Inilah 13 Game Xbox Series X Beserta Trailer-nya

Tahun ini memang tidak ada E3, namun itu bukan berarti industri gaming jadi kurang menarik. Pandemi boleh melanda, tapi 2020 tetap diprediksi bakal mengawali era baru pertempuran console next-gen.

Di antara PlayStation 5 dan Xbox Series X, kubu Microsoft terkesan jauh lebih siap. Mereka tak segan menyingkap detail mengenai console baru mereka jauh sebelum peluncuran resminya, dan itu pada akhirnya memaksa Sony untuk mengambil langkah yang serupa.

Info mengenai hardware-nya sudah, kini giliran info terkait konten Xbox Series X yang Microsoft beberkan. Tidak tanggung-tanggung, mereka memamerkan trailer dari 13 judul game yang akan hadir di Xbox Series X, yang semuanya dioptimalkan untuk berjalan di resolusi maksimum 4K 120 fps.

9 di antaranya juga telah menerapkan fitur Smart Delivery seperti Cyberpunk 2077, yang berarti konsumen hanya perlu membayar satu kali untuk memainkannya di Xbox One terlebih dulu, sebelum lanjut memainkannya di Xbox Series X saat perangkatnya sudah bisa dibeli.

Assassin’s Creed Valhalla

Hanya selang beberapa hari setelah Ubisoft mengungkap trailer sinematiknya, Microsoft langsung menyusul dengan trailer gameplay-nya. Ada banyak yang bisa kita pelajari dari video singkat di atas, terutama terkait kemampuan-kemampuan yang dimiliki sang lakon, Eivor.

Yang paling menarik menurut saya adalah bagaimana ia mampu melemparkan kapaknya ke musuh, dan ini merupakan aspek baru dalam sistem combat seri Assassin’s Creed. Valhalla juga masih akan mengandalkan navigasi berbasis seekor burung; kali ini seekor gagak yang terinspirasi oleh Huginn dan Muninn, sepasang gagak peliharaan dewa Odin dari mitologi Norse.

Bright Memory: Infinite

Impresif dan penuh adrenalin, trailer game berjudul Bright Memory: Infinite ini menunjukkan permainan first-person shooter (FPS) dengan penyajian yang kreatif. Tidak cuma mengandalkan senjata api saja, lakonnya juga jago soal pertarungan jarak dekat, dan ia turut dibekali semacam grapple hook yang langsung mengingatkan saya pada seri Just Cause.

Bright Memory: Infinite terdengar semakin mengesankan setelah mengetahui bahwa developer-nya, FYQD-Studio, sebenarnya cuma beranggotakan satu orang. Demo game ini sempat muncul di Steam tahun lalu, dan siapa yang menyangka versi penuhnya bakal menjadi salah satu game unggulan Xbox Series X?

Call of the Sea

Firewatch merupakan salah satu game favorit saya, dan karakter kesukaan saya dalam game petulangan tersebut adalah Delilah. Lucunya, Delilah sama sekali tidak muncul dari awal sampai akhir permainan. Ia cuma menyumbangkan suaranya dengan berperan sebagai pemandu karakter utamanya via walkie-talkie.

Voice actress-nya, Cissy Jones, telah dipilih memerankan karakter utama dalam game berjudul Call of the Sea ini. Game ini juga banyak mengingatkan saya pada Firewatch berkat elemen petualangan dan puzzle yang disajikan melalui sudut pandang orang pertama, dan setting lokasinya juga kelihatan luar biasa indah.

Chorus

Tidak selamanya pertempuran pesawat luar angkasa harus berasal dari franchise Star Wars atau Star Trek. Dalam Chorus, pesawat tempur yang ditunggangi juga unik karena ia sebenarnya merupakan makhluk sentient dengan berbagai macam manuver akrobatiknya.

Di samping aksi tembak-menembak pesawat yang menegangkan, Chorus juga menjanjikan eksplorasi antariksa berskala besar. Lokasi-lokasi yang bakal ditemui amat beragam, mulai dari planet yang sudah mati, sabuk asteroid, sampai sisa ledakan sebuah bintang. Saya yakin grafiknya bakal sangat memukau berkat ray tracing.

Dirt 5

Reputasi game balapan ini sebenarnya sudah tidak perlu dijelaskan lagi. Setiap serinya selalu membawa pemain ke sirkuit off-road yang amat memacu adrenalin, dan Dirt 5 bermaksud membawanya ke level yang lebih tinggi lagi, salah satunya lewat Career Mode dengan aspek narasi yang berbobot dan banyak bergantung pada keputusan-keputusan pemain.

Grafiknya tidak perlu ditanya, trailer-nya menunjukkan grafik yang sangat realistis. Spesifikasi gahar Xbox Series X sejatinya memungkinkan developer untuk meningkatkan kualitas grafiknya jauh di atas versi sebelumnya.

Madden NFL 21

Tidak banyak yang bisa dipelajari dari trailer super-singkat di atas, namun yang pasti inkarnasi terbaru Madden NFL ini bakal jadi simulasi permainan football profesional yang paling realistis, apalagi didukung oleh kapabilitas grafik Xbox Series X. Seperti memainkan cutscene demi cutscene, kira-kira seperti itu kesan yang saya dapatkan.

Scarlet Nexus

RPG baru dari tim pengembang seri Tales? Penggemar berat JRPG pastinya tidak sabar menanti karya terbaru Bandai Namco ini, terutama mereka yang juga menyukai tema sci-fi yang futuristis. Setting yang diangkat Scarlet Nexus cukup unik: di masa depan, manusia berhasil menemukan hormon psionic di dalam otak yang memungkinkan manusia untuk memiliki kekuatan psycho-kinesis.

Sayangnya penemuan itu juga mengundang berbagai makhluk asing untuk berburu otak manusia. Makhluk-makhluk ini juga tak bisa dibasmi menggunakan senjata konvensional, hingga pada akhirnya Bumi membentuk pasukan Other Suppresion Force yang berisikan para psychic itu tadi, salah satunya Yuito Sumeragi yang akan dijalankan oleh pemain.

Scorn

Horor dan penuh intrik, itulah kesan yang didapat setelah menonton trailer di atas. Scorn mungkin tidak cocok buat semua orang, dan saya yakin sebagian akan langsung merasa jijik meski trailer-nya belum habis. Namun buat para penggemar genre horor, Scorn adalah game FPS yang layak ditunggu.

Developer menjanjikan penyajian cerita yang non-linear, dengan cerita dan puzzle yang harus dipecahkan di setiap lokasi. Gaya visual biomekanik di Scorn terinspirasi langsung oleh karya-karya pelukis H.R. Giger, dan buat saya ini memberikan atmosfer yang misterius sekaligus mencekam.

Second Extinction

Co-op shooter dengan misi membasmi ratusan zombie sudah terkesan biasa. Bagaimana jadinya kalau zombie itu kita ganti dengan dinosaurus mutan? Itulah tema yang bakal kita jumpai di game ini, di mana Bumi telah dikuasai oleh koloni dinosaurus dengan tingkat kecerdasan di atas normal, dan pemain ditugaskan untuk merebutnya kembali selagi menguak misteri yang terkait.

Second Extinction digarap oleh Systemic Reaction, tim developer kecil di bawah naungan Avalanche Studios. Avalanche sendiri merupakan pengembang Rage 2, dan saya tidak akan terkejut apabila Second Extinction menawarkan feel menembak yang sama memuaskannya seperti di Rage 2.

The Ascent

Apa jadinya kalau developer memadukan formula action RPG ala Diablo dengan setting cyberpunk yang futuristis? The Ascent ini jawabannya. The Ascent sendiri merupakan nama dari korporasi yang memegang kontrol penuh atas kota metropolitan yang menjadi lokasi permainan. Sayangnya kontrol tersebut sirna saat The Ascent kolaps secara misterius, dan kekacauan pun langsung terjadi di mana-mana.

Satu elemen visual yang sangat menarik dari The Ascent adalah lingkungan yang destruktif, yang berarti setiap pertempuran akan meninggalkan bekas di medannya. Game ini dikerjakan oleh developer indie bernama Neon Giant, yang portofolio sejumlah anggotanya mencakup judul-judul AAA macam Wolfenstein maupun Gears of War.

The Medium

Sulit mengabaikan popularitas seri Silent Hill dari genre horor, dan nuansa mencekam yang selalu kita dapatkan dari game itu akan kembali kita jumpai di The Medium. Karakter utamanya, Marianne, harus menjalani kisahnya dari dua perspektif secara konstan; satu dari perspektif dunia nyata, dan satu lagi dari perspektif supranatural.

Duality, demikian tema yang hendak diangkat developer-nya, Bloober Team. Guna semakin mematangkan tema tersebut, Bloober Team menandemkan komposer musiknya dengan Akira Yamaoka, sang jenius di balik musik mencekam seri Silent Hill, dengan tujuan menyuguhkan atmosfer yang berbeda setiap kali Marianne mengunjungi masing-masing dunia.

Vampire: The Masquerade – Bloodlines 2

Penantian panjang fans salah satu RPG terbaik ciptaan Troika Games akhirnya terbayarkan, dan di sekuelnya ini, pemain akan berhadapan dengan tema yang lebih kelam dari game sebelumnya. Sekuelnya ini juga akan kembali mengangkat konflik antar beberapa clan vampir yang ada, dan lagi-lagi keputusan pemain memegang peran yang sangat penting terhadap jalan cerita permainan.

Vampire: The Masquerade – Bloodlines dipuji karena begitu bervariasinya pilihan yang diberikan kepada pemain, dan hal itu semestinya juga akan kembali tersaji di sekuelnya ini meski developer yang mengerjakannya berbeda.

Yakuza: Like a Dragon

Dikenal juga sebagai Yakuza 7, game ini adalah yang paling berbeda dari franchise Yakuza secara keseluruhan. Bukan cuma karena karakter yang menjadi tokoh utamanya berbeda, tapi juga karena mekanisme gameplay-nya yang berubah drastis menjadi turn-based.

Juga unik adalah bagaimana elemen class diperlakukan di Yakuza. Total ada 19 class yang dapat dipilih, dan pilihannya jauh berbeda dari RPG tradisional. Bukan Warrior atau Mage, melainkan Bodyguard, Musician, atau bahkan Chef, masing-masing dengan kelebihan dan skill uniknya tersendiri.

Sumber: Xbox.

Review The Outer Worlds: Ketika Narasi dan Visualisasi Tak Cukup Penuhi Ekspektasi

Obsidian. Buat yang suka dengan game-game PC berbobot dari segi kekuatan dan kekayaan narasi, Anda harusnya sudah tidak asing dengan nama tadi. Star Wars: Knights of the Old Republic 2 (2004), Neverwinter Nights 2 (2006), Fallout: New Vegas (2010), South Park: Stick of Truth (2014), Pillars of Eternity (2015), Tyranny (2016), dan Pillars of Eternity 2: Deadfire (2018) adalah sejumlah game-game legendaris besutan Obsidian.

Sebelum kita masuk ke dalam review The Outer Worlds kali ini, jujur saja saya katakan di awal, saya adalah penggemar fanatik dari game-game Obsidian. 7 game yang saya sebutkan tadi, saya sudah menyelesaikannya semua. Saya bahkan sempat menuliskan review Tyranny dan PoE2: Deadfire di blog pribadi saya beberapa tahun silam. Kenapa saya suka dengan Obsidian? Ada 3 alasan besar yang membuat game-game Obsidian selalu layak dimainkan.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Pertama, kekuatan plot cerita, penyajiannya, karakteristik karakter-karakter di dalamnya dan segala macam aspek kekuatan narasi dari setiap game Obsidian adalah salah satu yang terbaik sepanjang pengalaman saya bermain game dari tahun 1997 dan bekerja di media game sejak 2008.

Kedua, tentu saja gameplay jadi elemen yang paling penting buat saya. Makanya, biasanya, saya kurang suka dengan game-game ber-genre interactive visual novel seperti game-game besutan Telltale Games. Saya memang menyukai gameplay yang memuaskan dan kompleks untuk dipelajari dan itulah yang selalu disuguhkan dari setiap game-game Obsidian.

Faktor ketiga adalah salah satu faktor terbesar yang membedakan game PC dengan game-game dari platform lainnya, yaitu game modding. Buat Anda yang tidak tahu apa itu game modding, ada tulisan dari NVIDIA yang cukup lengkap untuk menjelaskan soal game modding.

Kenapa saya menjelaskan 3 faktor ini lebih dulu sebelum saya masuk ke penilaian setiap aspek? Karena sayangnya, di game ini, Obsidian hanya bisa menyuguhkan 2 dari 3 faktor tadi…

Terakhir, sebelum kita masuk ke setiap bagian, saya memainkan game ini di PC dan berikut adalah spesifikasi PC yang saya gunakan (sekalian pamer wkwkwakwka…):

CPU: AMD Ryzen 5 3600
Motherboard: GIGABYTE AB-350 Gaming 3
Kartu Grafis: Palit GeForce RTX 2070 Super JS
Memory: G Skill 16GB 3200MHz (running @3600MHz).
Storage: ADATA SX8200 PCIe SSD 1TB
Monitor: ASUS VG258QR (@144Hz)

Visualisasi Grafis dan Audio: 94/100

Jika Anda rindu dengan game-game macam seri Fallout modern, Anda mungkin memang perlu menghindari Fallout 76. Untungnya, The Outer Worlds (TOW) bisa mengobati kerinduan Anda tadi. Visualisasi dari TOW menawarkan atmosfir yang tak jauh berbeda dengan yang biasanya disuguhkan di seri Fallout (Fallout 3, New Vegas, dan Fallout 4). Namun demikian, TOW menyajikan grafis dengan saturasi lebih tinggi ketimbang Fallout.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Selain grafisnya yang mampu menawarkan atmosfir yang immersive, faktor suara dan voice acting di TOW juga layak diacungi jempol. Bagi saya, faktor penyajian audio dan visual yang istimewa itu tak hanya sedap dipandang dan memanjakan telinga namun juga mampu mendukung kekuatan imersifitas atmosfir dunia dan cerita yang disuguhkan. Obsidian mampu menyuguhkannya dengan sempurna di game ini.

Meski memberikan visualisasi yang ciamik, game ini juga tidak berat dari sisi performanya. Dengan spesifikasi PC saya di atas, saya tidak kesulitan sama sekali untuk menyentuh kisaran 90-120 fps. Kawan saya, Glenn Kaonang yang juga penulis untuk DailySocial dan Hybrid, juga masih lancar memainkan game ini (60 fps) di setting grafis Medium meski masih menggunakan kartu grafis GeForce GTX 960.

Plot Cerita dan Karakter: 81/100

Seperti yang saya tuliskan tadi, kekuatan narasi adalah salah satu keunggulan dari setiap game-game Obsidian. Aspek ini juga masih bisa Anda dapatkan di TOW. Lore building di TOW sungguh nyaris sempurna. Sayangnya, game ini memang masih belum bisa menawarkan dunia yang sekompleks seri Pillars of Eternity (PoE). Demikian juga soal alur ceritanya. Jika dibandingkan dengan seri PoE (baik 1 dan 2), alur cerita di TOW lebih mudah ditebak — setidaknya buat saya pribadi. Untungnya, kelebihan dari aspek cerita di TOW ada di penyajiannya yang lebih menarik ketimbang seri PoE tadi.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Saya kira plus dan minus tadi karena memang genre yang berbeda antara TOW dan seri PoE. Seri PoE ber-genre cRPG yang memang bukan untuk semua orang namun, biasanya, mampu membangun dunia yang begitu komprehensif lewat banyaknya wall-of-text di game-nya. Sedangkan TOW lebih mirip dengan seri Fallout modern ataupun The Witcher (action RPG) yang lebih ramah untuk kaum mainstream karena menyajikan cerita lewat cut-scene dan dialog antar karakter.

Dari sisi karakter-karakternya, TOW juga sangat menarik. Tidak ada karakter yang serba sempurna di sini yang mampu menjalankan semua Dasa Dharma Pramuka dalam setiap langkah hidupnya. Setiap karakter Companion (NPC yang menemani dan bergabung di tim Anda) mampu memberikan impresi yang unik buat para pemainnya. Sejumlah karakter-karakter penting juga memiliki karakteristik yang berbeda-beda.

TOW pun memiliki beberapa alur cerita tergantung dari pilihan Anda. Sayangnya, karena mudah ditebak dan dibayangkan, saya jadi malas bermain campaign baru untuk yang kedua kalinya untuk mencoba alur cerita yang berbeda. Kembali lagi, jika saya bandingkan saat bermain Deadfire, saya bahkan menamatkan game tersebut lebih dari 5 kali hanya untuk mencoba alur cerita yang berbeda-beda.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Satu hal yang pasti, jika dibandingkan dengan seri PoE, TOW memang inferior. Namun aspek ini sebenarnya juga sudah sangat baik dan superior jika dibandingkan game-game lainnya yang dirilis belakangan ini. Hanya saja, karena game ini besutan Obsidian, saya jadi punya ekspektasi yang lebih tinggi.

Gameplay 70/100

Para pemain Fallout modern pasti tahu yang namanya VATS yang mengijinkan Anda menghentikan waktu dan membidik bagian-bagian musuh yang spesifik (kepala, tangan, badan, ekor, dkk.). Fitur serupa juga bisa Anda temukan di sini. Anda bisa menggunakan kekuatan slow motion agar musuh bergerak pelan sehingga Anda bisa lebih akurat dalam membidik lawan.

Companion Anda juga punya active ability masing-masing yang bisa dikeluarkan dengan menekan tombol. Sayangnya, active ability yang dimiliki oleh karakter Anda tidak banyak — hanya ada slow motion tadi dan dodge. Untungnya, karakter Anda bisa menggunakan berbagai senjata yang cukup variatif mekanismenya meski memang jauh lebih terbatas jika dibandingkan dengan Borderlands 3. Anda juga bisa menggunakan senjata melee yang punya beberapa variasi serangan.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Di sini juga ada mekanisme stealth yang bisa Anda gunakan. Sayangnya, jika dibandingkan dengan Skyrim ataupun seri Dishonored, mekanisme stealth di sini kurang memuaskan.

Oh iya, di sini, equipment Anda juga memiliki beberapa efek pasif yang bisa mengubah gaya bermain Anda. Sayangnya, lagi-lagi, hal ini tidak dilakukan dengan optimal. Pasalnya, efek-efek dari equipment di sini sangat terbatas variasinya. Lebih banyak efek-efek pasif yang membosankan seperti menambah status (Lockpick +10, Dialog +5, atau stats lainnya). Jumlah variasi efek-efek build di sini bahkan lebih sedikit juga jika dibandingkan dengan Assassin’s Creed Odyssey.

Entahlah, menurut saya, Obsidian terlalu banyak implementasi ide gameplay di TOW namun eksekusinya seperti setengah hati. Misalnya saja jika dibandingkan dengan Borderlands 3 (BL3). BL3 memang tidak ada mekanisme stealth. Namun ia punya kekayaan variasi efek dari equipment (seperti Cooldown Reduction, Accuracy, Handling, Fire rate, AoE radius, dan lainnya) yang bahkan mencapai puluhan efek. Doom Eternal juga tidak punya sistem Companion, variasi build layaknya RPG, ataupun mekanisme Stealth namun game ini sungguh superior dalam implementasi pertempurannya.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Fitur Tambahan dan Durasi Permainan: 20/100

Jika aspek gameplay dari TOW memang kurang maksimal, masih ada lagi aspek yang menyedihkan dari game ini. Durasi permainannya yang sangat pendek buat genre RPG. Durasi saya memainkan game ini setelah menamatkannya tercatat di EGS (Epic Game Store) hanya 37 jam. Apalagi, game ini juga tidak menawarkan banyak aktivitas layaknya game-game open world macam seri Assassin’s Creed ataupun GTA. HowLongToBeat bahkan mencatat angka rata-rata durasi permainan di TOW hanya 25 jam dengan durasi Main Story saja sebesar 12 jam.

Durasi permainan sebenarnya bisa jadi penting atau tidak penting dari sebuah game. Misalnya saja, Mad Max memang menawarkan banyak aktivitas open world layaknya seri Far Cry, Just Cause, ataupun yang lainnya. Namun saya sendiri merasa bosan dan tidak memiliki keinginan untuk melakukan semuanya. Catatan waktu saya bermain Mad Max di Steam hanyalah 41 jam. Jujur saja, mungkin memang saya belum puas bermain TOW namun saya kehabisan konten yang bisa dilakukan — mengingat saya tidak mau juga menjalankan campaign baru karena sudah bisa dibayangkan ceritanya.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Selain itu, dari 3 aspek yang saya suka dari Obsidian, aspek modding tak ada di sini. Hal ini berbanding terbalik dengan PoE2: Deadfire. Jika tidak percaya, lihat saja di NexusMods. Outer Worlds hanya memiliki 46 file, itu pun sebagian besar hanyalah template ReShade. Sedangkan PoE2: Deadfire punya 348 file dengan hanya 2 file di kategori ReShade & ENB. Sungguh, TOW sangat menyedihkan dari sisi game modding, mengingat Deadfire adalah game sebelum TOW dari Obsidian. Modding di Deadfire bahkan sangat mudah dilakukan. Saya juga sebelumnya sempat menuliskan tutorialnya. Obsidian sendiri bahkan memberikan dokumentasi modding untuk Deadfire.

Saya tahu modding mungkin bukan faktor penentu buat sebagian besar game namun, buat saya pribadi, ada 3 alasan subyektif kenapa hal ini jadi penting saya bahas di review The Outer Worlds kali ini.

Pertama, ekspektasi saya atas game-game Obsidian itu memang ramah terhadap komunitas game modding. Dari 7 game yang saya sebut di bagian awal artikel ini, hanya Tyranny yang tidak ramah terhadap game modding. Bahkan Stick of Truth punya 90 files di Nexus Mods. Saya tidak tahu apakah ini ada hubungannya atau tidak, namun penting diketahui bahwa Obsidian diakuisisi oleh Microsoft di 2018. Beritanya muncul di bulan November 2018.

Sedangkan Deadfire dirilis bulan Mei 2018 yang berarti, kemungkinan besarnya, Obsidian belum diakuisisi saat proses pembuatannya yang dimulai sejak 2016 dan mendapatkan total investasi lewat campaign crowdfunding-nya di 2017. Sekali lagi, saya juga tidak yakin apakah akuisisi tadi yang jadi penyebabnya. Apalagi mengingat Minecraft (Mojang) dan State of Decay (Undead Labs), yang juga di bawah Microsoft, cukup ramah terhadap komunitas modding. Namun satu hal yang pasti, perbedaan terbesar (setidaknya yang terlihat) dari Obsidian saat membuat TOW dan game-game sebelumnya adalah akuisisi Microsoft tadi.

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Kedua, game modding membuat game singleplayer jadi bisa dimainkan dalam waktu yang sangat lama. Sebagai perbandingan, saya sudah memainkan Deadfire selama 517 jam (menurut catatan dari Steam) sedangkan untuk TOW hanya 37 jam seperti yang saya tulis tadi. Meski memang durasi bermain yang singkat ini juga dipengaruhi oleh keterbatasan konten dan ragam alur cerita yang tidak sekompleks Deadfire, saya bisa membayangkan jika saya akan bermain game ini jauh lebih lama jika akses modding-nya semudah seri Fallout modern (kecuali Fallout 76 tentunya).

Ketiga, seperti yang saya katakan tadi, alasannya memang sangat subjektif; karena saya memang suka sekali merasakan proses modding dan saya tidak bisa mendapatkan itu dari TOW — yang biasanya saya dapatkan dari game-game Obsidian. Saya sungguh merindukan saat-saat modding seperti yang dulu saya lakukan saat bermain Deadfire, Fallout New Vegas, dan Neverwinter Nights 2; dan game-game yang bukan besutan Obsidian seperti, Skyrim, The Witcher 3, GTA San Andreas, ataupun yang lain-lainnya.

Average Score: 66.25/100

Screenshot The Outer Worlds
Screenshot The Outer Worlds

Akhirnya, jika Anda memang tidak peduli soal modding, TOW memang sangat layak dimainkan. Apalagi jika Anda tidak ada masalah dengan durasi bermain. Grafis dan cerita yang ditawarkannya sungguh layak diacungi jempol. Faktor gameplay-nya juga tidak bisa dibilang buruk meski tidak istimewa. Sayangnya, mungkin karena saya juga yang sudah punya banyak kenangan berkesan memainkan serta merasakan asyiknya modding game-game Obsidian, TOW jadi terasa tak mampu memenuhi ekspektasi.

Harga TOW saat artikel ini ditulis ada di $44.99 (sekitar Rp660 ribuan) di EGS. Apakah jadi layak dibeli? Saya sendiri merasa tidak menyesal membelinya karena Obsidian nya yang sudah sering menemani saya dan memberikan berbagai kenangan manis — meski sedikit masam dengan TOW. Saya berharap game selanjutnya dari Obsidian bisa lebih sesuai dengan ekspektasi. Plus, semoga sejarah Bioware juga tak terulang dengan Obsidian…

Pendapatan EA Tembus Rp82,8 Triliun untuk Tahun Fiskal 2020

Electronic Arts baru saja mengumumkan laporan keuangan mereka. Pada tahun fiskal 2020, EA mendapatkan pemasukan sebesar US$5,54 miliar (sekitar Rp82,8 triliun), naik 12 persen jika dibandingkan dengan pemasukan mereka pada tahun fiskal 2019, yang mencapai US$4,95 miliar (sekitar Rp74 triliun). Sementara itu, sepanjang tahun fiskal 2020, pendapatan bersih EA mencapai US$3,04 miliar (sekitar Rp45,4 triliun) dengan keuntungan sebesar US$418 juta (sekitar Rp6,2 triliun). Pendapatan bersih EA pada tahun fiskal 2020 menunjukkan kenaikan tajam, sebesar 198 persen.

Sementara pada Q4 tahun fiskal 2020, EA mendapatkan pemasukan sebesar US$1,39 miliar (sekitar Rp20,8 triliun), lebih besar dari perkiraan analis, yang memperkirakan pemasukan EA hanya mencapai US$1,19 miliar (sekitar Rp17,8 triliun). Pendapatan bersih EA pada Q4 adalah US$418 juta (sekitar Rp6,2 triliun). Angka ini menunjukkan kenaikan dua kali lipat dari pendapatan bersih EA pada Q4 tahun fiskal 2019, menurut laporan The Esports Observer.

Keuangan EA. | Sumber: The Esports Observer
Keuangan EA. | Sumber: The Esports Observer

“Performa kami tahun lalu sangat baik,” kata Chief Financial Officer, Blake Jorgensen, seperti dikutip dari VentureBeat. “Laporan keuangan kami pada kuartal ini membuktikan, keputusan kami untuk memberikan live services selama satu dekade adalah keputusan yang benar. Kecakapan live service kami memberikan fleksibilitas yang diperlukan oleh para gamer kami di saat seperti ini.” EA menjadi salah satu perusahaan yang membiarkan karyawannya bekerja dari rumah di tengah pandemi. Jorgensen mengaku, memberlakukan sistem ini memberatkan para pekerja EA. Dia juga menyebutkan, hal ini mungkin akan memberikan dampak besar pada EA di masa depan.

EA menyebutkan, salah satu alasan mengapa pendapatan mereka bisa meroket adalah berkat kesuksesan dari game-game mereka. Dalam laporan keuangannya, EA mengungkap sejumlah pencapaian dari berbagai game mereka. Misalnya, FIFA 20 kini memiliki lebih dari 25 juta unique players dan Star Wars Jedi: Fallen Order memiliki lebih dari 10 juta unique players. Sementara Apex Legends menjadi game gratis untuk PlayStation 4 yang paling banyak diunduh sepanjang 2019.

CEO EA Andrew Wilson mengatakan, pada Q4 tahun fiskal 2020, EA memang melihat jumlah pemain dari game-game buatan mereka naik. Selain itu, tingkat engagement para pemain ini juga semakin tinggi. Beberapa bulan belakangan, masyarakat memang memang dihimbau untuk tetap di rumah selama pandemi. Banyak orang yang memutuskan untuk menghabiskan waktunya dengan bermain game atau menonton streaming game.

Sumber header: VentureBeat

Nintendo Telah Jual 55,8 Juta Unit Switch

Nintendo mendapatkan pemasukan sebesar 1,3 triliun yen (sekitar Rp183 triliun) pada tahun fiskal 2020 yang berakhir di 31 Maret. Pemasukan Nintendo pada 2020 naik 9 persen jika dibandingkan dengan tahun fiskal 2019. Sementara keuntungan yang didapatkan oleh Nintendo mencapai 259 miliar yen (sekitar Rp36,5 triliun), naik 33 persen dari tahun sebelumnya.

Pada tahun fiskal 2020, penjualan Switch juga mengalami kenaikan meski Nintendo sempat mengalami masalah suplai. Perusahaan Jepang itu kesulitan untuk memenuhi tingginya permintaan konsumen akan Switch sebelum memutuskan untuk menambah jumlah produksi. Sepanjang tahun fiskal 2020, jumlah unit Switch yang terjual mencapai 21 juta, naik 24 persen dari tahun fiskal sebelumnya. Dari total penjualan konsol Switch, sebanyak 6,2 juta unit merupakan Nintendo Switch Lite.

Dengan ini, total penjualan Nintendo Switch sejak konsol tersebut diluncurkan pada 2017 telah menembus 55,8 juta unit. Peluncuran game Animal Crossing terbaru menjadi salah satu pendorong angka penjualan Switch. Sementara itu, bagi developer Indonesia, popularitas konsol buatan Nintendo ini menunjukkan bahwa gamer Switch adalah pasar yang pantas disasar.

total penjualan switch
Animal Crossing: New Horizons laku keras di pasar. | Sumber: VG247

Selain konsol, game-game buatan Nintendo juga laku keras di pasar. Pada akhir Maret 2020, Pokemon Sword dan Shield telah terjual sebanyak 17,37 juta unit. Sementara Animal Crossing: New Horizons terjual 11,77 juta unit walau game itu baru diluncurkan 11 hari sebelum tutup buku. Sampai saat ini, New Horizons masih sangat diminati. Dalam waktu 6 minggu, game itu telah terjual sebanyak 13,4 juta unit. Tak hanya Pokemon dan Animal Crossing, Luigi’s Mansion 3 dan Super Mario Maker 2 juga mendapatkan sambutan hangat. Faktanya, ada 27 game Switch yang angka penjualannya mencapai 1 juta unit.

Secara total, Nintendo menjual 169 juta unit game Switch pada tahun fiskal 2020. Jika dibandingkan dengan angka penjualan game pada tahun fiskal 2019, penjualan pada 2020 naik 42 persen. Nintendo mengatakan, dari total pemasukan yang mereka dapatkan dari penjualan game, sebanyak 34 persen berasal dari penjualan digital. Angka ini menunjukkan kenaikan 24 persen jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya.

Sayangnya, divisi mobile Nintendo memiliki performa yang biasa saja. Meskipun pada tahun fiskal 2020 Nintendo meluncurkan Mario Kart Tour untuk perangkat mobile, divisi mobile mereka hanya mendapatkan 51,2 miliar yen (sekitar Rp7,2 triliun).

Sumber header: PCMag

Review Legends of Runeterra: Game Kartu Digital yang Nyaris Sempurna?

Jelang akhir 2019, Riot Games memamerkan jajaran game terbaru yang akan mereka rilis seraya merayakan ulang tahunnya yang ke-10. Setelah sepuluh tahun hanya mengembangkan satu game saja, pengembang yang berbasis di Los Angeles tersebut akhirnya melebarkan sayap, menciptakan game untuk genre lain.

Ada beberapa game yang mereka pamerkan ketika itu, FPS bernama project A yang kini dikenal dengan Valorant, game kartu Legends of Runetera, iterasi LoL di Mobile bernama Wild Rift, Teamfight Tactics untuk mobile, dan sebuah proyek game fighting. Setelah beberapa waktu berlalu, game kartu digital Legends of Runeterra yang rilis pada 1 Mei 2020 kemarin, mungkin jadi game pertama dari jajaran tersebut yang rilis secara penuh.

Walau memiliki genre Collectible Card Games (CCG) yang cenderung niche, tapi game ini ternyata mendapat antusiasme yang cukup baik dari para gamers, dengan total download mencapai 1 juta lebih di Play Store saat artikel ini ditulis. Mungkin Anda saat ini sudah terpincut untuk memainkannya, namun masih urung karena satu dan lain hal.

Mungkin Anda urung main karena belum pernah main CCG sebelumnya dan takut dihadapkan dengan permainan strategi yang ruwet? Atau urung main karena takut dihadapkan skema permainan pay-to-win yang mengharuskan Anda gacha sampai lemas demi mendapat kartu yang diidam-idamkan?

Tetapi, apakah Legends of Runeterra merupakan game kartu digital yang seperti itu? Game kartu yang akan mengintimidasi calon pemain baru karena mekanik yang rumit atau gacha kartu yang tidak ada habisnya?

Untuk memutuskan apakah Anda akan mulai menginvestasikan waktu (dan uang) terhadap game ini, mari kita berkenalan terlebih dahulu dengan game kartu digital besutan Riot ini. Simak review Legends of Runeterra berikut ini.

CCG Dengan Rasa MOBA

Legends of Runeterra (setelahnya disebut Runeterra) merupakan game kartu yang berbasis kepada cerita salah satu game MOBA terpopuler di dunia. Jika Anda pemain League of Legends sudah pasti Anda akan melihat wajah familiar di dalam game ini, seperti Ashe, Garen, ataupun Lux .

Jika Anda melihat trailer pertama dari Runeterra, Anda juga sudah dapat melihat bagaimana karakter Champion League of Legends berubah menjadi kartu-kartu di dalam permainan, yang disebut sebagai kartu terkuat di dalam Runeterra.

Hal ini juga yang membuat saya mengatakan bahwa game kartu Runeterra memiliki rasa MOBA di dalam mekanik permainannya. Bukan, ini bukan sekadar karena ada Champion League of Legends di dalam Runeterra, tetapi juga karena cara kerja kartu Champion di dalam game ini.

Kalau Anda juga bermain MOBA League of Legends, Anda tentu paham tugas Anda di MOBA adalah menaikkan level Champion agar punya skill yang lebih kuat, sembari mengumpulkan gold agar mendapatkan item untuk memperkuat serangan fisik atau magic. Menariknya, Runeterra juga punya mekanik permainan seperti MOBA, yaitu menaikkan level untuk membuat kartu Champion menjadi lebih kuat.

Tapi bedanya, menaikkan level Champion di Runeterra tidak sesederhana memukul Minion. Masing-masing Champion punya syarat yang berbeda agar dapat naik level. Misal, Garen harus menyerang sebanyak dua kali atau Braum bisa naik level jika sudah menahan serangan musuh. Champion yang sudah naik level akan memberi damage ataupun efek yang lebih mematikan.

Hal lain yang membuat game kartu Runeterra semakin terasa seperti MOBA adalah dari cara pemain mendapatkan kemenangan. Dalam MOBA, setelah karakter Anda jadi kuat, tugas berikutnya adalah terus menerjang, hancurkan Turret demi Turret hingga mencapai bangunan inti yang harus dihancurkan, Nexus.

Begitu juga dalam Runeterra. Masing-masing pemain punya tujuan untuk menghancurkan Nexus musuh dan ada sejumlah cara yang bisa dilakukan. Cara paling sederhana adalah dengan memanggil atau summon atau meletakkan kartu Anda di meja atau field. Lalu perintahkan kartu untuk menyerang ke arah Nexus. Hit Point (HP) Nexus ada 20, yang lebih dulu habis akan kalah.

Bagiamana mudah bukan?

Mudah atau tidak akan kita bahas pada bagian selanjutnya. Tetapi secara umum, menghancurkan Nexus di Runeterra sebenarnya tidak sesederhana itu, karena ada tiga jenis kartu dalam game ini, yaitu Champion, Follower, dan Spells.

Champion dan Follower punya power di kiri bawah kartu yang menandakan kekuatan serang, dan HP di kanan bawah kartu yang menandakan kekuatan bertahan. Dua kartu itu akan tetap berada di meja selama masih punya HP. Jika HP habis, maka kartunya akan hilang dari permainan; kecuali dipanggil lagi dengan efek khusus. Sementara di sisi lain Spell biasanya hanya bisa diaktifkan satu kali, lalu akan hilang setelah diaktifkan.

Ini adalah contoh bentuk kartu Champion, dengan power yang menandakan kekuatan serang di bawah kiri dan HP yang menandakan kekuatan bertahan di bawah kanan.
Ini adalah contoh bentuk kartu Champion, dengan power yang menandakan kekuatan serang di bawah kiri dan HP yang menandakan kekuatan bertahan di bawah kanan. Sumber: Tangkapan layar pribadi.

Tugas Anda sebagai pemain di sini adalah memanfaatkan ketiga jenis kartu tersebut dengan maksimal agar bisa menghancurkan Nexus musuh. Champion dan Follower punya fungsi yang paling sederhana, yaitu menyerang Nexus.

Sementara fungsi Spell lebih Variatif karena ada yang bisa langsung memberi damage ke Nexus, memberi damage ke Champion atau Follower, atau memberi efek mengganggu musuh.

Secara umum, cara main Runeterra kurang lebih mirip seperti game kartu TCG Yu-Gi-Oh. Anda panggil kartu ke meja, lalu suruh monster tersebut menyerang. Kalau tidak ada monster di meja musuh, Anda bisa menyerang langsung (kalau dalam Runeterra ke arah Nexus). Anda bisa panggil Spell Card untuk menyerang atau membantu membuat kartu Anda jadi lebih kuat.

Lalu kalau di Yu-Gi-Oh ada Trap Card, bagaimana dengan di Runeterra? Hal menarik lain di Runeterra, yang juga membuatnya terasa seperti pertarungan MOBA, adalah urutan jalan yang terus berganti-gantian.

Dalam setiap turn, pemain secara bergantian memegang Attack Token sebagai tanda bahwa Anda punya hak jalan pertama dan menyerang. Lalu, setiap kali Anda melakukan sesuatu (memanggil Champion/Follower atau mengaktifkan Spell) musuh mendapat giliran untuk merespon dengan apapun yang mereka punya.

Jika menggunakan analogi Yu-Gi-Oh, maka bisa dibilang Spell di Runeterra berfungsi layaknya gabungan Trap dan Magic Card. Karena berjalan secara bergantian secara terus menerus, Spell jadi bisa diaktifkan kapan saja. Maka dari itu, Runeterra punya tiga tingkat kecepatan Spell yaitu Slow, Fast, dan Burst.

Slow Spell hanya dapat diaktifkan di luar fase pertarungan. Ketika diaktifkan, musuh dapat merespon dengan Spell yang mereka miliki. Fast Spell dapat diaktifkan sebelum ataupun pada fase pertarungan, musuh juga bisa merespon terhadap Spell ini. Terakhir Burst Spell, bisa diaktifkan kapanpun, langsung aktif saat itu juga, dan tidak dapat direspon oleh musuh.

Tindakan saling merespon tersebut berhenti ketika pemilik Attack Token memajukan pasukan (Champion/Follower) dan memasuki fase bertarung. Pada fase bertarung, pemain bertahan tidak bisa lagi memanggil pasukan apapun, hanya bisa melakukan Block dengan pasukan yang sudah ada di field, atau merespon dengan Fast Spell.

Kartu Spell punya bentuk yang lebih sederhana. Hanya berisi properti kecepan Spell dan deskripsi kegunaanya.
Kartu Spell punya bentuk yang lebih sederhana. Hanya berisi properti kecepan Spell dan deskripsi kegunaanya. Sumber: Tangkapan layar pribadi.

Setelah pemain bertahan mengaktifkan Spell, memilih pasukan musuh yang ingin ditahan serangannya, pemilik Attack Token lalu menyerang, jumlah damage dihitung, lalu pemilik Attack Token memiliki kesempatan terakhir untuk melakukan satu aksi lagi, yang juga masih dapat direspon oleh musuh.

Pada saat menyerang, Legends of Runeterra juga menghadirkan fitur menarik bernama Oracle Eye. Fitur ini bisa berada di tengah antara dua Nexus pada fase menyerang.

Fitur ini memungkinkan Anda melihat ke masa depan, hasil dari semua pertarungan pasukan dan Spell yang diaktifkan. Jika Anda kurang pandai menghitung atau tidak yakin bagaimana efek dari Spell yang akan Anda gunakan, fitur ini sangat membantu Anda memahami hasil dari jalannya pertempuran.

Semua tindakan memanggil pasukan dan mengaktifkan Spell akan menggunakan Mana. Permainan dimulai dengan 1 Mana, dan terus bertambah 1 mana pada setiap ronde. Jika Anda tidak melakukan apapun, Mana akan tersimpan sebagai tambahan untuk mengaktifkan Spell nantinya.

Attack Token baru berpindah tangan setelah sang pemilik memilih untuk End Round atau kehabisan Mana yang membuat dirinya jadi tidak bisa melakukan apa-apa lagi.

Mekanik giliran permainan yang berganti-gantian ini juga menurut saya membuat Runeterra jadi terasa seperti pertarungan MOBA. Karena dalam MOBA Anda harus lihai dalam mengelola sumber daya yang Anda miliki, Skill ataupun Mana, begitupun seperti dalam Runeterra.

Apakah Runeterra Ramah Bagi Pemula?

Soal ini jadi penting dalam pembahasan sebuah game, terutama game CCG seperti Runeterra. Kerumitan permainan biasanya akan membuat pemain jadi mengurungkan niat mencoba. Apalagi genre CCG kerap dicap sebagai “game mikir”, yang membuat banyak pemain sudah malas di awal karena tidak ingin berpikir ketika main game.

Setelah membaca penjelasan saya di atas soal mekanik umum permainan, apakah Anda sudah pusing? Oh tenang, itu belum semuanya, karena semakin lama Anda bermain, semakin Anda harus menerima kenyataan bahwa Runeterra akan membawa Anda menyelam ke dalam mekanik yang rumit nan seru.

Walau game ini rumit, tapi saya masih bisa bilang bahwa Runeterra itu ramah bagi pemula. Salah satu alasannya karena usaha Riot Games menjelaskan cara main Runeterra lewat sajian satu set tutorial yang intensif.

Challenges yang membantu Anda mengenal berbagai macam efek Keywords di Runeterra.
Challenges yang membantu Anda mengenal berbagai macam efek Keywords di Runeterra. Sumber: tangkapan layar pribadi.

Semua yang saya bahas di awal artikel akan diajarkan ketika Anda pertama kali login ke dalam game. Anda akan diajarkan apa itu Nexus, bagaimana cara menyerang dan bertahan, cara kerja Champion, Attack Token, apa itu Mana Point, serta cara mengaktifkan dan klasifikasi Spell.

Walau demikian, Runeterra mungkin tetap kurang menarik bagi gamers Indonesia, karena semua tutorial menggunakan bahasa Inggris (Riot pls, tambahkan opsi bahasa Indonesia jika ingin lebih banyak yang bermain Runeterra), dan mengharuskan pemain menyimak dengan seksama cara kerja permainan Runeterra.

Tetapi salut untuk Riot Games yang berusaha keras untuk mengajarkan mekanisme permainan Runeterra kepada pemainnya. Ketika Anda sudah masuk ke dalam permainan, pada menu Play, Anda bisa memilih menu Challenges yang berisikan satu kursus intensif untuk memahami cara kerja ragam kartu di Runeterra.

Pada bagian tersebut Anda akan diajari cara kerja berbagai Keywords, alias kata kunci dari efek kartu di dalam game. Misal, Challenge berjudul Overwhelming Force mengajarkan Anda cara kerja, dan efektivitas menggunakan kartu dengan kata kunci Overwhelm. Kartu dengan Overwhelm (Champion Darius contohnya) bisa memberi damage yang menembus ke arah Nexus jika punya selisih angka Power kartu penyerang dengan HP kartu bertahan.

Riot juga mendorong pemain untuk melakukan Challenge karena kita akan menerima hadiah XP untuk menaikkan progress rewards, yang nanti akan saya jelaskan pada bagian soal skema monetisasi Legends of Runeterra. Challenge baru juga akan selalu hadir, ketika Runeterra mengenalkan Keywords baru.

Contohnya pada saat update Rising Tides hadir saat perilisan resmi Runeterra mengenalkan region Bilgewater, Riot segera menghadirkan 4 Challenges baru: The Deep Dive untuk mengenalkan efek Keywords Deep, Plunder Pays untuk efek Keywords Plunder, Easy Pickings untuk mengenalkan Keywords Vulnerable, dan Barrel to Victory yang mengenalkan cara kerja mekanisme Powder Keg.

Jangan khawatir, apa yang ada di Challenges hanyalah permukaan dari keseluruhan ragam Keywords di dalam Runeterra. Karena hingga saat ini, kurang lebih ada sekitar 40 lebih Keywords di dalam Runeterra yang harus Anda pahami dan pelajari.

Sudah pening? Sama saya juga. Tapi tak usah khawatir, pada awal permainan Anda diberikan “Starter Deck” dari 6 region awal di Runeterra, untuk belajar cara main dan mengoptimalkan kartu-kartu dasar.

Mungkin satu yang kurang dari Challenges adalah ia tidak mengajarkan karakteristik dan interaksi antar-Region. Mekanisme Region merupakan cara game kartu Runeterra menceritakan dunia League of Legends. Hingga saat ini, ada 7 Region di dalam game kartu Runeterra, ada Bilgewater, Demacia, Freljord, Ionia, Noxus, dan Shadow Isle.

Masing-masing Region punya karakteristik masing-masing yang bisa dikombinasikan dengan Region lain. Contohnya jika Anda ingin buat musuh tak bisa gerak, Anda bisa kombinasikan Region Freljord yang bisa hentikan pergerakan musuh dengan Ionia yang juga punya banyak mekanik yang bikin musuh kelimpungan.

Tapi yang pasti, pengalaman bermain League of Legends juga akan membantu Anda untuk bisa memahami game ini dengan lebih cepat. Sudah bermain League of Legends sejak tahun 2012 lalu, membantu saya memahami gambaran cara kerja Champion. Jadi karena saya tahu bahwa Braum merupakan hero Tank yang hobi menahan serangan, maka saya sudah punya gambaran bagaimana memanfaatkan Braum dengan maksimal di Runeterra.

Hal lain yang membuat saya jadi lebih mudah memahami Runeterra mungkin adalah pengalaman saya main game kartu Yu-Gi-Oh di zaman PlayStation. Minimal, ketika mulai bermain saya bisa segera bergumam, “Oh ternyata game ini mirip Yu-Gi-Oh,” dan tak perlu bingung lagi.

Animasi Ciamik, Artwork Mengagumkan, dan Ragam Visual yang Memanjakan Mata

Oke Anda mungkin sudah cukup kelelahan membaca pembahasan mekanik permainan Runeterra yang awalnya sederhana, tapi menjadi semakin…membingungkan. Sedikit rehat, mari sejenak kita melihat bagaimana Riot menyajikan Legends of Runeterra secara audio dan visual.

Satu yang paling saya suka adalah bagaimana ketika Anda membuka permainan segera permainan dengan gambar Ashe berdiri di atas gunung es dengan matahari terbit di ufuk timur, sembari diiringi lagu dengan biola yang syahdu layaknya musik khas kerajaan elf di film kolosal Lord of the Ring.

Menu utama juga tak kalah nikmat dipandang. Pada satu waktu Anda akan dihadapkan dengan pemandangan Jinx di atap rumah melihat suasana kota Piltover di malam hari yang tenang. Pada waktu lain semangat Anda juga bisa dipicu dengan gambar Darius sedang meneriakkan teriakan perang kepada pasukan Noxus yang bersiap menjajah Region lain di Runeterra.

Menu utama yang kadang bisa membuat tenang tapi juga bersemangat untuk bertarung lewat artwork yang disajikan.
Menu utama yang kadang bisa membuat tenang tapi juga bersemangat untuk bertarung lewat artwork yang disajikan. Sumber: tangkapan layar pribadi.

Artwork dari masing-masing kartu juga menjadi aspek visual lain di dalam Runeterra yang berhasil memanjakan mata. Jadi mungkin, jika Anda jemu bermain karena terus-terusan kalah, Anda bisa berhenti sejenak, membuka menu Cards, dan melihat Artwork dari masing-masing kartu. Terlebih, Artwork kartu juga dilengkapi dengan cerita yang semakin membawa Anda menyelami dunia Runeterra.

Satu kartu yang paling saya suka secara Artwork dan cerita adalah kartu Cithria of Cloudfield dari Region Demacia. Visual dan penjelasan kartu ini berhasil menyajikan suasana dari cerita seorang anak perempuan yang bercita-cita ingin menjadi pasukan tentara Demacia, karena mendengar cerita heroik sang ibu bertarung di medan perang membela nama kerajaan Demacia.

Sayang, sajian artwork memanjakan mata di Runeterra hanya terbatas pada Champion dan Followers saja. Pada kartu Spell, walau tetap menyajikan deskripsi yang memiliki cerita, namun visual yang disajikan terbilang cukup terbatas karena tidak menyajikan Artwork layar penuh layaknya pada kartu Champion atau Follower.

Artwork kartu disertai deskripsi yang tak hanya menyejukkan mata, tapi juga membantu kita mengenal cerita dunia Runeterra.
Artwork kartu disertai deskripsi yang tak hanya menyejukkan mata, tapi juga membantu kita mengenal cerita dunia Runeterra. Sumber: tangkapan layar pribadi.

Hal berikut yang menurut saya tak kalah menggugah secara visual adalah animasi ciamik yang disajikan dalam Runeterra. Visual menggugah tersebut sudah juga sudah terasa sejak kita berada di menu utama. Transisi antar menu selalu dihiasi dengan animasi yang sederhana, namun sedap dipandang.

Melaju ke dalam pertarungan, menurut saya setidaknya ada dua hal dari sisi animasi yang membuat Legends of Runeterra jadi menggugah secara visual. Pertama adalah kehadiran Guardian yang interaktif menemani kita di kala duel sedang dilakukan.

Guardian sebetulnya bukan fitur yang mempengaruhi apapun di dalam permainan, melainkan hanya sekadar penyejuk mata yang menghiasi papan Anda. Lucunya, Guardian berisfat interaktif, yang akan beraksi jika Anda melakukan swipe atau tap di atasnya.

Guardian Poro yang dimiliki secara gratis misalnya, akan memberi respon mengambek atau menguap besar jika Anda tap di atas kepalanya secara cepat dan terlalu sering. Walau tidak membantu di dalam permainan, setidaknya Poro bisa menjadi pelipur lara di kala tangan Anda sedang jelek, atau musuh menunjukkan permainan yang mendominasi.

Selain dari Guardian, tambahan visual lain yang tak kalah menarik adalah Sticker dan juga skin untuk Board tempat Anda bermain. Sticker merupakan satu-satunya sarana Anda berkomunikasi dengan musuh. Biasanya ini digunakan untuk bercanda dengan musuh apabila ada momen menggemaskan di dalam permainan.

Skin Jinx's untuk Field
Skin Jinx’s Mayhem untuk Field yang tidak hanya ciamik secara visual, tapi juga diiringi dengan lagu yang menggambarkan karakter Champion Jinx. Sumber: tangakapan layar pribadi.

Skin untuk Board tempat bermain juga jadi visual lain yang memanjakan mata. Skin Board paling dasar adalah Summoner’s Riftt, namun Anda bisa membeli skin untuk Board ini, mulai dari yang bertemakan Region di Runeterra ataupun Champion tertentu. Setiap Board tak hanya memanjakan visual, tapi juga memiliki lagu khas dari masing-masing yang memanjakan telinga.

Sejauh ini Jinx’s Mayhem jadi skin Board favorit saya, karena tidak hanya nyentrik secara visual, tapi juga punya lagu tema bergenre dark-electro yang senada dengan kepribadian dari Champion Jinx.

Pay or Grind to Win?

Banyak yang beranggapan kalau game kartu biasanya pay-to-win. Anda yang sudah beberapa kali main atau punya teman yang main permainan TCG atau CCG mungkin sudah familiar dengan Booster Pack atau Loot Box, kotak gacha yang berisi kartu random. Menariknya Legends of Runeterra justru punya skema monetisasi yang cukup berbeda.

Mungkin Runeterra menjadi game kartu CCG yang tidak menggunakan sistem Booster Pack. Semua kartu di sini bisa dibeli dengan 3 pilihan mata uang, yaitu Wildcard, Shards, atau Coins (mata uang Premium). Wildcard dan Shards bisa didapatkan dengan cara bermain dengan rajin atau grinding.

Sumber utama Wildcard dan Shard datang dari Region Rewards. Region Rewards berfungsi kurang lebih seperti Battle Pass di Dota 2, yang punya banyak level, dan memiliki hadiah menarik setiap level-nya. Level Region Rewards bisa didapatkan dengan terus bermain.

Anda bisa mendapatkan XP saat Anda bermain, entah itu menang atau kalah, melakukan quest harian, atau memainkan Challenge. Namun jumlah XP yang didapatkan dalam satu hari ada batasnya. Jika sudah mencapai batas, Anda hanya akan mendapat sekitar 100 XP saja jika menang, dan tidak mendapat apapun ketika kalah.

Region Rewards yang bisa Anda ganti-ganti sesuai keinginan.
Region Rewards yang bisa Anda ganti-ganti sesuai keinginan. Sumber: tangkapan layar pribadi

Tak hanya itu, masih ada sumber lain yang memudahkan Anda untuk melengkapi koleksi kartu di dalam Runeterra. Ada Daily Login yang sudah menjadi ciri khas dari banyak game mobile, Weekly Vault yang sama-sama dikumpulkan melalui XP, dan terakhir adalah Expedition,

Expedition sendiri bisa dibilang seperti Draft Mode. Mode permainan Expedition bisa diikuti dengan menggunakan Coin, Shards, atau Expedition Token yang didapat dari Weekly Vault. Pada Expedition Mode Anda diminta membuat deck dari beberapa pilihan kartu yang disajikan oleh sistem. Setelah deck selesai, Anda akan diadu oleh pemain lain yang juga mengikuti mode ini. Semakin banyak menang, maka semakin bagus hadiah yang Anda terima. Sebaliknya, jika sudah 4 kali kalah, maka perjalanan Anda akan berhenti dan mendapat hadiah yang sedikit.

Riot Games sepertinya tidak omong kosong saat bicara ingin membuat Runeterra menjadi game kartu yang adil, baik bagi pemain free-to-play ataupun mereka yang investasi membeli kartu. Dengan sistem ini, pemain casual yang sifatnya free-to-play jadi masih punya dapat kesempatan untuk berkompetisi dengan pemain berbayar, asalkan mereka rajin bermain.

Terlebih, menjadi pemain berbayar juga tidak merugikan di dalam Runeterra. Karena pemain tidak perlu dipusingkan karena gacha di hari-hari yang kurang beruntung. Anda bisa dengan bebas membuat deck apapun dan langsung membeli kartu yang Anda butuhkan, tanpa perlu kerepotan mengais Loot Box atau Booster Pack.

Melihat mekanisme ini, sepertinya satu yang membedakan antara pemain gratis dengan pemain berbayar hanyalah waktu. Pemain gratis butuh waktu lebih lama untuk mendapat kartu yang ia inginkan, sementara pemain berbayar cukup satu kali klik (dengan bermodal Rupiah tentunya) untuk mendapat kartu.

Versi 1.0 yang Masih Banyak Kekurangan

Legends of Runeterra memasuki versi 1.0 saat dirilis pada 1 Mei 2020 kemarin. Walau sudah dirilis secara resmi, namun saya masih merasa Legends of Runeterra seperti berada dalam fase open-beta.

Kenapa? Karena memang menurut saya masih banyak fitur-fitur yang sebenarnya penting, namun belum dihadirkan dalam Legends of Runeterra. Beberapa fitur yang sempat jadi perbincangan di komunitas adalah ketidakhadiran match history, replay, statistics, dan spectate friend.

Memang 3 fitur tersebut menjadi sesuatu yang penting, apalagi jika bicara kesiapan Legends of Runeterra sebagai esports. Dalam kompetisi, terutama yang bersifat online, match history jadi satu-satunya bukti untuk melaporkan kemenangan. Walau sudah ada fitur untuk menantang teman yang ada di friend list, namun tanpa Match History kemenangan jadi tidak bisa dibuktikan.

Lalu selain itu, fitur seperti statistik, replay, atau spectate friend juga jadi fitur penting lain untuk menjadikan Runeterra sebagai game yang kompetitif. Statistik dan replay bisa membantu pemain untuk mempelajari permainannya sendiri.

Kapan ia salah langkah? Apa yang bisa diperbaiki dari kekalahan yang ia alami sebelumnya? Kartu apa yang tidak efektif dan harus diganti? Ketiganya menjadi beberapa hal yang bisa pemain lakukan dengan kehadiran fitur statistik dan replay.

Sementara spectate friend merupakan fitur penting untuk membuat pertandingan di Runeterra menjadi bisa ditonton oleh khalayak banyak. Karena jika kita bicara esports, kita tidak hanya bicara soal kompetisi saja, tetapi juga bicara soal bagaimana agar pertandingan tersebut bisa disajikan ke para penonton.

Sejauh ini, dari friend list Anda hanya bisa ngobrol lewat chat dan fitur challenges untuk menantang kawan bermain.
Sejauh ini, dari friend list Anda hanya bisa ngobrol lewat chat dan fitur challenges untuk menantang kawan bermain. Sumber: tangkapan layar pribadi.

Terakhir, walau mungkin tidak sebegitu penting, namun saya merasa Legends of Runeterra masih kekurangan koleksi barang-barang kosmetik entak audio atau visual yang bisa dinikmati. Salah satu contohnya seperti jenis kosmetik Board, Guardian, dan Card Back yang masih terbilang terbatas. Ini tentunya diharapkan akan semakin bertambah seiring waktu, karena selain membeli kartu, item kosmetik juga jadi hal yang tak kalah penting dalam menambah kesenangan dalam pengalaman bermain.

Hal paling terakhir mungkin adalah soal optimasi grafis. Untuk saat ini sebenarnya optimasi grafis dari Runeterra sudah cukup baik, namun masih ada hal yang sebenarnya bisa lebih diperbaiki lagi. Salah satu contohnya adalah animasi saat Champion naik level.

Pada platform mobile, beberapa kali terjadi frame-drop saat Champion naik level, karena animasinya yang memang terlihat butuh komputasi grafis yang intensif. Hal lain dari optimasi grafis frame-rate untuk platform mobile. Legends of Runeterra sendiri merupakan game yang bersifat cross-platform antara PC dengan Mobile. Namun sayangnya frame-rate 60 fps untuk saat ini hanya tersedia untuk platform PC, sementara frame-rate platform Mobile dikunci pada 30 fps.

Kesimpulan

Pada akhirnya Legends of Runeterra mungkin menjadi satu-satunya CCG yang berhasil menghasut saya untuk mencoba, bahkan jadi ketagihan untuk memainkannya. Saya merasa setidaknya ada beberapa faktor yang membuat Runeterra jadi menarik bagi saya yang sebenarnya lebih suka permainan dengan tempo cepat seperti FPS dan MOBA. Faktor tersebut adalah:

  1. Tema League of Legends yang membuat saya pemain game tersebut jadi penasaran untuk mengetahui cerita dunia Runeterra lebih dalam lagi
  2. Gameplay interaktif bertempo cepat yang memungkinkan Anda untuk tetap melakukan sesuatu meski sedang bertahan
  3. Animasi ciamik dari pertarungan, yang kadang membuat saya lupa bahwa ini adalah game kartu
  4. Sistem Daily Login, Daily Quest, dan Region Rewards yang berhasil membuat saya termotivasi untuk terus main demi mendapat kartu-kartu baru dan memperkuat deck saya.
  5. Fitur Booster Pack dan Loot Box yang dihilangkan membuat pemain berbayar jadi tidak harus dipusingkan dengan Gacha.

Tapi bukan berarti Runeterra adalah game yang tanpa celah. Saya merasa masih ada beberapa kekurangan di dalam game ini, yang meski sedikit, namun cukup terasa. Beberapa di antaranya termasuk:

  1. Pilihan kosmetik yang masih terbatas.
  2. Belum ada pilihan high frame-rate untuk mobile.
  3. Mode Challenge yang kurang menjelaskan interaksi antar Region.
  4. Absennya fitur-fitur untuk kebutuhan esports pada versi 1.0 Legends of Runeterra seperti match history, replay, statistik, ataupun spectate friend.
  5. Kurangnya bahasa yang mungkin akan membuat pemain-pemain di Indonesia jadi enggan mencoba karena kesulitan mempelajari mekanisme permainan Legends of Runeterra yang cukup rumit.
  6. Banyaknya jumlah keywords, yang mungkin akan membuat permainan akan menjadi semakin rumit lagi nantinya.

Jadi apakah Runeterra patut dicoba? Menurut saya ini menjadi game yang sayang sekali untuk dilewatkan, apalagi bagi Anda pecinta League of Legends. Jika tidak main League of Legends sekalipun, game ini tetap patut dicoba karena menawarkan konsep yang cukup segar di dalam game bergenre CCG.

Menakar Peluang Bagi Developer Game Lokal di Nintendo Switch

Nintendo meluncurkan Switch pada 2017. Salah satu keunikan Switch adalah, selain bisa dimainkan seperti konsol kebanyakan, ia juga bisa menjadi handheld console. Keunikannya membuat Switch laku keras. Dalam laporan finansial pada Januari 2020, Nintendo mengungkap bahwa mereka telah menjual sekitar 52 juta unit Switch di dunia. Dengan begitu, total penjualan Switch telah melampaui Super Nintendo Entertainment System (SNES) dan bahkan hampir mencapai empat kali lipat dari total penjualan Wii U. Sebagai perbandingan, Sony meluncurkan PlayStation 4 pada 2013. Per Maret 2020, telah terjual 108 juta unit PlayStation 4 di dunia.

Keunikan Switch dan Perilaku Para Penggunanya

Jika dibandingkan dengan konsol PlayStation dan Xbox atau PC, Switch itu unik. Untuk bermain Switch, Anda tak melulu harus duduk di depan televisi. Sama seperti smartphone, Anda bisa memainkannya hampir kapan saja dan di mana saja. Karena itu, jangan heran jika perilaku gamer Switch juga agak berbeda dari para pemain PlayStation atau PC. Menurut Cipto Adiguna, VP of Consumer Games, Agate Studio, pemain Switch biasanya adalah orang-orang yang tidak punya banyak waktu luang untuk bermain.

“Banyak pemain Switch yang bermain untuk mengisi waktu luang. Bukannya menyempatkan diri, menyediakan waktu kosong untuk bermain game,” ujar Cipto ketika dihubungi melalui telepon. Dia lalu membagi para pemain Switch ke dalam 3 kategori. Pertama, pemain yang memainkan Switch sebagai handheld console dan juga menggunakan docking. Tipe kedua adalah pemain yang hanya memainkan Switch sebagai handheld. Kategori terakhir adalah pemain yang justru tidak pernah memainkan Switch sebagai handheld dan selalu meletakannya di docking. Cipto memperkirakan, ada 50 persen pengguna Switch yang masuk kategori pertama, sementara 2 kelompok sisanya masing-masing memiliki 25 persen.

Nintendo Switch juga punya docking. | Sumber: The Verge
Nintendo Switch juga punya docking. | Sumber: The Verge

Jadi, idealnya, game untuk Switch cukup kasual untuk bisa dimainkan kapan saja, tapi juga memiliki bobot sehingga bisa dimainkan dengan serius. Cipto mengaku, membuat game yang ideal memang tidak mudah. Meskipun begitu, dia berkata bahwa hal ini bukannya mustahil untuk dicapai. Sementara itu, Kris Antoni, pendiri Toge Productions mengatakan, pemain Switch biasanya lebih senang dengan game kasual.

“Nintendo selalu mengedepankan inovasi dalam interaksi bermain dan produk-produk mereka cenderung lebih family friendly. Jadi perilaku pemain Nintendo sedikit lebih kasual dan mencari pengalaman bermain yang fun dan inovatif, mereka tidak mengejar kualitas grafis semata,” kata Kris saat dihubungi melalui pesan singkat. Sementara terkait genre yang populer di kalangan pemain Switch, dia menjawab, “User Switch menggemari genre platformer dan action adventure.”

Apa Pertimbangan Developer Sebelum Merilis Game untuk Switch?

Saat ini, tidak banyak developer Indonesia yang membuat game untuk Switch. Agate Studio adalah salah satu dari segelintir developer lokal yang melakukan itu. Game yang mereka rilis ke Switch adalah Valthirian Arc: Hero School Story. Saat mengobrol dengan Cipto melalui telepon, dia bercerita, pada awalnya, Agate tidak berencana untuk meluncurkan Valthirian Arc di Switch.

“Saat kita pertama kali mengembangkan Valthirian Arc, Switch masih sangat baru. Jadi, kami nggak berencana membuat game untuk Switch,” aku Cipto. Namun, Agate melihat betapa tingginya hype akan Switch ketika Nintendo meluncurkan konsol tersebut. Mereka menganggap hal ini sebagai kesempatan. Dan keputusan mereka memang tepat. Cipto mengatakan, dari total penjualan Valthirian Arc, sebesar 40-50 persen berasal dari pengguna Switch.

Pada awalnya, Agate tak berencana merilis Valthirian Arc ke Switch. | Sumber: Steam
Pada awalnya, Agate tak berencana merilis Valthirian Arc ke Switch. | Sumber: Steam

Menurut Cipto, ada beberapa alasan mengapa Valthirian Arc populer di kalangan pengguna Switch. Pertama, popularitas Switch itu sendiri. Kedua, mobilitas Switch yang tinggi. Anda bisa memainkan Switch di mana saja dan kapan saja. “Pemain Switch cenderung tidak se-hardcore gamer PC atau PlayStation, yang harus duduk di depan layar untuk bermain,” katanya. “Kalau bermain di Switch, Anda bisa cuma bermain 15 menit, saat menunggu di mobil misalnya. Jadi, tidak perlu mendedikasikan waktu terlalu banyak.” Menurutnya, ini sesuai dengan gameplay Valthirian Arc yang memang tidak terlalu serius.

Popularitas Switch bukan satu-satunya hal yang Agate pertimbangkan sebelum memutuskan untuk membawa game buatan mereka ke konsol Nintendo itu. Ada beberapa faktor lain yang masuk dalam pertimbangan. “Pertama, seberapa mudah mendapatkan Development Kit-nya. Kedua, kita melakukan visibility study tentang apa saja yang harus kita optimasi,” jelas Cipto. Agate merasa perlu melakukan visibility study karena jika dibandingkan dengan PlayStation 4 atau PC gaming, hardware Nintendo Switch memang memiliki daya komputasi yang lebih rendah (baca: lebih cupu). Alhasil, jika Agate ingin merilis Valthirian Arc — yang pada awalnya tidak dibuat untuk PC dan PlayStation 4 — ke Switch, maka mereka harus melakukan banyak optimasi untuk memastikan game bisa berjalan dengan lancar.

Ultra Space Battle Brawl juga tersedia di Switch. | Sumber: Steam
Ultra Space Battle Brawl juga tersedia di Switch. | Sumber: Steam

Selain Agate, Toge Productions merupakan studio game lain yang juga merilis game ke Switch. Mereka menjadi publisher dari Ultra Space Battle Brawl buatan Mojiken Studio. Ketika ditanya mengapa Toge memutuskan untuk merilis game tersebut ke Switch, Kris menjawab, “Kami merasa Switch adalah konsol yang cocok untuk game local multiplayer atau party game seperti Ultra Space Battle Brawl. Dan Switch termasuk konsol baru dengan penyebaran yang cukup tinggi.”

Kesulitan Dalam Membuat Game untuk Switch?

Tentu saja, membuat game untuk Switch tidak semudah membalik tangan. Ada berbagai tantangan yang harus dihadapi oleh para developer. Cipto dan Kris setuju bahwa salah satu tantangan teresar dalam membuat game untuk Switch adalah sulitnya mendapatkan Development Kit. “Untuk mendapatkan DevKit Switch tidak mudah, terutama bagi game developer Indonesia,” aku Kris. “Salah satu alasannya adalah karena tingginya pembajakan di Indonesia dan birokrasi yang berbelit.” Memang, pembajakan konten digital masih menjadi masalah di Indonesia. Masih ada orang-orang yang dapat membeli PC gaming, tapi tak mau membeli game resmi.

Cipto menceritakan hal yang sama. Dia menjelaskan, demi mendapatkan Development Kit untuk Switch, Agate bahkan harus rela pergi keluar negeri. Masalah tidak berhenti sampai di situ, DevKit tersebut juga tidak boleh dibawa ke Indonesia, menyulitkan proses pengujian game. Untungnya, setelah beberapa lama, mereka akhirnya bisa membawa DevKit tersebut ke Indonesia. Selain DevKit yang sulit untuk didapat, masalah lain yang developer hadapi saat hendak membuat game untuk Switch adalah keterbatasan dari konsol itu sendiri. Jika dibandingkan dengan PlayStation atau Xbox, Switch memiliki bodi yang jauh lebih kecil karena harus bisa dibawa kemana-mana. Tapi, bodi mungil ini menawarkan masalah tersendiri.

“Switch kecil, jadi punya limitasi di thermal. Jangan sampai mesin menjadi terlalu panas. Memori nggak boleh terlalu besar. Kemampuan CPU juga tidak terlalu mumpuni,” ujar Cipto. Karena keterbatasan inilah, developer harus dapat melakukan optimasi game saat membuat game untuk Switch. Dia bercerita, saat membuat game untuk PlayStation atau PC, salah satu fokus utama developer adalah memberikan tampilan yang menawan. “Asetnya high-definition, animasinya banyak, gerakannya bervariasi,” kata Cipto. Sayangnya, developer tidak bisa terlalu fokus pada grafik dan animasi saat membuat game untuk Switch. “Begitu membuat game untuk Switch, kita nggak mungkin load banyak aset sekaligus.”

Nintendo Switch saat dimainkan sebagai handheld. | Sumber: BGR
Nintendo Switch saat dimainkan sebagai handheld. | Sumber: BGR

Optimasi juga harus diperhitungkan ketika developer melakukan porting dari platform lain — misalnya PC atau PlayStation — ke Switch. Ingat, kemampuan komputasi Switch lebih rendah dari konsol lain dan PC. Selain optimasi game, developer juga harus mempertimbangkan antarmuka game. Switch bisa dimainkan tanpa televisi karena ia memiliki layar sendiri. Hanya saja, layar tersebut jauh lebih kecil daripada televisi atau monitor yang digunakan untuk bermain PlayStation atau PC. Jadi, Cipto menyarankan, sebaiknya hindari memberikan informasi terlalu banyak di satu layar untuk pemain.

Tentang proses porting dari platform lain ke Switch, Kris memiliki pandangan yang sama dengan Cipto. Developer harus mempertimbangkan keterbatasan hardware Switch ketika melakukan porting game untuk konsol itu. Dia menjelaskan, “Limitasi hardware seperti kapasitas memory dan processor perlu diperhatikan agar game berjalan lancar dan tidak nge-lag. Ukuran layar, UI layout dan skema controller juga perlu diperhatikan. Apalagi jika game aslinya menggunakan keyboard dan mouse.”

Potensi Pasar Game untuk Switch

Bagi Agate Studio, pasar Switch sangat potensial. Salah satu alasannya, karena tidak banyak developer lokal yang membuat game untuk Switch. Memang, membuat atau melakukan porting game ke Switch bukan hal yang mudah. Namun, Cipto merasa, kerja keras tim Agate untuk membuat atau melakukan porting ke Switch tidak sia-sia.

Faktanya, saat membuat kelanjutan Valthirian Arc, Agate berencana untuk langsung membuatnya ke Switch. Kemudian, mereka baru akan melakukan porting ke platform lain, seperti konsol next-gen misalnya. Alasan Agate sederhana. Jika dibandingkan dengan PC atau konsol lain, Switch memiliki hardware yang paling lemah. Jadi, jika sebuah game bisa berjalan dengan lancar di Switch, maka ia seharusnya bisa dimainkan tanpa masalah di platform lain.

Konsol next-gen — PlayStation 5 dan Xbox Series X — diperkirakan akan diluncurkan tahun ini atau tahun depan. Namun, Cipto juga percaya, itu tidak akan membuat Nintendo Switch kehilangan keunikannya. “Karena Switch memiliki unique value proposition yang jelas. Switch bisa memenuhi kebutuhan orang-orang yang ingin bisa bermain sambil jalan atau di rumah. Selain itu, karena controller-nya ada dua, jadi kemana-kemana Anda tetap bisa bermain berdua,” ujarnya. Sambil bercanda dia membandingkannya dengan PlayStation, “Kalau mau bawa PlayStation, berarti harus bawa televisinya juga dong.”

Sementara itu, menurut Kris, potensi pasar game untuk Nintendo Switch sama seperti PC atau konsol lainnya. Tentu saja, potensi pasar juga tergantung pada jenis game yang hendak dibuat atau tipe gamer yang ditargetkan sang developer. “Tapi, dengan melakukan porting (ke Switch), kita bisa memperluas market game kita,” ujarnya. Dia juga mengungkap, di pasar internasional, game buatan Indonesia mendapat sambutan yang hangat.

“Ada sejumlah game yang diterima dengan sangat baik di global, baik yang sudah rilis seperti Coffee Talk, Infectonator, DreadOut, dan yang belum rilis seperti A Space for the Unbound, When the Past Was Aroound dan lain sebagainya,” ungkap kris. Untuk memasarkan game-game Indonesia, Toge bekerja sama dengan publisher asing, seperti publisher asal Jepang dan Eropa.

A Space for the Unbound mendapatkan sambutan hangat. | Sumber: Steam
A Space for the Unbound mendapatkan sambutan hangat. | Sumber: Steam

Meskipun pasar game Swich disebut berpotensi, tidak banyak developer yang membuat game untuk konsol buatan Nintendo tersebut. Sebagai Ketua AGI (Asosiasi Game Indonesia), Cipto mengatakan bahwa ada dua masalah yang menyebabkan hal ini. “Pertama, walau market-nya oke, tapi developer kesulitan untuk mendapatkan DevKit. Kedua, kesulitan dalam melakukan optimasi,” ujarnya. Lebih lanjut dia menjelaskan, saat mengembangkan game, developer biasanya lebih fokus pada grafik yang cantik atau gameplay yang unik. “Mereka belum memikirkan sampai optimasi,” kata Cipto.

Menyadari masalah ini, Agate menawarkan untuk membantu developer yang kesulitan untuk mendapatkan akses ke DevKit Switch atau dalam mengoptimasi game-nya. Alasan Agate mau membantu developer lain — yang seharusnya merupakan saingan mereka — adalah karena pasar game begitu besar sehingga para developer lokal tidak perlu khawatir untuk saling menganibal satu sama lain. Dengan saling membantu, Agate justru berharap akan ada semakin banyak developer Indonesia yang dikenal di mancanegara. Ini akan memudahkan developer lokal untuk mencari perusahaan asing sebagai rekan dan bisa memenangkan kepercayaan penyedia platform seperti Nintendo. Sementara itu, AGI bersama pemerintah juga berusaha untuk mejadikan Indonesia sebagai negara yang dapat menerima DevKit dengan mudah.

Kesimpulan

Keunikan Nintendo Switch menjadi daya tarik tersendiri bagi para gamer, membuatnya menjadi populer. Di mana ada gula, di situ ada semut. Konsol yang populer tentu menarik bagi developer untuk membuat game di konsol tersebut. Bagi developer lokal, Switch memang menawarkan pasar yang cukup menarik.

Sayangnya, mendapatkan Development Kit untuk Switch bukan perkara gampang. Dan Anda tidak bisa membuat game tanpa DevKit. Selain itu, developer juga harus bisa mengakali limitasi hardware pada Switch. Namun, jika berhasil mengatasi masalah-masalah itu, mungkin Anda akan bisa mendapatkan untung sebagai developer. After all, nothing worth doing is easy.

Sumber header: CNN

Gara-Gara Corona, Pemasukan Industri Game di Tiongkok Naik 30 Persen

Waktu yang dihabiskan gamer Tiongkok untuk bermain game meningkat di tengah pandemi virus corona. Untuk mengetahui dampak virus corona pada industri gaming di Tiongkok, Niko Partners melakukan survei pada 1.057 gamer di negara tersebut. Berdasarkan laporan The Impact of COVID-19 on China’s Video Game Market dari Niko Partners, diketahui bahwa 97 persen responden kini menghabiskan lebih banyak waktunya untuk bermain mobile game daripada sebelum pandemi. Sementara itu, 95 persen responden mengatakan,  mereka bermain game PC lebih lama dan 95 persen juga mengaku mereka menghabiskan waktu lebih lama untuk bermain game konsol.

Kebanyakan gamer (89 persen) mengatakan bahwa mereka memilih untuk memainkan game yang biasa mereka mainkan dan 61 persen responden mengaku mereka memliih untuk kembali memainkan game yang sempat mereka tinggalkan. Namun, 75 persen responden berkata, mereka mencoba untuk memainkan game di platform yang sama sekali baru, baik PC, konsol, ataupun mobile.

Industri game tiongkok corona
Kebanyakan gamer Tiongkok kembali memainkan game yang familier. | Sumber: Ubergizmo

Gamer Tiongkok tidak hanya menghabiskan waktu lebih lama untuk bermain game. Mereka juga mengaku, mereka mengeluarkan uang lebih banyak saat bermain game selama pandemi jika dibandingkan dengan waktu sebelum terjadi wabah. Sebanyak 82 persen responden mengatakan, total uang yang mereka habiskan untuk game sepanjang Q1 2020 lebih banyak dari sebelumnya. Karena itu, tidak heran jika total pemasukan industri gaming di Tiongkok juga naik. Menurut laporan Niko Partners, pemasukan industri gaming di Tiongkok pada Q1 2020 naik hingga 30 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu.

Selain bermain game, masyarakat Tiongkok juga lebih sering menonton konten gaming. Sekitar 62 persen responden berkata, mereka kini menghabiskan lebih banyak waktunya untuk menonton konten esports, 65 persen menonton live-streaming, dan 40 persen responden berkata, mereka mencoba untuk melakukan live-streaming sendiri untuk pertama kalinya. Memang, kenaikan viewership esports tidak hanya terjadi di Tiongkok, tapi juga di seluruh dunia. Mengingat banyak kompetisi olahraga yang dibatalkan dan digantikan dengan esports, ini tidak aneh.

Sayangnya, pandemik COVID-19 juga membawa dampak buruk, khususnya para pemilik internet cafe atau warnet. Games Industry menyebutkan, lebih dari 130 ribu warnet di Tiongkok tutup karena keputusan pemerintah untuk memberlakukan karantina. Meskipun begitu, berdasarkan survei Niko Partners, sebanyak 57 persen responden mengatakan bahwa mereka tidak berencana untuk bermain ke warnet bahkan setelah karantina berakhir. Pandemi corona berdampak buruk tidak hanya pada bisnis warnet, tapi juga bisnis lain. Karena itu, pemasukan dari iklan justru mengalami penurunan. Begitu juga dengan ad view. Selain itu, slot iklan juga lebih banyak yang kosong.

Sumber header: Digital Trends

Amazon Segera Luncurkan Game Hero Shooter-nya, Crucible

Sekitar empat tahun lalu, Amazon mengumumkan bahwa mereka akan merilis tiga game PC yang digarap menggunakan engine bikinan mereka sendiri, Lumberyard. Salah satu game-nya, Crucible, sudah dijadwalkan meluncur pada tanggal 20 Mei mendatang.

Crucible merupakan sebuah permainan hero shooter macam Overwatch atau Valorant. Valorant, seperti yang kita tahu, sempat memecahkan rekor jumlah penonton di Twitch walaupun masih berstatus beta. Jadi jangan heran kalau Amazon terkesan ingin mencuri momentum di sini.

Crucible

Tipikal game hero shooter, Crucible menawarkan sejumlah karakter yang dibekali beragam kemampuan uniknya masing-masing. Amazon menyebutnya dengan istilah hunter ketimbang hero, dan di awal peluncurannya bakal ada total 10 hunter yang bisa dimainkan.

Selain skill yang berbeda-beda, masing-masing hunter juga dilengkapi senjata yang berbeda pula. Di sini bisa kita lihat bahwa Crucible lebih mirip Overwatch ketimbang Valorant, dan itu juga berarti tim developer Crucible harus lebih cermat dalam hal balancing.

Crucible

Namun kemiripan Crucible dengan dua game tersebut terhenti di situ. Dari segi penyajian, Crucible justru lebih mirip Fortnite berkat tampilan dari sudut pandang orang ketiga (third-person view). Grafiknya memang tidak se-kartun Fortnite, dan dari trailer-nya tampak vegetasi yang cukup realistis – tipikal engine CryEngine yang merupakan basis dari Lumberyard.

Ada tiga mode permainan yang Crucible tawarkan, setidaknya di hari peluncurannya: Heart of the Hives, Alpha Hunters, dan Harvester Command. Dalam Heart of the Hives, dua tim yang masing-masing beranggotakan empat pemain akan bertempur dan memperebutkan sebuah sarang monster raksasa. Player vs AI vs player, kira-kira begitu deskripsi singkatnya.

Crucible

Untuk Alpha Hunters, modenya kurang lebih mirip seperti battle royale, di mana ada 8 pasang pemain (16 orang) yang memperebutkan titel last team standing. Terakhir, Harvester Command terdengar seperti mode capture the flag, menempatkan dua tim yang masing-masing beranggotakan delapan orang untuk berebut semacam control point.

Tanpa harus terkejut, Crucible merupakan game free-to-play. Belum diketahui bentuk monetisasinya bakal seperti apa, dan semoga saja tidak menjurus ke arah pay-to-win. Juga belum dijelaskan adalah bagaimana Crucible nantinya bakal terintegrasi dengan platform Twitch seperti yang Amazon singgung empat tahun silam.

Sumber: VentureBeat.

6 Tips dan Trik Asyik yang Bisa Anda Lakukan di FIFA 20

FIFA 20 mungkin memang telah dirilis beberapa waktu lalu. Namun dengan kompleksitas yang lebih tinggi dibanding dengan pendahulunya, mungkin Anda masih kesulitan memanfaatkan banyak hal yang bisa ditawarkan game bola besutan EA yang satu ini. Karena itulah kami membuatkan artikel tips dan trik FIFA 20 ini yang bisa dilakukan untuk membantu meningkatkan permainan Anda.

Artikel ini akan kami bagi jadi 6 bagian, berdasarkan dari aspek-aspek penting yang bisa disadari dan ditingkatkan untuk membantu Anda meraih lebih banyak kemenangan.

Maksudnya, mengingat FIFA 20 adalah game yang realistis seperti layaknya bermain bola sungguhan, pembagian aspek ini dibuat untuk membantu Anda mengingat poin-poin besar penting baik saat berlatih ataupun bertanding. Percayalah, Anda butuh advantage di setiap aspek untuk memperbesar peluang menang di setiap pertandingan.

Terakhir, sebelum kita masuk ke masing-masing bagian, kami harus mengingatkan (alias disclaimer bahasa gaulnya) bahwa membaca ataupun menonton segala jenis tips dan trik tidak akan membuat Anda serta merta menjadi jagoan. Namun, Anda bisa menjadikan berbagai informasi yang kami suguhkan di sini untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi waktu saat belajar.

Anda tetap harus buanyaaaaaaaaak berlatih dan bertanding untuk membuat segala jenis informasi yang didapat agar menjadi muscle memory untuk mata dan jari jemari Anda.

So, without further ado…

Tips dan Trik Dribble FIFA 20

Kami yakin ada banyak pemain game bola yang sering berandai-andai untuk bisa berdansa di lapangan hijau layaknya Messi, Ronaldinho, ataupun Ibrahimovic. Untungnya, Anda bisa melakukan hal ini di FIFA 20 berkat kecanggihan engine yang ditawarkannya. Namun demikian, layaknya atlet sepak bola sungguhan yang lincah membawa bola, mereka tidak langsung hebat juga dari lahir. Mereka butuh ratusan atau bahkan ribuan jam berlatih sebelum bisa sampai ke titik ini. Hal itu juga yang perlu Anda sadari.

FIFA 20 menyuguhkan keluwesan pemain dengan implementasi sejumlah trik dribble yang bisa dilakukan dan dikombinasikan. Bahkan untuk menggiring bola saja, setidaknya ada 4 cara berbeda. Ada dribble biasa (hanya dengan menggunakan analog kiri), ada fast dribble (analog kiri+R2), slow dribble (analog kiri+L2+R2), ataupun strafe dribble (analog kiri+L1).

4 cara ini harus dikombinasikan untuk membuat lawan kesulitan menebak pergerakan pemain Anda. Anda memang bisa membawa bola lebih cepat dengan fast dribble namun cara ini juga akan membuat Anda lebih sulit mengontrol bola. Terlalu lama dengan slow drible juga akan membuat lawan memenuhi daerah pertahanan dengan lebih banyak pemain dan kehilangan momentum.

Jarak pemain lawan dengan pemain Anda yang membawa bola adalah hal paling penting yang harus diperhatikan saat melakukan dribble. Saat Anda memberikan umpan, Anda harus memperhatikan jarak pemain penerima umpan dengan pemain-pemain lawan. Jika terlalu dekat, segera gunakan slow dribble saat menerima bola. Jika ada ruang yang cukup besar antara pemain Anda dengan pemain lawan, gunakan fast dribble sepersekian detik untuk lebih cepat menusuk jantung pertahanan lawan.

Selain memperhatikan dan menghitung jarak antara pemain yang membawa bola dengan pemain-pemain lawan, satu hal yang tak kalah penting untuk disadari adalah mencoba memprediksi dan membaca pergerakan lawan yang sedang bertahan. Dua hal tersebut adalah hal mendasar yang harus selalu diingat saat membawa bola dan memutuskan cara dribble seperti apa yang harus digunakan.

Itu tadi masih soal beberapa jenis dribble. Seperti pendahulunya, FIFA 20 juga menyuguhkan beberapa trik dribble dan bahkan menambahkan beberapa trik yang sebelumnya tidak ada.

Trik-trik dribble ini memiliki tingkat kesulitan alias bintang. Semakin banyak bintangnya, semakin sulit dilakukan oleh pemain yang Anda kendalikan. Maka dari itu, menurut kami, beberapa trik dribble bintang satu dan dua harus dikuasai lebih dulu sembari membiasakan diri dengan beberapa jenis dribble yang kami tuliskan sebelumnya — jika Anda pemain pemula. Karena, trik-trik bintang satu bisa dilakukan oleh semua pemain namun hal tersebut tetap bisa jadi penentu menang atau kalah sebuah pertandingan.

Jika Anda pemain lama atau sudah terbiasa dengan beberapa jenis dribble tadi, Anda bisa mulai mengumpulkan lebih banyak trik untuk dikuasai. Semakin banyak trik, semakin banyak pula solusi yang Anda miliki di banyak situasi. Ingat ini tadi untuk pemain lama atau yang sudah masuk ke tingkat menengah, bukan untuk pemain pemula. Pasalnya, pemain pemula mungkin jadinya malah akan kebingungan untuk mengingat sekian banyak trik berbeda jika ingin langsung dipelajari semuanya.

Bonus tips dari Kenny Prasetyo, pro player FIFA 20, yang sekarang membawa bendera Raja Esports dan sudah beberapa kali bertanding di ajang kompetitif FIFA 20 tingkat internasional; “satu trik yang selalu konsisten aku pakai adalah drag back (R1+analog kiri arah balik. Karena buat aku yang penting adalah efektivitas trik tersebut dan trik ini juga mudah dikeluarkan dari sisi tombol-tombol yang harus ditekan.”

Dribble di FIFA 20 memang kompleks karena ada banyak trik yang bisa dilakukan dan banyak kombinasi tombol yang bisa ditekan. Namun, sama seperti belajar apapun, yang perlu Anda lakukan adalah pelajari satu demi satu dari yang lebih mudah sampai ke yang paling susah. Plus, dari pengalaman kami belajar menggiring bola di game, semakin sering dan semakin lama Anda bermain, semakin lamban pula kelihatannya pergerakan lawan-lawan Anda. Hal ini terjadi berkat reflek mata dan tangan Anda (serta koordinasi antara keduanya) yang semakin cepat. Jadi, jangan bosan berlatih ya.

Tips dan Trik Oper Bola di FIFA 20

Sehebat apapun Anda merasa bisa menggiring, Anda harus mengoper bola. Memberikan umpan ke kawan juga menjadi cara yang lebih cepat untuk menusuk ke jantung pertahanan lawan, ketimbang menggiringnya sendiri — meski memang menggiring sendiri terlihat lebih fantastis. Namun, jika ingin bermain FIFA yang lebih efektif dan efisien, Anda juga harus bisa menguasai teknik mengoper bola.

Sama seperti dribble tadi, ada banyak cara yang bisa Anda lakukan untuk memberikan umpan ke kawan. Mungkin kami tak perlu membahas tentang perbedaan penggunaan umpan lambung, umpan terobosan, ataupun umpan pendek karena jelas terlihat perbedaannya. Namun demikian, yang mungkin belum disadari ataupun belum sering dimanfaatkan oleh sejumlah pemain adalah kombinasi tombol-tombol untuk mengumpan selain tombol dasarnya (seperti tombol Segitiga untuk umpan terobosan).

Dua umpan yang butuh kombinasi tombol misalnya adalah L1+R1+Segitiga untuk memberikan umpan lambung terobosan (driven lobbed through pass) dan tekan tombol Segitiga dua kali untuk umpan terobosan yang sedikit di atas tanah (lofted ground through pass) — sedikit lebih tinggi di atas umpan datar tapi tidak setinggi umpan lambung.

R1 juga bisa digunakan bersama dengan tombol umpan biasa (X) untuk memberikan tenaga yang lebih kencang. Satu hal yang pasti, yang perlu Anda ingat, tombol R1 bisa digabungkan dengan tombol Segitiga atau X (tergantung umpan seperti apa yang Anda inginkan) untuk memberikan umpan dengan tenaga lebih agar bola bergulir lebih cepat dan lebih sulit dihadang lawan.

Sedangkan tapping 2x tombol umpan (X ataupun Segitiga) juga bisa digunakan agar tidak mendatar. Umpan melayang ini juga lebih efektif untuk dikombinasikan dengan first touch shoot untuk mencetak gol ketimbang umpan datar biasa.

Tentunya, ada juga kombinasi umpan antar pemain yang lebih cantik dan kompleks seperti umpan one-two yang bisa Anda manfaatkan untuk mengecoh pertahanan lawan. Namun Kenny kembali memberikan sarannya jika Anda ingin lebih kreatif. “Usahakan agar umpan Anda lebih sulit terbaca lawan agar lebih sulit dipotong. Kombinasi umpan one-two misalnya, bisa digunakan juga buat lebih dari dua pemain. Jika biasanya umpan one-two adalah antara dua striker, Anda bisa memanfaatkan gelandang serang juga agar lebih sulit terbaca.”

Misalnya, setelah penyerang pertama mengumpan ke penyerang kedua, penyerang kedua bisa juga melemparkan bola ke gelandang serang (CMA) ketimbang mengembalikan bola ke penyerang pertama.

Tips dan Trik Menembak Bola (Shooting/Finishing) di FIFA 20

Selincah apapun giringan Anda dan secantik apapun umpan-umpan yang Anda lakukan, semuanya tidak akan ada gunanya jika Anda tidak bisa mencetak skor. Makanya, hal ini juga penting untuk dipelajari dan dikuasai.

Pertama, ada beberapa jenis tembakan ke gawang juga di FIFA 20 selain tembakan biasa (tombol Lingkaran). Dua trik tendangan yang akan paling sering digunakan adalah finesse shot (tendangan pisang) dan low driven shot (tendangan datar).

Finesse shot (R1+Lingkaran) adalah tendangan yang mengorbankan kecepatan untuk akurasi yang lebih tinggi. Tendangan pisang tadi lebih efektif jika Anda berada di sekitar garis kotak penalti. Terlalu dekat ke gawang tidak akan efektif. Sedangkan di luar kotak penalti juga tidak efektif.

Sedangkan tendangan datar (L1+R1+Lingkaran) lebih efektif jika pemain Anda berada satu garis lurus berhadapan dengan kiper lawan. Meski begitu, Anda bisa mengkombinasikan tendangan datar ini dengan tombol tendangan pisang jika ingin menembak dari sudut tertentu. Untuk melakukan kombinasi ini, tekan R1+Lingkaran lebih dulu lalu tekan L1+R1 dengan cepat sesudahnya.

Kedua, seperti yang kami tuliskan tadi, sudut arah tendangan ke gawang akan berpengaruh dalam menentukan jenis tendangan seperti apa yang efektif. Namun, arah tendangan Anda juga akan berpengaruh (tiang jauh atau tiang dekat) dan salah satu cara paling efektif mencetak skor dari banyak sudut adalah dengan mengarahkan tendangan ke tiang dekat. Untuk pemain tingkat lanjut, Anda bisa juga memperhatikan arah pergerakan kiper lawan.

Ada juga chip shot yang bisa digunakan dengan menekan tombol L1+Lingkaran. Sayangnya, tendangan ini hanya efektif jika kiper lawan bergegas mendekati Anda. Ada juga yang namanya flair shot (L2+Lingkaran) yang terlihat fantastis namun, saran kami, gunakan tendangan ini jika Anda memang sudah yakin menang. Misalnya skor sudah 5-0 atau melawan pemain yang memang belum pernah menang melawan Anda selama berabad-abad.

Terakhir ada juga timed finish yang sudah ada sejak di game sebelumnya. Namun demikian, sayangnya, timed finish ini tidak lagi overpowered di FIFA 20 karena tidak lagi semudah itu dilakukan. Untuk pemain tingkat mahir, Anda tetap bisa menguasainya untuk memberikan advantage atau bisa juga untuk pamer kemampuan.

Sebagai penutup di aspek ini, Kenny juga memberikan tambahan tips darinya. Menurutnya, sundulan di FIFA 20 kali ini tidak efektif. “Jadi, jangan coba-coba bermain dengan gaya selalu crossing.” Selain itu, Kenny juga setuju bahwa tendangan ke arah tiang dekat lebih besar peluangnya untuk mencetak gol. “Aku juga sekarang sudah jarang pakai finesse shot karena sudah ga OP. Sekarang lebih sering ke tembakan biasa. Cukup pencet shoot dan gol. Hahaha…” Katanya.

Tips dan Trik Set Piece (Bola Mati) FIFA 20

Mungkin, buat sebagian orang, mengandalkan gol dari tendangan bebas ataupun tendangan pojok memang terlalu sulit dilakukan. Namun demikian, eksekusi bola mati bukan berarti tidak bisa dipelajari ataupun disiasati.

Ada dua alasan kenapa eksekusi bola mati wajib diperhatikan. Pertama, satu gol saja bisa jadi penentu kemenangan atau kekalahan Anda. Jadi, satu gol yang tercipta dari tendangan bebas bisa sangat berharga. Kedua, tendangan bebas dan tendangan pojok adalah bentuk hukuman alias konsekuensi dari pertahanan lawan. Jika Anda tidak bisa memanfaatkan hal tersebut dengan baik, musuh akan lebih bebas dalam bertahan. Misalnya, jika Anda sering membuang kesempatan tendangan bebas, musuh tidak akan pernah takut bermain keras selama di luar kotak penalti. Sebaliknya, jika Anda bisa memanfaatkan setiap tendangan pojok dengan baik — setidaknya membahayakan lawan — musuh akan lebih takut dan lebih lama saat membuang bola; yang juga bisa berarti musuh akan lebih banyak melakukan kesalahan.

Untuk tendangan bebas, Anda hanya bisa mengarahkan tendangan langsung ke gawang jika jaraknya di kisaran 25-30 yards alias 23-27 meter atau lebih dekat lagi. Jika jaraknya lebih jauh, Anda harus mengarahkan tembakan di atas gawang namun tetap di jangkauan lebar gawang dengan kekuatan 2 bar lebih sedikit. Sesaat setelah Anda melepas tombol tendangan, geser cepat analog kanan ke bawah untuk memberikan efek lengkung ke tendangan tadi.

Sedangkan untuk tendangan pojok, teknik yang bisa Anda lakukan adalah mencoba memberikan ruang yang lebih kosong di kotak penalti lawan untuk memperbesar kemungkinan pemain Anda melakukan sundulan. Caranya, Anda bisa memilih satu pemain (yang idealnya tidak pintar menyundul bola) mendekat ke penendang corner kick di ujung lapangan. Hal ini bisa mengelabuhi lawan dan mengerahkan satu pemain bertahan menjauh dari kotak penalti. Setelah itu, arahkan tendangan ke daerah yang agak kosong tadi, tahan tombol tendangan sampai 3,5 bar, sembari mengganti kendali (L1) ke pemain Anda yang paling baik dalam hal sundulan di kotak penalti. Lepaskan tendangan pojok dan berharaplah pemain yang sudah Anda pilih tadi memiliki ruang yang cukup untuk melepaskan sundulan.

Hal ini memang tidak selalu berhasil karena masih bergantung pada keberuntungan kosong atau tidaknya salah satu bagian di dalam kotak penalti lawan. Ditambah lagi sundulan di FIFA 20 lebih sulit dibanding game sebelumnya. Alternatif yang bisa digunakan dalam menyiasati tendangan pojok adalah tips yang diberikan Kenny.

Hal yang biasa ia lakukan adalah memanggil pemain mendekat lalu umpan pendek. Dari sana, ia bisa mencoba menusuk ke dalam kotak atau diumpan lagi ke pemain tengah. Setelah itu, jika bola diumpan ke pemain tengah, Anda bisa mencoba memberikan umpan pendek cepat ke pemain yang ada di dalam kotak.

Tips dan Trik Defense (Bertahan) di FIFA 20

Bermain bertahan mungkin memang kedengaran tidak sekeren gaya agresif. Namun, faktanya, Anda juga harus mempelajari bagaimana cara bertahan yang efektif karena dua alasan.

Pertama, Anda tidak akan mungkin selalu dalam posisi menyerang di setiap pertandingan — kecuali musuh Anda tidak diperbolehkan memegang stik. Kedua, memahami setiap trik bertahan juga akan berguna saat menyerang. Kok bisa? Nanti kami akan jelaskan.

Kenny pun memberikan beberapa tips dasar yang harus diperhatikan dalam bertahan yang, menurutnya, menjadi bagian paling penting di FIFA 20.

1. Selalu menekan tombol L2 saat bertahan untuk melakukan jockey movement.
2. Berlatih mengganti pemain dengan menggunakan analog kanan
3. Menjaga/mengejar pemain lawan yang sedang berlari meminta umpan terobosan berbahaya jika dilakukan secara manual.
4. Selalu usahakan menutup celah operan ke tengah lapangan. Posisikan pemain sehingga memaksa lawan bergerak ke sayap.

Selain tips dari Kenny tadi, ada beberapa tips tambahan yang mungkin bisa Anda ingat. Jangan selalu terburu-buru untuk mengejar bola, apalagi menggunakan pemain bertahan tengah karena hal tersebut bisa digunakan lawan untuk mengosongkan daerah kotak penalti Anda.

Selain itu, saat mengejar bola di pinggir lapangan alias di sayap, Anda tidak perlu berlari mendekati bola jika terlalu jauh dari posisi pemain lawan. Anda hanya perlu berlari lurus ke arah garis belakang lapangan karena toh nanti musuh juga pasti akan ke sana dan mencoba mendekati gawang.

Untuk beberapa trik tombol, Anda bisa bangun lebih cepat setelah sliding tackle dengan menekan tombol sliding tackle (Kotak) dua kali. Anda juga bisa menekan dan menahan tombol tendangan (Lingkaran) untuk tackle biasa dengan lebih keras.

Inti dari saat bertahan adalah bagaimana kemampuan Anda membaca pergerakan lawan. Dengan demikian, Anda jadi tahu kapan saat yang tepat untuk bergegas cepat merebut bola ataupun menahan diri dan mengumpulkan pemain untuk memenuhi daerah bertahan. Hal ini juga berguna nantinya saat digunakan untuk menyerang — setidaknya menurut kami. Semakin pintar Anda membaca pergerakan bola saat bertahan, semakin banyak pula solusi yang bisa Anda kumpulkan untuk memperkaya variasi serangan Anda. Selain itu, misalnya pun kecolongan saat bertahan, jika Anda memelajari strateginya, Anda bisa menggunakan strategi serang yang sama tadi di lain kesempatan — baik melawan orang yang sama ataupun berbeda.

Tips dan Trik Formation/Custom Tactics FIFA 20

FIFA 20 menawarkan kompleksitas yang cukup tinggi untuk fitur Formation atau Custom Tactics. Namun demikian, sayangnya, karena kompleksitas dan fleksibilitas yang tinggi tadi, Anda harus mencoba sendiri taktik yang tepat dengan gaya permainan Anda.

Untungnya, kita hidup di zaman digital yang mampu menyuguhkan berbagai informasi. Jadi, inilah yang perlu Anda lakukan.

Pertama, Anda harus memahami dulu istilah dan kegunaan dari masing-masing opsi yang ada di sana. Misalnya apa itu maksudnya dari Drop Back, Constant Pressure, Pressure on Heavy Touch, dan lain sebagainya. Anda bisa mulai googling dengan istilah-istilah tersebut. Kami tidak bisa menjelaskan semuanya di sini karena sudah terlalu panjang artikelnya hahaha…

Setelah Anda memahami istilah dan kegunaan masing-masing tadi, Anda bisa mulai mencari Custom Tactics yang digunakan oleh para pemain lain atau googling lagi dari guide yang ada di internet sebagai referensi. Kenapa jadi dua tahap belajarnya? Karena, menurut kami, tidak efektif juga jika Anda menelan mentah-mentah atau menerapkan Custom Tactics tadi tanpa mengetahui gaya bermainnya yang bisa jadi tidak cocok dengan gaya Anda.

Jika Anda paham dengan setiap istilah dan kegunaan tadi dan memiliki referensi formasi, Anda bisa mulai menyesuaikan formasi-formasi tadi sesuai dengan gaya bermain masing-masing.

Hal ini senada juga dengan yang diungkapkan oleh Kenny. “Custom tactics ini lebih ke personal masing-masing sih, gimana gaya main kita dan formasi favoritnya.” Namun ia juga berbagi referensi yang bisa Anda sesuaikan lebih lanjut. “Kalau aku sendiri, formasi favoritnya adalah 4-4-2 flat. Karena enak ada 2 striker yang bisa digunakan untuk one-two saat ingin bermain cepat tapi bisa juga untuk kontrol tempo permainan berhubung formasinya balance di setiap sisi. Kekurangannya paling di lini tengah karena kadang sedikit kosong saat bertahan kalau pemain tengahnya juga suka ikut maju menyerang.” Tutup Kenny.

Sumber: RAJA Esports Official Page
Sumber: RAJA Esports Official Page

Oh iya, inilah Formation, Instructions, dan Custom Tactics yang digunakan oleh Kenny saat ini.
– Formation: 4-4-2 Flat
– Instructions:
– LB & RB: Stay Back while Attacking
– 2 CM: Stay Central
– Custom Tactics:
– Defense Balance: 5-10
– Attack Balance: 5-5

Penutup

Akhirnya, sekali lagi, latihan dan jam terbang bertanding tentunya akan lebih berpengaruh dalam meningkatkan kemampuan Anda bermain. Namun demikian, setidaknya, mungkin artikel ini bisa berguna sebagai acuan dan pengingat saat Anda berlatih sehingga bisa lebih efisien. Jadi, selamat mencoba!

Disclosure: Artikel ini disponsori oleh Electronic Arts

Assassin’s Creed Valhalla Diumumkan, Lebih RPG daripada Seri-Seri Sebelumnya

Dua judul Assassin’s Creed terakhir, yakni Origins dan Odyssey digarap dengan arahan yang agak berbeda dari seri-seri sebelumnya. Singkat cerita, kesan assassin pada karakter di kedua game tersebut lebih memudar ketimbang di gamegame sebelumnya, akan tetapi di saat yang sama combat-nya juga terasa semakin memuaskan.

Seandainya kedua game itu sama sekali tidak menerapkan elemen stealth dan tidak mencoba memperlakukan lakonnya sebagai seorang assassin, saya pribadi tidak akan keberatan. Namun apa daya branding “Assassin’s Creed” sudah terlalu kuat dan sayang untuk ditinggalkan. Mustahil Ubisoft membuang salah satu franchise terpopulernya begitu saja.

Pada seri terbaru Assassin’s Creed yang bakal dirilis di musim liburan tahun ini, Valhalla, kesan assassin itu boleh dibilang sudah hampir tak terasa lagi. Bagaimana tidak, lakonnya merupakan seorang prajurit Viking yang sangat jago bertarung. Viking dan stealth sepintas terdengar bertolak belakang, dan itu membuat saya jadi makin penasaran dengannya.

Assassin's Creed Valhalla

Setelah menonton trailer sinematiknya, kita langsung tahu bahwa game mengambil setting abad ke-9. Sang lakon, Eivor, sedang berupaya memimpin clan-nya untuk kabur dari kampung halamannya, Norwegia, menuju ke dataran Inggris. Kondisi Inggris sendiri kala itu jauh dari kata ideal, dengan satu per satu kerajaan Anglo-Saxon berjatuhan.

Lalu bagaimana Ubisoft menyisipkan elemen assassin ke Eivor? Lewat senjata Hidden Blade tentu saja, meski sekarang wujudnya tak lagi tersembunyi seperti di seri-seri sebelumnya. Pun demikian, senjata ini tetap berguna di saat-saat darurat dan tetap bisa mengejutkan lawan-lawannya, seperti yang ditunjukkan oleh trailer-nya.

Yang lebih menarik menurut saya adalah bagaimana combat di Assassin’s Creed Valhalla bakal semakin dimatangkan lebih jauh lagi. Hampir semua senjata dapat dipakai sepasang oleh Eivor (dual-wield), termasuk kapak, pedang, dan bahkan perisai. Valhalla sejatinya ingin menunjukkan betapa serba bisanya pejuang Viking dalam bertarung.

Assassin's Creed Valhalla

Combat di Valhalla dipastikan bakal terkesan lebih brutal. Kendati demikian, diplomasi masih menjadi aspek penting yang perlu diperhatikan. Sejak Odyssey, seri Assassin’s Creed memang sudah memberikan bobot ekstra terhadap variasi dialog, dan ini bakal pemain jumpai lagi di Valhalla. Keputusan-keputusan yang pemain ambil bakal berdampak besar terhadap progress permainan.

Seperti di Origins dan Odyssey, mitologi kembali dipakai sebagai bumbu penyedap narasi dalam Valhalla; spesifiknya mitologi Norse dengan dewa-dewa familier seperti Odin, Thor, Loki, Freya, Heimdall, dan masih banyak lagi. Juga tidak kalah menarik adalah, pemain bebas memilih memainkan Eivor sebagai karakter laki-laki atau perempuan.

Valhalla juga bakal memperkenalkan fitur baru, yakni fitur Settlement, yang bakal mengajak pemain untuk memperkuat teritorinya dengan membangun barak, merekrut prajurit, dan lain sebagainya. Settlement juga bakal menjadi gerbang kustomisasi karakter, semisal untuk menambahkan tato pada Eivor.

Assassin's Creed Valhalla

Assassin’s Creed Valhalla bakal menjadi salah satu judul debutan Xbox Series X dan PlayStation 5, akan tetapi Ubisoft tetap akan merilisnya di Xbox One, PS4, PC maupun Google Stadia. Di PC, Valhalla pada awalnya akan dijajakan secara eksklusif melalui Uplay Store dan Epic Games Store.

Ya, Steam lagi-lagi tidak menjadi pilihan salah satu judul AAA. Beberapa game blockbuster sebelumnya sudah mengambil rute serupa; dirilis eksklusif melalui Epic Games Store selama beberapa bulan, sebelum akhirnya didistribusikan lewat Steam.

Sumber: Ubisoft dan Gamespot.