10 Kursi Gaming Termahal di Dunia Buat Para Sultan Nih!

Seperti apakah kursi gaming termahal di dunia di tahun 2021?

Untuk para gamer, kenyamanan pasti menjadi salah satu aspek penting saat bermain game kompetitif atau sekadar menikmati game singleplayer dalam jangka waktu yang lama. Nah, salah satu perlengkapan yang memiliki dampak besar di bagian kenyamanan adalah kursi. Tidak hanya menambah kenyamanan, beberapa kursi juga dapat membantu menjaga postur tubuh Anda agar lebih baik setelah duduk berjam-jam. Apalagi di era pandemi seperti saat ini, pastinya Anda lebih sering menghabiskan waktu di rumah.

Sama hal-nya seperti keyboard, kursi juga memiliki beberapa kategori sendiri — seperti kursi lipat, kantoran, kondangan, plastik, dan tentu saja gaming. Nah, Anda mungkin familiar dengan sebagian besar kursi berembel-embel gaming yang memiliki bentuk seperti jok mobil balap.

Biasanya, kursi gaming seperti itu dibanderol mulai dari harga sejutaan. Jika menurut Anda kursi gaming seperti itu sudah biasa, kali ini kami telah merangkum beberapa kursi gaming termahal yang bisa membuat dompet Anda menangis tersedu. Saking mahalnya, ada beberapa kursi yang harganya lebih mahal dari mobil lho!

Tanpa basa-basi lebih lanjut, langsung saja kita masuk ke 10 kursi gaming sultan alias kursi gaming termahal di dunia!

1. Acer Predator Thronos

Image Credit: Acer

Kursi gaming yang sempat populer di tahun 2019 lalu ini mungkin menjadi salah satu inovasi tergila saat itu. Acer Predator Thronos merupakan kursi gaming all-in-one dengan beberapa fitur-fitur unik yang bisa membuat pengalaman gaming lebih immersive. Beberapa fitur ini meliputi posisi kursi yang dapat direntangkan ke belakang hingga 140° dengan remote, sistem force feedback yang terhubung dengan game Anda, dan tentu saja, lampu RGB.

Kursi gaming Predator Thronos ini dilengkapi dengan 3 buah monitor curved Predator Z271 U berukuran 27 inch yang diletakkan berjejer di depan mata Anda. Selain monitor, Acer menjual Predator Thronos ini sepaket dengan PC built-up beserta gaming peripherals yang semuanya bermerek Acer.

Acer Predator Thronos memiliki dua versi yang bisa Anda beli, yaitu Ultimate Gaming Experience yang dibanderol dengan harga Rp299 juta dan Rp199 juta untuk versi Premium Gaming Experience. Menariknya, Acer sempat memasukkan Predator Thronos secara resmi ke Indonesia — menjadikannya kursi gaming termahal di Indonesia.

Tidak berhenti di situ, sekitar setahun setelah Predator Thronos dirilis, Acer meluncurkan versi terbaru untuk kursi gaming sultan besutan mereka. Versi terbaru ini dinamakan Predator Thronos Air dan dibanderol lebih murah dari kakaknya. Dengan harga Rp149 juta, Acer Predator Thronos Air juga dijual sepaket dengan PC dan tiga unit monitor. Jika Anda tertarik dengan kursi gaming sultan ini, Anda bisa melihat lebih lengkapnya di website resmi Acer.

2. ErgoQuest Zero Gravity Workstation Ultimate

Sakit punggung tidak relevan di kursi ini! Zero Gravity Workstation Ultimate besutan ErgoQuest ini mungkin bisa dibilang sebagai kursi gaming ternyaman di dunia. Dibanderol mulai dari US$9,995 atau sekitar Rp143 juta, ErgoQuest menyediakan berbagai jenis busa bantalan dengan kepadatan yang berbeda seperti memory foam, polyuretahne foam, katun/poliester, dan lateks. Kulit eksterior dari kursi ini juga disediakan beberapa pilihan yang bisa membuat harganya lompat menjadi US$15,995 atau sekitar Rp228,8 juta.

Image Credit: ErgoQuest

Kursi gaming ini dilengkapi dengan 8 motor listrik yang bertugas mengatur sudut sandaran kaki, sandaran punggung, tempat duduk, serta posisi monitor. Dengan 8 motor listrik ini, Anda dapat mengubah kursi ini menjadi tempat tidur. ErgoQuest juga menyematkan tablet Android untuk mengatur semua pengaturan kursi gaming sultan ini.

Berbeda dengan Acer Predator Thronos, ErgoQuest Zero Gravity Workstation Ultimate ini tidak sepaket dengan PC dan monitornya. Jadi, Anda harus merogoh kocek lebih dalam untuk melengkapi kursi gaming all-in-one ini.

3. Imperator Works IW-J20 PRO

Image Credit: Imperator Works

Mirip kedua kursi di atas, Imperator Works IW-J20 Pro juga merupakan kursi gaming all-in-one. Uniknya, kursi gaming satu ini memiliki senjata “Gatling Gun” di sisi kanan dan kiri pemain. Di bagian bawah juga terdapat roda yang membuat kursi ini terlihat seperti tank. Sayangnya, senjata dan roda ini hanya sekadar dekorasi dan tidak dapat dioperasikan.

IW-J20 PRO merupakan line-up paling mahal dari Imperator Works dengan harga US$5,999 atau sekitar Rp85,8 juta. Imperator Works juga memiliki beberapa kursi gaming all-in-one lainnya yang tidak kalah mahal dengan harga berkisar US$2,799 hingga US$3,999. Kursi gaming dari Imperator Works ini dijual terpisah dengan monitor dan PC.

Jika Anda tertarik untuk membawa pulang kursi-kursi gaming dari Imperator Works, Anda dapat mengecek beberapa line-up kursi gaming terbaik mereka di website resmi mereka.

4. Herman Miller X Logitech G Embody

Image Credit: Logitech G

Kursi gaming hasil kolaborasi dua brand ternama ini bisa dibilang lebih ‘normal’ dari kursi-kursi yang telah disebutkan di atas. Dibanderol dengan harga US$1,595 atau sekitar Rp22,8 juta, kursi ini lebih terlihat seperti kursi kantoran pada umumnya daripada kursi gaming. Untuk menunjukkan kolaborasinya dengan Logitech G, kursi ini memiliki paduan warna hitam dan biru terang sebagai warna khas dari Logitech G.

Namun, kehebatan kursi ini terletak pada manfaatnya ke postur tubuh. Kursi ini dirancang dengan bantuan lebih dari 30 orang bergelar biomekanika, visi, terapi fisik, dan ergonomi. Dengan bantuan Logitech G, kursi gaming Embody ini disesuaikan dengan pemakaian para gamer. Jadi, tidak hanya nyaman, kursi ini juga akan membantu menjaga postur tubuh Anda meskipun telah duduk bermain game seharian.

Kursi Embody besutan Herman Miller dan Logitech G ini memiliki busa yang tebal dengan teknologi pendinginan copper-fused untuk menjaga para gamer tetap sejuk dan nyaman selama sesi gaming yang panjang. Selain itu, Herman Miller juga menyematkan beberapa fitur unggulan mereka seperti PostureFit Spinal Support untuk menjaga postur tulang belakang, BackFit Adjustment, serta sandaran tangan yang bisa diatur 4 dimensi. Lebih lengkapnya, Anda bisa melihatnya di laman resmi Herman Miller.

5. AKRacing Masters Series Pro

Image Credit:CHAIRSFX

Menduduki peringkat ke-5 adalah kursi gaming dari brand asal AS, AKRacing. Masters Series Pro merupakan line-up tertinggi dan termahal yang dimiliki oleh AKRacing. Dibanderol dengan harga mulai dari US$679 (sekitar Rp9,2 juta), kursi gaming AKRacing ini memiliki dua pilihan material — yaitu PU Leather (kulit sintetis) dan kulit asli. Jika memilih kulit asli sebagai materialnya, harganya naik menjadi US$869 (sekitar Rp12,4 juta).

Dengan harga tersebut, pembeli kursi gaming ini disuguhkan dengan sandaran tangan yang bisa diatur 4 dimensi, recline hingga 180°, serta bantalan yang diklaim lebih nyaman 30% dari kursi gaming AKRacing lainnya.

6. VertaGear Triigger 350

Image Credit: VertaGear

Mirip dengan kursi Herman Miller X Logitech G di atas, kursi gaming dari Vertagear ini memiliki bentuk seperti kursi kantoran. Bedanya, kursi ini dibanderol lebih terjangkau dengan harga US$800 atau sekitar Rp11,4 juta. Sesuai namanya, kursi gaming Vertagear Triigger 350 tersusun dengan 350 bagian yang berbeda.

Kursi gaming ini memiliki sandaran punggung serta penyangga lengan dapat diatur sesuka hati sesuai dengan postur tubuh Anda. Selain itu, jaring-jaring yang digunakan pada tempat duduk dan sandaran punggung di kursi ini diklaim tahan panas dan awet. Jika Anda ingin melihat lebih lengkap tentang kursi ini, Anda bisa melihatnya di sini.

7. Secretlab TITAN Evo 2022

Image Credit: Secretlab

Didirikan pada tahun 2014, Secretlab membangun image-nya dengan menjual kursi-kursi gaming premium dengan harga yang mahal. Bukan tanpa alasan, harga kursi gaming mahal itu diimbangi dengan kualitasnya yang jempolan. Bahkan, salah satu produk mereka bernama “Omega” pernah disebut sebagai kursi gaming terbaik di tahun 2019 oleh PC Gamer.

Tidak sampai di sana, kursi gaming teranyar mereka yang dinamakan TITAN Evo 2022 juga meraih gelar sebagai kursi gaming terbaik di tahun 2021 menurut PC Gamer dan IGN. Dibanderol dengan harga sampai Rp10 jutaan, Secretlab TITAN Evo 2022 memiliki tiga ukuran — yaitu S, R, dan XL. Selain ukuran, Secretlab juga menyediakan dua pilihan bahan untuk eksterior kursi yang dinamakan Neo Hybrid Leatherette dan Softweave fabric.

Image Credit: Secretlab

Secretlab TITAN Evo 2022 ini juga memiliki sandaran tangan yang dapat diatur 4 dimensi, bantal kepala magnetis, serta dudukan yang nyaman. Menurut PC Gamer, kursi gaming teranyar dari Secretlab ini sangat nyaman meskipun harganya yang tergolong lumayan tinggi.

8. Noblechairs Hero

Image Credit: Noblechairs

Memiliki desain yang simple dan elegan, Noblechairs Hero merupakan salah satu kursi gaming yang paling enak dipandang. Tidak hanya enak dipandang, kursi gaming ini dikembangkan dengan bantuan dari pemain esports professional. Jadi, pastinya kursi gaming dari Noblechairs ini telah disesuaikan untuk pemakaian para gamer. 

Dibanderol dengan harga sampai US$719 (sekitar Rp10,2 juta), Noblechairs Hero menyediakan beberapa pilihan material seperti fabric, kulit sintetis, dan kulit asli. Kursi gaming ini juga dibuat dengan bahan premium — seperti rangka baja yang tahan lama, bantalan busa dingin, serta sandaran tangan yang dilapis dengan kulit.

9. DXRacer Tank Series

Image Credit: DXRacer

Siapa yang tidak kenal dengan brand DXRacer? Brand asal AS ini merupakan pabrikan yang memproduksi kursi gaming pertama pada tahun 2006 silam. Menjadi yang pertama di dunia kursi gaming, ternyata harga yang ditawarkan oleh DXRacer cukup kompetitif — alias tidak semahal beberapa kompetitornya di atas.

Menempati urutan ke-9, DXRacer Tank Series dibanderol dengan harga US$629 atau sekitar Rp9 jutaan. Dengan harga itu, kursi ini menawarkan penyangga lengan 4D, frame kursi yang terbuat dari besi, tingkat kerebahan hingga 120°, dan masih banyak lagi.

Sesuai dengan namanya, Tank Series dari DXRacer lebih diperuntukkan pada orang yang berbadan besar dan tinggi. Kursi gaming dari DXRacer ini diklaim dapat menahan beban hingga 400lbs atau sekitar 180kg. Anda dapat melihat lebih lengkap tentang kursi gaming ini di sini.

10. MAXNOMIC NEEDforSEAT XL

Image Credit: MAXNOMIC

Menduduki peringkat terakhir di daftar kursi-kursi gaming termahal adalah kursi buatan brand asal Jerman, MAXNOMIC NEEDforSEAT XL. Meskipun menempati peringkat terakhir, kursi buatan MAXNOMIC ini tidak bisa dibilang ‘murah’ — karena kursi gaming ini dibanderol dengan harga EU€579 atau sekitar Rp9,6 juta.

Kursi gaming ini memiliki fitur-fitur yang mirip dengan kompetitornya di atas — seperti sandaran punggung yang bisa direbahkan, penyangga tangan 4D, dan sebagainya. Menariknya, penyangga tangan yang disematkan di kursi gaming ini memiliki slot untuk jari-jari Anda. Jadi, tidak hanya tangan, jari Anda juga dapat beristirahat dengan nyaman.

Image Credit: MAXNOMIC

Lalu, Anda juga bisa menambahkan ukiran nama custom di eksterior kursi dengan tambahan biaya EU€50 (sekitar Rp839 ribu).

Penutup

Nah, itu tadi adalah 10 kursi gaming termahal di dunia. Apakah Anda tertarik untuk memiliki salah satunya? Kalau saya sih… Kursi plastik saya masih bagus wkwkwkw…

Jika beberapa kursi gaming di atas belum cukup ‘gila’ untuk Anda, beberapa waktu lalu terdapat kursi gaming bertema anime yang dilengkapi dengan katana.


Hybrid.co.id hadir juga di berbagai media sosial. Temukan konten yang menarik di Instagram atau follow akun Twitter kami. Jangan lupa juga untuk Likes Fanpage Facebook Hybrid.

10 Most Terrifying (Best) Horror Games for This Spooky October

Halloween is just right around the corner, so why not live up to its tradition and experience some scare with some horror games. Throughout its three-decade-long history, the horror genre in gaming has continuously pushed the boundaries in delivering fear to its players. Some of the well-known titles today, like Amnesia or Resident, became famous for vastly contributing and redefining the genre. From the pixelated era to the reality-simulating VR, let us take a look at the most terrifying and best horror games to date.

 

Amnesia: The Dark Descent

Source: PC Gamer

The Amnesia series is a certified classic in the horror game community. Its first iteration, The Dark Descent is especially considered one of the most terrifying horror series of all time despite being over 10 years old and graphics being overly outdated. Hell, even PewDiePie practically built his Youtube career on his frightening yet hilarious Amnesia gameplay.

What defines the scariness of Amnesia is its game mechanics. The creatures you face, called gatherers, can one-shot you while you are left defenseless with no weapons. The only escape turning off your lantern and going into the darkness, where gatherers can’t detect your presence. However, this comes at a mental price and your character can descend into madness if you spend too much time in the dark. Amnesia has perfected its design to trigger all the fear stimuli in our brains and will undoubtedly give you an amazing (or terrifying) gaming experience. If you looking to get into the hardcore horror genre, Amnesia: The Dark Descent is the first game you should consider playing.

 

Outlast

Source: Microsoft

Outlast is another famous franchise in the horror genre and is considered to be the refined version of Amnesia. Set in an asylum, you are left weaponless with only a night vision camera to navigate your surroundings and escape the gruesome half-human, half-monster entities that are trying to hunt you down. Like Amnesia, the gameplay of Outlast is relatively simple. However, what sets apart these franchises from normal horror games is the unnerving mental challenge that will be a test of your courage. The dark atmosphere, deprived vision of the camera, claustrophobic settings build a truly horrifying experience that is not suitable for timid players. It took me quite some time to watch Outlast gameplays on Youtube, let alone playing it solo.

Unfortunately, I would not really recommend getting its sequel. Although Outlast 2 is still better than a majority of horror games out there, the gameplay is considered by many to be inferior to its predecessor. However, if you are into the lore of the franchise, the story of Outlast 2 is still incredibly interesting. The Outlast franchise, without a doubt, is stronger than caffeine when it comes to preventing sleep, so I highly suggest playing these games before pulling an all-nighter.

 

Alien: Isolation

Source: Nexus.gg

Alien Isolation is definitely a unique horror game since it strays away from the usual spooky ghost cliche and instead incorporates aliens… obviously. But if you think that Aliens are not that scary, well you are truly mistaken. A hide-and-seek survival game against a 5-meter xenomorph is the essence of Alien Isolation. Unlike the two previous games, you do have the option to equip guns. However, these weapons are close to useless in most situations; they are not very effective in dealing damage and can be quite cumbersome to obtain. So at the end of the day, you will have to resort to the old stealth mode while hoping that the aliens won’t pop out and jumpscare you from behind. But this strategy also has its downsides, namely that the alien has an annoying “hidden GPS” and will find you despite all your attempts in hiding from it.

Another aspect that makes this horror game unique is that you will also be combating against humans, which can be both a pro and a con. On one hand, dealing with scavengers of different factions provides a dynamic gaming experience. On the other hand, it also strips away some of the horrid, terror, and immersiveness on the alien side of the gameplay.

Whether you like or dislike certain designs of Alien: Isolation, it is still undoubtedly one-of-a-kind in the horror game genre and considered as one of the most terrifying as well.

 

Dead Space

Source: Nerd Much

A similar game to Alien Isolation, and considered to be its predecessor as well, is Dead Space. Dead space is a sci-fi horror game that brilliantly uses sound and atmospheric design to build terror. Thus, although the game does not have scary ghosts and is surrounded by modern technology, Dead Space is able to recreate the feeling of walking around a demon-infested house. The monsters in this game, or necromorphs, aren’t that terrifying compared to the other grotesque entities that you see in most horror games. However, the light from your flashlight and sound in the atmosphere builds an unsettling amount of tension as you wander through the corridors of the Sprawl space station. And when those necromorphs pop out of a vent, best believe that you will jump out of your chair.

Unfortunately, Dead Space 2 and 3 have slightly strayed away from its horror or brutal gameplay and, instead, shifted towards the action side. Therefore, I highly recommend picking up the original Dead Space if you want to be spooked, despite the game already being more than a decade old.

 

Silent Hill 2

Source: Den of Geek

Before the four franchises above dominated the gaming community, the Silent Hill series was one of the pioneers in the horror genre. The second iteration, in particular, was a fan favorite and is also unsurprisingly scary. Silent Hill 2 was so iconic in the horror genre that even the newest installation of Resident Evil included lores from this game.

Even though it was released in 2001, it received a well-deserved remaster for Xbox 360 and PS3 in 2012, so the younger generation can experience the same terror that this game brings. We have to admit that Silent Hill 2 doesn’t have the best graphics by today’s standards. However, the game does not stop from being able to create an unsettling, eerie, and disturbing atmosphere, which most modern horror games today even fail to replicate. Many players attributed the heavy fog as a cheap tactic to create the iconic Silent Hill feeling. But you have to admit the fog does a pretty good damn job at inducing uncertainty on what is lying around your corner waiting to spook you.

It has been rumored that Silent Hill will be released on PS5, so this is the perfect time to revisit some of its histories. Just a warning before you jump into Silent Hill, tons of players have mentioned that the game has the tendency to get into your head.

 

The Evil Within 2

Source: VentureBeat

If you aren’t into cheap jump scares like me, then this game is perfect for you. The Evil Within series has always focused more on the story side tries to build its scariness through psychological horror. Some players may find the game too boring as a result of this niche design, but I truly respect the developers for going into this route.

The atmosphere in The Evil Within is nothing short of amazing, or eerie in this case. Virtually all the characters and enemies have well-written plots that will undoubtedly keep you hooked. The boss fights and monsters can be rather violent, grotesque, frightening, and all the things you expect from a scary horror game. Oh, did I mention the game is open world? Unlike most horror games out there, The Evil Within’s open-world design introduces a lot of new high-adrenaline action sequences with the monsters lurking in the streets and houses. Players can truly freely experience the danger of the Union realm by exploring the neighborhood and completing side quests.

Simply put, the Evil Within franchise is, without a doubt, one of the best survival, psychological horror series in gaming that you wouldn’t want to miss. As a side note, however, many avid followers of the series have also emphasized that the second iteration, The Evil Within 2, is far more superior than the first. The original is by no means a bad game, but it does have a lot of flaws. The Evil Within 2 has fixed most of these flaws and provides more polished gunplay, survival, and horror elements. So, consider picking up the second game even if you haven’t played the original.

 

P.T.

Source: Forbes

Brought by the same game designer as Silent Hill, P.T. is a criminally underrated game that could’ve honestly been part of the Silent Hill series. If you are wondering, P.T. stands for Playable Teaser, which also means that it is not a fully fleshed-out game and is more a demo of some sort. The lifetime of the game itself has gone through several stages of controversy. There was initially some dispute between Hideo Kojima (the game designer of P.T.) and Konami, prompting him to create his own game dev company called Kojima Productions. Furthermore, shortly after its release, P.T. was ultimately taken down from the Playstation Store, which is eerily suiting to the game’s name.

Enough about the game’s drama, let’s talk about its incredibly disturbing gameplay. If there is one word to describe P.T, it would be disorienting. All you do throughout the game is wander around a single house trying to solve puzzles that try to the endless time loop that confines your reality. As you through each spiral through the loop, you’ll observe unsettling altercations in your surroundings that questions your imagination and plays into your mind’s sense of fear. Adding to that, you’ll have to watch out for the entity named Lisa as she menacingly haunts you from behind.

Stephen King, the author of The Shining and IT, once mentioned that the worst level of fear is terror: “when you come home and notice everything you own had been taken away and replaced by an exact substitute. It’s when the lights go out and you feel something behind you, you hear it, you feel its breath against your ear, but when you turn around, there’s nothing there…” P.T. is, without a doubt, the true embodiment of this quote.

Five Nights at Freddy’s

Source: GameSkinny

The FNAF franchise needs no introduction. Since its release, it quickly took over the gaming world by storm and climbed to the top of Steam charts, Play Store, and App store. Many have also claimed FNAF to be the best and scariest horror game to ever be made. While I certainly think that this might be a slight overstatement, I do agree that the FNAF series cleverly and uniquely induce a boatload of fear in its players. Think about it, most of the games in this list either uses the normal first-person or third-person POV to navigate the game surroundings. These mechanics, however, are often clunky and deprives the scariness and immersiveness of the game.

FNAF, on the other hand, does not incorporate any of these normal mechanics and instead puts you in the position of a security guard watching the CCTV. As a result, you are forced to maintain your focus, preventing the animatronics from slipping inside the premise. This rather simple yet stress-inducing gameplay added with horrifying art and sound design effectively places the players in the guard’s shoes and fully immerse into FNAF’s reality. Furthermore, there are no cheap weapons or guns available to fight against animatronics; you are quite literally alone and helpless in this game. If you want to experience a startling nightmare in a video game, FNAF will most definitely not disappoint you.

 

Fatal Frame

Source: Rock Paper Shotgun

Fatal Frame perhaps has the best interpretation of Japanese Horror in a video game. If you have ever watched The Ring, well you can probably relate to this franchise. But for all you who are more exposed to western horror, Fatal Frame can be the gateway into understanding the perception of the supernatural in the Japanese culture.

A mechanic that truly makes the Fatal Frame unique and terrifying is the Camera Obscura. Let me explain why this is so. Our innate human instinct is to always escape from danger, which is why we always turn away or jump from our seats when a ghost suddenly pops out on our screen. In Fatal Frame, however, the only you can exorcise the spirits is by taking a picture of it. Yes, the single “weapon” in the game requires you to stare at the grotesque spirits for it to be effective.

If you want to explore or experience some J-horror, the Fatal Frame series will bring you through an incredible rollercoaster of horror and terror. The second iteration of the franchise, in particular, is highly popular, with a refined level and the character design

 

Resident Evil 7: Biohazard

Source: VentureBeat

A horror game list would never be complete without mentioning the Resident Evil franchise, perhaps the most popular series in the horror genre. The newest iteration of the franchise, Biohazard, was particularly terrifying up to the point where the developers think that it might be too scary for the average player. The monsters in Biohazard are mutated humans, which makes them eerily believable and real. But like in the normal Resident Evil fashion, you will still face quite a few deranged creatures like witches and hyper-evolved fungus.

However, what truly defines Biohazard as a staple in the horror genre is its compatibility with VR. I don’t think I have to explain why horror VRs are amazing. Being able to put yourself into a horror game opens a whole new world of terror that would never be achieved just by playing in front of a monitor or TV. Biohazard in VR is, without a doubt, is the best horror experience you buy in all of gaming to date.

Featured Image: Freepik

Bagaimana Hiburan dan Teknologi Diharapkan Membentuk Budaya yang Ideal?

Bagi sebagian orang tua, game adalah momok nomor satu, sumber dari segala masalah pada anak mereka. Anak malas belajar? Pasti karena game. Anak tidak mau mendengarkan orang tua? Pasti karena game. Anak senang bertengkar? Pokoknya, pasti karena game. Dan karena game adalah sumber dari semua masalah pada anak — terlepas dari fakta bahwa sekarang, game juga menjadi alat komunikasi — maka pemerintah seharusnya melarang anak bermain game.

Pemerintah Tiongkok mengabulkan harapan orang tua tersebut. Pada 1 September 2021, National Press and Publication Administration (NPPA) mengeluarkan regulasi baru terkait lama waktu main gamers di bawah umur. Dalam regulasi itu, anak dan remaja di bawah umur hanya bisa bermain game selama 3 jam seminggu dari 13,5 jam per minggu. Kami pernah membahas tentang efektivitas serta dampak dari regulasi itu pada industri game dan esports di sini.

Sekarang, saya akan membahas tentang bagaimana pembatasan waktu main game anak dan remaja hanyalah salah satu bagian dari usaha pemerintah Tiongkok untuk mengubah budaya masyarakat. Pasalnya, dalam beberapa bulan belakangan, pemerintah Tiongkok tidak hanya memperketat regulasi terkait game, tapi juga sektor lain, termasuk hiburan dan teknologi.

Apa Saja Perubahan yang Pemerintah Tiongkok Lakukan?

Pembatasan waktu main untuk gamers di bawah umur bukan satu-satunya regulasi di industri game yang pemerintah Tiongkok ubah. Mereka juga memperketat proses peninjauan untuk game yang hendak diluncurkan di Tiongkok. Selama ini, game yang hendak diluncurkan di Tiongkok memang harus ditinjau lebih dulu oleh pemerintah. Untuk mendapatkan persetujuan pemerintah, sebuah game harus memenuhi berbagai persyaratan yang ditetapkan oleh pemerintah, mulai dari bahasa yang digunakan — game harus menggunakan bahasa Mandarin — sampai isi konten dalam game. Dan sekarang, peraturan itu diperketat.

Hal ini dikabarkan oleh South Morning China Post, berhasil mendapatkan memo internal dari asosiasi gaming di bawah pemerintah Tiongkok. Dalam memo itu, disebutkan bahwa game bukanlah “hiburan murni”. Karena itu, konten dalam game harus menunjukkan nilai yang “benar”, sesuai dengan sejarah dan budaya Tiongkok. Dalam memo itu juga disebutkan bahwa game yang menampilkan pria kemayu atau cerita romantis antara sesama jenis akan dilarang untuk diluncurkan.

“Jika gender dari sebuah karakter ambigu dan tidak bisa langsung diketahui dari penampilan karakter, maka desain karakter itu akan dianggap bermasalah dan game tersebut akan ditandai,” tulis memo itu, seperti dikutip dari Games Industry. Selain tentang penampilan karakter, pemerintah Tiongkok juga melarang game berbau kekerasan yang memberikan pilihan pada pemain untuk menjadi “orang baik” atau “orang jahat.”

“Beberapa game punya konsep moral yang ambigu. Pemain bisa memilih apakah mereka ingin menjadi orang baik atau orang jahat… Tapi, kami merasa, pilihan itu tidak seharusnya diberikan pada para pemain. Jadi, hal ini harus diubah,” tulis memo tersebut.

Ke depan, pemerintah TIongkok akan melarang munculnya karakter laki-laki yang tidak maskulin.

Meskipun pemerintah Tiongkok memperketat regulasi terkait industri game, hal itu bukan berarti industri game dianaktirikan. Faktanya, pemerintah Tiongkok memang tengah sibuk untuk memperkencang regulasi di berbagai bidang. Salah satunya adalah sektor hiburan.

Pada 2 September 2021, National Radio and Television Administration (NRTA) memberitahu perusahaan TV dan plaatform internet bahwa mereka harus menyeleksi artis dan bintang tamu yang hadir dalam acara mereka dengan ketat. Aktor atau musisi yang hadir dalam sebuah program tidak hanya harus punya reputasi dan perilaku yang baik, mereka juga harus punya pandangan politik yang benar, sejalan dengan pemerintah Tiongkok.

Selain itu, NRTA juga merilis rencana untuk mengubah regulasi di dunia hiburan. Rencana itu terdiri dari delapan poin, yaitu:

1. Radio, TV, dan platform internet tidak boleh mempekerjakan atau mengundang orang yang punya pandangan politik yang salah, pernah melanggar hukum, atau membahas topik yang bertentangan dengan moral dan regulasi.

2. Mereka tidak boleh menampilkan program yang dibintangi oleh selebriti cilik. Program hiburan harus punya sistem voting yang ketat. Program itu tidak boleh meminta fans untuk menghabiskan uang atau menjadi anggota dari grup tertentu agar mereka bisa memberikan suara para idola mereka.

3. Mereka harus mempromosikan budaya tradisional serta menciptakan standar kecantikan yang benar. Mereka juga tidak boleh membahas gosip, menampilkan pria kemayu serta selebriti vulgar atau selebriti yang terlalu memamerkan kekayaannya.

4. Mereka tidak boleh memberikan gaji yang terlalu tinggi pada para pelaku dunia hiburan. Mereka harus membuat peraturan terkait berapa besar bayaran yang sebuah acara hiburan bisa berikan pada tamunya. Mereka harus mendorong selebriti untuk ikut serta dalam acara amal dan menghukum orang-orang yang terlibat dalam kontrak ilegal atau orang-orang yang menghindari pajak.

5. Mereka harus membuat peraturan untuk orang-orang yang bekerja di dunia hiburan. Mereka juga harus memberikan pelatihan profesional serta pengajaran tentang moral. Pembawa acara TV harus punya lisensi dan kegiatan mereka di media sosial diawasi.

6. Mereka harus mendorong munculnya komentar profesional akan dunia hiburan. Nilai yang harus mereka tekankan adalah pandangan politik yang benar dan menghindari rumor atau komentar jahat. Sebaliknya, mereka harus membangun budaya yang ramah dan positif.

7. Asosiasi hiburan harus mengkritik artis, penyanyi, dan seniman yang memberikan contoh buruk memberikan pelatihan yang lebih banyak, dan memastikan semua orang mematuhi peraturan yang telah dibuat.

8. Regulator harus bisa bertanggung jawab dengan mendengarkan keluhan dari masyarakat dan memberikan jawaban dari keluhan tersebut.

Salah satu karakteristik pria kemayu menurut Beijing adalah penggunaan make-up. | Sumber: Koreaboo

Regulasi yang pemerintah Tiongkok tetapkan untuk industri game dan hiburan punya satu poin yang sama, yaitu larangan untuk menampilkan pria kemayu alias sissy men. Salah satu kriteria dari “pria kemayu” yang dimaksud oleh pemerintah Tiongkok adalah laki-laki yang menggunakan make-up atau memiliki gaya yang tidak maskulin, berbeda dengan budaya tradisional Tiongkok.

Memang, tidak semua artis laki-laki Tiongkok punya gaya yang maskulin. Sebagian dari mereka memiliki fashion yang terinspirasi dari aktor dan penyanyi Jepang serta Korea Selatan. Titah pemerintah Tiongkok untuk melarang konten yang menampilkan pria kemayu adalah karena mereka tidak ingin artis atau karakter dalam game untuk memberikan contoh image laki-laki yang tidak maskulin, menurut laporan South China Morning Post.

Pemerintah Tiongkok tidak hanya memperketat regulasi terkait pelaku industri hiburan dan game, tapi juga para fans, khususnya penggemar yang terlalu memuja idolanya. Salah satu bentuk nyata yang pemerintah Tiongkok terapkan adalah melarang remaja ikut serta dalam fan club. Memang, nilai perputaran uang karena kegiatan fans cukup besar. Menurut laporan iResearch Consulting Group pada 2020, besar uang yang terlibat dalam kegiatan fans mencapai CNY4 triliun atau sekitar Rp8.873 triliun pada 2019. Dan angka itu diperkirakan akan naik menjadi CNY6 triliun (sekitar Rp13.300t riliun) pada 2023.

Selain melarang remaja untuk ikut serta dalam fan clubs, pemerintah juga melarang mereka untuk ikut serta dalam voting atau menghabiskan uang untuk mendukung idola mereka. Misalnya, seorang artis menjadi juru bicara dari merek perusahaan tertentu. Fans remaja dilarang untuk membeli produk yang dipromosikan oleh artis itu. Alasan pemerintah melakukan hal ini adalah karena mereka tidak ingin kehidupan para remaja menjadi rusak karena mereka aktif dalam fandom.

Bagi para agensi selebriti, pemerintah Tiongkok mengharuskan mereka untuk aktif dalam mengawasi gerak-gerik fans club. Tak hanya itu, badan agensi selebriti juga diminta untuk mencegah para fans bertengkar dengan satu sama lain. Pemerintah Tiongkok juga menghapuskan ranking selebriti, yang sangat populer di Tiongkok. Pemerintah hanya mengizinkan keberadaan daftar musik atau film terpopuler jika daftar itu tidak menyebutkan nama musisi atau aktor dan aktris yang terlibat secara langsung.

Fan culture akan dibatasi. | Sumber: China Daily

Pemerintah Tiongkok memperketat regulasi di industri game, hiburan, dan lain sebagainya bukan tanpa alasan. Mereka melakukan hal itu karena mereka ingin mengubah tatanan masyarakat. Peixin Cao, profesor di Communication University of China, institusi yang telah mengedukasi banyak talenta dunia hiburan di Tiongkok mengatakan bahwa di dunia hiburan Tiongkok, memang ada selebriti yang melakukan tindakan ilegal atau amoral di bidang politik, ekonomi, atau di ranah pribadi. Jadi, tidak heran jika pemerintah memperketat regulasi terkait dunia hiburan.

Cao mengungkap, selama ini, memang ada grup orang tua dan peneliti ilmu sosial yang ingin agar pemerintah melakukan intervensi di dunia hiburan. Mereka tidak ingin generasi muda terkena dampak buruk dari dunia hiburan. Sayangnya, selama ini, para pelaku dunia hiburan bisa memanfaatkan kekuatan ekonomi dan pengaruh media mereka untuk membungkam suara grup tersebut.

“Saya percaya, masyarakat umum juga merasa tidak suka dengan etos kerja yang buruk di dunia hiburan,” ujar Cao, seperti dikutip dari The Guardian. “Orang tua dari remaja mungkin akan lebih merasakan ketidakpuasan tersebut.”

Apakah Konten Memang Bisa Mempengaruhi Pola Pikir Masyarakat?

Konten jadi salah satu fokus dari regulasi baru pemerintah Tiongkok di dunia hiburan dan industri game. Contohnya, larangan untuk menampilkan pria kemayu. Pemerintah Tiongkok menetapkan hal itu karena mereka ingin agar opini dan pandangan masyarakat tetap sesuai dengan budaya tradisional Tiongkok, yaitu laki-laki harus tampil maskulin. Pertanyaannya, apakah konten yang dikonsumsi oleh masyarakat — seperti film dan game — bisa mempengaruhi pemikiran mereka?

Dalam Critical Media Literacy and Transformative Learning: Drawing on Pop Culture and Entertainment Media in Teaching for Diversity in Adult Higher Education, disebutkan bahwa media hiburan dan pop culture memang bisa dijadikan alat untuk membuat orang dewasa berpikir kritis. Tak hanya itu, media hiburan juga bisa digunakan untuk mengajarkan pesan tertentu pada orang dewasa.

Jurnal itu juga menyebutkan, media bisa digunakan sebagai alat edukasi jika konsumen — penonton atau pemain — mau mencerna konten dengan pikiran kritis dan memikirkan pesan yang disampaikan dalam konten. Sebaliknya, media justru bisa memberikan pesan yang salah jika konsumen mencerna konten begitu saja, tanpa berusaha untuk mengerti pesan dalam media yang dia konsumsi. Jadi, media bisa digunakan untuk menyampaikan pesan tertentu ke penonton atau pemain. Apakah pesan itu baik atau buruk tergantung pada kreator dari konten itu sendiri.

Aktor berkulit hitam dan perempuan masih mendapat diskriminasi di Hollywood. | Sumber: Variety

Contohnya, dalam film, orang-orang berkulit warna sering digambarkan sebagai kriminal atau pecandu narkoba. Hal ini bisa memperkuat stereotipe bahwa orang-orang berkulit hitam atau cokelat memang orang berbahaya. Kabar baiknya, media juga bisa digunakan untuk membuat konsumen sadar akan isu tertentu. Seperti film An Incovenient Truth yang membahas topik tentang pemanasan global. Media memang selalu punya pesan tertentu; baik atau buruk. Yang paling penting, konsumen bisa mengonsumsi media dengan kritis.

Tak hanya film, game juga dianggap bisa mempengaruhi para pemainnya. Karena itu, sebagian kreator game berusaha untuk menyisipkan idealisme mereka dalam game yang mereka buat. Salah satu topik yang menarik para peneliti di bidang psikologis adalah pengaruh game dengan tema kekerasan pada tingkat agresivitas remaja.

Ada banyak studi yang mempelajari hubungan antara agresi remaja dengan game dengan kekerasan. Salah satu model riset yang digunakan adalah General Aggression Model (GAM) oleh Anderson et al. Berdasaarkan studi itu, bermain game dengan kekerasan memang bisa membuat pemainnya menjadi lebih agresif. Beberapa studi lain juga menyebutkan, memainkan game dengan kekerasan bisa memicu sifat agresif pada remaja.

Namun, tidak semua peneliti setuju dengan temuan tersebut. Sejumlah peneliti bahkan mencoba untuk menawarkan sudut pandang baru. Berdasarkan studi Sherry (2001), dampak game dengan kekerasan pada tingkat agresi di remaja tidak besar. Sementara Ferguson (2007) justru menganggap, ada publication bias pada penelitian-penelitian tentang hubungan bermain game dengan kekerasan dan agresi remaja. Publication bias muncul ketika artikel dengan hasil negatif punya kesempatan lebih besar untuk dirilis daripada artikel dengan hasil positif.

Setelah mengajukan ide itu, Ferguson lalu melakukan penyesuaikan publication bias pada studi-studi yang telah dirilis. Hasilnya, studi-studi itu tidak bisa membuktikan hipotesa mereka bahwa game dengan kekerasan memang meningkatkan tingkat agresivitas seseorang. Kemudian, dia mencoba untuk membuat model studi baru yang berbeda dari GAM, yaitu Catalyst Model (CM).

Berdasarkan model CM, faktor genetika seseorang punya pengaruh pada tingkat agresivitas mereka. Orang-orang yang memang memiliki sifat agresif punya kemungkinan lebih besar untuk melakukan kekerasan dalam situasi yang menyebabkan stres. Sementara faktor eksternal, seperti game dengan kekerasan, bukan penyebab seseorang menjadi agresif, tapi merupakan katalis yang bisa memicu sifat agresif dalam diri seseorang. Sejumlah studi juga menunjukkan, tingkat agresivitas pada remaja tidak disebabkan oleh eksposur pada game dengan tema kekerasan, tapi oleh kepribadian anti-sosial, tekanan dari teman, atau kekerasan dalam keluarga.

Banyak psikologis yang tertarik mempelajari hubungan antara game dengan kekerasan dan tingkat agresivitas pada pemain. | Sumber: Financial Times

Studi dengan GAM dan CM menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Dalam The Relation of Violent Video Games to Adolescent Aggression: An Examination of Moderated Mediation Effect, peneliti Rong Shao dan Yunqiang Wang mencoba untuk menggabungkan hasil penelitian menggunakan model GAM dan CM. Dalam jurnal itu tertulis, eksposur pada game dengan kekerasan memang punya pengaruh pada sifat agresif pada remaja. Namun, pengaruh tersebut juga dipengaruhi oleh faktor lain, yaitu pemahaman remaja akan kekerasan itu sendiri dan faktor keluarga.

Remaja dengan lingkungan keluarga yang positif biasanya punya sifat ringan tangan dan tidak mudah marah, apalagi sampai menyerang orang lain. Mereka juga lebih memperhatikan moral. Aspek-aspek positif ini membantu mereka untuk memahami kekerasan dalam game dengan sudut pandang yang benar. Karena itu, ketika mereka bermain game dengan kekerasan sekalipun, dampak yang mereka alami minimal.

Sebaliknya, remaja yang hidup di lingkungan keluarga negatif biasanya punya kecenderungan untuk mudah marah dan menyerang orang lain. Karena itu, dampak yang mereka rasakan dari bermain game dengan kekerasan pun menjadi lebih besar. Dari penelitian ini, bisa disimpulkan, sikap agresif pada remaja disebabkan oleh banyak faktor, tidak hanya oleh faktor internal — seperti genetika — tapi juga faktor eksternal, seperti keadaan keluarga dan eksposur pada game dengan kekerasan.

Dampak Regulasi Tiongkok yang Ketat

Perubahan regulasi oleh pemerintah Tiongkok menuai tanggapan yang beragam di masyarakat. Di satu sisi, sebagian orang tua merasa senang dengan keputusan pemerintah karena mereka memang menganggap, waktu bermain anak harus dibatasi. Di sisi lain, sebagian orang skeptis akan efektivitas dari regulasi baru dari pemerintah. Pasalnya, masih ada celah dalam peraturan baru dari pemerintah. Anak dan remaja yang ingin bermain game online di luar waktu yang telah ditentukan bisa menggunakan akun dari orang dewasa. Selain itu, pemerintah hanya mengatur waktu main game online, tapi tidak dengan game offline.

“Regulasi ini tidak akan efektif dalam jangka panjang,” ujar Xiaoning Lu, Reader in Modern Chinese Culture and Language, SOAS. “Anak-anak mungkin kehilangan kesempatan untuk belajar cara mengekspresikan diri atau mendisiplinkan diri.” Menurutnya, keputusan pemerintah Tiongkok juga menunjukkan kemalasan pemerintah untuk membuat regulasi yang lebih sesuai.

Ketika ditanya apakah perubahan regulasi yang pemerintah lakukan di segala sektor merupakan usaha mereka untuk melakukan revolusi budaya, Xiaoning menjawab tidak. Dia menyebutkan, apa yang ingin pemerintah Tiongkok lakukan adalah menghidupkan kembali budaya sosialis. “Tiongkok punya sejarah panjang tentang bagaimana budaya digunakan oleh pemerintah untuk membentuk opini masyarakat dan demi menciptakan ‘warga ideal’,” ujarnya pada Aljazeera.

Sementara itu, William Yang, East Asia Correspondent, DW News dan President, Taiwan Foreign Correspondents’ Club merasa, keputusan pemerintah untuk memperketat regulasi di banyak sektor adalah usaha mereka untuk mencegah pihak non-pemerintah — seperti pop culture icon atau taipan — untuk menggerakkan massa dalam jumlah banyak. “Hal itulah yang menjadi alasan mengapa pemerintah mencoba untuk menghapus fans club online. Alasannya, sebagian dari grup-grup itu terbukti bisa melakukan mobilisasi dan melakukan sesuatu yang dianggap ‘di luar kendali’ oleh pemerintah,” kata Yang.

Salah satu alasan mengapa pemerintah fokus untuk menghapus konten pria kemayu, pria yang tidak tampil maskulin layaknya laki-laki di budaya tradisional Tiongkok, adalah karena mereka khawatir akan pengaruh dari budaya Korea Selatan,” ungkap Yang. “Para bintang K-Pop menciptakan fenomena dan budaya fandom yang berpotensi menimbulkan disrupsi. Dalam waktu singkat, para fans K-Pop bisa mengumpulkan banyak uang untuk melakukan sesuatu yang ‘tidak bisa dikendalikan’, menurut pemerintah. Karena itulah, pemerintah menerapkan peraturan yang ketat.”

Salah satu contoh mobilisasi fans K-Pop adalah ketika fans Lisa dari BlackPink mengumpulkan dana sebesar CNY3 juta (sekitar Rp6,6 miliar) pada Desember 2020. Dana itu dikumpulkan untuk merayakan ulang tahun Lisa pada Maret 2021. Dan hal ini tidak hanya terjadi satu kali. Untuk merayakan ulang tahun Lisa di 2020, fans di Tiongkok mengumpulkan uang sebesar CNY1 juta (sekitar Rp2,2 miliar) untuk disumbangkan ke badan amal, lapor All Kpop.

Fans K-Pop bisa mengumpulkan dana dalam waktu cepat. | Sumber: Tirto

Lebih lanjut, Xiaoning menjelaskan, ada perbedaan fundamental tentang ekspektasi pemerintah akan selebriti di Tiongkok, yang memiliki budaya sosialis, dan di negara-negara Barat, yang mengadopsi budaya kapitalis. Di Tiongkok, selebriti tidak hanya dikagumi berkat film, musik, dan konten yang mereka hasilkan. Para selebriti juga dituntut untuk bisa menjaga integritas moral mereka dan menjadi contoh yang baik untuk masyarakat. Karena itulah, pemerintah menganggap selebriti yang punya skandal seksual atau pernah menghindari pajak sebagai sosok yang bermasalah.

Pemerintah Tiongkok punya alasan internal dan eksternal untuk memperketat regulasi di industri game, hiburan, dan sektor lain, menurut Hongwei Bao dari University of Nottingham. Krisis demografi menjadi faktor internal. Saat ini, Tiongkok tengah menghadapi krisis demografi, berupa umur demografi yang menua dan tingkat kelahiran yang rendah.

Pada 2020, tingkat pertumbuhan populasi di TIongkok hanya mencapai 5,38%, yang merupakan rekor terendah sejak mereka melakukan sensus modern pada 1953, menurut laporan Reuters. Tak hanya itu, angka kelahiran di Tiongkok juga sangat rendah, hanya 1,3 anak per perempuan. Angka ini sama seperti angka kelahiran di Jepang dan Italia, yang juga mengalami masalah penuaan demografi. Krisis demografi ini disebabkan oleh peraturan yang pemerintah tetapkan pada 1970-an. Berdasarkan peraturan itu, satu keluarga hanya boleh memiliki satu anak. Dampak dari peraturan tersebut kini mulai dirasakan.

Senada dengan Bao, China Tech Investor Podcast, Elliott Zaagman juga mengungkap hal yang sama. Alasan mengapa pemerintah Tiongkok ingin menghapuskan konten yang menampilkan pria kemayu adalah karena mereka ingin mendorong masyarakat untuk menikah dan memiliki anak. “Regulator di Beijing mungkin agak panik karena krisis demografi yang lebih parah dari yang mereka kira. Jadi, mereka mau melakukan apa saja untuk mendorong masyarakat agar mereka mau memiliki anak,” ujar Zaagman. “Nilai maskulinitas tradisional adalah menikah dan memiliki anak.”

Sementara itu, faktor eksternal yang menyebabkan Tiongkok merasa harus memperketat regulasi di berbagai sektor adalah hubungan antara Tiongkok dan negara-negara Barat yang memburuk. Hal ini justru membuat rasa nasionalisme masyarakat Tiongkok naik.

“Kita semakin sering melihat naratif ‘Tiongkok vs negara Barat’, baik di dalam maupun di luar Tiongkok. Jika tren ini bertahan, kemungkinan besar, Beijing akan mencoba untuk menonjolkan karakteristik unik mereka sebagai negara jika dibandingkan dengan negara-negara di Barat atau negara Asia lainnya,” ujar Bao.

Penutup

Beberapa dekade belakangan, Tiongkok telah melalui transformasi ekonomi dan sosial. Karena itu, nilai budaya mereka mulai berubah. Namun, sekarang, pemerintah Tiongkok ingin menghidupkan kembali budaya sosialis. Untuk itu, mereka memperketat regulasi di berbagai sektor, termasuk game dan dunia hiburan. Pemerintah Tiongkok tampaknya ingin menggunakan budaya sebagai alat untuk membentuk opini masyarakat.

Keputusan ekstrem pemerintah Tiongkok ini didasarkan pada berbagai alasan, seperti krisis demografi dan antagonisme antara Tiongkok dan negara-negara Barat yang semakin memburuk. Selama ini, peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah Tiongkok bersifat absolut. Hanya saja, sekarang, tetap ada pihak yang mempertanyakan efektivitas dari regulasi itu.

Sumber header: The Wire

10 Karakter Genshin Impact Terbaik yang Wajib Dimiliki

Genshin Impact merupakan role-playing game yang dirilis pada tahun 2020. Setelah satu tahun berlalu, banyak karakter yang telah dirilis di game ini. Tercatat bahwa ada lebih dari 40 karakter Genshin Impact dapat dimainkan oleh para pemain di seluruh dunia. Namun, manakah karakter Genshin Impact terbaik yang wajib Anda miliki?

Dengan jumlah sebanyak itu, tentu karakter-karakter tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan mereka masing-masing. Sebagai pemain, mengetahui kemampuan dan potensi setiap karakter yang dimiliki, menjadi salah satu faktor penting dalam menyelesaikan tantangan di Genshin Impact.

Kekuatan dari sebuah karakter di game ini tidak hanya diukur dari damage yang ia hasilkan, tetapi juga manfaat apa yang dapat ia berikan. Maka dari itu, karakter support dan sub DPS biasanya dihargai lebih tinggi, karena manfaat yang dapat mereka berikan.

Berikut ini merupakan sepuluh karakter Genshin Impact terbaik versi Hybrid, untuk versi 2.1:

sumber: Genshin Impact

1.Venti

Venti merupakan karakter limited perdana di Genshin Impact, yang dirilis pertama kali pada versi 1.0. Walaupun demikian, tidak ada yang dapat mengalahkannya dalam urusan crowd control (CC), bahkan setelah satu tahun berlalu.

Sang Anemo Archon ini mampu menghisap semua musuh ukuran kecil di sekitar, sehingga memudahkan pemain untuk melakukan serangan. Damage yang ia hasilkan juga tergolong besar, apalagi dengan artefak Viridiscent Venerer.

Selain damage dan CC, ia mampu memberikan energi tambahan kepada anggota tim dengan elemen serupa yang ter-infused dengan Black Hole-nya. Ia sangat fleksibel, bisa masuk ke berbagai tim, dan mudah di-build.

sumber: Genshin Impact

2.Zhongli

Sang Archon Geo ini merupakan salah satu karakter terkuat yang pernah ada di Genshin Impact. Ia dikenal sebagai shielder terkokoh yang tiada duanya. Saking kuatnya shield tersebut, Zhongli mampu membuat pemain tak perlu khawatir akan serangan musuh.

Selain melindungi pemain, Shield Zhongli memiliki elemental dan physical shred, yang artinya resistance musuh di sekitar pemain akan berkurang. Ini berarti, selain untuk pertahanan, shield-nya juga menawarkan manfaat offensif.

Tidak hanya memberikan shield, Elemental Burst Zhongli akan menjatuhkan sebuah meteor yang akan memberikan damage Geo yang masif. Selain itu, meteor tersebut akan mem-petrify musuh selama beberapa detik.

Sebelum ada di posisi sekarang, Zhongli merupakan karakter yang ‘bermasalah’ saat ia pertama kali dirilis. Namun semua berubah, ketika ia mendapatkan buff pada versi 1.3, yang membuatnya sangat diincar seperti sekarang ini.

sumber: Genshin Impact

3.Raiden Shogun

Berbeda dengan dua Archon sebelumnya, Raiden Shogun memiliki skillkit yang cukup kompleks. Secara sederhana, kekuatannya terletak di mekanik energi. Namun jika pemain telah memahami cara kerja Archon Electro ini, maka ia akan memberikan sebuah cara bermain yang unik dan solid.

Raiden Shogun akan memberikan energi ke satu tim melalui Elemental Burst. Selain itu, damage yang ia hasilkan saat Burst sangat tinggi. Terlebih lagi, damage tersebut dapat ditingkatkan lagi. Setiap kali Elemental Burst sebuah karakter (selain Raiden Shogun) diaktifkan, maka akan ada counter yang akan memperkuat Elemental Burst Raiden Shogun.

Raiden Shogun memiliki sebuah mekanik, yang akan menambahkan damage Burst setiap karakter di tim, berdasarkan energy cost mereka. Hal ini akan meningkatkan damage keseluruhan satu tim. Maka dari itu, kekuatan Raiden Shogun tidak hanya terletak di dirinya semata, namun juga pada damage satu party.

sumber: Genshin Impact

4.Kamisato Ayaka

Kamisato Ayaka atau yang biasa disebut Ayaka, merupakan salah satu karakter yang paling diminati pemain Genshin Impact. Pasalnya Ayaka merupakan karakter yang ditunggu-tunggu perilisannya sejak tahap Beta Testing.

Ia merupakan karakter Cryo yang memiliki damage yang tinggi, baik dari Elemental Skill maupun Burst-nya. Ia juga memiliki alternate sprint yang memudahkan pemain untuk melintasi permukaan air dan memudahkan eksplorasi.

Dengan penggunaan rotasi dan komposisi tim yang tepat, ia dapat mengalahkan semua musuh yang ada di hadapannya. Cara bermainnya pun relatif mudah, jika dibandingkan dengan karakter lainnya.

sumber: Genshin Impact

5.Bennet

Bennet sering disebut sebagai karakter bintang 6, karena kemampuan luar biasanya di dalam game. ia bisa mengisi berbagai role dan komposisi tim. Sampai saat ini belum ada yang dapat menggantikan karakter serbaguna ini.

Banyak hal yang ia bisa berikan, di antaranya adalah ia dapat memberikan tambahan ATK yang besar, memberikan heal yang tinggi, dapat menghasilkan partikel energi yang banyak, dapat mengakses Pyro Resonance, mudah di-build dan dimainkan, dan dapat meng-cleanse karakter.

Selain kemampuan yang ia miliki, Bennet merupakan karakter bintang 4. Hal ini membuatnya mudah didapatkan oleh para pemain, baik karakternya maupun konstelasinya. Yang perlu diperhatikan ialah, jangan sampai Anda tidak sengaja mengaktifkan C6 milik Bennet, karena akan mengacaukan berbagai komposisi tim.

sumber: Genshin Impact

6.Xingqiu

Sama seperti Bennet, Xingqiu juga memiliki value yang tinggi. Namun jika Bennet merupakan karakter utility yang kuat, maka Xingqiu unggul di bidangnya sebagai sub DPS.

Karakter bintang 4 ini tidak hanya kuat, namun sangat dibutuhkan banyak karakter DPS dari berbagai Elemen, khususnya karakter Pyro. Kemampuannya memberikan damage yang sangat tinggi dan juga kecepatannya dalam mengaplikasikan Hydro ke musuh, membuatnya tak tergantikan.

Memiliki Xingqiu di koleksi karakter Anda sangat krusial, karena ia memungkinkan pemain untuk bermain di berbagai komposisi tim seperti Vaporize, Freeze, Taser (Electro-Charged) dan masih banyak lagi.

Sayangnya, di Genshin Impact belum ada karakter yang seperti Xingqiu, menjadikannya aset berharga bila Anda suka bermain di banyak komposisi tim.

sumber: Genshin Impact

7.Xiangling

Benar, Anda tidak salah baca, saat ini Xiangling merupakan salah satu karakter terkuat di Genshin Impact, yang mampu bersaing dengan karakter lainnya. Xiangling dapat mengisi banyak role, mulai dari main DPS, sub DPS, enabler, dan support.

Sebagai DPS, damage yang ia hasilkan dari Elemental Burstnya tergolong tinggi. Seiring berjalannya waktu, Xiangling menjadi semakin kuat. Mulai dari artefak, karakter dan juga senjata baru yang dirilis di Genshin Impact, yang semakin memperkuat Xiangling.

Semua pemain Genshin Impact akan mendapatkan setidaknya satu Xiangling, saat mereka berhasil menyelesaikan Floor 3 di Spyral Abyss., menjadikannya salah satu karakter gratis di Genshin Impact. Sebagai karakter gratis yang dapat bersaing dengan karakter bintang 5, hal ini tentu menjadi kelebihan tersendiri bagi Xiangling.

sumber: Genshin Impact

8.Kaedehara Kazuha

Karakter selanjutnya yang akan dibahas adalah Kaedehara Kazuha, atau yang sering dipanggil Kazuha. Saat pertama kali dirilis, banyak yang menganggap remeh karakter ini, karena skillkit-nya yang mirip Sucrose. Tak sedikit pula yang menyebut Kazuha sebagai Sucrose bintang 5.

Namun seiring berjalannya waktu, Kazuha mulai dilirik. karena kemampuannya yang terkesan serupa namun tak sama dengan Sucrose. Ia dapat memberikan crowd control yang kuat dengan Elemental Skill-nya dengan damage tinggi dan cooldown yang rendah. Selain itu, ia dapat memberikan Elemental DMG Bonus ke berbagai elemen sekaligus, saat ia melakukan swirld terhadap elemen tersebut.

Selain kuat, ia juga mudah di-build. Ia sanggup masuk ke berbagai tim yang membutuhkan reaksi elemental, dan dapat bersaing dengan Venti dan Sucrose, yang merupakan karakter yang kuat di Genshin Impact.

sumber: Genshin Impact

9.Hu Tao

Hu Tao merupakan salah satu main DPS terkuat yang ada di Genshin Impact. Dengan memanfaatkan Vaporize, damage yang dihasilkan Hu Tao sangatlah besar. Ditambah lagi, dengan Elemental Burst-nya, ia dapat menghasilkan damage yang fantastis dalam waktu yang singkat, sembari memulihkan dirinya sendiri.

Cara bermain dan membangun Hu Tao juga tergolong unik. Ia akan membayar sebagian dari HP-nya, setiap kali ia mengaktifkan Elemental Skill. Hal ini membuat pemain butuh waktu untuk terbiasa bermain dengan darah sekarat. Ia akan mendapatkan damage ekstra, saat HP-nya di bawah 50%.

Untuk mendapatkan potensi maksimal, ia wajib dipasangkan dengan Xingqiu. Kekuatannya akan bertambah drastis, saat Hu Tao memegang senjata terbaiknya, Staff of Homa.

sumber: Genshin Impact

10.Ganyu

Jika sedang membahas DPS terkuat, maka Ganyu tidak boleh terlewatkan. Ganyu dapat menghasilkan damage yang besar, hanya dari Charged Attack-nya saja. Belum lagi ia didukung dengan Elemental Skill dan Burst-nya yang kuat. Ia mampu mengalahkan musuh di area yang luas dalam waktu yang singkat.

Selain damage yang kuat, Ganyu dapat mengakses berbagai tim. Ia juga dapat menjadi sub DPS, jika diperlukan. Yang perlu diperhatikan saat memakai Ganyu adalah saat Anda bermain Genshin Impact di mobile phone, karena butuh waktu untuk terbiasa dengan sistem aim-nya.

sumber: Genshin Impact

Itulah tadi kesepuluh karakter Genshin Impact terbaik ala Hybrid. Namun perlu diingat bahwa sekuat apapun sebuah karakter, apabila cara memakainya keliru, maka hasil yang diberikan juga tidak maksimal. Pada akhirnya semua tergantung di tangan pemain, yang mem-build karakter dan menahkodai perjalanannya di dunia Teyvat.


Hybrid.co.id hadir juga di berbagai media sosial. Temukan konten yang menarik di Instagram atau follow akun Twitter kami. Jangan lupa juga untuk Likes Fanpage Facebook Hybrid.

Harga Diri Gamers: Jadi Alasan untuk Lakukan Gatekeeping?

Dulu, jumlah gamers tidak sebanyak sekarang. Bermain game menjadi hobi bagi segelintir orang saja. Selain itu, dulu, gamers juga punya konotasi negatif. Sekarang, memang masih ada stigma buruk yang melekat pada game, tapi, semakin banyak orang yang sadar bahwa game tidak melulu membawa efek negatif. Game telah tumbuh menjadi industri yang nilainya mengalahkan industri perfilman dan musik. Industri game bahkan mendorong munculnya industri baru, seperti streaming game dan juga esports.

Namun, seiring dengan bertambahnya jumlah gamers, muncul segregasi. Biasanya, gamers dikelompokkan berdasarkan platform yang mereka gunakan — PC, konsol, atau mobile — atau berdasarkan dedikasi mereka saat mereka bermain game — kasual atau hardcore. Mengelompokkan gamers berdasarkan preferensi mereka sebenarnya bukan masalah. Hanya saja, ketika sebagian gamers mulai membatasi sebagian orang untuk bergabung dengan komunitas game, hal inilah yang menjadi masalah.

Gatekeeping: Definisi dan Penyebab

Mencegah seseorang atau sekelompok orang untuk mendapatkan akses akan sesuatu, begitulah pengertian gatekeeping secara sederhana. Sebenarnya, gatekeeping tidak hanya terjadi di industri game. Namun, karena Hybrid.co.id adalah media yang membahas soal game dan esports, artikel ini hanya akan membahas tentang fenomena gatekeeping di dunia game.

Lalu, bagaimana cara seorang gatekeeper mencegah orang lain untuk masuk ke dunia game? Memang, siapapun bisa membeli game dan memainkannya. Namun, gatekeepers punya cara untuk mencegah seseorang atau sekelompok orang untuk masuk ke dunia game.

Salah satu caranya adalah harassment. Misalnya, stereotipe gamers adalah laki-laki muda. Jadi, orang-orang yang tidak masuk dalam kategori ini bisa jadi korban dari harassment. Gangguan itu bisa membuat seseorang berhenti main game atau enggan untuk ikut aktif dalam komunitas.Berdasarkan riset yang dilakukan oleh Reach3 Insights dan Lenovo, 59% perempuan merahasiakan gender mereka untuk menghindari harassment. Gender tidak selalu menjadi pemicu dari harassment. Terkadang, pemicunya adalah ras dan warna kulit.

Contoh harassment yang ditujukan pada perempuan. | Sumber: HuffPost

Menurut IGN, biasanya gatekeepers punya alasan kenapa mereka mencegah kelompok tertentu untuk masuk ke komunitasnya. Salah satu alsaannya adalah karena mereka menganggap komunitas gaming sebagai “safe space” mereka. Dan ketika ada orang lain di luar kelompoknya — alias outsider — mencoba untuk masuk, mereka menganggap hal itu sebagai ancaman akan ruang yang dia miliki. Apalagi karena dulu, gamers sering mendapat cap buruk.

Sementara itu, menurut Kotaku, harga diri bisa jadi awal dari gatekeeping. Banyak gamers yang merasa bangga menjadi gamers. Dengan mengklaim diri sebagai gamers, mereka ingin agar orang lain tahu akan kecintaan mereka pada game dan menghargai identitas mereka sebagai gamers. Masalah muncul ketika gamers mengelompokkan orang-orang berdasarkan apakah mereka bermain game atau tidak, yang menciptakan pertikaian antara “kita” dan “mereka”.

Di satu sisi, membuat komunitas eksklusif untuk gamers ini bisa mempererat hubungan antara para gamers. Karena, mereka akan merasa seolah-olah mereka ada di komunitas yang memiliki pemikiran yang serupa. Di sisi lain, pengelompokkan gamers dan non-gamers ini bisa membuat gamers secara otomatis mengasingkan orang-orang yang dianggap bukan bagian dari kelompok mereka.

Masalah menjadi semakin keruh ketika industri game tumbuh pesat dan jumlah gamers meroket. Orang-orang tidak lagi dikelompokkan berdasarkan apakah mereka bermain game atau tidak, tapi juga berdasarkan platform yang mereka gunakan atau genre yang mereka mainkan. Sebagian gamers akan dianggap “gamers sejati”, sementara yang lain tidak. Sebagian akan menjadi bagian dari kelompok, dan sebagian lagi tidak. Dan orang-orang yang bukan bagian dari kelompok akan diasingkan — atau didiskriminasi.

Dampak Gatekeeping

Salah satu masalah yang muncul karena gatekeeping adalah diskriminasi. Pada awalnya, game merupakan media hiburan yang ditujukan untuk laki-laki. Hal ini bisa terlihat dari tipe-tipe game yang muncul pada awal industri game. Namun, sekarang, jumlah gamers tidak hanya bertambah pesat, tapi juga menjadi semakin beragam. Di Asia, sekitar 38% gamers merupakan perempuan. Sayangnya, meningkatnya jumlah gamers perempuan tidak menjadi jaminan bahwa mereka akan diperlakukan dengan baik. Banyak gamers perempuan yang mengalami diskrimasi berdasarkan gender.

Selain diskriminasi, masalah lain yang mungkin muncul karena gatekeeping adalah ableism. Masalah ini muncul ketika sekelompok gamers memandang rendah orang-orang yang bermain game dengan mode easy. Memang, tidak semua game harus punya easy mode. Beberapa game memang didesain untuk menawarkan tantangan, seperti Dark Souls. Meskipun begitu, hal itu bukan berarti bahwa para gamers yang memainkan game kasual atau bermain game di easy mode pantas untuk dihina dan direndahkan.

Kabar baiknya, sekarang, developer mulai memperhatikan masalah accessibility dari game mereka. Sehingga, penyandang disabilitas pun tetap bisa memainkan game tersebut. Salah satu contoh fitur accessibility yang ada pada game adalah fitur text-to-speech atau pengaturan warna bagi penyandang buta warna, lapor TechRadar. Difficulty settings juga merupakan bagian dari fitur accessibility dalam sebuah game, karena keberadaannya membuat semakin banyak orang bisa memainkan game itu.

Terakhir, masalah terbesar yang bisa muncul akibat gatekeeping adalah mematikan kreativitas pelaku industri game. Tujuan utama dari gatekeeping adalah mencegah sekelompok orang memasuki dunia game. Jadi, hanya orang-orang tertentu saja yang bisa ikut aktif dalam komunitas game. Pada akhirnya,  komunitas game menjadi homogen, karena hanya terdiri dari orang-orang yang berasal satu kelompok saja. Padahal, keberagaman justru bisa menguntungkan ekosistem game. Seperti yang disebutkan oleh Kotaku, tanpa ide baru yang berbeda di dunia game, maka game sebagai media hiburan akan menjadi stagnan dan akhirnya, mati.

Sumber header: InvenGlobal

Indonesia Jadi Pasar Game Mobile Terbesar Kedelapan, Menurut Laporan Ini

Pada 2021, nilai industri mobile game akan naik 4,4% dari tahun lalu. Angka pertumbuhan industri mobile game tahun ini memang lebih kecil Jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan tahunan (CAGR) pada periode 2019-2024, yang mencapai 11%. Diperkirakan, hal itu terjadi karena pada 2020, industri mobile game berkembang sangat pesat berkat pandemi. Jadi, tahun ini, pertumbuhan industri mobile game tidak terlalu signifikan.

Selain itu, pada tahun 2021, developer mobile games juga harus menyesuaikan diri dengan regulasi privasi yang lebih ketat dari Apple dan Google. Padahal, salah satu kunci kesuksesan developer mobile game adalah kemampuan mereka untuk menargetkan audiens berdasarkan data yang mereka dapat dari pelacakan konsumen.

Berikut laporan terbaru terkait industri mobile game dari Newzoo.

Nilai Industri Mobile Game

Menurut data dari Newzoo, nilai industri game mobile pada 2021 akan mencapai US$90,7 miliar. Namun, angka itu hanya mencakup total belanja konsumen, tanpa menghitung pemasukan dari iklan. App Store masih menjadi kontributor terbesar. Sekitar US$41,1 miliar atau 45,3% dari total pemasukan industri mobile game berasal dari App Store. Sementara itu, Google Play menyumbangkan US$28,2 miliar atau sekitar 31,1% dari total pemasukan industri mobile game. Sekitar 23,% sisanya, senilai US$21,3 miliar, berasal dari toko aplikasi pihak ketiga. Laju pertumbuhan industri mobile game pada 2019-2024 adalah 11,2%. Jadi, pada 2024, industri mobile game diperkirakan akan bernilai US$116,4 miliar.

Pemasukan industri mobile game dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo

Tiongkok masih menjadi negara dengan industri mobile game terbesar. Nilai industri mobile game di negara itu mencapai US$31,4 miliar. Sementara itu, peringkat dua dipegang oleh Amerika Serikat, dengan industri mobile game bernilai US$14,8 miliar, diikuti oleh Jepang (US$12,4 miliar).

Posisi ke-4 diisi oleh Korea Selatan dengan pemasukan industri mobile game sebesar US$4,2 miliar dan posisi ke-5 oleh India, dengan nilai industri mobile game US$2,2 miliar. Indonesia ada di posisi ke-8 dengan nilai industri mobile game US$1,5 miliar. Di Indonesia, sebanyak US$1,3 miliar pemasukan industri mobile game berasal dari Google Play. App Store hanya menyumbangkan US$210 juta dan toko aplikasi pihak ketiga US$35,8 juta.

Daftar 10 negara dengan industri mobile game terbesar. | Sumber: Newzoo

Salah satu hal yang mendorong pertumbuhan industri mobile game adalah meningkatnya jumlah pengguna smartphone di dunia. Semakin banyak orang yang menggunakan smartphone, semakin besar pula pasar mobile game. Selama periode 2019-2024, laju pertumbuhan rata-rata (CAGR) dari jumlah pengguna smartphone di dunia adalah 6,1%. Pada 2021, diperkirakan, jumlah pengguna smartphone di dunia akan mencapai 3,9 miliar orang, naik 6,1% dari tahun lalu. Sementara pada 2024, jumlah pengguna smartphone diduga akan mencapai 4,5 miliar orang.

Pada tahun 2021, jumlah pengguna smartphone yang sudah bisa menggunakan jaringan 5G (5G-Ready) juga naik. Sebanyak 703,5 juta smartphone — atau sekitar 15,4% dari total jumlah smartphone — sudah 5G-Ready. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, jumlah smartphone 5G-Ready tahun ini naik 230,9%. Ke depan, jumlah smartphone yang bisa mengakses 5G diperkirakan akan masih bertambah. Dengan CAGR sebesar 83,4% pada periode 2020-2024, jumlah pengguna smartphone 5G-Ready pada 2024 diperkirakan akan mencapai 2,4 miliar unit atau sekitar 45,4% dari jumlah total smartphone di dunia.

Dampak Pengetatan Regulasi Privasi dari Apple dan Google

Tahun ini, Google dan Apple memperketat peraturan terkait data pengguna. Pada April 2021, Apple meluncurkan framework bernama App Tracking Transparency (ATT) sebagai bagian dari update iOS 14.5. Dengan adanya ATT, developer aplikasi tidak bisa melacak data pengguna iOS. Jika pengguna iOS rela datanya dilacak, mereka harus memberikan izin secara manual.

Menurut Fyber, aplikasi yang mengkhususkan diri pada monetisasi, sebanyak 85% pengguna iOS telah menggunakan versi 14.5 atau yang lebih baru. Namun, pada pertengahan September 2021, hanya 17% pengguna iOS yang setuju untuk membiarkan datanya dilacak. Hal ini menunjukkan, ATT akan membuat developer semakin kesulitan untuk mendapatkan data pengguna.

Salah satu dampak peluncuran ATT adalah para pengiklan mengurangi dana marketing mereka di iOS. Sebagai gantinya, mereka mengalihkan dana tersebut ke Android. Meskipun begitu, Newzoo menyebutkan, besar total dana marketing yang dikeluarkan untuk iOS tetap signifikan. Tak hanya itu, jumlah spending marketing untuk iOS juga masih menunjukkan tren naik, walau tingkat pertumbuhannya tidak sebesar Android.

Dengan ATT, pengguna harus memberikan izin secara manual bagi aplikasi untuk melacak data mereka.

CRO dan Global Head of Revenue Operations, Fyber, David Simon mengatakan bahwa peluncuran framework ATT dari Apple mengharuskan industri mobile game untuk beradaptasi. “Privasi konsumen akan menjadi lebih terjaga. Namun, mobile marketing menjadi semakin sulit,” ujarnya. “Begitulah kenyataannya. Baik developer aplikasi maupun pengiklan sebaiknya mengubah pola pikir mereka dan mencoba untuk memahami audiens mereka tanpa harus mengetahui informasi pribadi para konsumen.”

Bagi developer mobile game, ungkap Simon, hal ini berarti mereka harus bisa menggunakan data yang mereka punya dengan lebih baik. Karena, selama ini, developer mobile game menggantungkan diri pada insight yang mereka dapat dari melacak data konsumen. Jadi, di masa depan, salah satu tren yang akan muncul adalah perushaan-perusahaan mobile game akan fokus untuk mengembangkan jaringan iklan internal mereka sendiri. Dengan begitu, perusahaan mobile game akan bisa mempromosikan game yang mereka buat di dalam game mereka yang lain.

Contoh iklan mobile game. | Sumber: Android Central

“Publisher akan fokus untuk membuat teknologi iklan internal agar mereka bisa memanfaatkan data yang mereka punya untuk mempromosikan game mereka di game-game mereka yang lain,” ujar Tianyu Gu, analis Newzoo, seperti dikutip dari VentureBeat. “Dengan begitu, publisher akan bisa mempertahankan user base mereka agar para pemain tidak keluar dari ekosistem mereka. Pada saat yang sama, mereka tetap akan mematuhi peraturan baru dari Google dan Apple.”

Pada tahun ini, tren lain yang muncul di industri mobile game adalah model monetisasi hybrid-casual. Sebenarnya, tren ini telah muncul sejak industri hypercasual game menjadi terlalu ramai. Demi menghadapi kompetisi yang semakin ketat, game hypercasual tidak lagi bisa menggantungkan diri pada model monetisasi iklan sepenuhnya. Jadi, selain memasang iklan pada game, developer hypercasual game juga harus menambahkan opsi in-app purchase atau bahkan subscription. Mengingat sekarang melacak data pengguna menjadi semakin sulit — yang juga akan mempersulit targeted marketing — maka kemungkinan besar, di masa depan, jumlah developre hypercasual game yang menggunakan model monetisasi hibrida akan bertambah.

Sumber header: Sensor Tower

Teknologi di Esports dan Olahraga: Cheat dan Regulasi

Bidang sports engineering terbukti bisa menghasilkan peralatan yang dapat meningkatkan performa atlet olahraga tradisional. Seiring dengan semakin populernya esports, maka semakin banyak pula perusahaan yang tertarik untuk membuat peralatan bagi para gamers profesional. Dan perangkat itu tidak terbatas pada smartphone, mouse, keyboard, atau peripheral elektronik lainnya, tapi juga kursi gaming, sepatu gaming, smartwatch, dan perangkat yang bisa dikenakan lainnya.

Perusahaan sepatu ternama — seperti Nike, Puma, dan adidas — juga pernah membuat sepatu untuk gamers. Seperti Air Jordan 1 Zoom dari Nike atau X9000 dari adidas. Puma bahkan meluncurkan “Active Gaming Footwear”, kaos kaki yang diklaim bisa memberikan kenyamanan yang diperlukan oleh gamers profesional. Dan tampaknya, di masa depan, akan ada semakin banyak produk yang ditujukan untuk gamers atau atlet esports profesional.

Adakah Regulasi untuk Peralatan yang Digunakan oleh Pemain?

Fairness adalah bagian penting dari kompetisi olahraga, tidak terkecuali esports. Karena itu, penyelenggara turnamen atau game esports biasanya akan membuat regulasi terkait peralatan yang boleh digunakan oleh para peserta. PUBG Mobile adalah salah satu game yang tidak hanya mengatur peralatan yang bisa digunakan oleh pemain, tapi juga regulasi terkait seragam yang dikenakan oleh peserta.

Dalam PUBG Mobile Rulebook V1.2.1 yang dirilis pada Juni 2021, disebutkan bahwa semua pemain yang ikut serta dalam kompetisi hanya boleh menggunakan perangkat berbasis Android dan iOS. Untuk PUBG Mobile Pro League (PMPL) Indonesia Season 4, bahkan sudah ada smartphone resmi yang digunakan, yaitu realme GT Master Edition. Selain itu, peserta juga tidak boleh menggunakan aksesori tanpa izin dari pihak penyelenggara turnamen. Contoh aksesori yang disebutkan dalam buku regulasi itu adalah adapter, controllers, keyboard Bluetooth, dan mouse.

PUBG Mobile punya rulebook tersendiri.

Rulebook PUBG Mobile juga membahas tentang pakaian yang boleh dikenakan oleh para peserta kompetisi. Di buku itu, tertulis bahwa semua anggota tim esports yang bertanding harus menggunakan seragam tim, yang terdiri dari jersey, jaket, topi, dan celana. Khusus untuk jaket dan topi, pemain dibebaskan untuk mengenakan atau melepasnya sepanjang turnamen. Di PUBG Mobile Rulebook, juga disebutkan bahwa pihak penyelenggara punya hak untuk melarang peserta menggunakan pakaian tertentu jika pakaian itu melanggar Regulasi Umum.

Selama kompetisi, peserta juga diharuskan untuk mengenakan celana panjang dan sepatu. Avatar pemain dalam game juga diwajibkan untuk mengenakan pakaian. Pemain juga dilarang untuk mengganti pakaian dari avatar mereka, demi kepentingan estetika atau comic effect. Sementara itu, pelatih tim diharuskan mengenakan pakaian resmi.

Terkait smartphone yang digunakan dalam kompetisi esports, Herry Wijaya, Head of Operation Mineski Global Indonesia mengatakan, dua hal yang harus diperhatikan daalah touchscreen dan WiFi.

“Dulu, ada banyak smartphone yang touchscreen-nya tidak bisa sensitif saat digunakan dengan lebih dari dua jari. Sekarang, kebanyakan sudah responsif bahkan dengan lebih dari tiga jari,” ujar Herry saat dihubungi oleh Hybrid. Sementara untuk masalah WiFi, yang harus diperhatikan adalah apakah performa smartphone akan mengalami penurunan ketika ia terhubung ke WiFi serta charger secara bersamaan. Herry mengaku, Mineski biasanya akan menguji smartphone yang akan digunakan di kompetisi, untuk memastikan ponsel itu memang punya performa yang mumpuni.

Di sisi tim esports, ketika ditanya tentang smartphone yang digunakan oleh tim RRQ, CEO Andrian Pauline alias AP mengungkap bahwa mereka selalu menggunakan smartphone yang disarankan oleh publisher game. Alasannya adalah agar pemain sudah terbiasa menggunakan smartphone itu. Sehingga mereka tidak kagok ketika bertanding di kompetisi resmi.

Sekarang, mari beralih ke skena fighting game. Jika dibandingkan dengan mobile esports, fighting game menawarkan opsi perangkat yang lebih beragam, mulai dari gamepad, arcade stick, sampai hit box. Faktanya, komunitas fighting game sempat terbelah menjadi dua: kubu arcade stick dan kubu gamepad. Hybrid pernah membahas tentang perbedaan antara keduanya di sini.

Pada September 2019, EVO — turnamen fighting game terbesar di dunia — mengeluarkan peraturan terkait controllers yang bisa digunakan oleh para peserta. Mereka membuat regulasi ini sebagai jawaban dari banyak pertanyaan terkait controller dan modifikasi yang dibolehkan dalam kompetisi resmi. Pertanyaan itu datang dari peserta dan manufaktur controllers.

“Para pemain tidak tahu controllers apa yang boleh digunakan di turnamen, sehingga mereka memilih untuk menggunakan gamepad dan fightstick tradisional. Hal ini membatsi opsi controller yang bisa dipilih oleh pemain, membuka kemungkinan bahwa pemain tidak memilih controller yang paling sesuai dengan gaya mereka,” tulis EVO dalam Google Docs. “Manufaktur controllers juga menjadi bimbang apakah produk mereka bisa digunakan di turnamen resmi, yang bisa menghambat inovasi. Untuk menjawab ketidakpastian ini, EVO telah membuat peraturan terkait controller buatan pihak ketiga.”

Secara garis besar, ada tiga peraturan yang EVO tetapkan. Pertama, satu mekanisme input dalam controller tidak boleh mengaktifkan beberapa input sekaligus. Pengecualian dari aturan ini adalah input arah (atas, bawah, kiri, dan kanan). EVO membolehkan penggunaan lever yang bisa memasukkan input Bawah+Kanan sekaligus. Namun, EVO melarang penggunaan tombol dengan makro yang bisa mengaktifkan sekumpulan input dalam game. Selain itu, penggunaan tombol analog yang bisa memasukkan input A atau input B — tergantung pada seberapa keras tombol itu ditekan — juga dilarang.

Peraturan kedua, controller bisa mengirimkan input game dari mekanisme input analog atau digital, selama ia tidak melanggar peraturan pertama. Peraturan terakhir, controller tidak boleh memasukkan input arah yang berlawanan secara bersamaan (Simultaneous Opposite Cardinal Direction alias SOCD), seperti Atas+Bawah atau Kanan+Kiri. Ketika EVO mengumumkan akan regulasi itu, penggunaan PlayStation 4 DualShock masih diizinkan. Karena, controller itu dianggap sebagai controller standar dan tidak punya fitur ekstra. Namun, peraturan itu ditinjau ulang pada 31 April 2021, seperti yang disebutkan oleh Dot Esports.

Sebagai penyelenggara turnamen esports, ESL juga punya peraturan sendiri. ESL tetap membuat sejumlah regulasi, bahkan ketika mereka menggelar turnamen dari game yang sudah punya rulebook sendiri, seperti PUBG Mobile. Biasanya, peraturan yang ditetapkan oleh ESL akan disesuaikan dengan game yang diadu. Namun, memang, mereka tidak membuat peraturan spesifik tentang aksesori atau pakaian yang digunakan oleh pemain. ESL hanya menegaskan, jika ada pemain yang ketahuan berbuat curang, maka dia akan dikenakan sanksi dan akan secara otomatis dikeluarkan dari turnamen.

Contoh Aksesori di Dunia Esports

Herry bercerita, saat ini, kebanyakan aksesori yang digunakan oleh pemain esports mobile adalah in-ear earphone. Memang, sudah muncul berbagai aksesori wearable, seperti gaming gloves. Namun, kebanyakan — jika tidak semua — pemain profesional di Indonesia bermain tanpa bantuan aksesori tersebut. Karena itu, tidak heran jika belum ada regulasi yang mengatur tentang penggunaan gaming gloves atau aksesori wearable lainnya. Ke depan, apakah aksesori seperti gaming gloves boleh digunakan, Mineski akan menyerahkannya pada pihak publisher.

Pendiri dan CEO BOOM Esports, Gary Ongko Putera mengatakan, peripheral seperti mouse, headphone, atau keyboard memang punya pengaruh pada performa pemain game esports PC. Alasannya karena aksesori yang digunakan akan mempengaruhi pada kenyamanan dan response time dari para pemain. Namun, sekarang, peralatan yang bisa digunakan oleh pemain esports tak terbatas pada aksesori untuk smartphone, PC, atau konsol saja. Aksesori seperti compression sleeves, sarung tangan, dan celana pun mulai bermunculan.

POINT3 adalah salah satu perusahaan apparel yang membuat pakaian untuk gamers. Mereka bahkan punya gaming collection yang dibuat menggunakan DRYV, teknologi manajemen keringat yang sudah dipatenkan. Sebelum membuat koleksi pakaian untuk gamers, POINT3 telah membuat pakaian untuk atlet olahraga tradisional.

Celana POINT3 yang bisa menyerap keringat. | Sumber: Inven Global

Michael Luscher, pendiri dan CEO POINT3 mengatakan bahwa setelah memperhatikan komunitas esports, POINT3 menemukan, atlet esports membutuhkan pakaian yang nyaman dan menghilangkan segala gangguan. Tangan yang berkeringat adalah masalah yang ingin POINT3 selesaikan dengan pakaian berteknologi DRYV mereka. Pada 2020, mereka sempat mengirimkan contoh produk ke para influencers di industri esports. Hal ini berujung pada kontrak endorsement antara POINT3 dan Nidal “MamaImDatMan” Nasser, pemain NBA2K League, menurut laporan Inven Global.

Nasser bercerita, tangannya sering berkeringat saat menggenggam controllers. Saat mengenakan celana dari POINT3, dia bisa dengan mudah mengelap keringat itu di celananya. “Sejujurnya, pada awalnya, saya juga skeptis,” kata Nasser, seperti dikutip dari Washington Post. “Tapi, semakin sering saya mengenakan celana ini, semakin saya sadar bahwa saya mengelap tangan saya ke celana ini setiap hari.”

Luscher merasa, saat ini, memang belum banyak inovasi yang ada untuk membuat “performance wear” — pakaian yang diklaim bisa meningkatkan performa atlet — untuk bidang esports. Namun, dia percaya, pasar performance wear untuk esports masih akan berkembang dalam beberapa tahun ke depan. Gamers akan memiliki peran penting dalam mendorong pertumbuhan pasar tersebut.

Selain Nasser, sejumlah pemain esports profesional lain mengatakan bahwa memang ada pakaian yang membuat mereka merasa nyaman dan meningkatkan performa mereka, walau sedikit. Ialah Audric “JaCkz” Jug, pemain Counter-Strike: Global Offensive untuk G2 Esports. Dia mengatakan, compression sleeves adalah hal wajib untuk pemain game esports PC yang sering mengistirahatkan lengan mereka di meja.

“Fungsi compression sleeves adalah untuk mengurangi gesekan,” kata Jug. “Lengan saya terkadang menempel ke permukaan meja. Saya tidak perlu mengkhawatirkan hal itu ketika saya menggunakan compression sleeve.” Jug mengaku bahwa dia tidak disponsori oleh perusahaan manufaktur compression sleeves. Namun, dia telah menggunakan compression sleeves selama bertahun-tahun. Belakangan, dia menyadari bahwa semakin banyak pemain profesional yang mengenakan compression sleeves. Dia memperkirakan, ada setidaknya satu atau dua pemain dari setiap tim yang dia lawan yang mengenakan compression sleeve atau gaming gloves.

Atlet esports lain yang mengenakan compression sleeves adalah Mohamed “Revenge” Kaddoura, pemain League of Legends untuk Immortals. Tim esports itu punya kerja sama dengan POINT3. Biasanya, Kaddoura menggunakan compression sleeve dan sweater dari POINT3. Salah satu keunggulan sweater POINT3 adalah karena ia terbuat dari bahan yang menyerap keringat. Kaddoura mengungkap, dia mengenakan compression sleeve dan sweater demi kenyamanan. Dia ingin memastikan bahwa dia tidak merasa kedinginan ketika bertanding di arena esports, yang biasanya memang bersuhu rendah.

Tak hanya performance wear, sekarang, juga ada smartwatch khusus untuk gamers, seperti Garmin Instinct Esports Edition. Dalam Instinct Esports Edition, Garmin mencoba untuk menggabungkan fitur-fitur karakteristi smartwatch — seperti GPS dan fitur pelacak kesehatan — dengan tools untuk streamers dan pemain profesional. Salah satu fitur yang ada di Instinct Esports Edition adalah tracker kegiatan esports. Fitur ini memungkinkan Instinct untuk melacak detak jantung pengguna layaknya ketika dia berolahraga. Dari detak jantung pengguna, smartwatch itu akan menunjukkan indeks stres pengguna.

Garmin Instinct Esports Edition.

Menurut The Gamer, data dari Instinct Esports Edition bisa membantu para pelatih atau bahkan pemain profesional sendiri tentang bagaimana stres mempengaruhi performa gaming seseorang. Setelah mengetahui informasi ini, pemain atau pelatih diharapkan akan bisa menemukan cara untuk mengatur stres. Fitur lain yang ada di Instinct Esports Edition adalah STR3AMUP, yang memungkinkan pengguna untuk melihat data yang dilacak oleh smartwatch di PC secara langsung. Sehingga, pengguna bisa langsung mengetahui kapan dia mulai merasa stres, yang bisa terlihat dari detak jantungnya.

Ketika ditanya apakah wearable seperti smartwatch akan bisa mempengaruhi performa pemain, Gary mengaku sangsi. “Memang ada waktu untuk lihat jam saat main? Saya rasa, fungsinya lebih ke arah kesehatan saja deh,” ujarnya.

Sementara itu, AP mengatakan bahwa untuk para pemain mobile esports, belum diketahui apakah aksesori seperti sarung tangan bisa meningkatkan performa atlet esports. “Earphone-pun, beberapa pemain pakai, dan beberapa tidak,” katanya. “Untuk lebih tepatnya, belum ada studi khusus sih… Masih di-explore.” Lebih lanjut dia menyebutkan, saat ini, dia belum ada percobaan yang menunjukkan apakah wearable seperti smartwatch memang akan bisa membantu pemain untuk bermain dengan lebih baik.

Chuck Tholl adalah seorang Research Associate di German Sport University Cologne. Selama enam tahun terakhir, dia dan timnya meneliti tentang beban mental dan fisik yang dihadapi oleh para atlet esports. Mereka juga berusaha untuk mengembangkan program pelatihan dan pemulihan bagi pemain profesional yang cedera.

Tholl mengaku tidak heran jika nantinya, semakin banyak performance wear yang muncul untuk pemain esports. Dia berkata, sekarang, memang semakin banyak tim esports profesional yang memperlakukan para pemain layaknya atlet tradisional. Tim-tim tersebut tidak hanya mempekerjakan psikologis, tapi juga ahli nutrisi. Jadi, menurutnya, kemunculan produk performance wear adalah langkah berikutnya.

Meskipun begitu, Tholl juga mengakui bahwa, saat ini, masih belum diketahui apakah performance wear memang akan dapat meningkatkan performa pemain profesional. Satu hal yang pasti, dia menyebutkan, produk performance wear setidaknya bisa memberikan dampak psikologis positif.

Compression sleeves dari ASUS ROG. | Sumber: ASUS

“Sekarang, belum ada bukti fisik yang menunjukkan bahwa produk-produk itu — seperti compression sleeves dan lain sebagainya — memang bisa meningkatkan performa pemain,” ujar Tholl. “Tapi, efek placebo sering kita bahas. Jika Anda pikir produk itu bisa membantu Anda, bisa jadi, kepercayaan itu bisa menjadi nyata. Mengenakan pakaian tertentu bisa membantu Anda menjadi lebih fokus.”

Di dunia kesehatan, placebo effect didefinisikan sebagai efek semu ketika seseorang mengonsumsi “obat palsu”. Jadi, walau seseorang mengonsumsi obat kosong (tanpa zat aktif tertentu), otaknya akan meyakinkan tubuh bahwa dia telah mendapatkan pengobatan sehingga tubuh akan terpicu untuk melakukan proses penyembuhan.

Placebo effect bukan sekadar berpikir positif bahwa sebuah metode pengobatan akan bekerja,” kata Ted Kaptchuk dari Beth Israel Deaconess Medical Center, seperti dikutip dari blog Harvard. “Placebo effect adalah upaya untuk membuat ikatan yang lebih kuat antara tubuh dan pikiran.”

Terlepas dari apakah aksesori wearable bisa memberikan efek placebo, Herry mengatakan, fairness tetap menjadi hal yang paling harus diperhatikan oleh pihak penyelenggara turnamen. Dia menambahkan, jika penyelenggara turnamen ingin memperbolehkan penggunaan aksesori/alat bantu seperti gaming gloves dan compression sleeves, maka ada dua hal yang harus dipastikan. Pertama, aksesori tidak meningkatkan performa pemain secara signifikan. Kedua, semua pemain bisa menggunakan aksesori itu, untuk memastikan pertandingan tetap berjalan dengan adil.

Teknologi Majukan Olahraga Tradisional, Juga Bakal Terjadi di Esports?

Seiring dengan berjalannya waktu, industri olahraga terus berubah. Pada awalnya, raket tennis terbuat dari kayu. Kemudian, raket metal mulai populer untuk digunakan pada 1970-an. Setelah itu, material baru digunakan untuk membuat raket tennis, seperti aluminium dan graphite. Perubahan material ini membuat raket tennis menjadi lebih ringan.

Tak hanya material, desain raket tennis juga mengalami perubahan. Sekarang, bagian kepala raket menjadi lebih besar. Dalam sebuah video, Sports Engineering Research Group menjelaskan bagaimana raket dengan ukuran kepala yang lebih besar akan meningkatkan momen inersia. Dengan begitu, ketika raket digunakan untuk memukul bola, rotasi yang terjadi pada raket bisa diminalisir. Hal ini memungkinkan petenis untuk mengarahkan bola yang dia pukul.

Teknologi juga bisa meningkatkan performa atlet olahraga tradisional. Faktanya, sports engineering merupakan jurusan yang mengkhususkan diri untuk mengaplikasikan bagian teknis dari matematika dan fisika untuk memecahkan masalah di dunia olahraga. Masalah yang sports engineering coba pecahkan  beragam, mulai dari desain peralatan olahraga, memastikan keamanan atlet di olahhraga berbahaya, regulasi standar, sampai menganalisa performa atlet.

Salah satu manfaat sports engineering adalah kemunculan peralatan olahraga yang bisa meningkatkan performa atlet. Contohnya adalah baju renang polyutherane. Material polyutherane bersifat hidophobic, sehingga pemakainya bisa mengapung lebih tinggi. Jika atlet renang bisa mengapung lebih tinggi, dia akan bisa meminimalisir resistensi yang dia hadapi. Alhasil, perenang yang mengenakan baju renang polyutherane bisa berenang dengan lebih cepat. Inovasi baju renang polyutherane sukses meramaikan dunia renang. Buktinya, setelah atlet renang mulai menggunakan baju renang dari polyutherane, banyak rekor baru di dunia renang. Pada World Swimming Championship 2009 saja, ada 20 rekor dunia di olahraga renang yang dipecahkan.

Hanya saja, baju renang polyutherane mahal (US$500 per baju renang) dan hanya bisa digunakan beberapa kali. Jadi, tidak semua atlet renang bisa menggunakannya. Hal ini berujung pada larangan untuk menggunakan baju renang polyutherane pada 2009. Karena, pakaian renang tersebut bisa meningkatkan performa atlet secara signifikan. Dan hal ini dianggap membuat pertandingan menjadi tidak adil bagi atlet yang tidak bisa menggunakan baju renang polyutherane.

Baju renang polyutherane. | Sumber: Deutsche Welle

Dua contoh di atas menunjukkan bagaimana peralatan yang digunakan oleh atlet olahraga tradisional bisa berubah seiring dengan waktu. Dan teknologi yang dipakai pada peralatan atlet bisa mempengaruhi performa mereka. Saat ini, industri esports masih sangat muda. Ada beberapa hal yang industri esports tiru dari industri olahraga tradisional, seperti kompetisi franchise dan format kompetisi home-away. Ke depan, tidak tertutup kemungkinan, esports akan meniru bagian lain dari olahraga. Misalnya, penggunaan performance wear oleh atlet esports.

Namun, Herry percaya, esports tidak bisa dibandingkan begitu saja dengan olahraga tradisional. Menurutnya, keberadaan mobile esports hanya akan mendorong perkembangan teknologi smartphone. Pasalnya, smartphone adalah satu-satunya perangkat yang diperlukan untuk memainkan mobile game. Dan saat bermain mobile game, atlet esports hanya perlu menggunakan tangan dan jari. Jadi, para pemain profesional tidak membutuhkan boost dalam kekuatan fisik.

“Anggap saja esports seperti catur. Keduanya tidak menggunakan equipment yang bakal mempengaruhi fisik peserta,” kata Herry. “Berbeda dengan olahraga tradisional, yang memang sangat mengutamakan kekuatan fisik. Misalnya, basket. Kalau pemain basket memang perlu peralatan yang bisa mendorong performa, seperti sepatu.”

Kesimpulan

Esports memang tengah naik daun. Sekarang, esports juga semakin diakui oleh masyarakat. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa industri esports masih muda. Banyak pelaku esports yang masih melakukan “coba-coba”. Mengingat esports punya kesamaan dengan industri olahraga, tidak heran jika sebagian pelaku esports memutuskan untuk meniru beberapa aspek dalam dunia olahraga. Misalnya, format kompetisi.

Sekarang, teknologi merupakan bagian penting bagi olahraga tradisional. Sports engineering sukses mendorong para atlet kelas dunia untuk memberikan performa yang lebih baik. Seiring dengan meningkatnya popularitas esports, mulai bermunculan peralatan dan aksesori yang dibuat untuk meningkatkan performa gamers atau pemain esports.

Saat ini, memang masih belum ada studi yang menunjukkan apakah performance wear untuk gaming dan esports bisa meningkatkan performa penggunanya. Namun, di level global, jumlah pemain profesional yang mengenakan performance wear mulai bertambah. Jadi, tidak tertutup kemungkinan, di masa depan, pasar performance wear untuk gamers dan atlet esports memang akan menjadi semakin besar.

Sumber header: Trend Hunter

Naming Rights Agreements in Esports

In recent years, more and more non-endemic brands have decided to support esports players and esports organizations. One of the perks the esports sponsors usually receive is the installation of the company logo or name on the pro jersey. 

Unfortunately, broadcasting esports matches is vastly different from traditional sports competitions. When you watch sports broadcasts, you can clearly observe the athletes and their jerseys. However, most esports matches usually only show in-game events, which of course does not include the player. Players are rarely highlighted, and so their jerseys are also not often displayed. To work around this problem, most companies looking to sponsor an esports team opt to use naming sponsorships. As a result, the company’s name will be integrated and clearly displayed in the team name.

The History of Naming Rights Contracts in Esports

By 2020, the esports industry’s revenue is estimated to be nearly $1 billion USD. Sponsorships and media rights contribute to almost 75% of this total revenue. Furthermore, for most esports organizations, sponsors often contribute to almost all of their income and finances. According to Gaming Street, on average, about 90% of an esports organization’s total revenue comes from sponsorships.

Of course, all these sponsoring companies have their own set of goals they want to achieve from the collaboration. Based on the study called Sponsorship in Esports, most companies that sponsor esports organizations usually seek long-term goals such as building a reputation among esports fans. Short-term goals like increasing sales are usually not the primary motive behind these esports sponsors.

Indeed, being an esports sponsor will boost their popularity among the millennials and Gen Z, which are the large majority of the demographic of esports followers. According to another study titled Sponsoring Esports to Improve Brand Image, one-third of esports fans will usually prefer and perceive sponsoring brands more positively over non-sponsoring ones. Considering that today’s esports audience approximately reaches 474 million, sponsorship companies can effectively attract 158 million potential customers into their business.

The growth of esports viewership. | Source: Newzoo

Generally speaking, there are four types of sponsorship: media sponsors, promotional sponsors, in-kind sponsors, and financial sponsors. Media sponsors deal with secure advertising for an event through television, newspapers, or digital channels (such as websites and blogs). Promotional sponsors are similar to media sponsors. However, promotional sponsors usually involve only a single person with a large network of followers rather than a whole media outlet.

In-kind sponsors are usually businesses which can provide goods or services. Beverage brands, for instance, can become an in-kind sponsor by providing drinks to the viewers, tournaments officials, players, etc. The last and perhaps the most common form of sponsorship is financial sponsorship. As the name implies, financial sponsors will provide direct financial support or funds for the tournament, event, or organization they sponsor.

As mentioned previously, one of the perks that esports teams can offer to their sponsors is displaying the sponsor’s logo or name on the players’ jerseys. But, of course, we already knew the limitations of this approach. Therefore, some companies prefer to become name sponsors (or sometimes called title sponsors) and combine their brand name with the esports team name. After all, the name of the esports team will always be mentioned and displayed in the esports competition broadcast. So, by becoming the naming sponsor of the esports team, companies can exponentially increase their exposure towards consumers — especially esports audiences. So far, there are several esports organizations that have signed naming rights contracts with brands, both endemic and non-endemic.

Kia Motor is the name sponsor of DAMWON Gaming. | Source: Esports Insider

An example of an esports organization with a name sponsor is DAMWON Gaming, a South Korean organization that won the League of Legends World Championship in 2020. In December 2020, DAMWON announced its naming rights deal with Kia Motor starting in 2021, changing its team name to DWG MCH. DAMWON also introduced a new logo and jersey for their League of Legends team. Hyugho Kwon, Head of Korea Business Division in Kia Motors, explained that they wanted to “revitalize” the global esports ecosystem through the partnership with DAMWON. Kia Motors also wishes to promote and expose the brand to esports fans around the world.

Another esports organization that recently signed a naming rights contract is JD Gaming. The organization is part of the esports division of Jing Dong, an e-commerce company from China. The company that sponsored JD Gaming is Intel. The naming rights agreement, which lasts for two years, effectively changes JD Gaming’s brand name to JDG Intel Esports Club. Unfortunately, we have no information about the cost of purchasing JD Gaming’s name contract. 

Team SoloMid (TSM) has also just signed a naming rights contract in early June 2021 with a cryptocurrency exchange company from Hong Kong called Future Exchange (FTX). The partnership between TSM and FTX is reported to last for 10 years and is valued at US$210 million. TSM now undergoes with the brand name of TSM FTX. Again, FTX conducted this partnership in the hopes of marketing the brand to the American public.

Aerowolf’s partnership with Genflix. | Source: Twitter

In Indonesia, there is also an esports team that has signed a naming rights contract. The esports organization is Aerowolf. In May 2019, Aerowolf announced that Genflix, a local video streaming platform, had officially become their naming sponsor and changed its brand name from Aerowolf Roxy to Genflix Aerowolf. Just like FTX and most other name sponsors, Genflix’s goal behind collaborating with Aerowolf is to increase its brand awareness, especially towards the younger esports audience.

Advantages and Disadvantages of Naming Rights Agreements

Every company wants to have a popular and good brand reputation. In the midst of intense competition, having a positive brand image can be a massive game-changer in terms of generating revenue. And, of course, sponsorship is an easy and effective method to boost a brand’s reputation. Thus, many companies today who look into marketing their brand towards the younger demography will more often than not turn into sponsorships in esports.

According to Winnan, sponsoring events and teams are currently the best option in esports sponsorships. However, out of all of the aforementioned types of sponsorships, which one should you pick if you are looking to be an esports sponsor?

Naming or title sponsorships does look like the best option. After all, we already discussed why naming rights contracts are considered a far more superior form of sponsorship in esports. Other than the increased exposure in tournament broadcasts, naming sponsorships usually have a higher chance of capturing the loyalty of the fans. In a book entitled The eSports Market and eSports Sponsoring, author Julian Heinz Anton Stroh states that most esports fans are aware that companies that sponsor their favorite teams have goals of their own self-interest, such as increasing sales. However, fans also know that the esports industry needs sponsors to survive, which is why they often appreciate and care deeply about the support that sponsors provide.

Esports fans have high enthusiasm. | Source: ESTNN

Various studies also show that fans still gladly welcome non-endemic brands (companies that are not related to esports or gaming) to support the competitive gaming scene. Although most esports followers do slightly prefer sponsorships from endemic brands, the study by Stroh shows that 70% of esports fans still hope that more and more non-endemic brands will enter the esports scene.

Being an esports sponsor does improve the brand image in the eyes of esports fans. However, several other factors also affect the company’s reputation in a sponsorship deal, such as the activation method used by sponsors, the target audience, and the products offered by the company.

It is undeniable that the esports community is incredibly enthusiastic. If a sponsor can successfully “win the hearts” of esports fans, its brand will be vastly promoted on social media. Unfortunately, the enthusiasm of esports fans can also act as a double-edged sword. A slight fault or mistake in a sponsor’s message towards fans can spread bad reputation like wildfire. This fact also applies to naming rights contracts.

Naming rights contracts a form of partnership with the highest associativity since brand names are effectively combined together. Therefore, if either party is exposed to a scandal, the other will also be extensively affected. For example, if an esports team is caught in a cheating accusation, both the esports organization and the name sponsor will suffer from reputation damage.

The primary goal of name sponsor brands is often to get fans to associate their brand with the team. However, naming rights contracts sometimes don’t last long. And if the team name frequently changes, fans will eventually feel indifferent towards name sponsors. Another possibility that might occur is that fans will only remember the old name sponsor over new ones.

According to a Chron report, this exact scenario has occurred at Candlestick Park, the stadium of the San Francisco 49ers and San Francisco Giants. The stadium was initially named Candlestick Park in 1960. In 1995-2002, the stadium’s name was changed to 3Com Park. The name of the stadium changed again in 2004-2008 to Monster Park. However, today, most fans still associate the stadium name as Candlestick Park despite the two name modifications that took place. A simple solution to this problem that name sponsors can employ is to extend the name contract duration, similar to the partnership between TSM and FTX. 

Team SoloMid has just signed a naming rights agreement with FTX. | Source: Dot Esports

Naming rights partnerships are similar to company takeovers in the business world. Both of them have the potential to be profitable or yield extreme losses for both parties. A company acquisition or takeover is considered successful when the acquired company can contribute revenue greater than the initial purchase value. Take Facebook’s acquisition of Instagram in 2012 as an example. Although Facebook initially bought Instagram for $1 billion USD, Instagram today has more than 1 billion users and contributes over $20 billion to Facebook’s revenue each year.

However, startups or small companies do not always want to accept takeover offers. Sometimes, these companies may believe that they can independently grow into a business with a larger value than the acquisition price. An example of a company that resisted large corporate takeovers is Discord. Microsoft had offered $12 billion USD to acquire Discord. However, according to a Bloomberg report, Discord refused and instead look into the opportunity to go public in the future.

All these plus and minuses in company takeovers are also present in naming rights contracts. The deal between TSM and FTX, for instance, lasts for 10 years and is worth $210 million USD. Therefore, we can assume that the TSM brand is currently valued at $210 million USD. However, TSM might become more popular in the future, and their brand value might increase, favoring FTX. However, there is also a possibility that the performance and popularity of the TSM organization might decline over the next 10 years, which will cause FTX huge losses since their contract value decreases.

Naming Rights Contracts in Conventional Sports

Naming rights agreements are also a common occurrence in the conventional sports world. For example, several basketball teams in Indonesia have sold their naming rights to sponsors. One of these Indonesian basketball teams with a name sponsor is Satria Muda. 

Since its establishment in 1993, Satria Muda has signed naming rights contracts with several brands. In 1997, Coca-Cola Company’s AdeS brand became the first name sponsor of this Jakarta-based basketball team. As a result, the team name was changed to AdeS Satria Muda. A year later, in 1998, the team name changed again to Mahaka Satria Muda after signing a deal with PT Abdi Bangsa Tbk owned by Erick Tohir. In 2004, BRI through BritAma became the next name sponsor of the Satria Muda team, altering the team name to Satria Muda BritAma. The Satria Muda headquarters was also named The BritAma Arena as a result of the agreement. However, in 2015, Satria Muda signed their last and current name sponsor with Pertamina. Along with this change, the basketball team’s name was changed to Satria Muda Pertamina.

Another national basketball team that also has a name sponsor is Amartha Hangtuah. When it was initially founded in 2003, the basketball team undergoes by the name Hangtuah and only modified it to Hangtuah Sumsel Indonesia Muda five years later. This name was used until 2019 when Amartha decided to become the name sponsor of HangTuah. After the partnership, the basketball team became known as Amartha Hangtuah.

Amartha is currently HangTuah’s name sponsor. | Source: Kompas

Of course, not all sports teams are willing to sell the exclusive naming rights of their team. European football clubs, for instance, rarely sell the club’s naming rights and instead opt to sell the naming rights of their stadiums. For example, the Emirates airline bought the naming rights to Arsenal’s stadium in 2004. It is estimated that this 15-year contract between the two parties is worth £100 million. The deal also includes the installation of Emirates’ logo in the Arsenal player jerseys since the 2006-2007 season. Last year, Barcelona also just sold the naming rights of their stadium, Camp Nou, and donated the funds they receive to COVID-19 related charities. 

The main reason why most top-tier football clubs almost never give up their naming rights is that their club name is already “too well-known” to people around the world. Their club names, in some sense, are considered to be formally established. In contrast to the relatively new esports teams, most European football clubs are more than 100 years old. Four famous clubs in the UK were founded before 1900: Arsenal in 1886, Liverpool in 1892, Manchester City in 1880, and Manchester United in 1878. Therefore, it is very unlikely that these clubs will surrender the longevity of their brand name to sponsors. And if they were to open up a naming sponsorship deal, the price that they would set would be incredibly expensive. Most sponsors can perhaps already get a reasonable amount of exposure in regular sponsorship agreements with football clubs and thus would never opt to become title sponsors even if there is an opportunity to do so.

Naming rights contracts are not limited to sports teams or esports organizations. Some companies are also willing to become naming sponsors of sports events or esports competitions. Toyota, for instance, became the naming sponsor of Thailand’s national football league called Toyota League Cup. In the realm of esports, Intel is undoubtedly one of the most well-known tournament name sponsors. Intel Extreme Masters and Intel Grand Slam are two examples of Intel-sponsored esports tournaments. In Indonesia, JD.id has also conducted a name sponsorship agreement with Yamisok’s esports league called the High School League. Like all other name sponsors, JD.id’s goal behind this partnership is to increase brand awareness among high school esports players and viewers

Conclusion

The world of business is full of intense competition as hundreds of brands try their best to win the market and rise to the top. One of the most effective methods for a company to beat its competitors is building a good brand reputation and image, which is why many of them opt to become sponsors of popular sports or esports teams.

Placing a logo or company name on a player’s jersey is one of the most basic forms of sponsorship in conventional sports or esports. However, companies can further increase their exposure by conducting a naming sponsorship deal with the organization. By becoming a name sponsor, fans will immediately associate the brand name with their favorite team. But, of course, name sponsorship agreements can have potential repercussions for both parties as well. If one of the sides is affected by an issue, the other might also be severely affected. Like all business decisions, there are always pros and cons that must be carefully considered. Nevertheless, when it comes to esports sponsorships, the current hot trend and deals are happening in naming rights agreements.

Featured image: Freepik. Translated by: Ananto Joyoadikusumo

Kenapa Dota 2 Tidak Populer di Korea Selatan?

Banyak pemain esports yang berasal dari Asia, khususnya Tiongkok dan Korea Selatan. Selain jumlahnya yang banyak, pemain dari Asia juga dikenal berkualitas. Tidak sedikit pemain Asia yang menorehkan prestasi di kancah internasional. Sebelum ini, Hybrid.co.id juga pernah membahas korelasi antara etnis dan budaya dengan kemampuan seseorang dalam bermain game.

Salah satu alasan mengapa Korea Selatan dapat menelurkan banyak pemain esports yang sukses adalah karena budaya di negara tersebut yang memang mendukung. Tidak bisa dipungkiri, pemain Korea Selatan cukup mendominasi dalam beberapa game esports, seperti League of Legends, StarCraft, dan Overwatch.

T1 dianggap sebagai tim League of Legends terhebat sepanjang masa. Pasalnya, tim tersebut berhasil membawa pulang trofi League of Legends World Championship (LWC) sebanyak tiga kali. Selain itu, mereka juga pernah memenangkan League of Legends Champions Korea (LCK) sebanyak tiga kali berturut-turut. Satu-satunya tim esports lain yang berhasil membawa trofi LCK tiga kali berturut-turut adalah DAMWON KIA, yang juga memenangkan LWC 2020. Selain itu, Lee “Faker” Sang-hyeok, pemain T1, juga dianggap sebagai pemain terbaik League of Legends sepanjang masa.

Menariknya, walau League of Legends sangat dominan di Korea Selatan, Dota 2 — yang juga memiliki genre yang sama — justru kurang populer. Tanya: kenapa?

Awal Mula Dota 2 di Korea Selatan

Dota 2 diluncurkan di Korea Selatan pada 2013. Ketika itu, Valve menyerahkan tanggung jawab untuk merilis dan mempromosikan Dota 2 di Korea Selatan pada Nexon. Saat Dota 2 diluncurkan di Korea Selatan, League of Legends sudah populer. Agar Dota 2 bisa bersaing dengan game buatan Riot Games tersebut, Nexon bahkan membuat dan memberikan compendium khusus untuk akun dan pemain baru, seperti yang disebutkan oleh GosuGamers. Sayangnya, Dota 2 tidak pernah meraih popularitas yang sama seperti League of Legends.

Nexus bahkan membuat compendium sendiri. | Sumber: GosuGamers

Kabar baiknya, walau Dota 2 kurang populer di Korea Selatan, tetap ada organisasi esports yang tertarik untuk membuat tim Dota 2. Pada September 2013, tim MVP menandatangani kontrak dengan tim Dota 2 pertama mereka. Dua bulan kemudian, pada November 2013, MVP membuat tim Dota 2 kedua mereka. Pada 2014, Korean Dota League (KDL) mulai digelar. Keberadaan KDL memberikan harapan bahwa skena esports Dota 2 akan bisa tumbuh di Korea Selatan.

MVP.Phoenix berhasil meraih gelar juara dua di Korean Dota League Season 1. Di Season 2, mereka dapat menyabet gelar juara. Sementara di StarLadder StarSeries Season IX, mereka harus puas dengan peringkat 7-8. Pencapaian terbaik dari MVP.Phoenix adalah keberhasilan mereka untuk masuk ke The International 4. Mereka dapat lolos ke TI4 setelah mereka menjadi runner up dari TI4 Southeast Asia Qualifiers. Namun, performa MVP.Phoenix di TI4 kurang memuaskan. Dari lima pertandingan, mereka hanya bisa memenangkan satu babak, menempatkan mereka di posisi terakhir.

Meskipun ada tim Korea Selatan yang berhasil masuk TI, ketertarikan gamers akan Dota 2 tetap rendah. Hal ini diperburuk oleh keputusan Nexon untuk menutup server Dota 2 di Korea Selatan pada Desember 2015. Tutupnya server itu berarti, jika gamers Korea Selatan ingin bermain Dota 2, mereka harus bermain di server Asia Tenggara atau Tiongkok. Alhasil, mereka harus bermain dengan ping tinggi.

Kabar baiknya, MVP bersikukuh untuk mempertahankan kedua tim Dota 2 mereka, walau perjalanan karir kedua tim itu tidak mulus. Dan pada 2015, kedua tim MVP — MVP.Phoenix dan MVP.Hot6 — berhasil lolos ke The International. Sebelum maju ke TI, MVP.Phoenix telah memenangkan berbagai kompetisi di skena esports lokal dan regional Asia Tenggara. Mereka tidak hanya sukses memangkan semua turnamen Dota 2 di Korea Selatan, mereka juga menjuarai dua kompetisi regional SEA, yaitu IeSF Asian Championship dan Nexon Sponsorship Leagues.

MVP.Hot6. | Sumber: GosuGamers

Sementara itu, MVP.Hot6 terdiri dari empat pemain Korea Selatan dan satu pemain veteran asal Finlandia, Jesse “JerAx” Vainikka. Nantinya, JerAx akan masuk ke OG, yang memenangkan TI dua kali berturut-turut. Sama seperti MVP.Phoenix, MVP.Hot6 juga cukup sukses di skena esports Dota 2 Korea Selatan. Sayangnya, di TI5, MVP.Hot6 berakhir pada peringkat terakhir. Kabar baiknya, MVP.Phoenix dapat meraih peringkat 7-8.

Setelah TI5, MVP lalu membuat satu tim yang semua pemainnya berasal dari Korea Selatan. Tim itu merupakan gabungan dari Phoenix dan Hot6. Tim tersebut dapat memenangkan sejumlah kompetisi. Mereka menduduki peringkat 4 di Singapore Major, peringkat 5-6 di Manilla Major, dan merangkak ke peringkat 5-6 di The International 6.

Pada 2016, MVP.Phoenix memenangkan penghargaan “Best overseas activity award of the year”. Tahun itu merupakan kali kedua mereka mendapatkan penghargaan tersebut. Pada 2015, kedua tim MVP — Phoenix dan Hot6 — juga berhasil meraih gelar tersebut. Mereka mendapatkan gelar tersebut karena kesuksesan mereka untuk masuk ke TI. Kegigihan MVP menunjukkan bahwa mereka tetap bisa bertanding di kancah internasional, walau skena esports Dota 2 di Korea Selatan tidak ramai.

TI Membuat Tim Dota 2

Walau Phoenix dan Hot6 punya prestasi, kedua tim itu tetap dibubarkan oleh MVP pada 2016. Sejak saat itu, tidak ada lagi tim Dota 2 Korea Selatan yang berhasil menorehkan prestasi di skena Dota 2 global. Angin segar bertiup pada Agustus 2019. Saat itu, T1 — organisasi esports yang dikenal dengan tim League of Legends-nya — mengumumkan bahwa mereka akan kembali menjajaki Dota 2.

Sayangnya, tidak peduli seberapa keras usaha T1, mereka tetap kesulitan untuk menorehkan prestasi di Dota 2. Padahal, mereka telah bolak-balik mengganti roster tim Dota 2. Mereka juga pernah mencoba untuk mengembangkan talenta muda Dota 2 dari nol dengan membuat tim berisi tiga pelatih. Tim pelatih itu dipimpin oleh Choi “cCarter” Byoung-hoon, kepala pelatih tim League of Legends T1 yang pernah memenangkan Worlds Championship tiga kali. Meskipun begitu, usaha T1 tetap berujung pada kegagalan. Prestasi terbaik dari tim Dota 2 T1 ketika itu adalah masuk peringkat enam besar di ESL One Thailand 2020: Asia.

ESL One Thailand 2020: Asia.

Tim Dota 2 dari T1 baru mulai sukses setelah mereka menunjuk Park “March” Tae-won untuk membangun tim dari nol. Dia dianggap sebagai “mastermind” di balik MVP.Phoenix dan juga pernah menjadi pelatih dari TNC Predator. Setelah itu, tim Dota 2 mulai meraih berbagai gelar. Mereka berhasil menjuarai Dota Pro Circuit 2021: S2 – Southeast Asia Upper Division dan juga ESL One Summer 2021. Pada WePlay Major, DPC 2021: S1 – SEA Upper Division, serta BTS Pro Series Season 4: Southeast Asia, mereka berhasil menduduki peringkat tiga.

Apa yang Bisa Meningkatkan Popularitas Dota 2 di Korea Selatan?

Di Korea Selatan, Dota 2 tidak pernah bisa bersaing dengan League of Legends dari segi popularitas. Padahal, total hadiah dari turnamen Dota 2 lebih besar dari game buatan Riot tersebut. Selain itu, kesuksesan tim-tim Dota 2 Korea Selatan juga tidak menarik minat Valve untuk turun tangan langsung mengembangkan ekosistem esports Dota 2 di Korea Selatan.

Dalam wawancara dengan Dota Blast pada 2016, Kim “QO” Seon-yeop menceritakan tentang masalah yang ada di ekosistem esports Dota 2 di Korea Selatan. “Skena esports Dota 2 di Korea telah mati. Nexon tidak lagi mau campur tangan dan hanya beberapa ribu gamers saja yang masih bermain Dota 2,” ujarnya. “Saya rasa, jika ada pemain yang bisa bermain dengan baik dan memenangkan hadiah yang besar, media akan tertarik untuk meliputnya. Dan mungkin, hal ini akan membuat ekosistem esports Dota 2 kembali tumbuh.”

Sementara itu, Yongmin “Febby” Kim — yang dikenal senang bercanda — pernah berkata bahwa alasan mengapa Dota 2 kalah populer dari League of Legends adalah karena jumlah pemain perempuan yang meminkan game itu tidak sebanyak jumlah pemain League of Legends perempuan. Alasannya, skin dari Riot Games terlihat lebih lucu, membuat gamers perempuan lebih senang memainkan League of Legends. Dan jika tidak banyak perempuan yang memainkan Dota 2, maka para pemain laki-laki juga tidak tertarik untuk memainkan game tersebut.

Tentu saja, masalah ekosistem esports Dota 2 di Korea Selatan tidak sesederhana itu. Lee “Forev” Sang-don mengungkapkan pendapatnya tentang hal ini. Dia pernah menjadi bagian dari MVP sejak November 2013 sampai Agustus 2016. Dia juga pernah menjadi bagian dari tim T1 pada Agustus 2019 sampai Juli 2020.

Lee “Forev” Sang-don.

Forev mengaku, dia sebenarnya memainkan Dota 2 dan League of Legends. Namun, dia lebih menyukai Dota 2 karena game itu lebih sulit. Dia menceritakan, alasan mengapa dia memutuskan untuk berkarir sebagai pemain esports Dota 2 dan bukannya League of Legends adalah karena dia mendapatkan tawaran dari MVP setelah dia menyelesaikan wajib militer. Ketika itu, MVP tertarik dengan Forev karena dia pernah bertanding di AWCG Jakarta 2011.

Ketika ditanya apa yang membuatnya terus bertahan sebagai pemain Dota 2 saat Nexon mematikan server Korea Selatan, Forev menjawab, “Sejujurnya, tanpa bantuan organisasi MVP, kami tidak akan bisa melakukan apapun. Saat itu, kedua tim MVP berhasil masuk ke TI. Dan MVP memperlakukan kami para pemain dengan cukup baik. Jadi, saya tetap bisa mempertahankan karir saya di Dota 2 walau server Korea telah mati.”

Lebih lanjut Forev mengatakan, dia berharap, keberadaan tim MVP di TI5 akan membuat Valve menaruh minat pada Korea Selatan dan mendorong para gamers untuk mulai bermain Dota 2. Memang, mantan pemain League of Legends dan Heroes of the Storm sempat tertarik untuk memasuki skena esports Dota 2. Hanya saja, pada akhirnya mereka menyerah. Pasalnya, mempelajari dan menyesuaikan diri dengan mekanisme gameplay Dota 2 memakan waktu yang terlalu lama.

Forev juga mengaku pesimistis bahwa keputusan T1 untuk terjun ke ekosistem esports Dota 2 akan membuat komunitas game MOBA itu kembali tumbuh. Dia berkata, “Saya tidak tahu apa yang bisa membuat Dota 2 mengalahkan popularitas League of Legends di dunia. Tapi, saya cukup mengenal gamers Korea Selatan. Mereka menginginkan waktu tunggu yang lebih singkat, gameplay kasual, skin yang imut, dan sistem surrender. Saya percaya, keberadaan semua itu akan membuat gamers Korea Selatan menyukai Dota 2.”

Sumber: WePlay Holding via GosuGamers

Exclusive Interview: Strategi Tencent Kembangkan PUBG Mobile di Asia Tenggara

Pada 2020, keseluruhan hours watched yang didapatkan oleh semua kompetisi PUBG Mobile adalah 134,5 juta jam, menurut data dari Esports Charts. Hal ini menjadikan PUBG Mobile sebagai mobile esports paling populer pada 2020.

Dalam wawancara dengan Hybrid.co.id, James Yang, Director, PUBG Mobile Global Esports, Tencent Games, mengatakan bahwa Tencent memang punya tujuan untuk menjadikan PUBG Mobile sebagai mobile esportstier-one” di tingkat global. Dia mengatakan, untuk merealisasikan tujuan itu, Tencent harus bisa menjadikan PUBG Mobile populer secara global.

Mobile esports paling populer pada 2020, menurut hours watched. | Sumber: Esports Charts

“Tencent menggunakan strategi yang berbeda untuk masing-masing region, tergantung pada budaya esports, penerimaan masyarakat akan mobile esports, ukuran pasar gaming, dan lain sebagainya,” ujar Yang. Lalu, apa strategi Tencent di Asia Tenggara, yang merupakan salah satu pusat pertumbuhan industri mobile esports di dunia?

Keunikan Pasar Esports Asia Tenggara

Asia Tenggara bisa disebut sebagai salah satu pusat pertumbuhan industri mobile esports karena laju pertumbuhan industri competitive gaming di kawasan tersebut melebihi laju pertumbuhan industri esports global. Salah satu karakteristik Asia Tenggara adalah sebagian besar netizen-nya mengenal internet pertama kali dari perangkat mobile. Alhasil, mobile esports lebih populer di Asia Tenggara daripada game esports PC dan konsol.

“Asia Tenggara punya populasi besar, budaya esports yang kuat, dan sudah terbiasa dengan mobile esports. Jadi, kami akan menggelar turnamen esports lebih banyak dan memproduksi lebih banyak konten agar kami bisa menembus rekor di viewership,” kata Yang ketika ditanya tentang strategi Tencent untuk mengembangkan ekosistem PUBG Mobile di Asia Tenggara. “Kami juga mencoba sistem atau struktur baru di Asia Tenggara, seperti liga profesional baru atau regulasi baru.”

Walau kebanyakan negara di Asia Tenggara merupakan negara mobile-first, mereka tetap punya bahasa dan budaya yang berbeda-beda. Keragaman budaya dan bahasa ini layaknya pedang bermata dua. Di satu sisi, publisher harus membuat konten esports dalam bahasa ibu masing-masing negara untuk menarik perhatian para fans esports. Di sisi lain, negara-negara Asia Tenggara cukup kompetitif dengan satu sama lain.

Viewership PMPL SEA Championship bisa didorong sikap kompetitif negara-negara Asia Tenggara.

“Setiap negara di Asia Tenggara punya budaya dan bahasa yang unik. Jadi, mereka punya kebanggaan nasional yang cukup kuat,” ujar Yang. “Dan hal ini bisa meningkatkan jumlah penonton dari kompetisi regional, seperti PMPL SEA Championship.”

Yang mengungkap bahwa laju pertumbuhan industri esports di Asia Tenggara bahkan mengalahkan laju pertumbuhan industri esports di Tiongkok dan Korea Selatan. Mengutip Newzoo, dia menyebutkan, laju pertumbuhan industri esports di Asia Tenggara pada 2019-2024 akan mencapai lebih dari 20,8%. Pada 2024, nilai industri esports di Asia Tenggara diperkirakan akan mencapai US$72,5 juta pada 2024.

Pentingnya Komunitas Esports

Yang mengatakan, salah satu kunci pertumbuhan industri esports di Asia Tenggara adalah kompetisi terbuka. Sementara itu, tiga hal yang bisa mendongkrak popularitas mobile game esports adalah mobilitas, aksesibilitas, dan gaya hidup.

Game yang bisa populer di tingkat global biasanya adalah game free-to-play,” ungkap Yang. “Karena, jika pemain harus membeli sebuah game untuk bisa memainkannya, hal ini memperkecil lingkup pasar dari game itu sendiri. Di kawasan negara-negara berkembang dengan populasi besar — seperti Asia Tenggara — dampak dari model bisnis yang digunakan akan menjadi semakin besar.” Dia menambahkan, hal lain yang bisa membuat sebuah game populer adalah jika game itu bisa dimainkan di smartphone dengan spesifikasi rendah sekalipun. Semakin rendah spesifikasi yang diperlukan oleh sebuah game, semakin tinggi tingkat penetrasi di pasar.

James Yang. | Sumber: Tencent

Selain itu, komunitas juga punya peran penting dalam kesuksesan sebuah game. Karena itulah, Yang mengatakan, Tencent berusaha keras untuk mengembangkan ekosistem esports yang lengkap untuk PUBG Mobile. “Kami punya ekosistem mobile esports dengan hirearki yang paling lengkap, mulai dari amatir, semipro, hingga profesional,” ujar Yang. “Kami juga terus mendukung tim developer, operasional, marketing, komunitas, serta tim regional kami.”

Yang menambahkan, selama ini, kebanyakan publisher fokus pada game PC dan konsol. Karena itu, sekarang, tidak banyak publisher yang siap untuk mengubah fokus mereka dan menginvestasikan sumber daya mereka untuk mengembangkan ekosistem mobile game.

Namun, hal itu bukan berarti Tencent puas diri dengan apa yang telah mereka capai. Untuk memastikan PUBG Mobile tetap relevan di masa depan, Yang mengungkap, Tencent akan terus melakukan inovasi. “Misalnya, kami akan meningkatkan total hadiah turnamen, terus memperbarui sistem poin dan regulasi yang digunakan, menggunakan aset art serta konten untuk komunitas yang berbeda,” kata Yang. “Kami akan kalah dari pesaing kami jika kami berdiam diri saja.”

Peran Pemerintah di Esports

Seiring dengan semakin besar nilai industri esports, semakin banyak pihak yang tertarik untuk ikut serta, termasuk pemerintah. Di Indonesia, salah satu bukti ketertarikan pemerintah dengan dunia esports adalah pembentukan Pengurus Besar Esports Indonesia (PBESI). Selain itu, pemerintah juga menyatakan esports sebagai cabang olahraga berprestasi. Sama seperti Indonesia, pemerintah dari negara-negara tetangga pun menunjukkan ketertarikan pada dunia esports.

Ketika ditanya apakah ketertarikan pemerintah negara-negara ASEAN akan memberikan dampak positif atau negatif pada industri esports, Yang menjawab, “Mendapatkan pengakuan adalah langkah positif untuk industri esports. Pengakuan itu tidak hanya bisa mendorong potensi ekonomi industri esports, tapi juga memberikan dampak positif di sisi sosial.” Dia menambahkan, esports telah tumbuh menjadi industri bernilai miliaran dollar. Karena itu, sudah pasti, pemerintah juga akan tertarik dengan esports.

“Pertanyaannya bukan lagi tentang ‘baik’ atau ‘buruk’, esports memang sudah pasti akan menarik perhatian banyak pihak karena popularitas esports yang terus naik,” kata Yang. Satu hal yang pasti, dia menegaskan, Tencent akan mematuhi peraturan yang telah ditetapkan oleh masing-masing negara. “Dan kami juga senang jika pemerintah mau berinvestasi dan menumbuhkan industri esports di negara mereka. Esports adalah industri yang sangat menjanjikan.”