Internet of Things di Perindustrian Kini Berbasis Sistem Operasi Khusus

Tiga kali sudah dunia merasakan revolusi industri, di mana uap, listrik, dan komputer menjadi simbol dari perubahan tersebut. Hari ini, kita kembali mencicipi revolusi jilid keempat, yang ditandai dengan entitas baru dengan kemampuan menghubungkan manusia secara cepat, yakni Internet. Kita bisa lihat bukti meledaknya fenomena ini dari begitu masifnya pemanfaatan teknologi interkoneksi ini, serta pesatnya peredaran smartphone.

Menariknya, teknologi yang secara alamiah merupakan media komunikasi ini sekarang tidak cuma mendukung sistem kerja industri dari aspek general affairs dan perdokumenan saja. Ranah teknis juga ‘kebagian’ efek dari kemutakhiran Internet.

Dalam hal ini, Internet of Things ikut andil memberikan perubahan. Konsep teknologi yang mengintegrasikan objek fisik—yang sudah ditanam sensor—dengan jaringan nirkabel ini kini mendapat tempat baru di dunia perindustrian; General Electric (GE) mengistilahkannya Industrial Internet of Things.

Terminologi tersebut terangkat sejalan dengan pengembangan teknologi yang telah diluncurkan GE bernama PREDIX, sistem operasi yang secara khusus ditujukan untuk perindustrian. Bagi GE, PREDIX dapat memudahkan para engineer menciptakan aplikasi, mengambil data dari teknologi industri, dan mengirimnya ke sistem cloud untuk kemudian dianalisis.

Schindler, contohnya. Salah satu raksasa dunia dalam bidang usaha lift ini memanfaatkan PREDIX untuk optimalisasi konsumsi daya yang digunakan oleh lift dan eskalatornya, di mana cloud telah menyimpan data dari utilitas daya.

Kemampuan ini disinyalir akan semakin canggih lagi dengan dukungan produk terbaru GE untuk PREDIX, yaitu PREDIX Edge System yang dapat menanam aplikasi mesin di mana saja sesuai kebutuhan, dari yang terkecil seperti perangkat medis, controller, jaringan atau router, dan menghubungkannya ke cloud.

Jadi, di atas kertas, Schindler nantinya dapat menyimpan komputer kecil di setiap lift untuk menganalisis data secara real-time dan memperbaikinya apabila terjadi kesalahan. PREDIX direncanakan tidak akan lagi membuat penggunanya bergantung pada satu komputer terpusat saja untuk mengoptimalkan operasi; PREDIX akan siap menjalankan sistem 100 aplikasi di tingkat mesin secara langsung.

Teknologi PREDIX diperkuat oleh hadirnya Digital Foundry, sebuah tempat kolaborasi di Paris, yang memungkinkan pelaku industri, akademisi, dan berbagai kalangan yang memiliki ketertarikan pada teknologi untuk berkreasi dan berinovasi.

Majunya inovasi semacam PREDIX nyatanya masih memerlukan dua hal yang dapat membangunnya: kolaborasi dan cloud computing.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Siapkah Industri Indonesia Mengadopsi Digital Industrial?

Dunia akan terus berjejaring. Dari tahun ke tahun, kultur digital semakin membaur dan meningkat di kehidupan masyarakat dunia. Pemanfaatan platform digital sudah diadopsi banyak oleh masyarakat, apalagi jika berbicara tentang bagaimana mereka terhubung satu sama lain—seperti messenger dan social networking.

Secara global, potret lanskap digital 2017 menunjukkan jumlah masyarakat Internet yang kini telah menyentuh angka di kisaran 3,7 triliun, dengan penetrasi sebesar 50% serta peningkatan 10% sejak tahun lalu. Penetrasi Internet di Asia Tenggara punya angka yang tak kalah besar, yakni sebesar 53%. Lebih mengerucut, bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia punya tingkat penetrasi yang tergolong cukup baik dengan angka 51%, terutama dibandingkan dengan beberapa negara berkembang Asia Tenggara lainnya seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja.

Meski boleh dianggap besar secara kuantitas, namun apakah Indonesia benar-benar siap melancarkan digitalisasi? Sebab, yang dipersoalkan di sini bukan hanya dari lingkup masyarakatnya saja, tapi juga industri. Terlebih dengan hadirnya konsep baru yang ditawarkan perusahaan teknologi asal Negeri Paman Sam, GE, dengan nama Digital Industrial, sebuah konsep teknologi yang mengintegrasikan sebuah objek fisik—yang sudah ditanam sensor—dengan jaringan nirkabel.

Terminologi tersebut dikenal sejalan dengan pengembangan teknologi yang telah diluncurkan GE bernama PREDIX, sistem operasi yang diluncurkan sekitar tahun 2015 yang secara khusus ditujukan untuk perindustrian. PREDIX disinyalir dapat memudahkan para engineer dalam menciptakan aplikasi, mengambil data dari teknologi industri dan mengirimnya ke sistem cloud untuk kemudian dianalisis.

Yang menarik adalah GE telah membuka pintu kolaborasi untuk merangkul pihak-pihak dari berbagai lapisan industri Tanah Air untuk ikut serta memajukan dunia perindustrian dan teknologi bangsa. Kerja sama strategis tersebut dilakukan bersama regulator dan pelaku industri (termasuk startup). Tiga startup potensial mendapatkan dukungan langsung dari GE, antara lain Dattabot, Fishare, dan 3i.

Dattabot, Mitra Pertama PREDIX di Dunia untuk Industri Pertanian

Sebagai perusahaan big data analytics, Dattabot turut serta membangun perekonomian Indonesia di sektor pertanian. Perusahaan yang dulunya bernama Mediatrac ini berusaha mengubah pola pikir terhadap dunia pertanian yang masih dianggap tradisional, melalui produk Internet of Things.

Ditandai dengan penandatangan MoU, GE memperlihatkan keseriusannya mendukung IIoT untuk pertanian bersama Dattabot lewat HARA, aplikasi pertanian yang dapat membantu mengembangkan agribisnis dari sisi efisiensi dan profitabilitas.

HARA adalah aplikasi IIoT pertama di Indonesia yang menggunakan platform Predix. “Dengan demikian, Dattabot bisa memahami luas sawah yang digunakan petani, real-time, jadi bisa memahami permasahan langsung meski posisinya sangat jauh lokasi tempat Anda berada,” terang CEO Dattabot Regi Wahyu.

Industrial IoT Startup Anak Bangsa yang Berpotensi Mendisrupsi Pasar

Selain itu, GE turut memperkenalkan startup-startup tanah air di bidang Industrial Internet of Things yang disinyalir mampu membuat terobosan baru di sektor perindustrian dan perikanan.

Fishare
Fishare adalah produk Internet of Things yang fokus pada kemajuan kehidupan petani ikan dengan self-farming module. “Produktivitas budidaya ikan negara kita masih tergolong rendah, dibandingkan dengan Tiongkok,” ujar CEO Fishare Marvinus Arif. Itulah salah satu latar belakang kelahiran Fishare.

Fishare menyajikan fish feeding assistant dengan sensor, di mana para petani ikan akan mendapatkan informasi secara transparan dan objektif mengenai kondisi ikan mereka, yang terlihat di smart dashboard.

3i
Bersama ungkapan “the future of maintenance”, 3i mengembangkan sensor online untuk membantu pabrikan mengurangi downtime tak terencana melalui data analytics dan machine learning. Teknologi sensor pintar 3i memudahkan pabrikan untuk melakukan pemeliharaan preventif dan prediktif; meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya operasional, sekaligus meningkatkan keuntungan perusahaan.

“Sensor ini ditanam di dalam mesin dan dihubungkan ke mobile device pengguna agar pengguna dapat melihat keadaan mesin secara real-time,” terang Gimin, CEO 3i.

Mau tidak mau dunia perindustrian Indonesia harus siap dengan digitalisasi dalam operasional mereka. Kita semua bisa melihat bagaimana teknologi dan hal-hal yang dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia (sawah, ikan, dan pabrik) dapat terkoneksi untuk membangun perekonomian negara. Maka, industri yang lebih dipandang “progresif” mestinya juga bisa mengadopsi IIoT, ‘kan?

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

5 Aplikasi Android buat Teman Ngabuburit

Ramadhan tiba! Semasa kecil, mungkin sebagian besar di antara kita pernah mengisi ngabuburit dengan kegiatan menyenangkan seperti bermain PlayStation atau online gaming. Dengan kultur Internet dan mobile yang sudah merambah masyarakat, aktivitas menunggu adzan maghrib berkumandang di bulan Ramadhan kini bisa tetap seru dengan smartphone Android-mu.

Aldy, Azka, Alvin, dan Udin adalah empat orang pengguna Android smartphone dengan latar belakang pekerjaan yang berbeda-beda, namun punya satu kesamaan; mereka sama-sama beranggapan bahwa banyak Android apps yang kini bisa membuat ngabuburit mereka jauh dari kebosanan. Bagaimana ceritanya? Simak cerita empat orang ini dengan DailySocial!

1. Mobile Legends: Bang Bang

Dikenal sebagai DotA-nya mobile gaming, Mobile Legends diproyeksi akan benar-benar menjadi legends. Telah diunduh hingga 10 ribu sampai 50 ribu pengguna, MOBA (multiplayer online battle arena) game rilisan Moonton ini memang cocok sekali menjadi ngabuburit game. Azka, seorang karyawan di sebuah digital agency bilangan Kuningan, mengakuinya.

“Karna Mobile Legends itu gameplay-nya kayak DotA, terus lo bisa beli skin hero yang lo suka. Terus lo juga bisa buat squad gitu, dan mainnya party sama temen-temen lo berlima. Pokoknya, enggak berasa deh tiba-tiba adzan maghrib saja,” ujar Azka.

2. YouTube

Saat stasiun televisi punya banyak program unggulan bulan Ramadhan yang siap menemanimu dari saat santap sahur dini hari sampai waktu berbuka puasa, YouTube juga punya konten-konten menarik—bahkan meski sedang tidak di bulan Ramadhan—yang bisa disesuaikan dengan interest-mu.

Udin, 22 tahun, mengaku YouTube menjadi pilihan utamanya untuk ngabuburit. “YouTube suka ngasih info-info menarik secara audio-visual, dan terkadang kontennya menghibur. Biasa nya sih gue buka video-video tentang DotA, bisa sampai dua jam,” ujar freelance videographer yang gemar main online game ini.

3. E-commerce apps

Di tengah teman-teman pengguna smartphone Android, ternyata ada yang beranggapan bahwa aplikasi jual-beli cocok untuk teman ngabuburit. Scrolling dan mencari-cari barang incaran yang harga bersahabat di dompet tak pelak jadi aktivitas yang membuat kita lupa waktu. Kamu termasuk salah satunya?

Alvin merasa termasuk pengguna aplikasi jenis ini saat menunggu santapan buka puasa. “Gue bisa lupa waktu kalau sudah cari barang terus banding-bandingin harga dari satu toko ke toko lain. Dua jam mah bisa lah buat mantengin Tokopedia doang,” aku pegawai bank swasta ini.

4. Clash Royale

Melanjutkan kesuksesan game pendahulunya yang fenomenal, beberapa pengembang Clash of Clan mengembangkan game dengan karakter yang serupa namun genre dan gameplay yang berbeda. Meski dengan metode bermain yang berbeda, Clash Royale punya tingkat adiksi yang berbahaya. Aldy sudah mengakuinya.

Begitu ditanya soal aplikasi untuk teman ngabuburit, pria yang bekerja sebagai graphic designer di sebuah event organizer di Bogor ini secara lantang tak ragu menyebutkan Clash Royale. “Menurut gue, ini game simpel banget dan enggak ribet. Begitu klik, langsung main. Cuma yang susah tuh dapetin kartu legend yang namanya Sparky,” tutur Aldy.

5. Football Manager 2017

Game yang satu ini sudah melegenda sebagai game yang bisa merebut waktumu. Meski berbayar, Football Manager bagi sebagian orang merupakan investasi waktu selama setahun—setidaknya sampai seri terbarunya muncul.

Alvin memang senang menunggu suara bedug maghrib dengan membuka aplikasi e-commerce. Tapi, Football Manager 2017 sudah masuk ke wishlist-nya. “Ini nih game yang bener-bener enggak ribet dan enggak bikin bosen maininnya. ‘Kan ada tuh game yang kalau baru main beberapa kali udah bosen. Nah, ini enggak berlaku di Football Manager 2017,” jelasnya.

Di Ramadhan tahun ini, Football Manager 2017 harusnya sudah tidak ada di wishlist-nya Alvin lagi. Google Play kini punya promo #SalipLevel, biar kamu bisa beli aplikasi, game dan item di dalamnya dengan diskon hingga 80%, dan belinya bisa pakai pulsa juga.

Aldy juga bisa merasakan hal yang sama dengan Clash Royale-nya. “Buat dapetin kartu itu harus pakai chest, chest-nya itu harus dibeli pakai gem, dan gem-nya harus dibeli lewat Google Play. Kalau ada diskon sampai $20 sih ngebantu abis!” ucapnya.

Jadi ternyata sudah bukan zamannya lagi alasan kalah main game gara-gara enggak punya item keren. Sudah waktunya kamu #SalipLevel teman-temanmu, dan tantang mereka dengan bilang, “Mana level lo?”

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung Google Play.

Gaya Kolaborasi Startup di Korporasi Perindustrian, Bisakah?

Kita sama-sama sudah mengetahui sebelumnya bahwa keterlibatan orang-orang yang kreatif dan satu visi adalah ciri yang lekat dengan gaya kerja ala startup. Kita juga tahu bahwa cara kerja dan suasana sesantai itu tak hanya menjadi kegemaran dan idaman pekerja masa kini, namun juga telah terbukti dari kualitas produk yang dihasilkan.

Pertanyaannya, dengan kultur serba teratur, dapatkah perusahaan-perusahaan besar yang bergelut di ranah perindustrian seperti migas, transportasi, bahkan digital energy mengadopsi sistem kerja startup yang santai-namun-tetap-terukur?

Ini adalah peluang sekaligus tantangan bagi para petinggi perusahaan untuk menerapkan prinsip kerja startup ke organ-organ usaha mereka. Diperlukan beberapa poin yang harus dipenuhi agar korporasi mereka tak hanya dapat mengadopsi kultur kerja startup, tapi juga merasakan pembaruan dalam pengembangan produk.

Mari ambil contoh korporasi yang telah menghadirkan inovasi produk yang dicetuskan oleh spirit kolaborasi startup, yakni General Electric.

Sempat dibahas di artikel lainnya bahwa, melalui Digital Foundry-nya, General Electric telah mengadaptasi pengorganisasian product development serupa bisnis rintisan. Gaya ini berkaitan dengan salah satu syarat dalam menerapkan kolaborasi ala startup: menghadirkan stimulasi kreatif di segala penjuru working space.

Digital Foundry yang menempati lantai dua di gedung Le Centorial, Rue du Quatre Septembre, Paris ini memang dirancang sebagai rumah inovasi. Dirancang oleh arsitek Jepang Hidekazu Moritani, bentuk Digital Foundry mengacu pada struktur sarang lebah, di mana ruang berbentuk heksagonal akan menstimuli orang jadi lebih dinamis.

Dan menariknya, semua dinding sebenarnya adalah papan tulis kaca, sehingga siapapun dapat menuliskan ide-ide yang muncul di pikiran mereka ke dinding tersebut.

Infrastruktur ini menarik orang-orang untuk datang dan menunjang kolaborasi mereka dengan karyawan General Electric. Bahkan, memang secara jelas pihak General Electric mengaku, mereka membuka Digital Foundry tak hanya untuk karyawan namun juga untuk konsumen General Electric, seperti mahasiswa dan programmer.

Kolaborasi dan interaksi seperti ini sangat memicu adanya percikan-percikan ide, sehingga mereka semua bisa mewujudkannya bersama-sama.

Nah, seberapa besar keberhasilan adaptasi gaya startup seperti ini memberi efek pada daya cipta karyawan? Lagi-lagi General Electric sudah memperlihatkan buktinya.

Di samping diciptakannya inovasi baru dari GE Healthcare, kini telah hadir sistem operasi PREDIX yang terus dikembangkan tim General Electric. PREDIX adalah platform yang dihadirkan untuk pengembangan teknologi, yang mereka sebut sebagai, Industrial Internet of Things (IIoT)—diyakini lebih besar dan meledak dari Internet of Things (IoT). Dengan teknologi tersebut, aeroderivative gas turbines, misalnya, akan mengadopsi desktop technology di dalamnya.

Inovasi-inovasi besar semacam itu hanya bisa lahir jika kamu punya percikan ide, keinginan untuk eksekusi, dan kesediaan berkolaborasi dengan pihak lain yang satu visi.

Jangan ragu juga untuk bergabung dengan program-program katalisator pengembangan ide seperti Digital Foundry! Karena bisa jadi, inovasimu akan terwujud di sana. Pertanyaannya: apa gagasan-gagasan inovasi teknologi yang ada di kepalamu sekarang?

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Pola Pikir dan Teknologi Baru untuk Industri Indonesia

Lahirnya inovasi selalu membuat hidup tidak lagi sama. Lihat saja bagaimana Anda kini ‘mengubah’ ponsel bukan cuma sebagai peranti komunikasi, tapi menjadi ‘hidup’. Lihat juga bagaimana Anda terhubung dan berjejaring melalui inovasi media sosial. Dan yang fenomenal di beberapa tahun belakang, Anda bisa melihat bagaimana ojek sekarang menjadi pilihan utama dalam bertransportasi dengan adanya layanan on-demand.

Inovasi digital seperti ini memang dilahirkan untuk membuat gaya hidup manusia berbeda dan lebih mudah, tak terkecuali untuk kehidupan industri. General Electric (GE), sebagai perusahaan teknologi yang mencakup multi-industri, tergerak untuk turut serta mengambil lakon dalam kemajuan inovasi melalui konsep Digital Industrial.

Melalui acara bertajuk Digital Industrial Forum 2017, GE memperlihatkan bagaimana dewasa ini industri semestinya mengadopsi kemajuan-kemajuan teknologi yang menghubungkan cloud dengan smart component yang ada di tempat perindustrian. GE memperkenalkan PREDIX, sebuah platform PaaS (platform as a service) layanan cloud computing yang mendukung pengembangan aplikasi yang menggunakan data operasional untuk menggali informasi sebagai landasan pengambilan keputusan yang lebih baik, juga cepat.

Salah satu aplikasi pintar yang dibangun di dalam PREDIX adalah Digital Twin. Sederhananya Digital Twin adalah jembatan antara instrumen fisik dengan instrumen digital. “Digital Twin membantu mengenali aset fisik yang Anda miliki. Apakah ada risiko di dalamnya dan bagaimana keadaannya. Digital Twin membantu mempelajari usia dan penggunaan mesin,” ujar Vinay B. Jammu, Technology Leader and Physical-Digital Analytics General Electric, sembari langsung mendemonstrasikannya.

CT scan machine, contohnya. Saat industri kesehatan memerlukan mesin ini untuk hal-hal darurat, Digital Twin membantu mengingatkan apakah mesin ini perlu masuk fase perawatan. “Platform ini bisa diaplikasi ke wind power forecasting, construction vehicles performance, dan marine engine oil health. Baik untuk produk GE maupun non GE.”

GE juga berupaya membuktikan bahwa pola pikir digital industrial yang mereka canangkan tergolong adaptif untuk segala ranah industri.

Dalam event yang berlangsung di Fairmont Hotel ini, dihadirkan sebuah sesi perbincangan antara Luis F. Gonzalez (Chief Digital Officer General Electric Asia Pasifik) yang mewakili industri energi, David Wu (General Manager Healthcare, GE, Asia Pasifik) mewakili industri kesehatan, David Parkinson (General Manager, GEOil and Gas, Asia Pasifik) mewakili industri migas, Hardik Raithatha (Digital Growth Leader GE Renewable, Asia Pasifik) mewakili industri energi baru terbarukan, Frank Siegers (Senior Program Manager GE Aviation) mewakili industri aviasi, Jonathan Lim (Commercial Director, GE Transportation, Asia Tenggara) dan Alvin NG (General Manager , GE Digital Electric Asia Tenggara) selaku moderator. Masing-masing panelis mendemonstrasikan berbagai macam implementasi digital industrial di sektor energi, kesehatan dan transportasi.

Berlanjut setelah perbincangan hangat serta sesi tanya-jawab dengan audiens, Digital Industrial Forum menghadirkan Direktur Jenderal APTIKA Kominfo Samuel Pangarepan, yang membahas visi Indonesia secara digital pada tahun 2020, yakni 1000 startup (total valuasi Rp 150 triliun), satu juta petani dan nelayan yang go digital, serta delapan juta UKM yang go digital.

“Sampai 2016, kita sudah launch program Go Digital Vision dengan 50 teknopreneur yang sudah terlibat,” terangnya.

Teknologi baru yang dibawa GE ternyata menyentuh perekonomian akar rumput, seperti sektor pertanian, perikanan, maupun manufaktur. Hal ini diangkat pada salah satu segmen acara yang bertajuk The Pioneers; di mana GE memperkenalkan tiga startup berpotensi Indonesia yang bermain di ranah Industrial IoT; Dattabot, Fishare dan 3i.

Dattabot adalah startup big data analytics Indonesia pertama yang membangun sebuah aplikasi precision agriculture bernama HARA, yang dibangun di atas platform industrial internet dari GE Bernama PREDIX. HARA adalah sebuah field management application yang menganalisis sawah, membantu produksi pertanian meningkat hingga 80%, dan menurunkan biaya hingga 10%.

Dattabot menggunakan platform PREDIX dari GE dalam mengembangkan aplikasi untuk memahami bagian-bagian kendaraan yang rusak atau perlu dirawat segera. Fishare memerlukan GE untuk membuat self-farming module.

Selain itu, GE juga memperkenalkan dua startup lainnya yang bergerak di bidang Industrial Internet of Things (IIoT), yang disinyalir mampu mendisrupsi pasar; yakni 3i dan Fishare. 3i mengembangkan teknologi sensor online yang memudahkan pabrikan untuk melakukan pemeliharaan preventif dan prediktif melalui kemampuan data analytics dan machine learning.

Sedangkan, Fishare adalah produk Internet of Things yang fokus pada kemajuan kehidupan petani ikan dengan self-farming module.

Digital Industrial Forum ditutup oleh closing speech yang ditunggu oleh sebagian besar audiens, yakni Presiden Republik Indonesia ketiga, H.E. Prof. BJ. Habibie.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Jakarta XR Meetup 9.0, Menatap Bisnis bersama VR/AR

Bagi Anda yang sudah langganan mampir di acara Jakarta XR Meetup—atau paling tidak sempat beberapa kali membaca ulasan acaranya di DailySocial—tentu sudah tidak asing lagi dengan ‘ritual-ritual’ umum dari meetup rutin gelaran OmniVR ini, di antaranya ialah mendengarkan insight soal VR/AR di sesi presentasi dan diskusi panel, menjajal VR/AR device, dan bincang-bincang santai. Namun, suasana berbeda dihadirkan di Jakarta XR Meetup 9.0.

Episode ke sembilan dari Jakarta XR Meetup yang diselenggarakan tanggal 5 Mei kemarin ini termasuk sederhana dan minimalis jika dibandingkan episode-episode sebelumnya. Tidak ada device yang bisa dicoba, tidak banyak slide presentasi yang tersaji, dan durasinya pun terhitung pendek (hanya satu jam).

Jakarta XR Meetup 9.0 adalah bagian dari gelaran akbar dari MarkPlus Inc., Jakarta Marketing Week 2017. Bertempat di mini stage Kota Kasablanka, Jakarta XR Meetup 9.0 malam itu didominasi oleh audiens dari kalangan umum—bahkan beberapa dari mereka mungkin baru menyadari keberadaan teknologi VR/AR di Indonesia. Maka, dengan demografi audiens semacam ini, adalah wajar bila Jakarta XR Meetup 9.0 tampil simpel. “Ya, bisa dibilang, ini XR Meetup yang paling ‘ringan’ yang pernah kami selenggarakan,” ujar Nico Alyus, CEO OmniVR selaku pihak penyelenggara, menyinggung soal konten kepada DailySocial dalam sebuah perbincangan santai.

Topik yang disebut-sebut ‘ringan’ itu rasanya menarik untuk disimak oleh orang-orang yang masih awam dengan dunia VR/AR, khususnya mereka yang menggemari atau tengah bergelut di dunia bisnis dan marketing. Selain Nico selaku moderator dalam diskusi panel, meetup bertajuk VR for Marketing and Business menghadirkan dua pembicara lainnya yang telah menggumuli dunia VR/AR: COO Shinta VR Andes Rizky dan Founder dan CEO Papilion Group (Popular Magazine) Vicky G. Saputra.

Berhubung lokasi meetup yang berada di tengah mall dan memungkinkan untuk disimak orang umum, Nico membuka acara dengan penjelasan singkat seputar dasar-dasar virtual reality dan augmented reality. “Pada dasarnya, virtual reality itu adalah sebuah realitas baru yang dibuat manusia,” terang Nico.

Realitas ini kemudian dikembangkan untuk berbagai kebutuhan. Gaming adalah salah satu yang paling dikenal, dan industri seperti perbengkelan dan kesehatan adalah bidang-bidang lainnya yang juga telah merambah dunia VR/AR. Banyaknya ragam bidang industri tersebut adalah peluang yang besar bagi pengembang VR/AR di Indonesia.

“Pasar Indonesia ini dibagi ke dalam dua area. Area pertama adalah untuk mereka yang memang menginginkan immersivity. Mereka memang ingin membeli device VR/AR, dan mereka diarahkan untuk membeli,” jelas Andes menggambarkan tipe konsumen VR/AR di Tanah Air. “Area kedua adalah mereka-mereka yang ingin experience saja. Biasanya mereka hanya menggunakan smartphone-nya, dan mereka cuma sekadar ingin extraordinary experience seperti video 360.”

Lalu, dengan lanskap pasar VR/AR yang sudah tergambar ini, kira-kira tantangan apa yang akan menghadapi para pelaku?

Dari sudut pandang pebisnis yang telah mengadopsi VR/AR, Vicky bersama Popular Magazine-nya merasa hanya berupaya untuk tetap mengikuti tren teknologi yang ada. “Ada yang bilang, digital technology itu tidak bisa dikuasai dalam semalam. Makanya, kami berusaha keep up. Karena kemungkinan majunya (teknologi) ke arah sana (VR/AR). Dari sisi produksi sih enggak ada masalah, karena udah canggih device-nya. Cuma lebih ke bagaimana mengarahkan talent saja sih,” tutur Vicky.

“Secara umum, potensinya oke, dari content production kami siap dan tetap butuh dukungan developer.”

Dari perspektif bidang pemasaran, Vicky melihat VR/AR hari ini masih belum efektif—kendati 360 video Popular Magazine di YouTube telah mencapai angka lebih dari dua juta views. “Masalahnya ada pada distribusi. Masih banyak klien yang merasa pembuatan konten VR/AR ini mahal, dan pada ujungnya berakhir cuma ingin bikin video saja,” jelas Vicky.

Disclosure: DailySocial adalah exclusive media partner dari Jakarta XR Meetup.

Memilih Metode Riset Pengembangan Produk yang Tepat untuk Startup

Dalam proses inovasi, perlu diingat bahwa ide itu bersayap. Artinya, sebuah ide bisa datang dan terbang kapan pun, dan perlu ada yang ‘mengikatnya’. Agaknya beberapa startup secara tidak langsung menyadari bahwa ungkapan tersebut nyata. Maka banyak di antara mereka yang memilih ‘menyangkarkan’ ide tersebut dengan coretan-coretan di whiteboard atau sticky notes, atau langsung berbincang santai brainstorming bersama rekan-rekan kerja.

Namun, proses awal mengembangkan produk startup bukan hanya berdasar pada hasil focus group discussion di internal tempat kerja saja. Perlu adanya riset terukur yang melibatkan orang-orang atau calon user di luar perusahaan. Meski dengan gaya bekerja kasual, startup juga harus tetap disiplin berpaku pada data, bukan?

Riset pengembangan produk ini bisa berlangsung dengan beragam bentuk metode. Inilah tiga di antaranya yang bisa Anda coba!

A/B Testing

Sederhananya, A/B Testing ialah metode yang dapat dilakukan untuk mengidentifikasi sebuah masalah dari produk yang Anda kembangkan (misalnya, impression dari konten tulisan yang Anda bikin terhitung rendah), lalu berbasis hasil riset dan analisis, Anda menghadirkan hipotesis akar masalahnya.

Lalu setelahnya, Anda menjalankan variasi dari elemen masalah yang dimaksud, dan membandingkan hasil analisisnya kemudian (misalnya, mencoba memasukkan unsur video di dalam konten yang Anda kembangkan).

Clickstream Analysis

Metode ini memungkinkan Anda menjadi ‘pelacak jejak’ dari audiens produk Anda. Clickstream memperlihatkan langkah-langkah yang dipilih seorang visitor saat menjelajahi sebuah situs. Dalam laporan clickstream, Anda dapat dengan mudah melihat bagaimana seseorang dapat memasuki situs Anda, laman mana yang dia kunjungi, berapa lama ia berada di sana, sampai akhirnya dia pergi.

Dengan clickstream, Anda tidak perlu tebak-tebak buah manggis lagi terhadap apa yang dilakukan audiens kepada aplikasi atau situs Anda.

Polling dan Survey

Untuk riset kuantitatif, polling dan survei adalah metode yang paling umum dilakukan. Pertumbuhan penggunaan jejaring sosial dan Internet sekarang memudahkan Anda dalam mendapatkan sampel yang tak terbatas, seperti menggunakan Google Forms maupun Twitter Polls.

Jika Anda menyajikan pertanyaan yang terkonstruksi dengan baik kepada user yang tepat, survei boleh jadi merupakan metode riset paling terukur yang pernah ada.

Metode-metode riset di atas bukanlah satu-satunya cara untuk mengawali business and product development dari startup. Setelah mengetahui analisa SWOT dari startup yang Anda kelola, ada baiknya Anda memanfaatkan kekuatan dan meminimalkan kelemahan, untuk mengembangkan seluruh aspek yang ada dalam bisnis Anda.

Agar strategi pengembangan produk Anda lancar, DailySocial bekerja sama dengan Alibaba Cloud menghadirkan talkshow DS Class bertajuk Startup Starter Pack, pada hari Selasa 16 Mei 2017, pukul 18.00 WIB, di kantor DailySocial.

DS Class "Startup Starter Pack", presented by DailySocial and Aliyun
DS Class “Startup Starter Pack”, presented by DailySocial and Aliyun

Talkshow DS Class kali ini menghadirkan CSO Softinn Solutions Faustine Tan dan Business Development Manager Alibaba Cloud Leon Chen, dan akan dimoderatori oleh CEO DailySocial Rama Mamuaya.

Untuk para startup Founder, CEO, CMO, Head of Business Development, Product Manager, karyawan startup dan tech enthusiast, jangan sampai Anda melewatkan acara DS Class kali ini! Anda dapat mendaftarkan diri secara gratis melalui tautan berikut ini.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh Alibaba Cloud.

Mengapa Bekerja di Perusahaan Startup?

Bagi kamu yang seringkali membuat orang tua bertanya-tanya setiap kali pamit bekerja sambil mengenakan t-shirt, celana jeans dan sneaker, kemungkinan besar kamu adalah seorang pekerja di lingkungan startup—atau setidaknya kamu dan kantormu sekarang sedang menganut kultur tersebut.

Sesampainya di kantor, mereka pun bekerja dengan budaya yang santai. Gaya berpakaian dan bekerja yang kasual seperti ini banyak diadopsi oleh karyawan startup dalam keseharian. Lingkungan berbasis open working space juga banyak digunakan sebagai tempat mereka berkolaborasi dan berkarya.

Baik, mungkin sampai di titik ini bekerja di perusahaan startup kedengarannya fleksibel dan tidak rumit. Tapi percayalah, dengan kultur kedisiplinan yang mereka ciptakan sendiri, gaya bekerja seperti ini terbukti telah menghasilkan inovasi-inovasi kelas dunia.

Lantas, bagaimana sistem kerja yang kasual bisa menjadi bagian dari perusahaan raksasa dunia? Mengapa harus kultur startup? Mengapa harus bekerja di startup?

Paling tidak, tiga alasan ini seharusnya dapat memecah rasa ingin tahumu tersebut. Ini dia!

1. Keterlibatan dan jejaring yang kuat

Budaya yang lepas dan santai dari startup memang menjadi magnet tersendiri bagi orang-orang yang senang berkreasi dan berkolaborasi dalam waktu yang bersamaan. General Electric, korporasi yang bisnisnya berada di berbagai segmen—dari migas hingga jasa kesehatan, telah mengaplikasikannya.

Melalui tempat yang menjadi melting pot bagi engineer dan teknisi bernama Digital Foundry, General Electric berhasil menciptakan ide-ide baru, dan bahkan mengajak pelanggan untuk ikut serta berkolaborasi di Digital Foundry.

2. Lingkungan yang siap berinovasi

Salah satu hal yang menyenangkan dari bekerja di perusahaan startup adalah mentalitas orang-orang di dalamnya yang selalu siap dengan perubahan dan tidak khawatir dengan trial-error. Kultur ini yang membuat mereka ingin terus bertumbuh.

Saat bekerja di Google, mantan Direktur Pemasaran Google Brett Crosby punya pengalaman menarik soal pertumbuhan. Kala Google Drive diluncurkan, Brett dan tim punya growth goals yang begitu besar, bahkan mereka sempat tidak yakin dapat mencapai target pada awalnya.

Namun, kultur yang ingin terus bertumbuh dapat mendobrak kenyataan dan menjawab urusan alokasi dana marketing mereka, yang saat itu cukup menyesakkan perusahaan. Hingga pada akhirnya Google Drive dapat diintegrasikan pada Gmail, dan membuat mereka berhasil mencetak target tersebut.

3. Melihat dari sudut pandang yang unik

Produk unik memerlukan orang-orang dengan pemikiran unik di belakangnya. Hal ini berkaitan dengan alasan nomor satu tadi. Lagi-lagi, hal ini dilakukan oleh General Electric.

Sebelumnya, General Electric tak bisa diasosiasikan dengan budaya startup. Tak ada dinding kaca dengan coretan sisa brainstorming dan meja foosball. Tapi, lewat Digital Foundry, General Electric berhasil mematahkan pemikiran tersebut. Hasilnya, Digital Foundry menelurkan, salah satunya, sebuah produk dari seorang data scientist di Digital Foundry yang dapat memilah dan mengelompokkan ribuan gambar MRI dari GE Healthcare, sehingga membuat pekerjaan lebih efisien dan makin efektif.

Tiga alasan tadi setidaknya bisa jadi sampel dari bagaimana perusahaan kelas dunia pun berhasil mendobrak pemikiran bahwa kantor bukan hanya menjadi mesin pencetak uang, namun juga rumah imajinasi dan laboratorium inovasi.

Ide-ide besar dan kreatif adalah asupan sehari-hari para karyawan startup. Nah, apakah kamu tertarik dengan suasana kantor seperti ini? Atau, bagaimana kantor idamanmu?

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Diperkuat 4 Fitur Keamanan, HP EliteBook x360 Hadir untuk Manjakan Profesional Muda

Belum genap satu bulan pasca perkenalan HP Spectre x360 melalui konferensi pers, Helwett-Packard (HP) Indonesia kembali memperkenalkan produk selanjutnya yang menyasar para profesional dari generasi millenials. Dinamis dan aman adalah dua kata kunci yang mereka usung dalam produk ini.

Ia adalah HP EliteBook x360, sebuah PC bisnis konvertibel dengan fitur keamanan dan fungsi yang merujuk pada standar korporasi.

Ricky Handarin dan Vamsi Reddy Menjelaskan Produk HP EliteBook x360 / Hewlett-Packard
Ricky Handarin dan Vamsi Reddy Menjelaskan Produk HP EliteBook x360 / Hewlett-Packard

“Banyak perusahaan yang berupaya memfasilitasi pekerjanya dengan berbagai kemudahan dan keuntungan, seperti gaya kerja fleksibel dan pekerjaan yang bisa diselesaikan di manapun,” ucap Ricky Handrian, Market Development Manager Business Notebook HP Indonesia. “Kami berusaha memanjakan dari segi tools-nya, dan keamanannya harus terjaga.”

Desain ramping berpadu material tangguh

EliteBook x360 punya desain tubuh yang memang terlihat jelas menyasar kalangan profesional dinamis. Tebalnya yang hanya 14,95 mm dan bobot enteng seberat 1,28 kg dipersiapkan agar pengguna tetap fokus bekerja tanpa merisaukan tentengan, dengan tiga fitur mode yang masih serupa Spectre x360; laptop mode, tablet mode, dan tent mode.

HP EliteBook x360 dalam laptop mode / DailySocial
HP EliteBook x360 dalam laptop mode / DailySocial
HP EliteBook x360 dalam tablet mode / DailySocial
HP EliteBook x360 dalam tablet mode / DailySocial

Desain tipis serta elegan ini bukan berarti menyingkirkan faktor daya tahan. Diakui Ricky, meski ramping, EliteBook x360 telah berhasil melewati uji coba dari U.S Military Standard untuk menahan getaran, benturan, dan kondisi lingkungan ekstrim.

Ketangguhan ini didukung baterai dengan daya tahan hingga 16,5 jam (di atas kertas), dan fitur Fast Charge, yang memungkinkan pengguna melakukan charging hingga 50% dalam waktu 30 menit.

Fitur HP Security untuk menjaga pekerjaan

Ini merupakan hal yang membedakan EliteBook x360 dengan pendahulunya Spectre x360. Empat fitur keamanan Hewlett-Packard di EliteBook x360 menjanjikan keamanan yang berlipat ganda, yakni HP Sure Start Gen 3, HP Sure View, Client Security Suite Gen 3, dan HP WorkWise.

Rapatnya keamanan muncul saat fitur-fitur ini dicoba, seperti misalnya HP WorkWise yang bisa mengintegrasikan smartphone dan EliteBook x360. Sehingga, saat pengguna menjauh dari PC ini dalam jarak tertentu—yang bisa disesuaikan—PC akan terkunci dengan sendirinya, dan akan terbuka juga secara otomatis jika didekati.

Demo fitur HP WorkWise / DailySocial
Demo fitur HP WorkWise / DailySocial

Atau contoh lainnya adalah HP Sure View. Fitur keamanan ini memungkinkan pengguna untuk terhindar dari visual hacking atau diintip kegiatannya saat menggunakan PC, khususnya saat bekerja di tempat umum seperti kedai kopi, dengan cukup menekan tombol Fn + F2.

“Berdasarkan data kami, 52% dari pekerja adalah millenials. Kebutuhan akan pekerjaan kini semakin dinamis. PC sudah bukan office device lagi, namun juga menjadi mobile device yang bisa kamu bawa kemana pun,” terang Vamsi Reddy, Country Commercial Manager Category HP Indonesia.

Nah, untuk mereka lah PC senilai Rp 24.000.000 ini ditujukan. “HP ingin menghadirkan desktop dan notebook yang secure. Kami menyasar mobile professional  muda yang sepertiga waktunya digunakan secara mobile atau di luar private space,” sambung Ricky.

Anda yang ingin mendapatkan HP Elitebook X360, DailySocial bekerja sama dengan Bhinneka.com menghadirkan Deals berupa potongan senilai 1 juta Rupiah. Informasi bisa cek lewat tautan ini.

Menguak Proses Inovasi Teknologi

Sejak awal 2000 hingga tulisan ini dirilis, bisakah Anda menghitung berapa banyak startup yang lahir di industri teknologi Indonesia? Jumlahnya mungkin membeludak, tapi tak banyak yang tetap kukuh bertahan sampai detik ini. Ada beberapa syarat yang perlu ‘dipatuhi’ agar keberlanjutan tersebut tetap terjadi, yang di antaranya ialah produk yang solutif.

Sebut saja Go-Jek, Traveloka, dan Tokopedia, misalnya. Meski bergerak di ranah bisnis yang berbeda, ketiga perusahaan ini mempunyai satu hal yang menjadi oksigen bagi laju penciptaan inovasi, yaitu keinginan untuk membawa perubahan terhadap kebiasaan masyarakat. Kebiasaan tersebut umumnya sudah terasa usang, terutama di era Internet.

Lihat bagaimana Go-Jek membawa perubahan pada cara berpikir tukang ojek dan penumpangnya dengan produk on-demand service. Lihat juga Traveloka yang mencoba memecahkan masalah dari sulitnya pemesanan tiket transportasi khususnya pesawat. Dan juga, jangan luput dari ingatan Anda tentang Tokopedia yang menjadi online marketplace untuk menjawab kebutuhan para pengusaha kecil dan UKM dalam berdagang.

Rasanya, dewasa ini sudah banyak startup hadir dengan semangat yang sama dalam menghadirkan inovasi.

Namun ternyata, inovasi teknologi belakangan tak semata lahir dari permasalahan yang dilihat dan dirasakan inovatornya saja. Beberapa penemuan teknologi kadang muncul dari hal-hal yang tidak terduga, seperti peribahasa.

Ya, Anda tidak salah dengar. Peribahasa ternyata tidak lagi menjadi instrumen dalam kancah pelajaran bahasa atau penulisan cerita, tapi sudah berfungsi baik menjadi bibit dari inovasi. Program “Unimpossible Mission” dari General Electric (GE) membuktikan keadaan tersebut.

Premis dari program ini cukup sederhana—meski pembuatan produknya tentu tidak sesederhana itu, GE melakukan hal-hal yang dianggap mustahil setiap hari guna memecahkan beragam masalah kompleks yang dihadapi dunia. Hal-hal tersebut mengacu pada peribahasa, misalnya “Catching Lighting in a Bottle,” “You Can’t Fight Fire with Fire,” atau “You Can’t Unring the Bell.”

Yang baru diluncurkan, Anda dapat menyaksikan bagaimana aksi orang-orang tercerdas di dunia mematahkan peribahasa-peribahasa tersebut. Kabar lain, GE juga membuka kesempatan bagi mahasiswa-mahasiswi Indonesia untuk memperlihatkan kemampuan mereka dalam berinovasi dari peribahasa.

Nah, apakah Anda salah satu inovator yang tepat untuk menjalankan “Unimpossible Missions”?


Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.