ketika itu, Borderlands menawarkan jutaan senjata bagi para pemainnya. Borderlands terbukti sukses. Buktinya, belum lama ini, Borderlands 3 baru saja dirilis.

Namun, melakukan hal yang sama berulang kali bisa membosankan, tak peduli sebanyak apa item yang ditawarkan oleh developer. Salah satu kunci kesuksesan dari game loot shooter adalah membuat gameplay yang menarik, membuat pemain tak keberatan untuk melakukan hal yang sama — menembakkan senjata dan menjelajahi peta — berulang kali. Saat ini, game-game loot shooter menawarkan tema yang bervariasi, mulai dari tema high-fantasy sci-fi dalam Destiny 2 sampai dunia post-apocalyptic yang diusung dalam Tom Clancy’s The Division 2. Satu masalah dalam game loot shooter adalah pemain dituntut untuk bermain dalam waktu lama — sampai puluhan jam — untuk mendapatkan senjata atau perangkat terbaik. Ini bisa menyebabkan pemain merasa jenuh.

Tak semua genre yang muncul dan menjadi populer dalam 10 tahun belakangan adalah genre serius. Ialah clicker game, yang mulai populer ketika developer Orteil meluncurkan prototipe Cookie Clicker — kini menjadi salah satu game paling populer di Steam. Seperti namanya, dalam clicker game, Anda cukup mengklik satu tombol atau sejumlah tombol untuk mendapatkan reward. Seiring dengan berjalannya waktu, untuk setiap klik yang Anda lakukan, reward yang Anda dapatkan dalam game bertambah. Reward ini bisa muncul dalam bentuk beragam, poin atau uang atau sesuatu yang lain. Reward yang telah Anda kumpulkan akan bisa Anda gunakan untuk melakukan upgrade. Sampai akhirnya, Anda tak lagi perlu melakukan klik terlalu sering.

Game clicker tersedia di PC dan mobile. Salah satu contoh clicker game buatan Indonesia adalah Tahu Bulat buatan Own Games. Dalam game ini, semakin sering Anda mengklik, semakin banyak pengunjung yang datang, yang berarti semakin banyak uang yang Anda dapatkan. Setelah uang terkumpul, Anda bisa memperbaiki peralatan Anda — mulai dari speaker sampai mencari bumbu tahu bulat baru — sehingga Anda bisa mendapatkan uang lebih banyak per detiknya. Biasanya, clicker game cukup populer di kalangan mobile gamer, karena Anda bisa memulai dan berhenti bermain kapan saja.

Tahu Bulat. Sumber: DailySocial
Tahu Bulat. Sumber: DailySocial

Game gratis yang menghasilkan

Selain soal genre, dalam 10 tahun belakangan, satu tren lain yang mulai terlihat adalah perubahan model bisnis dari developer. Dulu, Anda harus membeli sebuah game sebelum dapat memainkannya. Sekarang, Anda bisa memainkan game dengan gratis. Namun, skin atau item kosmetik lainnya harus Anda beli. Selain itu, juga muncul game dengan model Pay-to-Win. Jadi, selama Anda bermain gratis, Anda tidak akan bisa mengalahkan pemain yang mengeluarkan uang ekstra.

League of Legends adalah salah satu contoh game gratis yang hanya menjual skin. Model bisnis ini terbukti menguntungkan. Pada 2018, Riot Games mendapatkan US$1,4 miliar dari League of Legends. Fortnite juga bisa dimainkan secara gratis. Epic hanya menjual battle pass dan skin. Dari sini, mereka berhasil mendapatkan US$2,4 miliar.

Selain model freemium, sistem lain yang kini mulai diadopsi oleh para developer game adalah early access. Menurut Polygon, orang pertama yang menggunakan sistem ini adalah Markus “Notch” Persson untuk membuat Minecraft. Satu keuntungan yang ditawarkan game early access adalah developer dapat mengumpulkan uang sambil berusaha menyelesaikan proses pengembangan game. Bagi sebagian developer, termasuk Persson, ini memungkinkan mereka untuk fokus sepenuhnya mengembangkan game, tanpa harus mengambil pekerjaan lain untuk menyokong hidup mereka.

Minecraft. | Sumber: Microsoft via Engadget
Minecraft. | Sumber: Microsoft via Engadget

Sistem early access juga bisa membantu developer untuk mengembangkan game sesuai ekspektasi gamer. Ketika game yang diluncurkan di bawah label early access memiliki masalah — ada bug, konten yang kurang menarik, dan lain sebagainya — developer memiliki kesempatan untuk memperbaiki masalah tersebut. Dan ada beberapa game AAA yang menjadi lebih baik setelah mendapatkan masukan dari para gamer, seperti Rainbow Six: Siege. Keuntungan lain yang didapatkan oleh developer dengan model early access adalah mereka dapat tetap memberikan update secara berkala, sehingga perhatian para pemain tetap tertuju pada game buatan mereka.

Hanya saja, terkadang, game yang telah diluncurkan dengan label early access tak pernah dirilis secara sempurna, yang akan membuat sebagian orang bingung dengan arti dari “early access”. Game seperti PlayerUnknown’s Battleground dan Minecraft resmi diluncurkan satu tahun setelah versi early access muncul. Sayangnya, tidak semua game seperti itu. DayZ, misalnya, resmi diluncurkan pada Desember 2018 setelah versi early access bisa dimainkan sejak Desember 2013. Contoh lainnya adalah Star Citizen.

Star Citizen bermula sebagai proyek Kickstarter. Developer game ini lalu mulai membuka donasi di situsnya sendiri. Game itu didesain sebagai game bertema luar angkasa yang memungkinkan para pemainnya untuk saling bertempur dan berdagang. Namun, konsep gameplay dari Star Citizen begitu kompleks sehingga proses pengembangannya pun memakan waktu yang sangat lama. Karena itu, sang developer merilis game ini meski belum selesai, agar para pemain bisa mencobanya. Versi pertama memungkinkan pemain untuk memodifikasi pesawat luar angkasa dan memarkir pesawat itu di dalam hangar. Setelah itu, sang developer terus menambahkan fitur untuk game tersebut. Star Citizen juga memiliki elemen first person shooter dan penjelajahan luar angkasa. Sayangnya, sampai sekarang, tidak ada benang merah yang membuat semua elemen dalam game menyatu dan menjadikannya sebagai game menjadi koheren. Hingga sekarang, masih belum diketahui kapan game ini akan diluncurkan.

Star Citizen. | Sumber: PC Gamer
Star Citizen. | Sumber: PC Gamer

Kesimpulan

Satu hal yang pasti, selama satu dekade belakangan, tidak ada satu game atau developer pun yang berhasil memberikan game yang jauh lebih populer dari game-game lain. Walau PUBG menjadi game battle royale pertama, banyak pemain yang tertarik game battle royale lain ketika game itu dirilis. Uniknya, masing-masing game dan genre memiliki pemain setia tersendiri. Misalnya, meskipun Fortnite, Apex Legends, dan PUBG sama-sama merupakan game battle royale, mereka memiliki gamer setia yang berbeda-beda. Pemain Fortnite menyukai game itu karena Epic lebih menitikberatkan pada interaksi sosial. Sementara gamer Apex Legends lebih suka dengan pacing dari game tersebut. Dan PUBG disukai karena memaksa para pemainnya untuk bekerja sama dengan satu sama lain.

Di satu sisi, ini adalah kabar baik. Karena semua developer bisa membuat game online dengan life cycle yang lama. Di sisi lain, semakin banyak game yang muncul, semakin ketat pula persaingan untuk mendapatkan pemain setia. Semua orang hanya memiliki waktu 24 jam dalam sehari. Dan tidak semua waktu tersebut bisa mereka gunakan untuk bermain. Jadi, sebuah game harus bisa memenangkan hati para pemainnya agar mereka rela menghabiskan waktu luangnya untuk bermain game.

[OPINI] 4 Alasan Kenapa Anda Perlu Main Fighting Game

Fighting game merupakan salah satu genre game tertua yang masih lestari sampai kini, bahkan belakangan sedang hangat-hangatnya berkembang. Saking hangatnya perkembangan fighting game, jumlah judul yang dimainkan dan dipertandingkan sebagai esports bahkan jadi terbilang terlalu banyak; membuat para developer jadi berebut pasar yang sama.

Namun demikian, di luar dari geliat perkembangan fighting game yang sedang hebat-hebatnya, genre ini masih punya masalah yang sama, yaitu soal persepsi orang-orang terhadap entry barrier fighting game. Pemain cenderung enggan mencoba fighting game, karena merasa genre ini punya mekanik permainan yang lebih sulit dibanding genre game lainnya.

Mungkin kebanyakan gamers terlanjur segan gara-gara melihat command list satu petarung yang bisa mencapai ratusan macam kombinasi tombol? Atau mungkin segan karena melihat kombo atau respon ajaib pro player yang bermain? Atau mungkin karena dalam fighting game, kita tidak bisa menyalahkan siapapun ketika kalah kecuali diri kita sendiri… Ups.

Walakin, genre yang satu ini tetap punya nilai tersendiri, baik nilai hiburan secara tontonan atau permainan, bahkan dalam beberapa aspek punya nilai kehidupan yang bisa dipelajari. Maka dari itu ada beberapa alasan mengapa, siapapun Anda, baik seorang gamers atau mungkin pacarnya gamers harus mencoba bermain fighting game.

Karena fighting game bersifat 1-on-1

Dalam game kompetitif berbasis tim seperti MOBA atau First-Person Shooter, skill individu tidak selalu bisa membawa kepada kemenangan. Mengapa? Alasannya jelas, dua game tersebut memang dirancang sebagai game berbasis tim. Jadi 5 pemain biasa saja dengan kerja sama yang kompak bisa jadi punya kemungkinan menang yang lebih besar daripada seorang Faker atau Sumail dibantu 4 pemain kelas teri yang tidak mengerti caranya main ataupun kerja sama.

Maka dari itu jika Anda kesulitan mencari teman mabar yang rutin di dalam game berbasis tim seperti MOBA atau FPS, fighting game bisa jadi pilihan untuk dimainkan. Ini juga jadi salah satu alasan kenapa saya mulai, sedikit demi sedikit, mendalami fighting game lewat Tekken 7. Daripada kelimpungan dengan segala toxic yang ada dalam solo matchmaking game MOBA, fighting game menawarkan sebuah pengalaman pengembangan diri secara lebih personal. Ini membuat setiap kemajuan yang Anda alami terasa lebih manis, daripada sekadar push rank yang hanya mengejar statistik tanpa merasakan perkembangan kemampuan diri.

Sumber: Bandai Namco Official Media
Sumber: Bandai Namco Official Media

Ini yang membuat fighting game punya nilai jual lebih, dibanding permainan kompetitif lain yang berbasis tim. Dalam pertandingan satu lawan satu, hanya ada pikiran dan jempol Anda sendiri untuk menggerakkan karakter yang Anda mainkan. Tanggung jawab menang atau kalah benar-benar bergantung kepada pada Anda sendiri.

Memang, kekalahan jadi terasa lebih pahit dalam fighting game, karena Anda harus menerima kenyataan pahit bahwa kemampuan bermain Anda belum seberapa dibanding musuh yang dilawan. Tapi mengecap kemenangan akan terasa jauh lebih manis, apalagi jika Anda bisa menang dari keadaan yang sulit atau menang setelah berkali-kali kalah melawan rekan latih tanding Anda.

Memberi perasaan proses perkembangan diri yang menyenangkan

Banyak orang beranggapan bahwa fighting game itu sulit. Jujur, saya juga setuju dengan anggapan tersebut. Memang kenyataannya fighting game itu sulit, terlepas dari judul game yang Anda mainkan. Sebagai gambaran seberapa sulit fighting game, lagi-lagi saya meminjam genre MOBA sebagai perbandingan.

Dalam MOBA setiap karakter biasanya dibatasi hanya punya 4 “jurus” saja. Anda cukup tekan satu tombol (Dota 2 atau LoL biasanya menggunakan tombol Q,W,E,R) untuk setiap jurus. Dalam fighting game, walau serangan dasar hanya terdiri dari 4 sampai 6 tombol saja, namun mengeluarkan jurus mengharuskan Anda menekan kombinasi tombol. Jurus paling dasar, Hadouken milik karakter Ryu dari Street Fighter misalnya, mengharuskan Anda menekan tombol arah bawah, serong bawah maju, dan maju, ditambah tombol pukul. Itu baru satu gerakan dari satu karakter. Bayangkan jika Anda ingin bisa lebih dari satu karakter, yang berarti harus hapal banyak gerakan dan cara main dari masing-masing karakter.

Jumlah jurus atau gerakan-per-karakter pada game seperti Street Fighter mungkin lebih sedikit, hanya ada pada angka puluhan saja. Sementara gerakan-per-karakter pada fighting game tiga dimensi seperti Tekken 7 kadang bisa mencapai seratus lebih, walau tidak semuanya terpakai.

Tetapi ini juga yang menurut saya membuat fighting game jadi menyenangkan dan menjadi alasan kenapa Anda harus mencobanya. Dengan ragam kombinasi gerakan yang bisa dipelajari, Anda bisa merasakan sendiri proses perkembangan personal. Saya jadi teringat pengalaman saya pribadi mempelajari Bryan, karakter Tekken 7 pertama yang saya pelajari.

Berawal dari hanya button mashing, perlahan-lahan saya mulai mempelajari satu-per-satu gerakan. Selanjutnya saya mulai sedikit demi sedikit belajar melakukan satu rangkaian gerakan Combo paling dasar. Saya ingat menghabiskan seharian penuh berkutat di Infinite Azure hanya untuk mengulang satu jenis gerakan Combo saja. Dengan jari jemari yang masih kaku, saya berusaha keras menekan tombol demi tombol, sambil memperhatikan efek visual yang terjadi di layar. Beberapa kali Combo-nya terjatuh, tapi ketika berhasil, saya begitu kegirangan, karena perasaaan sense-of-accomplishment yang saya rasakan setelah berjam-jam dan berhari-hari berlatih.

Proses belajar ini yang menurut saya membuat fighting game jadi menyenangkan untuk dimainkan. Pada beberapa aspek saya bahkan merasa proses mempelajari gerakan Combo dalam fighting game seperti mempelajari alat musik. Seperti bermain gitar, berawal dari mempelajari kunci dasar, yang dilanjut mempelajari kombinasi kunci-demi-kunci untuk memainkan satu lagu penuh.

Walau belajar Combo mungkin tidak disarankan bagi pemula Tekken 7 (atau fighting game lainnya), tapi tetap saja hal tersebut menyenangkan untuk dipelajari. Apalagi prosesnya yang bisa membuat Anda yang awalnya hanya pemain biasa-biasa jadi merasa sangat jago.

Itu hanya baru sebatas melakukan Combo saja. Nyatanya masih ada banyak hal lagi yang bisa Anda pelajari di dalam fighting game. Mulai dari yang paling mendasar seperti cara menangkis atau membalas serangan, sampai kepada hal yang paling geeky seperti frame data. Belum lagi seiring proses belajarnya, Anda akan mendapat hadiah berupa momen-momen kemenangan atau naik ranking di pertandingan online. Di antara momen, bisa jadi terselip di antaranya adalah momen ketika Anda bisa mengalahkan orang yang mainnya berkali lipat lebih jago dari Anda, yang akan memberi perasaan seperti memenangkan kompetisi tingkat dunia.

Lebih lanjutnya, Anda juga bisa baca tulisan pengalaman Patrick Miller atau paththeflip, salah satu sosok yang cukup dikenal di dunia FGC sebagai seorang pemain dan pembuat konten.

Mengajarkan nilai hidup, mengasah ragam soft-skill

Ini mungkin terdengar seperti romantisasi atas fighting game, namun inilah pengalaman yang saya rasakan sendiri dari perjalanan saya mencoba bermain fighting game selama beberapa tahun belakangan. Selain menekan tombol demi tombol dengan irama untuk mengeluarkan serangan Combo, saya juga belajar beberapa hal dengan bermain fighting game. Beberapa hal tersebut termasuk beberapa soft-skill dan sedikit nilai hidup yang bisa Anda gunakan untuk kehidupan sehari-hari. Saya merasa bahwa lewat genre ini, Anda dapat belajar mengelola serta mengenal emosi, belajar soal arti kekalahan, dan juga nilai-nilai ketekunan.

Nilai ketekunan sedikit banyak sudah saya jelaskan pada poin sebelumnya, yang mana genre ini menuntut Anda untuk tekun dalam banyak hal. Mulai dari tekun mempelajari gerakan demi gerakan, Combo, ataupun mengantisipasi gerakan lawan. Namun selain itu hal menarik yang akan Anda pelajari dari bermain fighting game adalah soal kemampuan mengelola dan mengenal emosi.

Mengelola emosi adalah sesuatu yang penting dalam bermain fighting game, apalagi jika sudah turun sampai ke tingkat kompetitif. Secara ilmiah, hal ini disebut juga dengan istilah Mental Block; keadaan ketika pikiran Anda menahan kemampuan Anda yang sesungguhnya. Walau Anda sudah berlatih, berhari-hari, berminggu-minggu atau mungkin bertahun-tahun, namun Anda masih merasa belum cukup atau bahkan masih merasa takut kalah ketika menghadapi kompetisi. Ini juga jadi hal yang dilatih jika Anda bermain Fighting Game

Perasaan seperti ini sebenarnya bukan monopoli genre fighting game saja, bermain game lain juga bisa memberi Anda perasaan ini. Tetapi menurut saya, satu yang istimewa dari fighting game adalah, perasaan ini bahkan bisa Anda rasakan ketika bermain secara online melawan musuh berat yang Anda bahkan tidak tahu wujudnya seperti apa. Rasa ragu bisa muncul kapan saja, perasaan lebih lemah dari musuh yang dihadapi juga kerap muncul. Satu-satunya yang bisa membawa Anda menang adalah dengan mengatasi dan mengenal emosi-emosi negatif tersebut dan menggunakannya sebagai kekuatan untuk memenangkan permainan.

Aspek terakhir yang juga terlatih dengan bermain fighting game menurut saya adalah belajar bertanggung jawab atas pahitnya kekalahan. Penolakan, kekalahan, kegagalan, bisa dibilang sebagai beberapa emosi negatif yang sulit untuk diterima oleh kita manusia. Pada game yang sifatnya beregu seperti MOBA atau FPS, Anda bisa dengan mudah kabur dari emosi-emosi tersebut. Kalah main rank di MLBB sebagai carry? Ini pasti salah support yang tidak melindungi saya. Main PUBG lalu mendapat Too Soon? Ini pasti salah kawan saya yang terlalu lama looting.

Namun jangan harap Anda bisa kabur dari perasaan tersebut di dalam fighting game. Kalah berarti kalah, dan Anda dipaksa menelan pil pahit tersebut. Anda tidak bisa mendadak beralasan Heihachi tidak pakai sandal membuat gerakan Anda jadi lebih lambat, atau jaket Jin Kazama membuat jangkauan serangannya jadi lebih pendek; walau masih bisa alasan Joystick Anda tidak enak ditekan. Dalam fighting game, Anda dipaksa menerima kegagalan atas diri Anda sendiri. Kalah artinya Anda harus lebih cermat. Kalah artinya Anda harus belajar lagi, belajar mengoptimasi gerakan yang Anda gunakan atau mempelajari gerakan yang digunakan musuh.

Lebih menyenangkan saat bermain dengan teman

Walau fighting game pada dasarnya adalah permainan individu, namun bukan berarti tidak ada interaksi antar manusia di dalam permainan ini. Pada titik tertentu, Anda mungkin akan jemu hanya berlatih sendirian atau main online melawan musuh yang Anda tidak tahu bentuknya apa. Maka dari itu berkomunitas tetap menjadi salah satu bagian penting dari Fighting.

Selain menambah teman, bertemu dengan komunitas juga akan membantu meningkatkan kemampuan Anda secara lebih cepat lebih . Pastinya akan ada lawan-lawan yang lebih berat ketika Anda mencoba hadir ke acara kumpul dan saling tarung seperti Hybrid Dojo. Tetapi di sana Anda dapat belajar lebih banyak seputar fighting game yang Anda mainkan. Anda mungkin bisa menemukan celah dari gerakan Anda yang selama ini tak pernah bisa ditebak oleh musuh. Anda mungkin jadi menemukan cara bermain baru dari karakter Anda, karena didesak oleh cara main musuh yang tidak biasa.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Komunitas Hybrid Dojo. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Belum lagi jika Anda sudah menemukan rival yang tepat untuk dilawan, yang mungkin akan membuat Anda semakin terpacu untuk belajar fighting game yang dimainkan secara lebih dalam. Komunitas Fighting Game di Indonesia juga terbilang punya sejarah yang panjang. Bramanto Arman, Co-Founder Advanced Guard, jadi salah satu yang terus berusaha mengembangkan komunitasnya di Indonesia. Jika Anda mulai penasaran dengan fighting game, dan ingin tahu tentang perjuangan komunitasnya, Anda mungkin bisa mulai dari cerita Bram soal perkembangan esports fighting game di Indonesia.

Hal tersebut juga, menurut saya, jadi nilai lebih dari bermain fighting game. Bahkan terkadang saya merasa bahwa jalinan pertemanan komunitas fighting game terasa lebih kuat dibanding dengan jenis game lainnya. Memang, bukan berarti pada jenis game lain, Anda tidak bisa merasakan jalinan persahabatan yang erat. Beberapa game lain malah bisa menciptakan jalinan percintaan. Namun demikian, pertemanan di dalam komunitas fighting game sebenarnya terbilang unik, karena tercipta dari momen baku hantam dan rivalitas digital.

Bagaimana Memanfaatkan Statistik Esports Demi Kemenangan?

Di era digital, semakin banyak perusahaan yang menggunakan data untuk menekan biaya operasional atau untuk meningkatkan keuntungan perusahaan. Di dunia olahraga, atlet atau tim profesional biasanya memiliki analis yang berfungsi untuk menganalisa data pemain atau tim untuk meningkatkan performa mereka. Tugas lain analis adalah menganalisa data atlet atau tim musuh untuk mengantisipasi mereka. General Manager Oakland Atletics, Billy Beane dipercaya sebagai orang pertama yang memprioritaskan penggunaan data dan statistik dalam sebuah tim olahraga. Di tennis, data biasanya digunakan untuk mengetahui kebiasaan arah serve seorang pemain. Sementara dalam basket, data bisa digunakan untuk mengetahui ketangguhan pertahanan sebuah tim.

Pada awalnya, data tidak digunakan di statistik esports. Namun, ketika muncul game-game yang kaya data seperti StarCraft 2 dan Dota 2, organisasi esports juga mulai mempekerjakan staf analisis. Semakin besarnya industri esports berarti, perusahaan-perusahaan teknologi besar — seperti IBM, Microsoft, dan SAP — menjadi tertarik untuk bekerja sama dengan organisasi esports. Perusahaan teknologi tersebut biasanya menawarkan untuk membuat software analisa bagi organisasi esports. Tak hanya itu, mereka ini juga menyediakan software analisa untuk kebutuhan broadcast.

Untuk menganalisa data para atlet olahraga tradisional, data yang dikumpulkan harus didigitalkan terlebih dulu sebelum diolah. Proses digitalisasi biasanya memakan waktu yang cukup lama. Untungnya, data dalam esports sudah ada dalam bentuk digital, sehingga data ini tak perlu didigitalisasi lagi. Hanya saja, data yang bisa Anda dapatkan dari game esports bisa sangat banyak. Masalah lain dalam menggunakan data di esports adalah akses ke data sebuah game biasanya tergantung pada kemurahan hati publisher.

Sumber: Esports One via The Esports Observer
Sumber: Esports One via The Esports Observer

Game publisher dan API (application programming interface) yang publisher sediakan akan selalu menjadi sumber data utama,” kata Matthew Gunnin, CEO Esports One, perusahaan pembuat software untuk membuat statistik menggunakan computer vision dan machine learning. Data tersebut akan akan digunakan dalam siaran langsung. Pada awal perusahaan didirikan, dia mengatakan, Esports One mengumpulkan data secara manual dan menggantungkan diri pada API dari sebuah game. “Sekarang, kita sangat memanfaatkan computer vision untuk mengumpulkan data, tapi setiap game berbeda-beda, tergantung pada game dan support yang ada.”

Data apa yang dikumpulkan dan bagaimana data digunakan?

Dalam statistik esports, data yang bisa didapatkan dari setiap game berbeda-beda. Penggunaannya juga tak selalu sama. Dalam game shooter, cara pemain memosisikan diri adalah salah satu bagian penting yang harus diperhatikan, karena posisi memengaruhi jarak pemain ke musuh dan waktu reaksi yang mereka butuhkan untuk bereaksi. Ini mendorong Tobi dan SteelSeries untuk menyediakan solusi yang memungkinkan pemain yang masih ingin mengasah kemampuan mereka untuk membandingkan gerakan mata mereka dengan gerakan mata para profesional.

Selain itu, data juga bisa digunakan untuk memperkirakan kombinasi yang akan digunakan oleh musuh. Misalnya, esports scene Dota 2 tidak memiliki liga. Sebagai gantinya, ada beberapa turnamen besar yang diadakan setiap tahunnya. Karena itu, biasanya, para tim profesional Dota 2 lebih ingin tahu tentang kebiasaan tim lawan. Untungnya, Valve, publisher Dota 2 biasanya cukup terbuka untuk berbagi data untuk proyek open source. Mereka bahkan membiarkan pihak ketiga mengakses data dari video replay pertandingan.

Sumber: Steam Community
Sumber: Steam Community

“Sekarang, kami memiliki data dari sekitar 65 ribu pertandingan dari pertandingan yang telah berlalu,” kata Melvin S. Metzger, Esports Developer, SAP HANA, menurut lapora The Esports Observer. Dia mengatakan SAP HANA dapat menganalisa pertandingan profesional dari Dota 2. Mereka akan membandingkan data dari pertandingan lama dengan data dari pertandingan yang tengah berlangsung atau yang akan datang. Ketika membandingkan data pemain dengan pemain lain, data yang digunakan tergantung pada permintaan.

Ketersediaan data di esports memungkinkan perusahaan untuk membuat AI yang dapat membantu pelaku esports untuk berlatih. Selain itu, AI juga bisa digunakan untuk beberapa hal lain. telah ada sejumlah perusahaan yang menawarkan AI untuk mengasah kemampuan pemain, seperti OpenAI. Meskipun begitu, penggunaan AI untuk membantu pemain berlatih adalah hal yang masih sangat baru. Tingkat efisiensinya pun belum diketahui. Meskipun begitu, perusahaan teknologi tetap mau menjalin kerja sama dengan organisasi esports. Biasanya, alasan perusahaan teknologi mau bekerja sama dengan organisasi esports adalah untuk mendekatkan diri dengan fans esports. Misalnya, Microsoft bekerja sama dengan Cloud9. Terlepas dari apakah kolaborasi keduanya sukses atau tidak, fans esports akan mengingat Microsoft sebagai perusahaan yang menjadi rekan dari Cloud9.

Gunnin menjelaskan, “Dari perspektif kami, bagaimana data akan digunakan di masa depan adalah tentang bagaimana kami akan mengaitkan status para pemain dengan apa yang terjadi saat game berlangsung. Kami tahu bagaimana cara para pemain pro bermain, dan saat melihat gameplay Anda, kami akan menyimpan dan menandai kejadian dalam game sebagai perbandingan.”

Seberapa penting analisa untuk tim esports?

Di Indonesia, BOOM Esports merupakan salah satu organisasi yang memiliki tim Dota 2 terkuat. Ketika berkunjung ke kantor Hybrid, CEO dan pendiri BOOM Esports, Gary Ongko menjelaskan alasannya mengapa mereka berkeras untuk bertahan di esports PC walau mobile esports tengah booming di Indonesia. Selain itu, dia juga menjelaskan pentingnya keberadaan psikolog dan analis bagi sebuah tim esports. Gary mengatakan, peran analis cukup penting dalam esports. Tim-tim papan atas biasanya memiliki taktik yang mereka gunakan. Namun, para pemainnya juga biasanya memiliki kebiasaan buruk yang bisa dieksploitasi.

“Misalnya, pada detik ke sekian, pemain selalu melihat ke kanan, memeriksa keadaan di belakang. Kita bisa mengeksplotasi hal ini,” ujar Gary. Menurutnya, detail kecil seperti inilah yang akan menentukan kemenangan jika dua tim yang sama-sama jago bertemu. Dan kebiasaan seperti ini bisa diketahui dengan statistik. Saat ini, BOOM masih melakukan analisa secara manual. Itu artinya, analis memasukkan data ke spreadsheet dan mengolahnya sendiri. Meskipun begitu, dia sadar bahwa telah ada perusahaan yang menawarkan software analisa yang bisa melakukan tugas analis secara otomatis. Menurutnya, analis esports tak harus pernah menjadi pemain profesional. Begitu juga dengan para pelatih. “Selama ide mereka memang bagus, kenapa nggak?”

Sumber: Dokumentasi Hybrid
CEO dan pendiri BOOM Esports, Gary Ongko. | Sumber: Dokumentasi Hybrid

Gary memiliki kesempatan untuk mengambil kuliah S2 hingga Amerika Serikat. Sambil tertawa, dia mengaku bahwa tidak banyak ilmu dari perkuliahan yang dia masih gunakan sampai sekarang. Namun, menurutnya, kuliah tetap penting karena itu akan mengajarkan Anda untuk disiplin dan berpikir kritis. Satu ilmu yang masih digunakan sampai sekarang adalah statistik, yang masih melibatkan pengolahan data. Dia bercerita, statistik tidak hanya digunakan untuk analisa permainan tim, tapi juga aspek lain dalam mengatur organisasi esports. Misalnya untuk melihat perkembangan performa pemain atau bahkan pertumbuhan media sosial tim atau pemain profesional. Ketika BOOM mencoba hal baru, dengan bantuan data, mereka bisa mengetahui apakah hal itu efektif atau tidak. “Kalau di Dota 2, statistik bisa digunakan untuk melihat persentase hero yang di-pick dari musuh. Sementara kalau PUBG Mobile dan Free Fire, kita bisa melihat lokasi pemain turun, timing rotasi,” ungkapnya.

Sayangnya, sepertinya, analisa data di Indonesia mungkin belum akan jadi mainstream dalam beberapa tahun ke depan. Muasalnya, game esports yang laris di Indonesia adalah game mobile yang punya keterbatasan soal API — dibandingkan game PC. Game-game yang laris di Indonesia juga rilisan publisher ataupun besutan developer Tiongkok yang mungkin lebih tertutup soal transparansi data. Ditambah lagi, masih banyak pelaku industri esports di Indonesia yang belum menyadari pentingnya digitalisasi data di esports.

Studi kasus: Liquid dan SAP HANA

Pada April 2018, SAP mengumumkan kerja samanya dengan Team Liquid, khususnya divisi Dota 2 mereka. Melalui kerja sama ini, SAP akan mengembangkan tool untuk menganalisa data yang dikumpulkan dari game untuk meningkatkan performa para pemain dan mencari talenta baru. Namun, data ini dikumpulkan dari roster Team Liquid yang lama, yang telah keluar dari organisasi tersebut dan membentuk tim baru bernama Nigma.

Setelah satu tahun, SAP akhirnya berhasil menciptakan tool yang memang bisa digunakan oleh para profesional. Software ini dibuat oleh dua ahli full-stack development yang juga memiliki pemahaman tentang data science. Salah satu fungsi dari software ini adalah untuk membantu Team Liquid dalam fase drafting, yaitu proses pemilihan hero ketika mereka juga bisa melarang sejumlah karakter untuk digunakan oleh musuh. Di sini, tim profesional berusaha untuk mengumpulkan data sebanyak mungkin dan mempertimbangkan sinergi antar karakter.

Proses drafting. | Sumber: ESL via The Esports Observer
Proses drafting. | Sumber: ESL via The Esports Observer

“Salah satu tantangan yang kami hadapi adalah tidak ada data komprehensif yang bisa kami dapatkan melalui data yang bisa diakses semua orang,” kata Milan Cerny, Properti Owner and Innovation Lead for Esports, SAP. “Tentu saja, kami juga mempertimbangkan aspek dalam game. Seperti heat mapping untuk segala kejadian dalam game, baik pergerakan hero maupun penggunaan ward.” Tak hanya bekerja sama dengan organisasi esports profesional, SAP juga menggandeng sejumlah penyelenggara turnamen, seperti EPICENTER, DreamHack, dan ESL. Kepada para penyelenggara turnamen, SAP menawarkan data tentang pemilihan hero, persentase kemenangan, dan data lainnya di layar penonton. Mereka juga memberikan insight pada para caster dan analis produksi.

Kesimpulan

Penggunaan data dan AI di ranah esports masih sangat baru. Belum ada bukti definitif apakah penggunaan data akan bisa membantu tim esports untuk menang. Namun, menggunakan data untuk menganalisa performa tim dan memprediksi lawan terbukti bermanfaat di olahraga tradisional. Tidak tertutup kemungkinan, pengumpulan dan pengolahan data akan menjadi senjata bagi organisasi esports papan atas di masa depan.

10 Konten Gaming di YouTube yang Paling Populer di 2019

YouTube Rewind 2019 sudah datang. Anda bisa nyinyir soal ini atau mengambil pelajaran tentang data konten gaming di YouTube yang paling populer.

Data-data ini dirilis di microsite dari YouTube Rewind dan menggunakan data sampai dengan 30 Oktober 2019 (berarti angkanya harusnya lebih besar lagi saat artikel ini ditulis). Tanpa basa-basi lagi, inilah 10 konten gaming terlaris di YouTube.

1. Minecraft

Sumber: Mojang
Sumber: Mojang

Dengan total 100,2 miliar views, Minecraft merajai konten gaming di YouTube. Menariknya, Minecraft kembali naik daun setelah content creator gaming paling populer di YouTube, PewDiePie, kembali mengunggah konten Minecraft di akhir bulan Juni. Sebulan setelah PewDiePie mengunggah video berjudul ‘Minecraft Part 1‘, unggahan video terkait Minecraft mencapai titik tertinggi.

Jumlah pemain Minecraft sendiri juga masih sangat masif yang mencapai 480 juta orang. Minecraft juga jadi salah satu game dengan penjualan terlaris sepanjang masa.

2. Fortnite

Sumber: Epic Games
Sumber: Epic Games

Berada di peringkat dua, ada Fortnite yang telah ditonton selama 60,9 miliar kali. Meski Fortnite bisa dibilang sebagai game paling populer di dunia, ia bukanlah yang paling laris ditonton di Youtube.

Sampai bulan Maret 2019, Fortnite memiliki 250 juta pemain di seluruh dunia. Meski memang game ini ‘hanya’ memiliki 78,3 juta pemain aktif setiap bulannya (MAU).

3. GTA V

Sumber: Best HQ Wallpapers
Sumber: Best HQ Wallpapers

Selanjutnya ada Grand Theft Auto V besutan Rockstar Games yang telah ditonton sebanyak 36,9 miliar kali di tahun 2019 ini. Menariknya, GTA V adalah satu-satunya game di daftar ini yang kuat dari aspek singleplayer dan kedalaman cerita.

Meski demikian, GTA V memang sungguh istimewa. GTA V merupakan produk media terlaris sepanjang sejarah (highest gross) — yang berarti dibandingkan produk musik dan film sekalipun. GTA V mencatatkan angka penjualan sebesar US$6 miliarBandingkan dengan Avengers: Endgame yang hanya mencetak uang sebesar US$2,7 miliar.

4. Garena Free Fire

Image Credit: Garena
Image Credit: Garena

Konten Free Fire di YouTube berhasil ditonton setidaknya 29,9 miliar kali sepanjang 2019. Free Fire mungkin adalah satu-satunya game yang masuk peringkat 5 besar yang tidak laris di pasar barat, yang memang lebih suka dengan platform PC ataupun console.

Namun demikian, popularitas Free Fire di Brasil dan Asia Tenggara ternyata mampu mengalahkan 6 game lainnya di daftar ini. Game ini juga ternyata memiliki 450 juta gamer di seluruh dunia dengan 50 juta pemain aktif setiap harinya (DAU), menurut data bulan Mei 2019.

5. Roblox

Jujur saja, mungkin inilah satu-satunya game di daftar ini yang paling tidak familiar di kepala saya. Namun, jika sekilas melihat gameplay-nya, Roblox menawarkan konsep yang mirip dengan Minecraft yang memberikan ruang bermain bebas (sandbox) yang memang cocok bagi komunitasnya memamerkan kreasi mereka sendiri lewat YouTube. Konten Roblox di YouTube berhasil ditonton sebanyak 29,6 miliar kali sepanjang tahun 2019.

Menurut data yang dirilis di bulan April 2019, Roblox memiliki 90 juta pemain aktif setiap bulannya (MAU) di seluruh dunia.

6. PUBG Mobile

Sumber: PUBG Mobile
Sumber: PUBG Mobile

Sayangnya, untuk peringkat 6 dan seterusnya, tidak ada angka yang disuguhkan untuk setiap game. Meski demikian, saya kira tetap menarik dan berguna jika kita melanjutkan daftar ini.

PUBG Mobile memang langsung mencuri perhatian saat ia dirilis pertama kali. PUBG (versi PC-nya) sendiri memang sedang hangat-hangatnya saat versi mobile-nya dirilis. Sayangnya, game ini sepertinya kehilangan momentum dan kalah popularitasnya ketimbang Free Fire – setidaknya dari pengamatan saya di scene esports Indonesia. Mungkin karena memang Free Fire memiliki requirements yang lebih ringan dari sisi perangkat yang digunakan.

Meski begitu, pada bulan Juni 2019, game ini telah mencatatkan total pengguna sebanyak 400 juta dengan 50 juta pemain aktif setiap hari (DAU) di seluruh penjuru dunia.

7. Playerunknown’s Battlegrounds (PUBG)

Sumber: PUBG
Sumber: PUBG

Jika PUBG Mobile kalah dengan Free Fire di platform mobile, PUBG juga sepertinya kalah popularitasnya di platform yang lebih dewasa dibanding Fortnite.

Hal ini juga terlihat dari penurunan pemain aktifnya (concurrent players) di platform PC (Steam) dari titik tertingginya di Januari 2018. Kala itu PUBG mampu menarik 3,2 juta pemain aktif di saat yang sama. Namun menurut data terakhir dari Statista, di bulan November 2019 kemarin, concurrent players-nya menurun hingga di angka 695 ribu.

8. League of Legends

Sumber: League of Legends
Sumber: League of Legends

Meski League of Legends (LoL) jadi game paling populer di Twitch (saat artikel ini ditulis), nampaknya game ini tak begitu populer di YouTube. Namun demikian, tetap saja LoL adalah salah satu game paling laris di dunia sampai hari ini. Menurut data yang diungkap oleh Riot Games selaku publisher-nya di bulan September 2019, ada 8 juta concurrent players setiap harinya.

9. Brawl Stars

Sumber: Red Bull
Sumber: Red Bull

Di peringkat 9, kita kembali ke platform mobile. Brawl Stars adalah game besutan Supercell yang sebelumnya lebih dikenal dari Clash of Clans dan Clash Royale. Nampaknya, setidaknya di YouTube, Brawl Stars sudah mengalahkan popularitas 2 saudara tuanya itu tadi.

Menariknya, meski diperuntukkan untuk platform mobile, game ini tak terlalu populer di Indonesia. Menurut data bulan Juli 2018, 5 negara dengan pemain Brawl Stars terbanyak adalah Singapura, Finlandia, Macau, Hong Kong, dan Malaysia.

10. Mobile Legends: Bang Bang

Sama seperti Free Fire ataupun PUBG Mobile, saya mungkin tak perlu menjelaskan panjang lebar tentang game ini. Setidaknya, di Indonesia, MLBB adalah salah satu game esports terlaris sampai artikel ini ditulis.

Di Indonesia saja, menurut data dari Moonton selaku publisher-nya, MLBB memiliki 31 juta pengguna aktif setiap bulannya (MAU). Lalu kenapa game ini ‘hanya’ bertengger di peringkat 10 di YouTube? Bisa jadi karena turnamen-turnamen resmi dari Moonton seperti MPL (Mobile Legends: Bang Bang Professional League) di 4 kawasan (Indonesia, Malaysia-Singapura, Filipina, dan Myanmar) dan MSC (Mobile Legends: Bang Bang Southeast Asia Cup) 2019 hanya tayang eksklusif di Facebook. Hanya M1 World Championship 2019 yang tayang eksklusif di YouTube.

Terakhir, sebagai penutup, uniknya 10 game yang paling populer di YouTube tadi tidak ada yang dirilis di tahun 2019 ini. Daftarnya dipenuhi dengan game-game yang punya komunitas besar tapi rajin mendapatkan update.

4 Dampak Negatif Esports untuk Kaum Muda di Indonesia

Biasanya, opini-opini tentang dampak negatif esports dan game datang dari kalangan konservatif ataupun masyarakat awam. Sebaliknya, para pelaku yang punya kepentingan di esports seringnya, jika tak mau dibilang selalu, meneriakkan betapa mulianya pengaruh esports bagi kaum muda.

Saya? Saya memang aneh… Saya pribadi memang punya kepentingan dan keinginan melihat industri dan ekosistem esports di Indonesia maju karena kebetulan saya sudah berkarier di industri game dan sekitarnya dari 2008. Namun demikian, saya tak ingin terjebak dengan bias-bias kognitif yang biasanya terlihat jelas pada dikotomi pilihan politik.

Lagipula, saya percaya betul bahwa setiap hal pasti punya dampak positif dan negatif di saat yang sama. Demikian juga dengan dampak esports yang kini sedang hingar bingar di kalangan anak muda ataupun industri. Lalu apa tujuannya? Saya hanya berharap dengan menyuguhkan wacana ini, kita, semua yang peduli dengan keberlangsungan ekosistem esports, bisa setidaknya menyadari atau bahkan menentukan sikap lanjutan.

Tanpa panjang lebar lagi, inilah 4 dampak negatif esports bagi kaum muda di Indonesia.

Pemupuk Arogansi Dosis Tinggi

Sumber: Escape Artist
Sumber: Escape Artist

Sepanjang perjalanan saya jadi seorang jurnalis dari 2008, inilah keanehan yang saya temukan. Atlet ataupun selebriti esports seringkali lebih arogan ketimbang petinggi perusahaan internasional sekalipun. Kebetulan saja, saya sudah mewawancarai sejumlah petinggi perusahaan, bahkan yang kelasnya internasional ataupun konglomerasi. Kebanyakan dari mereka justru lebih ramah menjawab ataupun merespon pertanyaan saya ketimbang saat saya mewawancarai atlet esports ataupun beberapa selebriti sosmed yang berkecimpung di sini.

Memang, ada banyak juga pro player ataupun mereka-mereka yang sering tampil di industri esports itu begitu terbuka dan ramah terhadap media — setidaknya ke saya… Di sisi lain, saya juga beberapa kali menemukan petinggi perusahaan yang jelas menunjukkan keengganannya berinteraksi dengan media — atau mungkin, spesifik ke saya saja juga kwkakwka…

Di satu sisi, hal tadi memang aneh mengingat petinggi perusahaan biasanya punya kuasa, kapasitas, dan pengalaman yang lebih berharga ketimbang para atlet esports yang memang relatif muda. Meski demikian, di sisi lainnya, saya juga memahami kenapa hal ini bisa terjadi.

Ketika seseorang yang masih berusia 20an (atau bahkan belasan) sudah merasa berada di puncak dunia, arogansi itu memang mungkin tak bisa dibendung. Setidaknya saya pribadi juga dulu merasakan hal tersebut. Komunitas esports memang punya kecenderungan mengelu-elukan dan memuja-muja jagoan atau idolanya masing-masing. Hal inilah yang memupuk arogansi ego masing-masing dengan dosis tinggi.

Kenapa saya bisa bilang arogansi jadi sebuah dampak negatif? Karena, saya kira setiap manusia punya kecenderungan untuk memilih lebih banyak berinteraksi dengan mereka-mereka yang menerima dengan tangan terbuka. Ditambah lagi, arogansi membuat kita kehilangan empati dan kian sempit melihat dunia.

Indoktrinasi Budaya Instan

Dengan pesatnya industri dan ekosistem esports di Indonesia, hal ini menyebabkan para pelaku di dalamnya terbiasa dengan budaya instan. Hal ini sebenarnya pernah dibahas di artikel yang saya tulis soal regenerasi esports namun izinkan saya menjelaskannya singkat di sini.

Ekosistem dan industri esports kita saat ini memang bisa saja meroketkan karier seseorang dengan begitu cepat. Atlet esports yang tadinya bukan siapa-siapa bisa jadi idola sejumat ‘umat’ dalam sekejap. Dibandingkan dengan atlet olahraga, menurut penjelasan Yohannes Siagian yang saat ini jadi Kepala Pengembangan Esports Sekolah PSKD (saat kami berbincang soal regenerasi tadi), karier instan ini lebih jarang terjadi. Pasalnya, di olahraga ‘tradisional’, mereka yang ingin jadi atlet pelatnas harus melewati berbagai fase seperti mewakili sekolah, kota, ataupun provinsi.

Sayangnya, hal ini juga terjadi tak hanya untuk pro player tapi para profesional yang berkecimpung di esports. Dengan antusiasme pasar esports yang memang sedang tinggi-tingginya, tak sedikit juga banyak orang yang jadi merasa ‘ahli’ di esports padahal pengalamannya baru seumur jagung. Tak sedikit juga para pelaku esports di Indonesia sekarang ini yang hanya bermodal passion.

Sumber: Acadia Software
Sumber: Human Resource Online

Mungkin memang saya yang terlalu konservatif soal hal ini namun saya sangat percaya bahwa belajar itu mengalami. Saya juga percaya betul bahwa setiap keahlian, apapun itu bidangnya, butuh proses yang panjang, melelahkan, dan tak jarang membosankan.

Sebenarnya indoktrinasi budaya instan ini juga terjadi tak hanya karena esports tapi juga karena kemajuan industri digital dan teknologi yang kerap kali menyuguhkan gratifikasi instan.

Meski begitu, menurut saya, indoktrinasi budaya instan ini aneh karena justru bertentangan dengan apa yang coba diajarkan dari kegiatan bermain gameGame itu justru memberikan penekanan bahwa semua hal pasti butuh proses. Anda tidak mungkin tiba-tiba level 100 saat mulai bermain. Anda harus membasmi ribuan atau bahkan jutaan musuh untuk mengumpulkan EXP yang dibutuhkan untuk naik level di RPG. Anda juga harus bertahap mendaki competitive ranks di game-game multiplayer yang kompetitif.

Menjadikan Uang Sebagai Tujuan Akhir

Sumber: Every Geek
Sumber: Every Geek

“Kenapa harus terjun ke esports? Karena Anda bisa mendapatkan banyak uang dari sana…”

Mungkin itulah argumentasi yang paling sering saya temui di banyak talkshow soal esports yang belakangan juga mulai menjamur. Di luar acara-acara kampus dan sekolah, seperti di artikel, video, postingan sosmed atau apapun itu, uang jugalah yang dijadikan motivasi utama kenapa generasi muda harus terjun ke esports. Saya sendiri juga harus mengaku ‘dosa’ karena menyuguhkan argumentasi yang sama di beberapa kali kesempatan.

Tidak, saya tidak akan berargumen soal uang yang tidak bisa membeli semua hal. Saya sendiri cinta uang (wkwkwkwk) dan percaya banyak, jika tidak semua, hal bisa dibeli dengan uang. Kita bisa mempercepat proses belajar dengan uang. Kita juga bisa memperkaya pengalaman dengan membayar. Bahkan cinta pun katanya juga bisa dibeli dengan uang.

Argumentasi soal uang tadi sebenarnya wajar karena jadi jawaban paling mudah yang bisa dipahami semua orang. Namun sekarang, saya akan mencoba menawarkan argumentasi yang lebih jauh lagi.

Di sini, saya lebih berargumen bahwa yang negatif adalah menjadikan uang sebagai tujuan akhir. Muasalnya, uang hanyalah salah satu alat untuk mencapai tujuan, bukannya tujuan akhirnya itu sendiri. Lalu, apa contoh tujuan akhir yang lebih konkret kalau bukan uang? Banyak…

Ingin membelikan rumah untuk orang tua atau untuk membiayai orang tua agar bisa naik haji adalah tujuan akhir yang lebih masuk akal — meski jadinya overused untuk jadi konten… Kuliah bahkan sampai S3, beli rumah atau apartemen mewah, ataupun modal mendirikan startup sendiri adalah contoh-contoh lain dari tujuan akhir yang memang butuh uang. Bahkan menikah pun juga butuh uang, apalagi bagi yang berniat poligami ataupun poliandri — I won’t judge.

Beberapa contoh yang saya sebutkan tadi lebih positif karena hal tersebut membuat kita punya rencana yang lebih panjang dan terarah. Lagipula, sejumlah tujuan akhir tadi juga tak hanya butuh uang namun juga menuntut hal-hal lainnya untuk bisa diwujudkan.

Izinkan saya menutup bagian ini dengan sebuah analogi. Di game MOBA, kita juga harus mengumpulkan gold/uang dari creeping, jungling, atau bahkan membunuh lawan. Namun apakah tujuan akhirnya hanyalah sekadar mengumpulkan gold? Bisa dipastikan Anda akan kalah dan menanggung malu jika Anda hanya mengumpulkan gold sebanyak-banyaknya tanpa mengubahnya jadi item/equipment yang lebih pragmatis.

Seperti tadi saya sebutkan soal uang yang hanya jadi alat untuk meraih tujuan akhir, demikian juga hal ini berlaku di MOBA. Tujuan akhirnya adalah mengalahkan lawan — menghancurkan base/nexus tim musuh. Untuk sampai ke sana, selain butuh gold, juga butuh kerja sama, strategi, dan mental juara.

Ruang Sembunyi atas Kemalasan

Sumber: University of Rochester
Sumber: University of Rochester

Sebelum esports berkembang sampai ke titik ini, profesi yang bisa dikembangkan dari hobi bermain game itu memang sungguh sangat terbatas — seperti jadi jurnalis media game, game master di publisher, tukang farming gold dan item langka, atau joki level/rank.

Sekarang, dengan perkembangan esports, ada banyak sekali ruang-ruang profesional baru yang bisa dikejar oleh komunitas gamer. Sayangnya, hal ini kadang jadi alasan atau bahkan kambing hitam atas kemalasan.

Misalnya, seorang pelajar jadi melupakan atau meninggalkan kewajibannya demi bermain game dengan alasan ingin menjadi pro player. Saya juga beberapa kali menemukan judul berita seperti ini, “seorang anak mencuri uang orang tuanya demi membeli game.” Ada juga bentuk tindak kriminal lain yang lebih parah yang menjadikan game sebagai kambing hitam.

Selain itu, berhubung saya juga sudah lumayan lama bekerja di industri game dan sekitarnya (yang kebanyakan para pekerjanya memang gamer), saya juga beberapa kali menemukan para pekerja yang gagal memenuhi tanggung jawabnya karena terlalu lama/sering bermain.

Entah kenapa, saya paling tidak suka melihat yang seperti itu… Saya juga gamer dan saya bahkan tidak jarang menghabiskan waktu 2-8 jam sehari untuk bermain game (bahkan weekdays sekalipun). Tahun ini, saya bahkan menghabiskan anggaran sampai Rp30 juta agar PC saya bisa menghasilkan performa yang mulus dengan setting rata kanan saat bermain game.

Dokumentasi Pribadi
Pamer PC kesayangan boleh yak… Dokumentasi: Pribadi

Namun demikian, saya selalu mencoba untuk bisa diandalkan dari sisi profesional — yang akhirnya waktu tidur yang biasanya saya korbankan — meski memang saya sendiri juga mengaku masih punya banyak sekali kekurangan soal ini.

Lagi-lagi, kemalasan ini juga bertolak belakang dengan filosofi hidup yang coba diajarkan dari game. Kembali ke analogi MOBA, Anda harus farming lebih cepat dari yang lain jika ingin cepat kaya. Reward & punishment di game itu dijabarkan dengan gamblang dan diimplementasikan dengan lebih adil.

Bagi saya pribadi, mungkin inilah kekurangan utama hidup dibanding game. Saya tahu betul bahwa kadang orang yang lebih pintar, rajin, dan selalu berbuat baik kepada sesamanya bisa saja kalah sukses dengan yang beruntung. Meski demikian, bukan gamer juga namanya jika kita mengasihani diri, menyalahkan keadaan, dan menyerah pada tantangan.

Akhirnya

Saya di sini hanya ingin menyuguhkan pendapat saya tanpa bermaksud menggurui atau malah menghakimi. Saya hanya berharap dengan industri esports yang semakin besar, hal tersebut tidak mengingkari sejumlah pelajaran hidup yang sebenarnya bisa ditawarkan dari sebuah permainan.

Sumber Feature Image: MPL Indonesia

Melihat Potensi Perkembangan League of Legends Wild Rift di Indonesia?

Memasuki tahun ke-10, Riot Games mulai melakukan ekspansi terhadap dunia Runeterra. Sepuluh tahun belakangan, Riot Games fokus membesarkan satu game saja, yaitu League of Legends. Lewat acara Riot Pls: 10th Anniversary Edition mereka mengumumkan jajaran game terbarunya. Ada beberapa game yang mereka umumkan, ada Teamfight Tactics (auto-battler berisikan Champion League of Legends) versi mobilegame kartu bernama Legends of Runeterra, proyek game fighting League of Legends, dokumenter, sampai serial televisi.

Namun dari semua pengumuman tersebut, satu yang cukup ramai diperbincangkan adalah League of Legends Wild Rift (selanjutnya disebut Wild Rift), versi mobile dari League of Legends yang sudah cukup lama ditunggu-tunggu. Mengingat eksistensi League of Legends tanah air padam sejak tahun tahun 2018 lalu, Wild Rift diprediksi akan menjadi fenomena baru di pasar lokal. Mengapa demikian? Organisasi esports seperti GGWP.ID mengambil langkah berani dan sudah mempersiapkan divisi League of Legends: Wild Rift. BOOM Esports juga menunjukkan gelagat akan membuat divisi League of Legends: Wild Rift.

Melihat hingar-bingar ekosistem tanah air terhadap Wild Rift, pantas rasanya jika kita bertanya-tanya. Apakah Wild Rift benar-benar akan sukses di Indonesia

Sebelum mulai membahasnya, mari kita mundur sedikit dan melihat sepak terjang League of Legends di ekosistem esports Indonesia terlebih dahulu.

Sepak terjang League of Legends di Indonesia

Setelah dirilis secara global pada tanggal 27 Oktober 2009, League of Legends (LoL) hanya butuh tiga tahun untuk menjadi game paling digemari Amerika dan Eropa. Dikutip artikel Forbes rilisan 11 Juli 2012, League of Legends sudah dimainkan selama total 1,3 miliar jam, sejak dari tahun 2009 sampai tahu 2012.

Melihat kesuksesan tersebut, Garena Indonesia memutuskan mengasuh League of Legends dan merilis versi lokal pada 25 Juli 2013. Selain menghadirkan client berbahasa Indonesia dan konektivitas lokal, esports juga jadi strategi lain yang dilakukan Garena Indonesia demi membuat League of Legends mengakar di antara para gamers.

Mari kita berkenalan dengan narasumber kami yang pertama, Pratama “Yota” Indraputra. Sempat menjabat sebagai pengembang esports di Garena Indonesia, ia memberikan cerita di balik dapur publisher asal Singapura tersebut.

“League of Legends membuka server Indonesia tahun 2013. Saat itu animo di Indonesia cukup baik, meski tidak bisa dibilang booming. Mayoritas pemain yang menerima inisiatif ini memang mereka yang sudah main League di server luar. Namun karena image Dota lebih melekat, diperparah dengan perkara drama Pendragon, ada juga sedikit reaksi negatif.”

Sumber: Dokumentasi Pribadi Yota
Sumber: Dokumentasi Pribadi Yota

Menyinggung drama Pendragon yang disebut Yota, saya ingin mengajak Anda intermezzo sedikit akan kejadian tahun 2008 silam. Steve “Pendragon” Mescon, adalah founder forum dota-allstars.com. Selama 4 tahun, forum tersebut dipercaya menjadi wadah komunitas berdiskusi seputar strategi, berbagi fan-art, dan ide desain hero. Setelah masa tersebut berlalu, Pendragon pindah ke Riot Games dan menutup forum tersebut. Membawa semua hal dari dota-allstars.com, Pendragon dianggap mencuri ide-ideo hero milik komunitas dan dicap sebagai pengkhianat. Sejak tragedi itu, Riot Games jadi dibenci komunitas Dota.

Yota lalu menceritakan strategi Garena Indonesia dalam mengolah LoL menjadi game esports pilihan di tanah air. Rupanya, kompetisi LoL tingkat profesional, League of Legends Garuda Series, hanyalah satu dari rentetan rencana kerja Garena. “Dulu ada Kennen Cup, Teemo Cup untuk turnamen tingkat grassroots. Lalu juga ada roadshow ke iCafe sampai daerah pelosok. Bahkan sempat ada program Dota2LoL yang memberi benefit kepada pemain Dota 2 yang ingin coba bermain League.” tuturnya.

Ia pun mengungkapkan pendapatnya soal keberhasilan strategi tersebut “Meski berhasil menarik perhatian pemain yang baru bermain MOBA, strategi ini kurang efektif terhadap pemain MOBA berpengalaman. Scene esports Dota 2 sedang panas ketika itu, sehingga kami hanya mampu menarik perhatian mantan pemain Heroes of Newerth (HON) saja.”

Sayangnya 5 tahun usaha tersebut seperti hangus begitu saja. Yota menyebut cost dan effort tidak sebanding dengan pertumbuhan revenue, player base ataupun viewership. Game ini tak lagi menguntungkan secara bisnis, operasional League of Legends Indonesia tumbang pada 15 Mei 2019. Server lokal Indonesia digabung dengan server Singapura. Program esports lokal Indonesia (LGS) terhenti sejak 2018, dan kini diubah menjadi program esports tingkat regional SEA yang diberi nama LoL SEA Tour (LST).

Menghadapi persaingan ketat

Hybrid, mengutip tulisan milik Henri Brouard analis dari NetEase Games, sempat membahas alasan Free Fire sukses di Asia Tenggara. Ia mengatakan setidaknya ada 4 faktor penting, pertama bisa dimainkan pada smartphone low-endkedua punya gameplay super kasual, ketiga monetisasi dengan sedikit elemen RPG, dan keempat merangkul komunitas dengan konten-konten bernuansa lokal.

Sejauh ini, empat faktor kunci tersebut bisa jadi adalah alasan Mobile Legends: Bang-bang (MLBB) sukses di Indonesia. Menurut pengamatan saya, mereka setidaknya memenuhi 3 dari 4 faktor, yaitu: bisa dimainkan pada smartphone low-endgameplay paling kasual dibanding MOBA lainnya, dan merangkul komunitas lokal lewat event, bahkan turut menghadirkan Gatot Kaca sebagai hero bernuansa lokal Indonesia.

Tetapi, apakah lantas 4 faktor itu bisa sekonyong-konyong membuat game sukses di pasar Indonesia? Saya menanyakan hal ini kepada beberapa sosok di industri game Indonesia. Selain Yota, saya juga menjadikan Senior Editor Hybrid, Yabes Elia sebagai narasumber dalam pembahasan ini.

Yabes sebagai sosok yang dianggap “sepuh” mungkin bisa dibilang salah satu yang paling khatam jika bicara soal ekosistem dan industri. Malang melintang di industri game Indonesia selama kurang lebih 10 tahun sebagai seorang jurnalis, sosok yang pernah menjadi Managing Editor majalah PC Gamer Indonesia pada tahun 2009 lalu ini mungkin sudah kenyang makan asam-garam serta pahit-manis industri game di Indonesia. Terkait Wild Rift, ia merasa bahwa faktor sukses game bukan hanya soal 4 hal tersebut saja, tapi ada juga faktor lain, yaitu momentum.

“Kalau bicara League of Legends dulu, telat masuk bisa dibilang jadi alasan kenapa League kurang sukses di Indonesia. Gue sudah main di server NA (Amerika Serikat) selama 2 tahun, baru setelahnya server Indonesia hadir. Karena telat, League of Legends nggak dapat momentum, yang akhirnya diambil oleh Dota 2 terlebih dahulu.” Yabes menjawab.

Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Yabes Elia saat menjadi moderator dalam acara Hybrid Day. Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Saya cukup setuju dengan pendapat Yabes. Kenapa? Karena jika kita berkaca pada apa yang diceritakan Yota dan bersandar pada 4 faktor itu saja, League of Legends harusnya sudah sukses di Indonesia bukan?

Secara grafis, League terbilang lebih ringan pada zamannya, gameplay MOBA terpopuler ini juga lebih kasual jika dibanding dengan Dota. Garena juga sudah berusaha sekuat tenaga mendorong perkembangan ekosistem lokal lewat berbagai kegiatan esports. Tapi kenapa League of Legends malah harus mengalami nasib buruk di Indonesia?

Melanjutkan soal ini Yabes mengatakan “Itu sebenarnya baru faktor internal. Jika ingin sukses, Wild Rift juga harus menyadari soal faktor eksternal lewat ekosistem pendukung, seperti tim, event organizerpublisher, dan media.”. Peran ekosistem lokal dalam perkembangan suatu game terbilang cukup penting. Apalagi jika berbagai elemen bergandengan tangan untuk menjaga sebuah game agar tetap hidup di ekosistem lokal. Soal bagaimana ekosistem lokal bisa berperan akan saya bahas lebih lanjut di bagian berikutnya.

Melanjutkan pembahasan potensi Wild Rift di Indonesia, saya juga berbicara dengan Edwin Chia Co-Founder dan CEO Bigetron Esports sebagai narasumber yang bisa melihat dari sudut pandang organisasi esports. Pendapat Edwin kurang lebih senada dengan Yabes, besar-kecil potensi Wild Rift adalah tergantung eksekusi publisher.

Edwin menyoroti soal peran “kearifan lokal” dalam menyukseskan Wild Rift di Indonesia. “Jika mereka (Riot Games dalam mengembangkan Wild Rift) ingin sukses, mereka setidaknya harus punya kantor di Indonesia. Mereka harus mendengarkan masukan komunitas, dan melakukan pemasaran secara agresif ketika peluncuran. Mereka harus bisa bereaksi sesuai dengan respon pasar dan menyesuaikan kembali strategi mereka dari hal tersebut.” tukas Edwin.

“Mereka juga tidak boleh setengah hati jika ingin menumbangkan posisi King of Indonesia MOBA, yaitu MLBB. Orang-orang Indonesia secara historis sangat enggan berpindah game ketika mereka sudah nyaman dengan yang satu. Hal ini sudah terjadi dengan beberapa contoh seperti, alasan orang-orang lebih memilih Point Blank daripada CS:GO ataupun Overwatch, dan alasan orang-orang lebih memilih Dota daripada LoL ataupun HoN.” Edwin melanjutkan penjelasannya.

Apa yang dibilang Edwin ada betulnya, bahwa jika Riot Games ingin menumbangkan MLBB, maka ia harus melakukan pemasaran secara agresif, dan mendengarkan pendapat komunitas lokal. Yabes juga mengatakan, bahwa dahulu MLBB gencar melakukan pemasaran secara digital, sambil tetap menjaga komunitasnya di Indonesia. Tapi kata kunci dari pendapat Edwin adalah soal keinginan.

Ini memunculkan pertanyaan lain di kepala saya. Apakah Riot Games punya keinginan menggeser MLBB di persaingan MOBA Indonesia? Apakah Riot perlu menggeser tahta MLBB sebagai raja MOBA di Indonesia? Apakah pasar Asia Tenggara atau pasar Indonesia penting untuk dimenangkan? Kalau bicara secara rasional, Riot Games sudah menghasilkan US$2,1 juta di tahun 2017 lalu, hanya dengan menjadi jagoan di pasar Asia (bisa dibilang Korea Selatan dan Tiongkok), Eropa, dan Amerika Serikat.

Yabes lalu menyatakan pendapatnya terkait hal ini. “Market SEA terbilang cukup penting, karena belum dioptimalkan namun punya potensi yang besar. Apalagi kalau dibanding EU dengan NA, user acquisition di SEA cenderung lebih murah. Cuma balik lagi dari masing-masing publisher, mau ke market mahal dulu baru ke market murah, atau ke market murah baru ke market mahal.” ujarnya.

Peran ekosistem lokal

Jika anggaplah Wild Rift sudah memenuhi faktor internal, dan punya keinginan memenangkan market esports MOBA di Indonesia, lantas apa yang harus mereka lakukan? Soal mencari momentum bisa jadi hal pertama yang dilakukan.

Sejauh ini antusiasme komunitas dan ekosistem esports Indonesia terhadap Wild Rift memang terbilang cukup baik. Secara global, penerimaan pasar terhadap MOBA di perangkat bergerak juga semakin positif lewat Arena of Valor (yang juga dikembangkan oleh Tencent, investor Riot Games). Untuk konteks lokal, saya sudah sempat mendengar bahwa beberapa pemain profesional pada genre MOBA terdahulu tertarik main Wild Rift, dan punya kemungkinan akan pindah jika Wild Rift punya scene kompetisi yang sehat.

“Benar seperti yang kamu katakan, mantan pemain dari berbagai MOBA terdahulu punya ketertarikan untuk mencoba Wild Rift. Para organisasi esports seharusnya sudah sama-sama tahu siapa pemain-pemain ini, dan mereka (para tim) sudah bisa menakar dengan kasar, pemain mana yang punya kemungkinan untuk sukses di Wild Rift nanti. Sejauh ini antusiasmenya memang tinggi, terutama dari sisi komunitas League terdahulu.” Edwin menceritakan antusiasme pasar terhadap Wild Rift.

Sumber: Dokumentasi Pribadi Edwin Chia
Edwin Chia, Co-Founder serta CEO tim Bigetron Esports. Sumber: Dokumentasi Pribadi

Selain GGWP.ID dan BOOM Esports, para organisasi esports juga sudah menyiapkan mata mengawasi perkembangan Wild Rift. “Most of them (organisasi esports) are just in the wait-and-see-the-results stance, begitupun dengan Bigetron. Kami sudah punya daftar pemain yang siap untuk bertanding di Wild Rift ketika Open Beta game tersebut nanti dirilis.” ujar Edwin.

Oke, jadi Wild Rift sudah punya momentum dengan antusiasme positif dari pemain dan ekosistem lokal. Kini sukses tidaknya Wild Rift tinggal tergantung pada eksekusi sang publisher saja, Riot Games. Bagaimana eksekusi terbaik agar Wild Rift bisa sukses di Indonesia?

Kembali meminjam pendapat dari Yabes, jawabannya mungkin ada pada faktor eksternal. Dalam pembahasan potensi ekosistem game Blizzard di Indonesia, Yabes mengatakan bahwa salah satu strategi agar sebuah game berkembang adalah dengan merangkul lebih banyak pihak dan menjadikannya sebagai stakeholders. Dengan cara tersebut, semua bagian ekosistem turut peduli akan hidup-mati dari sebuah game; karena mereka yang sudah kecipratan rezeki dari game tersebut tentu tak mau game-nya mati.

Yabes menjelaskannya lebih lanjut ketika membahas kegagalan League of Legends di pasar game Indonesia. Menurutnya alasan kegagalannya adalah karena publisher menanggung beban pengembangan ekosistem League of Legends seorang diri di Indonesia. “Jadi ya isi ekosistem cuma publisher dan komunitas. Pihak ketiga? EO mungkin lebih baik menggarap turnamen Dota 2, karena bisa dapat untung dari sana. Asalkan Riot tidak mengulang hal seperti itu dalam mengembangkan Wild Rift di Indonesia, maka ia punya kemungkinan untuk sukses.” ucap Yabes.

Yota juga mengatakan pendapatnya soal dampak strategi tersebut kepada kegagalan League of Legends di Indonesia. Karena monopoli publisher, komunitas jadi cenderung pasif. “Karena terlalu terbiasa disuapin, komunitas terbiasa menerima tanpa ingat untuk memberi kembali. Mereka jadi ‘manja’ dan tidak inisiatif untuk, setidaknya mengajak teman terdekatnya untuk main League.” kata Yota kepada saya.

Strategi pengembangan League of Legends di Indonesia kala itu mungkin bisa saja benar. Anggap saja begini, kalau publisher punya kemampuan finansial yang besar dan rela berdarah-darah secara keuangan untuk terus “menyuapi” komunitas, strategi ini mungkin boleh-boleh saja dilakukan.

Namun demikian, dengan strategi tersebut, fondasi ekosistem game tersebut juga jadi lebih rentan karena hanya mengandalkan satu ujung tombak saja. Kalau publisher menyerah atau kehabisan dana, tamat sudah riwayat game tersebut. Elemen-elemen ekosistem mungkin tidak terlalu peduli game tersebut mati, karena tetap hidup pun game tersebut tidak memberi keuntungan kepada ekosistem.

League of Legends Wild Rift
Wild Rift

Melibatkan banyak pihak dalam ekosistem suatu game akan membangun fondasi yang lebih kuat. Banyak pihak jadi peduli dengan hajat hidup game tersebut. Kalau game tersebut tumbang, ekosistem juga yang dirugikan, karena kehilangan salah satu sumber pendapatan. Mungkin ini juga alasan kenapa MLBB mengubah sistem liga di MPL Indonesia menjadi franchise model, agar lebih banyak pihak jadi peduli dengan keberlangsungan MLBB di ekosistem industri game Indonesia.


Akhir kata, Wild Rift sebenarnya sudah punya momentum. Kemungkinan besar, gamers di Indonesia juga dapat menerima gameplay League of Legends, karena sudah terbiasa dengan MLBB ataupun Arena of Valor. Maka dari itu penetunya tinggal dari Riot Games sebagai publisher. Saya rasa, jika Riot Games secara aktif menggandeng komunitas dan ekosistem, maka Wild Rift bisa jadi penantang besar MLBB di Indonesia.