Metaverse Bakal Banyak Dilibatkan di Dunia Gaming, Demikian Pula NFT dan Cryptocurrency

Definisi metaverse sejauh ini bisa dibilang masih agak abu-abu, akan tetapi itu tidak mencegah banyak perusahaan besar mengejar tren tersebut. Mulai dari Facebook Meta, Microsoft, sampai Niantic, semua punya visinya sendiri-sendiri akan konsep metaverse yang ideal.

Satu hal yang pasti, metaverse bakal banyak dilibatkan di dunia gaming. Seperti yang kita tahu, gaming memang kerap menjadi lahan percobaan untuk banyak teknologi baru, dan pola tersebut pun juga bakal berlaku untuk metaverse.

Beberapa game yang ada saat ini, seperti misalnya Fortnite, Minecraft, Roblox, atau Second Life bahkan juga sudah bisa kita anggap sebagai iterasi awal metaverse, dan masing-masing bakal terus berevolusi ke depannya. Ini bukan pendapat saya pribadi, melainkan pemikiran dari Jesse Powell, co-founder sekaligus CEO dari Kraken, salah satu marketplace crypto tertua yang sudah eksis sejak tahun 2011.

Dalam wawancaranya bersama Yahoo Finance, Jesse menyamakan metaverse dengan dunia virtual yang sudah bisa kita temukan di berbagai game online populer, mulai dari Second Life, World of Warcraft, sampai Runescape.

NFT bisa populer karena keakraban kita dengan tren membeli barang virtual di game / Sumber gambar: Epic Games

Menurutnya, orang-orang yang sempat memainkan deretan game tersebut kini tertarik dengan tren metaverse salah satunya karena ide akan kemudahan memindah-mindah barang virtual, token virtual, pakaian virtual, atau apapun itu, di antara platform yang berbeda-beda. Di situlah NFT dan cryptocurrency jadi bakal banyak berperan.

Ditanya mengenai faktor yang mendorong peningkatan popularitas NFT belakangan ini, Jesse bilang salah satu alasannya adalah keakraban generasi muda dengan tren membeli barang-barang virtual, seperti membeli skin di game online misalnya. Lagi-lagi game yang jadi pemicunya.

Poin terakhir yang tak kalah menarik adalah, Jesse percaya ke depannya tidak akan ada satu metaverse saja. Atau dengan kata lain, tidak akan ada satu perusahaan saja yang memonopoli bidang ini. Sekali lagi, platform-nya boleh berbeda-beda, akan tetapi ada blockchain yang bakal menjembatani satu sama lain.

Sumber: Yahoo Finance.

Exclusive Interview: Industri VR Indonesia dari Kacamata Developer Game

Berdasarkan data terbaru dari GlobalData, industri Virtual Reality (VR) bernilai US$5 miliar pada 2020. Angka itu diperkirakan akan naik menjadi US$51 miliar pada 2030. Associate Project Manager, GlobalData, Rupantar Guha mengatakan,  sampai saat ini, teknologi VR belum diadopsi secara massal. Padahal, teknologi VR telah dikembangkan sejak berpuluh-puluh tahun lalu.

“Dalam beberapa tahun belakangan, baik hardware maupun software untuk VR telah berevolusi. Meskipun begitu, masalah seperti latensi, harga hardware yang mahal, masalah privasi, dan ketiadaan konten membuat VR tetap menjadi industri niche,” kata Guha pada GamesIndustry. “Memang, teknologi seperti 5G, cloud, dan motion tracking bisa digunakan untuk mengatasi masalah latensi. Namun, kunci untuk menumbuhan industri VR adalah jaminan privasi untuk para pengguna dan ketersediaan konten yang memadai.”

Bagaimana Keadaan Industri VR di Indonesia?

Lee Marvin, VP of Gamification at Agate International memperkirakan, teknologi VR mulai masuk ke Indonesia ketika Facebook mengakuisisi Oculus pada 2014. Ketika itu, telah ada beberapa perusahaan yang menyediakan headset VR, seperti Oculus, HTC, dan Samsung. Dia bercerita, orang-orang mulai tertarik mencoba VR karena framerate lensa di headset VR sudah mencapai 60 fps sehingga konten bisa tampil dengan mulus. Orang-orang yang masuk dalam kategori early adopters tersebut adalah pelaku industri kreatif dan brand agency. Mereka tertarik dengan VR karena teknologi itu bisa menjadi cara baru bagi brand untuk berkomunikasi dengan konsumen.

“Kendalanya adalah karena kurang kreator konten,” ujar Marvin dalam wawancara dengan Hybrid. “Ketika akses ke teknologi VR terbuka, developer juga masih coba-coba; bagaimana membuat konten/game yang bagus, bagaimana cara memastikan pengguna tidak bingung dengan controller-nya.”

Lebih lanjut, Marvin menjelaskan, di Indonesia, hype akan teknologi VR memuncak pada 2016. Memang, ketika itu, Sony baru saja meluncurkan PlayStation VR. Jika dibandingkan dengan HTC Vive — yang harganya bisa mencapai belasan atau puluhan juta — harga PSVR relatif terjangkau, hanya berkisar Rp5-7 juta. Sayangnya, hype akan VR di Indonesia tetap turun pada 2018.

Hype teknologi VR di Indonesia mulai hilang, karena aksesnya sangat terbatas,” jelas Marvin. “Untuk beli headset-nya sendiri saja masih impor. Tidak ada official store yang menyediakan hardware-nya, khususnya Oculus. Sementara HTC ada toko resmi, tapi harganya mahal.”

Tantangan di Industri VR

Marvin menyebutkan, salah satu masalah utama yang menghambat pertumbuhan industri VR adalah harga hardware yang mahal. Dia lalu membandingkan harga headset VR — yang bisa mencapai puluhan juta — dengan harga smartphone. Sekitar tahun 2018, Anda sudah bisa membeli smartphone dengan harga Rp1-2 juta, jauh lebih murah dari headset VR.

Padahal, kata Marvin, untuk bisa bermain game VR, Anda tidak hanya memerlukan headset, tapi juga komputer yang cukup powerful. Karena entry barrier yang cukup tinggi itu, maka jumlah orang yang bisa mengakses teknologi VR pun menjadi sangat terbatas. “Biasanya, pihak yang punya dana untuk beli PC/laptop gaming dan headset VR memang perusahaan,” jelas Marvin. Dan ketika itu, laptop gaming juga baru hype. Jadi memang, pasarnya sangat terbatas.”

Senada dengan Marvn, Nico Alyus, CEO OmniVR, juga mengatakan bahwa harga hardware yang mahal jadi salah satu penghalang utama bagi industri VR di Indonesia untuk tumbuh. “UMR di Indonesia itu hanya Rp3,5-4 juta, sedangkan satu paket alat VR yang complete itu seharga Rp40 juta,” kata Nico pada CNBC Indonesia. “Artinya, orang harus nggak makan selama 10 bulan, baru dia bisa beli alat VR.” Berdasarkan data internal dari OmniVR, selama 3 tahun — sejak 2016 sampai 2019 — total alat VR yang terjual di Indonesia hanya mencapai 228 unit.

HTC Vive bisa dihargai belasan sampai puluhan juta.

Ketika ditanya tentang masa depan industri VR, Marvin mengatakan, selama harga hardware VR masih cukup mahal, maka teknologi VR akan sulit untuk menjadi mainstream. “Hardware seharga Rp7 juta itu, orang-orang yang tidak tinggal di kota besar, seperti nelayan atau petani, mereka tidak bisa afford hardware itu. Bagi mereka, smartphone seharga Rp1-2 juta saja sudah terbilang mahal. Harga Rp7 juta hanya bisa di-afford oleh orang-orang level menengah atas,” ujarnya.

Masalah lainnya adalah konten. Marvin berkata, “Popularitas VR tergantung konten. Apakah konten yang bisa diakses melalui VR mempengaruhi produktivitas atau tidak. Kalau hanya sebatas entertainment, hardware VR ya akan diperlakukan sama seperti konsol.”

Kabar baiknya, selama pandemi, minat masyarakat Indonesia akan VR naik. Menurut Marvin, hal ini terjadi karena orang-orang yang sudah lama terkurang di rumah tengah mencari metode hiburan baru. Hal lain yang mendorong pertumbuhan industri VR adalah keberadaan Oculus Quest 2. Keberadaan hardware itu membantu karena Anda bisa menggunakan Quest 2 tanpa harus menghubungkannya ke komputer. Dan Anda bisa melakukan setup dengan smartphone.

Siapa Target Pasar VR di Indonesia?

Meski pasar VR tidak sebesar yang diperkirakan beberapa tahun lalu, Indonesia tetap punya pasar VR. Marvin menjelaskan, bisnis VR milik Agate menargetkan perusahaan sebagai klien, berbeda dengan game yang Agate buat, yang ditujukan untuk konsumen.

Marvin menjelaskan, biasanya, perusahaan menggunakan teknologi VR untuk membuat simulasi latihan dari tugas yang punya risiko tinggi. Contohnya adalah perusahaan yang bergerak di bidang konstruksi. “Dengan VR, biaya latihan bisa menjadi lebih terjangkau. Selain itu, keamanan pegawai pun menjadi lebih terjamin,” ujarnya. Selain perusahaan kontruksi, perusahaan lain yang biasanya menjadi klien Agate adalah perusahaan yang bergerak di bidang otomotif dan pertambangan

“Perusahaan pertambangan adalah yang paling banyak. Karena, mereka menggunakan alat berat yang besar-besar semua,” jelas Marvin. “Untuk melatih pegawai, daripada menggunakan truk seukuran 10 meter, bisa bahaya kalau terguling, lebih baik menggunakan VR.” Dia menambahkan, pihak lain yang sering menggunakan VR adalah militer. Memang, salah satu proyek VR pertama — yang dikembangkan pada tahun 1960-an — dibuat untuk keperluan militer Amerika Serikat.

Marvin merasa, di masa depan, VR akan terus digunakan sebagai alat latihan perusahaan. Pasalnya, pelatihan menggunakan VR terbukti efektif. Dia memberikan contoh pelatihan menembak.

“Ada yang namanya imaginary training, untuk latihan menembak. Jadi, ada orang yang memang latihan manual, ada yang latihan dengan simulasi menggunakan VR, dan ada yang tidak latihan sama sekali,” ungkap Marvin. “Hasilnya, tingkat akurasi dari orang yang berlatih menggunakan VR hampir sama dengan orang yang latihan secara manual. Sementara orang yang tidak berlatih sama sekali menunjukkan tingkat akurasi paling rendah.”

Mengingat simulasi VR biasanya digunakan untuk latihan dalam sebuah perusahaan, proses pembuatannya pun berbeda dengan proses pengembangan game. Marvin menyebutkan, sebelum membuat simulasi VR untuk sebuah perusahaan, Agate biasanya akan bertemu dengan perwakilan perusahaan untuk membahas tentang requirement yang mereka butuhkan. “Karena kebutuhan perusahaan adalah untuk latihan, simulasi harus disesuaikan dengan skillset yang diperlukan dan Standar Operasional Prosedur (SOP) perusahaan,” kata Marvin.

“Jika perusahaan sudah tahu requirement apa saja yang mereka butuhkan, biasanya mereka akan mengeluarkan request for proposal, yaitu undangan bagi para vendor untuk mengajukan proposal mereka,” ujar Marvin. Menariknya, perusahaan-perusahaan yang berkutat di dunia VR biasanya adalah developer game atau penyedia solusi VR. Marvin menjelaskan, hal ini terjadi karena perusahaan yang bisa membuat simulasi VR hanyalah mereka yang memang mengerti teknologi VR. Apalagi karena proses pembuatan aplikasi VR akan tergantung pada jenis headset yang digunakan perusahaan.

Selain untuk latihan, perusahaan biasanya menggunakan teknologi VR untuk menyebarkan informasi produk atau melakukan edukasi produk ke konsumen. Meskipun begitu, Marvin menekankan, ketika Agate membuat aplikasi VR, interaksi yang terjadi di simulasi itu tetaplah layaknya game.

Belum Rilis, Forza Horizon 5 Sudah Dimaikan oleh 1 Juta Pemain Lebih

9 November 2021, game balap Forza Horizon 5 akhirnya resmi dapat dimainkan oleh para gamer di seluruh dunia. Game balap open-world dengan latar Meksiko tersebut memang menjadi salah satu game yang paling ditunggu tahun ini. Bahkan karena tidak sabarnya, Forza Horizon 5 berhasil menembus 1 juta pemain bahkan sebelum game-nya dirilis.

Hal tersebut dimungkinkan karena adanya fitur early-access bagi mereka yang membeli Premium Edition. Jadi, para gamer yang membeli edisi tersebut sudah dapat memainkan game-nya sejak tanggal 5 November kemarin. Padahal game-nya sendiri juga dapat dimainkan secara gratis lewat Xbox Game Pass.

Apalagi sebelum sesi early-access tersebut tiba, Forza Horizon 5 juga telah merilis review dari berbagai media gaming dan juga influencer. Mayoritas memberikan penilaian positif terhadap game ini. Bahkan salah satu yang paling mengejutkan adalah ketika IGN memberikan nilai 10/10 yang sebelumnya hanya bisa diraih oleh game-game yang istimewa seperti Red Dead Redemption 2 dan God of War.


Data satu juta pemain ini ditemukan oleh salah satu streamer bernama Stallion83 yang memperlihatkan jumlah pemain yang mengikuti tantangan dalam game-nya saat berstatus early-access. Menariknya lagi, sudah ada lebih dari 1 juta pemain yang telah mencoba tantangan tersebut bahkan sebelum game-nya dirilis resmi.

Fitur early-access atau bermain lebih awal lewat pembelian edisi tertentu sebuah game memang bukan hal yang baru. Namun hak istimewa tersebut bukan tanpa resiko. Beberapa gamer yang memainkan versi early-access ini kerap mengalami beberapa masalah seperti game yang mengalami force close, frame rate yang kadang tidak stabil dan bahkan terjadi stutter, hingga ke permasalahan koneksi server yang belum stabil.

Image Credit: Microsoft

Namun hal tersebut kelihatannya tidak menghentikan para gamer untuk menikmati game ini setelah 3 tahun menunggu. Forza Horizon 5 memang menjadi game pertama yang tidak dirilis dalam siklus waktu dua tahunan.

Untungnya penantian para gamer kini terbayar karena terlepas beberapa masalah teknis yang akan segera diperbaiki, developer Playground Games berhasil menyajikan sebuah game balap yang dapat dinikmati oleh semua orang.

Niantic Luncurkan Lightship, Platform untuk Membangun “Real-World Metaverse”

Tiada hari tanpa pembahasan tentang metaverse. Namun kali ini angle-nya cukup menarik, sebab yang menjadi subjeknya adalah Niantic, yang visi mengenai metaverse-nya agak bertolak belakang dari yang dibayangkan oleh Facebook Meta.

Niantic, yang selama ini dikenal sebagai developer Pokémon Go, baru saja meluncurkan sebuah platform bernama Lightship. Dari kacamata sederhana, Lightship dideskripsikan sebagai platform untuk membangun “real-world metaverse”. Jadi ketimbang kita yang masuk ke dunia virtual, objek-objek virtualnya yang kita biarkan eksis di dunia nyata.

CEO Niantic, John Hanke, menjelaskan dalam presentasinya bagaimana Lightship memungkinkan smartphone untuk mengidentifikasi apakah pengguna sedang mengarahkan kameranya ke langit, tanah, atau air, lalu memetakan area di sekitarnya secara real-time.

Informasi-informasi ini kemudian dipakai agar objek virtual bisa tampil serealistis mungkin di dunia nyata. Jadi seandainya kita melempar sebuah bola virtual ke tembok fisik, makanya bolanya pun akan memantul tepat di permukaan temboknya. Lalu seandainya kita melempar bola virtualnya ke balik semak-semak, maka bola tersebut pun juga jadi tidak kelihatan.

Agar semua itu bisa terasa semakin nyata, Lightship pun turut menghadirkan pengalaman multiplayer yang konsisten, atau istilah kerennya, shared state. Jadi bola virtual yang saya pantul-pantulkan ke tembok itu juga bisa Anda lihat menggunakan perangkat lain selagi berdiri di dekat saya. Dengan kata lain, apa yang saya lihat bakal sama persis dengan yang Anda lihat walaupun perangkatnya berbeda.

Shared state untuk sekarang masih agak terbatas dan cuma bisa mengakomodasi lima pengguna secara bersamaan. Namun Niantic sudah menyiapkan cara untuk mengatasinya dalam bentuk Visual Positioning System (VPS). Anggap saja ini seperti GPS, tapi yang digunakan oleh sistem computer vision.

Berkat VPS, smartphone atau kacamata AR pada dasarnya jadi bisa memahami letak posisinya di dunia nyata secara akurat, sehingga pada akhirnya objek-objek virtual yang ditempatkan pun tidak perlu berubah-ubah posisinya. Kalau saya menemukan seekor Pikachu di Bundaran HI, maka Anda pun juga bisa menjumpainya di titik yang sama persis.

Kacamata AR? Ya, ke depannya memang arahnya bakal ke sana, sebab kacamata AR memungkinkan interaksi dengan objek virtual yang lebih natural ketimbang smartphone. Kendati demikian, Niantic memastikan bahwa teknologi yang dihadirkan Lightship sepenuhnya kompatibel dengan perangkat Android dan iOS yang ada sekarang.

Lightship merupakan proyek yang sudah dikerjakan sejak lama oleh Niantic — dulunya dinamai Niantic Real World Platform. Peluncuran ini menandai dibukanya akses platform Lightship bagi semua developer di seluruh dunia. Sebagian besar API yang Lightship tawarkan dapat digunakan secara cuma-cuma oleh developer, kecuali API untuk shared state itu tadi.

Apakah Lightship cuma cocok dipakai untuk mengembangkan game saja? Tidak, namun Niantic percaya bahwa game dan aplikasi hiburan merupakan cara termudah untuk mendemonstrasikan kapabilitas AR.

Dalam kesempatan yang sama, Niantic juga mengumumkan pembentukan Niantic Ventures. Berbekal modal investasi sebesar $20 juta, mereka siap mendanai deretan startup potensial yang bekerja di bidang AR, yang pada akhirnya bisa membantu mereka mewujudkan visi real-world metaverse ini.

Agustus lalu — bahkan sebelum rumor pergantian nama Facebook beredar — John Hanke sudah sempat membahas tentang konsep real-world metaverse ini. Menurutnya, metaverse merupakan sebuah “mimpi buruk distopia”, dan skenario terburuknya adalah manusia jadi lebih betah berada di dunia virtual ketimbang di dunia nyata — persis seperti yang digambarkan oleh novel Ready Player One beserta filmnya.

John berharap Lightship bisa membantu mencegah hal itu terjadi. Niantic pada dasarnya ingin developer memakai Lightship untuk membangun aplikasi-aplikasi AR yang bisa mendorong manusia untuk tetap berinteraksi dengan realita di sekitarnya, dengan objek virtual yang berperan sebagai bumbu penyedap.

Ini jelas sangat kontras dari visi yang dibayangkan oleh Facebook Meta, dan itu sekaligus membuktikan bahwa, setidaknya untuk sekarang, pemahaman akan metaverse itu masih belum seragam dan bisa berubah seiring perkembangan.

Sumber: Niantic via The Verge.

Zynga Rilis FarmVille 3 untuk iOS dan Android, Pemasukan Wild Rift Tembus US$150 Juta

Zynga meluncurkan FarmVille 3 untuk iOS dan Android pada minggu lalu. Sementara itu, Sensor Tower mengungkap, Harry Potter: Magic Awakened berhasil mendapatkan US$228 juta hanya dalam waktu 2 bulan sejak dirilis. Dalam laporan keuangan terbarunya, Nintendo menyebutkan bahwa mereka berhasil menjual 8,3 juta Switch dalam 6 bulan. Namun, mereka menurunkan perkiraan penjualan Switch di masa depan.

Zynga Rilis FarmVille 3 untuk iOS dan Android

Zynga baru saja meluncurkan FarmVille 3 untuk iOS dan Android. Salah satu fitur dalam game tersebut adalah animal husbandry. Melalui fitur itu, para pemain akan bisa mengawinkan binatang ternak. Selain itu, Marie — yang menjadi pekerja ladang di FarmVille 2 — juga akan hadir kembali di FarmVille 3. Zynga mengatakan, selain Marie, pemain akan menemukan beberapa pekerja ladang lain. Masing-masing pekerja ladang akan memiliki skills dan cerita yang berbeda-beda. Beberapa fitur lain yang ada di FarmVille 3 antara lain kendali cuaca, ladang yang bisa dikustomisasi, serta fitur co-op untuk bertukar hasil bercocok tanam, lapor VentureBeat.

2 Bulan Setelah Rilis, Harry Potter: Magic Awakened Dapatkan $228 Juta

Total pemasukan Harry Potter: Magic Awakened dari App Store dan Play Store telah menembus US$228 juta, menurut data dari Sensor Tower. Padahal, game itu baru diluncurkan dua bulan lalu. Mobile game tersebut diluncurkan oleh NetEase pada 9 September 2021 di beberapa negara Asia, termasuk Tiongkok, Hong Kong, Taiwan, dan Macau. Sekarang, game itu telah menjadi mobile game dari franchise Harry Potter dengan pemasukan terbesar kedua, menurut laporan GamesIndustry.

Harry Potter: Magic Awakened jadi game Harry Potter terlaris kedua.

Sebagai perbandingan, mobile game Harry Potter dengan pemasukan tertinggi adalah Hogwarts Mystery dari Jam City. Sejak diluncurkan pada April 2018, game tersebut telah mendapatkan US$342 juta. Sementara itu, mobile game Harry Potter yang punya pemasukan terbesar ketiga adalah Harry Potter: Puzzle & Spells dari Zynga. Diluncurkan pada September 2020, pemasukan game itu kini mencapai US$135 juta.

Dalam 6 Bulan, Nintendo Jual 8,3 Juta Switch

Nintendo berhasil menjual 8,3 juta Switch dalam kurun waktu 6 bulan, yaitu sejak Maret hingga September 2021. Dalam laporan keuangan terbarunya, perusahaan Jepang itu mengungkap, total pemasukan mereka mencapai US$6,73 miliar, naik dari US$5,46 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Sementara keuntungan perusahaan naik dari US$1,5 miliar menjadi US$1,86 miliar.

Walau pemasukan mereka naik, Nintendo memutuskan untuk menurunkan estimasi penjualan Switch untuk tahun fiskal ini, yang berakhir pada 31 Maret 2022. Sebelum ini, mereka memperkirakan bahwa angka penjualan Switch  akan mencapai 25,5 juta unit. Sekarang, angka itu turun menjadi 24 juta unit, lapor VentureBeat.

Niantic Bakal Tutup Harry Potter: Wizards Unite di 2022

Developer Niantic mengumumkan bahwa mereka akan menutup Harry Potter: Wizards Unite pada Januari 2022. Dalam sebuah blog post, mereka menyebutkan, game AR tersebut akan dihapus dari App Store, Play Store, dan Galaxy Store per 6 Desember 2021. Namun, game itu masih akan bisa dimainkan hingga 31 Januari 2022, lapor GamesIndustry. Selain itu, Niantic juga berencana untuk menutup game lain, yaitu Catan: World Explorers.

Niantic justru memutuskan untuk menutup Harry Potter: Wizards Unite.

“Tidak semua game harus beroperasi selamanya,” tulis Niantic. “Tujuan kami membuat Harry Potter: Wizards Unite adalah untuk menampilkan sihir dari dunia Harry Potter pada jutaan orang ketika mereka keluar dari rumah dan menjelajah lingkungan mereka. Kami berhasil merealisasikan hal tersebut: kami menampilkan cerita yang telah berlangsung selama dua tahun. Dan sebentar lagi, cerita itu akan berakhir.”

Pemasukan League of Legends: Wild Rift Tembus US$150 Juta

Sejak diluncurkan pada Oktober 2020, League of Legends: Wild Rift dari Riot Games telah mendapatkan pemasukan sebesar lebih dari US$150 juta, berdasarkan data dari App Annie. Dua negara yang memberikan kontribusi terbesar pada pemasukan Wild Rift adalah Amerika Serikat dan Brasil.

Wild Rift berhasil mendapatkan US$150 juta dalam waktu 370 hari. Sebagai perbandingan, Honor of Kings dari Tencent mencapai pencapaian tersebut dalam waktu 249 hari, sementara Arena of Valor 543 hari. Mobile MOBA lain, Mobile Legends: Bang Bang membutuhkan 670 hari untuk mendapatkan pencapaian itu, menurut laporan GamesIndustry.

Program Reward Google Play Points Resmi Hadir di Indonesia

Google mengumumkan kehadiran program Google Play Points secara resmi di Indonesia pada tanggal 5 November 2021 kemarin. Sebelumnya sudah hadir lebih dulu di beberapa negara lain, program ini dirancang untuk memberikan poin dan reward kepada pengguna perangkat Android atas berbagai aktivitas mereka di Google Play.

Program ini dapat diikuti tanpa biaya, dan pengguna dapat mengumpulkan Play Points dari pembelian aplikasi, film, buku, pembayaran subscription, in-app purchase, dan lain sebagainya. Selama masih dalam konteks Google Play, pada dasarnya semua transaksi dapat dikonversikan menjadi Play Points.

Di awal, peserta program bakal mendapatkan 1 poin di setiap kelipatan Rp1.500. Jadi semisal Anda membeli 250 Diamond di Mobile Legends seharga Rp75.000 (lewat store bawaan game-nya langsung), maka Anda bakal langsung menerima 50 Google Play Points.

Poin tersebut kemudian bisa ditukarkan dengan beragam reward; bisa berupa in-app atau in-game item, bisa berupa kupon diskon untuk membeli in-app atau in-game item, atau bisa juga berupa saldo Google Play Credit.

Seiring poinnya terakumulasi, jumlah poin yang didapat dari setiap transaksi juga bakal bertambah. Pasalnya, pengguna bisa mencapai empat tingkatan (tier) di program ini. Berikut rincian dari masing-masing tier:

  • Bronze: Tier pertama untuk semua peserta program Google Play Points. Tier ini memberikan 1 poin di setiap kelipatan Rp1.500, beserta kesempatan untuk mendapat hingga 4x lebih banyak poin di game, atau hingga 2x dari menyewa film dan buku dalam event bulanan.
  • Silver: Jika mengumpulkan setidaknya 300 poin dalam tempo satu tahun, maka pengguna akan naik ke tier yang kedua. Di sini mereka bakal mendapatkan 1,1 poin untuk setiap kelipatan Rp1.500 (bonus 10%), lalu kesempatan untuk mendapat hingga 4x lebih banyak poin di game, atau hingga 3x dari menyewa film dan buku dalam event bulanan. Mereka juga bisa mendapat hadiah langsung setiap minggunya dalam bentuk poin (sampai 100 poin).
  • Gold: Jika mengumpulkan paling tidak 1.000 poin dalam tempo setahun, maka pengguna akan naik ke tier yang ketiga. Nilai konversinya naik menjadi 1,2 poin untuk setiap kelipatan Rp1.500 (bonus 20%), dan hadiah mingguannya juga naik menjadi up to 200 poin. Kesempatan untuk mendapat hingga 4x lebih banyak poin di game masih ada, tapi tier Gold juga bisa menerima sampai 4x dari menyewa film dan buku selama event bulanan.
  • Platinum: Saat akumulasi poin dalam setahun mencapai 5.000 poin, maka pengguna akan mencapai tier yang teratas. Di tier ini, setiap kelipatan Rp1.500 akan menghasilkan 1,4 poin (bonus 40%), dan hadiah langsungnya bisa mencapai 500 poin per minggu. Pengguna di tier ini juga berkesempatan mendapatkan hingga 4x lebih banyak poin di game, atau sampai 5x dari menyewa film dan buku selama event bulanan, tidak ketinggalan pula respon tercepat dari tim support apabila membutuhkan.

Muriel Makarim, Head of Brand & Reputation, Google Indonesia, menjelaskan, “Kami ingin memberikan masyarakat Indonesia sebuah program yang dapat mengikuti peningkatan minat mereka terhadap berbagai aplikasi seluler. Orang di Indonesia makin banyak mencari hiburan baru, terutama terkait game, dan mereka ingin terus dihibur, aktif, dan berinteraksi dengan aplikasi. Kami ingin memberikan reward atas engagement itu dengan Google Play Points dan memberi mereka pengalaman yang menyenangkan.”

Ditanya mengenai tarif top up Google Play yang lebih mahal jika dibandingkan dengan berbagai layanan pihak ketiga, Muriel berdalih bahwa memberikan pengalaman yang terbaik kepada konsumen itu tidak selalu lewat harga yang murah, melainkan bisa juga dengan cara [top up] yang seamless.

Program Google Play Points ini pada dasarnya juga bisa dilihat sebagai respon Google terhadap kondisi tersebut. Kalau kita gunakan Mobile Legends lagi sebagai contoh, jadi meskipun jumlah Diamond yang didapat lebih sedikit jika top up langsung via Google Play, pengguna akan mendapatkan poin yang dapat ditukar dengan beragam reward itu tadi.

Google mengajak lebih dari 25 developer untuk ikut meramaikan program Google Play Points di Indonesia, termasuk halnya developer lokal macam Agate. Arief Widhiyasa, CEO sekaligus co-founder Agate, optimistis bahwa program ini bisa jadi cara yang bagus bagi developer untuk berinteraksi dengan para pemainnya dan memotivasi mereka untuk terus bermain.

Untuk mengikuti program Google Play Points, pengguna hanya perlu mencantumkan metode pembayaran pada akunnya, lalu buka menu profil pada aplikasi Play Store di perangkat Android. Supaya lebih menarik perhatian, semua anggota baru berhak mendapatkan tiga kali lebih banyak poin di setiap pembelian selama satu minggu pertama.

Daftar Game dengan Denuvo yang Tidak Bisa Dijalankan Di Prosesor Intel Alder Lake

Intel baru saja meluncurkan CPU generasi terbarunya yaitu Intel Alder lake. Prosesor generasi ke-12 ini cukup memeriahkan kembali rivalitas prosesor antara Intel dan AMD. Hal ini tentunya mampu menaikkan kembali minat para perakit PC, terutama untuk PC gaming di saat harga prosesor AMD terus melonjak.

Namun sayangnya, prosesor baru ini langsung menghadapi masalah kompatibilatas. Masalah ini muncul terhadap 32 game yang menggunakan DRM Denuvo.

Beberapa game yang terbukti bermasalah antara lain Assassin’s Creed Valhalla dan juga Watchdogs: Legion. Dalam kasus Assassin’s Creed Valhalla, game-nya bahkan tidak dapat dijalankan menurut pengujian yang dilakukan PC Gamer.

Berikut ini adalah daftar game-game yang masih bermasalah dengan prosesor Intel generasi kedua belas tadi, yang dihimpun oleh PC Gamer.

Incompatible games (Windows 11)

  • Anthem
  • Bravely Default 2
  • Fishing Sim World
  • Football Manager 2019
  • Football Manager Touch 2019
  • Football Manager 2020
  • Football Manager Touch 2020
  • Legend of Mana
  • Mortal Kombat 11
  • Tony Hawks Pro Skater 1 and 2
  • Warhammer I
  • Assassin’s Creed: Valhalla
  • Far Cry Primal
  • Fernbus Simulator
  • For Honor
  • Lost in Random
  • Madden 22
  • Maneater
  • Need for Speed – Hot Pursuit Remastered
  • Sea of Solitude
  • Star Wars Jedi Fallen Order
  • Tourist Bus Simulator
  • Maneater

Incompatible games (Windows 10)

  • All of the above, plus:
  • Ace Combat 7
  • Assassins Creed Odyssey
  • Assassins Creed Origins
  • Code Vein
  • eFootball 2021
  • F1 2019
  • Far Cry New Dawn
  • FIFA 19
  • FIFA 20
  • Football Manager 2021
  • Football Manager Touch 2021
  • Ghost Recon Breakpoint
  • Ghost Recon Wildlands
  • Immortals Fenyx Rising
  • Just Cause 4
  • Life is Strange 2
  • Madden 21
  • Monopoly Plus
  • Need For Speed Heat
  • Scott Pilgrim vs The World
  • Shadow of the Tomb Raider
  • Shinobi Striker
  • Soulcalibur VI
  • Starlink
  • Team Sonic Racing
  • Total War Saga – Three Kingdoms
  • Train Sim World
  • Train Sim World 2
  • Wolfenstein Youngblood

Intel mengatakan bahwa mereka telah bekerja sama dengan para publisher dan developer game-game yang terdampak tersebut untuk memperbaiki masalahnya. Di sisi lain Denuvo telah merilis pernyataan bahwa mereka telah menyediakan patch khusus bagi game-game yang bermasalah dengan Intel Alder Lake tersebut.

Denuvo bahkan menyebut bahwa mereka telah menyediakan patch tersebut jauh sebelum prosesor Intel Alder Lake tersebut diluncurkan dan selanjutnya tergantung para developer untuk segera mengimplementasikan patch tersebut secepatnya atau tidak.

Image Credit: Intel

Hal-hal seperti inilah yang kelihatnya masih membuat banyak publisher dan developer enggan menggunakan Denuvo. Beberapa game seperti NieR Replicant Remaster, Tekken 7, Mafia: Definitive Edition, hingga Crysis Remastered telah menghapus Denuvo dari game-nya.

Perlindungan Denuvo memang terkenal cukup mempengaruhi performa dan juga optimalisasi game yang menggunakannya saat dijalankan di PC. Dan kini hal tersebut diperparah dengan kasus kompatibilitas yang terjadi terhadap Intel Alder Lake.

Denuvo memang telah memberikan pembelaan bahwa mereka telah bekerja sama dengan Intel mengenai masalah ini, namun tetap saja masalah ini tidak akan terjadi pada game-game yang sejak awal tidak menggunakan Denuvo.

Dalam 2 Tahun, Apex Legends Raup Hampir US$1 Miliar Per Tahun dan Lebih dari 100 Juta Pemain

Keputusan EA untuk membuat sebuah game Battle Royale free-to-play pada tahun 2019, Apex Legends, kelihatannya menjadi kesuksesan besar bagi EA. Bagaimana tidak, game yang menyandang status ‘gratis’ ini nyatanya malah memberikan salah satu keuntungan terbesar bagi publisher game asal Amerika Serikat tersebut.

Lewat laporan pendapatan terbarunya, CEO EA Andrew Wilson menyampaikan bahwa Apex Legends terus mengalami peningkatan popularitas sekaligus mendapatkan interaksi penonton yang sangat kuat. EA bahkan menyebut bahwa Apex Legends kini telah tumbuh menjadi salah satu franchise terbaik dalam industri video game.

Apex Legends dilaporkan telah dimainkan oleh lebih dari 100 juta pemain hingga saat ini. Musim 9 dan musim 10 dari game-nya mencatat jumlah pemain aktif tertinggi sejak awal game ini dirilis. Meskipun sayangnya EA tidak membuka statistik pertumbuhan jumlah pemainnya tersebut secara detail.

Image Credit: EA – Respawn

Dengan microtransaction yang dilakukan di dalam game-nya, EA menyebut bahwa mereka berhasil mencetak angka keuntungan tahunan yang mencapai US$1 miliar atau Rp14 triliun. Angka fantastis ini didapat EA lewat penjualan Battle Pass dan juga berbagai item kosmetik dengan tema-tema unik pada setiap musimnya.

Lebih lanjut, EA juga menjelaskan bahwa kuartal kedua tahun 2021 (April hingga Juni) menjadi waktu dengan pendapatan tertinggi bagi Apex Legends. Bukan hanya itu, EA juga menyebut bahwa Apex Legends kini tumbuh lebih dari sekedar sebuah game, namun juga menjadi satu judul yang paling banyak ditonton di platform Twitch.

EA mengklaim bahwa pada musim 10 kemarin, jumlah penonton Apex Legends di Twitch naik sebesar 40% dari musim sebelumnya. Membuat konten-konten dari musim 10 Apex Legends telah ditonton hingga $130 juta jam.

Pencapaian Apex Legends dalam dua tahun ini memang sangat menakjubkan mengingat game ini awalnya merupakan spin-off dari seri Titanfall. Dikembangkan oleh developer yang sama yaitu Respawan Entertainment, Apex Legends memang berhasil tumbuh pesat di antara game battle royale lain lewat karakter unik dan kemampuan khususnya masing-masing.

Apex Legends masih memiliki masa depan yang panjang karena game ini ke depannya akan diproyeksikan untuk masuk ke lebih banyak platform seperti Switch yang sudah diluncurkan pada awal tahun 2021 ini, dan juga mobile yang telah sempat dibuka masa beta tertutupnya beberapa bulan lalu.

Main Game Dapat Uang? Inilah 10 Game NFT dan Cryptocurrency Populer yang Bisa Dicoba

Non-Fungible Token (NFT) dan cryptocurrency terus menjadi topik perbincangan hangat belakangan ini. Bukan cuma dalam konteks teknologi atau bisnis, melainkan juga gaming.

Sejumlah nama besar macam EA atau Ubisoft bahkan memprediksi NFT dan cryptocurrency bakal jadi bagian penting industri gaming ke depannya. Meski begitu, ada pula pihak yang menanggapi tren ini dengan kecut.

NFT, cryptocurrency, dan blockchain adalah hal baru yang mungkin masih terdengar sangat asing di telinga banyak orang. Lalu apa yang membuat tren baru ini mencuat popularitasnya di dunia gaming?

Kalau mau disederhanakan, alasannya sebenarnya cukup simpel: semua game yang melibatkan NFT atau cryptocurrency memungkinkan para pemainnya untuk menghasilkan uang. Istilah kerennya adalah play-to-earn (P2E), dan siapa sih yang tidak suka bermain tapi dibayar?

Namun tentu kenyataannya tidak sesimpel itu, dan tidak jarang game P2E mengharuskannya para pemainnya untuk keluar uang dulu sebelum akhirnya bisa menghasilkan uang — meski memang ada juga yang bisa dimainkan tanpa memerlukan modal awal.

Kalau tertarik, berikut adalah 10 game NFT dan cryptocurrency populer yang bisa dicoba.

1. Axie Infinity

Digadang-gadang sebagai salah satu game P2E terpopuler dengan jumlah pemain aktif melebihi 1 juta orang, Axie Infinity pada dasarnya punya gaya permainan mirip Pokémon. Bedanya, monster imut yang dipertandingkan di sini namanya Axie, dan ini yang kemudian bisa diperjual-belikan di marketplace NFT terintegrasinya.

Berdasarkan survei yang dilakukan CoinGecko pada bulan Juli lalu, rata-rata pemain Axie Infinity perlu modal setidaknya $690 untuk membeli tiga ekor Axie dan mulai bermain. Dalam sehari, rata-rata penghasilan yang didapat pemainnya bisa mencapai 200 SLP (Smooth Love Potion), atau kurang lebih setara $20 saat artikel ini ditayangkan.

Link: Axie Infinity

2. Blankos Block Party

Tidak seperti Axie Infinity, Blankos Block Party dapat sepenuhnya dimainkan tanpa memerlukan modal awal. Seiring berjalannya waktu, pemain bisa mengumpulkan beragam aksesori untuk Blanko (karakter) miliknya, dan semua ini merupakan aset NFT yang dapat diperjual-belikan di marketplace.

Permainannya sendiri masuk dalam kategori open-world sandbox. Sandbox dalam artian pemain bebas menciptakan berbagai mode gameplay sendiri, mulai dari tembak-menembak sampai balapan. Game ini masih berstatus early access dan untuk sekarang hanya bisa dimainkan di PC saja, akan tetapi valuasinya dikabarkan sudah menembus angka $1,25 miliar.

Link: Blankos Block Party

3. Alien Worlds

Pengembangnya mendeskripsikan Alien Worlds sebagai sebuah metaverse yang terbagi menjadi tujuh planet yang berbeda. Game ini menggunakan cryptocurrency bernama Trilium, dan pemain bisa memperolehnya dengan cara menambang atau menjalani beragam quest.

Misi dalam Alien Worlds menuntut pemain untuk mengeksekusi strategi yang tepat, dan agar rencananya dapat berjalan mulus, mereka butuh bantuan beraneka tool, senjata, maupun avatar yang semuanya dapat diperjual-belikan sebagai aset NFT.

Link: Alien Worlds

4. Arc8

Arc8 merupakan sebuah platform game kompetitif dengan NFT dan cryptocurrency sebagai bumbu penyedapnya. Mata uang yang digunakan adalah GMEE, dan ini bisa pemain dapatkan dengan saling beradu dalam deretan mini game yang tersedia.

Selain bertanding satu lawan satu, pemain juga bisa mengikuti turnamen dengan membayar sejumlah token GMEE. Untuk elemen NFT-nya, ada aset bernama G-Bots yang menawarkan sejumlah fungsionalitas, salah satunya untuk menambang token GMEE.

Link: Arc8

5. Splinterlands

Digital collectible card game tapi yang berjalan di atas jaringan blockchain, kira-kira begitulah deskripsi sederhana Splinterlands. Anda yang pernah memainkan Hearthstone atau Legends of Runeterra pasti bakal langsung familier dengan gaya permainan Splinterlands. Bedanya, koleksi kartu yang Anda kumpulkan di game ini bisa diperjual-belikan secara bebas.

Splinterlands juga punya mata uang sendiri bernama Splintershards yang berperan sebagai governance token. Jadi selain memegang aset, pemilik Splintershards juga berhak turut serta dalam voting terkait masa depan game Splinterlands itu sendiri.

Link: Splinterlands

6. Gods Unchained

Seperti Splinterlands, Gods Unchained juga merupakan card game dengan fitur jual-beli antar pemain. Bedanya, pengembangan game ini dipimpin oleh Chris Clay, sosok yang cukup dikenal di belantara digital collectible card game berkat pengalamannya sebagai Game Director untuk Magic: The Gathering Arena.

Balancing merupakan faktor penting di game ini, dan itu diwujudkan dengan hanya memperbolehkan pemain bertanding melawan pemain lain dengan ranking serupa. Gods Unchained punya mata uangnya sendiri, dan ini merupakan syarat utama agar pemain bisa menyulap koleksi kartunya menjadi aset NFT yang dapat dijual.

Link: Gods Unchained

7. Battle Racers

Dari segi gameplay, Battle Racers banyak terinspirasi seri Mario Kart. Namun agar performanya di sirkuit bisa semakin unggul, pemain perlu memodifikasi kendaraan tunggangannya dengan berbagai aksesori sekaligus persenjataan. Dari mana semua aksesori ini berasal? Dari OpenSea, yang berarti pemain juga bisa memperdagangkan koleksinya sebagai aset NFT.

Link: Battle Racers

8. The Sandbox

Melihat screenshot-nya, sebagian dari kita mungkin berpikir ini ibarat Minecraft versi crypto. Anggapan tersebut tidak salah, dan The Sandbox sendiri merupakan sebuah metaverse yang dibangun oleh komunitas pemainnya.

Mata uang SAND menjadi kunci dari aspek P2E dalam game ini, dan pemain bisa menghasilkan uang dengan tiga cara: memainkan mini game, meracik mini game, dan membuat aset digital yang kemudian bisa diperjual-belikan sebagai NFT di OpenSea.

Link: The Sandbox

9. Sorare

Game yang satu ini ditujukan bagi para penggemar fantasy football sekaligus cryptocurrency. Total ada 200 klub di Sorare yang semuanya berlisensi resmi, demikian pula kartu digital untuk masing-masing pemain. Kartu-kartu pemainnya sendiri punya tingkat kelangkaan yang berbeda, dan tentu saja ini dapat dijual sebagai aset NFT.

Link: Sorare

10. Coin Hunt World

Terakhir, ada Coin Hunt World yang banyak terinspirasi oleh Pokémon Go. Seperti game besutan Niantic tersebut, Coin Hunt World mengharuskan para pemainnya untuk keluar rumah. Namun tentu saja yang diburu oleh pemain di sini bukanlah Pokémon, melainkan Bitcoin (BTC) dan Ethereum (ETH).

Berbeda dari game lain yang ada di artikel ini, Coin Hunt World sama sekali tidak melibatkan elemen NFT. Aset yang dapat dikumpulkan oleh pemainnya murni cuma BTC dan ETH. Tidak ada modal awal yang diperlukan untuk bermain dan menghasilkan uang di game ini. Anda cuma butuh meluangkan waktu dan tenaga saja.

Link: Coin Hunt World

Gambar header: Brian Wangenheim via Unsplash.

Jinx dari League of Legends Dipastikan Muncul di Fortnite

Setelah sebelumnya PUBG Mobile yang kedatangan beberapa karakter dari League of Legends, atau lebih tepatnya Arcane (anime League of Legends yang tayang di Netflix), pihak Riot Games memberikan konfirmasinya mengenai kehadiran Jinx di Fortnite.

Mengingat beberapa karakter League of Legends (LoL) baru akan hadir di PUBG Mobile pada pertengahan November nanti, kehadiran Jinx di Fortnite menjadi kemunculan pertama karakter LoL di luar game rilisan Riot Games. Pasalnya, sejumlah item bertema Jinx akan tersedia di Fortnite mulai tanggal 5 November 2021.

Berikut adalah daftar item Jinx yang muncul di Fortnite, menurut siaran pers yang saya terima hari ini.

  • Outfit Arcane Jinx
  • Pickaxe Pow Pow Crusher
  • Spray Jinxed
  • Back Bling Jinx’s Dream Monkey
  • Lagu Lobby Playground (Instrumental)
  • Layar Awal Wreaking Havoc
  • Layar Awal Katchoo!

Dari siaran pers yang sama, Brandon Miao, Cross-Product Experiences and Partnerships Lead, Riot Experience (XP) di Riot Games mengatakan, “Fortnite telah melaksanakan kolaborasi dan pengalaman hiburan yang luar biasa sambil tetap berkomitmen untuk memberi pemain konten yang memperkaya pengalamam mereka baik di dalam maupun di luar game, sebuah dedikasi yang kami kagumi dan juga lakukan. Kami berharap para fans akan senang bertemu Jinx — salah satu Champion paling ikonik League of Legends — di Fortnite untuk merayakan peluncuran Arcane.

Sedangkan Steve Allison, Vice President and General Manager Epic Games Store juga memberikan komentarnya, ” Riot Games adalah salah satu pengembang dan pembuat franchise hiburan atraktif terbaik di dunia. Kami senang sekali mereka memilih untuk bermitra dengan kami untuk menghadirkan game mereka ke jutaan pemain baru melalui Epic Games Store.”

Image credit:” Riot Games

Selain di Fortnite ataupun PUBG Mobile, Riot Games juga menggelar berbagai event terkait peluncuran Arcane di game-game mereka lainnya seperti League of Legends, Teamfight Tactics, Legends of Runeterra, ataupun VALORANT. Anda dapat membaca informasi lebih lengkapnya di laman resminya.

Sedangkan untuk film serialnya, Arcane akan dirilis pada hari Minggu 7 November 2021 pukul 09.00 WIB secara global. Menariknya, Arcane juga akan jadi serial Netflix pertama dengan co-streaming secara eksklusif di Twitch. Karenanya, para konten kreator bisa menonton serial tersebut bersama-sama dengan komunitasnya masing-masing.