Panduan Lengkap Digital Marketing di Asia Tenggara Bagi Pemula (Bagian 3)

Pada seri tulisan sebelumnya dibahas mengenai gambaran umum tentang channel online marketing, serta cara  memprioritaskan upaya online marketing anda pada channel yang lebih sesuai dengan sifat bisnis Anda. Pada artikel kali ini, kita akan membahas mengenai organic channel.

Search Engine Optimization

SEO, singkatan dari “Search Engine Optimization”, adalah salah satu cara untuk meningkatkan visibilitas sebuah website dalam hasil pencarian organik (gratis) sebuah mesin pencari, khususnya Google.

Sangatlah penting untuk memahami perbedaan antara organic results atau paid results (atau Google Ads), karena masing-masing hasil pencarian sangatlah independen dan tidak dapat disamakan. Dalam menjalankan SEO target anda adalah untuk mencapai peringkat tertinggi dalam organic results, dan bukan dalam paid results.

digital marketing

Perusahaan Seperti Apakah yang Sebaiknya Berinvestasi ke dalam SEO

SEO adalah salah satu marketing channel yang paling berpengaruh, memiliki skalabilitas yang tinggi, serta dapat dimanfaatkan oleh hampir segala jenis bisnis.

Untuk memulainya memang membutuhkan banyak pekerjaan dan channel tersebut sangat sulit untuk dikuasai sepenuhnya. Namun, jika anda berhasil melakukannya, hal tersebut akan menjadi salah satu pilar utama pemasaran online anda.

Saat ini di Indonesia belum banyak SEO Specialist yang hebat. Oleh karena, itu terdapat peluang yang besar bagi para SEO Marketer untuk menjadikan channel ini sebagai fokus utama untuk memasarkan perusahaan mereka.

Contoh waktu yang tidak tepat untuk berfokus ke SEO

  • Saat anda memerlukan hasil yang cepat atau instan : SEO membutuhkan waktu sebelum mulai membuahkan hasil. Oleh karena itu, anda sebaiknya menggunakan SEO untuk hasil jangka panjang.
  • Saat produk anda sangat baru atau inovatif sehingga tak banyak orang yang melakukan pencarian : Dalam kasus ini sebaiknya anda jangan melakukan penargetan berdasarkan niatan seseorang atau behavioral targeting seperti Google/SEO. Akan lebih baik jika anda melakukan penargetan berdasarkan demografik atau demographic targeting.

Sumber-sumber Untuk Mempelajari SEO

Di Internet, terdapat banyak konten mengenai SEO yang tidak dapat dipercaya dan dapat mengajarkan hal yang salah kepada anda. Sumber terbaik di Internet untuk mempelajari dasar-dasar SEO adalah “The Beginner’s Guide to SEO” oleh Moz. Kami menyarankan anda untuk membaca bab pertama, SEO 101, yang akan memberikan anda pandangan umum mengenai apa itu SEO dan mengapa SEO sangat penting bagi segala jenis perusahaan online.

Social Media Organic

Saat anda melihat sebuah perusahaan memposting di halaman Facebook atau membagikan Instagram Story, anda sedang melihat social media marketing mereka.

digital marketing

Setiap konten yang dipublikasikan di media sosial dianggap sebagai bagian dari social media marketing suatu perusahaan. Di Indonesia, khususnya, media sosial adalah sesuatu yang sangat besar, dengan lebih dari 130 juta pengguna media sosial aktif, atau sama dengan 50% total populasi Indonesia (!!!)

Berikut adalah daftar platform media sosial yang paling banyak digunakan per 2018.

digital marketing

Untuk statistik dan angka penting lainnya mengenai media sosial di Indonesia, kami menyarankan anda untuk mengunjungi “Indonesia digital landscape 2018” yang dibuat oleh Hootsuite dan we are social.

Untuk media sosial sangatlah penting untuk membedakan antara organic social media post dan (paid) social media ads. Akhir-akhir ini, jika di Facebook anda melihat sebuah post dari sebuah perusahaan, anda hampir selalu dapat melihat paid ads atau sponsored post (lihat contoh di bawah).

digital marketing

Perusahaan Seperti Apakah yang Sebaiknya Berinvestasi ke dalam Organic Social Media?

Organic Social Media adalah channel yang bisa menjadi sangat efektif untuk meningkatkan brand awareness terhadap perusahaan-perusahaan tersebut.

Namun, jika digunakan untuk meningkatkan traffic atau untuk meningkatkan sales, organic social media memiliki efek yang terbatas. Terlebih lagi di Facebook dimana jangkauan organic posts sangat terbatas.

Mengapa seperti itu?

Saat perusahaan anda mempublikasikan sebuah post di Facebook atau Instagram, hanya sebagian kecil orang dapat melihatnya (atau dalam kata lain, jangkauan anda sangat kecil). Kecuali, anda menginvestasikan sebagian modal anda untuk mensponsori (atau boosting) postingan anda. Ini adalah cara Facebook memaksimalkan investasi dari perusahaan-perusahaan di dalam platform-nya dan juga keuntungannya.

Jika anda ingin strategi sosial media anda mempunyai dampak yang besar, anda sebaiknya mulai membeli iklan (akan lebih dalam dibahas di dalam Social Media Paid).

Sumber-sumber Untuk Mempelajari Social Media Organic

Kami menyarankan artikel yang dibuat oleh Hubspot, yang juga memiliki tautan ke beberapa bahan bacaan agar anda dapat lebih mendalami topik ini.

Email Marketing

Email marketing adalah marketing channel yang biasanya merupakan bagian dari CRM (Customer Relationship Management) yang lebih luas dalam suatu perusahaan. Seperti namanya, email marketing menggunakan email sebagai channel untuk berinteraksi dengan calon pelanggan dan juga dengan pelanggan saat ini.

Sampai saat ini, email marketing masih merupakan salah satu channel yang paling efektif meskipun sudah cukup tua. Kelebihan utama email marketing adalah untuk retention strategies, yaitu strategi untuk membuat seorang pelanggan tetap tertarik dan terikat dengan suatu produk atau layanan.

Pada dasarnya, terdapat dua jenis email marketing :

  • Email Newsletter
  • Email Drip Campaigns

Email Newsletter

Newsletter adalah email yang dikirimkan secara teratur kepada daftar pelanggan suatu perusahaan dengan konten berisi informasi-informasi yang dapat dibaca oleh pelanggan tersebut.

digital marketing

Email Drip Campaigns

Drip Campaigns adalah serangkaian email yang dipicu oleh sesuatu yang dilakukan (atau tidak dilakukan) oleh seorang pengguna pada sebuah situs web/aplikasi dan/atau dikirimkan secara otomatis pada jadwal tertentu.

Beberapa contoh Drip Campaigns yang umum:

  • Welcome Email (Email Sambutan): Email ini terpicu ketika seorang pengguna mulai berlangganan pada suatu layanan (dan setuju untuk menerima email dari perusahaan tersebut).
  • Upselling Email : Email ini akan terkirim secara otomatis setelah pengguna selesai melakukan pembelian untuk mengajak pengguna tersebut melakukan pembelian produk/layanan lagi.
  • Re-activation Email (Email Reaktifasi): Email ini akan terkirim jika seorang pengguna belum melakukan tindakan tertentu dalam jangka waktu tertentu (misal: Seorang pengguna belum melakukan pembelian atau menggunakan layanan tertentu selama enam bulan).

Perusahaan Seperti Apakah yang Sebaiknya Berinvestasi ke dalam Email Marketing?

Semua perusahaan sebaiknya berinvestasi ke dalam email marketing, khususnya ke dalam email drip campaign. Setelah anda membuat sistem email otomatis, anda akan dapat menghasilkan traffic dan sales tambahan untuk bisnis anda secara gratis.

Semakin banyak informasi yang anda miliki mengenai pelanggan anda, maka email anda akan semakin granular dan penargetan anda akan semakin baik. Selain itu, upaya email marketing anda akan menjadi semakin efektif.

Berdasarkan pengalaman kami, dengan skalabilitas email marketing anda dapat meningkatkan traffic/sales anda antara 15% — 20%.

Contoh waktu yang tidak tepat untuk berfokus ke Email Marketing

Jika basis pelanggan anda sangat kecil, sebaiknya anda meningkatkan basis email pelanggan anda terlebih dahulu sebelum mulai membuat sistem email marketing tingkat lanjut.

Sumber-sumber Untuk Mempelajari Email Marketing

Jika anda ingin mengetahui lebih lanjut lagi mengenai Drip Campaigns, artikel dari Zapier adalah salah satu sumber yang dapat anda baca.

Namun apabila anda ingin mempelajari organic channel secara lebih mendalam dari praktisi-praktisi ahli berstandar internasional, kami sarankan anda untuk bergabung di Program Digital Marketing RevoU.

Disclosure: Artikel tamu ini ditulis oleh Tim RevoU. RevoU adalah platform pendidikan online digital marketing, yang membantu penggunanya untuk memulai karier di industri teknologi.

Melihat Potensi YouTube sebagai Sumber Penghasilan

Jika ada yang masih ragu atau menganggap remeh Youtuber bisa menjadi profesi yang menjanjikan, mungkin belum pernah ngobrol dengan orang-orang yang terlibat di dalamnya; atau belum melihat statistik dan insight yang valid. Bahkan boleh dibilang, Youtube is a serious business!

Banyak alasan mengapa YouTube menjadi platform yang semakin besar dan dijadikan sumber monetisasi andalan oleh para kreator konten. Mulai dari infrastruktur yang makin baik, harga gadget yang makin terjangkau, paket data unlimited yang menggoda, menjadikan YouTube makin tak terhentikan.

Alasan utama adalah hingga saat ini Youtube masih menjadi satu-satunya platform yang langsung memberikan penghasilan dalam bentuk pendapatan iklan Adsense kepada konten kreator — di samping tentu saja pendapatan dari luar seperti brand deal atau placement. Hal ini yang membedakan YouTube dengan platform lain yang hanya mengandalkan endorse atau brand deal, tapi belum ada bentuk payment dari platform yang bersangkutan.

Faktor lainnya, brand memang lagi fokus spending anggarannya buat influencers, KOL (key opinion leader), vlogger dan seterusnya, di mana Youtube tetap menjadi platform utama yang dibidik. Brand memanfaatkan influencer dalam mengkampanyekan dan mempromosikan produk dan layanan barunya, baik yang fokus pada branding, eksposur, story telling maupun yang mengincar konversi dan aktivasi.

Momentum yang tepat dan didukung oleh ekosistem yang makin baik inilah yang menjadikan YouTube platform yang efektif bagi industri dalam menyampaikan pesan dan merangkul target audiensenya.

Melihat potensi YouTuber di Indonesia

Saat ini di Indonesia sudah banyak nama populer di kalangan YouTuber. Belum lagi ada sederet selebritas yang banting setir mau nyemplung ke Youtube juga.

Ini artinya apa? Jelas, Youtube adalah sebuah bisnis besar — jika paham platform, produksi konten dan komunitas.

Memang tak semua orang bisa masuk ke Youtube dalam artian mampu menjadikan platform ini sebagai sumber pendapatan, tapi peluangnya sama dan terbuka lebar: siapa pun bisa jadi bintang di era Youtube ini.

Seberapa besar pendapatan Youtuber ini? Sekadar contoh dan simulasi sederhana, untuk kreator yang memiliki 1 juta subscriber —dengan asumsi video-videonya diunggah secara reguler; jumlah video views yang konsisten; dan user engagement yang memadai; plus tergantung nilai CPM (cost per miles) dari vertikal/bidang yang menjadi tema video-videonya— yang bersangkutan bisa mendapatkan di kisaran Rp20 juta – 80 juta per bulannya dari YouTube! Ya, itu baru dari YouTube, belum lagi dari endorse ataupun dari brand deal lainnya.

Konten edukasi, inspirasi dan hiburan

Konten apa yang sukses di YouTube? Paling ada tiga strategi konten yang efektif di Youtube: 1) to educate, 2) to inspire, 3) to entertain. Selama sebuah channel memiliki salah satu, dua atau ketiga unsur tersebut, biasanya komunitasnya mulai terbentuk dan video views-nya akan secara konsisten berkembang dengan baik.

Bahkan, jika ingin berbicara secara lebih teknis, diperlukan variasi konten yang disebut sebagai hero content, hub content dan help content.

Bidang atau vertikalnya bisa beragam: bisa komedi, musik, gaming, kuliner, wisata, ilmu pengetahuan, kecantikan —asalkan penyajian videonya dilakukan dengan menghibur, mengedukasi atau menginspirasi, bisa dipastikan channel tersebut akan berkembang.

Intinya adalah, setiap channel harus fokus dan konsisten. Hindari mencampuradukkan berbagai vertikal atau topik dalam mengelola channel YouTube Anda. Hal tersebut akan membuat bingung algoritma YouTube sehingga video Anda luput ditampilkan dalam gerbong rekomendasi oleh Youtube dan itu berarti Anda akan kehilangan potensi tsunami traffic/views dari pengunjung non-subscribers!

Selain itu, campur aduk topik akan membuat bingung komunitas juga. “Ini sebenarnya channel apaan sih?” begitu mungkin gerutuan pengunjung channel Anda.

Tak ubahnya seperti memiliki produk atau layanan yang mau dijual, channel Anda juga harus fokus sehingga target audience-nya juga jelas, brand yang mau masuk juga tidak kebingungan dan Anda sendiri akan terbantu dalam menciptakan konten karena fokus dan terarah.

Di atas itu semua, cara yang paling ampuh untuk terjun dalam industri konten ini adalah dengan memulai eksekusinya. Mulailah bikin channel, bikin dan upload video dan see how it goes.

Pada gilirannya kita memang butuh data, statistik dan insight soal video mana yang berhasil atau gagal. Jika Anda tak mulai mengunggah video, Anda tentu tak punya statistiknya sama sekali.


Artikel ini ditulis oleh Budi Putra, Country Manager Indonesia untuk Collab Asia.

Panduan Lengkap Digital Marketing di Asia Tenggara Bagi Pemula (Bagian 2)

Pada seri tulisan sebelumnya dibahas mengenai gambaran umum tentang digital marketing bagi pemula. Dari sana dapat disimpulkan bahwa mempelajari digital marketing dapat membuka jalan karir yang luas di berbagai perusahaan.  Pada artikel kali ini, kita akan membahas mengenai channel online marketing.

Digital marketing terdiri dari beberapa channel online yang berfungsi untuk membantu suatu perusahaan menjangkau calon pelanggan kapanpun mereka menghabiskan waktu di internet. Baik saat mereka membaca sesuatu di internet, melakukan pencarian online, bersosialisasi melalui media sosial, atau berbelanja via online.

Untuk saat ini, kita akan melihat dua klasifikasi dasar dari channel-channel online marketing terlebih dahulu, yaitu Acquisition VS Retention Channels dan Organic VS Paid Channels.

Acquisition vs Retention Channels

Perbedaan penting yang pertama di antara channel-channel online marketing adalah perbedaan antara Acquisition Channel dan Retention Channel.

Acquisition Channel adalah channel marketing yang memungkinkan sebuah perusahaan pertama kali mendapatkan pengguna. Misal, channel marketing yang digunakan untuk membuat seseorang mengunduh aplikasi Grab untuk kali pertama atau untuk membuat seseorang melakukan pembelian pertama melalui Shopee, masuk ke dalam kategori Acquisition Channel.

Berbeda dengan Acquisition Channel, Retention Channel adalah channel marketing yang digunakan oleh suatu perusahaan untuk mendorong pelanggan mereka agar melakukan transaksi lagi. Misal, setelah seseorang melakukan pembelian melalui aplikasi Traveloka, orang tersebut akan menerima email secara terus-menerus dari Traveloka yang memberikan informasi mengenai layanan dan penawaran-penawaran lainnya. Salah satu contoh retention channel yang populer adalah melalui email marketing atau melalui notifikasi aplikasi.

Organic vs Paid Channels

Perbedaan penting yang kedua di antara channel-channel online marketing adalah perbedaan antara Organic Channel dan Paid Channel.

Organic channel adalah channel yang tidak mengharuskan suatu perusahaan untuk membayar setiap kali terdapat pertambahan kunjungan ke website atau aplikasi perusahaan tersebut.

Misal, saat seseorang mengklik suatu link yang terdapat di dalam email yang dikirimkan oleh sebuah perusahaan dan mendarat ke website perusahaan tersebut, perusahaan tersebut tidak perlu membayar biaya apapun untuk setiap klik atau kunjungan ke website tersebut. Perusahaan tersebut memperolehnya dengan gratis atau, dalam kata lain, secara organik.

digital marketing

Lain halnya saat anda melihat banner promosi pada sebuah website seperti pada Kompas.com, perusahaan yang mengiklankan (pada contoh di bawah adalah Nissan) membayar untuk setiap kesan (impression) yang dibuat oleh banner tersebut atau setiap klik yang dilakukan oleh pengunjung di banner tersebut. Oleh karena itu, setiap kunjungan website yang terjadi karena klik seperti itu dianggap berbayar.

digital marketing

Organic Channel pada awalnya lebih sulit untuk berkembang dan membutuhkan investasi awal yang lebih besar dalam bidang tenaga kerja, sehingga organic channel biasanya dipakai untuk tujuan jangka panjang.

Paid Channel lebih mudah untuk dipakai dan tidak memerlukan investasi awal yang besar, namun seiring dengan pertumbuhan perusahaan anda biayanya akan semakin mahal karena perusahaan harus membayar untuk setiap kunjungan website/download yang didapatkan dari iklan.

Bagaimana Cara Memilih Channel Online Marketing yang Tepat?

Sangatlah penting untuk memprioritaskan upaya online marketing anda pada channel yang lebih sesuai dengan sifat bisnis Anda.

Kami menyarankan untuk melihat setiap channel berdasarkan 3 kriteria, yaitu Skalabilitas, Penargetan, dan Biaya (Customer Acquisition Cost).

Berdasarkan pengalaman kami, 3 kriteria diatas dapat memberikan kerangka yang cukup kuat untuk memulai dan menghindari buang-buang waktu (dan uang) di channel yang tidak sesuai dengan bisnis anda.

Skalabilitas

Seberapa besar marketing channel yang anda gunakan? Jika anda dapat menghabiskan uang yang tak terbatas, berapa banyak orang yang dapat anda jangkau di channel tersebut?

Google dan Facebook (termasuk Instagram, WhatsApp, & Messenger, yang semuanya dimiliki oleh Facebook) adalah dua online marketing channel terbesar saat ini, karena hampir semua orang yang menggunakan internet juga menggunakan layanan mereka.

Dominasi Google dan Facebook dalam bidang online marketing tercermin oleh pangsa digital marketing mereka (Alphabet = perusahaan induk Google).

digital marketing

Untuk suatu channel, semakin besar dan fleksibel, semakin bagus pula channel tersebut, karena anda dapat menggunakannya seiring dengan pertumbuhan perusahaan dan penjualan anda.

Di sisi lain, jika suatu channel memiliki memiliki skalabilitas yang kecil, maka anda hanya dapat menggunakannya sampai pada titik tertentu saja. Hal ini sangat tidak ideal karena anda harus mencari channel lain untuk digunakan begitu anda mencapai titik jenuh (yang berarti anda harus membuat strategi baru, yang akan memakan waktu dan menghabiskan biaya).

Penargetan

Agar digital marketing anda menjadi efektif, anda harus mampu menargetkan pengguna yang tepat untuk produk atau layanan yang anda tawarkan.

Jika produk anda menargetkan orang-orang berpenghasilan tinggi, maka anda akan membuang-buang uang jika iklan anda menargetkan masyarakat berpenghasilan rendah. Hal yang sama akan terjadi jika anda menjual produk anda pada area tertentu. Akan menjadi sia-sia jika anda mengiklankan produk anda di Surabaya padahal produk anda hanya dijual di Jakarta.

Saat ini terdapat 2 jenis penargetan online, yaitu Behavioral Targeting dan Demographic Targeting.

Behavioral Targeting

Behavioral targeting adalah penargetan berdasarkan niatan seseorang untuk membeli produk atau layanan tertentu melalui tindakan yang mereka lakukan.

Misalnya, jika seseorang ingin membeli smartphone, orang tersebut mungkin terlebih dahulu membandingkan harga smartphone tersebut diantara toko-toko online untuk melihat toko online manakah yang menjual dengan harga lebih murah.

digital marketing

Ini adalah salah satu contoh di mana anda dapat menjangkau orang tersebut dengan beriklan di Google pada keyword tertentu. Iklan anda dapat muncul setiap kali seseorang melakukan pencarian dengan keyword yang sesuai dengan produk anda.

Demographic Targeting

Dengan Demographic Targeting anda dapat menargetkan calon pelanggan berdasarkan demografi dan ketertarikan (interest) mereka. Misalnya, (secara hipotesis) anda dapat menargetkan wanita + tinggal di Bandung + menempuh pendidikan di ITB + menyukai musik Rock. Penargetan jenis ini tersedia di platform seperti Facebook atau Instagram.

Untuk penargetan jenis ini, pengguna tidak perlu melakukan tindakan apapun, tetapi pengguna akan ditargetkan secara otomatis jika memiliki kecocokan terhadap kriteria demografi dan interest yang anda tentukan. Kriteria penargetan yang dapat anda atur sangat tergantung pada platform yang anda gunakan.

Kelebihan menggunakan Demographic Targeting dibanding Behavioral Targeting adalah anda dapat langsung mencapai target pengguna tanpa perlu menunggu mereka melakukan suatu tindakan. Namun kelemahannya adalah target anda semakin lama akan semakin terbiasa dengan iklan anda dan akan semakin jarang mengklik karena tidak ada niatan membeli yang akan memicu iklan anda.

Biaya (CAC)

Biaya pemasaran yang dikeluarkan oleh sebuah perusahaan untuk mendapatkan pelanggan baru yang membeli produk atau layanan untuk pertama kalinya disebut Customer Acquisition Cost (CAC).

Untuk lebih mengerti mengenai CAC, mari kita lihat contoh berikut:

  • Perusahaan X mempekerjakan seorang digital marketer dengan gaji Rp 10 juta per bulan.
  • Perusahaan X melakukan pemasaran melalui Facebook Ads dengan biaya Rp 20 juta per bulan.
  • Sebagai hasilnya, mereka mendapatkan 100 pelanggan baru setia bulannya (pelanggan baru = pelanggan yang pertama kali melakukan pembelian di perusahaan tersebut)
  • Maka, CAC mereka dapat dihitung dengan cara : (10 juta + 20 juta) / 100 pelanggan = Rp 300.000,- per pelanggan

CAC merupakan salah satu metrik yang penting untuk diperhatikan dalam digital marketing. Bahkan mungkin yang paling penting. Seorang digital marketer yang baik seharusnya mengetahui dengan baik CAC setiap channel yang digunakan.

Mengingat bahwa setiap acquisition channel memiliki CAC yang berbeda, sebuah perusahaan bisa saja tidak memanfaatkan channel tertentu dengan CAC yang terlalu tinggi karena akan sulit untuk mendapatkan keuntungan. Semakin tinggi CAC yang dapat perusahaan anda bayarkan, semakin banyak acquisition channel yang dapat anda investasikan.

Untuk mempelajari lebih lanjut mengenai channel online marketing, kami menyarankanmu untuk mengikuti Program Digital Marketing RevoU.

Disclosure: Artikel tamu ini ditulis oleh Tim RevoU. RevoU adalah platform pendidikan online digital marketing, yang membantu penggunanya untuk memulai karier di industri teknologi.

Panduan Lengkap Digital Marketing di Asia Tenggara Bagi Pemula (Bagian 1)

Mempelajari digital marketing adalah mempelajari bagaimana cara berinteraksi dengan calon pelanggan melalui digital channel, dengan tujuan membuat mereka melakukan sesuatu pada situs web atau aplikasi tertentu.

Digital Marketing adalah sebuah istilah umum yang mencakup seluruh upaya online marketing suatu perusahaan. Aktivitas suatu perusahaan di sosial media seperti Facebook atau Instagram, newsletter yang dikirimkan suatu perusahaan kepada pelanggan mereka, atau periklanan yang dilakukan suatu perusahaan pada situs web seperti detik.com atau Kompas.com masuk ke dalam strategi “Digital Marketing” yang lebih luas.

Semakin banyak perusahaan berinvestasi ke dalam online marketing dibandingkan ke dalam offline channel, bukan hanya karena semakin banyak orang yang menggunakan internet, tetapi juga karena online marketing memungkinkan perusahaan-perusahaan tersebut untuk menjangkau target audience mereka dengan lebih tepat dan efisien dibandingkan dengan offline channel tradisional seperti radio, koran, atau papan iklan.

Terlebih lagi, digital marketing memiliki sifat highly measureable. Hal tersebut berarti seorang digital marketer mengetahui dengan baik bagaimana performa dari setiap online marketing channel dan apa Return on Investment (ROI) dari setiap rupiah yang dipakai untuk online marketing.

Mengapa Mempelajari Digital Marketing?

Saat ini, Digital Marketer merupakan salah satu kemampuan yang dicari oleh perusahaan-perusahaan, terutama di dalam perusahan e-commerce yang sedang berkembang pesat, karena digital marketer memiliki peran utama dalam perkembangan perusahaan-perusahaan seperti Shopee, Lazada, atau Traveloka.

Sebagai hasilnya, ketertarikan terhadap kemampuan digital marketing di Indonesia meningkat dengan pesat, terutama dalam dua tahun terakhir:

digital marketing

Terdapat peningkatan jumlah lowongan pekerjaan untuk orang-orang yang memiliki kemampuan dalam digital marketing.

digital marketing

Beberapa contoh lowongan pekerjaan digital marketing pada beberapa perusahaan teknologi:

Mempelajari Digital Marketing dapat membukakan anda lowongan pekerjaan yang luas dan karir yang sangat memuaskan di perusahaan-perusahaan teratas.

Disclosure: Artikel tamu ini ditulis oleh Tim RevoU. RevoU adalah platform pendidikan online digital marketing, yang membantu penggunanya untuk memulai karier di industri teknologi.

Keruntuhan Industri P2P Lending, Akankah Terjadi di Asia Tenggara?

Ekosistem P2P lending di Indonesia tengah berkembang dalam tiga tahun terakhir membawa optimisme bagi para investor serta secercah harapan untuk ekonomi UMKM di tanah air. Pada kenyataannya, pertumbuhan yang eksplosif ini juga menahan langkah para regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam hal membedakan perusahaan yang benar-benar bernilai bagi sektor finansial dari perusahaan yang sarat resiko dan cenderung ilegal, yang bisa menjanjikan keuntungan besar bagi para investor.

Dalam laporan KPMG tahun 2018, industri P2P lending Indonesia mengalami pertumbuhan lebih dari 800% sejak tahun 2016, dengan jumlah pinjaman yang disalurkan mencapai 25 triliun Rupiah di akhir tahun 2018. Melihat tren P2P lending saat ini, akan lebih bijaksana bagi investor untuk melihat pola pada pasar yang lebih matang dan menahan diri untuk terjun dalam permainan sampai isu-isu mulai mereda. Naik turunnya ekonomi P2P lending telah berulang sebanyak dua kali; pertama di Republik Rakyat Tiongkok, lalu di Amerika Serikat.

Berbeda dengan di Tiongkok atau Amerika, P2P lending bukanlah konsep baru di Indonesia. Usaha patungan yang biasa dijalankan secara kolektif sudah ada selama berabad-abad lalu dalam bermacam bentuk. Perbedaan budaya ini merupakan faktor penentu utama dalam pertumbuhan ekosistem P2P lending di Indonesia. Keakraban budaya dengan gagasan keuangan mikro memudahkan pemberi pinjaman dan peminjam untuk beradaptasi dengan model-model baru yang diperkenalkan oleh para pengusaha.

Di satu sisi, adopsi P2P lending yang siap pakai oleh penduduk Indonesia yang belum terjangkau produk perbankan turut memicu pertumbuhan ekosistem ini. Di sisi lain, kurangnya regulasi seputar pertumbuhan ini menimbulkan risiko tinggi bagi semua orang yang terlibat dalam industri, termasuk investor, pemberi pinjaman, dan peminjam.

Faktanya adalah tanpa dukungan dari sektor keuangan formal, tidak ada infrastruktur yang cukup untuk menopang operasi bisnis P2P lending. Tingginya rasio kredit bermasalah (NPL), yang mencapai di atas 3%, adalah hal umum. Tanpa metode penilaian kredit yang akurat dan modal yang cukup untuk melakukan penjadwalan utang, sangat sulit–hampir tidak mungkin–bagi pemain P2P lending untuk mengkurasi para peminjam dengan baik dan menjamin para investor memperoleh nilai pengembalian yang dijanjikan.

Kejatuhan industri

Di balik eksistensi model bisnis P2P yang legit yang telah terdaftar di OJK, kurangnya pengawasan secara menyeluruh menciptakan ruang untuk praktik penipuan.

Menurut daftar yang telah dirilis pada 30 September 2019, hanya sekitar 13 dari 127 aplikasi pinjaman terdaftar yang telah dilisensi oleh OJK. Di luar dari sekitar 100 yang terdaftar, ratusan lainnya beroperasi secara ilegal di wilayah ini.

Sejumlah platform P2P lending ilegal ini menjadi pusat perhatian selama beberapa tahun terakhir karena serangkaian skandal yang melibatkan kebangkrutan, suku bunga absurd, serta metode pengumpulan tak lazim untuk NPL. Secara bergilir, skandal ini telah memicu gerakan perlawanan menyeluruh dari para peminjam. Dari sisi investor, ada banyak kasus di mana platform P2P lending, salah satunya di Tiongkok, melalaikan kewajiban setelah akhirnya ditutup, sama halnya dengan Yindou, yang ditutup pada Juli 2018 dengan saldo pinjaman 4,4 miliar yuan (sekitar US$ 640 juta) lalu meninggalkan investor tanpa kejelasan terkait investasi mereka.

Mengingat rekam jejak negatif dari platform P2P lending di Tiongkok dan Amerika Serikat, tidak dapat dihindari bahwa cepat atau lambat, kejatuhan industri P2P lending akan menyebar di Asia Tenggara.

Sebuah titik terang

Tentu saja, selalu ada pengecualian. Pemain P2P yang memberikan studi kasus untuk sektor keuangan formal menawarkan nilai jangka panjang sebagai contoh sebuah transisi ke ekosistem keuangan mikro yang lebih berkelanjutan. Pengecualian seperti itu biasanya beroperasi dalam ceruk tertentu, seperti pembiayaan faktur atau pembiayaan UKM dalam sektor e-commerce.

Salah satu contoh dari startup pemberi pinjaman P2P yang telah berhasil beralih ke model keuangan mikro yang lebih berkelanjutan adalah Danamas. Perusahaan ini, sebagai bagian dari grup Sinarmas, secara eksklusif berurusan dengan peminjam yang merupakan pelanggan Traveloka atau yang membutuhkan kredit ponsel. Dengan tingkat default rendah dan keuntungan 14% hingga 20%, Danamas adalah pemberi pinjaman P2P pertama di Indonesia yang terdaftar dan dilisensi penuh oleh OJK.

Salah satu yang bisa dikaitkan dengan keberhasilannya adalah integrasi dengan ekosistem keuangan. Peminjam dapat membuka rekening Bank Sinarmas, memperoleh kredit ponsel, bahkan membeli asuransi melalui aplikasi, semua didukung entitas dalam sektor keuangan formal.

Setelah isu mulai reda

Sekalipun P2P lending menjelma menjadi bom waktu, hal ini tidak ada kaitannya dengan perkembangan sektor finansial di Indonesia.

Para pemain smart P2P lending memahami bahwa mereka perlu melakukan diversifikasi jika ingin menjelma menjadi yang terbaik. Ini adalah wujud Darwinisme yang paling murni. Saya telah menyaksikan beberapa perusahaan menunjukkan studi kasus baru yang menarik ke sektor keuangan formal yang sudah ada di Indonesia. Sejumlah platform P2P lending baru menunjukkan bahwa mereka dapat memanfaatkan peluang yang tidak dimiliki bank besar.

Investree adalah salah satu contoh menarik dari perusahaan P2P lending. Mereka membuat studi kasus yang menarik untuk pembiayaan faktur, yaitu di industri kreatif di mana jaminan fisik masih sulit didapat. Dalam satu kurun waktu, startup pinjaman P2P Modalku menunjukkan daya tarik dengan pembiayaan pedagang daring, bahkan masuk ke pembiayaan perdagangan (contohnya pembiayaan rantai pasokan). Peluang lateral ini lahir dari pinjaman P2P dan ada kemungkinan memiliki nilai jangka panjang bagi bank-bank besar serta lembaga keuangan formal di ASEAN.

Menurut indeks keuangan global Bank Dunia, 48,9% orang dewasa Indonesia memiliki rekening bank, sementara hanya 17,3% yang meminjam dari lembaga keuangan formal. Hal ini dapat dibandingkan dengan tingkat penetrasi internet negara yang mencapai 72,4% untuk wilayah perkotaan, area yang paling banyak dihuni UKM, di mana terdapat kesenjangan mencolok antara kedua statistik. Aplikasi pinjaman P2P menawarkan cara untuk menjembatani jurang ini dengan menmungkinkan konsumen dengan basis mobile untuk melancarkan aktivitas keuangan online.

Dengan kata lain, teknologi pinjaman P2P membantu menyosialisasikan populasi yang tidak memiliki rekening bank kepada gagasan keuangan mikro, sehingga meningkatkan tingkat melek finansial di Indonesia. Ini terutama benar setelah OJK mengeluarkan peraturan pada tahun 2016 yang mewajibkan platform pinjaman P2P untuk menyediakan seminar eksternal dan program sosialisasi untuk mempromosikan inklusi keuangan dan literasi di pasar.

Dengan cara ini, aplikasi menyediakan prekursor yang diperlukan untuk sektor keuangan formal untuk masuk dan memberikan solusi keuangan mikro yang lebih berkelanjutan.

Para pemain yang bertahan

Seperti yang sudah saya sebutkan, pemain P2P dengan penawaran studi kasus paling menarik pada sektor keuangan formal akan memimpin pasar. Pemberi pinjaman P2P berlisensi cenderung bertahan karena sudah terintegrasi dalam sektor keuangan formal dan mengisi ceruk tertentu. Namun, hal ini tidak berlaku untuk ratusan bisnis pinjaman P2P tanpa izin yang kini beroperasi di Indonesia, karena mereka akan berangsur-angsur runtuh dengan model bisnis yang tidak berkelanjutan.

Mungkinkah ekosistem pinjaman P2P Indonesia akan mengalami nasib yang berbeda dari ledakan yang terjadi di Tiongkok dan AS? Mungkin, tapi itu tidak mungkin. Kesehatan industri dapat diukur dengan tingkat NPL, dan dengan demikian, akan bijaksana untuk mengawasi indikasi-indikasi bahaya untuk saat ini.


Artikel ini ditulis oleh Nicko Widjaja, CEO BRI Ventures. Pertama kali diterbitkan oleh Forbes Indonesia (edisi Januari 2020) dan diterjemahkan dengan izin penulis.

Teknologi Sebagai Masa Depan Pendidikan di Indonesia

Bayangkan sebuah dunia di mana tugas-tugas yang bersifat repetitif telah diambil alih oleh robot. Sebuah dunia di mana pabrik mesin mencetak mobil-mobil self-driving, drone antar-jemput dari rumah ke rumah, serta mesin chatbot kecerdasan buatan bisa  melayani pelanggan melalui telepon. Hal-hal ini telah terjadi, dan itu hanya sebagian kecil contoh. Setiap hari, di seluruh dunia, pekerjaan formal yang dulu dianggap sebagai domain eksistensi manusia kini telah bertransformasi menjadi lebih otomatis atau digital.

Model pendidikan saat ini sedang mempersiapkan anak-anak kita untuk bekerja dalam ekonomi yang akan punah ketika mereka lulus dari universitas. Tenaga kerja masa depan yang terbangun akan lebih berpusat pada manusia dan layanan kreatif, yang beroperasi melalui saluran sarat digital. Dengan demikian, adalah hal yang vital bagi sektor pendidikan Indonesia untuk berporos ke arah kurikulum modern yang menekankan teknologi dengan sentuhan manusia.

Teknologi pendidikan — biasa disebut ‘edtech’ oleh para pemangku kepentingan dalam permulaan dan permodalan ventura — seringkali diabaikan dibandingkan dengan sub-sektor lain dari ekosistem teknologi. Hal ini dapat terjadi karena pemikiran usand terhadap pendidikan yang menempatkan fokus pada menghafal dan gagasan ‘etika’ yang tidak jelas.

Sementara nilai-nilai tradisional memiliki tempatnya, akan jauh lebih baik menggunakan pendekatan pragmatis untuk pendidikan dan mempertimbangkan fakta bahwa tanggung jawab pertama dan utama lembaga pendidikan di Indonesia adalah untuk membantu siswa tumbuh menjadi kontributor yang sesuai untuk ditempatkan dalam masyarakat.

Lagipula, sentimentalitas tidak memiliki tempat dalam persiapan tenaga kerja yang kompetitif, namun hal ini bukan berarti tenaga kerja digital masa depan akan berperilaku seperti robot. Sebaliknya, mereka akan melakukan hal-hal yang paling manusiawi yang tak terkikis oleh automasi. Pekerjaan yang membutuhkan kreativitas, kolaborasi, serta komunikasi intim antar manusia tidak dapat digantikan oleh algoritma. Penting sekali untuk melengkapi sekolah-sekolah di Indonesia dengan kapasitas penuh dalam mempersiapkan kaum muda kita untuk ekonomi yang lebih lanjut dengan memaksimalkan transformasi digital sistemik.

Posisi negara saat ini

Indonesia berada pada peringkat 41 dari total 63 negara dalam indeks IMD (Lembaga Manajemen Pengembangan). Sementara negara ini memiliki daya tarik yang diposisikan pada urutan ke 24, kita juga berada di urutan ke-51 berdasarkan faktor investasi dan pembangunan. Hal ini menunjukkan bahwa tenaga kerja Indonesia memiliki potensi tinggi untuk berpartisipasi dalam ekonomi global, relatif terhadap posisinya saat ini.

Untuk bisa memaksimalkan potensi ini, jika kita tilik lebih dalam, ada lebih dari 87,2 juta siswa yang terdaftar dalam sistem pendidikan Indonesia. Kebutuhan akan sosok guru juga sangat mengejutkan dan tidak terpenuhi; terwujud dalam rasio 7: 100 antara guru dan siswa. Rasio ini bahkan lebih buruk di pulau-pulau terpencil, di mana sepanjang sejarah sekolah mengalami kekurangan dana dan kekurangan tenaga.

Untuk meningkatkan rasio di atas dan melengkapi para pendidik dengan alat dan teknologi terbaru, sektor publik dan swasta harus bekerja sama untuk mengatasi beberapa hambatan utama dalam digitalisasi.

Pertama, kita harus mengatasi kurangnya modal inovatif di sektor pendidikan. Pemerintahan Jokowi mengusulkan anggaran Rp585,8 triliun ($ 35,51 miliar) untuk pendidikan pada tahun 2020, meningkat 50 persen dari tahun 2015. Sementara sebagian besar dari anggaran pendidikan selama ini telah dialokasikan untuk beasiswa dan pemeliharaan sekolah, sebagian juga harus disisihkan untuk investasi edtech.

Kedua, ada isu pembangunan infrastruktur tidak merata di setiap sekolah. Terdapat perbedaan mencolok antara sekolah di daerah pedesaan dengan sekolah modern di kota-kota besar yang harus dijembatani. Melengkapi guru dengan kurikulum digital ketika siswa tidak memiliki laptop atau koneksi internet sama dengan hal yang sia-sia. Proyek Palapa Ring, jalan raya serat optik bawah laut baru yang membentang dari Sabang hingga Merauke, adalah salah satu dari banyak solusi potensial untuk masalah ini yang lahir dari kemitraan publik-swasta.

Ketiga, dan yang paling penting, Indonesia membutuhkan lebih banyak guru untuk berpartisipasi menjadi tenaga kerja. Banyaknya inovasi edtech serta uang untuk dibelanjakan pada digitalisasi hanya akan menjadi janji-janji kosong jika tidak ada pendidik yang mau mengajar di lapangan. Memberikan nilai tambah menarik seperti insentif, finansial atau lainnya, bagi para pendidik kelas dunia untuk mengajar di Indonesia adalah salah satu cara untuk men ‘doktrin’ , serta meningkatkan prospek negara.

Edtech di Indonesia

Sektor edtech Indonesia pada dasarnya dapat dibagi menjadi empat kategori, yaitu marketplace, platform kelas online, sistem manajemen sekolah dan pinjaman siswa. Ruangguru, sebuah marketplace les privat online, telah berhasil mendapatkan lebih dari 6 juta pengguna [siswa] untuk mempelajari lebih dari 100 mata pelajaran secara online. Zenius, dengan model bisnis yang sama, menyediakan bahan belajar mandiri untuk siswa di bawah program sekolah nasional 12 tahun di seluruh Indonesia.

Platform edtech lainnya, HarukaEdu, juga menyediakan layanan administrasi di samping kursus pembelajaran online mereka. Layanan mereka berkisar dari membantu universitas selama proses seleksi hingga menyediakan konten dan bantuan operasional untuk institusi. Satu hal menarik adalah program pembelajaran korporat yang mereka sediakan, yang diarahkan untuk meningkatkan keterampilan orang usia kerja.

Di dunia di mana pekerja harus mempelajari ulang pekerjaan mereka per-dekade atau lebih (atau berisiko menjadi usang), keterampilan lebih sama pentingnya dengan pendidikan tinggi. Model pembelajaran yang disesuaikan yang disediakan oleh Ruangguru, Zenius dan HarukaEdu masih dalam tahap awal. Mereka, bagaimanapun juga, memberikan proyeksi masa depan di mana pendidikan tidak dibatasi oleh jarak, usia, atau strata sosial.

Pengikisan Ujian Nasional Indonesia yang baru-baru ini dilakukan oleh Departemen Pendidikan, standar kinerja usang yang menempatkan siswa dalam hierarki pendidikan, harus dianggap sebagai lampu hijau untuk perubahan dari sektor publik.

Hal ini menunjukkan, untuk benar-benar mereformasi sistem pendidikan Indonesia, mengandalkan kebijakan tidaklah cukup. Perubahan harus dilakukan secara sistematis pada skala nasional. Peluang ini membutuhkan para pendiri startup yang inovatif untuk berpartisipasi dan memanfaatkan keahlian mereka dalam membentuk sistem baru. Pasar berkesempatan untuk mengumpulkan guru yang mampu menyediakan bahan yang tepat, dan kelas online dapat memberikan ruang bagi siswa untuk meninjau kembali pemahaman mereka tentang materi pembelajaran.

‘Bagaimana’ bukan ‘apa’

Hanya 16 persen orang dewasa berumur 25 hingga 34 berhasil mengenyam perguruan tinggi, jauh di bawah rata-rata OECD 44 persen. Dekade berikutnya akan mewakili tonggak penting untuk kita bisa mendigitalkan sektor pendidikan dan menyiapkan kaum muda menghadapi ekonomi berbasis pengetahuan, atau tetap berpegang pada model-model yang menyiapkan mereka untuk pekerjaan yang cenderung akan punah ketika mereka tumbuh dewasa.

Upaya sukses Cina dalam menumbuhkan dan mempertahankan bakat domestik adalah contoh dari apa yang bisa dicapai oleh reformasi pendidikan sektor publik yang didukung oleh teknologi sektor swasta. Seperti halnya Indonesia, Cina saat ini sedang dalam proses mereformasi ujian masuk universitas dan kurikulumnya untuk lebih menekankan ilmu pengetahuan, teknologi, teknik, seni, dan matematika. Perbedaannya adalah bahwa reformasi mereka didukung oleh tujuh dari 10 edtech unicorn dunia dan pasar pembelajaran digital terbesar di dunia dengan 172 juta pelajar online.

Teknologi maju dengan kecepatan eksponensial dan ikut memboyong masyarakat di dalamnya. Untuk mempertahankan tenaga kerja kompetitif di dunia global di mana satu hal yang konstan adalah perubahan, kita harus mendidik siswa tentang bagaimana cara berpikir, bukan apa yang harus dipikirkan. Dengan demikian, platform, teknologi, dan institusi yang mendidik generasi muda kita harus mencerminkan hal ini.

Sebagai pendiri Go-Jek lulusan Harvard serta Menteri Pendidikan Indonesia yang baru dicetak, Nadiem Makarim, baru-baru ini menyatakan:

“Kita [orang Indonesia] harus mempersiapkan generasi baru kita untuk mencari ilmu berdasarkan kemauan mereka sendiri karena apa yang mereka pelajari saat ini di sekolah tidak lagi berlaku. Isi studi kami tidak lagi menjadi masalah — yang penting adalah keterampilan [skill] yang dipelajari. Bagaimana berpikir, bagaimana menyusun ide, bagaimana memecahkan masalah dan bagaimana berkolaborasi satu sama lain. Itu adalah keterampilan yang penting.”


Artikel asli ditulis oleh Markus L. Rahardja, VP-Investor Relations BRI Ventures. Ditulis dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan oleh Kristin Siagian.

Membangun Bisnis “Coworking Space” yang Berkelanjutan

Kegagalan WeWork menempatkan dirinya ke bursa saham pada beberapa waktu lalu menjadi bukti, selain masalah good governance, adalah sulitnya mendapatkan keuntungan bersih di bisnis coworking space. Hal ini merupakan dampak kesalahan model bisnis yang digunakan.

WeWork berkembang terlalu cepat sehingga model bisnisnya menjadi tidak berkelanjutan dan hanya mengandalkan suntikan dana investor. Pertumbuhan yang terlalu cepat akan membunuh industri coworking space karena ada grace period yang perlu diperhitungkan.

Bisnis coworking space yang berkelanjutan sebaiknya mampu menemukan klien terlebih dahulu yang menginginkan sebuah area tertentu sebelum membuka tempat baru agar pendapatan sebuah lokasi dapat diprediksi dan menjadi acuan dalam mengembangkan bisnis ke depannya.

Kesalahan yang seringkali dilakukan pemain coworking space adalah menyewa sebuah tempat untuk kembali disewakan sehingga menambah beban finansial setiap bulannya. Oleh karena itu, konsep joint venture atau sharing revenue dengan landlord merupakan sebuah cara alternatif dalam membuka sebuah lokasi coworking space baru.

Saat ini, banyak pelaku coworking space yang telah kehilangan nilai dan fungsinya. Dari penyedia tempat kerja menjadi fokus ke bisnis properti dan melupakan esensi utamanya sebagai wadah utama dalam mendukung perkembangan ekosistem startup.

Idealnya coworking space harus mampu menjadi lebih dari sekedar penyedia ruang kerja, yaitu sebagai one stop solution platform bagi startup untuk berkembang dan sukses. Hal ini yang belum banyak dilakukan oleh pemain coworking space, padahal faktor ini merupakan salah satu daya tarik yang membedakan dengan perkantoran.

Saat ini banyak perkantoran yang mengadopsi suasana “segar” serupa dengan coworking space untuk mendukung produktivitas dan menghilangkan kejenuhan dalam bekerja. Namun hal tersebut tidak dapat menyamai coworking space karena tidak mempunyai elemen networking.

Nilai dan daya tarik coworking space juga terletak pada hubungan antar komunitas yang ada di dalam ekosistemnya dan dapat membuka berbagai peluang berkolaborasi untuk menciptakan sebuah karya. Hal tersebut merupakan nilai yang tidak didapatkan pada ruang perkantoran biasa.

Salah satu keunikan lain yang dapat ditawarkan oleh coworking space adalah koneksi internet yang cepat dan stabil. Meskipun terdengar sepele, banyak orang yang lebih memilih coworking space daripada menyewa ruang perkantoran biasa dengan kualitas koneksi internet yang berbeda jauh di bawah kualitasnya.

Pertimbangan harga juga menjadi salah satu kekuatan coworking space. Karena tergolong lebih murah dibandingkan menyewa ruang perkantoran, mayoritas publik lebih menyukai menyewa per bulan maupun minggu. Berbeda dengan perkantoran yang mengharuskan menyewa lebih dari satu tahun.

Fleksibilitas, networking, tempat yang strategis, dan kenyamanan merupakan faktor utama yang membuat industri coworking space akan bertahan dan tetap diminati di Indonesia. Hanya saja pelaku usaha coworking space harus berhati-hati dalam mengembangkan usahanya dan tidak terlalu ekspansionis agar mempunyai bisnis model yang berkelanjutan.

Yang perlu kita pahami adalah karakteristik startup yang tidak ingin repot memikirkan tempat. Bagi mereka yang penting adalah fokus menjalankan bisnis agar dapat bertahan, namun tetap ingin memiliki kantor di area pusat bisnis untuk menunjang produktivitas maupun membangun kredibilitas.

Industri coworking space di Indonesia akan terus berkembang dan masih mempunyai potensi yang besar. Menurut Asosiasi Coworking Indonesia, sejak 2017 hingga 2019 pertumbuhannya tercatat sekitar 70 persen. Hal tersebut juga didukung pergeseran tren yang dilakukan banyak perusahaan untuk berpindah ke coworking space dan karakteristik generasi milenial yang lebih suka bekerja di lingkungan yang dinamis dan nyaman.

Ke depannya akan banyak pengelola gedung perkantoran yang berkolaborasi dengan coworking space untuk mengikuti permintaan pasar ataupun mengubah model bisnisnya menjadi coworking space. Berdasarkan data Leads Property, hal tersebut juga sudah mulai terjadi saat ini ketika sebagian besar area perkantoran di Jakarta sudah dikelola pelaku coworking space.


Disclosure: Artikel tamu ini ditulis oleh Chief Marketing Officer Dreamhub Duan Akelyaman. Dreamhub adalah layanan coworking space yang menyediakan one-solution untuk membantu perusahaan membangun bisnis.

Alasan Utama Iklan Native Lebih Dianjurkan Dibandingkan Iklan Banner

Iklan banner pernah berjaya di industri internet.

Para pengiklan pasti senang melihat iklan terpapar hampir di setiap sudut internet dan penerbit pasti ingin mendapat keuntungan lebih selain dari sisi advertorial.

Namun, sedikit yang menyadari bahwa keberhasilan ini pada dasarnya tidak terlalu menguntungkan bagi pengguna internet.

Pengalaman membaca para pengunjung website sangat terganggu dan waktu memuat halaman menjadi sangat lama.

Sekian lama para pengguna internet dipaksa menikmati iklan banner hingga akhirnya iklan native muncul.

Iklan native memang mengatasi masalah dari kalangan pengguna internet. Solusi ini tumbuh dengan cepat dan diharapkan bisa menjaga momentum di tahun mendatang.

Meningkatnya popularitas native bukanlah hal yang mengejutkan, mengingat semakin pentingnya pengalaman pengguna dalam industri ini.

Di sini saya menyimpulkan ada 4 alasan utama iklan native bisa mengungguli iklan banner dan mengapa iklan native diproyeksi menjadi format iklan utama di masa depan.

Iklan native lebih menghasilkan traffic

Alasan dibalik keunggulan iklan native bukan hanya dari segi format yang tidak mengganggu dan layaknya editorial namun juga didasari pemanfaatan pemasaran konten (content marketing).

Dibandingkan dengan iklan spanduk yang khas dengan pemaparan masiv, iklan native lebih fokus pada pengalaman pengguna sebelum dan sesudah-klik.

Tampilan yang tidak mengganggu membuat pengguna merasa lebih nyaman dan menghindari pengguna yang acap kali keliru mengklik iklan.

Terlebih, konten yang menarik dan penuh insight yang dibagikan di laman depan akan menciptakan insentif yang kuat bagi pengguna untuk tinggal lebih lama, meningkatkan jumlah page view yang dan durasi rerata sesi.

“Iklan native dapat menciptakan peforma yang sama, terkadang lebih baik, seperti iklan banner. Kami juga menemukan fenomena menarik bahwa pengguna lebih bersedia membagikan konten dari iklan native. Hal ini tidak terjadi pada iklan banner, ”Hoyoung Lee, Dable Indonesia’s Country Manager said.

Jika iklan native dimanfaatkan dengan baik, situs web bisa merasakan trafik yang lebih berkualitas dari pengunjung baru. Basis pengguna yang semakin besar, nantinya bisa menjadi sumber yang bagus untuk penilaian dan mendorong pertumbuhan untuk bisnis yang mandek.

Iklan native lebih relevan

Berbeda dengan iklan spanduk, yang hanya bertumpu pada audiens, mekanisme eksposur dibalik iklan native didasari pada audiens dan kontekstual.

Iklan native hanya akan tampil ketika audiens target sesuai dengan demografi yang diinginkan pengiklan, serta judul iklan cocok dengan artikel dan konteks.

Misalnya, iklan native akan menempatkan iklan produk kecantikan dengan target wanita lebih muda ke dalam artikel yang membahas peragaan busana alih-alih kompetisi balap mobil.

Agar lebih relevan, situs web juga harus memanfaatkan teknologi rekomendasi konten untuk menampilkan artikel relevan yang dapat menarik perhatian pengunjung.

Pendekatan ini akan memastikan iklan bukan hanya terpapar pada pelanggan yang cenderung mengklik tapi juga dengan konteks yang lebih relevan.

Iklan native secara signifikan akan menghapuskan batas antara konten iklan dan editorial, lalu menghasilkan rasio klik-tayang (RKT) yang lebih baik.

Iklan native cenderung tidak diabaikan

Kita memasuki era abai spanduk di mana pengguna internet tanpa sadar mengabaikan iklan berbentuk spanduk.

Orang-orang terbiasa mengabaikan iklan spanduk seolah-olah tidak pernah ada.

Menurut penelitian, sekitar 44% dari uang yang disalurkan pada pemasangan iklan dihabiskan untuk iklan yang tidak dilihat oleh pengunjung situs web. Secara keseluruhan, RKT iklan banner kini semakin menurun.

Sementara hal ini menjadi isu yang hangat bagi para pemasar, iklan native, dengan fitur yang berpusat pada pengguna, diharapkan menjadi solusi terbaik.

Sejauh ini dilaporkan bahwa pengguna internet bersedia mengklik iklan native meskipun tahu itu adalah iklan. Tingkat klik-tayang rata-rata untuk iklan native juga lebih tinggi 57%, dibandingkan dengan iklan banner.

Menjadi native serta menghadirkan pengalaman beriklan yang lebih baik adalah satu-satunya jalan keluar untuk mengatasi kondisi abai iklan spanduk.

Iklan native jarang diblokir

Untuk mengatasi gangguan iklan dan spanduk, banyak pengguna internet mulai memasang pemblokir iklan untuk menghindari visual yang mengganggu.

Faktanya, menurut sebuah penelitian, sekitar 30% pengguna internet di seluruh dunia sekarang menggunakan pemblokir iklan, menandakan popularitas iklan banner yang semakin menurun.

Sebaliknya, iklan native tampaknya tidak bermasalah dengan pengalaman visual pembaca. Sementara itu, iklan native seringkali tidak diblokir.

Sebagai alasan, bahwa setiap bagian dari iklan native memerlukan platform iklan untuk bekerjasama dengan penerbit.

Format iklan native dibuat dengan baik dan sangat menyatu dengan situs web. Seringkali, sulit untuk mengenali iklan native jika tidak dilihat dari dekat.

Maka dari itu, iklan asli jarang dikenali sebagai target pada pemblokir iklan, serta bisa memaparkan lebih banyak tanpa mengganggu.


Artikel asli ditulis oleh Edison Chen. Ia adalah seorang Sales Manager, Advertiser Solution di Dable. Ditulis dalam bahasa Inggris dan diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Top Reasons Why Brands Should Choose Natives Ads Over Banner Ads

Banner ads used to be a huge success for the internet industry.

Advertisers were thrilled to see ads displayed nearly every corner on the internet and publishers were excited to acquire extra revenue stream other than advertorial.

What little did people realize, however, was that this success was not essentially beneficial to internet users.

Website visitors’ reading experience was tremendously disrupted and the average page load time strikingly increased.

Internet users suffered from banner ads for a long time until the emergence of native ads.

Native ads do solve the long-standing pain point among internet users. It is growing fast and is expected to keep the growth momentum in the following years.

The increasing popularity doesn’t come out of surprise as the importance of user experience arises.

Here I conclude 4 top reasons how native ads beat banner ads and why native ads will become the mainstream advertising format in the future.

Native ads provide better traffic

The reason why native ads stand out is not simply because of the non-intrusive and editorial-like formats but largely because of the utilization of content marketing.

As compared to typical banner ads that emphasize on massive exposure, native ads focus more on before and after-click user experience.

The non-intrusive look makes users feel more comfortable and filters out some random users who carelessly or mistakenly click on ads.

More importantly, interesting and insightful content shared in landing pages creates a strong incentive for users to stay longer, resulting in higher page view and average session duration.

“Native ads can deliver the same, sometimes better, performance as banner ads do. We also find an interesting phenomenon that users are more willing to share the content from natives ads. This is not common for banner ads,” indicated Hoyoung Lee, Dable Country Manager of Indonesia.

If native ads are utilized well, a website would see more quality traffic generated from new visitors coming in. The enlarging user base will, afterward, become a great source for remarking use and fuel the growth momentum for stagnant businesses.

Native ads offer higher relevance

Unlike banner ads, which only rely on audience targeting, the exposure mechanism behind natives ads is based on both audience targeting and contextual targeting.

Only when the target audience fits advertisers’ desired demographics and, meanwhile, titles of the ads match articles and context will the native ads be displayed.

For example, native ads will place an advertisement about beauty product targeting younger females to under an article of fashion show news update instead of car racing competition.

To boost higher relevance, websites should take advantage of content recommendation technology to recommend relevant articles that website visitors might feel interested in.

This approach ensures that advertisers’ ads not only are exposed to customers who are more likely to click but also are put in a more relevant context where users don’t find ads irrelevant.

Native ads significantly blur the boundary between advertisement and editorial content and ultimately produce a better click-through rate (CTR).

Native ads are less likely to be ignored

We are entering an era of banner blindness where internet users unconsciously ignore banner-like information.

People have got used to disturbing banner ads as if they are not existing.

According to research, about 44% of the money spent on ads is wasted on ads that remain unviewed by website visitors. Overall, the average CTR for banner ads continues dropping down.

While this phenomenon has become a hot potato to handle for marketers, native ads, with its user-centric features, is expected to be the best remedy.

It is reported that internet users are willing to click on native ads even though they have recognized the advertisement. The average click-through rate for native ads is also outstandingly higher by 57%, comparing to banner ads.

Going native and presenting better advertising experience is the only way out to beat banner blindness.

Native ads are rarely blocked

To deal with annoying display and banner ads, more internet users nowadays choose to install ad blockers to avoid the visual interference experience.

In fact, according to a study, around 30% of internet users around the world now use ad blockers, signifying the growing unpopularity of banner ads.

On the contrary, native ads don’t seem to have any issue with interrupting the reading experience. Further to that, native ads are not blocked in most cases.

The reason is that every single piece of native ads requires advertising platforms to conduct in-depth cooperation with each media publisher.

The format of native ads is well crafted and well blended into the website. Oftentimes, it is hard to tell whether or not native ads are advertisements if you don’t take a close look.

Consequently, native ads are rarely recognized as a target for ad blocker software, gaining more exposure opportunities without intruding.


Disclosure: This guest post is written by Edison Chen. He is Sales Manager, Advertiser Solution at Dable.

7 Tips Agar Email Marketing Anda Lebih Maksimal

Email marketing merupakan salah satu strategi marketing yang dapat membantu bisnis kita menjangkau konsumen, baik yang lama maupun calon konsumen potensial. Strategi email marketing dapat kita manfaatkan untuk tetap terkoneksi dengan audiens, serta menyampaikan informasi terbaru atau promosi sedang kita jalankan.

Akan tetapi, menjalankan email marketing tidak semudah apa yang dipikirkan. Tantangan seperti respon email dari audiens yang tidak sesuai dengan harapan, email yang masuk ke folder spam, dan sebagainya. Hal tersebut mungkin dapat terjadi bila kita tidak memaksimalkan strategi dalam menggunakan email marketing yang kita buat. Berikut ini adalah beberapa tips agar email marketing Anda lebih maksimal.

1. Membuat subjek yang menarik

Dalam memaksimalkan email marketing, subjek adalah hal yang harus diperhatikan dan disiapkan secara matang. Subjek email adalah gerbang awal yang akan dilihat oleh penerima email yang kita kirim. Subjek email akan menjadi pertimbangan apakah sebuah email akan dibuka lalu dibaca. Untuk itu, kita harus membuat subjek email semenarik mungkin sehingga timbul keinginan dari audiens untuk membuka email yang dikirimkan. Sebaliknya, subjek email yang tidak menarik akan membuat audiens malas membaca atau bahkan segera menghapus email yang diterima.

2. Kirim email di waktu yang tepat

Sebelum menentukan waktu pengiriman email, sebaiknya kita harus mencari tahu kebiasaan audiens kita. Dengan mengetahui hal tersebut, kita dapat menentukan waktu yang paling tepat dalam mengirimkan email. Hal tersebut dapat membuat konten yang kita kirim lebih tinggi kemungkinannya untuk dibaca oleh audiens dan menghindarkan konten yang telah dibuat menjadi sia-sia.

3. Konten yang sesuai

Tips ketiga agar email marketing lebih maksimal, jangan membuat konten yang tidak saling berhubungan dengan subjeknya hanya untuk menarik minat pembaca. Lebih baik kita membuat konten yang relevan sesuai dengan keinginan audiens sehingga dapat lebih meningkatkan kemungkinan untuk dibaca. Dalam memanfaatkannya sebagai media informasi, edukasi, serta promosi, konten email marketing juga harus disertakan sebuah call-to-action sesuai dengan respon yang kita inginkan terhadap pembaca. Dengan terus memberi konten yang sesuai dan relevan, dapat meningkatkan kepercayaan audiens sehingga lebih sering membuka email marketing yang kita kirimkan.

4. Membuat tampilan konten yang responsif

Selain isi, tampilan dari konten juga penting untuk kita perhatikan sebelum dibaca oleh audiens. Kita harus memperhatikan apakah tampilan dapat enak dilihat pada tampilan web dan mobile device sehingga memberi kenyamanan untuk pembaca. Tampilan dan tata letak yang nyaman dan responsif juga dapat mempengaruhi pembaca untuk memberikan respon yang sesuai dengan keinginan kita.

5. Sesuaikan frekuensi pengiriman dengan kebutuhan audiens

Email marketing yang dikirim terlalu sering juga dapat mengganggu para penerima email. Hal tersebut juga dapat mempengaruhi keinginan audiens untuk membaca email yang dikirimkan atau tidak. Selain itu, frekuensi pengiriman yang terlalu berlebihan dan tidak sesuai dengan kebutuhan juga dapat membuat audiens menandai email yang kita kirim sebagai spam. Untuk itu, kita harus mengetahui frekuensi yang tepat dalam mengirimkan email ke audiens. Hal ini juga dapat dilakukan dengan memberikan opsi untuk memilih frekuensi pengiriman email sendiri.

6. Personalisasi email yang dikirimkan

Salah satu hal yang dapat membuat audiens membaca email yang kita kirimkan adalah karena merasa email yang dikirim memang untuk mereka. Menggunakan nama, sapaan, atau panggilan pembaca dapat membuat email yang dikirim lebih terasa personal. Menyapa audiens juga dapat membuat email terasa lebih personal meski dikirim secara otomatis. Membiarkan audiens mengatur konten apa yang diterima juga dapat meningkatkan kemungkinan mendapat respon yang diinginkan karena konten yang dikirim sesuai dengan keinginan para audiens.

7. Membuat email yang tidak terlalu panjang

Email yang terlalu panjang dapat membuat audiens merasa terlalu banyak informasi yang harus dikonsumsi. Hal tersebut juga dapat membuat pembaca tidak fokus atas informasinya dan mungkin dapat membuat kita mendapat respon yang tidak diinginkan. Untuk itu, kita dapat menyiasatinya dengan mengirimkan email marketing yang terfokus pada satu call to action utama dan membuat ringkasan informasi untuk diakses secara lebih lengkap di website kita.

Beberapa hal tersebut harus mendapat perhatian lebih agar kita dapat memaksimalkan strategi email marketing yang dilakukan. Salah satu keuntungan dalam pemanfaatan email marketing adalah data yang kita dapatkan terkait dengan audiens. Kita akan mengetahui berapa banyak pesan yang berhasil terkirim, terbaca, dan konten apa yang diakses setelah membaca email tersebut. Data ini dapat kita manfaatkan untuk memperbaiki dan menyesuaikan konten agar sesuai dengan keinginan audiens.

Memperhatikan detail-detail kecil serta selalu memperbaiki konten dapat dilakukan untuk terus menyesuaikan dengan keinginan audiens. Selain itu, penting untuk kita melakukan riset terlebih dahulu untuk menentukan strategi dalam mengirimkan email marketing agar mendapat respon sesuai dengan yang diinginkan.

Disclosure: Artikel tamu ini adalah hasil kerja sama DailySocial dengan layanan email marketing dan marketing automation MTARGET.