[Opini] Mengapa Saya Sangat Bersemangat Menyambut Star Wars Jedi: Fallen Order

Sesuai rencana, detail baru mengenai Star Wars Jedi Fallen Order diungkap di acara Star Wars Celebration Chicago 2019 minggu kemarin, tak lama selepas penayangan trailer perdana The Rise of Skywalker. Dan di sana, tersibak banyak informasi menarik mengenai permainan baru racikan Respawn Entertainment itu – studio yang turut bertanggung jawab dalam pengembangan seri Titanfall dan Apex Legends.

Setelah beberapa game Star Wars Electronic Arts yang mengecewakan, publik melihat Jedi: Fallen Order dengan sinis sekaligus penuh harap. Reboot dua game Battlefront oleh EA DICE terbilang minim konten dan dinodai masalah microtransaction, tapi di sisi lain, karya-karya Respawn terkenal akan tingginya kualitas konten. Lihat saja mode campaign Titanfall 2 yang menurut beberapa gamer veteran menyerupai petualangan di Half-Life 2 – dan saya bahkan belum membahas betapa adiktif aspek multiplayer-nya.

Hal paling mengejutkan dari penyingkapan lebih jauh Jedi: Fallen Orders adalah Respawn mengembangkannya sebagai permainan single-player murni yang difokuskan pada aspek narasi dan cerita. Game tidak mempunyai mode multiplayer, lalu CEO Vince Zampella menjamin absennya microtransaction. Langkah ini sangat tidak biasa. Respawn telah jadi bagian dari EA sejak akhir 2017, namun apa yang mereka lakukan itu tampak bertolak belakang dengan strategi publisher dalam menyajikan ‘game sebagai layanan’.

Konsep pengembangan secara ‘lebih tradisional’ ini memang membuat Jedi: Fallen Order terlihat unik, tetapi ada sederatan lagi aspek yang menjadikannya sangat menarik. Satu contoh kecilnya: Jedi: Fallen Order dibangun menggunakan Unreal Engine 4 (milik Epic Games) ketika game-game EA lain mengusung engine Frostbite – yang secara teknis kurang populer di kalangan developer karena kerumitan pemakaiannya.

 

Esensi single-player

Ada deretan panjang permainan LucasArts yang menemani saya tumbuh dewasa, dan sebagian besar dari mereka adalah Star Wars. Dan berdasarkan pengalaman saya, game-game Star Wars terbaik ialah judul-judul yang difokuskan pada single-player, di antaranya seri Dark Forces, Jedi Knight, TIE Fighter dan X-Wing, Rogue Squadron, Star Wars Episode I: Racer, hingga Knights of the Old Republic.

Sejak pertengahan 1990-an sampai 2000-an, sejumlah developer di bawah pengawasan LucasArts memang mulai mencantumkan mode multiplayer, bahkan menggarap beberapa game secara khusus agar bisa dinikmati bersama-sama, misalnya X-Wing versus TIE Fighter atau Battlefront. Namun sekali lagi, studio-studio ini sama sekali tidak melupakan esensialnya single-player. Sebagai buktinya, Anda tetap bisa bermain seorang diri di kedua judul itu.

Hanya ada sejumput game eksklusif multiplayer Star Wars yang berumur panjang, walaupun tak jarang developer harus mengubah model bisnis serta struktur permainan demi mempertahankan ekosistem pemain. The Old Republic masih mempunyai pemain setia hingga hari ini, tetapi jika Anda ingat, server Star Wars Galaxies sudah ditutup delapan tahun silam.

Kuantitas game Star Wars merosot cukup jauh semenjak Disney membeli Lucasfilm di tahun 2012 dan memberikan hak eksklusif pengembangan permainan pada EA. Salah satu alasannya saya duga adalah retcon yang dilakukan Disney terhadap Expanded Universe (mengubahnya jadi ‘Legends’) demi memberikan ruang ekspansi pada film-film berikutnya. Tak seperti dulu, kini sang pemegang franchise menjaga canon cerita secara lebih ketat. Tidak cuma game, bahkan penulisan novel Star Wars harus menunggu keputusan dari Disney.

Jedi Fallen Order 2

Di E3 2018, Zampella menyampaikan bahwa tokoh utama Jedi: Fallen Order ialah seorang Padawan (ksatria Jedi yang masih dalam pelatihan) dan permainan akan menyuguhkan pertarungan berbasis lightsaber. Premis ini membuat saya berharap agar Jedi: Fallen Order menyajikan pertempuran jarak dekat seru sekelas seri Jedi Knight. Ada banyak game Star Wars lebih anyar yang juga menghidangkan aksi lightsaber (Revenge of the Sith, The Force Unleashed), namun kompleksitas dan kualitasnya belum mampu menyamai Jedi Knight.

Alasannya sederhana: tak seperti di game lain, lightsaber di seri Jedi Knight bersifat aktif. Ia mampu memotong objek serta meninggalkan bekas di tembok tanpa perlu Anda ayunkan, dan akan selalu berbahaya ketika dinyalakan. Dipadu sistem pertarungan tiga dimensi penuh manuver-manuver lincah, setiap duel terasa menegangkan dan sulit diprediksi. Via standalone expansion pack Jedi Academy, developer Raven Software mengekspansi pertarungan lightsaber dengan gaya dua pedang (Jar’Kai) serta opsi saberstaff ala Darth Maul.

Belum ada info apapun dari Respawn soal sistem tempur di Jedi: Fallen Order. Namun melihat video teaser motion capture, saya membayangkan betapa luar biasanya jika game memanfaatkan lagi sistem ini.

Jedi Fallen Order 1

 

Talenta di belakang Fallen Order

Faktor lain yang membuat Jedi: Fallen Order jadi sangat menjanjikan adalah individu-individu di belakang pengerjaannya. Di 2014, mantan staf senior SCE Santa Monica Studio Stig Asmussen bergabung bersama Respawn, dan dua tahun kemudian, ia membenarkan sudah diberi kepercayaan untuk jadi game director permainan action-adventure third-person Star Wars baru. Asmussen ialah sosok yang berjasa dalam pembuatan seri God of War, berpengalaman menjadi lead environment artist sampai art director.

Tentu saja Asmussen bukan satu-satunya andalan sosok Respawn. Pembuatan ceritanya saja dilakukan secara kolaboratif oleh enam penulis sekaligus: ada Chris Avellone yang punya begitu banyak pengalaman menulis cerita video game (termasuk Knights of the Old Republic 2: The Sith Lords) dan writer Mafia III, Aaron Contreras. Dalam diskusi panel di SWCC 2019, Asmussen sempat menyampaikan bahwa penulis serial Rebels dan Clone Wars turut ambil bagian pada peracikan narasi Jedi: Fallen Order.

Jedi Fallen Order 3

Jedi: Fallen Order memperkenalkan karakter protagonis bernama Cal Kestis. Game menantang kita untuk memandunya bertahan hidup di masa-masa gelap, tak lama setelah Kaisar Palpatine mengeksekusi Order 66 demi menghabisi seluruh Jedi, dengan latar belakang antara Episode III dan IV. Respawn memilih aktor Cameron Monaghan buat memerankan Kestis, baik di sisi pengisian suara ataupun motion capture. Sebelumnya, aktor berusia 25 tahun ini bermain di serial Gotham (sebagai Joker) dan Shameless. Jedi: Fallen Order merupakan proyek video game pertamanya.

Untuk memastikan game terasa menyegarkan walaupun di-setting di jagat Star Wars, Respawn berkolaobrasi langsung bersama Lucasfilm buat menciptakan karakter-karakter serta lokasi-lokasi baru. Di petualangannya, Kestis bukan hanya harus bersembunyi dari kejaran Stormtrooper, tapi ia juga dipaksa berhadapan dengan para Sith Inquisitor yang mematikan. Trailer-nya sendiri belum benar-benar menunjukkan adegan pertarungan lightsaber – sepertinya Respawn menyiapkan bagian ini sebagai kejutan.

Jedi Fallen Order.

 

Langkah Anti-EA oleh studio milik EA?

Seperti yang saya bilang tadi, absennya microtransaction dan mode multiplayer merupakan hal terunik dari Jedi: Fallen Order. Dengan mengedepankan konsep games as a service, Electronic Arts tentu saja ingin menyodorkan penawaran-penawaran in-app sebanyak mungkin sesudah game dirilis. Dan cara ini paling efektif diaplikasikan pada judul-judul multiplayer (walaupun Ubisoft cukup sukses melakukannya via penjualan item-item kosmetik di Assassin’s Creed Origins dan Odyssey).

Penyuguhan Jedi: Fallen Order sebagai permainan eksklusif single-player terasa seperti antitesis dari apa yang selama ini EA lakukan. Boleh jadi, alasan mengapa penyajian Jedi: Fallen Order tidak seperti permainan EA lain adalah, Respawn menuntut kebebasan pengembangan game saat mendiskusikan syarat dan ketentuan akuisisi bersama sang publisher. Kita tahu, pengerjaan game dimulai jauh sebelum kesepakatan tersebut, kemungkinan besar tak lama sesudah proyek Titanfall pertama rampung.

Jedi Fallen Order 4

Semua ini terdengar sebagai kabar gembira bagi kita yang merindukan permainan-permainan single-player bermutu. Dan jika Jedi: Fallen Order laris terjual dan memperoleh pujian dari media, ada kemungkinan EA punya satu IP lagi yang dapat disandingkan dengan franchise-franchise raksasa lain di genre action. Dan siapa tahu, kesuksesan game nantinya mendorong EA untuk mengubah strategi bisnisnya sehingga lebih bersahabat bagi konsumen.

Di Star Wars Celebration Chicago 2019, Respawn mengonfirmasi bahwa Jedi: Fallen Orders akan tersedia di platform Windows (via EA Origin), PlayStation 4 dan Xbox One. Game dijadwalkan buat dilepas tepat sebulan sebelum penayangan perdana film Star Wars: The Rise of Skywalker, yaitu pada tanggal 15 November 2019. Saat ini, status gerbang pre-order juga telah dibuka.

Saya baru saja menyelesaikan sekuel novel Thrawn karya Timothy Zahn (singkat kata: sangat brilian), dan saya cukup percaya diri untuk bilang bahwa tahun ini terasa sangat menjanjikan bagi para penggemar Star Wars…

Teruskan Perang Melawan Cheater Apex Legends, Respawn Tak Ragu Blokir ID Hardware

Cheat sudah ada sejak video game dihidangkan ke publik. Umumnya cheat tersaji lewat dua cara: digarap oleh pihak ketiga atau ditanam di permainan karena sejatinya merupakan bagian dari perkakas developer. Di judul-judul single-player, pemakaian cheat tidak pernah jadi masalah. Tapi ia merupakan musuh utama pemain dalam game-game multiplayer bertema kompetitif.

Sejak Apex Legends pertama kali dirilis, Respawn Entertainment terus berjuang mengatasi praktek cheating. Kurang lebih sebulan setelah permainan battle royale populer itu tersedia, developer berhasil menjaring lebih dari 350 ribu cheater. Dan kali ini, tim pengembang diketahui telah mengambil langkah lebih agresif dalam memeranginya. Mereka yang kerap bermain curang menyampaikan bahwa Apex Legends telah melakukan pemblokiran terhadap hardware.

Lewat forum ResetEra serta Reddit, para cheater Apex Legends di PC mengakui bagaimana mereka tidak bisa lagi mengakses permainan, meskipun telah menciptakan akun baru. Ternyata, situasi ini disebabkan oleh implementasi sistem pembekuan identitas hardware. Metode ini sangat sulit diakali, bahkan lewat sejumlah trik ataupun dengan mengubah alamat IP karena HWID adalah deretan angka dan huruf yang digunakan sebagai ciri-ciri unik komputer personal.

Seseorang sempat bilang bahwa mengganti kartu grafis atau RAM dapat mengubah identitas hardware PC, namun pengguna lain berpendapat ada kemungkinan teknologi anti-cheat tersebut mampu mendeteksi kombinasi beberapa komponen berbeda. Begitu ampuhnya metode baru ini, hingga satu cheater yang terkenal akan reputasi buruknya berkali-kali terblokir setelah mencoba memamerkan kemampuannya mengelabui sistem anti-cheat Respawn via Twitch.

Teorinya, cara paling efektif agar mereka yang gemar bermain curang bisa menikmati Apex Legends lagi adalah dengan membeli satu set PC baru. Memang tidak ada hal yang lebih manis bagi gamer dari menyaksikan tangisan para cheater:

“Sayangnya, saya telah diblokir. Saya tidak tahu bagaimana mereka melakukannya. Saya tidak menggunakan cheat dalam waktu tiga empat hari. Ini semua hanya buang-buang uang. Saya menyalahkan diri sendiri,” kata seorang pengguna software hack.

Rekannya kemudian menanggapi, “Saya bahkan tidak bisa bermain dengan akun baru. Tiap kali membuat, akun tersebut diblokir.”

Apex 1

Pertanyaannya kini ialah, apakah sistem blokir identitas hardware ini diaplikasikan secara merata dan konsisten?

Saya harap iya, dan memang sudah saatnya Respawn memberikan hukuman berat bagi para pelanggar. Mereka tidak perlu cemas sistem anti-cheat tersebut mengurangi jumlah pemain, karena individu-individu yang betul-betul peduli terhadap Apex Legends tidak akan berpikir untuk menggunakan metode-metode ilegal ketika bermain.

Via PC Gamer.

Bergembiralah Kawan, Borderlands 3 Resmi Diumumkan

Dalam menggarap tulisan, kami di DailySocial (dan Hybrid) selalu memprioritaskan kualitas dalam berbagi informasi pada para pecinta teknologi terlepas dari usia maupun minat Anda. Tanpa mengorbankan mutu, kali ini saya membuat satu perkecualian. Saya mendedikasikan artikel ini bagi Glenn, Yabes, dan seluruh penggemar Borderlands yang sudah menghabiskan ratusan (ribuan?) jam menikmati game-game di seri ini.

Setelah rumor, penantian panjang, masa-masa hening mencekam, serta hadirnya teaser beberapa hari lalu, Gearbox Software akhirnya resmi mengumumkan Borderlands 3 melalui penayangan trailer perdana di PAX East 2019. Video ini menunjukkan segala hal yang bisa Anda lakukan di permainan serta karakter-karakter yang akan ditemui dan gambaran mengenai para protagonisnya. Meneruskan tradisi pendahulunya, trailer turut diiringi alunan musik. Gearbox memilih lagu Can’t Hold Me Down dari GRiZ.

Untuk sekarang, segala detail mengenai Borderlands 3 hanya ada di trailer itu. Bahkan jika Anda mengunjungi situs resminya, hanya ada sebuah kalimat deskripsi game: ‘mayhem is coming‘. Satu hal yang dapat dipastikan ialah, Borderlands 3 kembali mengusung arahan visual cel-shaded ala komik. Namun jangan kecewa, karena ada banyak informasi yang bisa kita ekstrak dari video berdurasi 3 menit 40 detik tersebut.

Borderlands 3 tampaknya akan menjadi satu ajang reuni besar. Mereka yang mengikuti seri ini dari awal akan segera menjumpai wajah-wajah familier: Lilith, Maya, Brick, Mordecai, Zer0, Ellie, Sir Hammerlock, Rhys dari spin-off Tales from the Borderlands, lalu kita bisa melihat bagaimana Tiny Tina tak lagi kecil. Tentu saja robot narsis cerewet Claptrap juga akan kembali hadir, meski kemungkinan besar kita tidak dapat bermain sebagai dirinya seperti di Borderlands: The Pre-Sequel.

Berdasarkan rumor sebelumnya, Borderlands 3 akan memperkenalkan empat pahlawan baru, yaitu Moze (prajurit), Amara (siren), Zane (assassin) dan Flak (hunter). Jika laporan ini akurat, maka formasi tokoh protagonisnya tak terlalu berbeda dari game terdahulu. Saya pribadi berharap agar gamer juga diberikan pilihan buat bermain sebagai karakter-karakter lawas.

Borderlands 3 1.

Ada dugaan kuat Borderlands 3 kembali mengambil latar belakang planet Pandora. Bedanya, permainan akan menyajikan lokasi lebih bervariasi. Pandora memang didominasi oleh padang pasir dan pemukiman kumuh, tetapi trailer juga menunjukkan tempat-tempat dengan pohon raksasa serta kota megah futuristis berisi gedung-gedung pencakar langit. Pertanyaannya adalah, apakah kota metropolis tersebut berada di Pandora atau bagian dari planet lain?

Segala detail mengenai Borderlands 3 rencananya akan diungkap pada tanggal 3 April 2019, termasuk waktu rilis dan platform tempat permainan tersedia. Tebakan saya, game dijadwalkan untuk meluncur di tahun ini juga karena tidak ada alasan kuat bagi Gearbox dan 2K Games buat menundanya lagi.

Tambahan: PC Gamer.

Divinity: Fallen Heroes Ialah Sekuel Original Sin II Dengan Sentuhan ala XCOM

Bersama The Witcher 3 dan trilogi Dark Souls, banyak orang setuju bahwa Divinity: Original Sin II merupakan permainan role-playing modern terpenting. Game kreasi Larian Studios itu istimewa berkat kombinasi kompleksnya dunia dan cerita, karakter-karakter unik, serta bagaimana ia memberikan para pemain keleluasaan dalam memecahkan masalah dan menyelesaikan tugas.

Dua tahun hampir berlalu semenjak Divinity: Original Sin II melakukan debutnya di Windows. Dan secara mendadak, tim developer dari Belgia itu mengumumkan Divinity: Fallen Heroes di tengah minggu ini. Game baru tersebut sangat menarik karena berperan sebagai sekuel sekaligus spin-off dari Original Sin II. Lewat pengembangannya, Larian mecoba bereksperimen dengan formula baru, berangkat dari gameplay taktis di dua Original Sin terdahulu.

Fallen Heroes mungkin bisa dideskripsikan sebagai Final Fantasy Tactics-nya seri Divinity. Dan menggali lebih dalam, game punya sejumlah kesamaan dengan seri XCOM. Itu artinya, ia siap memuaskan dahaga penggemar permainan strategi kelas kakap – tetapi dilatarbelakangi jagat fantasi, bukan sci-fi. Di sana Anda dapat merekrut pasukan dari berbagai ras, lalu meng-upgrade dan membekali mereka dengan perlengkapan yang lebih baik.

Uniknya, kita akan menemui banyak hal familier di Divinity: Fallen Heroes. Pertama, karakter-karakter Divinity: Original Sin II seperti Malady, Fane, Ifan, Lohse, Sebille, Red Prince, dan Beast akan hadir lagi serta membantu Anda mengerjakan misi. Kedua, perahu perang Lady Vengeance kembali jadi markas dan pusat misi. Anda tidak bisa membangun atau menambah ruang seperti di XCOM, tapi dipersilakan buat mengunjungi area berbeda dan berdialog dengan penghuninya.

Satu lagi kesamaan antara Fallen Heroes dan XCOM adalah sistem kematian permanen. Itu artinya, keputusan keliru dapat menyebabkan karakter favorit yang telah Anda asuh sedimikian rupa tewas. Game juga tidak kalah menantang: musuh akan mencoba menyergap Anda dan mereka bisa menggunakan kemampuan serupa para hero di tim Anda. Untuk meminimalkan korban, pemain dituntut buat berpikir dan mengeksekusi langkah matang-matang.

Seperti dalam Original Sin, elemen memegang peranan penting dalam pertempuran. Genangan oli bisa menghambat gerakan musuh dan membakar mereka jika disulut api. Lawan yang basah kuyup dapat lebih mudah membeku. Lalu selain mematikan, elemen racun bisa pula meledak. Namun berbeda dari XCOM, beberapa level punya kondisi kemenangan yang bervariasi karena Fallen Heroes juga mengedepankan elemen narasi dan cerita.

Divinity: Fallen Heroes diproduksi secara kolaboratif oleh Larian dan Logic Artists. Game dijadwalkan untuk meluncur di sejumlah platform gaming di tahun ini juga, tetapi developer belum mengungkap detailnya secara lebih spesifik. Tebakan saya, Fallen Heroes kemungkinan akan tersedia di PC, Xbox One dan PS4 – dan saya pribadi berharap ada versi Nintendo Switch-nya.

Sumber: Situs Divinty: Fallen Heroes. Tambahan: PC Gamer.

[Opini] 4 Hal yang Perlu Respawn Benahi dalam Sistem Monetisasi Apex Legends

Apex Legends adalah sebuah game yang keren dan seru untuk dimainkan. Saya rasa untuk hal ini sebagian besar dari kita bisa sepakat. Akan tetapi apakah Apex Legends bisa bertahan di jangka panjang serta menyaingi dominasi Fortnite dan PUBG, itu masih butuh pembuktian. Semua tergantung dari bagaimana strategi Respawn Entertainment menjaga agar game ini tetap menarik, dan bila perlu, memiliki ekosistem esports yang kuat.

Sayangnya, ada satu hal dalam Apex Legends yang cukup banyak dikeluhkan oleh pemain selama ini: sistem monetisasi di dalamnya terasa tidak nyaman dan tidak menimbulkan rasa senang yang kuat. Bila meminjam istilah dari Marie Kondo, monetisasi dalam Apex Legends sejauh ini masih tidak spark joy, kecuali mungkin bila Anda sangat beruntung dan mendapatkan Heirloom Set.

Di tengah banyaknya pesaing baik dari genre yang sama ataupun tidak, Respawn jelas berada di bawah tekanan untuk menghadirkan pengalaman di atas standar pasar. Menurut saya setidaknya empat hal dalam Apex Legends yang bisa dibenahi oleh Respawn untuk membuat monetisasi di dalamnya lebih menyenangkan penggemar. Berikut ini empat hal tersebut.

Imbalan dari progresi level

Sistem monetisasi utama dalam Apex Legends hadir dalam wujud loot box bernama Apex Pack. Selain dengan cara membeli, pemain juga bisa memperoleh Apex Pack secara gratis dengan cara menaikkan level. Namun setelah Anda bermain hingga melampaui level 20, Anda akan menyadari sesuatu. Anda level up, namun tidak mendapatkan Apex Pack.

Ternyata, mulai level 21 ke atas, Apex Pack hanya akan Anda dapatkan setiap 2 level sekali. Nantinya progresi ini akan berubah lagi, mulai level 51 Anda hanya bisa mendapat Apex Pack setiap 5 level sekali. Imbalan yang kita dapatkan dari menaikkan level ternyata tidak linear, tapi akan semakin sedikit seiring makin lama kita bermain.

Kita bisa memaklumi bahwa Respawn tidak mungkin memberikan Apex Pack secara gratis begitu saja. Namun perasaan yang ditimbulkan dari strategi ini adalah perasaan yang sangat negatif. Sebagai pemain kita akan merasa kecewa, atau malah tertipu, karena sudah begitu semangat menaikkan level namun ternyata tidak menemukan Apex Pack yang merupakan insentif untuk bermain terus-menerus. Strategi ini juga terasa menipulatif karena mendorong pemain yang sudah “kecanduan” perasaan senang dari membuka Apex Pack untuk merogoh kocek agar dapat merasakan kesenangan itu lagi.

Apex Legends - Wild Frontier Skins
Beberapa Skin dari Battle Pass Season 1 | Sumber: EA

Coba kita bandingkan dengan monetisasi game lain, misalnya Overwatch. Dalam Overwatch, loot box pasti kita dapatkan setiap kali kita naik level. Kebutuhan experience point untuk menaikkan level itu akan meningkat pelan-pelan (maksimum 22.000 XP), tapi pemain tetap akan mendapat satu loot box setiap satu level. Dengan sistem demikian, pemain selalu memiliki target yang terukur untuk diraih, sehingga insentif yang diberikan terasa adil. Ini memberikan perasaan positif yang membuat penggemar Overwatch bersemangat untuk terus bermain.

Overwatch memang memiliki satu keuntungan dibanding Apex Legends, yaitu bahwa game tersebut adalah game premium. Blizzard sudah mendapatkan revenue walaupun pemain tidak membeli loot box. Tapi justru karena itulah Respawn harus lebih berhati-hati. Karena Apex Legends adalah produk free-to-play, pemain tidak terikat komitmen apa pun untuk terus bermain dan bisa pergi sewaktu-waktu. Strategi yang memunculkan emosi negatif terus-menerus bisa membuat pengguna kehilangan minat sehingga retention anjlok. Saat ini Respawn boleh bangga karena memiliki 50 juta pemain, tapi berapa banyak dari mereka yang akan setia?

Denominasi harga barang

Selain progresi level, cara Respawn memasang harga untuk beberapa item juga terasa sedikit manipulatif. Pertama-tama kita lihat dulu bagaimana mereka menjual Apex Coin, mata uang premium dalam Apex Legends. Untuk paket termurah, Anda dapat membeli 1.000 Coin dngan harga US$9,99 (sekitar Rp142.000). Semakin besar paket yang Anda pilih, Anda akan mendapat Coin bonus sesuai paketnya, hingga paket terbesar yaitu 11.500 Coin seharga US$99,99 (sekitar Rp1,42 juta).

Apex Legends - Apex Coins

Ini adalah cara penjualan yang bagus, karena pemain akan mendapat insentif lebih bila mereka mau merogoh kocek lebih dalam. Banyak game juga sudah menerapkan sistem serupa. Akan tetapi bila kita perhatikan baik-baik, tampak ada usaha untuk cross-selling di sana-sini yang muncul dari cara Respawn memasang harga barang yang bisa dibeli dengan Apex Coin.

Harga Battle Pass adalah kasus yang paling jelas terlihat. Di Apex Legends, Battle Pass dijual dengan harga 950 Apex Coin. Anda bisa mendapatkannya dengan membeli paket Apex Coin termurah. Tapi kemudian Anda akan memiliki sisa sebesar 50 Coin. Apa yang bisa Anda lakukan dengan 50 Coin? Tidak ada. Untuk membeli 1 Apex Pack, Anda butuh 100 Coin. Jadi Anda berakhir dengan sejumlah Coin yang tidak berguna, kecuali bila Anda membeli Coin tambahan.

Hal yang sama juga terjadi di penjualan Legend (karakter) yang dibanderol dengan harga 750 Coin. Ini hanya tebakan saya, tapi sepertinya Respawn memang sengaja memasang harga-harga seperti ini agar Coin pemain selalu bersisa dan mereka terdorong untuk membeli lagi.

Bila kita bandingkan dengan game lain, Mobile Legends misalnya, kita punya pilihan untuk membeli berbagai barang dengan harga Diamond murah. Meski barangnya hanya berupa Emblem atau kesempatan gacha, kita dapat memanfaatkan Diamond itu hingga habis (atau nyaris habis). Saya berharap Apex Legends juga menawarkan pilihan serupa di masa depan.

Kemudahan mendapat Skin

Ini juga merupakan poin yang cukup patut disayangkan, yaitu banyaknya Skin yang bentuknya tidak jauh berbeda dari penampilan default, hanya berupa perubahan warna saja. Memang untuk Skin dengan tingkat kelangkaan Rare atau di atasnya tidak sekadar perbedaan warna, melainkan juga ditambah dengan perubahan motif atau tekstur. Tapi tetap saja penampilannya tidak berbeda jauh. Skin karakter hanya akan memberikan perubahan model 3D untuk kelangkaan Legendary, yang mana kemungkinan mendapatkannya dari Apex Pack hanya 7,4%.

Sebetulnya di masalah pemberian konten Skin ini Respawn sudah melakukan banyak langkah yang tepat. Contohnya dengan memasang sistem “bad luck protection”, di mana pemain pasti mendapat minimal 1 item Legendary setiap membuka 30 Apex Pack. Selain itu, Respawn juga memastikan bahwa konten Apex Pack tidak akan pernah mengalami duplikasi.

Tapi karena Apex Pack sifatnya random, andai pun kita mendapat item Legendary belum tentu itu Skin yang kita inginkan. Item Legendary bahkan belum tentu berupa Skin karakter. Bisa saja kita mendapat item Legendary namun ternyata tidak berguna, misalnya Weapon Skin untuk Mozambique.

Apex Legends - Featured Skin

Bila ingin yang pasti-pasti saja, kita bisa membeli Legendary Skin dengan harga 1.800 Apex Coin. Itu berarti setara dengan kira-kira US$18, atau Rp256.000. Apakah harga ini bisa diterima atau tidak tentu subjektif, tapi saya sendiri merasa masih wajar apabila memang untuk Skin yang sangat keren. Masalahnya, kita tidak bisa membeli Skin dengan bebas setiap saat. Kita hanya bisa membeli Skin yang sedang “Featured”.

Featured Skin ini berubah setiap minggunya, dan isinya tidak menentu. Terkadang Respawn hanya menawarkan 1 Skin untuk 1 Legend, sementara sisanya adalah Weapon Skin. Pernah juga mereka menawarkan 2 Skin untuk 1 Legend, atau 3 Skin untuk 3 Legend berbeda. Selain membuat kita tidak bisa membeli barang yang diinginkan, sistem Featured Skin ini juga terasa agak manipulatif karena mendorong kita untuk cepat-cepat membeli ketika Skin yang kita inginkan muncul.

Imbalan dari Battle Pass

Ini adalah poin yang sangat bisa diperdebatkan karena sifatnya memang sangat subjektif. Menurut pendapat saya Battle Pass Season 1 di Apex Legends ini terasa kurang menarik karena tiga hal. Pertama, kita butuh sangat banyak grinding untuk mendapatkan imbalan yang keren. Kedua, banyak imbalan yang terasa tidak berguna. Dan ketiga, imbalan yang kita dapat masih dipengaruhi lagi oleh keberuntungan.

Mari kita bahas mulai dari hal-hal baiknya. Ketika kita membeli Battle Pass, kita langsung mendapatkan 3 Skin eksklusif bertema Wild Frontier untuk Wraith, Mirage, dan Lifeline. Skin yang ditawarkan hanya setingkat Rare, namun sudah cukup menarik dan berjumlah banyak, jadi ini adalah awal yang baik.

Battle Pass kemudian menawarkan berbagai imbalan tambahan setiap kita menaikkan levelnya. Sebagian imbalan ini cukup menarik, contohnya Weapon Skin untuk senjata-senjata tertentu, Banner Frame, bahkan Apex Coin. Imbalan paling mencolok muncul di level 51, 100, dan 110, yaitu Legendary Weapon Skin untuk senjata Prowler dan Havoc. Level 48 juga memberikan satu lagi Rare Skin untuk karakter Octane.

Sampai sini Battle Pass terlihat cukup menarik, tapi bila kita perhatikan lebih jauh maka kita akan melihat masalah muncul. Ternyata dari imbalan-imbalan itu, 20 di antaranya hanya berupa Banner Badge, alias ikon yang bisa kita pasang di Banner untuk menunjukkan berapa level Battle Pass kita. Banyak juga imbalan lain yang tidak begitu bernilai, seperti Stat Tracker atau Intro Quip.

Apex Legends - Battle Pass Rewards

Jumlah experience (XP) yang kita butuhkan untuk meningkatkan level juga cukup tinggi, yaitu 29.500 poin. Sebagai perbandingan, satu kali mendapatkan Champion of the Arena akan memberikan kita sekitar 6.000 XP. Bila satu pertandingan makan waktu 20 menit, maka untuk meraih 1 level kita butuh meraih 6 kali Champion dengan durasi permainan 2 jam. Tapi kita sama-sama tahu bahwa meraih Champion terus-menerus di battle royale adalah hal yang sulit. Rata-rata dalam satu pertandingan mungkin kita akan mendapat 3.000 – 4.000 XP saja.

Respawn memaparkan bahwa untuk mencapai level 100 di Battle Pass, waktu bermain yang dibutuhkan adalah kurang lebih 100 jam (1 jam per level). Tapi karena jumlah experience yang didapatkan bervariasi, angka tersebut tentu tidak pasti. Banyak pemain di forum Reddit yang telah mengekspresikan kekecewaannya karena tidak berhasil level up meski sudah bermain selama 2 – 3 jam. Respawn memang menawarkan bonus experience dengan cara berganti-ganti karakter, tapi itu berarti kita disuruh bermain bagus dengan karakter yang tak terbiasa kita gunakan.

Sebagian dari imbalan yang ditawarkan juga berupa Apex Pack, itu artinya kita butuh keberuntungan lagi untuk mendapatkan barang yang kita inginkan. Respawn memang menawarkan Epic Apex Pack dan Legendary Apex Pack di level 26 dan 86, jadi kita dipastikan akan mendapat item dengan kelangkaan tinggi. Tapi seperti sudah dibahas di poin sebelumnya, belum tentu item yang kita dapat itu berguna.

Developer game bukan badan amal, jadi wajar saja bila mereka ingin mencari keuntungan sebesar-besarnya. Tapi saya rasa itu bukan alasan yang tepat untuk membuat pemain merasa tidak nyaman atau kecewa. Bila produk yang ditawarkan bagus, penggemar pasti mau mengeluarkan uang untuk mendukung developer. Tapi semakin sering developer membuat penggemar kecewa, reputasi mereka akan turun dan pelan-pelan penggemar pun akan pergi.

Saya berharap Respawn bisa meluncurkan sistem monetisasi yang lebih baik lagi, yang benar-benar membuat pemain excited dan tak keberatan membuka dompet. Lagi pula di luar sana sudah banyak contoh game yang berhasil melakukannya. Lihat saja Dota 2 atau Rainbow Six: Siege yang punya fanbase sangat kuat dan bisa bertahan dalam waktu lama. Apex Legends pun saya yakin bisa seperti itu.

Batalkan Tuntutan Hukum, PUBG Corp dan NetEase Akhirnya Berdamai

Perseteruan di dunia battle royale tidak hanya terjadi antar para pemainnya, tapi juga antar para developernya. Dengan meledaknya PlayerUnknown’s Battlegrounds (PUBG) beberapa tahun terakhir, bukan kejutan bila kemudian muncul developer-developer lain yang meluncurkan game dengan tema serupa. Dan terkadang kemiripan itu dapat menimbulkan masalah, bahkan sampai berlanjut ke urusan meja hijau alias pengadilan.

Hal itulah yang terjadi antara PUBG Corp dengan NetEase, developer asal Tiongkok yang merupakan kreator dari game Knives Out dan Rules of Survival. Bulan April 2018 kemarin PUBG Corp menuntut NetEase atas tuduhan menciptakan dua mobile game yang sangat mirip dengan PUBG untuk “mencuri” audiens milik PUBG, terutama menjelang peluncuran PUBG versi mobile. Saat itu PUBG Corp menunjukkan berbagai elemen visual, audio, serta gameplay yang menunjukkan bahwa karya-karya NetEase memang serupa dengan PUBG.

PUBG RoS - Comparison
Kemiripan PUBG dengan Rules of Survival yang dipermasalahkan | Sumber: McArthur Law Firm

Tak terima dituduh menyontek, NetEase pun membalas tuntutan PUBG Corp dengan tuntutan lain. Mereka menuduh bahwa PUBG Corp sedang berusaha memonopoli genre battle royale, sehingga menutup kesempatan pihak lain untuk berkompetisi secara adil. NetEase memprotes tindakan PUBG Corp yang seolah berusaha untuk mengklaim hak cipta atas elemen-elemen game yang umum, seperti tampilan health bar, fitur lobby, hingga kalimat “Winner Winner Chicken Dinner” yang merupakan jargon populer di Las Vegas.

Baik PUBG, PUBG Mobile, Knives Out, serta Rules of Survival kini sama-sama sudah beredar di pasaran dan meraih kesuksesan masing-masing. Knives Out, misalnya, dilaporkan telah memiliki lebih dari 100 juta pengguna terdaftar dan mendatangkan penjualan senilai kurang lebih US$24.000.000 (sekitar Rp340 miliar). Terlebih-lebih PUBG Mobile, jangan ditanya lagi. Hanya setahun setelah rilis, game ini menghasilkan revenue sebesar US$242.000.000 (sekitar Rp3,4 triliun).

Persaingan dua perusahaan ini menyangkut jumlah uang yang sangat besar, jadi wajar saja bila PUBG Corp mengambil langkah untuk melindungi hak cipta mereka. Tapi di sisi lain argumen NetEase juga tidak salah, karena selama mereka tidak mencuri source code atau aset audio visual PUBG secara langsung, elemen-elemen dalam sebuah game secara sendiri-sendiri memang bukan sesuatu yang bisa dipatenkan.

DOOM - Screenshot
DOOM bukan first-person shooter pertama, tapi DOOM mempopulerkan genre tersebut | Sumber: Steam

Dulu ketika DOOM muncul pada tahun 1993, developer seluruh dunia berbondong-bondong menciptakan game dengan fitur serta tampilan visual menyerupai DOOM. Pada awalnya berbagai game itu disebut sebagai “DOOM clone”, tapi kini sudah tidak ada yang menggunakan istilah itu. “DOOM clone” telah berubah menjadi genre baru yaitu first-person shooter, dan hal yang sama pun sedang terjadi dengan PUBG dan genre battle royale.

Mungkin karena sadar bahwa bertengkar di meja hijau tidak akan mendatangkan hasil, kini PUBG Corp dan NetEase dilaporkan telah mencapai suatu kesepakatan dan akan membatalkan tuntutan mereka. Isi kesepakatan itu sendiri sifatnya rahasia, jadi kita tidak tahu seperti apa detailnya (misalnya apakah NetEase setuju untuk mengubah unsur-unsur game mereka yang mirip PUBG).

Kita pantau saja dalam beberapa bulan ke depan, apakah akan muncul perubahan drastis di Knives Out dan Rules of Survival atau tidak. Bila ternyata tidak terjadi, itu artinya PUBG Corp dan NetEase benar-benar telah berdamai.

Sumber: gamesindustry.biz, McArthur Law Firm

Promosikan Politik Tanpa Polemik, Toge Productions Rilis Board Game Circus Politicus

Indonesia sedang dilanda kehangatan suasana politik jelang pemilihan presiden di tanggal 17 April nanti, dan Toge Productions sebagai salah satu developer/penerbit game lokal ternama tidak ketinggalan untuk turut meramaikan. Kali ini mereka menawarkan hiburan bukan dalam produk video game, melainkan board game dengan judul Circus Politicus. Ini adalah langkah pertama Toge Productions di dunia board game setelah mengembangkan video game selama sepuluh tahun.

Bisa ditebak dari judulnya, Circus Politicus adalah board game jenaka yang bertema parodi cerita-cerita politik baik di dalam maupun di luar negeri. Terinspirasi dari tokoh-tokoh serta berbagai kejadian penting di dunia nyata, Circus Polticus menempatkan kita dalam posisi manajer tim sukses pasangan kandidat politik. Pemain harus mengatur strategi, berkonspirasi, serta meraih suara lewat janji-janji demi memenangkan agenda politik calon yang mereka usung.

Circus Politicus - Characters
Karakter-karakter Circus Politicus | Sumber: Toge Productions

Anda akan bertemu dengan karakter-karakter kocak yang merupakan pelesetan dari tokoh politik sungguhan, seperti Jokowo, Prabowi, Theresa June, Donold Trump, Jim Kong Un, dan sebagainya. Tokoh-tokoh ini disuguhkan dalam wujud kartu dengan karikatur menarik karya ilustrator asal Jakarta, WD Willy. Toge Productions mengemas Circus Politicus sebagai board game dengan aturan main simpel, namun tetap memiliki strategi mendalam.

Circus Politicus - Back Cover
Circus Politicus bisa dimainkan oleh 2 – 4 pemain | Sumber: Toge Productions

Circus Politicus pada awalnya lahir dari acara Global Game Jam 2017, di mana para peserta ditantang untuk menciptakan game dalam waktu 48 jam saja. Menurut Kris Antoni, CEO Toge Productions, saat itulah mereka menciptakan prototipe Circus Politicus dan langsung melihat bahwa game ini memiliki potensi.

Circus Politicus - Cards
Gunakan berbagai manuver politik | Sumber: Toge Productions

“Sempat ada banyak diskusi tentang tema yang akan diangkat permainan ini, namun setelah melihat aturan bermain yang makin diperbaharui serta menyaksikan ramainya pembicaraan yang terjadi di dunia maya, kami putukan untuk menjadikan Circus Politicus sebuah game parodi bertema politik. Jadilah sebuah permainan politik tanpa polemik,” kata Kris dalam siaran pers.

Circus Politicus - Play Session
Play session Circus Politicus di Arcanum Hobbies, Kuningan City | Sumber: Toge Productions

Circus Politicus tersedia di pasaran mulai tanggal 25 Maret 2019 dengan harga banderol Rp200.000. Bagi para peminat, pemesanan sudah dapat dilakukan melalui halaman Tokopedia milik Toge Productions. Game ini juga akan tersedia secara offline di berbagai toko board game di Indonesia. Toge Productions berharap Circus Politicus bukan hanya menjadi hiburan, namun juga dapat menjadi sarana untuk mendamaikan masyarakat Indonesia yang bermusuhan akibat mendukung pasangan calon berbeda, sekaligus menyadarkan kita supaya tidak termakan strategi-strategi politik yang dapat memecah belah bangsa.

Berkenalan Dengan Emago, Platform Cloud Gaming Dalam Negeri

Cloud gaming? Istilah ini mungkin terasa asing, tapi jangan salah kira bahwa ini adalah bermain game di atas awan. Istilah cloud gaming ini sebenarnya digunakan untuk menjelaskan cara baru bermain game, yaitu dengan streaming konten game dari komputer server ke komputer pengguna. Tak terbayangkan? Itulah teknologi, berkat teknologi banyak hal jadi dimungkinkan, bahkan memunculkan suatu jenis produk baru yang tidak terpikirkan atau terasa asing sebelumnya.

Bicara soal cloud gaming, selain Google yang baru rilis Stadia, Indonesia ternyata punya teknologi serupa. Produk tersebut bernama Emago, yang sekarang berubah nama menjadi Gameqoo setelah diakuisisi oleh Telkom Indonesia. Penasaran dengan teknologi yang mungkin bisa menjadi tren baru di dalam gaming, kami pun mewawancara CEO dari Emago Cloud Gaming, Izzudin Al Azzam. Berikut hasil bincang-bincang kami.

Cloud Gaming, Ketika Main Game Jadi Ringan Seperti Streaming Video

Meskipun teknologi ini telah menjadi buah bibir belakangan, namun saya sendiri sejujurnya masih belum paham bagaimana teknologi cloud gaming bekerja. Azzam lalu menjelaskan teknologi ini seperti menjelaskannya kepada anak umur lima tahun, agar bisa dipahami oleh saya yang kadang gagap teknologi ini.

Agar lebih jelas Azzam menjelaskannya dengan cara teknis, tapi versi lebih sederhana. Jadi intinya begini, ada sebuah PC Server yang menjalankan sebuah game. Lalu dengan menggunakan internet, game yang dijalankan pada PC Server ditayangkan atau di-stream ke komputer yang kita gunakan.

Jadi sebenarnya, teknis cloud gaming bisa dibilang hampir sama persis dengan streaming video. Perbedaan utamanya mungkin ada pada dua hal: 1) Cloud gaming memungkinkan kita memberi input kepada konten yang di-stream, 2) Tak seperti streaming video, server cloud gaming membutuhkan komputasi grafis.

Sumber:
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Aji

Walau teknologi ini masih sangat baru, namun Azzam mengaku sudah mulai mengembangkan Emago sedikit demi sedikit sejak tahun 2016 akhir. Awal pengembangannya cukup sederhana, ia hanya bermodal satu PC yang kuat untuk main game, internet, dan PC biasa saja untuk streaming konten game dari PC tersebut. Percobaan tersebut ternyata berhasil dan Azzam akhirnya mencoba untuk scale up atau membesarkan basis teknologi tersebut.

Landasan permasalahan Azzam ketika membuat Emago sebenarnya cukup sederhana. Sebagai gamers ia merasakan keresahan tersendiri, yaitu game PC yang terus rilis baru secara rutin, dan memiliki harga yang cukup mahal. Mencoba mempelajari apa yang dilakukan oleh negara maju, akhirnya tercetuslah percobaan pembuatan cloud gaming, dan sampai akhirnya memunculkan brand Emago. Ia membuat hal ini dengan harapan agar gamers di berbagai belahan Indonesia bisa mengakses game dengan lebih mudah dan murah; tak perlu PC mewah, cukup satu kali bayar untuk main banyak game.

Tetapi sebagai ganti dari PC mahal dan harga berlangganan yang cukup terjangkau, Anda sebagai pengguna harus memiliki internet yang stabil untuk bisa bermain game pakai Emago. “Kita bahkan pernah coba main game pakai USB Stick PC, dan di situ Emago bisa berjalan. Tapi pastikan internet Anda stabil, sebab internet yang tak stabil tentu akan membuat pengalaman bermain Anda jadi tidak nyaman. Entah membuat konten streaming jadi lebih rendah kualitasnya, atau input kontrol Anda yang menjadi delay.” jawab Azzam.

Emago dan Tantangan Infrastruktur di Indonesia

Sumber:
Sumber: Pythian

Kalau kita bicara permasalahan startup teknologi di Indonesia, biasanya yang paling sering menjadi pembicaraan adalah soal tantangan infrastruktur. Kesulitan tantangan tersebut semakin meningkat, karena bentuk alami Indonesia adalah negara kepulauan. Dalam hal teknologi cloud gaming seperti Emago, hal ini sebenarnya adalah salah satu permasalahan utama. Mengapa? Karena cloud gaming membutuhkan infrastruktur internet yang mapan.

Tetapi, selalu ada berbagai sisi dari sebuah masalah, tergantung dari mana sudut pandang Anda melihatnya. Pada satu sisi, hal tersebut bisa jadi adalah masalah. Sementara pada sisi lain, hal tersebut bisa jadi sebuah peluang. Azzam berada di sisi satunya, yang menganggap bahwa permasalahan infrastruktur di Indonesia sebagai sebuah peluang.

Azzam mengutip Natali Ardianto, ex-CTO Tiket.com, membicarakan soal ini. “Kalau kalian bikin teknologi tapi infrastrukturnya sudah siap, kalian sudah pasti telat. Jadi kalian harus bikin teknologi saat infrastrukturnya belum siap, sebab butuh pembelajaran untuk mengembangkan hal tersebut.” kata Azzam kepada Hybrid.

Maka dari itu Azzam bersikukuh untuk mengembangkan Emago sejak dini, sejak saat infrastruktur internet di Indonesia masih menjadi masalah. Harapannya adalah, ketika infrastruktur internet Indonesia sudah mapan, produk cloud gaming buatannya sudah sempurna, dan bisa dinikmati oleh para pengguna.

Hal ini juga yang menjadi alasan kerjasama Emago dengan Telkom, demi memperkuat teknologi cloud gaming miliknya. Menurut Azzam, setidaknya ada dua hal esensial dalam mengembangkan cloud gaming, yaitu dari sisi hardware (PC server yang kuat), dan infrastruktur telekomunikasi (Internet).

Untuk soal hardware, Emago kini bekerja sama dengan Intel untuk menyediakan PC server yang kuat. Lalu untuk soal internet, mereka bekerja sama dengan Telkom agar teknologi cloud gaming mereka dapat berjalan dengan lancar, di atas infrastruktur internet Telkom.

Sumber:
Sumber: 9to5google

Masih bicara soal tantangan, hal selanjutnya yang harus dihadapi adalah persaingan. Seperti yang Anda tahu, Google hadir dengan produk cloud gaming bernama Stadia, Microsoft juga mengembangkan hal tersebut, belum lagi produk cloud gaming lain seperti Skyegrid, Vortex, dan lain sebagainya. Azzam cukup percaya diri menghadapi hal ini, karena apa yang ia lakukan semuanya berbasis di Indonesia.

“Tak usah khawatir soal lag atau delay ketika bermain dengan menggunakan Emago, karena semua infrastruktur kami berbasis di Indonesia. Server kami ada di Indonesia, ditambah lagi kami juga bekerja sama dengan Telkom Indonesia untuk urusan network. Jadi bisa dijamin pengalaman bermain Anda menggunakan Emago akan lebih lancar, jika dibandingkan produk cloud gaming lainnya.” Azzam menambahkan.

Cloud Gaming dan Ekosistem Esports

Sumber:
Sumber: LoL Esports Official Media

Bicara gaming di zaman sekarang, rasanya belum lengkap kalau tidak memasukkan topik seputar esports. Sampai saat ini, kompetisi esports dianggap menjadi salah satu alat marketing yang unik dalam industri game. Terutama untuk game yang sifatnya multiplayer dan kompetitif. Tambah lagi, kebanyakan game yang populer belakangan juga sifatnya multiplayer, kompetitif, dan butuh respon serba cepat.

Berlandaskan hal tersebut, saya jadi penasaran, bagaimana cara kerja cloud gaming untuk main game multiplayer? Apakah mungkin cloud gaming bisa digunakan untuk esports? Bisa atau tidak, Azzam mengatakan sebenarnya bisa saja, tapi bukan untuk saat ini.

Untuk bermain game multiplayer dengan teknologi ini, setidaknya ada tiga PC yang harus disambungkan dengan internet. Pertama PC sang pengguna, kedua PC server platform cloud gaming, ketiga PC server game multiplayer yang dimainkan. Jadi sederhananya, alur koneksi internet saat memainkan game multiplayer dengan cloud gaming adalah: Dari user, ke PC server cloud gaming, ke PC server game, kembali ke PC server cloud gaming, baru kembali ke PC user.

Sumber:
Sumber: Dokumentasi Hybrid – Aji

Proses yang cukup panjang bukan? Maka dari itu untuk sementara waktu, basis teknologi ini akan lebih maksimal jika digunakan untuk main game single-player. “Saya sudah sempat mencoba menggunakan teknologi ini untuk bermain Dota 2, dan ternyata ping yang dihasilkan bisa mencapai 200ms. Tentunya hal ini akan memberikan pengalaman bermain yang sangat tidak nyaman, maka dari itu menurut saya untuk sementara waktu cloud gaming belum siap untuk game esports.” ujar Azzam.

Menutup obrolan, saya mempertanyakan soal masa depan hubungan antara cloud gaming dengan esports. Akankah di masa depan kegiatan semua kegiatan esports menggunakan cloud gaming? Azzam cukup bijak dalam menjawab hal ini, menurutnya kalau hanya terbatas sampai casual player saja, bisa jadi. Tetapi kalau untuk professional use, kemungkinan besar akan tetap menggunakan hardware.

“Melihat perkembangan game yang lebih cepat daripada perkembangan hardware, maka menurut saya masa depan game kompetitif atau esports juga akan berada di cloud gaming. Nafas dari cloud gaming adalah filosofi sharing resource. Jadi dengan dibuatnya basis teknologi ini, harapannya agar semua orang punya akses lebih mudah dan ekonomis terhadap game, termasuk game esports. Tetapi kalau bicara untuk penggunaan professional, tentu akan beda lagi. Mereka pasti tetap butuh segala hardware yang terbaik untuk memaksimalkan permainan mereka.” Jawab Azzam memperjelas.

Mendengar penjelasan Azzam seputar Emago dan platform teknologi cloud gaming, membuka pikiran saya soal masa depan gaming dan platform teknologi cloud gaming. Maksudnya begini, kalau semua orang punya akses yang mudah dan ekonomis terhadap konten game, untuk apa harus memilih yang lebih mahal?

Namun kemudahan akses ini, untuk sementara waktu, datang dengan kompromi tertentu seperti: tidak bisa bermain mulus 144 FPS, kualitas grafis super jernih 4K, atau pengaturan grafis rata kanan. Tetapi saya setuju dengan apa yang dikatakan Azzam soal alasan dia mengembangkan teknologi ini sebelum infrastruktur di Indonesia siap.

Nantinya, kalau infrastruktur internet Indonesia sudah lebih mapan, teknologi cloud gaming diharapkan sudah sama majunya. Jadi, harapannya sudah tidak ada lagi kompromi-kompromi yang saya sebutkan di atas. Nantinya tak peduli siapapun Anda, di mana Anda tinggal, Anda tetap bisa bermain game dengan mulus memanfaatkan platform cloud gaming.

Rayakan Ulang Tahun ke-50, Konami Siap Luncurkan Bundel Game Klasik ke Platform Current-Gen

Di saat Capcom sedang menikmati kesuksesan remake Resident Evil 2 dan Devil May Cry 5, sang rival senegaranya Konami dikabarkan tengah mencurahkan perhatian mereka untuk membangun pusat kegiatan esports di jantung kota Tokyo. Namun ada satu kesamaan esensial antara dua perusahaan asal Jepang itu: mereka ialah pemegang franchise permainan populer yang dicintai jutaan penggemarnya.

Fans Konami tahu, Maret adalah periode istimewa bagi sang publisher. Di bulan inilah perusahaan resmi didirikan, dan tepat di tanggal 21 Maret 2019 besok, ia genap berusia separuh abad. Konami tentu saja sudah menyiapkan kejutan buat memanjakan para gamer-nya. Minggu ini, mereka mengumumkan agenda peluncuran Anniversary Collection Arcade Classics, yakni sebuah seri bundel permainan berisi judul-judul legendaris mereka.

Kata ‘seri’ perlu ditekankan karena Konami berencana untuk melepas lebih dari satu Anniversary Collection. Edisi pertamanya sendiri diisi oleh delapan permainaan dari era 1980-an, disiapkan agar bisa dinikmati lagi di platform current generation. Selain game, Konami turut menyertakan bonus eBook berisi segala macam informasi mengenai delapan permainan tersebut, di antaranya wawancara dengan staf pengembang, pandangan developer soal kreasi mereka, serta desain, sketsa dan sejumlah dokumen yang selama puluhan tahun belum pernah dipublikasikan.

Ini dia delapan game yang ada di Konami Anniversary Collection Arcade Classics:

  • Haunted Castle
  • A-Jax
  • Nemesis (Gradius)
  • Vulcan Venture (Gradius II)
  • Life Force (Salamander)
  • Thunder Cross
  • Scramble
  • TwinBee

Anniversary Collection edisi pertama dijadwalkan untuk meluncur di Windows PC via Steam, PlayStation 4, Xbox One dan Nintendo Switch pada tanggal 18 April 2019. Tidak ada versi fisik. Apapun platform pilihan Anda, bundel permainan didistribusikan secara digital. Paket permainan tersebut bisa Anda beli seharga US$ 20, tetapi saya menduga akan ada penyesuaian harga ke rupiah khusus versi Steam.

Dalam beberapa bulan ke depan, Konami berniat untuk turut melepas Castlevania Anniversary Collection serta Contra Anniversary Collection. Kabarnya, dua bundel itu akan dirilis secara berbarengan di ‘musim panas’ 2019.

Di tiap edisi, ada empat judul yang telah dikonfirmasi, yaitu: Castlevania yang dahulu dilepas di NES, Castlevania II: Belmont’s Revenge, Castlevania III: Dracula’s Curse, and Super Castlevania IV; kemudian ada Contra, Super Contra, Super C, Contra III: The Alien Wars plus satu game lagi yang baru akan diumumkan nanti.

Via GameSpot.

Bagaimana Operation Burnt Horizon Mempengaruhi Meta Rainbow Six: Siege

Tom Clancy’s Rainbow Six: Siege kini telah menginjak tahun keempat. Sesuai tradisi yang sudah dijaga selama tiga tahun sebelumnya, Ubisoft selalu merilis konten baru secara berkala tiap tahun, dengan jadwal update yang terbagi ke dalam empat periode (season). Setiap season dalam satu tahun itu biasanya berisi konten dua karakter (Operator) baru ditambah dengan konten-konten lainnya (event, map, dll). Jadi dalam satu tahun Rainbow Six: Siege sudah pasti akan mendapat delapan Operator baru.

Ubisoft juga selalu memberi nama yang keren pada setiap season tersebut. Sebagai contoh, update konten Year 1 Season 3 memiliki nama Operation Skull Rain. Year 2 Season 1 bernama Operation Velvet Shell. Begitu seterusnya. Mulai bulan Maret 2019 ini, kita memasuki Rainbow Six: Siege periode Year 4 Season 1, dengan nama Operation Burnt Horizon.

Setiap season dalam Rainbow Six: Siege selalu memberikan banyak konten baru yang dapat mengubah suasana permainan dengan cukup drastis. Ada apa saja di Operation Burnt Horizon, dan seperti apa pengaruhnya pada meta Rainbow Six: Siege saat ini? Simak ulasan Hybrid bersama komunitas R6 IDN (Rainbow Six: Siege Indonesia Community).

Operator: Gridlock (Attacker)

Rainbow Six: Siege - Gridlock
Operator Gridlock | Sumber: Ubisoft

Operation Burnt Horizon menambahkan dua Operator baru berkebangsaan Australia yang tergolong cukup tricky digunakan. Pertama yaitu Gridlock, anggota Australian Special Air Service Regiment (SASR) Mobility Platoon yang merupakan spesialis misi perlindungan. Gridlock adalah seorang pekerja keras, dan di samping prajurit yang hebat, ia juga merupakan mekanik andal.

Keahlian Gridlock tergolong tak lazim bagi seorang Attacker, karena Gadget unik miliknya yang bernama Trax Stingers justru berwujud jebakan. Sekali Gridlock melemparkannya, Trax Stingers akan menyebarkan duri-duri besi dalam jumlah besar di lantai, membuat musuh kesulitan memasuki ruangan atau lorong-lorong. Karakter tipe Attacker tidak akan terpengaruh oleh duri-duri tersebut, tapi Defender yang menginjaknya akan terkena damage, bergerak lebih lambat, serta menimbulkan suara berisik.

Jebakan dari Trax Stingers dapat dihancurkan, misalnya dengan cara menembaknya atau memukulnya dengan popor senapan. Tapi semua tindakan ini akan menimbulkan suara. Dalam game taktis seperti Rainbow Six: Siege, di mana posisi sangat menentukan prestasi, memberi tahu lawan posisi kita lewat suara sama saja dengan bunuh diri.

Menurut Bobby Rachmadi Putra dari R6 IDN, peran Gridlock di permainan akan mirip dengan Nomad yang dirilis dalam Operation Wind Bastion. Tugas Gridlock adalah melindungi tim dari serangan roamer Defender, atau melindungi tim pada saat planting di bomb site. “Tinggal pinter-pinternya Defender untuk ngehancurin Gadget dia dulu sebelum menjadi banyak kayak laba-laba,” ujar Bobby.

Trax Stinger yang tergolong cukup spammable memang akan sangat merepotkan bila dibiarkan merajalela. Menurut Bobby, Gadget ini juga dapat digunakan sebagai umpan, karena tim lawan akan sibuk menghancurkan Trax Stinger di tengah pertarungan. Peran Gridlock penting untuk kerja sama tim, namun sesuai perannya sebagai Attacker, ia juga kuat untuk bertarung solo. “Nah, Gridlock bisa dibilang kalau dia last man standing bakalan kuat posisinya dengan Gadget untuk cover planting bomb. Armor 3 tebel, Gadget-nya kayak gitu nge-block entry point,” kata Bobby. Penggunaan Gridlock cukup situasional, namun bila dalam kondisi yang tepat, Operator ini sangat merepotkan dan berbahaya.

Operator: Mozzie (Defender)

Rainbow Six: Siege - Mozzie
Operator Mozzie | Sumber: Ubisoft

Berkebalikan dengan Gridlock yang kalem, Mozzie justru merupakan Operator yang tengil dan pemberani. Ia memiliki spesialisasi dalam bidang pengintaian (reconnaissance), serta ahli menyetir di medan off-road. Di balik kepribadiannya yang humoris, Mozzie adalah anggota elit Australian SASR Mobility Platoon yang cerdas dan sulit ditebak. Mozzie dan Gridlock telah lama menjadi partner, dan keduanya pernah meraih penghargaan National Emergency Medal bersama-sama.

Bila Gridlock adalah Attacker dengan keahlian mirip Defender, Mozzie justru Defender dengan gaya main seperti Attacker. Gadget unik miliknya adalah Pest Launcher, robot serangga kecil yang dapat membajak drone lawan untuk dijadikan miliknya sendiri. Dengan penguasaan drone, Mozzie dapat mengintai posisi lawan lebih mudah dan membantu tim menyiapkan serangan kejutan.

Dari segi daya hancur, Mozzie mungkin tidak terdengar menyeramkan. Tapi keberadaannya akan membuat lawan harus selalu was-was terhadap drone pengkhianat. Selagi perhatian lawan teralihkan oleh drone, kawan-kawan Mozzie dapat menyerang musuhnya dari titik-titik yang tak terduga.

“Dua-duanya (Gridlock dan Mozzie) tuh game changing banget sih. Tapi Mozzie nih bener-bener mengubah style banget.” Bobby berpendapat bahwa Mozzie punya dampak besar para permainan, seperti Echo, “Cuman bedanya kalau punya Mozzie kan drone si Attacker, yang pasti dia bisa lompat dan jalan-jalan ke mana aja. Itu yang bikin dia penting untuk stay alive sampai akhir round.

Mozzie juga lebih “galak” dalam urusan roaming, karena mobilitas Operator ini lebih tinggi dari Echo. Mozzie memiliki Speed 2 dan Armor 2, lebih gesit daripada Echo yang memiliki Speed 1 dan Armor 3. “Jadi nanti kalau sudah masuk ke esports, pro player pasti bakalan ban Mozzie atau Echo, nggak cuman Echo lagi aja,” jelas Bobby.

Map baru: Outback

Rainbow Six: Siege - Outback
Outback terdiri atas tiga bangunan, Garage, Restaurant, dan Motel | Sumber: Ubisoft

Tidak hanya dua Operator baru yang berasal dari Australia, map baru bernama Outback ini pun mengambil suasana dari Australia. Tepatnya dari rest area di jalan-jalan padang pasir (country road) Australia. Bobby bahkan bercerita bahwa desain map ini sangat mirip dengan pengalamannya saat tinggal di Australia dulu. Dengan kemunculan Outback, kini jumlah map dalam Rainbow Six: Siege telah mencapai 21 lokasi.

Area pertempuran dalam Outback terbagi ke dalam tiga bangunan yang mudah dikenali berdasarkan warna cat dindingnya. Bangunan pertama yaitu Garage memiliki warna biru, Restaurant memiliki warna hijau, dan Motel memiliki warna kuning. Ketiga bangunan ini saling terhubung, dan terdiri dari banyak sekali ruangan yang terpisah dengan sekat-sekat.

“Tempatnya luas tapi tersekat banyak sekali ruangan. Agak susah untuk bikin rotation dan roamer yang roaming jauh dan dekat, karena efek suara langkah kakinya jadi lebih kedengaran,” kata Bobby. Bangunan-bangunan di Outback memang rata-rata memiliki dua lantai dan memiliki banyak lantai yang terbuat dari kayu. Jadi pertempuran di sini akan sangat menegangkan karena suara langkah kaki membuat musuh selalu terasa dekat.

Masalah terbesarnya, meskipun kita tahu bahwa ada musuh di dekat kita, kita tidak tahu mereka ada di ruangan mana. Banyak juga lantai yang dapat dihancurkan, baik dari atas ke bawah atau sebaliknya, membuat vertical play di Outback sangat terasa. Informasi posisi musuh serta keahlian pemain untuk bertarung jarak dekat akan memegang peranan penting dalam pertarungan di map ini.

Lebih memfasilitasi pemain baru

Fitur baru yang muncul di Operation Burnt Horizon adalah playlist Newcomer. Khusus untuk pemain-pemain yang masih berada di bawah level 50, Ubisoft telah merancang sebuah playlist berisi beberapa map yang mudah dimainkan, yaitu Bank, Consulate, dan Chalet. Ketiga map ini dianggap sangat merepresentasikan core gameplay Rainbow Six: Siege, sehingga diharapkan dapat membantu para pemain baru untuk belajar memainkan game ini.

Dalam playlist Newcomer, para pemain akan masuk ke mode Bomb, kemudian tim pihak Attacker dapat memilih lokasi spawn dengan sistem voting. Sementara di tim Defender, lokasi bom akan dipilih otomatis sebelum game dimulai.

Rainbow Six: Siege - Newcomer Playlist
Playlist Newcomer terdiri dari tiga map paling dasar | Sumber: Ubisoft

Playlist Casual, yang selama ini sudah ada, juga mendapat update. Pertama, tim Defender kini bisa mengetahui lokasi bom sebelum memilih Operator. Kedua, tim Attacker dapat memilih lokasi spawn secara individual. Ketiga, Action Phase sekarang berjalan selama 3 menit 30 detik.

Ubisoft ingin playlist Casual menjadi jembatan antara para pemain di Newcomer dan di Ranked. Semua perubahan ini dilakukan agar ketika pemain masuk ke Ranked, mereka benar-benar dapat menemukan permainan yang nyaman karena semua orang tahu bagaimana cara bermain yang benar. Demi itu pula, Ubisoft kini menaikkan syarat untuk bermain Ranked dari level 20 ke level 30.

Kosmetik dan konten-konten lainnya

Rainbow Six: Siege - Hibana Elite Set
Hibana Elite Set, kosmetik baru Year 4 Season 1 | Sumber: Ubisoft

Selain perubahan-perubahan di atas yang berpengaruh besar pada gameplay, Operation Burnt Horizon juga menyertakan berbagai item kosmetik baru. Salah satunya yang paling mencolok adalah Hibana Elite Set, kostum untuk Hibana yang terinspirasi dari Kyudo (bela diri panahan Jepang). Set kostum ini terdiri dari seragam Onkochisin, victory animation, operator card, gadget skin X-Kairos, weapon skin Type-89, SUPERNOVA, P229, dan BEARING-9, serta charm Elite Hibana Chibi.

Para pemain Rainbow Six: Siege dapat memperoleh Gridlock dan Mozzie dengan cara membelinya menggunakan poin Renown, atau membeli Rainbow Six: Siege Year 4 Pass seharga US$29,99. Sesuai namanya, Year 4 Pass tidak hanya memberikan konten dari Year 4 Season 1, tapi juga konten-konten lainnya hingga Year 4 Season 4 nanti. Termasuk di dalamnya yaitu berbagai headgear dan seragam eksklusif, serta VIP Membership selama setahun berisi berbagai keuntungan, seperti Renown Boost serta diskon di in-game shop.

Rainbow Six: Siege Year 4 Pass
Rainbow Six: Siege Year 4 Pass | Sumber: Ubisoft

Rainbow Six: Siege saat ini telah menjadi esports yang mendunia, bahkan tim-tim besar seperti Natus Vincere pun belakangan mulai terjun ke dalamnya. Khusus untuk Asia Pasifik (APAC), Ubisoft merasa bahwa wilayah ini telah berkembang pesat dalam satu tahun terakhir, dan mereka berencana untuk menggelar final Rainbow Six Pro League di Asia pada tahun 2020 nanti. Dengan perubahan-perubahan baru seperti playlist Newcomer, serta berkembangnya komunitas di Asia, ini adalah saat yang sangat tepat untuk masuk ke dunia Rainbow Six: Siege bila Anda belum mencobanya.

Sumber: Ubisoft

Disclosure: Hybrid adalah media partner R6 IDN.