Jumlah Pengguna EGS Tembus 160 Juta Orang, Pemasukan Brawl Stars Capai US$1 Miliar

Ada beberapa berita menarik di dunia game pada minggu lalu. Salah satunya, Epic Games mengumumkan bahwa jumlah pengguna EGS (Epic Games Store) pada 2020 telah menembus 160 juta orang. Minggu lalu, Tencent juga menanamkan investasi di studio game Prancis, Dontnod. Sementara itu, Amazon dikabarkan menghabiskan hampir US$500 juta untuk mengoperasikan divisi gaming mereka.

2020, Jumlah Pengguna EGS Capai 160 Juta Orang

Pada 2020, jumlah pengguna EGS mencapai 160 juta orang. Memang, saat ini, Steam masih menjadi toko digital nomor satu untuk game PC, dengan jumlah pengguna aktif bulanan mencapai 120 juta orang. Namun, Epic Games Store juga cukup sukses berkat Fortnite dan sejumlah game eksklusif yang hanya ada di platform tersebut, sepreti Hitman 3.

Selain itu, Epic juga mencoba untuk memenangkan hati developer dengan memungut komisi lebih kecil. Epic hanya meminta potongan 12% dari pemasukan kreator game, sementara Valve mengambil 30%. Strategi lain Epic untuk mempopulerkan EGS adalah dengan menawarkan berbagai game gratis. Bulan lalu, Epic menawarkan Star Wars: Battlefront II  gratis di EGS, yang menarik 19 juta orang, menurut laporan VentureBeat.

Pemasukan Brawl Stars Tembus US$1 Miliar

Total pemasukan Brawl Stars sejak ia diluncurkan pada 2018 telah menembus US$1 miliar, menurut data dari Sensor Tower. Brawl Stars menjadi game keempat buatan Supercells yang berhasil mendapatkan pencapaian ini, mengikuti jejak Clash of Clans, Clash Royale, dan Hay Day.

Menurut laporan Games Industry, Clash of Clans tetap menjadi game Supercells dengan pemasukan terbesar. Pada 2020, pemasukan game itu mencapai US$581 juta. Dengan pemasukan US$526 juta, Brawl Stars menjadi game Supercells dengan pemasukan terbesar kedua pada 2020.

Brawl Stars menjadi game keempat dari Supercells yang memiliki pemasukan lebih dari US$1 miliar.
Brawl Stars menjadi game keempat dari Supercells yang memiliki pemasukan lebih dari US$1 miliar.

Versi beta dari Brawl Stars dirilis pada 2017. Game itu diluncurkan secara global pada 2018. Namun, Supercells baru meluncurkan Brawl Stars di Tiongkok pada Juni 2020. Setelah diluncurkan di Tiongkok, pemasukan bulanan Brawl Stars sempat mencapai US$89,4 juta, naik 90% dari bulan sebelumnya. Secara keseluruhan, Tiongkok menjadi pasar Brawl Stars terbesar ketiga setelah Amerika Serikat dan Korea Selatan.

Divisi Gaming Amazon Dikabarkan Habiskan Hampir US$500 Juta per Tahun

Amazon, perusahaan e-commerce asal Amerika Serikat, menghabiskan hampir US$500 juta untuk mengoperasikan divisi gaming mereka, menurut laporan Bloomberg. Dana ini tidak termasuk biaya untuk Twitch, platform streaming game yang Amazon beli pada 2014. Sejak membuat divisi gaming, Amazon telah menarik beberapa veteran game, seperti Kim Swift, designer Portal dan Clint Hocking, director dari Far Cry 2. Namun, keduanya telah memutuskan keluar dari Amazon.

Walau Amazon menghabiskan ratusan juta untuk divisi gaming mereka, mereka justru telah membatalkan sejumlah game mereka, seperti Breakaway dan Crucible. Mereka juga menunda peluncuran game MMORPG New World, lapor Games Industry. Memang, divisi gaming Amazon dikabarkan menghadapi berbagai masalah, mulai dari ketiadaan bonus, masalah dengan engine Lumberyard mereka, sampai budaya kantor yang tidak ramah untuk pekerja perempuan.

Tencent Jadi Pemegang Saham Minoritas di Dontnod

Minggu lalu, Dontnod, studio asal Prancis di balik game Life is Strange dan Tell Me Why, mengumumkan bahwa mereka berhasil mendapatkan kucuran dana sebesar €40 juta. Tencent memberikan kontribusi sebesar €30 juta. Dengan ini, Tencent menjadi pemegang saham minoritas di Dontnod. Selain itu, Tencent juga bisa menunjuk satu orang untuk duduk di kursi dewan direktur Dontnod, menurut laporan GamesIndustry. Dontnod menyebutkan, mereka akan menggunakan dana ini untuk dapat merilis game mereka sendiri.

Akankah Sim Racing Tetap Populer di 2021?

Tidak semua penggemar sepak bola mengikuti jalannya turnamen basket. Begitu juga sebaliknya, tidak semua fans basket akan menonton Liga Inggris atau Liga Champions. Di esports, setiap game esports juga punya fans sendiri-sendiri. Sebagian orang senang menonton PUBG Mobile, sementara sebagian yang lain lebih memilih untuk menonotn Dota 2.

Jika dibandingkan dengan game-game esports populer, sim racing layaknya anak tiri. Namun, pandemi virus corona pada 2020 menjadi ibu peri yang membuat sim racing menjadi lebih populer. Pandemi memaksa banyak negara untuk menetapkan lockdown, membuat banyak kompetisi balapan harus dibatalkan. Alhasil, Formula 1 dan NASCAR memutuskan untuk mengadakan balapan virtual. Tak hanya itu, ada banyak balapan lain yang akhirnya mengikuti jejak Formula 1 dan NASCAR untuk mengadakan kompetisi sim racing.

Semua ini membuat ekosistem sim racing tumbuh pesat. Namun, pada 2021, dunia mulai pulih dari pandemi COVID-19. Perlahan tapi pasti, keadaan mulai kembali ke kondisi sebelum pandemi. Kompetisi balapan pun kembali diadakan. Pertanyaannya, apakah ekosistem sim racing akan tetap bisa tumbuh?

 

Sim Racing Jadi Semakin Populer di 2020, Apa Iya?

Hampir semua pertandingan esports disiarkan melalui channel digital, seperti YouTube, Facebook, dan Twitch. Untuk mengukur popularitas sebuah game esports, metrik yang biasa digunakan beragam, mulai dari Average Minute Audience (AMA) sama Hours Watched (HW). Namun, pada 2020, ada beberapa kompetisi esports yang ditayangkan di TV untuk menggantikan siaran olahraga, termasuk kompetisi balapan virtual, seperti eNASCAR.

Saat disiarkan di FOX Sports, eNASCAR ditonton oleh 910 ribu orang. Memang, jika dibandingkan dengan jumlah penonton NASCAR — yang mencapai 3 juta orang — angka penonton balapan virtual itu masih kalah banyak. Meskipun begitu, jumlah penonton eNASCAR di FOX Sports tetap lebih banyak jika dibandingkan dengan rata-rata jumlah penonton dari kompetisi balapan virtual biasanya, yang hanya mencapai 400 ribu orang.

“Kami mulai sadar bahwa balapan virtual bisa menjadi pengganti dari balapan NASCAR,” kata Brad Zager, Head of Productions and Operations, Fox Sports, seperti dikutip dari New York Times.

Kompetisi eNASCAR bukan satu-satunya balapan virtual yang disiarkan di TV, begitu juga dengan Formula 1. Virtual Bahrain Grand Prix, kompetisi sim racing pengganti Formula 1 pertama, mendapatkan 4 juta penonton di TV dan channel digital. Lagi, angka ini memang lebih rendah dari jumlah rata-rata penonton F1, yang mencapai 34 juta, tapi tetap lebih tinggi dari jumlah rata-rata penonton balapan virtual profesional, yang hanya mencapai 1,8 juta orang.

Virtual Bahrain Grand Prix. | Sumber: Dexerto
Virtual Bahrain Grand Prix. | Sumber: Dexerto

Sementara itu, Julian Tan, Head of Digital Business Initiatives and Esports, Formula 1, mengungkap, pada 2020, F1 Esports mendadak mendapatkan banyak eksposur. “Tingkat engagement di channel digital kami memecahkan rekor baru ketika kami kembali dari balapan secara live di Austria,” ujarnya. “Konten turnamen esports resmi kami juga memecahkan rekor baru.”

Melihat jumlah penonton eNASCAR dan Formula 1, terlihat jelas bahwa ada peningkatan signifikan selama pandemi. Tak hanya jumlah penonton, total hadiah yang ditawarkan oleh kompetisi balapan virtual juga menunjukkan tren naik. Pada 2018, hadiah yang ditawarkan oleh Formula 1 Esports Series hanyalah US$200 ribu. Angka ini naik menjadi US$500 ribu pada 2019 dan melonjak ke US$750 ribu pada 2020. Sementara itu, total hadiah dari eNASCAR Coca-Cola iRacing Series, yang diadakan pada 2020, mencapai US$300 ribu, tiga kali lipat dari total hadiah eNASCAR PEAK Antifreeze iRacing Series yang digelar pada 2019.

Berbanding lurus dengan total hadiah yang naik, viewership dari eNASCAR juga naik. Berdasarkan data dari Escharts, total hours watched dari eNASCAR pada 2019 mencapai 75 ribu jam, sementara air time dari kompetisi itu adalah 39 jam. Pada 2020, kompetisi eNASCAR memiliki air time 42 jam dan mendapatkan total hours watched hingga 220 ribu jam. Tak hanya itu, jumlah penonton rata-rata dari eNASCAR juga naik drastis. Pada 2019, jumlah penonton rata-rata eNASCAR hanya mencapai 1,9 ribu orang. Angka ini naik menjadi 5,2 ribu orang pada 2020.

Data eNASCAR Coca-Cola iRacing Series 2020. | Sumber: Escharts
Data eNASCAR Coca-Cola iRacing Series 2020. | Sumber: Escharts

Motorsport Games, perusahaan di balik franchise game NASCAR Heat, juga diuntungkan oleh pandemi. Sepanjang 2020, mereka mengadakan lebih dari 50 kompetisi balapan virtual dengan total jumlah penonton mencapai 51 juta orang. Sebagai perbandingan, satu tahun sebelumnya, total jumlah penonton dari berbagai balapan virtual yang diadakan oleh Motorsport Games hanya mencapai 3,8 juta orang. Hal itu berarti, jumlah penonton pada 2020 naik hingga lebih dari 13 kali lipat dari tahun sebelumnya. Dari semua balapan virtual yang diadakan oleh Motorsport Games, kompetisi sim racing yang paling sukses adalah Virtual Le Mans. Balapan adu endurance yang diadakan selama 24 jam itu berhasil menarik 14 juta penonton.

“Pada 2021, kami berencana untuk merilis beberapa game baru dan menjajaki platform game baru,” kata CEO Motorsport Games, Dmitry Kozko, menurut laporan Motorsport. “Fokus kami saat ini adalah untuk membawa NASCAR ke Nintendo Switch. Kami tidak sabar untuk melakukan hal itu karena demografi pemain Switch yang lebih muda.”

 

Interaksi di Media Sosial

Jumlah penonton TV memang bisa menjadi validasi bagi kompetisi sim racing atau pertandingan esports lainnya. Namun, jangkauan esports tak terbatas pada siaran di TV. Platform streaming dan media sosial justru menjadi home turf dari kompetisi esportsAnthony Gardner, President, iRacing.com Motorsport Simulation mengungkap, ketika adu balap virtual disiarkan di YouTube, Facebook, dan Twitch secara live, jumlah penonton bisa mencapai 400 ribu. Dan berbeda dengan TV yang menawarkan interaksi satu arah, channel digital memungkinkan para penonton untuk berinteraksi langsung dengan sebuah brand atau bahkan dengan satu sama lain.

“Interaksi di media sosial bisa mencapai jutaan dalam satu balapan,” kata Gardner. Selain berinteraksi dengan penonton, sebuah brand juga bisa menggunakan media sosial untuk mendapatkan data dari para penonton. Tak hanya itu, umur rata-rata penonton sim racing juga lebih muda dari fans NASCAR.

“Sangat sulit untuk bisa menjangkau penonton di umur 18-35 tahun,” kata Patrick Daugherty, yang bertanggung jawab atas sponsorship di Valvoline. penyedia oli dan layanan otomotif. Dia bercerita, sebelum pandemi merebak, Vavoline memutuskan untuk bekerja sama dengan Parker Kligerman, pembalap NASCAR yang juga punya tim esports balapan. Terkait kerja sama ini, Daughterty berujar, “Mereka berhasil mendapatkan jumlah penonton dan engagement yang melebihi perkiraan kami. Kami akan melanjutkan kerja sama dengan mereka.”

 

Potensi Sim Racing di 2021

Pandemi pada 2020 membuka jalan bagai komunitas sim racing untuk tumbuh. Kozko dari Motorsport Games percaya, ke depan, ekosistem sim racing masih akan tumbuh. Pasalnya, game balapan adalah salah satu tipe game yang bisa dimainkan bersama keluarga. “Berbeda dengan game balapan, Anda belum tentu bisa memainkan game tembak-tembakan bersama dengan kakek-nenek serta sepupu atau keponakan Anda,” kata Kozko. “Karena itu, kami percaya, ke depan, sim racing akan semakin digemari.”

Sementara itu, di Indonesia, ekosistem sim racing juga masih akan tumbuh. Setidaknya, begitulah menurut Andika Rama Maulana, kapten dari tim Legion of Racing dan pemenang dari Race for Frontliners, kompetisi sim racing di Filipina yang diadakan pada 2020.

“Menurut penerawanganku,” kata pria yang akrab dengan panggilan Rama ini saat dihubungi oleh Hybrid.co.id, “Yang main sim racing itu sebenarnya sudah cukup banyak, walau jangan dibandingkan dengan pemain mobile game. Sejak pandemi, di luar negeri tuh mulai gencar banget, mengadakan siaran live balapan mereka. Belum lagi balapan sebenarnya yang on hold karena pandemi. Jadi, mulai banyak kan tuh event balap beneran yang dibuat edisi sim racing-nya, macam F1 Virtual GP, iRacing Supercars, Virtual LeMans, dan lain-lain.”

Rama menjelaskan, pertumbuhan industri sim racing di tingkat global membuat ekosistem balapan virtual di Indonesia menggeliat. “Kita juga kena imbas positifnya. Mulai banyak lomba sim racing di sini. Contohnya, yang paling besar adalah Balap di Rumah, terus ada Reli di Rumah, dan ada juga kejuaraan nasional IDMC,” ujarnya. “Belum event-event komunitas, yang mulai ramai dan mulai di-livestreaming juga.”

Hal serupa diungkapkan oleh Indra Feriyanto, pemilik dari Alien Needs yang menjual simulator rig. “Animo dari digital motorsport memang bagus. Dan pengurus baru Ikatan Motor Indonesia (IMI) juga sangat mendukung digital motorsport, jadi perkembangannya justru akan semakin bagus,” ujarnya.

Salah satu kompetisi sim racing yang diselenggarakan oleh IMI pada tahun ini adalah Indonesia Digital Motorsport Championship (IDMC) 2020. Kejuaraan nasional yang memperebutkan Piala Ketua MPR RI itu mulai diselenggarakan pada 27 Desember 2020. Sementara test race dari putaran kedua IDMC 2020 akan diadakan pada Sabtu, 30 Januari 2021. Selain IMI, Indra percaya, komunitas digital motorsport juga akan membuat berbagai kompetisi balap virtual pada tahun ini.

Hadiah IDMC 2020. | Sumber: IMI
Hadiah IDMC 2020. | Sumber: IMI

Seiring dengan bertambahnya jumlah balapan virtual, Rama mengungkap, semakin bertambah pula jumlah penonton dan sim racers. “Nah, para sim racers, yang tadinya nggak punya lahan unjuk gigi, mulai pada bermunculan,” katanya. “Efeknya adalah banyak bibit-bibit baru muncul, mulai dari yang memang benar-benar baru atau yang memang ternyata sudah jago dari lahir. Secara nggak langsung, komunitasnya juga semakin besar. Komunitas semakin besar berarti persaingan semakin ketat, karena yang jago semakin banyak.”

Terkait hadiah yang ditawarkan pada setiap balapan, Rama mengaku tidak terlalu memedulikan masalah itu. Pasalnya, dia sadar, industri sim racing tidak sebesar ekosistem game esports lainnya. Kabar baiknya, pertumbuhan sim racing yang sangat pesat di tingkat internasional membuat sejumlah pihak tertarik untuk menjadi sponsor di dunia sim racing.

“Jadi, sekarang, kalau ada turnamen-turnamen begitu, hadiahnya sudah ada,” kata Rama. “Harapannya, pertumbuhan industri sim racing ini akan bisa buat industrinya menjadi semakin besar atau semakin meriah di masa depan.” Dia optimistis, di masa depan, industri esports balapan masih akan tumbuh. Salah satu alasannya, karena sim racing sangat mudah dimengerti.

“Sebenarnya sim racing atau balapan itu kan hal yang gampaaaaang banget untuk dimengerti,” ujar Rama. “Ibaratnya, kalau nonton Dota 2 atau Mobile Legends, yang nonton setidaknya harus mengerti dulu sama game-nya, hero-nya siapa saja, dan lain-lain. Kalau balapan, asal ada susul-susulan, para penonton bisa mengerti, ‘Wih, disalip nih!'”

Ketika ditanya tentang target pribadi yang hendak dia capai pada tahun nii, Rama menjawab, “Target saya sih, mencoba realistis dan semaksimal saya. Kalau saya ikut lomba, saya coba yang terbaik dulu.” Dia menyebutkan, tahun ini, ada banyak lomba balap virtual yang hendak dia ikuti. “Mulai dari yang lokalan, sampai yang lawannya bule-bule,” katanya sambil tertawa.

 

Kesimpulan

Dalam bahasa Inggris, terdapat pepatah, “Necessity is the mother of invention.” Pandemi pada 2020 memaksa berbagai kompetisi balapan untuk mengadakan kompetisi sim racing sebagai ganti dari balapan yang sebenarnya. Sementara ketiadaan siaran olahraga membuat sejumlah stasiun TV beralih ke konten esports. Dan ternyata, siaran sim racing cukup diminati. Jadi, tidak heran jika kompetisi sim racing tetap diadakan pada tahun ini.

Pada 26 Januari 2021, NASCAR mengumumkan bahwa bersama iRacing, mereka akan kembali mengadakan eNASCAR iRacing Pro Invitational. Mereka menyebutkan, balapan virtual ini akan menjadi pelengkap dari kompetisi balapan NASCAR di dunia nyata. Tak hanya itu, FOX Sport juga akan kembali menyiarkan balapan virtual tersebut. Hal ini menjadi salah satu tanda bahwa momentum pertumbuhan sim racing masih akan berlanjut pada 2021.

Sumber header: iRacing

Rockstar Games dan GTA: Sejarah Singkat dan Keunikannya

Setiap developer game biasanya memiliki keahlian masing-masing. Misalnya, Riot Games sukses dengan League of Legends, sebuah MOBA. Karena itu, untuk membuat Ruined King, yang bergenre RPG, mereka menggandeng developer lain. Sebaliknya, Obsidian dikenal berkat game-game single-player mereka, seperti The Outer World dan Pillars of Eternity. Menariknya, Rockstar Games berhasil membuat game single-player dan multiplayer yang populer dengan Grand Theft Auto V .

 

Sejarah Rockstar Games

Rockstar Games didirikan pada Desember 1998 sebagai bagian dari Take-Two Interactive. Untuk mendirikan Rockstar, Take-Two menggunakan aset dari BMG Interactive, yang mereka akuisisi pada Maret 1998. Melalui akuisisi ini, Take-two mendapatkan dua intellectual property dari BMG, yaitu Grand Theft Auto dan Space Station Silicon Valley.

Setelah akuisisi BMG oleh Take-Two, tiga eksekutif BMG pindah ke New York untuk bekerja di bawah Take-Two. Ketiga orang itu adalah Jamie King dan bersaudara Houser: Sam dan Dan. Terry Donnovan, yang sempat bekerja di bawah perusahaan label rekaman BMG Entertainment, juga mengikuti jejak ketiganya. Keempat pria ini dianggap sebagai co-founders dari Rockstar.

DMA Design merupakan developer dari GTA pertama.
DMA Design merupakan developer dari GTA pertama.| Sumber: YouTube

Selain BMG Interactive, Take-Two juga membeli DMA Design, developer dari Grand Theft Auto, pada September 1999. DMA Design didirikan pada 1987 oleh David Jones. Pada awal berdirinya, DMA mendapatkan dukungan dari publisher Psygnosis. Ketika itu, fokus DMA adalah membuat game untuk tiga PC, yaitu Amiga, Commodore 64, dan Atari ST.

DMA Design berhasil membuat sejumlah game populer, seperti Menace dan Blood Money. Pada 1991, mereka meluncurkan Lemmings, game puzzle-platformer yang menjadi hit di pasar internasional. Menurut laporan Opium Pulses, Lemmings terjual sebanyak 15 juta unit. Tak hanya itu, dalam periode 1991-2000, Lemmings mendapatkan 5 sekuel dan 2 expansion. Kesuksesan DMA dengan Lemmings memungkinkan mereka untuk membuat game yang lebih ambisius. Salah satunya adalah Grand Theft Auto.

Grand Theft Auto pertama diluncurkan pada Oktober 1997. Tak lama setelah itu, DMA Design dibeli oleh Gremlin Interactive seharga GBP4,2 juta. Di bawah Gremlin, DMA merilis beberapa game baru, seperti Body Harvest, Space Station Silicon Valley, Tanktics, dan Wild Metal Country. Namun, Gremlin kemudian diakuisisi oleh Infogrames seharga GBP24 juta dan aset dari DMA Design dijual ke Take-Two Interactive.

Pada 1999, Take-Two mengakuisisi DMA Design. Ketika itu, mereka tengah mengembangkan GTA3D dan Grand Theft Auto: Crime World. Meski pengembangan Crime World akhirnya tidak dilanjutkan, DMA tetap membuat GTA3D, yang namanya kemudian diubah menjadi Grand Theft Auto III. Pada Oktober 2001, GTA III diluncurkan untuk PlayStation 2. Beberapa bulan setelah itu, pada Maret 2002, DMA Design diintegrasi dengan Rockstar Games. Nama studio itu pun diubah menjadi Rockstar North per Mei 2002.

 

Sekilas tentang GTA

Setelah beroperasi selama lebih dari dua dekade, Rockstar Games memiliki beberapa franchise populer, seperti Red Dead, Max Payne, dan Manhunt. Namun, tak bisa dipungkiri, Grand Theft Auto adalah franchise mereka yang paling populer.

Grand Theft Auto pertama mulai dikembangkan pada April 1995. Ketika itu, game tersebut memiliki judul Race’n’Chase. Memang, pada awalnya, GTA dibuat dengan konsep game racing multiplayer yang memungkinkan pemainnya untuk saling menabrakkan mobil mereka dengan satu sama lain. Namun, konsep dari game itu lalu berubah menjadi action adventure.

Konsep awal GTA adalah multiplayer racing. | Sumber: GameSpot
Konsep awal GTA adalah multiplayer racing. | Sumber: GameSpot

David Jones, pendiri DMA Design yang juga merupakan Producer dari GTA, mengungkap, Pac-Man merupakan salah satu game yang menginspirasi GTA. Anda mungkin bertanya-tanya bagaimana Pac-Man bisa menjadi inspirasi untuk GTA? Dalam Pac-Man, Anda harus memakan semua titik yang ada dan menghindari para Ghosts. Sementara di GTA, Anda bisa menabrak pejalan kaki dengan mobil, walau hal itu berarti Anda harus siap dikejar polisi.

Selain Pac-Man, game lain yang menginspirasi GTA adalah Elite, ungkap Gary Penn, yang ketika itu menjabat sebagai Creative Director dari DMA. Elite, yang diluncurkan pada 1984, merupakan game tentang space trading dan combat simulation. Pada masanya, game ini dianggap sebagai game revolusioner karena menggunakan grafik 3D dan sistem open-world.

Pengembangan Grand Theft Auto sendiri tidak berjalan mulus. Berulang kali, game tersebut hendak dibatalkan. Namun, para developer di DMA bersikukuh untuk menyelesaikan game itu.

 

Kontroversi Terkait GTA

Grand Theft Auto memang merupakan franchise terpopuler milik Rockstar Games. Sejauh ini, terdapat tujuh game GTA, empat game spin-off, dan empat expansion. Grand Theft Auto V, yang diluncurkan pada 2013, telah terjual sebanyak 135 juta unit. Dengan begitu, GTA V menjadi game dengan angka penjualan terbesar kedua di dunia. Dengan penghasilan total mencapai US$60 miliar, GTA V juga menjadi salah satu game paling menguntungkan.

Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri bahwa game-game GTA juga menuai kritik dan kontroversi. Kekerasan eksplisit merupakan salah satu alasan mengapa Grand Theft Auto mendapatkan kritik. Misalnya, pada GTA III, para pemain bisa menyewa Pekerja Seks Komersil (PSK) dan membunuhnya sehingga dia tidak perlu membayar. Alasan lain mengapa GTA sering mendapatkan protes adalah keberadaan konten seksual. Minigame Hot Coffee dalam GTA: San Andreas menjadi salah satu kontroversi terbesar yang melibatkan GTA. Pasalnya, minigame itu menampilkan adegan seks antara sang tokoh utama dengan kekasihnya.

GTA: San Andreas
GTA: San Andreas

Rockstar sebenarnya telah menonaktifkan minigame itu sebelum mereka merilis San Andreas. Namun, seperti yang disebutkan oleh Screen Rant, hal ini tidak menghentikan para modders untuk mengaktifkan kode dari Hot Coffee agar mereka bisa mengakses konten minigame tersebut. Pada akhirnya, Rockstar memutuskan untuk menghapus kode dari Hot Coffee dari San Andreas sehingga konten itu tak lagi bisa diakses.

Selain kekerasan dan konten seksual, Rockstar juga mendapatkan protes karena tak segan memasukkan konten sensitif terkait politik, khususnya bagi warga Amerika Serikat. Contohnya, dalam GTA: Vice City, terdapat dialog yang menyerukan dukungan untuk membunuh imigran asal Haiti. Hal ini mendapatkan protes dari komunitas Haiti-Amerika.

 

Single-Player vs Multiplayer

Pada 2013, salah satu topik hangat yang dibicarakan di industri game adalah apakah game single-player masih diminati di tengah maraknya game-game online. Menariknya, ketika itu, Rockstar meluncurkan Grand Theft Auto V, yang fokus pada elemen single-player, dan juga GTA Online, yang masih menjadi bagian dari GTA V dan merupakan game multiplayer. Ketika itu, pada Polygon, Dan Houser, salah satu pendiri Rockstar, mengaku bahwa dia percaya, game single-player masih diminati banyak orang.

“Saya rasa, game multiplayer yang dieksekusi dengan baik memang menarik minat banyak orang, tapi audiens dari game multiplayer tidak akan sebanyak game single-player,” kata Houser, seperti dikutip dari Polygon. “Game multiplayer belum dapat melakukan hal itu sekarang.” Houser mengungkap, kebanyakan game online, seperti Call of Duty, tetap punya elemen single-player, walau tentu saja, tetap ada beberapa game online yang menjadi pengecualian, seperti World of Warcraft.

“Bahkan pemain Call of Duty sekalipun tidak selalu bermain mode multiplayer,” ujar Houser. “Masih ada banyak gamer yang suka memainkan game adventure single-player. Dan saya rasa, game-game seperti itulah yang kami buat. Game-game action adventure kami punya mekanisme dan komponen petualangan yang kuat. Memang, game kami bukan RPG. Namun, perbedaan antara game action adventure buatan kami dengan RPG semakin tipis.”

Lebih lanjut, dia berkata, “Saya rasa, game single-player tetap punya masalah sendiri. Namun, game adventure single-player tetap bisa menjual jika ia memang berkualitas. Sama seperti game multiplayer yang bisa menjadi populer jika ia memang menarik.”

Kontras Strategi Bisnis Tencent dan Microsoft

Tencent dan Microsoft tetap aktif dan malah agresif dalam melakukan akuisisi atau menanamkan modal di perusahaan-perusahaan game meski di kondisi pandemi. Keduanya sama-sama raksasa namun, jika Tencent raksasa dari timur, Microsoft adalah raksasa dari barat. Menariknya lagi, kedua perusahaan raksasa itu memiliki strategi yang jauh berbeda.

 

Investasi Tencent Sepanjang 2020

Tencent merupakan investor yang agresif. Hal ini sudah menjadi rahasia umum. Di tengah pandemi sekalipun, Tencent tidak berhenti berinvestasi. Pada 2020, Tencent ikut serta dalam 170 ronde pendanaan, menurut database milik startup Tiongkok, ITJuzi. Secara total, Tencent telah berinvestasi di 800 perusahaan. Lebih dari 70 perusahaan yang dimodali oleh Tencent telah menjadi perusahaan publik dan lebih dari 160 perusahaan memiliki valuasi melewati US$100 juta, menurut laporan TechCrunch.

Sebagai konglomerasi, Tencent memiliki bisnis di berbagai bidang, termasuk game. Di dunia game, Tencent berhasil menjadi publisher game terbesar di dunia dengan mengakuisisi atau membeli saham dari perusahaan-perusahaan game besar. Dua perusahaan yang masuk dalam portofolio investasi Tencent antara lain Riot Games, developer League of Legends dan Epic Games, developer Fortnite.

Sepanjang 2020, Tencent telah menanamkan investasi di 31 perusahaan game. Sebagian besar investasi ini melibatkan perusahaan Tiongkok. Berdasarkan data Niko Partners, 23 dari 31 perusahaan game yang mendapatkan kucuran dana dari Tencent merupakan perusahaan Tiongkok. Meskipun begitu, Tencent juga mendukung sejumlah perusahaan game dari Barat, seperti Roblox.

Daftar investasi Tencent sepanjang 2020. | Sumber: Niko Partners
Daftar investasi Tencent sepanjang 2020. | Sumber: Niko Partners

Seperti yang bisa Anda lihat pada tabel di atas, jenis investasi yang Tencent lakukan sepanjang tahun 2020 beragam, mulai dari akuisisi, merger, sampai pembelian saham, baik saham minoritas maupun mayoritas. Selain itu, mereka juga ikut dalam beberapa ronde pendanaan yang diadakan oleh sejumlah perusahaan game. Jumlah transaksi di dunia game yang Tencent lakukan pada 2020 naik hingga 3 kali lipat jika dibandingkan dengan total investasi yang mereka buat pada 2019 dan naik 4 kali lipat jika dibandingkan dengan jumlah transaksi mereka pada 2017.

Besar uang yang Tencent keluarkan untuk setiap transaksi pada 2020 juga beragam. Misalnya, mereka mengeluarkan lebih dari US$70 ribu untuk mendapatkan 31,25% saham FanPass. Sementara untuk mendorong merger antara dua platform streaming game terbesar di Tiongkok, Huya dan DouYu, Tencent rela menanamkan investasi lagi sebesar US$810 juta di Huya. Transaksi terbesar Tencent pada 2020 adalah ketika mereka membeli Leyou Technology seharga US$1,5 miliar.

“Soal Merger & Acquisition (M&A), Tencent cenderung konservatif. Biasanya, mereka menanamkan modal di perusahaan-perusahaan game yang sudah terbukti sukses atau berhasil merilis game populer,” kata Niko Partners dalam laporan mereka. “Sementara pada 2020, mereka lebih proaktif dalam menanamkan investasi di segmen gaming.”

Memang, dari portofolio investasi Tencent, terlihat bahwa mereka punya kecenderungan untuk membeli saham dari perusahaan-perusahaan game besar, seperti Riot Games. Namun, pada 2020, mereka mulai menunjukkan ketertarikan untuk memberikan modal pada perusahaan game yang lebih kecil. Mereka juga mulai menanamkan investasi ketika perusahaan masih muda. Walau dikenal dengan game-game mobile seperti PUBG Mobile dan Arena of Valor, Tencent juga mulai memberikan modal untuk perusahaan-perusahaan yang berpengalaman dalam membuat game untuk konsol dan PC.

PUBG Mobile jadi salah satu game populer dari Tencent.
PUBG Mobile jadi salah satu game populer dari Tencent.

Menurut Niko Partners, salah satu alasan mengapa Tencent mengubah strategi investasi mereka adalah karena semakin ketatnya persaingan di industri game Tiongkok. Pasalnya, para saingan Tencent — seperti ByteDance dan Alibaba — juga mulai semakin memerhatikan industri game. Pada awal 2020, ByteDance, pemilik TikTok, dikabarkan akan membuat divisi gaming yang akan fokus untuk membuat game bagi para gamer hardcore, lapor GamesIndustry.

Hal lain yang mendorong Tencent untuk mengubah strategi investasi mereka adalah kesuksesan MiHoYo dengan Genshin Impact dan Lilith Games dengan AFK Arena. Kedua game itu menawarkan sesuatu yang sama sekali berbeda dari game-game Tencent. Meskipun begitu, Niko menyebutkan, posisi Tencent sebagai perusahaan game nomor satu tidak akan tergantikan dalam waktu dekat. Hanya saja, mereka tidak boleh lengah jika mereka ingin agar game-game mereka tetap menjadi game favorit di kalangan gamer.

 

Microsoft Akuisisi Zenimax

Tencent bukan satu-satunya perusahaan yang aktif berinvestasi pada 2020. Microsoft juga masih melakukan akuisisi di tengah pandemi. Hanya saja, strategi Microsoft bertolak belakang dengan strategi Tencent. Jika Tencent lebih memilih untuk menyebar modal di puluhan perusahaan game, Microsoft justru fokus pada satu transaksi, yaitu akuisisi ZeniMax Media. Untuk itu, mereka bahkan rela mengeluarkan US$7,5 miliar.

ZeniMax dikenal sebagai perusahaan induk dari Bethesda. Namun, mereka juga membawahi sejumlah game studio lain, yaitu:

  • Alpha Dog – Wraithborne, Montrocity: Rampage
  • Arkane Studios – Dishonored, Prey, Deathloop
  • Bethesda Game Studio – The Elder Scrolls, Fallout, Starfield
  • id Software – Doom, Quake, Rage
  • MachineGames – Wolfenstein
  • Rondhouse Studios
  • Tango Gameworks – The Evil Within, Ghostwire: Tokyo
  • ZeniMax Online Studios – The Elder Scrolls Online, Fallout 76

“Dengan mengakuisisi Bethesda, kami menggandakan kapasitas kami untuk membuat konten gaming,” kata CEO Microsoft, Satya Nadella, seperti dikutip dari Bloomberg. Pertanyaannya, bagaimana akuisisi ZeniMax akan memengaruhi strategi tim Xbox?

Microsoft bakal memasukkan game-game Bethesda ke Xbox Game Pass.
Microsoft bakal memasukkan game-game Bethesda ke Xbox Game Pass.

Seperti yang disebutkan oleh The Verge, game eksklusif menjadi salah satu taktik Sony untuk mendorong penjualan PlayStation. Mereka mengakuisisi developer mumpuni untuk membuat game berbasis franchise, seperti Spider-Man dan Horizon Zero Dawn. Selain itu, mereka juga menjalin hubungan baik dengan perusahaan-perusahaan game Jepang, seperti From Software dan Square Enix. Dengan begitu, mereka bisa menjamin bahwa game-game buatan developer itu — seperti Final Fantasy atau Demon’s Souls — akan diluncurkan untuk PlayStation terlebih dulu.

Namun, sejak meluncurkan Xbox Game Pass pada 2017, Microsoft tampaknya tak lagi terlalu tertarik untuk merilis game eksklusif di Xbox. Pasalnya, game-game yang masuk dalam katalog Xbox Game Pass bisa dimainkan melalui PC berbasis Windows atau bahkan Android melalui xCloud. Dengan mengakuisisi ZeniMax, Microsoft akan bisa memasukkan game-game buatan Bethesda dan studio-studio lain di bawah ZeniMax.

“Bethesda mengambil langkah berani ketika mereka merilis seri The Elder Scrolls untuk Xbox pertama. Tak hanya itu, mereka juga mendukung Xbox Game Pass sejak awal peluncurannya. Dengan begitu, game-game mereka bisa dimainkan oleh banyak orang di berbagai perangkat. Mereka juga sangat memerhatikan teknologi gaming baru, seperti cloud streaming,” kata Xbox Head, Phil Spencer. Lebih lanjut dia menyebutkan, mereka akan memasukkan game-game legendaris Bethesda ke Xbox Game Pass untuk konsol dan PC.

Razer Jadi Rekan Resmi M2 World Championship, PMGC Final Tertunda Karena Masalah Teknis

Pada minggu lalu, ada berbagai berita menarik terkait industri esports. Moonton menetapkan Razer sebagai rekan untuk M2 World Championship, sementara Team Vitality dari Prancis bekerja sama dengan Garmin. Sebanyak 35 pemain CS:GO dilarang bermain karena melanggar kode ESIC dan babak final PMGC harus ditunda karena masalah teknis.

ESIC Tetapkan Larangan Bermain untuk 35 Pemain CS:GO

Esports Integrity Commission (ESIC) mengumumkan bahwa mereka telah menetapkan hukuman larangan bermain pada 35 pemain Counter-Strike: Global Offensive. Durasi larangan bermain yang ditetapkan oleh ESIC beragam. Tergantung pada kesalahan yang pemain buat, mereka bisa mendapatkan ban selama 1 -5 tahun. Alasan para pemain CS:GO ini terkena ban adalah karena mereka membuat taruhan pada tim lain atau tim mereka sendiri, yang merupakan pelanggaran dari Anti-Corruption Code, lapor VP Esports.

Team Vitality Kena Denda Karena Lakukan Stream-Sniping

Selain menetapkan hukuman pada 35 pemain CS:GO, ESIC juga memberikan denda sebesar US$10 ribu pada pemain-pemain CS:GO dari Team Vitality. Pasalnya, mereka melakukan stream-sniping di BLAST Premier Global Final. Sebuah tim dianggap melakukan stream-sniping ketika mereka menonton siaran pertandingan untuk mengetahui posisi atau strategi musuh mereka. Di babak final BLAST Premier Global, Vitality dapat mengalahkan Team Liquid dengan skor 2-1, menurut laporan Talk Esport.

Babak Final PMGC Tertunda Karena Masalah Teknis

Babak final dari PUBG Mobile Global Championship sempat tertunda karena sebagian pemain mengalami masalah jaringan internet. Pada awalnya, pertandingan akhir dari PMGC hendak diadakan secara offline di Coca Cola Arena di Dubai. Namun, karena ada tiga pemain PUBG Mobile yang terbukti positif COVID-19, pihak penyelenggara akhirnya memutuskan untuk mengadakan PMGC Finals secara online, lapor Talk Esport. Perubahan mendadak ini menyebabkan pihak penyelenggara tidak siap untuk menghadapi sejumlah masalah yang muncul, termasuk jaringan internet yang buruk bagi sebagian pemain.

VSPN Dapatkan Investasi US$60 Juta

Versus Programming Network (VSPN), perusahaan penyedia solusi esports asal Tiongkok, mengumumkan bahwa mereka mendapatkan investasi Seri B sebesar US$60 juta. Ronde pendanaan ini dipimpin oleh Prospect Avenue Capital (PAC) dan diikuti oleh Guotai Junan International dan Nan Fung Group. Sementara itu, Lighthouse Capital menjadi satu-satunya penasehat finansial dalam pendanaan kali ini.

Berdasarkan pengumuman dari VSPN, mereka akan menggunakan dana ini untuk mengembangkan “teknologi inovatif” demi membuat produk dan konten esports baru. Investasi itu juga akan digunakan untuk ekspansi bisnis ke luar Tiongkok. Menurut laporan The Esports Observer, Dino Ying, Co-founder dan CEO VSPN, mengatakan bahwa saat ini, VSPN ingin memperkaya tipe produk dan konten esports yang mereka bisa mereka tawarkan pada rekan bisnis serta fans esports di dunia.

Razer Jadi Rekan Moonton di M2 World Championship 2021

Moonton menyambut Razer sebagai rekan peripheral resmi untuk turnamen Mobile Legends: Bang Bang, M2 World Championship 2021. Salah satu bentuk kerja sama ini adalah Razer akan membuat versi khusus dari gaming headset BlackShark V2. Dalam versi khusus M2 itu, BlackShark V2 akan menampilkan ilustrasi dari salah satu karakter Mobile Legends, yaitu Miya. Gambar Miya pada BlackShark V2 menjadi tanggung jawab dari Shane Tortilla, seniman asal Indonesia, lapor Esports Insider.

razer sponsor m2
Moonton gandeng Razer untuk M2 World Championship.

Team Vitality Bekerja Sama dengan Garmin

Team Vitality, organisasi esports asal Prancis, mengumumkan kerja sama dengan Garmin. Melalui kerja sama ini, Garmin akan menyediakan Instinct Esports Edition untuk Team Vitality. Selain itu, Garmin juga akan berkolaborasi dengan Team Vitality untuk melakukan riset dan mengembangkan produk esports dari Garmin.

“Setiap perusahaan punya keahlian mereka masing-masing. Garmin adalah perusahaan yang punya tim riset dan pengembangan yang berbakat,” kata CEO Team Vitality, Nicolas Maurer, seperti dikutip dari Esports Insider. “Sementara itu, kami punya para pemain profesional berpengalaman.”

Sumber header: ONE Esports

The Intertwined Fate Between the Esports and Football Organization

There is a saying that goes: if you can’t beat them, join them. This statement best describes what is currently happening with football clubs and the esports scene. Esports has become an enormous and legitimate industry, far different than what it was a long time ago. Capitalizing on this immense growth, football clubs have begun to enter the world of esports through various methods such as recruiting professional players, working with esports organizations, or even creating their own esports division. This phenomenon is also occurring in Indonesia today.

 

Which football clubs have explored esports?

According to The Esports Observer‘s report, the first-ever football club to dive into the world of esports is Turkey’s Besiktas Istanbul. They created the Besiktas e-Sports Club in January 2015. Unfortunately, the Besiktas esports division did not last very long and got disbanded just a year later. This tragedy, however, does not discourage other football clubs from trying to enter the world of esports.

Since then, many football clubs have attempted to enter the world of esports, each with their own unique approach. For example, VFL Wolfsburg – a football club that competes in the Bundesliga, Germany – chose to partner up with FIFA player Benedikt “Salz0r” Saltzer in 2015. Wolfsburg is not the only football club to have opted for this approach. In May 2016, West Ham United also teamed up with Sean “Dragonn” Allen. In the same year, Manchester City also partnered with professional FIFA player Kieran “Kez” Brown.


Most football clubs in Indonesia also adopted this approach. We can take PERSIJA or other clubs playing in the Indonesia Football e-League (IFeL), the virtual version of Liga 1, as an example. Moreover, most of the players recruited by these clubs have succeeded in making achievements in the PES esports scene, such as Rizal “Ivander” Danyarta, representing PERSIJA, Rizky Faidan, representing PSS Sleman, or LuckyMaarif representing PERSIK Kediri.

Rizky Faidan berhasil lolos ke World Finals PSE 2019. | Sumber: Bola
Rizky Faidan managed to qualify for the 2019 PES World Finals. | Source: Liga1PES

Another approach that football clubs usually take when they want to enter the esports world is to partner with an esports organization. If you are going to jump into a new industry that you haven’t explored, it’s easier to work with organizations or entities who are already experienced. Simply put, you won’t have to go through the trouble of building the whole infrastructure from the ground up. Therefore, this approach is much more strategic than the previous one (recruiting or partnering with a single esports player).

The first football club to use this strategy is Santos FC. In August 2015, the Brazilian club collaborated with Dexterity Team, which has rosters in League of Legends, Counter-Strike: Global Offensive, Battlefield 4, and Heroes of the Storm. The following year, Clube do Remo, also from Brazil, partnered up with Brave e-Sports. They have rosters in Hearthstone, Heroes of the Storm, and SMITE.

A couple of months ago, in November 2020, AC Milan announced their collaboration with the local esports team Qlash. Juventus also partnered with Astralis – one of the most acknowledged teams in all of CS: GO – to represent them in the eFootball PES league 2019/2020 season.

There are also football clubs that choose to form their own esports division, such as Arsenal. However, they do not manage their own esports division. Instead, Arsenal delegated the management of their esports division to the Esports Gaming League. Therefore, responsibilities such as talent searches, interviews, and signing player contracts are all accomplished by a separate entity.

Interestingly, the participation of these clubs in the esports industry is not limited to virtual football leagues. Several football clubs create teams which compete in other esports games besides FIFA and PES. An example of this is Schalke 04. The German team bought the European League of Legends team, Elements, in 2016. Until now (2020), the Schalke esports team is still competing in the League of Legends European Championship. At LEC Summer 2020, they managed to win fifth place and prize money of US$14,802.

Schalke 04 punya tim League of Legends.
Schalke 04’s League of Legend team.

Another example is Paris Saint-Germain. Currently, they have teams that compete in three esports games: Dota 2, League of Legends, and Brawl Stars. Previously, PSG had also tried to enter Mobile Legends by collaborating with RRQ. Unfortunately, this collaboration only lasted about a year and a half.

 

Why are football clubs interested in getting into esports?

Previously, Hybrid had discussed the importance of player regeneration in the world of esports. Similarly, in the world of football, the regeneration of players and fans is also equally important. The average age of a Premier League fan is 42 years old, according to marketing company CSM Sport & Entertainment. As a comparison, based on the research conducted by Paper Money Grading in 2018, the average age of an esports viewer is 26 years old. Therefore, for these football clubs, attracting the younger generation of viewers can be the primary motive to enter the esports world.

“The average age for a Premier League fan is 42 and rising, and no doubt is higher than 42 within developed fan markets like in the UK. This ageing fan base begs two questions to football clubs: How do the clubs ensure their longevity and remain relevant to the next generation of sports fans? And how do they ensure to keep the sponsors interested in their clubs?” Said Corporate Strategy Director, CSM Sport & Entertainment James Gallagher-Powell in the ESI Digital Summer, as quoted from Insider Sport. “Esports can provide the perfect channel for this. It’s a way that clubs can attract a younger audience to their core operations, i.e football, and it can help clubs to safeguard their future popularity and therefore their future profitability.”

The same notion was expressed by the Chairman of the European Club Association and Chairman of Juventus, Andrea Agnelli. Last year, he advised the football industry to be ready to compete with the gaming industry in capturing the interests of potential fans.

“Now, the habits of the fans are starting to change,” said Agnelli, from an article by Goal. We’re looking at ‘Generation Z’, the new digital natives who are turning into adulthood. We have to look at what is the behaviour of ‘Generation Z’. We should seriously start to think that the competitors are not clubs next door but League of Legends, e-sports, Fortnite. I think those are going to be the ones who are going to be our competitors going forward.

 

VIEWERS

Viewers and fans are not the only driving factor in entering the world of esports for football clubs. According to Gallagher-Powell, esports could be a major source of income for football clubs in the future. He realized that the franchise fees in large esports leagues are now in the price range of US$ 10-50 million, similar to the European soccer leagues around 20 years ago.

In 2018, slots in the League of Legends European Championship were valued at US$13 million. In the same year, Activision Blizzard set the price of the Overwatch League slot at US$20 million for the first 12 teams. They then offer an extra slot valued at around US$ 30-60 million.

Furthermore, football clubs can also use esports as a marketing tool, as suggested by Esports Insider’s Co-founder and Managing Director, Sam Cooke. In September 2019, Manchester City announced its partnership with the FaZe Clan. Through this collaboration, the two of them will make limited edition co-branded merchandise. Moreover, Manchester City will also have professional players representing them in Faze Clan’s FIFA matches, in the hopes of marketing their brand.

However, sports games like FIFA and PES are still less popular than MOBA and FPS games, such as Dota 2 or CS: GO. According to Remer Rietkerk, Head of Esports at Newzoo, the three most popular esports games right now are League of Legends, CS: GO, and Dota 2. In 2019, the total watched hours of the three games on Youtube and Twitch combined reached 845 million hours. As a comparison, FIFA 19’s total watched hours only reached 8 million hours, and FIFA 20 only reached 3 million hours.

“Fifa is a good game, many people play the game, but no hardcore esports fan will tell you, ‘I’ve been watching Fifa for years’,” said Carlos Rodriguez, the founder of G2 Esports, quoted from Financial Time.

The same idea was expressed by Account Director, CSM Sport & Entertainment, Debs Scott-Bowden. Indeed, being active in the FIFA and PES esports scene is not bad at all, as it may provide extra exposure to sponsors. However, the number of viewers of football esports games will never reach the heights of MOBA and FPS games.

Therefore, football clubs that wish to reach a much larger audience must explore the esports scene of more popular games, such as League of Legends and CS: GO. Several football clubs already took up this approach, such as Schalke 04, PSG, and FC Copenhagen. An example of a football team from Indonesia that has taken this approach is Bali United (IOG Esports); they have rosters in Free Fire and Mobile Legends.

“This route is naturally higher risk, but potential benefits are considerably greater,” said Gallagher-Powell. “The non-football or non-sports titles are the most-watched and most followed with fan numbers that dwarf that of FIFA or Rocket League. If a club wants to attract a large number of new fans, naturally, they’re better off using games with the largest followings.”

Substantial operating costs are also one of the obstacles that must be faced by football clubs if they want to create an esports team from a popular game. When a team wants to enter an esports league with a franchise system – as Schalke 04 does – they have to pay a considerable fee. Not only that, the salaries of esports players from League of Legends, Dota 2, or CS: GO are also significantly more expensive than FIFA or PES players. As an illustration, the salary of a high-end League of Legends player can fund an entire FIFA esports team, according to Gallagher.

 

How about Indonesia?

In Indonesia, football clubs and professional esports players are brought together in the Indonesia Football e-League (IFeL). Putra Sutopo, Head of IFeL said, “the initial motive of creating the IFeL was our envy of neighbouring countries having their own virtual version of League 1. We want to create something similar to that. As a matter of fact, there are currently many Indonesian players in Thailand’s League 1. As proof, the top 5 teams in the League mostly consist of Indonesian players.”

Putra admitted that he was initially surprised by this phenomenon. He eventually realized that the football fanbase in Indonesia is not only massive but also very enthusiastic. He, and many others, even consider the football fans in Indonesia to be ‘fanatical’. From there, he then took the initiative to invite League 1 clubs to participate in IFeL. “The results and responses we received were beyond our expectations,” he said. “The number of viewers is quite massive, even far exceeding neighbouring leagues.”

Both football teams and professional players, of course, have their own separate fanbase. Putra revealed that IFeL’s viewers are a combination of the two fanbases. He also believes that the football and esports leagues can go hand in hand without any interferences, such as fighting over viewership or audiences. “The esports competition is usually conducted in the pre-event,” said Putra. “For example, if the soccer game commences at 7 pm, we’ll have an esports match at 5.”

Fans sepak bola di Indonesia cenderung fanatik.
Football fans in Indonesia tend to be fanatical.

According to Putra, cooperation between the football team and professional players can be considered as a mutualistic relationship. The esports industry, especially the virtual soccer scene, will benefit from the increasing amount of entities participating in the development of the industry.

“With the increasing number of football clubs entering the esports world, we hope that PSSI will finally recognize this industry,” he said. “In my opinion, this will become a massive leap for the virtual football industry as our country still extensively lags behind many neighbouring countries in terms of the development of the industry.”

The involvement of football clubs in the esports industry can benefit many players in the industry, said Rizki Darmawan, CEO and Founder of IVPL. That advantage is emotional bonding. The primary reason people watch football esports content is to get some knowledge of the game or support the content creator. They are actually less interested in the esports content of football itself.

The case is very different from football club fans, said Rizki. They usually have strong emotional ties to the club, so they will remain loyal and support their favourite team, regardless if that team wins or loses. Hopefully, this loyalty will translate towards the virtual football game if their respective favourite clubs decide to collaborate. For this reason, IVPL plans to collaborate with Liga 2 teams.

“We want to tap into League 2 to create emotional bonds. Football fans always stay loyal to their team even if they underperformed. We want to take advantage of this relationship between fans and their clubs to create something different,” said Rizki. He compared the emotional bond between a football club fan and a celebrity’s fan. “Fans of a particular celebrity always want to know what he or she is doing. That’s the exact formula we are going to use.”

The one aspect that distinguishes IFeL and IVPL is that IFeL focuses on 1v1 matches in PES, while IVPL focuses on 11v11 competitions in FIFA. Rizki revealed that his long-term goal is to create a virtual football national team.

There are plenty of benefits that football clubs can obtain if they enter the esports scene. Rizki revealed, “They will get new fans, new sources of income, and sell new merchandise.” He added that managing a virtual league is also much less demanding than a football league. For example, tournaments can be held online and watched from home. “You don’t have to go through the trouble of renting out a venue for the tournament, saving a tremendous amount of costs. You essentially only have to focus on managing the tournament itself,” he said.

Similar to Rizki’s views, Putra also said that getting into esports would allow the clubs to expand their market and reach out to the millennial or younger generation. “If they can make good use of this, esports can be a very profitable prospect for football clubs,” he said. “Unfortunately, not many football clubs in Indonesia understand the esports business model just yet.”

Putra further explained that the newly made football club esports teams will have no trouble participating in esports matches. “This can be a good source of income for the club,” he said. “It will also not be difficult for them to get sponsorship simply because their brands are already big and established.” He added that the club can also make a profit from selling or loaning their players.
Of course, there are still many clubs out there that are ignorant of the whole esports scene. However, Putra felt this problem could be resolved by opening the minds of football teams about the esports industry. “They are ignorant simply because they are not yet familiar with the esports business system. However, with the existence of IFeL, we can already see that several clubs have finally dive into the industry and open their own teams, such as PERSITA,” said Putra.

 

Conclusion

There are several reasons why football can be one of the most popular sports in the world. Firstly, the game itself is simple and easy to understand. Playing football also does not require any special equipment that is difficult to set up, such as a PC. All you need is the ball, ample space for the field, and of course, some friends to play together. However, these days, it is not really easy to obtain those things. On the flip side, everyone today pretty much has smartphones. Not only that, many games can be played for free. So don’t be surprised if some people prefer to play games over football.

However, football and esports leagues don’t have to fight for fans and viewership. Instead, the two of them can stand side by side and work together. We can see this partnership during the coronavirus pandemic where various football leagues were converted into virtual football matches, such as leagues in Singapore and Malaysia.

The collaboration between football clubs and esports players has also proven to be beneficial for both parties. So instead of trying to take over each other’s viewership like some zero-sum game, the esports and football industry should cooperate, support, strengthen each other, and use this opportunity to grow together.

This article is translated by Ananto Joyoadikusumo. Feat image: eFootball PES 2021 Season Update.

Valve Punya Game Baru, Resident Evil Village Bakal Rilis Mei 2021

Dalam satu pekan lalu, muncul beberapa kabar di dunia game. Capcom mengumumkan tanggal peluncuran dari Resident Evil Village, sementara Gabe Newell mengungkap bahwa Valve tengah mengembangkan beberapa game baru. Dari sisi bisnis, Tencent membeli saham dari Klei Entertainment dan Vicarious Visions kini menjadi bagian dari divisi Blizzard Entertainment.

Tencent Jadi Pemegang Saham Mayoritas dari Developer Don’t Starve

Tencent menjadi pemegang saham mayoritas dari Klei Entertainment, developer dari Don’t Starve, Oxygen Not Included, dan Griftlands. Hal ini diumumkan oleh Jamie Cheng, pendiri Klei, dalam sebuah forum. Cheng mengatakan, Klei akan tetap beroperasi mandiri, tanpa campur tangan Tencent. Mereka tidak hanya tetap mempekerjakan para staf mereka, tapi mereka juga akan fokus pada proyek-proyek yang sedang mereka kembangkan.

“Klei telah berdiri selama sekitar 15 tahun dan selama itu, kami telah membuat berbagai perubahan untuk menyesuaikan diri dengan industri game,” kata Cheng, seperti dikutip dari Games Industry. “Harapan saya tetap sama, yaitu memungkinkan para pekerja kami untuk bekerja dengan kreatif, belajar, dan menikmati kehidupan di luar pekerjaan mereka tanpa harus khawatir akan keuangan perusahaan. Hal ini tetap tidak berubah.”

Resident Evil Village Bakal Rilis Mei 2021

Minggu lalu, Capcom mengumumkan bahwa Resident Evil Village akan dirilis pada 7 Mei 2021. Game horror itu akan tersedia untuk PlayStation 4, PlayStation 5, Xbox One, Xbox Series X, dan PC, lapor The Verge. Capcom mengatakan, Village sudah mendukung Smart Delivery untuk Xbox Series X|S dan Xbox One. Tak hanya itu, pemilik PS4 yang membeli game itu juga bisa melakukan upgrade ke versi digital untuk PS5. Selain mengumumkan tanggal peluncuran Village, Capcom juga merilis trailer baru dari game itu.

Vicarious Visions Digabung dengan Blizzard

Activision Blizzard memindahkan studio Vicarious Visions dari divisi Activision ke bagian Blizzard. Hal itu berarti, ke depan, 200 orang yang menjadi tim Vicarious Visions akan bekerja di bawah manajemen Blizzard Entertainment. Mereka tidak lagi menjadi tim developer utama dan akan fokus untuk membantu Blizzard menyelesaikan game yang menjadi proyek mereka.

“Setelah berkolaborasi dengan Vicarious Visions untuk beberapa waktu, Blizzard sadar bahwa kami dapat memberikan dukungan jangka panjang pada mereka,” kata juru bicara Vicarious Visions pada Games Industry. Sayangnya, mereka tidak menjelaskan proyek apa yang tengah mereka kerjakan bersama Blizzard.

Gabe Newell Ungkap Valve Punya Beberapa Game yang Bakal Dirilis

Dalam wawancara dengan 1 News, Bos Valve, Gabe Newell mengatakan, Valve sedang mengembangkan beberapa game baru. Setelah Half-Life: Alyx diluncurkan, Newell pergi ke Selandia baru untuk berlibur. Dia memutuskan untuk tetap tinggal di sana setelah pandemi virus corona merebak.

Half-Life: Alyx. | Sumber: IGN
Half-Life: Alyx. | Sumber: IGN

“Kami punya beberapa game yang sedang kami kembangkan, yang akan kami umumkan di masa depan,” kata Newell, menurut laporan IGN. Sebelum ini, Valve telah mengembangkan banyak game. Namun, pada akhirnya, juga ada banyak game yang Valve tidak luncurkan, termasuk sejumlah versi dari Half-Life 3. Newell juga membahas tentang proses pengembangan Half-Life: Alyx dan keputusan Valve untuk fokus pada game single-player.

Polemik Seputar Kecanduan Game: Bias Substansi dan Solusi

Video game sering disebut sebagai sumber dari berbagai masalah, mulai dari membuat para murid malas belajar, para pria mengacuhkan kekasihnya, sampai penembakan massal di sekolah di Amerika Serikat. Tak hanya itu, game juga diklaim bersifat adiktif, membuat para pemainnya ingin terus bermain.

Sejatinya, game adalah media hiburan. Dan seperti yang disebutkan oleh Josh Bycer, pemilik Game-Wisdom, game memang didesain untuk membuat para pemainnya ingin terus bermain. Pada saat yang sama, para developer juga biasanya menerapkan mekanisme yang memudahkan para pemain untuk berhenti kapan pun mereka mau, misalnya fitur quick save/quick load.

Sama seperti kegiatan lain, seperti membaca buku atau berkebun, bermain game juga bisa membuat Anda lupa waktu. Hal ini membuat sebagian orang — khususnya orangtua — khawatir bahwa game menyebabkan kecanduan. Pertanyaannya: kapan bermain game menjadi berbahaya?

 

Klaim WHO dan Keraguan Para Ahli

Pada Juni 2018, World Health Organization menyatakan Internet Gaming Disorder (IGD) sebagai penyakit mental yang bisa didiagnosa. Meskipun begitu, tidak semua ahli kejiwaan serta-merta setuju dengan putusan WHO. Faktanya, sebagian dari mereka enggan untuk memasukkan gaming disorder ke dalam International Classification of Diseases (ICD), panduan standar yang digunakan dalam dunia kesehatan untuk menentukan penyakit yang diidap oleh pasien.

“Saya tidak mau orang-orang yang sebenarnya tidak punya gangguan kejiwaan dianggap memiliki masalah mental karena hal ini,” kata Nancy Petry, psikolog di University of Conneticut, pada WIRED. Kekhawatiran Petry bukannya tak berdasar. Dalam sebuah studi berjudul Mental Disordres: A Glamorous Attraction on Social Media? dijelaskan bagaimana generasi muda, yang tumbuh besar dengan internet dan media sosial, terkadang meromantisasi gangguan kejiwaan, seperti depresi dan anoreksia. Seolah itu tak cukup buruk, juga ada komunitas di media sosial serta situs yang mendorong para pengikutnya untuk melakukan hal-hal berbahaya, seperti melukai diri sendiri. Jadi, masuk akal jika Petry serta para ahli psikologi lainnya tak ingin dengan gampang menyatakan gaming disorder sebagai gangguan kejiwaan.

Di media sosial, generasi muda terkadang meromantisasi gangguan mental, seperti depresi. | Sumber: Deposit Photos
Di media sosial, generasi muda terkadang meromantisasi gangguan mental, seperti depresi. | Sumber: Deposit Photos

Pada 2013, Petry sempat memimpin subkomite dari American Psychiatric Association (APA) yang bertanggung jawabb untuk mempertimbangkan apakah IGD pantas masuk dalam buku Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM), buku panduan yang digunakan oleh tenaga kesehatan di Amerika Serikat dan berbagai negara lain untuk menentukan gangguan kejiwaan yang dialami oleh pasien. Ketika itu, grup yang dipimpin oleh Petry memutuskan, kecanduan game belum bisa dianggap sebagai gangguan mental karena kurangnya bukti yang menunjukkan gaming disorder sebagai gangguan jiwa. Sebagai gantinya, mereka mengklasifikasikan IGC ke bagian “Gangguan yang Memerlukan Studi Lebih Lanjut.”

Pada 2018, Petry kembali memimpin studi terkait kecanduan game. Saat itu, dia masih percaya, bukti untuk menjustifikasi klaim kecanduan game sebagai gangguan mental masih belum cukup. Para ahli psikologi setuju, efek bermain game, yang membuat para pemainnya ingin terus bermain, memang harus dipelajari lebih lanjut. Selain itu, mereka percaya, sebagian kecil gamer berpotensi untuk membangun kebiasaan bermain game yang bermasalah. Namun, mereka menganggap, jumlah riset terkait efek game pada para pemainnya masih belum memadai untuk menjadi bukti bahwa gaming disorder pantas dikategorikan sebagai gangguan kejiwaan.

Selain jumlah studi terkait gaming disorder yang belum banyak, alasan lain para ahli psikologi enggan untuk mengategorikan IGD ke dalam gangguan kejiwaan adalah karena sebagian besar studi yang membahas kecanduan game tidak memiliki ukuran sampel yang besar. Tak hanya itu, biasanya, studi-studi itu tidak menyimpulkan apakah bermain game terus-menerus memang merupakan masalah psikologis atau merupakan pelampiasan dari masalah lain yang dihadapi oleh seseorang.

Sebagian ahli psikologi enggan untuk menjadikan IGD sebagai gangguan kejiwaan. | Sumber: Deposit Photos
Sebagian ahli psikologi enggan untuk menjadikan IGD sebagai gangguan kejiwaan. | Sumber: Deposit Photos

“Pada sebagian orang, bermain game merupakan coping mechanism untuk mengatasi masalah psikologis yang mereka alami,” kata Lennart Nacke, Director of the Human-Computer Interaction Games Group, University of Waterloo, seperti dikutip dari WIRED. Tanpa kriteria yang jelas untuk mendeskripsikan kecanduan game sebagai gangguan kejiwaan, WHO justru bisa membuat stigma baru pada para gamer. Jelas, menghabiskan waktu 24 jam sehari, 7 hari seminggu untuk bermain game adalah masalah. Namun, tidak sedikit orang yang menghabiskan belasan jam untuk bermain game setiap minggunya dan tetap bisa produktif.

 

WHO Nyatakan Gaming Disorder Sebagai Gangguan Kejiwaan

Meskipun sempat menuai protes dari para ahli psikologi, pada 2019, WHO akhirnya menetapkan gaming disorder sebagai gangguan kejiwaan. Tentu saja, hal itu tidak serta-merta membuat orang-orang yang menghabiskan banyak waktunya untuk bermain game sebagai pengidap gaming disorder. Sama seperti orang yang merasa sedih tidak melulu depresi.

Faktanya, WHO menyebutkan bahwa lamanya waktu yang dihabiskan untuk bermain game bukanlah tolok ukur untuk menentukan apakah dia mengidap gaming disorder atau tidak. Menurut WHO, salah satu kriteria dari orang yang kecanduan game adalah mereka terus bermain game meski mereka sadar bahwa bermain game terus menerus mengacaukan aspek lain dari kehidupan mereka, mulai dari sekolah, pekerjaan, hubungan dengan teman dan keluarga, atau bahkan kebutuhan dasar seperti makan dan tidur. Seseorang bisa dianggap menjadi pecandu game jika gelaja ini bertahan selama setidaknya satu tahun.

Kepada Kompas, Dokter Spesialis Kesehatan Jiwa di RS Gading Pluit, Kelapa Gading Jakarta Utara, dr Dharmawan AP, SPKJ menjelaskan, kecanduan game masuk dalam kategori behavior addiction. Kecanduan akan bermain game memiliki pengaruh yang sama dengan kecanduan obat atau substansi lainnya.

Memang, bagaimana kecanduan memengaruhi otak manusia? Seperti yang dijelaskan dalam How Stuff Works, reward system pada otak manusia punya peran penting dalam membuat manusia bisa bertahan hidup. Jadi, ketika kita melakukan sesuatu yang positif — seperti makan dan berolahraga — otak akan mengeluarkan dopamin, hormon yang membuat kita merasa bahagia. Demi mendapatkan dopamin, kita akan mengulang kegiatan-kegiatan positif yang meningkatkan kemungkinan kita untuk bertahan hidup.

Candu membuat otak mengeluarkan dopamin dalam jumlah besar. | Sumber: Prezi
Candu membuat otak mengeluarkan dopamin dalam jumlah besar. | Sumber: Prezi

Setiap substansi punya pengaruh yang berbeda-beda pada sistem limbic. yang bertanggung jawab atas reward system. Namun, semua candu punya pengaruh yang sama, yaitu membuat sistem limbic mengeluarkan dopamin dalam jumlah banyak. Ketika seseorang mengonsumsi atau melakukan satu hal yang jadi candunya, dia bisa mendapatkan dopamin 2 hingga 10 kali lipat dari biasanya, yang membuatnya merasa “high“. Alhasil, demi mendapatkan dopamin itu, dia akan terus mengonsumsi candunya.

Masalahnya, ketika otak menghasilkan dopamin dalam jumlah yang tidak wajar, otak akan kesulitan untuk memulihkan keseimbangan kimianya setelah efek dari candu berakhir. Hal inilah yang membuat orang mengalami hangover atau withdrawal setelah mengonsumsi alkohol atau narkoba. Jika seseorang terus mengonsumsi candunya, maka otaknya akan berhenti memproduksi dopamin secara natural, yang memperburuk withdrawal. Jadi, untuk bisa mendapatkan dopamin, pecandu harus mengonsumsi candunya, yang semakin mengacaukan keseimbangan kimia pada otaknya. Pada akhirnya, hal ini justru menciptakan siklus tiada akhir.

Memang, hal ini serupa dengan apa yang dialami oleh orang yang kecanduan game, menurut Dharmawan. Dia menjelaskan, salah satu ciri orang yang kecanduan game adalah mereka tidak bisa mengendalikan diri dan terus bermain game meski mereka tahu bahwa hal itu tidak baik.

Sementara itu, American Addiction Centers (AAC) menyebutkan, gaming disorder punya beberapa gejala, baik fisik maupun emosional. Salah satu gejala fisik kecanduan game adalah seseorang sering merasa lelah dan lapar. Pasalnya, orang yang kecanduan game akan terus bermain game sampai melupakan kebutuhan dasar mereka, termasuk makan dan tidur. Orang-orang yang mengidap gaming disorder juga biasanya mengalami migrain atau mata lelah karena mereka fokus pada layar dalam waktu lama. Biasanya, mereka juga mengidap carpal tunnel syndrome karena memegang controller atau mouse selama berjam-jam.

Dari segi emosional, salah satu gejala kecanduan game adalah merasa mudah marah ketika tidak bisa bermain game. Seseorang yang mengidap gaming disorder juga biasanya hidup terisolasi, jauh dari teman dan keluarga. Tak jarang, mereka juga berbohong ketika ditanya tentang berapa banyak waktu yang mereka habiskan untuk bermain game.

 

Kenapa Masyarakat Takut akan Hal Baru?

WHO memang menyatakan gaming disorder sebagai gangguan kejiwaan. Walaupun begitu, game juga sebenarnya punya dampak positif. Untungnya (atau sialnya, tergantung perspektif Anda), game bukanlah satu-satunya hal baru yang ditentang oleh masyarakat luas. Faktanya, berbagai inovasi teknologi pun pernah ditentang.

Menurut Harvard Business Review, salah satu alasan mengapa masyarakat menentang perubahan adalah karena terkadang, inovasi memang membawa dampak buruk pada kehidupan mereka. Contohnya, aplikasi transportasi online. Di satu sisi, keberadaan GoJek dan Grab memang menolong banyak orang. Namun, tak bisa dipungkiri, aplikasi transportasi online merupakan ancaman nyata untuk pengendara taksi atau ojek pangkalan. Pasalnya, pendapatan mereka jadi berkurang karena banyak orang yang memilih untuk menggunakan jasa GoJek dan Grab.

Keberadaan GoJek dan Grab sempat ditentang.
Keberadaan GoJek dan Grab sempat ditentang.

Hanya saja, alasan masyarakat untuk menolak perubahan tidak melulu rasional. Calestous Juma, profesor dari Kennedy School of Government, Harvard University menjelaskan, manusia biasanya memilih untuk mendukung atau melawan inovasi baru berdasarkan perasaan dan bukannya pemikiran rasional. Misalnya, sebelum kopi menjadi populer seperti sekarang, orang-orang pernah mengklaim bahwa meminum kopi bisa menyebabkan kemandulan.

Terdengar konyol memang. Tapi nyatanya, masih banyak orang-orang yang lebih percaya pada omongan di grup WhatsApp tanpa sumber yang jelas daripada penelitian ilmiah. Contoh: anti-vaxxer. Sudah ada banyak penelitian ilmiah bahwa vaksin tidak menyebabkan autisme atau kelumpuhan. Namun, para anti-vaxxer tetap berkeras untuk tidak memvaksin keluarganya karena percaya vaksin akan menyebabkan autisme atau kelumpuhan.

Juma menyebutkan, tidak aneh jika masyarakat berpegang teguh pada argumen yang tidak rasional karena sejatinya, mereka hanya takut akan teknologi baru. “Orang-orang bereaksi berdasarkan intuisi mereka dan mereka mengumpulkan bukti berdasarkan apa yang mereka percaya,” kata Juma, seperti dikutip dari The Washington Post. “Mereka melihat satu hal baru dan bereaksi secara emosional karena keberadaan produk itu mengubah cara pandang mereka. Hal ini terjadi pada hampir semua fenomena baru.”

Lebih lanjut, Juma menjelaskan, terkadang, bukan teknologi baru yang menjadi momok bagi masyarakat, tapi perubahan yang muncul akibat perubahan tersebut. “Mereka khawatir, mereka akan kehilangan sesuatu,” kata Juma. Dalam kasus pengendara taksi dan transportasi online, kehilangan yang sopir taksi dan ojek pangkalan rasakan adalah penghasilan.

Selain pemasukan, hal lain yang orang-orang khawatir akan hilang karena teknologi adalah gaya hidup atau bahkan identitas mereka. Juma mengungkap, baik pemerintah dan perusahaan swasta bisa meminimalisir rasa takut ini dengan memahami sumber ketakutan orang-orang yang hidupnya terpengaruhi oleh keberadaan teknologi baru.

Merasa takut akan hal baru memang manusiawi. Meskipun begitu, hal itu bukan justifikasi untuk tidak mencoba hal baru, atau setidaknya, mencoba memahami inovasi baru yang muncul. Seperti yang disebutkan oleh Marie Curie, “Nothing in life is to be feared, it is only to be understood.” Semakin kita paham akan satu hal, semakin berkurang rasa takut kita akan hal itu.

 

Kesimpulan

Ketika saya masih menjadi mahasiswa IT, Google adalah teman baik saya. Setiap kali saya menemui masalah saat menulis kode, saya bisa menggunakan mesin pencari itu untuk menemukan solusi dari masalah saya. Hanya saja, tampaknya, hal ini tidak berlaku untuk masalah kesehatan. Ketika seseorang mencoba untuk mencari tahu penyakit yang dia alami dengan memasukkan sederet gejala ke Google, kemungkinan, hasil yang akan dia dapatkan adalah penyakit mematikan, seperti kanker.

Dari sini, saya menarik kesimpulan, mencoba melakukan diagnosa sendiri, tanpa memiliki keahlian di bidang kedokteran, bukanlah hal yang bijak. Hal yang sama juga berlaku untuk gangguan kejiwaan. Memang, WHO telah menyatakan bahwa gaming disorder termasuk gangguan mental. Namun, hal itu bukan berarti semua gamer mengidap gejala itu.

Satu hal yang pasti, kebanyakan orang memang ingin solusi mudah atas setiap persoalan. Kecanduan game? Larang game-nya. Padahal nyatanya, setiap kecanduan memiliki penyebab lain yang tak kalah substansif. Misalnya, seorang anak jadi kecanduan game karena orang tuanya tak mau/mampu menyediakan waktu atau perhatian lebih ke anak tersebut. Sebatas melarang bermain game, kemungkinan besar, tidak akan menyelesaikan persoalan jika mereka juga tidak mencoba memberikan waktu dan perhatian yang lebih besar ke anak-anaknya.

Total Nilai Investasi di Industri Game Tembus US$33,6 Miliar di 2020

Melihat industri game yang justru tumbuh selama pandemi, tidak heran jika para investor tetap tertarik untuk menanamkan modal di perusahaan-perusahaan game. Menurut laporan InvestGame, sepanjang 2020, ada 665 investasi dan perjanjian Merger & Acquisition sepanjang 2020. Sementara total nilai investasi pada tahun lalu mencapai US$33,6 miliar.

 

Investasi untuk Perusahaan-Perusahaan Game

Sepanjang 2020, developer dan publisher game menerima 107 pendanaan tahap awal alias early-stage funding dari venture capital. Secara total, nilai dari semua pendanaan itu mencapai US$426 juta. Sekitar 70% dari total ronde pendanaan merupakan investasi ronde pre-seed dan seed. Sementara 42 dari total investasi ditujukan untuk perusahaan yang bergerak di segmen mobile game, dengan total nilai investasi mencapai US$123 juta.

Berdasarkan laporan InvestGame, kebanyakan startup game yang menerima pendanaan tahap awal pada tahun lalu berasal dari Amerika Serikat. Sebanyak 40 ronde investasi — dengan total nilai sebesar US$154 juta — ditujukan untuk perusahaan game yang bermarkas di AS. Sementara itu, di Jepang, hanya ada lima pendanaan yang diberikan pada startup lokal. Meskipun begitu, total nilai investasi di Negara Sakura itu mencapai US$110 juta atau sekitar 26% dari total investasi sepanjang 2020.

Investasi privat di dunia game selama 2020. | Sumber: InvestGame
Investasi privat di dunia game selama 2020. | Sumber: InvestGame

Selain investasi tahap awal, InvestGame juga melacak data tentang Investasi tahap akhir di industri game. Secara total, ada 48 pendanaan tahap akhir yang terjadi pada 2020, dengan total nilai investasi mencapai US$2,9 miliar. Hanya saja, investasi tahap akhir di industri game sempat mengalami penurunan pada Q2 2020. Namun, pada Q3 2020, ada beberapa pendanaan besar yang membuat total nilai investasi sepanjang 2020 meroket. Salah satunya adalah investasi sebesar US$1,78 miliar yang diterima oleh Epic Games, developer dan publisher dari Fortnite. Selain Epic Games, Roblox juga mendapatkan investasi dengan nilai yang cukup besar. Dalam ronde pendanaan Seri G, Roblox berhasil mengumpulkan US$150 juta.

Sepanjang enam bulan pertama dari 2020, terdapat 59 transaksi Merger & Acquisitions (M&A) dengan total nilai sebesar US$3,5 miliar. Sementara pada semester kedua tahun 2020, terdapat dua transaksi M&A besar yang terjadi. Pertama, Zynga Inc. menghabiskan US$2 miliar untuk mengakuisisi developer mobile game kasual asal Istanbul. Kedua, akuisisi Leyou Technologies oleh Tencent. Untuk mengakuisisi developer game PC dan konsol asal Hong Kong itu, Tencent rela mengeluarkan dana sebesar US$1,4 miliar. Berkat akuisisi Tencent dan Zynga, total valuasi transaksi M&A sepanjang semester kedua 2020 naik hingga 100% jika dibandingkan dengan semester pertama.

Grafik transaksi M&A di dunia game selama 2020. | Sumber: InvestGame
Grafik transaksi M&A di dunia game selama 2020. | Sumber: InvestGame

Fakta bahwa industri game tetap tumbuh di tengah pandemi membuat para investor tak keberatan untuk menanamkan modal di perusahaan-perusahaan game pada 2020. Faktanya, pada tahun lalu, terdapat 11 perusahaan game yang berhasil melakukan penawaran saham perdana (IPO), dengan total nilai investasi mencapai US$900 juta.

Selain itu, pada tahun lalu, NetEase juga berhasil mendapatkan US$2,7 miliar dengan melakukan Secondary Public Offering (SPO). Menurut Investopedia, SPO adalah penjualan saham yang dilakukan oleh perusahaan yang telah melakukan IPO. Sementara Activsion Blizzard dapat mengumpulkan US$2 miliar dengan melakukan Senior Notes Offering.

Beberapa tahun belakangan, memang semakin banyak venture capital yang tertarik untuk menanamkan modal di perusahaan-perusahaan game. Pada 2020, terdapat beberapa venture capital yang tampil menonjol. Salah satunya adalah BITKRAFT. Perusahaan venture capital ini ikut dalam setidaknya 50% ronde pendanaan di dunia gaming, menjadikan mereka sebagai venture capital paling aktif pada 2020. Soal menanamkan investasi di perusahaan game, Galaxy Interactive menjadi venture capital paling aktif nomor dua setelah BITKRAFT. Posisi ketiga diisi oleh Andreessen Horowitz, yang meimpin pendanaan Seri G untuk Roblox.

 

Investasi di Dunia Esports

Pandemi menjadi berkah di balik musibah untuk para pelaku industri game. Namun, bagi pelaku industri esports, pandemi merupakan pedang bermata dua. Memang, viewership turnamen esports pada 2020 naik, tapi sejumlah kompetisi esports harus ditunda atau dibatalkan. Meskipun begitu, para venture capital tetap tertarik untuk ikut dalam pendanaan tahap awal untuk pelaku industri esports.

Secara total, ada 59 investasi tahap awal pada 2020, dengan jumlah dana investasi mencapai US$152 juta. Tahun lalu, salah satu investasi di dunia esports yang menarik perhatian banyak orang adalah ronde pendanaan Seri A untuk Guild Esports. Ketika itu, organisasi esports yang dimiliki oleh David Beckham tersebut mendapatkan investasi sebesar US$25,7 juta.

Alasan investor menanamkan modal di perusahaan esports. | Sumber: InvestGame
Alasan investor menanamkan modal di perusahaan esports. | Sumber: InvestGame

Sementara itu, terdapat 24 ronde pendanaan tahap akhir di industri esports sepanjang 2020. Jika dibandingkan dengan jumlah ronde pendanaan tahap awal, jumlah investasi tahap akhir memang lebih sedikit. Namun, dari segi valuasi, total nilai investasi tahap akhir jauh lebih besar, mencapai US$669 juta. Salah satu investasi yang ramai diberitakan pada tahun lalu adalah pendanaan Seri B yang didapatkan oleh VSPN. Perusahaan esports asal Tiongkok itu mendapatkan US$100 juta dalam ronde investasi yang dipimpin oleh Tencent.

Sepanjang 2020, para pelaku esports juga masih cukup aktif dalam melakukan Merger & Acquisition (M&A). Buktinya, ada sekitar 37 transaksi M&A pada tahun lalu. Total nilai transaksi merger dan akuisisi selama satu tahun terakhir mencapai US$500 juta. Menurut analisa InvestGame, salah satu alasan utama perusahaan yang bergerak di bidang esports melakukan M&A adalah untuk menjadi pemegang saham mayoritas dan menguasai perusahaan yang mereka akuisisi. Buktinya, dalam 35 transaksi M&A, perusahaan yang mengakuisisi berakhir menjadi pemegang saham mayoritas.

Sumber: InvestGame, VentureBeat

Pemasukan Mobile Gaming di 2021 Bisa Capai US$120 Miliar

Pada 2020, pasar game global tumbuh 19,6% menjadi US$174,9 miliar. Menurut laporan Newzoo, mobile game memberikan kontribusi terbesar pada pertumbuhan pasar game. Dan jika para pelaku industri game dapat menghadapi berbagai tantangan yang muncul dalam beberapa tahun ke depan, nilai industri game akan tumbuh hingga US$2217,9 miliar pada 2023.

 

Pandemi Buat Semakin Banyak Orang Mainkan Mobile Game

Pada 2021, industri game tampaknya masih akan terus tumbuh, tak terkecuali industri mobile game. Menurut App Annie, total belanja mobile gamer pada 2021 akan naik 20% menjadi US$120 miliar. Sementara total belanja di aplikasi mobile pada 2020 mencapai US$143 miliar. Dalam laporan State of Mobile 2021, App Annie menyebutkan, pandemi membuat orang-orang semakin sering menggunakan perangkat mobile, baik untuk berkomunikasi, belajar, bekerja, maupun bermain.

“Selama 2020, pandemi membuat industri mobile tumbuh hingga dua-tiga tahun,” kata Market Insights Director, App Annie, Amir Ghodrati pada GamesBeat. “Kami memperkirakan, total belanja di segmen mobile gaming akan melebihi US$120 miliar. Nilai industri mobile game lebih besar dari keseluruhan segmen-segmen gaming lainnya, termasuk PC, konsol, Mac, dan handheld, walau Sony dan Microsoft merilis konsol baru.”

Kontribusi segmen-segmen mobile gamer pada tottal download pada 2020.
Kontribusi segmen-segmen mobile gamer pada tottal download pada 2020.

App Annie membagi mobile gamers ke dalam tiga kelompok, yaitu kasual, core, dan casino. Dari ketiga kategori itu, pemain kasual memberikan kontribusi paling besar pada total download dari mobile game di dunia. Sekitar 78% dari keseluruhan download mobile game berasal dari gamers kasual, sementara 20% dari core gamers, dan 2% dari casino gamers.

Sementara dari segi spending, core gamers menghabiskan uang paling banyak. Sekitar 66% dari total pemasukan industri mobile game berasal dari core gamers. Pemain kasual memberikan kontribusi sebesar 23% dan casino gamers 11%. Selain menghabiskan unag paling banyak, para core gamers juga menghabiskan waktu paling lama saat bermain game. Pada 2020, para pengguna Android menghabiskan waktu rata-rata 4,2 jam per hari untuk menggunakan smartphone mereka. Hal itu berarti, total durasi penggunaan smartphone Android mencapai angka 3,5 triliun jam selama 2020.

Core gamers memberikan kontribusi paling besar soal spending di mobile game.
Core gamers memberikan kontribusi paling besar soal spending di mobile game.

Seiring dengan naiknya waktu penggunaan smartphone, total investasi untuk perusahaan mobile juga naik. Tahun lalu, total investasi yang dikucurkan ke perusahaan-perusahaan mobile mencapai US$73 miliar, dua kali lipat dari total investasi selama 5 tahun terakhir, menurut Crunchbase. Dan bisa ditebak, Tiongkok — yang merupakan negara dengan populasi paling banyak — masih menjadi salah satu pasar mobile game terbesar di dunia. Beberapa negara lain yang juga memiliki pasar mobile game besar antara lain Amerika Serikat, Jepang, Korea Selatan, dan Inggris.

 

Tren Mobile Gaming Pada 2021 Menurut Newzoo

Industri mobile game memang diperkirakan masih akan tumbuh pada tahun ini. Namun, hal itu bukan berarti tak ada masalah yang harus dihadapi oleh para pelaku industri game. Menurut Newzoo, pada 2021, beberapa perubahan teknologi akan memengaruhi dunia mobile game. Berikut lima tren mobile gaming pada 2021.

1. Naiknya Tingkat Adopsi 5G

Di negara-negara Barat, pembangunan infrastruktur jaringan 5G sempat terhambat karena pandemi. Dan 2021 tampaknya masih belum menjadi tahun 5G. Kabar baiknya, adopsi teknologi 5G diperkirakan akan naik. Peluncuran iPhone 12 menjadi salah satu hal yang mendorong orang-orang untuk menerima 5G, khususnya di negara-negara yang menjadi pasar utama Apple, seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Tiongkok. Berdasarkan laporan Global Mobile Market dari Newzoo, sekitar 700 juta smartphones — 16% dari total smartphone yang aktif di dunia — akan siap menggunakan jaringan 5G pada akhir tahun 2021.

Penggunaan jaringan 5G akan memberikan beberapa keuntungan pada mobile gamer. Jaringan 5G menawarkan kecepatan hingga 10Gbps, 10 kali lipat dari jaringan 4G LTE-A. Hal itu berarti, waktu yang dibutuhkan untuk mengunduh atau melakukan streaming dari mobile game akan menjadi lebih singkat. Tak hanya itu, 5G juga punya latensi yang lebih baik. Response time dari jaringan 5G bisa mencapai 5 miliseconds, yang berarti pengalaman bermain mobile game akan menjadi lebih lancar, menurut Wired.

2. Semakin Banyak Game AAA dari Studio Game Tiongkok

MiHoYo meluncurkan Genshin Impact untuk konsol, PC, dan mobile. Hal ini menunjukkan bahwa mobile game AAA juga diminati. Newzoo percaya, kesuksesan Genshin Impact di pasar global akan menginspirasi studio-studio game Tiongkok lain untuk melakukan hal yang sama: merilis game AAA di pasar internasional. Salah satu hal yang mendorong publisher Tiongkok untuk menyasar pasar global adalah karena peraturan yang ketat dari pemerintah Tiongkok, lapor GamesBeat.

Kesuksesan MiHoYo dengan Genshin Impact akan dorong studio Tiongkok lain untuk melakukan hal yang sama.
Kesuksesan MiHoYo dengan Genshin Impact akan dorong studio Tiongkok lain untuk melakukan hal yang sama.

3. Penghapusan IDFA di iOS Ubah Lanskap Iklan Mobile

Apple menghapus IDFA (Identifier for Advertisers) saat meluncurkan iOS 14. IDFA memungkinkan perusahaan untuk melakukan targeted marketing, sehingga mereka bisa mengincar demografi konsumen yang sesuai dengan produk mereka. Misalnya, merek makeup akan membuat iklan tertarget untuk perempuan karena kebanyakan pengguna makeup adalah kaum Hawa.

Apple menjelaskan, alasan mereka menghapuskan IDFA adalah untuk melindungi privasi pengguna mereka. Namun, keputusan Apple ini akan mengubah ekosistem mobile, termasuk industri mobile gaming. Sebelum ini, IDFA punya peran penting dalam akuisisi pengguna baru dan iklan di platform mobile. Jadi, jika IDFA dihapus, hal ini akan memberikan dampak besar pada publisher game dan para pengiklan.

Dalam jangka pendek, salah satu dampak penghapusan IDFA adalah turunnya alokasi dana untuk akuisisi pengguna iOS pada 2021. Kemungkinan, dana tersebut akan dialokasikan untuk mengakuisisi pengguna di channel lain, seperti Android atau web. Kabar baiknya, penghapusan IDFA dapat mendorong para pengiklan untuk membuat iklan yang lebih kreatif. Selain itu, di masa depan, channel iklan offline juga akan menjadi semakin penting, begitu juga dengan inovasi marketing.

4. Mobile Game Bisa Picu Perubahan pada Model Distribusi Aplikasi

Jika developer merilis game atau aplikasi di App Store, maka mereka harus memberikan 30% dari keuntungan mereka pada Apple. Google juga menetapkan regulasi serupa di Play Store untuk Android. Sementara di Tiongkok, developer harus memberikan 50% dari total pemasukan mereka pada pemilik toko digital seperti Mi Store dari Xiaomi atau App Gallery dari Huawei. Pungutan biaya ini memberatkan para developer.

Epic Games berani menantang Apple terkait Fortnite.
Epic Games berani menantang Apple terkait Fortnite.

Ke depan, para publisher game tampaknya akan menantang status quo ini. Buktinya, pada 2020, Epic Games berani menantang Apple ke pengadilan terkait Fortnite. Tuntutan dari Epic mendorong Apple untuk membuat program App Store Small Business. Melalui program ini, para developer yang pendapatannya di App Store tidak mencapai US$1 juta, hanya perlu membayar 15% dari total pendapatan mereka. Menurut Newzoo, tren ini berpotensi untuk mengubah sistem distribusi aplikasi atau game di dunia mobile.

5. Meningkatnya Jumlah Mobile Game Berbasis IP yang Dibuat

Game berbasis intellectual property (IP) bukanlah hal baru. Ada banyak game yang dibuat berdasarkan IP yang telah populer, seperti Marvel dan Star Wars. Pada 2021, para pemegang IP tampaknya akan semakin tertarik untuk membuat mobile game dari IP mereka. Alasannya, mobile game membutuhkan waktu yang lebih sebentar dan investasi yang lebih sedikit untuk dibuat.

Beberapa tahun belakangan, publisher game besar untuk PC dan konsol juga mulai merilis mobile game yang didasarkan dari IP mereka. Misalnya, Riot Games yang meluncurkan Wild Rift atau Blizzard dengan Diablo Immortal. Sejauh ini, Newzoo telah menemukan lebih dari 230 mobile game yang didasarkan pada film, seri TV, atau buku. Sementara dalam waktu 20 tahun belakangan, ada lebih dari 900 game berbasis IP yang dirilis di semua platform. Ke depan, Newzoo memperkirakan, akan ada semakin banyak game berbasis IP yang dibuat. Alasannya, membuat game berdasarkan IP yang telah dikenal akan memudahkan developer serta publisher untuk mendapatkan pengguna baru.