Christian “Lichic” Dari tim Alter Ego Berbagi Tips Juara Bermain Brawl Stars

Gelaran Supercell Gamers Day telah selesai digelar. Juara-juara dari masing-masing cabang, yaitu Clash Royale, Brawl Stars, dan Clash of Clans, telah ditentukan.

Namun dari semua gelaran kompetisi tersebut, satu yang menarik untuk disorot adalah dari kompetisi Brawl Stars. Satu alasannya adalah karena dalam kompetisi tersebut ada tim Alter Ego, yang berhasil secara berturut-turut menyabet perstasi di dua kompetisi resmi besutan dari Supercell.

Selain menjadi juara di gelaran Supercell Gamers Day, Alter Ego juga menjadi juara di Brawl Stars Open – Indonesia. Melihat prestasi yang berhasil mereka dapatkan, kita jadi penasaran, apa faktor kunci yang membuat mereka menjadi juara? Adakah tips bermain Brawl Stars tertentu yang perlu dicatat jika kita ingin jadi juara di dalam kompetisi Brawl Stars?

Sumber: Dokumentasi Chrsitian "AE.Lichic"
Anggota tim Alter Ego dari kiri ke kanan, Christian “Lichic” Lim, M. Rifqi “Kasa” Riza Abdillah, dan Isabella “Aminerva” Nikita Kaligis. Sumber: Dokumentasi Chrsitian “AE.Lichic”

Penasaran dengan hal ini, saya menghubungi Christian “Lichic” Lim, salah satu anggota tim Alter Ego. Ia lalu akhirnya setuju untuk membagikan sedikit tips bermain Brawl Stars secara umum. Menurutnya, setidaknya ada 3 hal yang perlu diperhatikan oleh pemain yang ingin menjadi juara dalam kompetisi Brawl Stars.

Kombinasi Brawler Pada Map yang Dipertandingkan

Tips bermain Brawl Stars pertama yang disebut oleh Lichic adalah soal drafting, alias pemilihan Brawler (sebutan untuk karakter-karakter Brawl Stars). Berhubung pertandingan Brawl Stars menggunakan macam-macam map, kombinasi Brawler juga akan beragam sesuai dengan map yang dimainkan.

Lichic lalu menyebut satu contoh kombinasi Brawler yang cocok dimainkan untuk map Junk Park, salah satu map yang dipertandingkan dalam kompetisi Brawl Stars Open – Indonesia. “Menurut saya, kombinasi Brawler terbaik untuk map tersebut adalah Bibi, Rosa, dan Tick.” ucap Lichic.

Sebelum melanjutkan penjelasan soal alasan pemilihan Brawler tersebut, mari saya jelaskan dahulu objektif map Junk Park secara singkat. Pada map ini Anda punya dua tugas: 1) mengumpulkan baut (Bolts) sebanyak 10 buah, 2) Mempertahankan IKE Turret (semacam tower jika kita bicara game MOBA) dari serangan musuh. Jika Anda berhasil mengumpulkan 10 Bolts terlebih dahulu, akan ada robot besar dari sisi Anda yang akan menyerang dan membantu Anda menghancurkan IKE Turret musuh.

Melanjutkan penjelasan, Lichic lalu menjabarkan kenapa masing-masing Brawler tersebut jadi cocok digunakan. Pertama soal Bibi, menurutnya Brawler ini jadi bagus karena punya kemampuan untuk knocback musuh. Kemampuan tersebut membuat Brawler ini sangat kuat dalam menjalankan tugas sebagai mid control alias menguasai wilayah tengah.

“Jangan lupa untuk memilih Home Run sebagai Star Power. Karena efek penambahan movement speed dari Star Power itu akan sangat membantu kalian untuk mencapai wilayah tengah lebih dulu daripada musuh.” lanjut Lichic.

Lalu selanjutnya Rosa. Sebagai Brawler tipikal tanky, karakter ini cocok untuk mendukung Bibi di tengah. Soalnya, Bolt tidak hanya muncul dari sisi Anda saja, bisa juga muncul dari sisi musuh. “Karena darahnya yang tebal dan damage yang lumayan, Rosa bisa dengan lebih berani melangkah ke sisi musuh tanpa harus terlalu takut mati.”

Rosa juga punya skenario kegunaan lain. Ketika Anda kalah mengumpulkan Bolt dan robot musuh mulai menyerang, Rosa bisa digunakan untuk menahan serangan robot agar tidak menyentuh IKE Turret Anda. “Super (Semacam skill ultimate kalau di dalam MOBA) milik Rosa yang sifatnya damage reduction, menjadi alasan kenapa Rosa adalah penahan serangan robot terbaik untuk sementara waktu ini.” Lichic menjelaskan soal Rosa.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Akbar Priono.
Sumber: Tangkapan Layar Pribadi – Akbar Priono.

Terakhir ada Tick. Menurutnya Brawler ini sangat cocok untuk membantu Bibi dan Rosa ketika mereka akan menyerang. Serangan Brawler ini memang sangat menganggu. Setelah melemparkan semacam rudal ke udara, rudal tersebut lalu pecah, dan melemparkan tiga proximity mine yang akan meledak jika ada musuh di dekatnya. Dengan serangan tersebut tugas Tick hanyalah bersiaga dari posisi belakang sambil melemparkan rudal-rudal tersebut, agar musuh jadi enggan untuk bergerak ke area yang sudah penuh dengan proximity mine.

Dari contoh Brawler yang disebutkan Lichic, saya simpulkan bahwa Brawler yang Anda pilih harus punya salah satu dari tiga karakteristik berikut ini:

  1. Tanky: Brawler dengan darah yang banyak dan juga punya skill yang membuatnya jadi makin sulit dibunuh.
  2. Rusher: Semacam 2nd tanker, yang bisa maju dengan cepat, punya kemampuan serangan yang cukup kuat, dan memiliki kemampuan crowd control agar musuh jadi makin sulit untuk mendekat.
  3. Damager/Area Control: Brawler yang punya kemampuan memberi damage dengan maksimal kepada musuh dari jarak jauh. Tipe Damager juga bisa diganti dengan tipe Area Control, yang juga menyerang dari jarak jauh, namun efeknya membuat suatu area jadi sulit dimasuki musuh; contohnya serangan Brawler seperti Tick atau Barley.

Maksimalkan Positioning Berdasarkan Dari Map yang Dimainkan

Hal kedua yang perlu dikuasai menurut Lichic adalah positioning. Kunci dari hal ini sebetulnya cuma dua hal, yaitu memaksimalkan fungsi tembok dan bush alias semak yang biasa digunakan untuk bersembunyi. Tetapi, soal positioning ini juga ada pengaruhnya dengan soal Brawler tadi.

“Map yang punya banyak rumput itu cocok untuk Brawler Rosa. Kenapa? Karena dia punya Star Power bernama Plant Life, yang efeknya adalah menyembuhkan 200 HP per detik ketika berada di dalam rumput.” Lichic menjelaskan.

Tapi selain itu juga, bush bisa dimanfaatkan untuk sembunyi dan menyerang tiba-tiba. Contoh pemanfaatannya adalah pada map Double Swoosh yang punya mode Gem Grab. Map ini bisa dibilang punya area mid dengan banyak rumput. Maka dari itu pada map tersebut Anda bisa lebih maksimal dalam melakukan serangan tiba-tiba. Ini akan jadi tambah efektif jika Anda menggunakan Brawler bersenjatakan shotgun seperti Bull.

Sumber: Tangkapan Layar
Sumber: Tangkapan Layar

Lichic juga menjelaskan bahwa rumput atau semak bisa digunakan untuk menggocek musuh. “Karena ketika kita masuk ke rumput, lawan tidak bisa melihat, jadi ada kemungkinan prediksi tembakan lawan bisa lepas yang membuat kita jadi berhasil menyelamatkan diri.

Selain dari itu, Lichic juga membagikan sedikit tips untuk melawan musuh-musuh yang ada di rumput. Menurut dia, salah satunya adalah dengan menggunakan Brawler Bo. “Soalnya Bo memang punya Star Powers Circling Eagle, yang memungkinkan dia melihat ke dalam semak dari luar semak.”

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Akbar Priono.
Sumber: Tangkapan Layar Pribadi – Akbar Priono.

Selanjutnya adalah soal tembok. Menurutnya fungsi paling jelas dari tembok adalah untuk berlindung dari tembakan. Lalu, bagaimana melawan musuh yang ada di balik tembok. “Ini tergantung seberapa penting Brawler musuh tersebut. Kalau memang membunuh dia akan memberi dampak yang signifikan di dalam permainan, maka kalian bisa langsung keroyok saja dia.” Lichic menjelaskan.

“Alternatif lainnya, kalian bisa menggunakan Brawler thrower (seperti Tick dan Barley). Kalian tinggal lemparkan saja satu serangan ke arah Brawler musuh yang ada di belakang tembok. Kalau sudah terdesak, sang musuh tentu harus pindah posisi.” lanjut Lichic.

Investasi Brawler Secara Lebih Efektif

Banyaknya ragam mode dan map yang ada dalam game Brawl Stars, memaksa Anda menguasai banyak Brawler sekaligus. Seperti yang disebutkan Lichic sedari awal, masing-masing Brawler punya spesialisasinya tersendiri untuk masing-masing map.

Berhubung Anda harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk memaksimalkan kekuatan Brawler dengan lebih cepat, Lichic membagi penjelasannya soal investasi Brawler ini menjadi dua bagian.

Pertama, investasi Brawler untuk tipe pemain free player. Tipe pemain ini termasuk juga untuk Anda yang cuma sesekali saja mengeluarkan sejumlah uang entah untuk memperkuat Brawler atau membeli Brawler baru.

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Akbar Priono.
Brawler gratisan seperti Barley juga jadi yang patut untuk dipelajari. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi – Akbar Priono.

“Kalau menurut gue, investasi terbaik buat free player adalah kepada Brawler yang masuk meta. Rekomendasi dari gue adalah Rosa, Penny, Bull, Bibi, Rico, Barley, Tick, Piper, Brock, Gene, Bo, Spike dan El Primo.” Lichic mendaftar Brawler-Brawler yang masuk meta.

Menurutnya, daftar Brawler yang ia sebut barusan kemungkinan besar terpakai pada map kompetitif yang digunakan belakangan. Kalau Anda free player, yang Anda perlu investasikan adalah waktu, yang digunakan untuk mempelajari Brawler tersebut. Tujuannya adalah agar Anda lebih paham cara main dan celah terbaik dalam memanfaatkan sang Brawler di masing-masing map. “Kalau untuk kompetitif, semua Brawler otomatis jadi level maksimal, jadi tak perlu terlalu khawatir kalau level asli Brawler kamu bukanlah level maksimal.”

Sumber: Tangkapan Layar Pribadi - Akbar Priono.
Kalau Anda ingin jadi tipe pemain yang spending, pastikan untuk investasi sekaligus secara maksimal ya. Sumber: Tangkapan Layar Pribadi – Akbar Priono.

Lebih lanjut soal meta Brawler, menurut Lichic salah satu alasannya adalah karena pilihan map yang digunakan untuk kompetitif. “Contohnya saja map Siege: Junk Park yang gue jelaskan pada saat membahas drafting Brawler. Contoh lain untuk mode kompetisi Brawl Ball, El Primo jadi bagus karena darah yang tebal dan bisa dive sambil membawa bola. Apalagi dia juga punya Super yang bisa menghancurkan dinding dekat gawang lawan untuk mempermudah memasukkan bola.”

Kedua, investasi untuk tipe player spending atau mengeluarkan biaya. Menurut Lichic, jika Anda ingin mengeluarkan biaya baiknya jangan setengah-setengah. “Lebih baik Anda langsung spending semaksimal mungkin, lalu pelajari dengan seksama setiap dari Brawler yang ada. Saya sendiri adalah tipe player spending. Ini saya anggap sebagai investasi, saya kuasai semuanya, kejar top lokal agar mendapat perhatian dari tim-tim esports dan juga bisa lebih fasih dalam berkompetisi.” Lichic menceritakan perjuangannya menjadi pemain pro Brawl Stars secara singkat.


Itu dia sedikit tips bermain Brawl Stars dari pemain Alter Ego, Christian “Lichic” Lim. Catat tipsnya, dan bersiaplah berkompetisi di kancah esports Brawl Stars berikutnya!

 

[Statistics] Menyambut Grand Final MPL ID S4 dengan Angka

Perhelatan esports paling dinamis di Indonesia, Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) Professional League (MPL) Indonesia Season 4, tidak lama lagi akan memasuki babak penentuan pada tanggal 26-27 Oktober 2019 di Tennis Indoor Stadium Gelora Bung Karno.

Dari 8 tim yang mengikuti babak Regular Season selama 8 pekan (23 Agustus – 13 Oktober 2019), 6 tim dengan peringkat tertinggi berhak melanjutkan perjuangannya dalam mengadu nasib merebutkan gelar tim MLBB terbaik di Indonesia.

Berikut adalah klasemen akhir dari Regular Season MPL ID S4:

Sumber: MET Indonesia
Sumber: MET Indonesia

Dari hasil klasemen di atas, 2 tim yang harus merelakan kesempatannya untuk bertanding di Grand Final adalah Geek Fam dan Genflix Aerowolf. Sedangkan dua tim teratas, EVOS dan RRQ, akan mendapatkan keuntungan di Upper Bracket.

Tabel klasemen tadi mungkin memang kelihatannya jelas dan mudah dipahami namun demikian ternyata ada beberapa statistik menarik yang mungkin tidak dapat langsung terlihat jelas buat para penonton. Selain itu, melihat ketatnya persaingan di papan atas (1-3) dan papan tengah (4-6), angka statistik mungkin juga dapat digunakan untuk memetakan seperti apa pertandingan di Grand Final ini nantinya.

Angka statistik ini kami dapatkan dari MET Indonesia, selaku organizer untuk MPL ID Season 4. Terima kasih untuk Pratama “Yota” Indraputra, sang Show Director dan Stats Manager, yang telah mengumpulkan angka-angka statistik tadi dan membagikannya kepada Hybrid.

Sumber: MET Indonesia
Bracket Grand Final MPL ID S4. Sumber: MET Indonesia

First Blood

TEAM FIRST BLOOD KILLS TEAM FIRST BLOOD DEATHS TEAM AVG. FIRST BLOOD TIMING
GEEK 20 EVOS 14 EVOS 01:30
EVOS 18 GEEK 14 BTR 01:37
GFLX 18 BTR 17 GFLX 01:38
AE 18 GFLX 17 GEEK 01:42
BTR 17 AURA 17 AURA 01:48
RRQ 17 RRQ 17 ONIC 01:55
AURA 13 AE 18 AE 01:57
ONIC 12 ONIC 20 RRQ 01:57

Dari statistik First Blood di atas, hal tersebut menunjukkan superiornya EVOS di beberapa aspek ini. Menariknya, hal yang sama tidak terlihat di RRQ dan Alter Ego yang menempati peringkat 2 dan 3 klasemen akhir Regular Season. Meski begitu, statistik ini membuktikan bahwa EVOS sudah cukup galak sejak early game.

Objectives

Jika berbicara soal objective di MLBB, ada 3 hal yang bisa dijadikan patokan yaitu, Turret, Turtle, dan Lord. Berikut ini adalah data yang kami dapatkan.

TEAM FIRST TURTLES TEAM FIRST TURRETS TEAM FIRST LORDS
GFLX 21 RRQ 25 RRQ 22
AE 21 EVOS 24 AE 20
ONIC 19 BTR 17 EVOS 19
RRQ 18 ONIC 14 AURA 16
EVOS 15 GEEK 14 ONIC 14
GEEK 14 AURA 14 BTR 13
AURA 14 GFLX 13 GEEK 12
BTR 12 AE 13 GFLX 9
TEAM TURTLE KILLS TEAM TOWER KILLS TEAM LORD KILLS
GFLX 34 RRQ 1125 RRQ 24
RRQ 33 AE 995 EVOS 23
AE 33 EVOS 985 AE 22
ONIC 30 AURA 880 AURA 19
EVOS 29 ONIC 795 ONIC 16
GEEK 26 BTR 695 GEEK 16
AURA 25 GFLX 695 BTR 13
BTR 24 GEEK 690 GFLX 12

Dari statistik di atas tentang objective, terlihat jelas bahwa RRQ memang fokus mengejar aspek ini. Mungkin inilah rahasia dari kesuksesan Lemon dan kawan-kawan menempati peringkat 2 Regular Season. Alter Ego dan EVOS juga terlihat cukup rajin mengejar aspek ini namun tetap kalah dari RRQ di keseluruhan aspek objective.

Gold

TEAM GOLD EARNED TEAM AVG. TEAM GOLD PER MIN TEAM AVG. TEAM GOLD DIFF.
RRQ 1657642 RRQ 3219 RRQ 4273
AE 1635975 EVOS 3206 EVOS 4264
GFLX 1510344 AE 3112 AE 1446
EVOS 1440206 ONIC 2999 ONIC 513
ONIC 1382807 BTR 2982 AURA -330
GEEK 1381874 AURA 2945 BTR -1353
AURA 1351501 GFLX 2859 GFLX -3826
BTR 1247042 GEEK 2811 GEEK -4747

Berkaitan dengan statistik sebelumnya, dengan rajinnya mengejar objective, RRQ juga berhasil menjadi tim yang paling kaya selama pertandingan Regular Season. Namun demikian, salah satu yang menarik dari statistik gold kali ini adalah nama Aerowolf yang bertengger di posisi ketiga soal jumlah total keseluruhan gold yang dikumpulkan. Sayangnya, mengingat mereka gagal melaju ke Grand Final, gold yang mereka dapatkan berarti tak dapat dimanfaatkan dengan baik.

K/D/A

Setelah mengintip dari sisi kekayaan masing-masing tim di dalam permainan, kali ini kita akan melihat statistik yang paling sering diagung-agungkan oleh banyak orang: Kill/Death/Assist (KDA). Namun demikian, terbukti dari statistik berikut bahwa KDA bukan segala-galanya. Faktor kekayaan tim dan seberapa cepat mereka mengumpulkannya justru lebih berbanding lurus dengan prestasi mereka masing-masing.

TEAM KILLS TEAM DEATHS TEAM ASSISTS
AE 567 ONIC 384 AE 1183
RRQ 563 EVOS 408 RRQ 1098
GFLX 480 AURA 410 GFLX 1002
EVOS 461 BTR 418 AURA 974
AURA 424 RRQ 464 EVOS 962
ONIC 422 GEEK 507 BTR 932
BTR 407 AE 531 ONIC 877
GEEK 392 GFLX 607 GEEK 800

Dari 3 tabel di atas, Alter Ego yang mendapatkan jumlah Kill dan Assist terbanyak justru menempati posisi 3. Sedangkan ONIC yang mendapatkan Death paling sedikit justru berada di peringkat 5. Aerowolf bahkan menempati posisi ketiga soal jumlah Kill, di atas EVOS yang bertengger di peringkat 1 Klasemen Akhir Regular Season.

Teamwork & META

Terakhir, yang tidak kalah penting dan bisa digunakan untuk memprediksi pertandingan Grand Final nanti adalah soal aspek penguasaan META dan soal kerja sama tim.

TEAM PLAYERS USED TEAM UNIQUE PICKS TEAM AVG. KILL PARTICIPATION
GEEK 10 RRQ 41 AURA 64.80%
RRQ 10 GFLX 37 BTR 63.27%
BTR 7 GEEK 36 GFLX 61.92%
AE 7 AE 35 ONIC 61.38%
AURA 6 BTR 35 EVOS 60.97%
ONIC 6 ONIC 35 AE 60.46%
GFLX 5 AURA 34 GEEK 59.62%
EVOS 5 EVOS 32 RRQ 57.60%

Dari 3 tabel di atas, ada beberapa hal yang menarik untuk dibahas. Pertama adalah soal EVOS Esports. Meski mereka memberikan performa yang luar biasa hebat di Regular Season, EVOS hanya menggunakan 5 pemain. Hero pool mereka juga paling sedikit dibanding yang lain. Hal ini bisa berarti 2 hal, positif dan negatif.

Positifnya, siapa tahu EVOS memang tidak memainkan kelima pemain sisa ataupun menggunakan semua hero karena memang ingin menyimpan strategi untuk Grand Final. Namun, di sisi lain, hal ini juga bisa berarti EVOS tidak memiliki tingkat skill yang rata dari masing-masing pemainnya. Hal yang sama juga bisa dilihat dari variasi hero yang digunakan karena EVOS bisa saja memang sangat terbatas dari jumlah hero yang dikuasai. Jika penyebabnya adalah yang kedua, hal ini berarti strategi dan META yang akan digunakan EVOS sama persis dengan yang ada di Regular Season.

Di sisi lain, kebalikan dari EVOS, RRQ lebih berani mencoba memainkan lebih banyak hero dan pemain. Namun, RRQ memiliki persentase kill participation paling rendah dari semua tim yang ada. Hal ini juga bisa berarti 2 hal. Kerja sama antar pemain dari RRQ bisa jadi paling buruk atau skill individu masing-masing pemain di tim ini adalah yang paling baik — atau bisa juga keduanya benar.

Akhirnya, itu tadi sejumlah statistik yang dicatat oleh MET Indonesia yang coba kami jelaskan relevansinya. Benarkah EVOS memiliki keterbatasan soal pemain dan hero pool? Apakah mereka akhirnya bisa menjadi juara setelah 2x jadi Runner Up?

Bagaimana dengan RRQ? Formasi mereka kali ini sungguh meyakinkan di setiap lini. 10 pemain RRQ sekarang juga bisa dibilang sama kuat satu sama lain. Namun, biasanya pemain bintang itu memang lebih sulit diajak bekerja sama…

Atau justru malah Alter Ego, yang baik dari berbagai segi dan tercermin dari statistiknya, yang akan membuat sejarah baru lagi di gelaran MPL? Bagaimana dengan ONIC? Memang sungguh tidak ada yang istimewa terlihat dari statistik ONIC di Regular Season kali ini namun siapa tahu mereka bisa menemukan kembali chemistry dan keganasan yang mereka miliki di Season 3.

Bigetron dan Aura juga tentunya tak bisa dipandang sebelah mata. Siapa tahu, keajaiban MPL ID S1 yang fenomenal akan terjadi lagi… Kala itu, semua orang memprediksi EVOS yang juara dan memandang rendah NXL. Namun ternyata takdir mengguratkan garis yang berbeda.

Sumber: Mobile Legends: Bang Bang
Sumber: Mobile Legends: Bang Bang

Sumber Featured Image: Dokumentasi MPL ID Indonesia|MET Indonesia

Review COD Mobile – Game FPS di Mobile Terbaik Sejauh Ini

Call of Duty Mobile (COD Mobile) resmi dirilis pada 1 Oktober 2019 lalu. Animo gamers sudah terlihat sangat tinggi, bahkan ketika game ini belum resmi dirilis. Tercatat, ada 1,7 juta pemain yang sudah mendaftar saat game besutan Tencent dan Activision ini masih dalam masa pra-registrasi.

Dengan animo yang sebegitu besar, saya akhirnya turut terjerumus ke dalam hype dan mencoba game ini. Namun, awalnya saya merasa sangat skeptis. Alasan saya skeptis dengan COD mobile sebenarnya karena saya masih merasa bahwa FPS di mobile (dan konsol) adalah penemuan paling absurd sepanjang peradaban manusia.

Sebagai seseorang yang bermain FPS menggunakan mouse dan keyboard sejak zaman Wolfenstein 3D, saya merasa kontrol joystick untuk FPS sangat tidak praktis. Jika joystick saja sudah tidak praktis, apalagi virtual joystick yang ada pada kebanyakan mobile games zaman sekarang. Soalnya, menurut saya kontrol sentuh untuk pergerakan rumit ala game FPS terasa sangat tidak intuitif.

Tetapi, ternyata anggapan saya salah dan malah jadi ketagihan main COD Mobile, karena satu dan lain hal. Sebagai seorang penggemar Call of Duty kelas teri (karena saya hanya main COD versi jadul, itupun versi bajakan), berikut ulasan COD: Mobile, dan alasan kenapa game ini bisa dibilang sebagai FPS mobile terbaik sejauh ini.

Sensasi Adu Tembak Tempo Cepat Khas Call of Duty

Pertama, mari kita bahas soal elemen gunfight. Berhubung game FPS pada mobile phone yang saya mainkan hanyalah PUBG Mobile dan COD Mobile ini, jadi dengan sangat terpaksa, saya harus membandingkan pengalaman adu tembak pada kedua game tersebut.

Memang terkesan tidak sebanding, gunfight pada PUBG Mobile cenderung realistis, sementara gunfight COD Mobile bersifat fast-paced penuh aksi layaknya sebuah film laga. Dalam COD Mobile, pokoknya Anda cukup tekan tombol tembak, dan arahkan ke musuh. Mau Anda menembak sambil bergerak, sliding, ataupun lompat, tembakan Anda akan tetap tepat sasaran selama Anda menggunakan Aim Down Sight (ADS) atau bidikan senjata.

Mekanisme menembak juga lebih sederhana. Tak ada mekanisme lean atau miring ke kiri dan kanan seperti pada PUBG Mobile. Jadi untuk peeking, Anda bisa bergerak ke kiri dan kanan pada tembok yang ada. Recoil senjata juga lebih mudah dikendalikan. Anda bisa menembak spray 30 peluru sekaligus, namun masih tepat sasaran, sampai peluru terakhir. Selain itu, musuh-musuh juga bercahaya merah, yang membuat mereka jadi lebih mudah dideteksi.

Mekanisme Aim Down Sight (ADS atau menembak dengan membidik) yang hadir di COD Mobile juga terasa sangat khas Call of Duty, layaknya versi konsol ataupun PC. Jadi walau adu tembak berjalan dengan tempo yang cepat, Anda tetap harus melakukan transisi dari mode hip-fire ke mode ADS agar peluru Anda tidak nyasar. Transisi ini juga dapat dilakukan dengan mudah, yang nanti akan kita ulas secara lebih lanjut bersama dengan sistem kontrol lainnya yang disajikan dalam COD Mobile.

Tetapi, walau sedari tadi saya bilang menembak di COD Mobile itu mudah, bukan berarti game ini jadi membosankan. Sistem progression COD Mobile ditata dengan cukup rapih, membuat proses belajar di dalam game ini jadi menyenangkan dan sangat rewarding.

Pemain dibawa mempelajari game ini tahap demi tahap, mulai dari sistem kontrol dan cara menembak musuh, mekanisme-mekanisme permainan seperti Scorestreaks, sampai peraturan ragam mode pertarungan 5v5 yang jadi hidangan utama di COD Mobile.

Setelah Anda lepas dari mode tutorial, target selanjutnya Anda adalah menaikkan level akun agar dapat menikmati mekanik lanjutan yang ada di COD Mobile. Awal permainan, modal Anda hanyalah senjata M4 polos tanpa attachment, ditambah kemampuan Scorestreak dan Operator Skill saja. Mode permainan juga terbatas hanya Frontline 5v5.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Seiring level akun meningkat, Anda akan mulai menemukan kerumitan baru. Anda jadi bisa membawa perlengkapan tambahan. Muncul senjata baru dengan karakteristik tertentu yang tak bisa sembarang Anda gunakan. Muncul mekanisme perk (semacam skill pasif kalau di dalam MOBA) yang bisa membuat karakter jadi lebih cepat, lebih kuat, atau lebih sigap. Mode yang dimainkan juga jadi makin beragam. Ada mode Team Deathmatch, Domination, Search and Destroy, dan bahkan Battle Royale.

Pemain juga dibawa menikmati Ranked Match dengan tahap demi tahap. Pada rank terendah, Anda hanya bisa bermain Team Deathmatch saja. Nantinya pada rank tertinggi Anda akan dibawa bermain mode Search and Destroy yang tak hanya butuh kemampuan menembak saja, namun juga strategi yang solid.

Seiring waktu, permainan juga jadi semakin menantang mengikuti level akun dan rank yang Anda miliki. Awal-awal, musuh yang Anda hadapi mungkin hanya bisa menembak sambil diam. Semakin tinggi level dan rank, lawan-lawan Anda jadi bisa menembak sambil strafing dengan lincah, flick-shot cepat dengan senjata sniper bahkan dari jarak dekat sekalipun, dan lain sebagainya.

Antara 5v5 dengan Battle Royale

Pada beberapa paragraf sebelumnya saya sudah menyebut mode-mode yang ada di dalam COD Mobile. Pada intinya, COD Mobile membagi mode permainan jadi dua, 5v5 dan Battle Royale. Pertandingan 5v5 dibagi lagi menjadi beberapa bagian, Frontline, Team Deathmatch, Domination, lalu Search and Destroy.

Pada mode Frontline, setiap kali mati Anda akan langsung hidup kembali di tempat yang sama. Team Deathmatch mirip dengan Frontline, bedanya setelah mati Anda bisa hidup kembali di tempat yang berbeda. Domination masih memiliki peraturan ala Team Deathmatch, bedanya dalam mode ini Anda harus menguasai satu poin tempat atau lebih, dalam durasi selama mungkin agar dianggap menang.

Search and Destroy biasa ditemukan di game-game FPS di PC, seperti Rainbow Six: Siege ataupun Counter-Strike: Global Offensive. Pada mode tersebut, dua tim memiliki dua tujuan yang berbeda. Tim satu harus memasang bom, tim lainnya harus menggagalkan bom yang dipasang. Kematian dihukum lebih keras dalam mode ini. Setelah mati, Anda akan respawn, tapi pada ronde berikutnya. Siapa yang memenangkan 6 ronde (baik dengan memasang, menggagalkan bom atau membasmi semua tim musuh) akan memenangkan permainan.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Mode Battle Royale, sama seperti PUBG Mobile. Anda terjun, looting, bertahan hidup sampai akhir, lalu jadi juara. Namun, Battle Royale pada COD Mobile hadir dengan sedikit twist. Pemain bisa memilih satu dari enam Class yang ada. Ada Scout, Clown, Medic, Ninja, Defender, dan Mechanic.

Masing-masing punya kemampuan khusus. Scout bisa mendeteksi musuh, Clown bisa memanggil zombie yang menyerang musuh, Medic menyembuhkan musuh lebih cepat, Ninja punya mobilitas yang tinggi, Defender lebih tahan semua damage kecuali dari tembakan, dan Mechanic mampu mendeteksi jebakan dan kendaraan dengan lebih cepat.

Selain dari kelas, beberapa perbedaan Battle Royale versi COD Mobile ini adalah, Anda bisa menghidupkan kembali teman yang sudah mati, dan juga kehadiran helikopter sebagai salah satu pilihan kendaraan yang bisa dikendarai. Dihadapkan dengan fitur-fitur menyegarkan tersebut, entah kenapa saya tetap merasa Battle Royale di COD Mobile itu membosankan. Mungkin karena sudah terlalu terbiasa dengan baku tembak tempo cepat yang memacu adrenalin pada mode 5v5.

Sementara Battle Royale? Tempo pertarungan jadi lebih lambat, belum lagi proses pergerakan circle yang lambat, bikin saya jadi makin bosan. Kalau ada satu hal yang bisa diperbaiki dari COD Mobile Battle Royale, mungkin adalah mekanisme circle-nya. Membuat tempo circle jadi lebih cepat mungkin akan membuat permainan jadi lebih seru dan mendebarkan.

Selain itu, lawan yang saya hadapi, kadang juga terlihat seperti bingung mau melakukan apa; yang membuat permainan jadi semakin kurang menarik. Mungkin karena rank saya terlalu rendah, sehingga lawan yang saya hadapi belum segitu hebat, atau mungkin karena yang saya lawan adalah bot

Tetapi Battle Royale COD Mobile memberi pengalaman yang kurang lebih lebih mirip dengan Battle Royale pada Call of Duty: Black Ops 4. Jadi jika Anda seperti saya (yang hanya mampu mencicipi Call of Duty: Black Ops 4 saat free week saja, namun tidak bisa membeli karena harganya yang terlalu mahal), COD Mobile bisa menjadi padanan yang tidak terlalu buruk.

Secara keseluruhan, memang pertarungan 5v5 masih lebih superior di dalam COD Mobile. Tetapi keseruan 5v5 dalam COD Mobile lebih dari sekadar adu tembak saja, karena ada beberapa mekanisme unik yang cukup membedakan COD Mobile dengan game FPS biasanya. Dua hal yang terasa paling beda dengan kebanyakan FPS lain (baik PC ataupun Mobile) adalah Scorestreaks dan Operator Skill.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Mekanisme Scorestreaks sendiri sebenarnya pertama kali muncul pada mode multiplayer Call of Duty: Black Ops 2. Mekanisme ini memungkinkan pemain menggunakan ragam perlengkapan canggih, saat ia berhasil mengalahkan musuh secara berturut-turut tanpa mati. Perlengkapan Scorestreaks paling dasar ada 3, UAV, Hunter Killer Drone, dan Predator Missile.

UAV memungkinkan Anda untuk mendeteksi posisi musuh pada minimap. Hunter Killer merupakan drone kecil yang bisa diterbangkan, mencari musuh, lalu meledak. Sementara Predator Missile adalah rudal yang bisa Anda kendalikan untuk mengalahkan musuh-musuh. Seiring level Anda meningkat, pilihan Scorestreaks lain akan terbuka, tentunya dengan fungsi yang semakin variatif.

Sementara itu Operator Skill sendiri sebenarnya hampir mirip dengan perlengkapan Scorestreaks. Bedanya, Operator Skill biasanya berbentuk senjata. Setelah mendapat kill demi killbar Operator Skill akan terisi, dan bisa digunakan setelah bar tersebut penuh. Mekanisme ini mirip dengan mengisi skill ultimate pada Overwatch, kalau mungkin Anda pernah memainkannya.

Operator Skill yang pertama kali terbuka adalah Purifier, sejenis Flamethrower yang bisa membakar musuh dengan cepat. Seiring level meningkat, akan terbuka jenis Operator skill lain seperti, Scythe si gatling gun kecil yang mematikan, ataupun War Machine si grenade launcher peledak otomatis.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Tambahan fitur ini membuat aksi adu tembak di COD Mobile jadi sangat menyenangkan (dan juga sangat menyebalkan). Menyenangkan jika Anda berhasil mendapatkan Scorestreak atau Operator Skill, yang membuat Anda bisa semakin mendominasi jalannya permainan; terutama pada mode Team Deathmatch ataupun Domination. Menyebalkan jika Anda berada di sisi tim yang kalah, sehingga Anda harus mati oleh segala peralatan aneh yang akan membuat Anda merasa permainan jadi tidak adil.

Namun yang disayangkan adalah dua fitur ini cenderung tak terpakai dalam mode Search and Destroy. Operator Skill memang tidak diaktifkan dalam mode tersebut. Mode Scorestreak sebetulnya tetap ada, namun hampir tidak mungkin untuk bisa dimanfaatkan, karena setiap ronde, semua hal akan direset, termasuk progress Scorestreak.

Jadi pada mode Search and Destroy, pembeda yang terasa hanyalah fitur Perks saja. Ini sebenarnya tidak terlalu jadi masalah, tapi saya merasa, penambahan skill tertentu atau class tertentu pada mode ini tentu akan membuat COD Mobile jadi lebih berwarna.

Kontrol 1-tap ADS yang Mengubah Segalanya

Saya sudah mengatakan soal ini di awal paragraf, FPS mobile dengan kontrol virtual joystick itu sebenarnya sangat konyol dan tidak praktis sama sekali. Tapi untungnya COD Mobile berhasil membantah hal tersebut, dan menyajikan kontrol praktis, yang langsung secara 180 derajat mengubah sudut pandang saya terhadap game FPS di mobile.

Secara umum, sistem kontrol di COD Mobile dibagi dua, Simple Mode dan Advanced Mode. Kalau Anda baru mulai belajar main FPS di mobile, kontrol Simple Mode jadi kontrol paling praktis untuk Anda gunakan. Anda tak perlu lagi repot menyentuh kontrol tembak. Cukup swipe untuk arahkan moncong senjata Anda ke musuh, selanjutnya senjata akan secara otomatis menembak setelah beberapa saat menemukan musuh pada targetnya.

Kalau Anda tak mau repot menekan terlalu banyak tombol, kontrol ini bisa Anda gunakan, tapi hanya untuk sementara waktu. Ironisnya, ketika rank Anda semakin tinggi, kontrol ini justru malah tak lagi praktis karena musuh jadi bergerak semakin lincah.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Saya sendiri sebenarnya baru mencapai rank Veteran II dan level karater 30. Tetapi saya sudah kesulitan mendapat lebih banyak kill dengan kontrol Simpe Mode, karena crosshair tak sempat mengunci target yang bergerak dengan lincah dan luwes.

Untuk itu, Anda bisa menggunakan sistem kontrol Advanced Mode. Sistem ini sebetulnya punya layout yang mirip dengan PUBG Mobile. Virtual joystick di kiri, lalu tombol tembak, reload, bidik ADS, jongkok, lompat, perlengkapan dan segala macamnya di kanan. Namun menurut saya, satu pembeda sederhana yang  langsung mengubah pendapat saya terhadap game FPS di Mobile adalah sistem 1-tap ADS.

Pada sistem ini, satu kali tap tombol tembak, Anda akan otomatis transisi ke mode ADS dan menembak. Mode ini membuat pengalaman adu tembak di mobile jadi berkali lipat lebih praktis. Perubahan sederhana ini yang menurut saya, membuat gunfight di COD Mobile jadi jauh lebih nikmat jika dibandingkan dengan PUBG Mobile.

Fitur 1-tap ADS ini bahkan juga bisa Anda manfaatkan ketika menggunakan senjata laras panjang. Anda cukup tahan tombol tembak, swipe ke arah target, lepas tombol untuk menembakkan peluru ke musuh. Perubahan sederhana seperti ini, menurut saya, membuat beberapa teknik game FPS seperti flick-shot, tracking, atau menembak strafing, jadi bisa diterapkan dengan lebih mudah.

COD Mobile #9
Seperti pada PUBG Mobile, kontrol juga bisa dikustomisasi sesuai preferensi Anda. Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Tetapi menurut saya, fitur ini hanya membuat COD Mobile jadi lebih praktis saja karena pertandingan melawan pemain berpengalaman tetap membutuhkan skill tersendiri. Nyatanya dalam permainan, kemampuan jempol Anda tracking pergerakan adalah modal terpenting pemain dalam menghadapi adu tembak. Karena praktis tidak sama dengan mudah, menurut saya sistem seperti ini seharusnya bisa menjadi standar baru bagi game FPS mobile, terutama yang memiliki mode ADS.

Kendati ada mode 1-tap ADS, namun bukan berarti tak ada kekurangan pada sistem kontrol COD Mobile. Salah satu masalah yang saya rasakan adalah input gerakan virtual joystick dan menembak yang kadang tidak sinkron. Jadi, walau niat hati melakukan Strafing, karakter kadang jadi diam saja karena virtual joystick yang bergerak tidak karuan atau terlepas.

Mungkin ini ada hubungannya dengan kemampuan suatu smartphone menerima respon multitouch. Saya sendiri menggunakan Xiaomi Pocophone F1, yang memang terkenal punya banyak masalah terkait LCD. Jadi, mungkin memang butuh smartphone yang punya kemampuan merespon touch dengan baik, agar pengalaman bermain COD Mobile jadi lebih nyaman.

Monetisasi khas Tencent dengan Konten yang Itu-itu Saja

Rasanya kurang lengkap jika tidak menyematkan pembahasan tentang microtransaction atau monetisasi ketika mengulas game mobile. Apalagi mengingat strategi microtransaction adalah nyawa penyambung hidup bagi game mobile gratis.

Seperti kebanyakan game gratisan lainnya, COD Mobile langsung punya berbagai bentuk microtransaction sejak hari pertama dirilis. Semua elemen dalam game diberi skin, senjata, tas, parasut dan glider (untuk mode Battle Royale), kendaraan, emote, bahkan granat sekalipun punya skin tersendiri. Sayangnya, konten skin dan segala macam tetek-bengeknya dalam COD Mobile, terkesan membosankan dan repetitif.

Jika Anda mendapatkan konten tambahan dengan tantangan lebih, Battle Pass bisa menjadi alternatif. Seperti Royale Pass pada PUBG Mobile, Anda bisa mendapat berbagai macam hadiah dengan melakukan berbagai macam misi di Battle Pass COD Mobile. Walau penawaran Battle Pass di dalam COD Mobile kadang terasa mengganggu, tapi saya masih merasa bahwa ini adalah monetisasi paling fair bagi pemain. Cukup satu kali beli, dapat banyak item in-game, permainan juga jadi lebih menyenangkan karena reward dari misi Battle Pass.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Tetapi lagi-lagi konten Battle Pass juga cenderung repetitif dan membosankan. Isinya hanyalah Skin, Weapon XP Card, CP (COD Points, mata uang premium COD Mobile), dan Battle Pass Crate mulai dari Battle Pass level 100 sampai 400. Mungkin karena baru Season 1, jadi konten tambahan yang disediakan juga masih terbatas, belum ada variasi lain yang lebih menarik.

Misi yang disajikan dalam Battle Pass juga terbilang masih masuk akal. Anda bisa bermain seperti biasa dan level Battle Pass akan tetap naik secara tanpa disadari. Saya sendiri saat ini sudah berada di level 27 pada Battle Pass versi gratis, hanya dengan bermain seperti biasa saja — tanpa harus fokus diri pada suatu misi tertentu.

Lanjut ke topik lain dalam microtransaction, yaitu pengaruhnya terhadap gameplay. Beberapa pemain kadang enggan memainkan game multiplayer gratis karena khawatir dengan permainan akan cenderung jadi pay to win. Monetisasi pada COD Mobile memang berpengaruh ke dalam gameplay, karena skin senjata dalam game ini memiliki stat atau Perks.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Perks senjata tersedia pada beberapa skin dengan tingkat rarity tertinggi. Bagaimana cara mendapat senjata dengan tingkat rarity tertinggi? Tentu saja dengan ‘GACHA’. Sejauh ini saya sendiri merasa bahwa pengaruh Perks terhadap gameplay masih belum sampai di tingkat Pay to Win.

Memang beberapa Perks terdengar cukup menyebalkan. Contohnya senjata HG 40 – Black Gold, yang bisa Anda dapatkan pada Season Weapon Crate. Skin senjata tersebut punya Perks yang akan mengisi peluru Anda kembali jika Anda mendapatkan Double Kill. Bayangkan betapa menyebalkannya Perks ini, terutama dalam mode Team Deathmatch. Jika Anda sangat jago, Anda bisa terus hidup dan tak pernah kehabisan peluru. Tetapi, sepertinya Perks ini tak akan terlalu mengganggu dalam pertarungan Search and Destroy (yang mungkin akan jadi standar esports COD Mobile). Toh semuanya akan reset kembali setelah satu ronde selesai.

Grafis Biasa Saja dengan Animasi yang Luar Biasa

Saya sengaja meletakkan pembahasan soal grafis di bagian paling terakhir, karena saya kerap merasa urusan grafis sebenarnya antara penting-tidak-penting dalam sebuah game FPS kompetitif. Saya sendiri lebih sering menggunakan pengaturan Graphic Quality di tingkat Low dengan pengaturan Frame Rate di tingkat Max, agar dapat merespon segala sesuatu dengan lebih cepat.

Walau demikian, jujur saya kagum dengan grafis COD Mobile. Meski dengan pengaturan terendah sekalipun, saya masih tetap bisa menikmati tampilan grafis yang ada. Tekstur senjata ataupun lingkungan tetap terasa detail walau mungkin tidak HD. Mengubah Graphic Quality ke tingkat Very High akan membuka opsi grafis lainnya yang menurut saya cukup baik untuk sebuah game mobile.

Sumber: Tangkapan layar pribadi - Akbar Priono
Sumber: Tangkapan layar pribadi – Akbar Priono

Pada tingkat Very High Anda dapat menemukan fitur Depth of Field, Bloom, Realtime Shadow, Ragdoll, sampai Anti-Aliasing untuk lebih memperhalus lagi grafis Anda. Anehnya, saya tidak merasakan perubahan grafis yang signifikan saat mengubah pengaturan ke tingkat Very High. Perubahan paling terasa hanyalah animasi pergerakan musuh yang kini jadi lebih halus.

Memang, satu hal yang paling sangat saya puji dari COD Mobile ini adalah animasinya. Dalam pengaturan grafis Low sekalipun, Anda tetap dapat menikmati animasi pergerakan karakter layaknya game Call of Duty terdahulu. Animasi ketika berlari, transisi dari mode tembak hipfire ke ADS, dan bahkan ketika Anda sliding, semuanya terasa halus, yang mungkin setingkat dengan animasi game pada platform PlayStation Portable (2004).

Kesimpulan – Game FPS di Mobile Terbaik Sejauh Ini

Saya tidak bisa mengatakan bagaimana perbandingan antara COD Mobile dengan seri Call of Duty lainnya yang pernah rilis di PC ataupun konsol. Satu hal yang pasti, saya merasakan feels COD dari hal yang saya ingat pernah cicipi, seperti: gunfight tempo cepat namun tetap mengandalkan ADS yang khas COD, gadget dan senjata-senjata canggih ala Call of Duty: Modern Warfare, dan battle royale ala mode Blackout di Call of Duty: Black Ops 4.

Lalu, jika COD Mobile harus berdiri sendiri sebagai game FPS di mobile, saya juga merasa bahwa COD Mobile berhak mendapat gelar sebagai game FPS di mobile terbaik sejauh ini. Fitur 1-tap ADS adalah fitur sederhana yang membuat saya betah memainkan FPS di mobile bahkan berjam-jam sekalipun.

Terakhir kalau soal monetisasi dan microtransaction, saya merasa sejauh ini COD Mobile tidak terlalu memoroti pemainnya; walau tetap ada gacha skin di dalam game. Fitur Battle Pass harus diperbaiki lagi agar punya konten yang lebih menarik, namun itu bisa dimaklumi karena COD Mobile baru masuk season 1. Saya berharap semoga saja season 2 bisa menyajikan Battle Pass yang lebih variatif dan menarik bagi pemain. Terakhir, soal skin memberi Perks, mungkin bisa menjadi lampu kuning bagi Anda yang khawatir soal game yang Pay to Win. Sejauh ini, hal tersebut belum berdampak besar di dalam game, dan semoga seterusnya akan bertahan seperti itu.

Sparks:

  • Kontrol 1-tap ADS membuat pengalaman bermain FPS di mobile jadi sangat menyenangkan
  • Adu tembak 5v5 tempo cepat khas Call of Duty yang seru dan penuh aksi
  • Fitur kelas yang membuat mode Battle Royale jadi lebih menyegarkan
  • Animasi dan pergerakan karakter yang sangat halus bahkan pada pengaturan grafis tingkat Low sekalipun

Slacks:

  • Mode Battle Royale membosankan karena temponya terlalu lambat
  • Konten Battle Pass dan microtransaction yang itu-itu saja
  • Skin memberi Perks, berpotensi menjadi pay to win
  • Grafis terkesan biasa saja, bahkan pada tingkat pengaturan Very High

Mengukur Peran Media Game di Ekosistem Esports Indonesia

Douglas Rushkoff (Throwing Rocks at the Google Bus, 2017) berargumen bahwa industri yang sehat adalah industri yang memiliki sirkulasi dana yang luas dan cepat. Pasalnya, dengan sirkulasi dana yang luas dan cepat, setiap pihak yang berkepentingan bisa terus bertahan dan memainkan perannya masing-masing. Sebaliknya, industri yang tidak sehat adalah industri yang hanya berusaha menggemukan 1-2 pihak saja karena model yang seperti ini justru memiskinkan banyak pelaku lainnya.

Lalu apa hubungannya argumentasi Rushkoff tadi dengan media game dan ekosistem esports di Indonesia? Besarnya anggaran esports yang berputar di ekosistem kita masih belum dapat dinikmati oleh para pelaku media game dan esports. Bahkan, jika mau lebih seksama melihatnya, baru 2 komponen di ekosistem esports yang bisa menuai banyak keuntungan saat ini: organisasi (tim) dan event organizer esports.

Jangankan media, publisher game-nya sendiri sebenarnya juga belum sebanyak itu mendapatkan keuntungan dari esports-nya. Memang, pendapatan dari penjualan item mall (in-app purchase) buat sejumlah game publisher bisa mencapai miliaran Rupiah setiap bulannya (meski sayangnya, saya tidak bisa menyebutkan nama publisher atau sumber informasi saya di sini). Namun demikian, tidak banyak pendapatan langsung yang diterima publisher dari setiap gelaran esports game mereka; seperti pendapatan yang diterima Valve setiap kali menggelar The International, berkat penjualan Battle Pass.

Korelasi yang jelas antara besaran pendapatan dari in-app purchase dengan ramainya ajang esports tiap game pun sebenarnya juga masih belum terdefinisikan dengan gamblang. Rata-rata memang masih hanya berpendapat soal esports sebagai sarana marketing dari game tersebut. Itu pun juga masih belum bisa dipastikan efektivitasnya.

Mungkin lain waktu kita akan membahas lebih dalam soal korelasi antara pendapatan publisher dengan ajang esports karena kali ini saya ingin membahas lebih jauh soal peran media game dan esports di dalam ekosistem kita.

Untuk membahas hal ini, saya telah mengajak berbincang beberapa kawan-kawan saya yang tahu punya cukup pengalaman soal media game. Kawan-kawan saya yang saya ajak berbincang kali ini adalah Michael Samuel (Editor-in-Chief untuk EsportsID), Bambang Tri Utomo (COO dari IndoEsports), Edi Kusuma (Pendiri Hasagi dan mantan Editor untuk VGI), dan salah seorang lagi yang menolak untuk disebutkan namanya di sini (sebut saja Mawar namanya). Izinkan saya juga menuangkan pendapat saya di sini karena saya juga memang punya pengalaman spesifik berkarier di media game dari 2008, di media cetak ataupun digital.

Kondisi Media Game dan Esports Sekarang

Sebelum kita menggali lebih dalam soal peran media di ekosistem, ada baiknya kita melihat sebentar pada kondisi media game dan esports di Indonesia saat ini. Dari pengakuan kawan-kawan, baik yang saya sebutkan tadi ataupun yang tidak, kondisi keuangan kebanyakan media game saat ini memang masih bleeding alias lebih besar pengeluaran daripada pendapatan.

Kalaupun ada pendapatan yang cukup besar, biasanya hal tersebut datang (atau setidaknya lebih besar) dari penyelenggaraan event — bukan seperti layaknya sumber pendapatan media zaman cetak dulu (iklan display, advertorial, ataupun banderol harga yang harus dibayarkan oleh pembaca).

Esports Indonesia
Esports market trend report 2019. Sumber: DailySocial

Ada banyak faktor sebenarnya yang membuat kondisi industri media digital berubah drastis dibanding zaman sebelumnya. Berhubung supaya tidak jadi buku ratusan halaman, saya hanya akan menyebutkan beberapa hal yang menurut saya relevan dengan bahasan kita kali ini.

Pada zaman sebelum digitalisasi, media memiliki peran besar dalam mengatur arus informasi. Media, zaman itu, bahkan juga bisa saja semena-mena menutup keran informasi tentang sebuah cerita, kasus, atau apapun itu. Maka dari itu, para diktator negara juga biasanya tahu betul bahwa pengekangan arus informasi menjadi sebuah kunci keberlangsungan suatu rezim.

Kala itu, kekuasaan memegang arus informasi juga terbagi menjadi 3 kanal besar yaitu televisi, radio, dan media cetak. Pembagian 3 kanal besar ini berkaitan erat dengan industri periklanan yang sebelumnya jadi mata air utama pendapatan perusahaan media. Pasalnya, ketika itu, tidak ada 1 ruang atau platform beriklan yang mampu mencapai semua pengguna. Sekarang, pasca digitalisasi media, ada duopoli Google dan Facebook yang mungkin bisa dibilang mencakup gabungan pengguna 3 kanal tadi. Dengan demikian, media tidak lagi menjadi ruang beriklan yang utama atau setidaknya sudah tidak jadi satu-satunya ruang beriklan. Meski memang, masih ada banyak juga pelaku industri yang percaya untuk menjaga hubungan baik dan menghidupi media agar terus menjaga perannya dalam sebuah ekosistem industri.

Sayangnya, di industri game atau esports saat ini, mayoritas para pelakunya lebih suka menggunakan Google atau Facebook (serta turunannya) sebagai ruang beriklan, publikasi, ataupun menyebarkan informasi. Hal inilah yang jadi salah satu faktor terbesar terhadap minimnya pendapatan media game saat ini.

Ketika saya masih di media cetak dulu, media game mendapatkan pemasukkan paling banyak dari publisher game lokal (Lyto, Megaxus, WaveGame, dkk.). Sekarang, publisher lokal yang tadinya menguasai industri game nasional sudah tergerus kencang oleh publisher internasional. Sedangkan publisher internasional tadi memang mayoritas lebih suka menggunakan Facebook atau Google untuk beriklan. Di sisi lain, Facebook dan Google memang nyatanya mampu menawarkan harga iklan yang lebih terjangkau, yang bahkan bisa dibeli secara ‘eceran’.

Mawar, yang awalnya lebih memilih diam di sudut meja saat kami duduk bersama di sebuah kafe di sekitaran SCBD, tiba-tiba mengatakan, “(melihat kondisi pendapatan media game sekarang,) ajaib jika (sejumlah media game) masih hidup.”

Itu tadi jika kita melihat faktor eksternalnya. Jika melihat sisi medianya sendiri, sayangnya, memang ada banyak hal yang mungkin bisa dibenahi ataupun ditambah.

Pertama, media digital antara satu dengan yang lainnya memang lebih saturated dibanding zaman cetak dulu. Hal ini juga terjadi di media yang spesifik membahas game dan esports. Maksudnya, ciri khas masing-masing media (termasuk media game) jadi tidak terlalu terlihat. Seingat saya, dulu perbedaan antara HotGame, GameStation, dan PC Gamer itu jelas sekali terlihat. 3 majalah game tadi juga setahu saya mengincar target pasar yang tidak sama persis dan menyuguhkan artikel eksklusifnya masing-masing.

Sumber: Tokopedia
Sumber: Tokopedia

Mike, panggilan sayang dari Michael Samuel, juga setuju bahwa memang media game yang seharusnya bisa menunjukkan ciri khasnya masing-masing. Ia juga menambahkan bahwa media tak bisa sepenuhnya menyalahkan para pengiklan karena ada tuntutan adaptasi yang harus dijalani para pelaku media. Adaptasi untuk terus bertahan ini akan saya lanjutkan pembahasannya di bagian selanjutnya namun ada juga persoalan adaptasi yang berpengaruh terhadap kondisi media game saat ini.

Faktor internal kedua yang menurut saya sedikit banyak berpengaruh pada kondisi media game saat ini ada di para pengambil kebijakannya. Mereka-mereka yang punya pengalaman membesarkan media justru kalah suaranya dengan mereka yang belum punya ataupun minim pengalaman. Faktanya, membesarkan sebuah media itu tidak mudah. Setidaknya, jelas tidak seperti memperlakukan layaknya akun-akun anonim di media sosial karena ada kode etik dan kredibilitas (baik brand media ataupun nama baik para jurnalisnya) yang harus dijaga.

Antara Media, Media Sosial, dan Influencer

Jika berbicara soal media, apalagi di ekosistem gaming dan esports, saya kira perlu juga dibuat satu bahasan khusus yang membandingkannya dengan media sosial atau malah influencer.

Menurut Edi, atau yang biasanya lebih dikenal dengan Edel, media itu seharusnya bisa menawarkan informasi yang lebih kredibel ketimbang media sosial. Ia juga menambahkan media sosial biasanya lebih cenderung untuk menggiring opini, ketimbang menyajikan fakta. Namun demikian, menurut Edel juga, perbedaan antara media dan media sosial juga sebenarnya bergantung pada selera si pembacanya. “Apakah lu mau berita yang cepet dan rame atau mau berita yang bisa dipertanggungjawabkan.” Ujarnya.

Sedangkan jika dibandingkan dengan influencer, Edel berpendapat bahwa influencer memang hanya bisa menyatakan pendapat pribadinya dan bisa saja merasa selalu benar. Sedangkan media seharusnya bisa lebih netral dan mencoba meluruskan informasi sesuai dengan fakta yang ada.

Sumber: GoodRebels.com
Sumber: GoodRebels.com

Sang COO IndoEsports yang mengaku lebih suka dipanggil Tommy juga menambahkan pendapatnya mengenai perbedaan antara media dengan media sosial dan influencer. Menurutnya, ada 2 jenis berita yang harus dipahami, “berita yang kita MAU tahu dan yang kita PERLU tahu.”

Pendapatnya senada juga dengan yang disampaikan oleh Mike. “Media itu tidak hanya soal hiburan tapi juga menyuguhkan informasi.” Kata Editor-in-Chief yang telah melanglang buana di industri game Indonesia.

Mawar juga mengamini bahwa media memang punya batasan yang jauh lebih banyak dibanding media sosial dan influencer.

Meski demikian, saya sendiri percaya sebenarnya media, (akun) media sosial, ataupun influencer bisa bersinergi membangun ekosistem asalkan memang perannya masing-masing disadari oleh banyak pihak. Konsepnya sederhana namun kenyataannya memang tidak mudah dijalankan. Karena tidak jarang media memang tidak mungkin secepat, sefrontal, ataupun semurah media sosial ataupun influencer. Pasalnya, media jelas statusnya sebagai perusahaan yang bayar pajak, harus mengikuti sekian banyak batasan (ataupun undang-undang), dan harus mendapatkan keuntungan agar bisa bertahan lama.

Peran Media Game di Ekosistem

Worst case, apa yang terjadi jika media-media niche yang khusus membahas esports dan game tak mampu bertahan? Apa yang akan terjadi dengan ekosistem esports Indonesia?

Mawar berpendapat bahwa media-media portal (yang punya berbagai kanal) yang akan jadi lebih aktif membahas game dan esports. Namun demikian, media-media tersebut tetap saja tidak akan bisa membahas lebih banyak atau lebih dalam soal esports dan game. Kecuali, mereka akan menarik para penulis atau jurnalis yang memang punya spesialisasi expertise di sini. Namun jika media-media portal yang akhirnya membahas game dan esports juga tidak mampu mendatangkan penghasilan dari industri atau ekosistem ini, mustahil juga mereka menjadikan topik bahasan game dan esports sebagai prioritas.

Saat ini, media-media mainstream (yang bukan niche) memang sudah mencoba memasukkan topik bahasan game dan esports namun, sejauh yang saya tahu, mereka masih sebatas testing the water. 

Andai saja kondisi terburuk tadi memang terjadi, kondisinya mungkin akan sama dengan ekosistem olahraga di Indonesia saat ini. Bahkan media-media yang khusus membahas sepak bola pun tidak sedikit yang gulung tikar. Saya tahu ini karena memang ada media esports di Indonesia yang mayoritas isinya mantan jurnalis bola. Itu tadi masih sepak bola yang merupakan olahraga paling populer di Indonesia. Kita belum berbicara soal exposure dan publikasi untuk olahraga-olahraga lain seperti basket, voli, bulu tangkis, dan kawan-kawannya.

Sumber: Bola.net
Sumber: Bola.net

Jika melihat publikasi dan exposure sepak bola, hal yang serupa juga dilakukan oleh sejumlah organisasi esports karena setiap tim besar punya kanal YouTube mereka masing-masing seperti Persija, Persib, ataupun Persebaya.

Dengan adanya media mainstream yang juga bisa membahas esports ataupun game secara umum dan kemudahan setiap pelaku industri (organisasi esports, EO, publisher) punya ruang distribusi publikasi sendiri, nilai jual media game dan esports memang jadi terlihat semakin kecil.

Maraknya platform yang mengijinkan user-generated content (YouTube, Facebook, Instagram, Twitch, Twitter) membuat banyak orang memang jadi menganggap membuat konten dan publikasi itu mudah dan murah. Namun, faktanya, expertise itu tidak pernah mudah apalagi murah jika memang ingin berkelas (yang bukan picisan). Sayangnya, memang lebih banyak orang-orang berpikiran dangkal yang lebih suka menyederhanakan segala sesuatunya dan tak mampu (atau mau) melihat setiap hal dari berbagai perspektif.

Misalnya tadi soal akses mudah ke platform user-generated content, banyak pelaku industri (dari semua sisi, termasuk produsen konten ataupun sponsor) menjadikan kuantitas semata sebagai tolak ukur utama dan bahkan rela mengorbankan banyak hal demi tujuan tadi. Banyak yang jadi tidak sadar bahwa kemudahan akses ruang publikasi ataupun distribusi konten itu justru membuat tolak ukur lain selain kuantitas (viewer, trafficsubscriber, dkk.) semakin dibutuhkan dan penting untuk dirumuskan.

Kenapa saya bisa bilang demikian? Karena nyatanya, video anak kecil makan bakso saja bisa mengalahkan popularitas video dari pro player. Nyatanya, saat artikel ini ditulis, jumlah subscriber Najwa Shihab bahkan di kisaran angka yang sama dengan sang anak kecil tadi. Dengan mudahnya akses publikasi dan distribusi konten, keahlian dan keberhasilan jadi tidak bisa semata-mata dinilai dari popularitas.

Maksud saya menjabarkan hal tadi karena saya kira penting juga untuk disadari bahwa ruang publikasi dan distribusi yang mudah dan murah itu juga menuntut pertimbangan yang lebih jauh dari yang kelihatan jelas di permukaan. Sampai hari ini, memang saya tahu juga ada beberapa pelaku di esports, seperti EO, yang sudah menyadari pentingnya peran dan expertise media dan mengalirkan dana ke sana (thanks buat kliennya Hybrid wkwkwkwk…) namun masih banyak juga yang belum sampai memikirkan bagaimana nasib para pekerja media game dan esports.

Namun demikian, di sisi lain, kembali ke perkataan Mike tadi memang media game dan esports juga harus beradaptasi dan upgrade kelas untuk terus bertahan dan memainkan perannya dalam ekosistem.

Saya sepenuhnya setuju soal adaptasi dan upgrade tadi karena, menurut saya, banyak media juga belum mampu menunjukkan ciri khasnya masing-masing dan menyuguhkan konten yang benar-benar berkualitas. Mungkin karena memang standar rekrutmen atau gajinya juga terlalu rendah (nyahahaha). Tidak jarang media juga malah jadi sekadar pengikut tren dan bahkan malah mengambil peran influencer ataupun akun anonim yang lebih suka terlibat atau malah memulai kegaduhan dan keonaran yang tidak berfaedah (alias drama).

Adaptasi dalam mencari pendapatan juga sebenarnya bisa dilakukan kawan-kawan media game yang memang memiliki keahlian di sana, asalkan juga disadari oleh tim, event, ataupun sponsor yang memang memahami pentingnya brand image-nya masing-masing. Salah satu yang bisa dilakukan, misalnya, adalah memainkan peran media relation. Perusahaan media game yang punya orang-orang berkualitas, seperti kawan saya Mike, Mawar, ataupun yang lain-lainnya juga sebenarnya mampu menawarkan knowledge soal esports ataupun game yang mendalam namun juga tahu bagaimana membuat rilis ataupun bentuk publikasi lain yang lebih proper. Membangun kerangka narasi besar yang ingin dibentuk untuk jangka panjang serta implementasinya juga bisa dilakukan jika disadari kebutuhannya oleh para pelaku.

Sekali lagi, expertise jurnalistik dan berbahasa itu tidak mudah. Saya kira hal ini juga penting untuk disadari betul oleh para pelaku industri. Pasalnya saya sudah beberapa kali mendengar seperti ini, “menulis itu kan gampang, Bes…” Hmmm, bagi saya, jangan pernah mengaku bisa berbahasa jika belum bisa membedakan antara kata kerja, kata sifat, dan saudara-saudaranya. Itu tadi bahkan masih pengetahuan dasar berbahasa, belum sampai keahlian untuk merangkainya menjadi sebuah cerita karena masih ada soal kekayaan diksi, koherensi antar paragraf, penjabaran argumentasi, ataupun segudang hal lainnya. Ini juga masih soal berbahasa juga belum sampai soal kode etik jurnalistik.

Expertise inilah yang sebenarnya bisa dimanfaatkan dengan lebih variatif jika memang disadari oleh berbagai pelakunya, seperti beberapa contoh yang saya sebutkan tadi.

Akhirnya, bisa jadi saya memang bias dalam memandang peran media game di dalam ekosistem ini. Namun saya sangat percaya bahwa peran media sebagai ruang informasi dan edukasi terbuka yang bermartabat dan berpatutan punya andil besar sebagai salah satu dari pilar-pilar penting: media, komunitas (di dalamnya termasuk influencer, pekerja perorangan, dkk), EO, sponsor, tim/organisasi, dan publisher; dalam membangun industri esports yang berkesinambungan.

Sumber Header: IGN

[Review] Mario Kart Tour – Hubungan Tanpa Komitmen

Sekilas di atas kertas, Mario Kart Tour terdengar seperti game dengan konsep ideal. Mario Kart sendiri pada dasarnya merupakan game yang seru untuk dimainkan bersama orang lain, jadi bisa memainkannya secara online tentu menyenangkan. Selain itu Mario Kart juga asyik dimainkan di perangkat portabel, misalnya di Nintendo 3DS atau Switch. Ketersediaan Mario Kart di smartphone jelas merupakan suatu wujud kenyamanan, karena kita jadi bisa bermain di mana saja tanpa harus membawa gawai elektronik tambahan.

Pada praktik nyatanya, Mario Kart Tour berhasil memenuhi ekspektasi itu sampai tahap tertentu. Namun ada beberapa hal yang membuat pengalaman bermain dalam game ini kurang maksimal, yang patut dipertanyakan karena hal-hal itu berakar dari keputusan desain aneh dari developernya. Seolah-olah Nintendo sebetulnya bisa membuat game ini lebih baik lagi, tapi sengaja tidak melakukannya karena Mario Kart Tour adalah sebuah mobile game.

Jadi apakah Mario Kart Tour layak untuk dimainkan, terutama bila Anda merupakan seorang penggemar setia seri Mario Kart? Simak pembahasannya di bawah.

Mario Kart dalam genggaman

Secara garis besar, Mario Kart Tour mempertahankan berbagai karakteristik yang membentuk inti dari seri Mario Kart. Di sini Anda akan memainkan sejumlah tokoh dari seri Super Mario Bros. untuk adu cepat mobil gokar di jalanan. Selain Mario, Luigi, dan Bowser, Anda juga akan bertemu dengan puluhan tokoh lainnya, termasuk Donkey Kong, Diddy Kong, Peach, Yoshi, Rosalina, dan masih banyak lagi.

Ketika melakukan balapan, ada beberapa hal yang bisa Anda pilih. Pilihan sirkuit serta mobil jelas ada seperti game balap pada umumnya, tapi kemudian ditambah juga dengan pemilihan glider yang dapat membantu mobil Anda melayang di udara. Pilihan kelas kecepatan juga tersedia, mulai dari yang paling lambat yaitu 50 cc, 100 cc, 150 cc, hingga 200 cc. Sampai di sini Mario Kart Tour mirip dengan seri Mario Kart aslinya. Tapi kemudian Anda akan menemukan banyak sekali perbedaan yang membuat game ini punya nuansa unik.

Mario Kart Tour - Screenshot 1

Perbedaan pertama yang paling mencolok adalah jumlah putaran (lap) dalam setiap balapan. Mungkin karena ini mobile game, di mana pasarnya adalah gamer kasual, Mario Kart Tour hanya memperbolehkan kita balapan sebanyak dua lap, tidak lebih.

Menurut saya dua lap itu terasa sangat kurang. Memang benar sih, mobile game idealnya bisa dinikmati dalam sesi permainan singkat. Tapi saya berharap Nintendo juga menyediakan pilihan lap yang lebih banyak, misalnya tiga atau lima. Apalagi mengingat Mario Kart adalah game yang cukup “brutal” persaingannya, jumlah lap sedikit membuat kita bisa kehilangan kesempatan mengejar musuh hanya gara-gara terkena satu serangan atau melakukan satu kesalahan.

Rasa kurang puas itu semakin diperkuat karena seri Mario Kart punya fitur di mana lagu latar akan berubah jadi lebih menegangkan ketika memasuki lap terakhir. Di Mario Kart biasa, fitur ini sangat pas untuk menaikkan semangat kompetisi kita begitu balapan mendekati akhir. Di Mario Kart Tour fitur ini jadi terkesan aneh, karena lagu aslinya baru berjalan sebentar (satu lap) tapi sudah diganti. Bukannya memunculkan ketegangan, pergantian lagu ini hanya bikin sebal dan saya berharap ada opsi untuk mematikannya.

Mario Kart Tour - Screenshot 2

Perbedaan kedua, berhubung game ini dimainkan di smartphone maka jelas Mario Kart Tour menggunakan kontrol sentuh. Menurut saya Nintendo berhasil mengimplementasikan sistem kontrol yang sangat baik dan intuitif. Mobil akan berjalan ke depan secara otomatis, namun bisa kita belokkan dengan cara swipe kiri atau kanan. Menembakkan senjata bisa dilakukan dengan swipe atas atau bawah, tergantung dari Anda ingin menembak ke depan atau belakang.

Bila Anda menahan posisi belok untuk waktu yang cukup lama, mobil Anda otomatis akan masuk pada kondisi drifting. Lepaskan jari setelah drifting, maka mobil Anda akan memperoleh dorongan kecepatan tambahan. Kontrol default ini disebut Automatic Drifting, tapi tersedia juga versi alternatif yang disebut Manual Drifting. Tinggal pilih mana yang Anda suka.

Ternyata bukan game balapan?

Perbedaan ketiga, seiring Anda bermain maka Anda akan sadar bahwa tujuan permainan ini bukanlah untuk meraih peringkat pertama sebagaimana game balapan pada umumnya. Apa maksudnya? Jadi begini. Dalam Mario Kart, pemilihan karakter, mobil, serta glider akan berpengaruh terhadap performa Anda di sirkuit, seperti aspek kecepatan, kontrol belok, dan semacamnya. Tapi di Mario Kart Tour ada satu aspek tambahan, yaitu skor.

Mario Kart Tour - Screenshot 3

Karakter, mobil, dan glider masing-masing memiliki stat skor tersendiri. Skor tersebut kemudian ditambahkan dengan skor yang Anda peroleh selama balapan, misalnya dari keberhasilan mendapatkan boost, menyerang musuh, atau aksi-aksi lainnya.

Skor total inilah yang menjadi dasar penilaian performa Anda di akhir balapan, bukan posisi finis. Memang posisi finis juga mempengaruhi skor, tapi itu hanya salah satu faktor. Meskipun Anda finis di peringkat lima misalnya, Anda bisa saja meraih skor lebih tinggi dari peraih peringkat pertama. Kemudian bila Anda berhasil meraih skor tertentu dalam suatu balapan, Anda akan memperoleh bintang (Grand Star) yang bisa digunakan untuk membuka sirkuit balap berikutnya.

Sistem penilaian melalui skor ini membuat Mario Kart Tour jadi terasa memiliki unsur RPG, karena setiap karakter, mobil, dan glider bisa ditingkatkan levelnya supaya memberikan skor yang lebih tinggi. Tentu saja, itu berarti Anda harus banyak grinding.

Setiap karakter, mobil, dan glider juga bisa memberi keuntungan di suatu balapan spesifik. Misalnya, dengan menggunakan Yoshi balapan Yoshi Cup, Anda bisa langsung mendapatkan tiga senjata setiap kali menghancurkan kotak senjata. Ada juga mobil tertentu yang akan membuat skor Anda meningkat dua kali lipat di akhir balapan. Ini masih ditambah dengan kemampuan-kemampuan pasif khusus, seperti boost lebih cepat, slipstream lebih lama, dan lain-lain. Karakter juga memiliki senjata spesial berbeda-beda yang bisa Anda dapatkan di tengah balapan, jika Anda beruntung tentunya.

Mario Kart Tour - Screenshot 4

Bisa ditebak, semakin tinggi level dan semakin banyak karakter, mobil, serta glider yang Anda miliki maka semakin besar pula keuntungan yang Anda dapat saat balapan. Dan pastinya bisa ditebak juga bahwa semakin langka sebuah karakter/mobil/glider, semakin besar pula keuntungannya. Jadi selamat rajin grinding, dan selamat rajin mengundi gacha.

Tak cuma jago kandang

Dari tadi kita sudah membahas aspek gameplay Mario Kart Tour secara cukup detail, tapi bagaimana dengan kualitas atau production value dari game ini? Saya bisa bilang dengan yakin bahwa Nintendo sama sekali tidak kompromi. Mario Kart Tour menyajikan kualitas visual begitu mulus, nyaris setara dengan Mario Kart 8 di console Wii U. Framerate sepanjang permainan pun sangat stabil, membuat pengalaman balapan begitu asyik dinikmati.

Saya memainkannya di smartphone Oppo F7 yang memiliki cip grafis Mediatek Helio P60 dan performanya bagus sekali, tidak ada stutter, penurunan framerate, atau masalah teknis lainnya. Sekali lagi, Nintendo menunjukkan bahwa mereka mampu menjaga kualitas produk meski bukan di platform milik sendiri.

Kemudian dari segi konten, Mario Kart Tour punya berbagai macam Cup yang bisa Anda buka dengan mengumpulkan Grand Star. Satu Cup ini terdiri dari empat balapan, tiga di antaranya adalah balapan biasa dan satu sisanya merupakan tantangan khusus, misalnya ring race, mengumpulkan koin, atau balapan melawan karakter bos.

Mario Kart Tour - Screenshot 5

Balapan itu dilakukan di berbagai sirkuit yang mengambil dari seri Mario Kart lainnya. Misalnya Neo Bowser City dari 3DS, Mario Circuit dari SNES, dan Yoshi Circuit dari GameCube. Sirkuit ini bukan sekadar reuse aset dari game lain, tapi Nintendo mendesainnya ulang agar sesuai dengan tampilan visual serta keperluan gameplay di Mario Kart Tour.

Jumlah karakter, mobil, dan glider dalam game ini pun banyak sekali. Pada saat artikel ini ditulis, Mario Kart Tour memiliki 34 karakter, dan masih terus bertambah. Banyak di antara karakter tersebut yang sebetulnya merupakan variasi kostum saja, tapi dihitung sebagai karakter berbeda. Contohnya Mario berkostum Musician, Peach berkostum Kimono, Metal Mario, dan seterusnya. Anda bisa menghabiskan waktu lama untuk mengoleksi semuanya.

Sayangnya Mario Kart Tour memiliki kekurangan di segi mode permainan. Saat ini kita hanya bisa bermain di satu mode online saja, itu pun terkadang saya heran, sebenarnya kita bermain melawan orang sungguhan atau bot. Ada tombol pilihan Multiplayer di menu, namun tidak bisa diklik dan tampaknya baru akan diluncurkan di kemudian hari.

Untuk motivasi bermain tambahan, Anda bisa mencoba melengkapi berbagai tantangan. Misalnya melakukan Mini-Turbo Boost 150 kali, finis posisi 1 berturut-turut sebanyak 3 kali, dan banyak lagi. Tantangan ini ada yang sifatnya permanen, ada juga yang terbatas waktu. Dengan menyelesaikan tantangan, Anda bisa memperoleh imbalan berupa Ruby (mata uang premium game ini), Grand Star, atau badge yang bisa dipajang di profil.

Mario Kart Tour - Screenshot 6

Sejujurnya menilai konten game free-to-play seperti ini agak sulit karena sifatnya yang akan terus berubah seiring munculnya update. Tapi dari awal perilisannya pun, jumlah konten di Mario Kart Tour sudah cukup banyak, dan ini masih akan terus bertambah di masa depan. Setidaknya jumlah konten Mario Kart Tour sudah bisa memuaskan mereka yang ingin hiburan kasual, tapi bila ingin bermain secara lebih serius atau completionist, lain lagi ceritanya.

Investasi setengah hati

Nah, saatnya kita masuk ke pembahasan aspek yang paling tidak menyenangkan untuk dibahas: monetisasi. Saya paham bahwa di dunia ini tidak ada yang gratis, dan bahwa developer game juga butuh makan. Jadi secara umum saya tidak punya sentimen negatif terhadap praktik monetisasi apa pun. Tapi dalam menilai monetisasi itu kita bisa melihatnya dari dua sudut pandang. Pertama, apakah value yang ditawarkan sesuai dengan harganya. Kedua, sejauh mana monetisasi itu berpengaruh terhadap gameplay.

Di sini Mario Kart Tour membuat saya merasa agak dilematis, karena ada sebagian aspek monetisasi di dalamnya yang menurut saya bagus tapi sebagian lainnya justru lumayan mengesalkan. Jadi saya bingung, antara ingin mendukung developernya karena sudah menciptakan game yang bagus tapi juga tidak ingin mendukung praktik-praktik yang bikin kesal itu.

Mario Kart Tour memiliki dua jenis mata uang, yaitu Coin dan Ruby. Coin bisa Anda kumpulkan selama balapan, sementara Ruby adalah mata uang premium yang bisa dibeli dengan membayar sejumlah rupiah atau menyelesaikan tantangan tertentu.

Coin bisa digunakan untuk membeli banyak hal, mulai dari tiket untuk upgrade mobil, mobil itu sendiri, glider, hingga karakter (driver). Pilihan item yang bisa Anda beli di Shop menggunakan Coin terbatas dan akan berubah secara acak setiap harinya, tapi buat saya ini sama sekali tidak masalah. Harga item yang ditawarkan pun tidak begitu mahal, jadi secara teori tidak perlu waktu lama untuk menabung Coin bila ingin membelinya.

Mario Kart Tour - Screenshot 7

Sayang, teori hanya tinggal teori. Sejauh ini mungkin sistem Coin terdengar bagus, tapi kemudian Nintendo merusaknya dengan membatasi perolehan Coin sebanyak maksimal 300 Coin per hari. Saya jadi bingung. Saya ingin bermain lebih lama supaya bisa mengumpulkan lebih banyak Coin dan membeli item yang saya incar. Kenapa malah dibatasi, seolah-olah saya tidak boleh terlalu lama bermain? Rasanya seperti dipaksa untuk jadi casual player, padahal saya ingin bermain sedikit lebih hardcore.

Karena batasan itu, bila saya ingin membeli karakter seharga 3.000 Coin, saya jadi harus grinding selama 10 hari. Ini cukup mengesalkan. Bisa ditebak, ada cara untuk memperoleh lebih banyak Coin setiap harinya, yaitu lewat bantuan kekuatan kapitalisme. Dengan mengorbankan sejumlah Ruby, Anda bisa mengakses mode bernama Coin Rush, sebuah mode khusus untuk mengumpulkan Coin dalam jumlah besar.

Selain mode khusus tersebut, kegunaan utama Ruby adalah untuk menarik undian gacha. Bayar 5 Ruby untuk 1 gacha, atau 45 Ruby untuk 10 gacha. Yang saya tidak suka dari mata uang premium ini adalah harganya sangat tidak bersahabat di kantong. Untuk membeli paket berisi 48 Ruby, kita harus membayar sebesar Rp389.000. Dua kali gacha 45 Ruby dan saya sudah bisa beli kaset Mario Kart 8 Deluxe di Nintendo Switch.

Harga semahal itu pun tidak menjamin Anda akan memperoleh karakter atau item yang langka. Kans mendapatkan item langka yang sedang dipromosikan (biasa disebut sebagai banner pull) hanya 1% dari setiap gacha, dan item yang didapat dari gacha pun bisa duplikat. Entah bagaimana dengan orang lain, tapi bagi saya, penawaran harga seperti ini sama sekali tidak worth it untuk dibeli.

Mario Kart Tour - Screenshot 8

Benda yang lebih layak dibeli adalah membership premium bernama Gold Pass. Dengan membayar Rp69.000 per bulan, Anda bisa mendapatkan imbalan-imbalan eksklusif setelah selesai balapan, termasuk karakter atau mobil langka dan sejumlah Ruby. Anda juga akan membuka berbagai tantangan baru, yang jika Anda selesaikan, akan memberikan imbalan berupa Ruby, badge, atau Grand Star.

Melihat harganya yang cukup murah, serta banyaknya imbalan yang diberikan, saya rasa Gold Pass ini monetisasi yang paling ideal bila Anda ingin mengeluarkan uang di Mario Kart Tour. Tapi, lagi-lagi, Nintendo merusaknya dengan hal yang tak perlu. Ternyata, Gold Pass ini berpengaruh besar terhadap gameplay. Hanya member Gold Pass yang bisa mengakses balapan kelas 200 cc, sementara pemain lainnya terbatas maksimal di balapan 150 cc.

Keburukan lainnya dari Gold Pass adalah sistem berlangganannya yang otomatis akan diperpanjang setiap bulan, kecuali bila kita membatalkan langganan secara manual. Jadi bisa saja saldo Google Play Anda tiba-tiba berkurang tanpa sadar, atau tiba-tiba muncul tagihan di kartu kredit Anda. Berbeda dari langganan PlayStation Plus yang bisa dipilih antara perpanjangan otomatis dan manual, tampaknya tidak ada cara untuk memilih di Gold Pass ini. Bagi saya, sistem perpanjangan demikian terasa seperti usaha untuk menarik uang tanpa persetujuan dari pemain, atau bahasa kasarnya, terasa seperti sebuah scam.

Mario Kart Tour - Screenshot 9

Kesimpulan: Hubungan tanpa komitmen

Saya cukup menyukai Mario Kart Tour. Kualitas keseluruhannya yang terpoles rapi, konten-kontennya yang menarik, serta keseruan mix-and-match antara berbagai karakter dan mobil yang ada berhasil memberikan sebuah hiburan yang terkadang bahkan lebih menarik dari seri utama Mario Kart. Ketersediaannya di smartphone sungguh menyenangkan, saya bisa memainkan Mario Kart di mana saja dan kapan saja, sambil menunggu pesanan di restoran, tiduran di kasur, atau di sela-sela suntuk kerja.

Tapi saya hanya bisa sebatas merasa “cukup suka”, tidak bisa melangkah lebih jauh ke “sangat suka” atau “cinta”, dan saya agak frustrasi karena penghalangnya justru adalah Nintendo sendiri. Batasan-batasan yang mereka terapkan dalam Mario Kart Tour seolah mengatakan, “Jangan terlalu dekat dengan saya,” padahal saya ingin lebih dekat lagi.

Mario Kart Tour - Screenshot 10

Saya ingin menikmati balapan 200 cc tanpa harus membeli Gold Pass. Saya ingin menjadi paid user dan membeli Ruby untuk gacha. Saya ingin bebas grinding mengumpulkan Coin setiap harinya. Saya ingin balapan berjalan lebih lama. Tapi Mario Kart Tour didesain untuk menjauhkan saya dari semua itu. Seperti naksir lalu ditarik-ulur, Mario Kart Tour berhasil memikat saya namun kemudian membuat saya malas untuk terus memainkannya.

Untuk sekarang saya masih menikmati game ini, dan masih berminat melihat akan ada konten baru seperti apa nantinya. Tapi berbeda dari beberapa game yang saya mainkan untuk waktu lama, Mario Kart Tour terasa seperti game yang bisa saya uninstall kapan saja tanpa merasa rugi. Ibarat hubungan tanpa komitmen, kita tak tahu kapan hubungan itu akan retak dan dua insan yang sempat dekat beralih jadi tak saling kenal lagi. Yah, selagi masih bisa, dinikmati saja.

Sparks:

  • Kualitas visual sangat ciamik, nyaris mendekati Mario Kart versi console
  • Banyak pilihan karakter, mobil, glider, dan sirkuit yang membangkitkan nostalgia
  • Kontrol yang mudah dan intuitif, dengan pilihan alternatif untuk kontrol versi expert
  • Mudah untuk mendapat item secara gratis lewat Coin
  • Mix-and-match karakter, mobil, dan glider menyenangkan untuk diulik
  • Performa teknis yang stabil membuat balapan jadi nyaman

Slacks:

  • Hanya bisa balapan sebanyak dua lap
  • Harga Ruby terlalu mahal
  • Balap 200 cc terkunci di balik Gold Pass
  • Jumlah Coin dan XP yang bisa didapat terbatas setiap harinya

Daftar Turnamen Esports Berhadiah Terbesar di Indonesia 2019

Menjadi atlet esports kini tak sekadar mimpi. Pemerintah Indonesia bahkan menyatakan rencananya untuk mengembangkan industri game dan esports untuk menyerap tenaga kerja. Turnamen esports kini bisa menarik perhatian hingga jutaan orang. Karena itu, jangan heran jika total hadiah yang ditawarkan bisa menyaingi kompetisi olahraga tradisional.

Di India, negara yang memiliki karakteristik serupa Indonesia, total hadiah turnamen esports pada tahun ini naik hingga 118 persen dari tahun lalu. Tahun ini, hype esports masih cukup tinggi, termasuk di Indonesia. Esports juga semakin diakui sebagai olahraga. Setelah menjadi pertandingan eksibisi pada Asian Games tahun lalu, esports kini menjadi cabang olahraga dengan medali pada SEA Games. Dengan hype yang masih tinggi, tentu saja jumlah turnamen esports di Indonesia masih cukup banyak. Walau masih sedikit kalah jika dibandingkan dengan tahun lalu, total hadiah yang ditawarkan pun masih cukup fantastis.

Inilah beberapa turnamen esports berhadiah terbesar pada tahun ini.

1. Mobile Legends Professional League (MPL) Season 4 – Rp4.250.000.000 (US$300.000)

Selain menjadi turnamen dengan hadiah terbesar tahun ini, Mobile Legends Professional League (MPL) Season 4 juga menjadi liga esports pertama di Indonesia yang menggunakan sistem franchise league. Itu artinya, setiap tim yang hendak bertanding harus ikut menyumbangkan dana investasi. Dalam kasus ini, delapan tim yang tertarik untuk bermain di MPL Season 4 harus membayarkan dana Rp15 miliar. Meskipun sempat menuai pro dan kontra, MPL Season 4 tetap berjalan. Delapan tim yang bertanding antara lain Alter Ego, Aura, Bigetron, EVOS Esports, Geek Fam ID, Genflix Aerowolf, ONIC Esports, dan RRQ.

Berbentuk liga, MPL Season 4 berlangsung selama delapan Minggu, mulai pada 23 Agustus sampai 13 Oktober 2019. Pertandingan musim reguler akan diadakan di XO Hall, Tanjung Duren sementara babak final akan diadakan pada 26-27 Oktober 2019 di Tennis Indoor Senayan.

Sumber: Situs MPL S4
Sumber: Situs MPL S4

2. SEACA 2019 – Rp2.400.000.000

SEACA pertama kali diadakan tahun lalu. Tahun ini, UniPin Esports kembali menggelar SEA Cyber Arena (SEACA) . Kompetisi tersebut diklaim sebagai kompetisi terbesar di Asia Tenggara. SEACA akan diadakan di Balai Kartini pada 8-10 November 2019. Ada empat game yang akan diadu, yaitu Dota 2, Free Fire, Player Unknown’s Battleground (PUBG) Mobile, dan Tekken. SEACA menawarkan total hadiah Rp2,4 miliar. Kompetisi ini menggunakan sistem terbuka, yang berarti semua tim dan pemain, tak peduli apakah mereka pemain profesional atau amatir, boleh ikut serta dan memiliki kesempatan untuk menang.

3. Mobile Legends Profesional League (MPL) Season 3 – Rp1.700.000.000 (US$120.000)

Mobile Legends Professional League Season 3 dimulai dengan tahap kualifikasi online yang diadakan pada 9-13 Januari 2019. Setelah itu, babak Final Qualifier diadakan pada 24-27 Januari 2019. Sama seperti musim sebelumnya, delapan tim terbaik dari Online Qualifier harus bertanding dengan dua tim yang duduk di peringkat tujuh dan delapan pada Season 2.

Musim Reguler dimulai setelah babak kualifikasi selesai. Musim Reguler diadakan pada 16 Februari sampai 31 Maret 2019. Satu hal yang membedakan Season 3 dengan dua musim sebelumnya adalah jumlah tim. Kali ini, ada 12 tim yang bertanding, bertambah dari 10 tim pada Season 2 dan Season 1. Sebanyak enam tim dapat langsung bertanding di Musim Reguler berkat Direct Invite sementara enam tim lainnya dipilih dari Final Qualifier. Total hadiah dalam MPL Season 3 mencapai US$120 ribu atau sekitar Rp1,7 miliar.

4. Piala Presiden – Rp1.500.000.000

Jika MPL Season 4 adalah liga pertama (dan saat ini, satu-satunya) yang menggunakan model franchise, Piala Presiden adalah turnamen pertama yang diadakan oleh Pemerintah Indonesia. Turnamen tersebut diselenggarakan dengan bantuan Indonesia Esports Premiere League (IESPL). Piala Presiden diadakan dengan tujuan untuk menjadi wadah bagi para gamers di Indonesia. Babak kualifikasi regional diadakan di delapan daerah, yaitu Palembang, Bali, Makassar, Surabaya, Manado, Bekasi, Pontianak, dan Yogyakarta.

Sumber: Piala Presiden Official Media
Tim Onic saat memenangkan Piala Presiden | Sumber: Piala Presiden Official Media

Piala Presiden dimulai pada 28 Januari 2019. Sementara babak final diadakan pada 30-31 Maret 2019 di Istora Senayan. Pada babak final, ada 16 tim yang bertanding. Selain mendapatkan uang, tiga tim terbaik di Piala Presiden juga berhak untuk ikut serta dalam Pelatnas sebagai persiapan untuk bertanding di SEA Games yang akan diadakan di Filipina.

5. ESL National Championship Season 1  – Rp1.400.000.000 (US$100.000)

ESL National Championship dimulai pada Januari dan berakhir pada Maret. Di sini, ada dua game yang diadu, yaitu Dota 2 dan Arena of Valor. Dalam group stage, delapan tim esports akan saling diadu dengan format single round-robin. Empat tim dengan poin terbanyak akan maju ke babak playoff. Baik pertandingan di grup stage atau semi-final menggunakan sistem Best of Three. Namun, pada babak final, sistem yang digunakan adalah Best of Five.

Dalam pertandingan Dota 2, BOOM.ID keluar sebagai juara, membuktikan bahwa mereka memang tim Dota 2 terbaik di Indonesia. Mereka berhasil keluar sebagai juara setelah memenangkan pertandingan dengan The Prime di semi-final dan mengalahkan Aura Esports pada babak final. Sementara di Arena of Valor, EVOS Esports berhasil menjadi juara setelah mengalahkan Saudara e-Sports di babak final.

6. JD.ID High School League 2019 – Rp1.200.000.000

Sesuai namanya, JD.ID High School League ditujukan untuk pemain SMA atau setingkat. Ada tiga cabang kompetisi, yaitu liga Dota 2, turnamen Dota 2, dan turnamen Mobile Legends. Tujuan dari HSL adalah untuk melatih karakter para gamer muda yang nantinya akan menjadi bagian dari industri esports. Selain itu, dari HSL, juga diharapkan akan ditemukan gamer yang tidak hanya memiliki potensi untuk menjadi pemain profesional, tapi juga memiliki disiplin dan sportivitas tinggi.

High School League 2018.

7. Arena of Valor Star League Musim 3 – Rp1.000.000.000

Dalam dua musim sebelumnya, AOV Star League diadakan oleh Garena. Namun, ESL menjadikan ASL Season 3 dari program National Championship mereka. Meskipun begitu, mereka masih bekerja sama dengan Garena Indonesia untuk mengadakan turnamen ini. Menggunakan format liga, ASL berlangsung selama tiga minggu. Di sini, tujuh tim AOV terbaik di Indonesia yang akan bertanding dengan format double round robin. Itu artinya, semua tim akan bertemu dengan satu sama lain sebanyak dua kali sepanjang liga. Pemenang ditentukan menggunakan sistem Best of Three.

Ekspektasi akan ASL cukup tinggi. Tidak aneh, mengingat ESL memang sudah dikenal sebagai penyelenggara turnamen besar di dunia. Dalam konferensi media, ESL memang menjanjikan akan memberikan yang terbaik, baik dari segi penyelenggaraan turnamen maupun sisi broadcast. ASL dimulai pada 17 Juli 2019, sementara babak final diadakan pada 14 September di Tennis Indoor Senayan. Pada babak final, EVOS Esports bertemu dengan Saudara eSports, sebelum tim dengan loga macan itu keluar sebagai juara.

7. PUBG Mobile Indonesia National Championship (PINC) 2019 – Rp1.000.000.000

PINC pertama kali diadakan pada 2018. Sama seperti ASL, babak final PINC 2019 juga diadakan di Tennis Indoor Senayan. Mengingat stadion khusus esports di Indonesia memang tidak banyak, bukan hal yang aneh jika akhirnya, exhibition hall atau mall juga digunakan sebagai tempat. Babak kualifikasi PINC diadakan di 48 kota, tapi hanya 16 tim terbaik yang bisa bertanding di PINC.

Pihak PUBG Mobile mengatakan, tujuan mereka mengadakan turnamen ini adalah untuk mengembangkan scene esports di Indonesia. Selain turnamen PUBG Mobile, PINC juga menawarkan hiburan lain, seperti Ladies Tournament, yang dimenangkan oleh Belletron eSports. Sementara tim yang berhasil menjadi juara dan membawa pulang Rp400 juta adalah EVOS Esports.

7. Indonesia Esports League (IEL) – Rp1.000.000.000

IEL Universities Series diadakan oleh Indonesia Esports Association (IESPA) dengan kerja sama dari MIX 360. Seperti namanya, IEL hanya akan mengadu para mahasiswa. IEL diikuti oleh 12 kampus. Menariknya, sama seperti Piala Presiden, IEL juga juga didukung oleh berbagai elemen pemerintahan, seperti Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora), Komite Olimpiade Indonesia (KOI), dan Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI). Tujuan dari IEL adalah untuk mencari talenta esports di kalangan mahasiswa.

Para peserta IEL masuk dalam kategori pemain semi-pro. Pihak MIX 360 mengatakan, untuk membantu para pemain semi-pro ini agar bisa maju ke tingkat profesional, mereka bekerja sama dengan meta.us dan Razer. Dengan diadakan IEL, diharapkan para pemain yang berbakat dapat memamerkan kemampuan mereka dan dilirik oleh tim profesional.

IEL University Series 2019 - UMN Dota 2
Tim Dota 2 Universitas Multimedia Nusantara

8. Bubu Esports Tournament (BEST) in IDBYTE – Rp750.000.000

Esports tengah booming. Bubu.com mengambil kesempatan ini untuk menjadikan esports sebagai tema dalam IDBYTE. Di sini, mereka tidak hanya mengadakan konferensi esports dengan mengundang pembicara ternama seperti COO Twitch, Kevin Lin tapi juga menggelar turnamen esports. Game yang diadu adalah PUBG Mobile. Total hadiah yang diberikan adalah Rp750 juta. Masing-masing turnamen pria dan perempuan memiliki total hadiah Rp290 juta, sementara Rp54 juta adalah hadiah talent hunt.

Shinta Dhanuwardoyo, CEO dan Pendiri Bubu.com serta Chairwoman IDBYTE Esports 2019 mengklaim bahwa BEST menawarkan prize pool terbesar untuk kompetisi esports perempuan di Asia Tenggara. Shinta ingin menjadikan turnamen esports untuk perempuan ini sebagai wadah bagi gamer perempuan untuk unjuk gigi. Harapannya, di masa depan, pemain perempuan dan laki-laki bisa bermain bersama tanpa harus memandang gender.

9. Free Fire Asia Invitational (FFAI) 2019 – Rp713.000.000 (US$50.000)

Indonesia terpilih untuk menjadi tuan rumah dari Free Fire Asia Invitational. Turnamen ini diadakan di ICE BSD pada September lalu. Dalam turnamen ini, ada 13 tim yang bertanding dari berbagai negara di Asia. Selain Indonesia, negara-negara yang mengirimkan tim di sini adalah Thailand, Taiwan, Vietnam, India, Singapura/Malaysia, Timur Tengah, dan Amerika Utara. Ada tiga tim yang mewakili Indonesia di sini, yaitu RRQ Poseidon, EVOS Roar, dan Island of Gods. Tiga tim itu terpilih setelah masuk dalam tiga besar di Free Fire Summer League 2019. Island of Gods keluar sebagai juara dan membawa hadiah sebesar US1.000 atau sekitar Rp14,2 juta.

9. ESL Clash of Nations (SEA) Arena of Valor – Rp713.000.000 (US$50.000)

Dalam Clash of Nations, enam tim Arena of Valor dari Indonesia dan Asia Tenggara akan bertanding untuk memperebutkan gelar juara. Kompetisi tersebut diadakan di Jakarta International Expo (JIE) selama tiga hari, yaitu pada 29-31 Maret 2019. Dari enam tim yang bertanding, dua tim merupakan tim yang lolos babak kualifikasi ESL Indonesia Championship. Sementara empat sisanya merupakan perwakilan dari Filipina, Thailand, Vietnam, dan Malaysia/Singapura.

Babak playoff memiliki sistem double-elimination. Pemenang ditentukan menggunakan metode Best of Three, kecuali pada babak final, yang menggunakan sistem Best of Five. EVOS Esports berhasil menjadi juara satu setelah mengalahkan Devita dari Thailand.

Jika Anda membandingkan daftar turnamen dengan hadiah terbesar pada 2018 dengan 2019, Anda akan menemukan dua fakta menarik. Pertama, ada lebih banyak turnamen dengan hadiah sama atau lebih besar dari Rp1 miliar pada tahun lalu. Tahun ini, hanya ada 9 turnamen esports dengan hadiah setara Rp1 miliar atau lebih besar, sementara tahun lalu, ada 12 turnamen yang menawarkan hadiah setara atau lebih besar dari Rp1 miliar.

MPL Season 4 menjadi turnamen dengan hadiah terbesar pada tahun ini. Sementara tahun lalu, gelar itu dipegang oleh GESC: Indonesia Dota 2 Minor, walau keduanya menawarkan total hadiah yang sama, yaitu US$300 ribu. Hal ini sebenarnya memang tidak aneh, mengingat dua game esports paling populer di Indonesia memang game mobile.

Tahun 2019 memang belum berakhir. Namun apakah ada lagi turnamen lain yang bisa menawarkan total hadiah yang lebih besar dari US$300 ribu? Bagaimana dengan tahun depan? Apakah trennya akan menurun lagi rata-ratanya seperti dari 2018 ke 2019, meski nominal tertingginya masih di angka yang sama?

Emmanuel “QuanTel” Enrique Bicara Soal Komunitas StarCraft II dan SEA Games 2019

Kancah kompetitif StarCraft II, meski secara lokal jarang terdengar, namun game besutan Blizzard yang satu ini kerap dipertandingkan dalam kompetisi olahraga multi-cabang. Terakhir kali ada ASIAN Games 2018 yang menjadikan esports sebagai salah satu cabang eksibisi dan turut mempertandingkan StarCraft II. Hal ini, menurut saya, membuat StarCraft II jadi penting bagi Indonesia. Apalagi setelah kini SEA Games cabang esports juga turut mempertandingkan StarCraft II.

Membahas lebih lanjut soal ini, saya lalu mencoba berbincang dengan Emmanuel “QuanTel” Enrique, salah satu kontingen Indonesia untuk cabang esports StarCraft. Kami berbincang seputar komunitas StarCraft luar dan dalam negeri, serta seputar persiapan jelang SEA Games 2019 ataupun WESG SEA mendatang.

Akbar Priono (AP): Halo salam kenal QuanTel, pertama-tama selamat atas kemenangannya di WESG Indonesia Finals ya. Boleh perkenalan dulu mungkin bro QuanTel.

Emmanuel QuanTel (EQ): Ya terima kasih. Nama saya Emmanuel Enrique, usia 19 tahun, saya bermain race Protoss di StarCraft II, rank saya GrandMaster untuk saat ini.

AP: Quantel bermain StarCraft II sedari kapan? Lalu terjun ke ranah kompetitif sejak kapan?

EQ: Kalau StarCraft II sebetulnya baru main dari Januari kemarin, tapi sebelumnya saya sudah bermain StarCraft I (Brood War) dari tahun 2009. Saya terjun kompetitif sejak dari tahun 2017 kemarin, sejak StarCraft: Remastered dirilis.

AP: Apa yang membuat QuanTel memilih untuk kompetitif pada game StarCraft dan bertahan sampai sekarang?

EQ: Saya suka konsep Real-Time Strategy (RTS) yang disajikan dalam StarCraft, yang ada unsur mengatur ekonomi dan mengatur pasukan secara mikro. Saya juga banyak terinspirasi pemain pro StarCraft, yang membuat saya jadi ingin bermain seperti mereka.

Bisu, salah satu pemain StarCraft ternama di dunia Internasional. Sumber: Liquidpedia
Bisu, salah satu pemain StarCraft ternama di dunia Internasional. Sumber: Liquidpedia

Salah satu yang juga jadi inspirasi saya adalah Bisu, pemain asal Korea Selatan, yang juga bisa dibilang sebagai salah satu pemain legend di StarCraft. Secara permainan, dia itu punya kemampuan multitasking yang sangat baik di dalam game. Jadi dalam sekian detik dia bisa melakukan banyak gerakan. Kemampuan dia dalam mengendalikan unit secara satu persatu atau istilahnya micro-management dia juga sangat bagus.

Kalau alasan bertahan, menurut saya para penggemar RTS cenderung loyal sama game mereka. Kalau alasan saya sendiri adalah karena konsep permainan ini nggak bikin bosan ketika dimainkan. Setiap permainan selalu beda dan selalu ada hal yang bisa diperbaiki lagi di setiap permainan.

Selain itu, keikutsertaan StarCraft dalam event olahraga multi-cabang seperti ASIAN Games dan SEA Games juga jadi alasan lain saya bertahan di scene kompetisi ini. Jadi sebetulnya nggak terlalu masalah walaupun di tingkat lokal jarang ada kompetisi.

AP: Berhubung saya cukup awam dengan scene StarCraft, jadi sebetulnya bagaimana keadaan scene StarCraft secara internasional?

EQ: Scene StarCraft secara internasional menurut saya terus berkembang dari tahun ke tahun, apalagi setelah tahun 2017 StarCraft: Remastered rilis dan StarCraft II menjadi free-to-play. Dari segi kompetisi, secara jumlah event dan prizepool juga terus bertambah menurut saya.

AP: Lalu bagaimana dengan di Indonesia? Bagaimana komunitasnya?

EQ: Di Indonesia juga terus berkembang. Tahun ini banyak pemain baru yang mulai ikut main. Bahkan, banyak juga pemain lama yang terjun lagi untuk ikut meramaikan komunitas StarCraft di Indonesia. Tanggal 5 Oktober 2019 kemarin juga ada kompetisi untuk pemain baru dengan hadiah Rp2 juta.

Komunitas StarCraft Indonesia saat menghadiri WESG Indonesia Finals kemarin. Sumber: Facebook Eliandy
Komunitas StarCraft Indonesia saat menghadiri WESG Indonesia Finals kemarin. Sumber: Facebook Eliandy

Lalu komunitas di Indonesia, saat ini kurang lebih yang aktif ada sekitar 70 member. Kalau kegiatan komunitas, selain event besar tahunan seperti SEA Games kita juga ada turnamen komunitas yang diadakan 3 bulan sekali. Antusiasme komunitas juga terbilang stabil bahkan terlihat ada peningkatan yang signifikan.

AP: Kalau menurut pengamatan saya, scene esports StarCraft terbilang stagnan atau mungkin menurun, gimana pendapat Quantel?

EQ: Sebetulnya nggak bisa dibilang menurun juga, dari tahun ke tahun grafik jumlah pemainnya juga terus meningkat. Apalagi StarCraft sendiri juga sudah mulai masuk event olahraga multi-cabang seperti ASIAN Games 2018 kemarin dan juga SEA Games 2019 yang mendatang.

AP: Pernah kepikiran untuk terjun ke scene esports lain? Mengingat RTS bisa dibilang nenek moyang MOBA, mungkin mencoba peruntungan di Dota 2 atau terjun ke scene esports mobile?

EQ: Mungkin untuk saat ini untuk kompetitif hanya StarCraft saja, kalau game lain sih hanya untuk iseng-iseng saja…..hehe.

AP: Oke lanjut membahas soal WESG dan SEA Games nih. Sejauh ini persiapannya sudah sampai mana dan gimana sih Bro QuanTel?

EQ: Kalau untuk WESG SEA Final, persiapan saya terbilang sudah cukup matang, karena bulan lalu sudah sempat melakukan training camp. Kalau untuk SEA Games, sepertinya masih perlu penyesuaian lagi, karena nanti setelah BlizzCon di bulan November akan ada balancing patch. Jadi tentunya gue harus sedikit menyesuaikan dengan perubahan yang terjadi.

AP: Lalu kalau bicara soal SEA GAmes, menurut QuanTel gimana potensi Indonesia di pertandingan tersebut? Siapa yang akan menjadi lawan terberat nantinya?

EQ: Menurut saya potensi Indonesia di SEA Games sih sangat besar, karena kita sudah mempersiapkan strategi yang jitu untuk dipakai saat berlaga nanti. Cuma, memang masih butuh latihan sedikit lagi untuk mematangkannya.

Lawan terberat, Filipina. Alasannya karena mereka kuat dari segi build order. Maksud build order sendiri adalah urutan membuat bangunan atau unit. Jadi maksudnya unggul dari segi build order artinya mereka sudah menemukan urutan membuat bangunan dan unit yang efektif.

StarCraft II, game yang tidak hanya mengandalkan strategi pertarungan, tapi juga rencana dalam membangun markas. Sumber: Polygon
StarCraft II, game yang tidak hanya mengandalkan strategi pertarungan, tapi juga rencana dalam membangun markas. Sumber: Polygon

Selain itu mereka juga kuat dari segi macro-management. Maksud macro-management sendiri salah satunya termasuk dari sisi resource management. Jadi mereka bisa mengumpulkan resource yang banyak dengan yang cepat, dan paham cara spending yang efektif.

Kalau dari kami kontingen StarCraft untuk SEA Games, memang juga harus lebih mematangkan soal build order ini supaya tidak ketinggalan dari Filipina.

AP: Lanjut soal WESG, kalau lolos dari SEA kemungkinan kan akan bertemu sama Korea Selatan? Menurut QuanTel sendiri, sebetulnya apa sih yang membuat Korea Selatan itu jadi sangat hebat di StarCraft? Lalu, apa yang membuat Indonesia ketinggalan dengan hal tersebut?

EQ: Kalau di Korea Selatan, regenerasi pemain baru mereka bisa dibilang sangat cepat. Di sana mereka sudah bermain StarCraft sejak usianya di bawah umur 10 tahun, lalu umur belasan mereka sudah terjun ke kancah kompetitif. Jadi, menurut saya, jika game ini dikenalkan sedari dini; Indonesia juga bisa saja punya banyak pemain jago seperti di Korea Selatan sana. Tapi memang cukup sulit, karena StarCraft tidak begitu populer di Indonesia.

AP: Lalu bagaimana pendapat QuanTel terhadap keikutsertaan StarCraft II di berbagai kompetisi olahraga multi-cabang?

EQ: Menurut saya ini sangat positif bagi komunitas. Saya yakin akan banyak pemain baru yang jadi berminat untuk turut memainkan game ini setelah keikutsertaannya dalam ASIAN Games 2018 kemarin, dan juga tentunya SEA Games 2019 nanti.

AP: Oke, terakhir. Apa yang ingin QuanTel capai sebagai seorang pemain StarCraft? Juga, Apa harapan QuanTel terhadap esports StarCraft?

EQ: Kalau hal yang ingin dicapai, pastinya ingin dapat berkompetisi di tingkat paling tinggi. Bermain dengan pemain terbaik di dunia, harapan tertingginya mungkin bisa bermain di BlizzCon haha…semoga saja bisa kesampaian.

Kalau harapan untuk esports StarCraft, pastinya ingin StarCraft terus berkembang di Indonesia seperti negara-negara tetangga. Lagi-lagi berkaca ke Korea Selatan, di sana bahkan game ini sudah seperti menjadi budaya. Maka dari itu mengingat StarCraft sudah dipertandingkan di kompetisi olahraga multi-cabang, harapannya ini juga akan membantu mengembangkan komunitas StarCraft di Indonesia.

AP: Oke QuanTel, terima kasih atas waktunya, good luck untuk perjuangannya di WESG dan juga SEA Games 2019 nanti!

EQ: Sama-sama, terima kasih juga atas dukungannya.

QuanTel akan bertanding di WESG SEA dan juga cabang esports SEA Games 2019 pada sekitar bulan Desember 2019 mendatang. Semoga QuanTel bisa mendapatkan hasil yang terbaik dan membanggakan nama Indonesia di tingkat Asia Tenggara!

[Featured] Mengulik Tantangan Stadion dan Venue Esports di Indonesia

Tahun ini, esports menjadi bahan pembicaraan hangat. Tidak heran, dengan jumlah penonton hampir mencapai satu miliar orang, esports kini menjadi industri bernilai US$1,1 miliar pada tahun ini. Namun, sebenarnya, turnamen esports besar sudah diadakan sejak beberapa tahun lalu, seperti Intel Extreme Extreme Masters yang telah diadakan sejak 2014 atau League of Legends Championship untuk Amerika Utara yang dimulai sejak 2015. Turnamen besar ini biasanya mendundang penonton yang tidak sedikit. Para penyelenggara turnamen seperti ESL biasanya menggunakan stadion untuk menyelenggarakan turnamen tersebut. Misalnya, babak akhir IEM biasanya diadakan di Spodek, Katowice, Polandia. Spodek adalah komplek multifungsi dengan kapasitas penonton mencapai 11.500 orang. ESL harus menggunakan komplek multifungsi karena memang saat ini, belum banyak stadion khusus esports dengan kapasitas besar.

Menurut data dari The Esports Observer, stadion khusus untuk esports dengan kapasitas lebih dari 400 tempat duduk sebenarnya telah ada sejak 2013. Ialah Nexon E-sports Stadium dengan kapasitas 436 orang yang terletak di Seoul, Korea Selatan. Stadion khusus esports dengan kapasitas terbesar berada di Tiongkok, yaitu Zhongxian E-sports Stadium, yang dibuka pada 2018. Stadion yang terletak di di Chongqing itu memiliki luas 5.574 meter persegi dan kapasitas 7.000 orang. Pada tahun yang sama, Texas juga membuka stadion khusus esports dengan luas lebih dari 9.200 meter persegi dan kapasitas 1.000 orang. Anda bisa melihat daftar stadion esports dengan kapasitas di atas 400 orang pada tabel di bawah.

Sumber: The Esports Observer
Sumber: The Esports Observer

Allied Esports Entertainment dan Bisnis Stadion Esports

Di Amerika Serikat, satu nama yang dikenal ketika membahas soal bisnis stadion esports adalah Allied Esports Entertainment. Perusahaan itu berdiri ketika Black Ridge Acquisition Corp (BRAC) mengakuisisi Allied Esports dan WPT Enterprises. Pada awalnya, BRAC adalah perusahaan tempurung dari perusahaan minyak dan gas yang dibuat hanya untuk mengakuisisi perusahaan lain. Setelah mengakuisisi Allied Esports dan WPT Enterprises pada Agustus lalu, BRAC banting setir dari sektor energi ke esports.

Di situs resminya, Allied Esports Entertainment mengklaim dirinya sebagai perusahaan yang menaungi beberapa stadion dan fasilitas produksi konten. Memang, dari 12 stadion esports dengan kapasitas lebih dari 400 orang, 4 di antaranya ada di bawah manajemen Allied Esports Entertainment. Namun, bukan berarti perusahaan itu mendapatkan untung besar. Allied Esports Entertainment mengatakan, sebelum akuisisi, Allied Esports dan WPT Enterprises mengalami kerugian sebesar US$3,9 juta pada semester pertama 2019. Sementara selama 2018, keduanya mengalami kerugian sebesar US$31 juta. Meskipun begitu, kepada The Esports Observer, juru bicara Allied Esports Entertainment mengaku optimistis. Dia berkata, “Ke depan, kami percaya diri dengan strategi kami dan kami akan memanfaatkan momentum pada semester pertama 2019, ketika pendapatan kami naik 40 persen.”

HyperX Esports Arena, salah satu arena di bawah Allied Esports Entertainment | Sumber: Hyperxgaming
HyperX Esports Arena, salah satu arena di bawah Allied Esports Entertainment | Sumber: hyperxgaming

Menariknya, kerugian yang dialami Allied Esports dan WPT Enterprises tidak menghentikan TV Azteca dan Simon Property Group untuk mengucurkan dana investasi pada Allied Esports Entertainment. TV Azteca dan Simon Property Group masing-masing menanamkan US$5 juta pada Allied Esports Entertainment. Sebagai perusahaan properti, Simon Property mendapatkan US$5,66 miliar pada 2018. Investasi mereka pada Allied Esports Entertainment terbilang kecil. Pihak Simon menjelaskan, mereka tertarik untuk melakukan investasi di ranah esports karena mereka ingin melihat dampak adanya tempat khusus esports pada jumlah pengunjung dan kebiasaan belanja konsumen di pusat perbelanjaan mereka. Bersama Allied Esports Entertainment, Simon membuat longue Allied Esports di berbagai tempat di Amerika Serikat.

“Fokus kami adalah menyediakan tempat bagi komunitas untuk berkumpul, memungkinkan orang-orang dari berbagai latar belakang untuk berbelanja, makan, dan menikmati hiburan,” kata Executive Vice President dan COO of Development, Simon, Mark Silvestri, seperti dikutip dari The Esports Observer. “Esports adalah cara inovatif bagi kami untuk memperkuat aspek komunal dengan format baru yang unik agar dapat menarik perhatian banyak orang.” Menurut Simon, sukses atau tidaknya pengintegrasian longue esports ke mall mereka akan didasarkan penerimaan pengunjung mall akan keberadaan tempat khusus esports ini.

Bagaimana dengan Indonesia?

Di Indonesia, arena khusus esports masih belum banyak. Salah satu perusahaan yang memiliki stadion khusus esports adalah Dunia Games, anak perusahaan Telkomsel. Namun, tidak sedikit turnamen yang diadakan di pusat perbelanjaan seperti Mall Taman Anggrek atau exhibition hall seperti Jakarta International Expo. Pihak penyelenggara memiliki beberapa pertimbangan sebelum memutuskan tempat untuk turnamen esports. Menurut Rezaly Surya Afhany, Manager Esports di Telkomsel dan Head of Digital Games Product Management, salah satu hal yang harus dipertimbangkan ketika hendak memilih tempat turnamen esports adalah besarnya turnamen tersebut.

“Kalau level nasional, offline to online, dengan kapasitas dua sampai tiga ribu penonton dan tribune seat, mungkin Tennis Indoor Senayan atau Britama Kelapa Gading sangat oke supaya bisa dapat dokumentasi yang legendary,” kata Rezaly ketika dihubungi oleh Hybrid.co.id via pesan singkat. “Itu hanya untuk turnamen satu game. Tapi, kalau turnamen multigame, bisa gunakan exhibition hall seperti Kartika Expo, JIE Expo, atau Mall Taman Anggrek.”

Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Penonton ESL Indonesia Championship Season 2 di Tennis Indoor Senayan. | Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Faktor lain yang harus dipertimbangkan adalah tempat lokasi. “Kayak ICE BSD, jauh sih, tapi itu affordable, luas, dan peralatan bisa digantung sehingga produksinya bisa maksimal, seperti PMCO (PUBG Mobile Club Open). Kalau acara dari publisher sendiri, penonton sudah pasti banyak, beranilah kalau buat di ICE. Tapi, kalau untuk eksibitor pihak ketiga sepreti Dunia Games, harus dihitung benar-benar persiapannya jika mau buat di ICE. Jika kurang maksimal, bisa rugi.” Senada dengan Rezaly, Reza Afrian Ramadhan, Head of Marketing and Creative MET Indonesia juga mengatakan bahwa kapasitas tempat dan kemudahan akses memang faktor yang harus dipertimbangkan. Selain itu, spesifikasi tempat, seperti luas area, kemungkinan untuk dekorasi tempat, adalah hal lain yang menjadi pertimbangan pihak penyelenggara.

Dunia Games adalah salah satu dari sedikit eksibitor yang memiliki arena khusus esports. Meski enggan untuk menyebutkan jumlah investasi untuk membangun DG Esports Stadium yang terletak di Pluit Selatan, Rezaly mengungkap bahwa proses touchup stadion itu memerlukan waktu sekitar enam bulan. Stadion tersebut biasanya digunakan untuk acara kelas menengah, dengan jumlah penonton sekitar 300-400 orang. “Di kantor juga ada ruangan di vertical garden atau diorama lantai 10. Ada LED khusus di sana, tinggal dipakai. Kalau untuk grassroot level, selain cafe, kita juga memaksimalkan penggunaan kantor GraPari di 141 titik di Indonesia.”

Rezaly mengaku, saat ini, mencari klien yang mau mengadakan turnamen di DG Esports Stadium adalah hal yang menantang. Memang, dia menjelaskan, ada banyak turnamen online yang diadakan. “Tapi, kalau offline, selain publisher atau BEKRAF, tahun ini tidak banyak yang mau investasi besar-besaran. Karena klien lebih memilih untuk menggunakan mall untuk acara kelas menengah karena jumlah penonton yang cenderung aman,” katanya. “Tapi, untuk High Grounds, Dunia Games atau Liga Games, yang punya stadion untuk in-house production, itu masih oke. Toh ada bisnis utama yang menghitung fasilitas sebagai aset.” Padahal, dia memperkirakan, jika penyelenggara menggunakan stadion khusus esports, mereka bisa menghemat biaya hingga 40-60 persen. Tidak hanya itu, pihak penyelenggara juga tak lagi direpotkan dengan mobilisasi peralatan atau internet. Karena, biasanya tempat khusus untuk esports sudah dilengkapi dengan semua itu.

AOV Star League Season 1 diadakan di Mall Taman Anggrek | Sumber: Kincir.com
AOV Star League Season 1 diadakan di Mall Taman Anggrek | Sumber: Kincir.com

Reza dari MET Indonesia, setuju dengan pendapat Rezaly. “Dari sudut pandang penyelenggara, pastinya akan lebih mudah. Kalau tempatnya sudah khusus untuk esports, berarti spesifikasi dan layout-nya sudah dibuat sesuai dengan standar kebutuhan turnamen esports, maka penyelenggara dapat mengurangi biaya produksi. Selain itu, pemain dan audiens yang hadir juga bisa lebih nyaman dan tertata sehingga bisa lebih fokus dan menikmati acara,” ujarnya, melalui pesan singkat.

“Kalau diselenggarakan di mall, ada opportunity penonton yang datang lebih banyak, tergantung dari trafik mall-nya sendiri,” kata Reza. “Tapi, setiap mall juga pasti memiliki aturan-aturan yang membatasi keleluasaan penyelenggara event, misalnya seperti ukuran panggung yang terbatas, pencahayaan yang tidak boleh terlalu gelap, dan lain-lain. Sedangkan kalau di venue khusus esports, hal-hal seperti itu bisa lebih dikustomisasi sehingga penyelenggara bisa lebih mengeskplorasi ide-ide untuk membuat event yang lebih out of the box.” Dia memberikan Regular Season MPL ID S4 sebagai contoh. Dia bercerita, MET Indonesia menyelenggarakan kompetisi itu di tempat khusus berupa hall kosong. Dengan begitu, mereka bisa menghias ruangan sesuai kebutuhan agar penonton dan pemain bisa merasa lebih nyaman. “Sejauh ini, review-nya positif. Semua senang dan penonton yang hadir setiap harinya bisa mencapai 400 orang dan bahkan mencapai 1000 orang kalau big match.”

Menurut Reza, salah satu masalah yang ditemui oleh penyelenggara ketika tidak ada tempat khusus untuk acara esports adalah terkait jadwal. “Padatnya jadwal penggunaan tempat sehingga penyelenggara harus berebut dengan acara konvensional lain dan spesifikasi tempat yang belum sesuai dengan kebutuhan turnamen,” katanya. “Namun tantangan ini dapat ditanggulangi selama penyelenggara sanggup untuk memproduksi kebutuhan dekorasi panggung dan interior lainnya yang diperlukan untuk menyelenggarakan acara tersebut.”

Potensi Bisnis Stadion Esports di Indonesia

Ketika ditanya tentang potensi bisnis pembangunan stadion khusus esports, Rezaly mengatakan investasi besar yang digelontorkan untuk membangun stadion tersebut tidak dapat kembali dalam waktu singkat. “Kalau untuk komersil jangka pendek, jujur, saran saya, lebih baik dikalkulasi ulang. Karena investasi dan biaya operasinya berat,” ungkap Rezaly. Meskipun begitu, dia merasa bahwa Telkomsel tidak menyesal untuk membuat DG Esports Stadium. “Ya worth it, jika dihitung nilai PR-nya. Tapi kalau dari segi komersil, masih challenging,” akunya. Masalah utama yang mereka hadapi saat ini adalah mencari klien.

DG Esports Stadium | Sumber: Kincir.com
DG Esports Stadium | Sumber: Kincir.com

Menariknya, meskipun Rezaly mengatakan mencari klien untuk DG Esports Stadium tidak mudah, dia mengatakan tidak tertutup kemungkinan Telkomsel akan membuat arena khusus esports lain. “Terutama untuk luar Jawa alias Indonesia Timur dan Sumatera,” ujarnya. “Kita ada beberapa titik Loop Station yang didesain agar bisa menjadi gamers hub juga.” Informasi tambahan, Loop Station adalah kantor layanan Telkomsel yang menargetkan anak muda, yang merupakan pelanggan Loop. Berbeda dengan GraPARI yang merupakan kantor layanan Telkomsel biasanya, Loop Station dilengkapi dengan berbagai peralatan sehingga ia cocok untuk digunakan sebagai tempat hangout. “Karena ada LED besar dan koneksi internet di Loop Station, tinggal manage komunitas lokal untuk isi acaranya.” Dia menceritakan, bagi Telkomsel, membuat acara pada level grassroot lebih menarik. “Karena kami juga harus memberikan pelayanan ke pelanggan kami di rural area. Di sana, tidak ada hiburan. Games itu bisa mempersatukan merek non-endemik seperti kami ke generasi milenial.”

“Di luar Jawa, masih ada potensial untuk menggarap berbagai kegiatan sebagai jalur agar gamers di kawasan tersebut memiliki kesempatan untuk menjadi champion di wilayahnya dan berlanjut ke nasional. Karena di kota-kota besar dan Jakarta, kan sudah banyak tim pro. Mereka pasti sudah minder duluan,” ungkap Rezaly. Dia mengatakan, Telkomsel rutin mengadakan turnamen setiap minggu pada level yang berbeda-beda. “Baik kelas warung, ruko, cafe, sampai dengan mall. Yang online juga, kita maintain sendiri para pemainnya di platform turnamen Dunia Games dengan WhatsApp atau Discord.” Salah satu alasan Dunia Games lebih tertarik untuk mengembangkan komunitas di luar Jawa adalah potensi pendapatan yang lebih besar. “Secara revenue untuk top up voucher, pertumbuhannya lebih tinggi dari Pulau Jawa, walau jumlah pengguna data dan smartphone tetap lebih banyak di Jawa. Namun, keinginan untuk membeli, lebih merata di luar Jawa, khususnya Kalimantan dan Sumatera.”

Industri esports melibatnyak banyak pelaku, mulai dari developer dan publisher game, tim dan atlet profesional, sampai penyelenggara turnamen. Lalu, siapa yang memiliki tanggung jawab untuk membuat stadion esports? Soal ini, Reza menjawab, “Pada dasarnya semua pihak yang ingin mendorong perkembangan ekosistem esports bisa saja turun tangan untuk penggarapan venue khusus esports, karena semua yang bersinggungan dengan esports bisa memanfaatkan adanya venue tersebut.” Dia mengaku, sebagai penyelenggara, MET juga memiliki rencana untuk membuat tempat khusus esports. Sayangnya, dia enggan untuk membagikan informasi lebih lanjut.

NXL Angels. Dokumentasi: Hybrid
NXL Angels. Dokumentasi: Hybrid

Selain DG Esports Stadium, Anda juga bisa menemukan NXL Esports Center di The Breeze, BSD City. Satu hal yang menarik dari NXL Esports Center adalah karena ia merupakan gaming house yang bisa diakses oleh masyarakat umum. Tidak hanya itu, Anda bahkan bisa mengasah kemampuan Anda bermain game di sini. “Tempat kita itu utamanya untuk tempat latihan, tempat tanding, pengajaran, shooting, stream, mini museum, dan toko offline,” kata Richard Permana, CEO dari TEAMnxl> saat dihubungi melalui pesan singkat. “Para atlet kami datang setiap hari untuk latihan sekaligus bertanding. Untuk sesi pengajaran, biasanya di akhir minggu kami undang pengajar yang paling kompeten di game tersebut. Ke depan, event pengajaran mau kami level up lagi. Jadi, orang sekali bayar, ikut kelasnya misalnya lima kali dalam satu bulan.”

Serunya Aktivitas Liga Pokémon GO Silph Arena Season 1 di Indonesia

Bila kita berbicara tentang perkembangan esports, Pokémon GO adalah salah satu cabang dengan perkembangan yang unik. Secara resmi, baik Niantic maupun The Pokémon Company sebetulnya tidak memfasilitasi sirkuit esports untuk game ini. Akan tetapi sejak Niantic meluncurkan fitur PvP (player versus player) di akhir 2018 lalu, ekosistem kompetitif Pokémon GO telah tumbuh dengan kuat di akar rumput. Mirip seperti perkembangan fighting game kompetitif ketika esports belum mainstream seperti sekarang.

Uniknya lagi, Pokémon GO ini memiliki sebuah format kompetisi nonresmi yang bersifat global dan diikuti oleh komunitas-komunitas di seluruh dunia. Kompetisi itu bernama Silph League Arena, didirikan oleh The Silph Road yang merupakan jaringan penggemar dan penyalur informasi seputar Pokémon GO. Silph League Arena Season 1 diluncurkan pada bulan Januari 2019 kemarin, dan sudah berjalan aktif termasuk di Indonesia.

Apa sih Silph League Arena itu? Bagaimana sistem kompetisinya? Dan seperti apa perkembangan serta potensinya di negara kita? Hybrid berbincang salah satu anggota komunitas Pokémon GO Indonesia, Wahyu Widyantoro, untuk mengupas dunia esports akar rumput ini lebih dalam. Simak di bawah.

Format Kompetisi Silph League Arena

Secara simpel, Silph League Arena adalah sebuah liga yang didirikan dengan aturan menyerupai liga resmi, tapi sebenarnya tidak resmi. Bayangkan ada sebuah sistem kompetisi global yang terkoordinasi, seperti Dota Pro Circuit atau Capcom Pro Tour, tapi penyelenggaranya bukan penerbit resmi seperti Valve dan Capcom. Penyelenggaranya adalah The Silph Road, yang sebenarnya merupakan sebuah komunitas juga. Jadi bisa dibilang Silph League Arena adalah kompetisi “dari komunitas untuk komunitas” tapi dengan skala global.

Pokemon GO Indonesia - Cosplay
Sumber: Dokumentasi Pokémon GO Indonesia

Musim pertama liga ini diluncurkan dengan judul Silph League Arena Season 1: Seeking the Very Best. Secara garis besar, satu musim Silph League Arena terbagi ke dalam tiga jenis turnamen atau event, yaitu:

  • Monthly Cup
  • Regional by Invitation
  • Arena World Championship

Monthly Cup, seperti namanya, adalah turnamen bulanan yang bisa diadakan oleh komunitas-komunitas Pokémon GO di mana pun mereka berada. Setiap bulannya, The Silph Road akan memberikan suatu tema turnamen dengan aturan tersendiri. Contohnya, tema bulan April 2019 adalah “Kingdom Cup”. Aturannya adalah setiap pemain hanya boleh membawa Pokémon yang memiliki tipe Fire, Ice, Dragon, atau Steel.

Berikut ini adalah tema Monthly Cup dalam Silph League Arena Season 1:

Setiap komunitas boleh menyelenggarakan Monthly Cup pada periode yang ditentukan, asalkan memenuhi syarat. Komunitas tersebut harus terdaftar di Silph League, juga harus bersedia memenuhi aturan dalam Silph League Code of Conduct. Saat artikel ini ditulis, Silph League telah memiliki 21.196 komunitas terdaftar dari berbagai belahan dunia.

Pokemon GO Indonesia - Rainbow Cup
Sumber: Dokumentasi Pokémon GO Indonesia

Komunitas yang menyelenggarakan kompetisi Silph League Arena akan didokumentasikan dalam sebuah peta yang disebut League Map. Ini merupakan salah satu fitur yang sangat keren (dan sangat niat) dari The Silph Road. Coba saja Anda kunjungi League Map lewat tautan berikut, niscaya Anda bisa melihat bahwa Indonesia memiliki kantong-kantong basis massa Pokémon GO yang tersebar di berbagai kota, termasuk Medan, Palembang, Jakarta, Blitar, Denpasar, dan banyak lagi!

Di tengah musim, tepatnya pada bulan Mei, diadakan sebuah turnamen yang lebih besar yaitu turnamen Regional by Invitation. Sederhananya, Regional by Invitation (atau singkatnya “Regional” saja) ini adalah turnamen all-star yang mempertandingkan pemain-pemain Pokémon GO terbaik di sebuah wilayah. Untuk mengikuti turnamen Regional, pemain harus menempati peringkat Global Rank Top 2.500 atau lebih tinggi di The Silph Road. Cara meningkatkan Global Rank, tentu saja, adalah dengan cara sering mengikuti turnamen yang diakui dan dicatat oleh The Silph Road.

Tidak hanya peserta saja yang punya syarat khusus, komunitas yang ingin menggelar turnamen Regional juga terkena beberapa syarat. Misalnya, komunitas itu harus sudah pernah menggelar turnamen dengan skala besar, dan jarak lokasinya tidak boleh terlalu dekat dengan komunitas host Regional lain.

Setelah periode turnamen Regional selesai, tahap berikutnya adalah Arena World Championship. Ya, sirkuit kompetisi tidak resmi ini memiliki turnamen skala international sendiri! Di Season 1 kemarin, terdapat tiga kompetisi Arena World Championship, terdiri dari:

  • North American Championship (15 Juli di Chicago, Amerika Serikat)
  • European Championship (6 Juli di Dortmund, Jerman)
  • South American Championship (17 Agustus di Santiago, Chili)
Pokemon GO Indonesia - GoFood Festival
Sumber: Dokumentasi Pokémon GO Indonesia

Karena Silph League Arena merupakan turnamen tak resmi, semua biaya seperti akomodasi, transportasi, hadiah turnamen, venue, dan lain-lainnya harus ditanggung secara mandiri oleh komunitas yang menjadi host/organizer turnamen. Hal ini memang merupakan tantangan tersendiri, akan tetapi tak menghalangi komunitas-komunitas pecinta Pokémon GO untuk menggelar turnamen. Beberapa event yang telah mereka adakan bahkan tak kalah ramai dengan sirkuti kompetisi resmi di game lain, lho!

Silph League Arena di Indonesia

Sebelum masuk ke pembahasan Silph League Arena, Anda perlu tahu dulu seperti apa gambaran komunitas Pokémon GO di Indonesia. Secara kolektif, ada komunitas besar yang memayungi seluruh penggemar Pokémon GO dalam negeri, yang disebut Pokémon GO Indonesia (Wahyu merupakan salah satu pengurusnya). Akan tetapi sebetulnya Indonesia memiliki banyak komunitas kecil yang terpencar di setiap kota.

“Di database Pokémon GO Indonesia kami ada 84 komunitas Pokémon GO se-Indonesia sejauh ini, dari Aceh sampai Papua,” ujar Wahyu. Tentu akan terlalu panjang bila disebutkan semuanya di sini, tapi beberapa contoh komunitasnya adalah Raider Tangerang Kota United (RaiKoU), Trainers of Medan (ToM), Pika Bekasi, Aceh Trainer Team (ATT), Kebumen Raid Battle (KERABAT), dan masih banyak lagi.

“Setiap admin/koordinator komunitasnya tergabung di grup WhatsApp Pokémon GO Indonesia. Di situ kita suka koordinasi event maupun info seputar Pokémon GO. Satu komunitas satu orang perwakilan,” papar Wahyu.

Selain komunitas-komunitas per kota, Pokémon GO di Indonesia juga memiliki suatu komunitas spesial yang disebut sebagai Club 40. Komunitas ini berisi pemain-pemain senior yang telah mencapai level 40 dalam Pokémon GO. Di samping sebagai partisipan, Club 40 juga sering menjadi sponsor untuk turnamen-turnamen Pokémon GO yang ada di dalam negeri.

Silph League Arena itu sendiri di Indonesia telah berjalan dan banyak diadakan oleh komunitas. Setiap komunitas umumnya memiliki markas atau venue sendiri yang langganan dijadikan tempat menggelar turnamen, khususnya untuk Monthly Cup. Karena periode pelaksanaan Monthly Cup memiliki rentang yang cukup panjang (1 bulan), seorang pemain bisa saja mengikuti lebih dari satu Monthly Cup bila ia mau melakukan perjalanan ke lokasi komunitas lain.

“Kalau saya di Mall Dharmawangsa, ini komunitas Hunters (Jakarta). Itu kan siang yah, nah sorenya saya lanjut naik kereta ke Bogor. Di situ ikut juga turnamen komunitas Bogor,” demikian pengalaman Wahyu mengikuti dua Monthly Cup sekaligus. Kebetulan pada bulan Agustus kemarin memang ada komunitas yang menggelar turnamen pada hari yang sama.

Akan tetapi Silph League Arena memiliki aturan tentang batas maksimal keikutsertaan turnamen. Semakin banyak Monthly Cup yang diikuti seseorang, semakin sedikit perolehan poinnya, dan setelah melebihi 10 turnamen maka ia tidak akan memperoleh poin lagi. Pemain juga boleh memilih satu event Monthly Cup per bulannya sebagai “weighted cup”, di mana bila ia berhasil memenangkan turnamen itu ma ia akan mendapat poin Global Rank sebesar 10 kali lipat.

Menurut Wahyu, peserta satu Monthly Cup di Indonesia cukup bervariasi tergantung dari ukuran komunitas, minat mereka terhadap kompetisi, dan waktu turnamen itu diadakan. Rata-rata kurang lebih satu Monthly Cup dihadiri oleh 32 peserta, namun pernah juga hanya 16 dan bisa juga mencapai 50 orang. Untuk turnamen yang lebih besar (misalnya Regional) jumlahnya tentu lebih banyak, dan dibandingkan komunitas Pokémon GO negara-negara lain, basis massa di Indonesia tergolong besar.

“Kalau dilihat dari jumlah peserta PvP, Indonesia ada di urutan 7 terbesar di dunia. Jadi market untuk promosinya juga besar untuk brand naikin awareness di kalangan anak muda yang memang jadi target market mereka. Apalagi kalau turnamen besar, yang potensinya sampai bawa-bawa media untuk ngeliput juga,” cerita Wahyu.

Besarnya basis massa Pokémon GO yang diceritakan Wahyu telah dibuktikan oleh komunitas di Indonesia dengan cara memecahkan rekor dunia partisipan turnamen sebanyak dua kali. Yang pertama, turnamen eksibisi di ajang Piala Presiden Esports 2019 (30 – 31 Maret) memecahkan rekor dunia dengan jumlah peserta 243 orang. Sempat dibalap oleh Argentina, Indonesia kembali memecahkan rekor dunia pada turnamen Rainbow Cup di Summarecon Mall Serpong, bulan Juni lalu. Acara tersebut digelar fullday dari pagi hingga malam, diikuti oleh 445 peserta terdaftar, dan dihadiri oleh bintang tamu yaitu Brandon Tan yang merupakan pemain Pokémon GO nomor 1 di dunia.

 

 

 

View this post on Instagram

 

New World Record set by #Club40Indonesia with 280 trainers from different parts of Indonesia coming over to Jakarta to compete in this 9 rounds PVP tournament I must say that today has been one of my best days playing Pokémon GO, but definitely the best PVP day so far. Not only was I able to compete in such a large tournament, but also got to meet many new friends while also catching up with some old ones Winning 2nd place in this tournament wasn’t the utmost important thing for me, but to be able to meet people while not only sharing my experience, but to also listen to their stories Club40Indonesia, founded by Vivi, has done a really remarkable job to organize this insane PoGo event all by themselves, even contributing to the prizes where most trainers got a chance to win something even in their Lucky Draw contests. Thank you to Club40Indonesia and all trainers who attended the tournament Hope to see more of you during my stay here in Indonesia #PokemonGO #Club40Indonesia #Jakarta A post shared by Brandon Tan (@brandontan91) on

Potensi Besar Menuju Esports Global

Berkaca pada sejarah beberapa cabang esports lainnya, bukan tidak mungkin ada sebuah kompetisi yang berawal dari komunitas akar rumput tapi kemudian berkembang menjadi ajang raksasa. Contoh yang paling mudah mungkin Evolution Championship Series (EVO), pada awal didirikan hanya merupakan turnamen berskala arcade center tapi kini telah menjadi panggung termegah esports fighting game dunia yang di-endorse oleh penerbit-penerbit besar.

Silph League Arena pun menunjukkan potensi serupa, khususnya di Indonesia. Dari kuantitas saja, jumlah massa serta jumlah komunitas Pokémon GO di sini sudah terbukti ramai. Belum lagi bila kita bicara soal loyalitas. Pokémon GO yang saat ini sudiah berusia tiga tahun mungkin kurang banyak mendapat sorotan media, akan tetapi itu tak mengurangi semangat mereka yang masih mencintai game ini terutama secara kompetitif.

Beberapa brand rupanya sudah menyadari potensi tersebut dan menunjukkan dukungan mereka. Menurut Wahyu, pengadaan event Silph League Arena di Indonesia kerap kali digelar bekerja sama dengan berbagai sponsor. Kontribusinya pun bermacam-macam, dari memberi produk, menyediakan venue, menyediakan hadiah turnamen, dan sebagainya.

Mostly paling sering (sponsor) kita dari HiLo dan Wafer Tango. Tapi beberapa kali pernah juga Telkomsel dan Springhill. Kalau non-brand, ada Club 40 Indo yang juga sering jadi sponsor,” papar Wahyu.

Meski demikian, tentu ada keuntungan tersendiri bila kemudian Niantic atau The Pokémon Company menggelar sirkuit kompetisi Pokémon GO secara resmi. Misalnya prize pool yang kemungkinan lebih besar, penyediaan biaya transportasi/akomodasi, dan tentunya juga marketing yang jauh lebih luas. Wahyu sendiri, yang memiliki nama in-game “AyuLaras”, sempat merasakan masalah yang muncul karena sifat Silph League Arena yang tak resmi ini. Sebagai peraih juara 1 turnamen Regional di Silph League Arena Season 1, ia telah mendapat undangan untuk tampil di Arena World Championship, namun tidak berangkat karena lokasinya jauh dan biaya untuk pergi ke sana sangat mahal.

Pokemon GO Indonesia - Wahyu vs Rama
Wahyu “AyuLaras” (kiri) berhadapan dengan Rama “Arzheil” (kanan) di salah satu final turnamen | Sumber: Dokumentasi Arzheil

Salah satu pemain Pokémon GO kompetitif dari komunitas Bogor Raids, Ahmad Kurnia “Arzheil” Paramasatya punya pandangan tersendiri soal Silph League Arena. Menurutnya sistem kompetisi yang diciptakan The Silph Road sudah cukup bagus, jadi perkembangannya ke arah esports akan lebih cepat apabila Niantic menggandeng The Silph Road saja. Tapi ini kembali ke visi perusahaan itu sendiri, apakah memang ingin fokus ke esports atau hanya membuat PvP sebagai fitur sampingan.

“Kalau aja Niantic menggandeng The Silph Road, kan enak tuh kalau ada official tournament dari Pokémon GO-nya. Rewards langsung dari perusahaan game-nya. Sementara kalau sekarang kan hadiah ya dari sukarela aja cari sponsor. Karena menurut gue rewards itu salah satu hal penting sebagai motivasi orang berkompetisi,” ujarnya. Arzheil, yang memegang peringkat 50 di The Silph Road Global Rank, selama ini memang sangat aktif mengikuti turnamen dan telah berhasil meraih gelar juara di Kingdom Cup, Nightmare Cup, Rainbow Cup, Jungle Cup, serta Mirror Cup.

The Silph Road sendiri pada dasarnya juga merupakan usaha dari komunitas, jadi wajar bila kemudian pada pelaksanaannya ada beberapa hal teknis yang tak sempurna. Misalnya, dalam salah satu turnamen yang diikuti oleh Arzheil, sempat terjadi adanya pemain yang walkout di tengah turnamen, tapi panitia salah menghapus nama dari bracket. Pencatatan bracket menggunakan sistem online yang dibuat oleh The Silph Road, dan sistem itu tidak bisa mengembalikan nama peserta yang telah dihapus. Jadi si pemain hanya bisa pasrah melihat rank miliknya anjlok.

Ultra League I Love You 2500
Ultra League I Love You 2500 di GBK | Sumber: Pokémon GO Indonesia

Masalah lain misalnya sistem penghitungan poin. Di Silph League Arena Season 1, tidak ada perbedaan antara kemenangan melawan pemain dengan rank lebih tinggi ataupun lebih rendah. The Silph Road terus melakukan perbaikan dan kabarnya akan ada beberapa perubahan teknis di Season 2, tapi apakah sudah sesuai ekspektasi atau tidak itu masih perlu kita pantau lebih lanjut.

Di bulan September ini, Silph League Arena sedang berada di periode off-season setelah Season 1 berakhir. The Silph Road masih memfasilitasi pengadaan turnamen, namun sifatnya di luar liga atau unranked. Salah satunya turnamen Ultra League (Unranked) I Love You 2500 yang digelar pada tanggal 22 September lalu di GoFood Festival Gelora Bung Karno, Jakarta.

Menutup Silph League Arena Season 1, The Silph Road telah merilis sejumlah data yang menunjukkan seberapa tinggi minat penggemar terhadap sirkuit kompetisi nonresmi ini. Beberapa angka menarik misalnya jumlah kompetitor total yang mencapai 73.994 orang, jumlah host turnamen yang mencapai 2.952 komunitas, serta jumlah turnamen Regional yang mencapai 193 event. Anda dapat melihat lengkapnya dalam gambar di bawah.

Silph League Arena Season 1 - Statistics
Sumber: Silph League Arena

Silph League Arena Season 2 akan memiliki periode yang lebih panjang, dimulai dari 1 Oktober 2019 hingga 31 Agustus 2020. Tim The Silph Road saat ini sedang menyiapkan berbagai perubahan dan perbaikan untuk memfasilitasi kompetisi yang lebih bervariasi lagi. Beberapa program yang direncanakan antara lain Practice Cup (turnamen tanpa perubahan rank), Continental Championship (kompetisi internasional tingkat benua), perubahan aturan dan sistem rank, dan masih banyak lagi. Anda dapat bergabung dengan channel Discord Silph League Arena untuk informasi terkini, atau memantau perkembangannya lewat post di situs resmi Silph League Arena.

Bagi Arzheil, kedatangan Season 2 artinya kini waktunya untuk berlatih dan mempersiapkan tim Pokémon yang sesuai dengan tema bulan Oktober nanti (Sinister Cup). Ia ingin menarik lebih banyak peminat Pokémon GO kompetitif, khususnya di sekitar komunitas Bogor Raids, dengan cara mengadakan coaching clinic PvP di kota Bogor. Arzheil juga berharap ada sponsor yang bisa mendukung pemain Indonesia untuk maju ke turnamen internasional, misalnya Continental Championship di tahun 2020 nanti.

Sementara itu ke depannya Wahyu bersama dengan pengurus-pengurus Pokémon GO Indonesia lainnya berharap agar game ini lebih banyak lagi dimainkan orang. Tentunya ini juga butuh peran seluruh komunitas yang ada di Indonesia untuk terus dan berkembang, misalnya dengan cara terus rutin menggelar kompetisi bulanan ataupun sekadar kopi darat. Bagaimana dengan Anda, apakah Anda berminat menjadi seorang pemain Pokémon GO kompetitif?

[Review] Borderlands 3, Gameplay Nyaris Sempurna Terjegal oleh Performa yang Payah

Penantian panjang untuk penggemar seri Borderlands memang sudah berakhir dengan dirilisnya Borderlands 3 tanggal 13 September 2019 yang lalu. Sayangnya, Anda harus menunggu lagi untuk benar-benar mendapatkan pengalaman bermain yang ideal.

Sebelum kita masuk ke review Borderlands 3 (BL3) kali ini, saya harus jelaskan bahwa saya merupakan fans berat dari seri game yang satu ini. Saya memainkan semua seri BL (kecuali spin-off nya) mulai dari Borderlands (2009), Borderlands 2 (2012), dan juga Borderlands: The Pre-Sequel (2014). Borderlands 2 bahkan jadi salah satu game yang paling lama, dari total sekitar 2000 game PC, yang saya mainkan.

Jadi, tanpa basa-basi lagi, inilah review Borderlands 3 yang akan saya bagi ke dalam 3 kategori.

Gameplay: 93/100

Screenshot dari BL3
Screenshot dari BL3

Di aspek inilah BL3 nyaris sempurna. Buat yang belum pernah memainkan seri Borderlands sebelumnya, Borderlands (2009) adalah game pertama dalam sejarah yang berhasil mengawinkan genre RPG dan FPS dengan sangat baik. Sebelumnya, memang sudah ada game-game lain yang mencoba menggabungkan 2 genre tadi namun tidak ada yang berhasil membuat ramuan yang pas dan menyenangkan. Borderlands 2 bahkan berhasil mengembangkan formula awalnya dengan jauh lebih baik. The Pre-Sequel (BL:TPS), meski dikritik banyak orang, juga tetap sangat saya nikmati.

BL3, Gearbox kembali berhasil mengembangkan formula hebat tadi jadi nyaris sempurna. Senjata-senjata yang ada di sini terasa unik dan lebih variatif dibanding dengan yang saya temukan di BL2. Demikian juga equipment lainnya seperti Shield, Class MOD, Relic, dan Grenade Mod. Di BL2, ada banyak senjata dan equipment yang terasa sia-sia karena jelas kalah kegunaannya dengan beberapa opsi yang ada. Misalnya saja semua pistol jadi tidak menarik jika dibandingkan dengan Unkempt Harold dan semua sniper rifle pasti kalah damage dengan Pimpernel. End-game build (OP8-10) juga dapat dipastikan bahwa The Bee yang akan dijadikan Shield pilihan untuk mayoritas build yang ada.

Di BL3, saya belum merasakan ada senjata ataupun equipment yang benar-benar begitu dominan seperti contoh tadi. Namun demikian, penting dicatat, saya memainkan BL2 itu bahkan mungkin sudah lebih dari 1000 jam. Jadi, bisa saja saya belum menemukan equipment yang dominan di BL3 karena keterbatasan waktu saya bermain (karena harus mengejar review ini).

Skill tree dari BL3 untuk Amara
Skill tree dari BL3 untuk Amara

Skill dari masing-masing karakter juga jauh lebih menarik dibanding game-game sebelumnya. Setiap karakter punya build lebih dari 1 yang sama menyenangkannya untuk dimainkan. Dengan 4 karakter yang bisa Anda mainkan sekarang, Amara, Moze, Zane, dan Fl4k; ada banyak sekali build yang bisa dicoba sehingga membuat BL3 akan terasa menyenangkan jika dimainkan berulang-ulang. Karena kompleksitas masing-masing skill karakter yang disuguhkan, terlalu panjang jika semuanya saya jelaskan di sini. Anda bisa mencari banyak video di YouTube jika ingin tahu lebih detail tentang masing-masing karakter dan skillnya.

Satu hal yang pasti, dibandingkan dengan semua seri BL yang saya mainkan tadi, variasi karakter, build, equipmentskill, ataupun setiap elemen RPG-nya, BL3 jauuuuuuuuuuuuuuh lebih variatif.

Itu tadi jika dibandingkan dengan pendahulunya. Bagaimana jika gameplay nya dibandingkan dengan FPS lain yang baru-baru ini dirilis? Kebetulan, belum lama ini saya juga menamatkan Singleplayer Campaign untuk Rage 2 dan Wolfenstein: Youngblood. Saya tidak ragu mengatakan bahwa BL3 juga jauh lebih superior dibandingkan dengan 2 game tadi dari sisi kompleksitas gameplay-nya.

Jika dibandingkan dengan 2 game tadi, hanya Rage 2 yang lebih superior di satu aspek gameplay atas BL3. Rage 2 mampu menyuguhkan feel pertempuran (menembak, menggunakan skill, ataupun menghancurkan musuh berkeping-keping) yang paling asyik yang benar-benar belum bisa saya temukan di game lainnya. Namun di luar satu aspek tadi, BL3 menang di semua aspek gameplay lainnya.

Satu-satunya hal yang membuat saya belum berani memberikan skor sempurna (100/100) atas gameplay BL3 adalah soal balancing dan level scaling antar karakter. Pasalnya, dari semua BL yang saya mainkan, selalu ada 1 karakter yang jauh lebih superior dibanding yang lainnya. Lilith adalah karakter paling superior di BL(1), Salvador di BL2, dan Nisha di BL:TPS.

Misalnya saja di BL2, skala progress karakternya terlalu tinggi karena bisa sampai ke OP10 (dengan DLC terakhirnya). Namun hal itu tidak diimbangi dengan damage scaling yang sepadan untuk semua karakter. Hanya Salvador yang benar-benar bisa scaling dengan sangat baik di level tinggi (mulai UVHM). Hal inilah yang saya takutkan terjadi lagi di BL3.

Story-building: 74/100

Screenshot dari BL3
Screenshot dari BL3

Buat yang suka dengan game-game gratisan, mungkin aspek ini tidak masuk akal untuk Anda… Namun untuk game-game kasta bangsawan alias AAA, aspek-aspek pembangun cerita merupakan elemen penting yang bisa menentukan apakah sebuah game layak dibeli atau tidak.

Di bagian ini, ada beberapa hal yang bisa kita bahas yang menurut saya berpengaruh dalam menentukan kualitas story-building dari sebuah game.

Soal plot cerita, berhubung saya memang tidak ingin membocorkannya di sini, saya hanya akan membandingkannya dengan beberapa game lainnya. Semua seri BL yang saya mainkan memang nyatanya tidak terlalu fokus pada kekuatan plot cerita. Jadi, jangan berharap akan menemukan level kualitas alur cerita yang sama dengan Skyrim, The Witcher 3, Wolfenstein: The New Order, GTA V ataupun game-game lain yang benar-benar menjunjung tinggi aspek ini. Namun demikian, alur ceritanya mungkin masih terbilang baik untuk game multiplayer (meski memang lebih berat ke Co-Op) — mengingat kebanyakan game multiplayer bahkan tidak menyuguhkan aspek ini sama sekali.

Selain alur cerita, aspek lain yang saya kira masuk ke dalam bagian kerangka narasi di sini adalah soal karakter dan karaterisasi. Meski BL2 juga memang tak punya alur cerita yang istimewa, game tersebut punya Handsome Jack yang sungguh sangat berkesan dan menghibur. Buat saya, Handsome Jack bisa masuk dalam salah satu penjahat (villain) di game yang paling ikonik sepanjang sejarah.

Sayangnya, hal itu tidak saya temukan di tokoh antagonis utama di sini. Calypso bersaudara (Tyreen dan Troy) bahkan bisa saya bilang terlalu cheesy. Memang, saya tahu membuat tokoh antagonis yang ikonik itu sulitnya bukan main. Namun, berhubung sebelumnya Gearbox berhasil menciptakan Handsome Jack, ekspektasi saya mungkin jadi lebih tinggi soal ini.

Untungnya, karakter-karakter yang ada di game-game sebelumnya muncul kembali di sini dengan ciri khasnya masing-masing. Walau memang dari semua karakter yang muncul kembali, favorit saya tetap 2 karena keunikannya: Claptrap dan (Tiny) Tina.

Soal story-building, BL3 memang (sekali lagi) tak bisa disejajarkan dengan banyak game yang menaruh perhatian besar ke sana. Namun demikian, bagi saya, aspek ini masih bisa membuat saya terhibur dan menikmatinya.

Features & Performance: 31/100

Sebelum kita masuk ke performanya, di atas kertas, ada satu fitur menarik yang coba ditawarkan oleh multiplayer BL3. Pasalnya, BL3 menawarkan 2 sistem Co-Op: Cooperation dan Coopetition.

Screenshot BL3
Screenshot dari BL3

Mode Coopetition sama dengan yang pernah diterapkan di BL2 dan BL:TPS. Loot drop yang ada di game bisa diambil oleh semua pemain. Hal ini memang bisa menyenangkan jika bermain bersama kawan. Namun jika bermain bersama dengan orang yang tak dikenal, Anda harus berebut loot dengan mereka. Selain itu, loot di game tersebut bisa jadi tidak relevan jika Anda bermain dengan karakter yang levelnya di atas atau di bawah.

Contohnya seperti ini, Anda memainkan karakter level 24 bersama dengan orang lain yang menggunakan karakter level 35. Di sistem Coopetition atau di kebanyakan game-game Co-Op lainnya, loot yang Anda berdua dapatkan ada di level 24 ataupun level 35. Buat Anda yang level 24, Anda tidak bisa menggunakan loot jika yang drop adalah level 35 karena ada level requirements. Sebaliknya, karakter level 35 tidak lagi butuh loot level 24 karena stats nya sudah tidak lagi relevan.

Sistem Cooperation BL3, teorinya, mencoba menyelesaikan persoalan tersebut. Di situasi tadi, buat Anda yang masih level 24, musuh yang Anda hadapi dan loot yang didapat akan scaling ke level Anda meski bergabung bersama pemain level 35 ataupun malah level 11. Inilah keistimewaan fitur multiplayer dari BL3.

Sayangnya, itu tadi sebatas teori — setidaknya dari pengalaman saya mencobanya sendiri. Saat saya mencoba fitur ini, karakter saya level 26 bergabung ke game orang tak dikenal lewat Matchmaking yang karakternya sudah mencapai level 32. Anehnya, musuh yang saya hadapi di kesempatan tersebut justru malah level 19-21. Padahal, jika saya bermain sendiri, musuh-musuh di Map tersebut adalah sekitar level 24-26. Sekali lagi, karena keterbatasan waktu, saya memang hanya mencoba fitur multiplayer-nya tadi 1x. Semoga saja, di lain waktu, saya benar-benar bisa merasakan sistem multiplayer BL3 yang ideal.

Grafik framerate BL3 yang sangat fluktuatif dan tidak bisa dimaklumi. Screenshot diambil dari MSI Afterburner
Grafik framerate BL3 yang sangat fluktuatif dan tidak bisa dimaklumi. Screenshot dan grafik framerate diambil menggunakan MSI Afterburner.

Jika tadi saya menemukan keanehan dari fitur Multiplayer BL3, performa BL3 yang saya mainkan di PC bahkan bisa dibilang menyedihkan. Performa yang menyedihkan ini tidak hanya saya yang mengalaminya namun juga banyak orang, di berbagai platform. Coba saja googling “borderlands 3 performance issues” jika tidak percaya.

Inilah spek PC saya saat memainkan game ini:

  • Procie: AMD Ryzen 3 1300X
  • Motherboard: GIGABYTE AB350-Gaming 3
  • Memory: Corsair Vengeance LPX 2x4GB DDR4 2666MHz
  • Graphic Card: Palit RTX 2070 SUPER JS
  • Storage: Corsair Force LS SSD (Game Directory), Palit PSP120 SSD (System Directory).

Saya tahu betul spek saya di atas memang hanya istimewa di kartu grafisnya, dan bottleneck juga (karena memang lagi menabung untuk upgrade CPU). Namun demikian, dengan spek tersebut, saya bisa mendapatkan 56-60 fps (90% of the time, V-Sync: On) di resolusi 1080p, 60Hz di banyak game baru yang saya mainkan beberapa bulan terakhir seperti Rage 2, Wolfenstein: Youngblood, Remnant: From the Ashes, Gears 5, ataupun Greedfall. Target saya yang memang hanya 1080p dan 60Hz di jaman sekarang juga sebenarnya sudah minimalis untuk PC gaming karena sudah ada resolusi 4K ataupun 1440p dan refresh rate 120Hz ataupun 144Hz.

Setting grafis BL3
Setting grafis BL3

Di sini? Minimum framerate yang saya dapatkan bahkan anjlok sampai 30 fps dan itupun sangat fluktuatif. Sayangnya, meski saya sudah mengutak-atik setting visual yang ada di BL3 cukup lama, saya tetap saja tidak bisa mendapatkan fps yang stabil. Setting Volumetric Fog, Overall Quality, atau apapun yang saya coba tidak berhasil membuatnya mulus. Padahal, untuk Rage 2 dan Wolfenstein: Youngblood, saya bahkan tidak perlu repot-repot tweaking opsinya satu persatu.

Oh iya, saya kira perlu juga diketahui bahwa, selain sudah memainkan lebih dari 2000 game PC, saya juga hobi bermain modding di PC gaming — termasuk mainan ReShade (dulu dikenal dengan SweetFX) ataupun ENB. Jadi, saya sudah tidak asing lagi tweaking masalah grafis di PC gaming. Jika saya masih kesulitan mendapatkan framerate yang mulus di BL3, kemungkinan besar, banyak orang juga tidak akan mendapatkan yang smooth.

Average Score: 66/100

Akhirnya, Borderlands 3 tersedia di EPIC Games Store seharga US$44.99 (sekitar Rp632 ribu) untuk versi standarnya. Dengan harga yang harus Anda bayarkan, gameplay-nya memang sungguh istimewa dan paling asyik dari semua game FPS yang pernah saya mainkan. Ceritanya pun juga masih menghibur. Sayangnya, game ini seperti masih dalam tahap BETA untuk fitur multiplayer ataupun malah optimisasi performanya.

Jadi, buat Anda yang sudah mengeluarkan dana sampai Rp20 juta lebih untuk satu set PC gaming ataupun Rp8 juta lebih untuk satu buah kartu grafis dan tidak bisa menerima bermain game di bawah 50 fps (seperti saya), Anda mungkin harus bersabar sampai Gearbox menyelesaikan permasalahan performa BL3 sebelum membelinya. Pasalnya, ada alternatif game shooter ataupun RPG yang jauh lebih mulus dan tidak kalah menyenangkan yang dirilis belakangan ini.

Namun buat Anda yang punya standar framerate rendah (alias 30 fps) ataupun memang benar-benar mencari kombinasi FPS dan RPG yang ideal, BL3 wajib dimainkan.