Niantic Luncurkan Lightship, Platform untuk Membangun “Real-World Metaverse”

Tiada hari tanpa pembahasan tentang metaverse. Namun kali ini angle-nya cukup menarik, sebab yang menjadi subjeknya adalah Niantic, yang visi mengenai metaverse-nya agak bertolak belakang dari yang dibayangkan oleh Facebook Meta.

Niantic, yang selama ini dikenal sebagai developer Pokémon Go, baru saja meluncurkan sebuah platform bernama Lightship. Dari kacamata sederhana, Lightship dideskripsikan sebagai platform untuk membangun “real-world metaverse”. Jadi ketimbang kita yang masuk ke dunia virtual, objek-objek virtualnya yang kita biarkan eksis di dunia nyata.

CEO Niantic, John Hanke, menjelaskan dalam presentasinya bagaimana Lightship memungkinkan smartphone untuk mengidentifikasi apakah pengguna sedang mengarahkan kameranya ke langit, tanah, atau air, lalu memetakan area di sekitarnya secara real-time.

Informasi-informasi ini kemudian dipakai agar objek virtual bisa tampil serealistis mungkin di dunia nyata. Jadi seandainya kita melempar sebuah bola virtual ke tembok fisik, makanya bolanya pun akan memantul tepat di permukaan temboknya. Lalu seandainya kita melempar bola virtualnya ke balik semak-semak, maka bola tersebut pun juga jadi tidak kelihatan.

Agar semua itu bisa terasa semakin nyata, Lightship pun turut menghadirkan pengalaman multiplayer yang konsisten, atau istilah kerennya, shared state. Jadi bola virtual yang saya pantul-pantulkan ke tembok itu juga bisa Anda lihat menggunakan perangkat lain selagi berdiri di dekat saya. Dengan kata lain, apa yang saya lihat bakal sama persis dengan yang Anda lihat walaupun perangkatnya berbeda.

Shared state untuk sekarang masih agak terbatas dan cuma bisa mengakomodasi lima pengguna secara bersamaan. Namun Niantic sudah menyiapkan cara untuk mengatasinya dalam bentuk Visual Positioning System (VPS). Anggap saja ini seperti GPS, tapi yang digunakan oleh sistem computer vision.

Berkat VPS, smartphone atau kacamata AR pada dasarnya jadi bisa memahami letak posisinya di dunia nyata secara akurat, sehingga pada akhirnya objek-objek virtual yang ditempatkan pun tidak perlu berubah-ubah posisinya. Kalau saya menemukan seekor Pikachu di Bundaran HI, maka Anda pun juga bisa menjumpainya di titik yang sama persis.

Kacamata AR? Ya, ke depannya memang arahnya bakal ke sana, sebab kacamata AR memungkinkan interaksi dengan objek virtual yang lebih natural ketimbang smartphone. Kendati demikian, Niantic memastikan bahwa teknologi yang dihadirkan Lightship sepenuhnya kompatibel dengan perangkat Android dan iOS yang ada sekarang.

Lightship merupakan proyek yang sudah dikerjakan sejak lama oleh Niantic — dulunya dinamai Niantic Real World Platform. Peluncuran ini menandai dibukanya akses platform Lightship bagi semua developer di seluruh dunia. Sebagian besar API yang Lightship tawarkan dapat digunakan secara cuma-cuma oleh developer, kecuali API untuk shared state itu tadi.

Apakah Lightship cuma cocok dipakai untuk mengembangkan game saja? Tidak, namun Niantic percaya bahwa game dan aplikasi hiburan merupakan cara termudah untuk mendemonstrasikan kapabilitas AR.

Dalam kesempatan yang sama, Niantic juga mengumumkan pembentukan Niantic Ventures. Berbekal modal investasi sebesar $20 juta, mereka siap mendanai deretan startup potensial yang bekerja di bidang AR, yang pada akhirnya bisa membantu mereka mewujudkan visi real-world metaverse ini.

Agustus lalu — bahkan sebelum rumor pergantian nama Facebook beredar — John Hanke sudah sempat membahas tentang konsep real-world metaverse ini. Menurutnya, metaverse merupakan sebuah “mimpi buruk distopia”, dan skenario terburuknya adalah manusia jadi lebih betah berada di dunia virtual ketimbang di dunia nyata — persis seperti yang digambarkan oleh novel Ready Player One beserta filmnya.

John berharap Lightship bisa membantu mencegah hal itu terjadi. Niantic pada dasarnya ingin developer memakai Lightship untuk membangun aplikasi-aplikasi AR yang bisa mendorong manusia untuk tetap berinteraksi dengan realita di sekitarnya, dengan objek virtual yang berperan sebagai bumbu penyedap.

Ini jelas sangat kontras dari visi yang dibayangkan oleh Facebook Meta, dan itu sekaligus membuktikan bahwa, setidaknya untuk sekarang, pemahaman akan metaverse itu masih belum seragam dan bisa berubah seiring perkembangan.

Sumber: Niantic via The Verge.

Singkirkan Blacklist, ONIC Esports Raih Gelar Juara MPL Invitational 2021

Tim Mobile Legends: Bang Bang asal Indonesia, ONIC Esports sukses meraih gelar juara MPL Invitational 2021. Sang penantang dari Filipina, Blacklist International tidak mampu membendung perlawanan SANZ dkk. di partai puncak.

Nama ONIC Esports sendiri kembali menjadi buah bibir setelah mampu melaju ke babak grand final pasca menekuk Alter Ego. Sang juara MPL ID Season 8 mengamankan babak grand final dengan strategi dua Marksman yang digunakan SANZ dan Sir ft Lanss.

Di sisi lain, Blacklist International yang menjadi penantang ONIC Esports di grand final MPLI 2021 merupakan sang juara MPL PH 2021. Wakil Filipina tersebut berhasil melaju setelah mengalahkan RRQ Hoshi di babak semi-final.

Dengan hasil ini, maka dua tim juara MPL dari Filipina dan Indonesia siap adu stategi dan kekuatan untuk menentukan tim Mobile Legends terbaik saat ini.

ONIC Esports Masih Terlalu Dominan

Sumber: MPLI

Mungkin banyak yang mengira bahwa ONIC Esports akan kewalahan bertanding dengan Blacklist International, sang tim juara asal Filipina. Namun ONIC Esports konsisten menunjukkan kualitasnya hingga akhir pertandingan yang menggunakan format best-of-five tersebut.

Blacklist International sendiri membuka pertandingan pertama dengan kemenangan berkat kombinasi Estes dan Bane yang cukup menyulitkan.

Namun ONIC Esports merespon dengan cepat lewat pertandingan kedua. Kini kombinasi Rafaela dan Yi-Sun Shin keluar sebagai senjata pamungkas ONIC sehingga mampu menyamakan skor dengan angka 1-1.

Kembali mengulang momentum, ONIC Esports sukses memenangkan game ketiga. Kombinasi Bane dan Popol & Kupa sukses membuat kewalahan tim Blacklist International.

SANZ juga bermain sangat baik dalam menjaga tempo dan merusak laning phase dari lawannnya. Kenggulan ONIC Esports 2-1 sukses diamankan dan hanya membutuhkan satu kemenangan tersisa untuk menjadi juara.

Benar saja, ONIC Esports mampu mengamankan game terakhir dan menutup grand final dengan skor 3-1. Claude dan Natan rupanya mampu membungkam pergerakan dari Blacklist di pertandingan terakhir dengan tempo yang cukup cepat.

Kemenangan ONIC di laga terakhir tersebut sekaligus memaksa Blacklist International harus puas dengan posisi runner-up di MPL Invitaitonal 2021.

Sumber: MPLI

Gelar juara MPL Invitaitonal 2021 kali ini juga memberikan kisah manis bagi tim Indonesia. Pasalnya, gelar MPL Invitational tiga tahun terakhir selalu dimenangkan oleh tim Indonesia yaitu RRQ Hoshi, Alter Ego, dan sekarang ONIC Esports.

Yota akan Berikan Pelatihan dan Berbagi Informasi Terkait Karier di Esports

Jika Anda mengikuti sejarah esports di Indonesia sejak beberapa tahun silam, saat zaman Counter-Strike, Anda tahu bahwa esports Indonesia sebenarnya tidak hanya bermula dari Mobile Legends ataupun game-game mobile lainnya. Namun begitu, ada banyak skena esports di tanah air yang dulu subur akhirnya gersang — seperti Dota 2 di Indonesia. Menurut saya, salah satu penyebabnya adalah soal transfer knowledge ataupun soal regenerasi orang-orang di dalamnya..

Regenerasi di esports itu tidak hanya penting untuk para pemainnya saja tetapi juga untuk orang-orang di belakang layarnya. Apalagi bahkan sampai hari ini, meski esports di Indonesia berhasil mencuri perhatian di panggung internasional sekalipun, banyak orang-orang yang terlibat di ekosistem ini masih sebatas bermodalkan passion ataupun kenalan.

Maka dari itu, transfer ilmu dan pelatihan-pelatihan seputar industri ini sebenarnya menjadi hal krusial untuk memastikan esports Indonesia masih bisa terus bertahan — tidak terbang kemudian tenggelam seperti dulu lagi.

Karena hal itu jugalah saya menuliskan artikel ini. Salah satu kawan saya, Pratama “Yota” Indraputra mencoba menawarkan inisiasi baru untuk membantu mengembangkan karier untuk orang-orang yang mau belajar dan berkembang.

Buat yang belum tahu, Yota merupakan salah satu dari segelintir orang yang sudah berkecimpung di esports baik di depan ataupun belakang layar. Sebelumnya, ia adalah salah satu shoutcaster paling top untuk esports League of Legends. Ia juga pernah bekerja di balik layar di Mineski Event Team (sekarang Mineski Global). Terakhir, ia juga menjadi pelatih untuk Bigetron Academy.

Nantinya, untuk inisiasi ini, Yota akan memberikan 2 opsi pelatihan dan konten, gratis dan berbayar. Sayangnya, Yota masih belum mau membocorkan rencana untuk pelatihan berbayarnya. Namun ia mengatakan jika banyak juga orang-orang yang menyatakan keinginannya untuk belajar lewat sosial medianya.

“Banyak juga (yang ingin ikut program). Jadi banyak demand untuk “Bang, gua pengen belajar.”” Ujar Yota saat saya hubungi. Ia juga mengatakan bahwa semua orang bisa mengikuti program berbayarnya nanti. “Gua kepikiran sih ga perlu requirement. Basically, semua orang yang pengen cari ilmu dan mau terapin hal-hal yang dia pelajari.”

Sampai hari ini, Yota sudah membagikan beberapa informasi menarik di Instagramnya. Silakan ikuti terus perkembangannya di sana.

Feat image credit: Hasagi

Dibanderol $199, Shure Aonic Free Ramaikan Pasar TWS Premium

Pabrikan audio kenamaan asal Amerika Serikat, Shure, meluncurkan TWS baru bernama Aonic Free. Shure menyebut Aonic Free sebagai TWS pertamanya, meski sebenarnya mereka sudah punya TWS bernama Aonic 215.

Alasannya simpel: secara desain, Aonic Free sangatlah berbeda dari Aonic 215 yang dibekali pengait telinga (ear hook). Terlepas dari ukurannya yang terkesan bongsor, Aonic Free tetap kelihatan jauh lebih mirip seperti kebanyakan TWS yang beredar di pasaran.

Tipikal Shure, kualitas suara menjadi suguhan paling utama, dan Aonic Free pun menjanjikan perpaduan antara clarity yang sangat baik dengan bass yang mantap. Shure memang tidak menjelaskan secara merinci spesifikasi driver yang digunakan, tapi nama besar dan pengalaman panjang mereka di industri audio semestinya sudah bisa menjadi jaminan.

Koneksinya mengandalkan Bluetooth 5, dan perangkat sepenuhnya kompatibel dengan codec aptX. Cukup disayangkan Aonic Free tidak punya active noise cancellation (ANC). Sebagai gantinya, ia mengandalkan mekanisme isolasi suara pasif yang diyakini mampu memblokir suara hingga 37 desibel.

Menariknya, meski tidak dilengkapi ANC, Aonic Free tetap menawarkan fitur transparency mode (Environment Mode kalau dalam kamus Shure) yang dapat diaktifkan via satu klik tombol, sehingga pengguna dapat mendengar suara-suara di sekitarnya ketika dibutuhkan tanpa perlu melepas perangkat dari telinga. Intensitas fitur transparency ini juga dapat diatur melalui aplikasi ShurePlus Play di smartphone.

Dalam satu kali pengisian, baterai Aonic Free diklaim bisa tahan sampai 7 jam pemakaian, sementara charging case-nya siap mengisi ulang sebanyak dua kali, memberikan total daya tahan baterai selama 21 jam. Shure tidak lupa menyematkan fitur fast charging; pengisian selama 15 menit saja sudah cukup untuk menenagai perangkat selama 1 jam pemakaian.

Di Amerika Serikat, Shure Aonic Free saat ini telah dipasarkan seharga $199, atau kurang lebih sekitar 2,8 jutaan rupiah. Cukup terjangkau jika dibandingkan dengan deretan earphone kelas audiophile-nya yang biasa dijual di kisaran 8-9 jutaan rupiah.

Sumber: Engadget dan Shure.

Kompilasi Review Call of Duty: Vanguard: Sensasi Perang Dunia II dengan Sudut Pandang Berbeda.

Call of Duty: Vanguard merupakan game terbaru untuk seri Call of Duty, yang dirilis pada 5 November 2021. Seri ini merupakan seri ke-18 dan mengangkat tema perang dunia kedua.

Setelah beberapa hari dirilis, beberapa media telah mengeluarkan pendapat mereka mencoba Call of Duty: Vanguard, baik kesan positif maupun catatan di beberapa aspek. Game ini mampu menyeimbangkan keakuratan sejarah dengan penggunaan narasi fiksi yang kuat.

Alur cerita kuat yang mampu mengenalkan beragam karakter dengan apik

sumber: Call of Duty: Vanguard

Seperti game Call of Duty yang lain, Call of Duty: Vanguard memiliki mode single-player dan multiplayer. Pada mode single-player-nya, pemain akan bermain di tahun 1945, tepatnya saat penghujung perang dunia kedua. Di sini pemain akan bertemu dengan empat tokoh yang nantinya dapat dimainkan. Tokoh-tokoh tersebut memiliki beragam latar belakang, dengan negara asal, jenis kelamin, dan ras yang berbeda.

Nantinya, mereka berempat akan tertangkap saat menjalankan sebuah misi, dan akan bertemu dengan tokoh antagonis, yang bernama Hermann Wenzel Freisinger, seorang perwira Nazi yang arogan dan ambisius. Sembari keempat tentara tersebut diintrogasi, pemain akan diberikan flashback, mengenai latar belakang dan masa lalu mereka satu per satu. Di dalamnya, akan diceritakan kehebatan mereka untuk mendapatkan predikat Special Forces.

VentureBeat menceritakan bahwa cerita ini yang menjadi daya tarik bagi pemain untuk membangkitkan motivasi untuk bermain multiplayer. Hal tersebut merupakan sebuah tujuan yang bagus bagi sebuah campaign single-player.

Bahkan PCGamesN memberikan kredit kepada penulis cerita Call of Duty: Vanguard, karena mampu menggambarkan Nazi dengan perspektif yang berbeda.

Nazi di game biasanya dipotretkan sebagai sebuah kelompok angkuh yang senang menyiksa tahanan. Namun di game ini, Nazi dicitrakan sebagai orang-orang rasis yang menjijikkan. Hal tersebut sangat cocok, saat ditabrakkan dengan keempat tokoh sebelumnya, yang sangat beragam.

Bermain di beragam situasi dengan karakter berbeda-beda

Seperti yang telah dibahas sebelumnya, pemain akan berkesempatan untuk bermain dengan keempat tentara utama, yang tidak hanya memiliki perbedaan latar belakang, namun juga spesialisasi dan kemampuan khusus.

Selain itu melalui flashback masing-masing tokoh, pemain akan dibawa ke berbagai medan perang, dengan situasi yang berbeda, tanpa menarik plot cerita terlalu jauh. Hal tersebut memungkinkan pemain mencicipi sedikit suasana perang yang khusus, serta mencoba kemampuan masing-masing tokoh.

sumber: Call of Duty: Vanguard

Walaupun masing-masing tokoh mendapatkan highlight yang merata, IGN, GameSpot, dan VentureBeat sepakat bahwa cerita Polina Petrova lah yang memberikan kesan paling kuat. Ia merupakan seorang perawat Rusia yang menjadi seorang penembak jitu. Sosoknya terinspirasi dari Lyudmila “Lady Death” Pavlichenko, seorang pahlawan dari Uni Soviet.

Menurut PCGamesN, misi yang diberikan pada Call of Duty: Vanguard merupakan yang terbaik untuk seri Call of Duty. Perjalanan pemain akan dibagi ke beberapa fase melalui berbagai medan pertempuran.

Namun demikian, VentureBeat memberikan sedikit catatan untuk mode flying-nya. Mereka menyatakan mengalami kendala saat menjalankan misi pesawat tempur. Masalah tersebut adalah mereka mendapatkan adanya delay saat menekan tombol dan aksi di layar, yang menyebabkan masalah sinkronisasi feeling bermain.

Mereka juga menyatakan bahwa mereka kesulitan untuk menjatuhkan pesawat tempur lawan, dikarenakan banyaknya getaran, yang menyebabkan susahnya mengarahkan target. Permasalahan tersebut mereka alami juga di PlayStation 5, meskipun dengan kondisi berbeda, seperti terjadinya banyak aksi di medan perang.

Visualisasi Nuansa Perang yang Mendetail

sumber: Call of Duty: Vanguard

Sledgehammer, selaku Developer dari Call of Duty: Vanguard, memberikan usaha terbaik mereka, tak terkecuali di bagian grafisnya. Mereka mampu mendeskripsikan, bagaimana rasanya berada di posisi tentara yang ada di medan perang, khususnya perang dunia kedua.

VentureBeat menilai Call of Duty: Vanguard bak seorang sinematografer yang mendesain sebuah game. Detail yang diberikan sangat luar biasa. Pemain akan disuguhkan berbagai pemandangan dan efek ambiens kehidupan seperti sekumpulan burung yang terbang, menjadikan pengalaman bermain terasa lebih realistis.

IGN berpendapat bahwa facial animations di Call of Duty: Vanguard sangatlah mengesankan. Tidak banyak game yang dapat menyamai kualitas game ini, khususnya mengenai kualitas grafis setiap cutscene-nya. Selain grafis, IGN juga memuji sound design-nya juga.

Multiplayer seru, bermain dengan sesama player atau melawan Zombie

Call of Duty: Vanguard memberikan 20 map, dengan 16 total map multiplayer dan ditambah dengan beberapa mode unik, seperti mode Zombies dan Patrol Mode. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, campaign single-player-nya sangat menggugah semangat pemain untuk mencoba mode Multiplayernya.

Di mode Zombies. narasi yang dibawakan selaras dengan kelompok Nazi, yang identik dengan okultisme dan sering melakukan percobaan sadis. Atmosfer yang dibangun terasa menyeramkan, ditambah dengan suasana kota tua yang ditinggali banyak Zombie.

Bagi PCGamesN, mode Zombies sangatlah mengejutkan. Ia merasa bahwa mode tersebut cukup mengecoh, karena mudah di awal, namun tingkat kesulitannya dengan cepat meningkat. Di mode ini, pemain akan memulai misi di alun-alun Stalingrad, lalu pemain akan melewati beberapa portal untuk menumpas Zombie.

Penutup

sumber: Call of Duty: Vanguard

Sebagai game Call of Duty, Call of Duty: Vanguard masih dapat dikatakan lumayan bagus. Game ini cocok bagi para penggemar serial Call of Duty yang sedang menanti kelanjutan dari Modern Warfare. Hal serupa diungkapkan oleh Wesley Yin-Poole dari Eurogamer. Ia berpendapat bahwa Vanguard merupakan game filler yang menyenangkan, namun kurang berkesan.

Team Secret dari Malaysia Berhasil Menangi PMPL SEA Championship Season 4 2021

Setelah berlangsung selama satu bulan, gelaran PMPL SEA Championship Season 4 akhirnya berakhir. Team Secret dari Malaysia sukses memenangi turnamen terbesar PUBG Mobile di Asia Tenggara ini. Team Secret berhasil tampil menjadi kuda hitam dengan mengungguli lawan-lawan mereka di babak finals yang berlangsung selama 3 hari tersebut.

Team Secret berhasil mengumpulkan total poin sebanyak 202 poin dan 4 Winner-Winner Chicken Dinner dari 15 round yang dipertandingkan. Team Secret unggul jauh atas tim di posisi kedua yakni Bigetron RA dengan poin akhir sebesar 164 poin dan 3 Winner-Winner Chicken Dinner. Sementara tim yang berhasil menempati posisi ketiga klasemen ada FaZe Clan dari Thailand dengan 145 poin dan 1 Winner-Winner Chicken Dinner.

Penampilan impresif Team Secret dalam memenangi PMPL SEA Championship Season 4 mengejutkan banyak pihak. Hal ini karena Team Secret merupakan tim yang tidak diunggulkan dalam turnamen ini. Tim-tim dari negara lainnya seperti Bigetron RA dari Indonesia, FaZe Clan dari Thailand, atau bahkan D’Xavier Vietnam lebih diunggulkan untuk menjadi juara.

Selain itu, penampilan Team Secret di babak league juga cukup buruk. Team Secret hanya mampu menempati posisi 16 atau posisi terakhir untuk lolos ke babak finals. Namun, Team Secret malah tampil bak kesetanan di babak finals dengan menempati posisi atas setiap round yang dijalani. Poin kill yang didapat wakil dari Malaysia tersebut juga cukup tinggi. Oleh karena itu mereka berhasil unggul jauh dari lawan-lawannya.

Meskipun hanya mampu menempati posisi runner-up, namun akhirnya Bigetron RA mampu bangkit juga. Zuxxy dan kawan-kawan sempat kesulitan dalam mengarungi turnamen di musim 2021 ini termasuk PMPL SEA Championship 2021. Untungnya, Luxxy dinobatkan sebagai MVP di babak finals PMPL SEA Championship 2021 ini.

PMPL SEA Championship 2021 sendiri sukses digelar secara online pada 12 Oktober hingga 7 November 2021 kemarin. Turnamen ini diikuti oleh 20 tim PUBG Mobile terbaik dari negara-negara Asia Tenggara dan memperebutkan total hadiah sebesar US$200.000 atau sekitar Rp2,8 miliar. Turnamen PMPL SEA Championship 2021 juga menjadi penentu siapa wakil Asia Tenggara yang akan berlaga dalam turnamen PUBG Mobile tingkat internasional bertajuk PUBG Mobile Global Championship (PMGC) 2021.

Garena Sebut Tidak Akan Buru-buru Bawa Free Fire MAX ke Ranah Esport

Garena International akhirnya merilis versi terbaru dari game battle royale populernya dengan judul Free Fire Max. Dirilis pada 28 September 2021 lalu, game terbaru ini menawarkan berbagai peningkatan di berbagai aspek mulai dari grafis hingga gameplay.

Mengingat Free Fire original sangat populer dan memiliki skema esport yang cukup berkembang, maka tidak mengherankan bahwa banyak fans yang mempertanyakan apakah Garena juga akan segera mengembangkan ekosistem esports untuk game terbarunya tersebut.

Lewat pernyataan yang disampaikan oleh Garena kepada media Dot Esports melalui email, Garena memberikan jawaban bahwa mereka masih belum memiliki rencana segera untuk memasukkan Free Fire Max ke dalam turnamen esport. Mereka mengungkapkan bahwa Garena akan tetap mempertahankan Free Fire original sebagai game resmi untuk turnamen.

Image Credit: Garena

Sayangnya Garena tidak memberikan penjelasan lebih lanjut terhadap keputusan tersebut. Apalagi Free Fire MAX telah mendukung crossplay yang memungkinkan akun pengguna Free Fire digunakan dalam Free Fire MAX, sehingga para pemain tidak akan kehilangan semua kosmetik yang sudah dimiliki. Plus game terbarunya ini memang tidak menawarkan improvisasi  terhadap gameplay kompetitifnya.

Dalam perjalanannya, Free Fire memang memiliki pasarnya tersendiri, terutama bagi para gamer mobile yang memiliki smartphone dengan spesifikasi rendah. Hal tersebut membuat game ini populer di negara-negara berkembang seperti Indonesia, India, dan juga negara-negara Amerika Latin.

Meskipun tidak akan digunakan dalam pertandingan, namun Free Fire MAX disebut akan digunakan sebagai platform live streaming dari turnamen esport Free Fire. Pasalnya, Free Fire Max menyajikan pengalaman menonton yang lebih baik lewat grafis yang telah ditingkatkan.

Setelah dirilis sekitar satu bulan, Free Fire Max tercatat telah diunduh sebanyak 50 juta lebih di Google Play. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa Free Fire Max ini tetap menarik minat banyak gamer, meskipun memang masih kalah jauh dibandingkan versi original Free Fire yang telah diunduh lebih dari 1 milyar kali.

Free Fire Max juga memiliki jalan yang panjang untuk menyamai versi originalnya yang bahkan berhasil menjadi game keenam dalam daftar game dengan pendapatan terbesar di dunia pada tahun ini.

Zynga Rilis FarmVille 3 untuk iOS dan Android, Pemasukan Wild Rift Tembus US$150 Juta

Zynga meluncurkan FarmVille 3 untuk iOS dan Android pada minggu lalu. Sementara itu, Sensor Tower mengungkap, Harry Potter: Magic Awakened berhasil mendapatkan US$228 juta hanya dalam waktu 2 bulan sejak dirilis. Dalam laporan keuangan terbarunya, Nintendo menyebutkan bahwa mereka berhasil menjual 8,3 juta Switch dalam 6 bulan. Namun, mereka menurunkan perkiraan penjualan Switch di masa depan.

Zynga Rilis FarmVille 3 untuk iOS dan Android

Zynga baru saja meluncurkan FarmVille 3 untuk iOS dan Android. Salah satu fitur dalam game tersebut adalah animal husbandry. Melalui fitur itu, para pemain akan bisa mengawinkan binatang ternak. Selain itu, Marie — yang menjadi pekerja ladang di FarmVille 2 — juga akan hadir kembali di FarmVille 3. Zynga mengatakan, selain Marie, pemain akan menemukan beberapa pekerja ladang lain. Masing-masing pekerja ladang akan memiliki skills dan cerita yang berbeda-beda. Beberapa fitur lain yang ada di FarmVille 3 antara lain kendali cuaca, ladang yang bisa dikustomisasi, serta fitur co-op untuk bertukar hasil bercocok tanam, lapor VentureBeat.

2 Bulan Setelah Rilis, Harry Potter: Magic Awakened Dapatkan $228 Juta

Total pemasukan Harry Potter: Magic Awakened dari App Store dan Play Store telah menembus US$228 juta, menurut data dari Sensor Tower. Padahal, game itu baru diluncurkan dua bulan lalu. Mobile game tersebut diluncurkan oleh NetEase pada 9 September 2021 di beberapa negara Asia, termasuk Tiongkok, Hong Kong, Taiwan, dan Macau. Sekarang, game itu telah menjadi mobile game dari franchise Harry Potter dengan pemasukan terbesar kedua, menurut laporan GamesIndustry.

Harry Potter: Magic Awakened jadi game Harry Potter terlaris kedua.

Sebagai perbandingan, mobile game Harry Potter dengan pemasukan tertinggi adalah Hogwarts Mystery dari Jam City. Sejak diluncurkan pada April 2018, game tersebut telah mendapatkan US$342 juta. Sementara itu, mobile game Harry Potter yang punya pemasukan terbesar ketiga adalah Harry Potter: Puzzle & Spells dari Zynga. Diluncurkan pada September 2020, pemasukan game itu kini mencapai US$135 juta.

Dalam 6 Bulan, Nintendo Jual 8,3 Juta Switch

Nintendo berhasil menjual 8,3 juta Switch dalam kurun waktu 6 bulan, yaitu sejak Maret hingga September 2021. Dalam laporan keuangan terbarunya, perusahaan Jepang itu mengungkap, total pemasukan mereka mencapai US$6,73 miliar, naik dari US$5,46 miliar pada periode yang sama tahun lalu. Sementara keuntungan perusahaan naik dari US$1,5 miliar menjadi US$1,86 miliar.

Walau pemasukan mereka naik, Nintendo memutuskan untuk menurunkan estimasi penjualan Switch untuk tahun fiskal ini, yang berakhir pada 31 Maret 2022. Sebelum ini, mereka memperkirakan bahwa angka penjualan Switch  akan mencapai 25,5 juta unit. Sekarang, angka itu turun menjadi 24 juta unit, lapor VentureBeat.

Niantic Bakal Tutup Harry Potter: Wizards Unite di 2022

Developer Niantic mengumumkan bahwa mereka akan menutup Harry Potter: Wizards Unite pada Januari 2022. Dalam sebuah blog post, mereka menyebutkan, game AR tersebut akan dihapus dari App Store, Play Store, dan Galaxy Store per 6 Desember 2021. Namun, game itu masih akan bisa dimainkan hingga 31 Januari 2022, lapor GamesIndustry. Selain itu, Niantic juga berencana untuk menutup game lain, yaitu Catan: World Explorers.

Niantic justru memutuskan untuk menutup Harry Potter: Wizards Unite.

“Tidak semua game harus beroperasi selamanya,” tulis Niantic. “Tujuan kami membuat Harry Potter: Wizards Unite adalah untuk menampilkan sihir dari dunia Harry Potter pada jutaan orang ketika mereka keluar dari rumah dan menjelajah lingkungan mereka. Kami berhasil merealisasikan hal tersebut: kami menampilkan cerita yang telah berlangsung selama dua tahun. Dan sebentar lagi, cerita itu akan berakhir.”

Pemasukan League of Legends: Wild Rift Tembus US$150 Juta

Sejak diluncurkan pada Oktober 2020, League of Legends: Wild Rift dari Riot Games telah mendapatkan pemasukan sebesar lebih dari US$150 juta, berdasarkan data dari App Annie. Dua negara yang memberikan kontribusi terbesar pada pemasukan Wild Rift adalah Amerika Serikat dan Brasil.

Wild Rift berhasil mendapatkan US$150 juta dalam waktu 370 hari. Sebagai perbandingan, Honor of Kings dari Tencent mencapai pencapaian tersebut dalam waktu 249 hari, sementara Arena of Valor 543 hari. Mobile MOBA lain, Mobile Legends: Bang Bang membutuhkan 670 hari untuk mendapatkan pencapaian itu, menurut laporan GamesIndustry.

10 Headset Gaming Wireless Pilihan yang Bisa Dibeli di Indonesia

Dibanding keyboard atau mouse, headset nirkabel mungkin bisa memberikan nilai praktis yang lebih besar. Contoh sederhana saja, seandainya kita hendak buang air di tengah-tengah sesi gaming, headset-nya bisa tetap kita pakai selagi menuju ke toilet. Keyboard dan mouse di sisi lain pasti akan tetap kita tinggal di atas meja, mau wired ataupun wireless.

Dari situ tidak berlebihan seandainya headset wireless menjadi prioritas buat kebanyakan gamer. Yang mungkin jadi pertanyaan adalah, apa saja faktor yang harus diperhatikan dalam memilih sebuah headset gaming wireless?

Supaya tidak kehilangan nilai praktisnya, sebuah headset gaming wireless haruslah mempunyai daya tahan baterai yang cukup awet dan koneksi yang stabil. Karena kalau dua aspek itu jelek, maka perangkat malah bisa jadi lebih merepotkan ketimbang versi berkabelnya.

Namanya produk audio, kualitas suaranya tentu juga harus baik. Tanpa perlu basa-basi terlalu panjang, berikut adalah 10 headset gaming wireless pilihan yang bisa Anda beli di Indonesia.

1. Razer BlackShark V2 Pro

Berbekal driver TriForce Titanium 50 mm yang sangat cekatan mengolah sinyal audio di tiga tingkatan frekuensi secara terpisah (bass, mid, treble), BlackShark V2 Pro menawarkan kualitas suara terbaik dari seluruh jajaran perangkat audio milik Razer. Belum lagi dukungan teknologi THX Spatial Audio untuk membantu menyempurnakan positioning di berbagai judul game kompetitif.

Dalam sekali charge, headset seharga Rp2.999.000 ini bisa beroperasi sampai 24 jam nonstop. Desainnya tampak premium sekaligus fungsional, dengan sebuah kenop putar di sisi kiri untuk mengatur volume. Selain hitam, ia juga tersedia dalam warna putih.

Link pembelian: Razer BlackShark V2 Pro

2. Razer Barracuda X

Kalau BlackShark V2 Pro terasa kemahalan, Barracuda X yang dibanderol seharga Rp1.699.000 ini bisa jadi alternatif. Keunikannya terletak pada dongle USB-C yang disertakan dalam paket pembeliannya, yang tak hanya kompatibel dengan PC atau PlayStation, melainkan juga Nintendo Switch dan sejumlah perangkat Android.

Di angka 250 gram, bobotnya termasuk ringan untuk ukuran headset gaming nirkabel, dan Razer pun tak lupa membekalinya dengan bantalan telinga berlapis kain breathable agar perangkat bisa lebih nyaman lagi digunakan dalam durasi yang lama. Baterainya sendiri diklaim tahan sampai 20 jam per charge.

Link pembelian: Razer Barracuda X

3. Logitech G Pro X Wireless

Sebagai penawaran paling high-end dari Logitech, headset ini menjanjikan kualitas suara yang sangat baik lewat sepasang driver Pro-G 50 mm miliknya. Dengan banderol Rp2.799.000, tidak mengherankan apabila headset ini menggunakan perpaduan bahan baja dan aluminium pada kerangkanya.

Selain suara yang pengguna dengar, G Pro X Wireless juga menempatkan prioritas ekstra pada suara yang ditangkapnya. Berbekal integrasi teknologi Blue Vo!ce, kinerja mikrofonnya bisa diutak-atik dengan opsi pengaturan yang sangat merinci, sangat cocok buat yang ingin suaranya terdengar profesional. Terkait baterainya, ia hanya perlu di-charge setiap 20 jam sekali.

Link pembelian: Logitech G Pro X Wireless

4. Logitech G733 Lightspeed

Tidak bisa dimungkiri, penampilan yang stylish merupakan salah satu nilai jual utama dari headset ini. Kenyamanan juga jadi faktor lain yang diutamakan, dengan karet suspensi yang menggantikan bantalan agar pengguna tidak merasa bagian kepalanya terlalu terbebani.

Label “Lightspeed” pada namanya merujuk pada teknologi nirkabel yang digunakan, yang tak cuma menawarkan latensi yang rendah, tetapi juga jangkauan koneksi yang jauh (maksimal 20 meter) dan konsumsi daya yang efisien. Dalam sekali pengisian, baterainya cukup untuk 29 jam pemakaian, atau sampai 20 jam kalau lampu RGB-nya dibiarkan menyala terus.

Link pembelian: Logitech G733 Lightspeed

5. Logitech G435 Lightspeed

Headset gaming nirkabel tidak harus mahal, dan perangkat ini adalah bukti nyatanya. Dijual seharga Rp929.000 saja, headset ini menawarkan koneksi wireless 2,4 GHz (Lightspeed) dan Bluetooth sekaligus. Murah tapi fiturnya tetap lengkap, kira-kira begitu premis utama yang disuguhkan oleh headset ini.

Bobotnya sangat ringan di angka 165 gram, sementara baterainya cukup untuk pemakaian selama 18 jam per charge. Satu hal yang terkesan tidak umum dari headset ini adalah, ketimbang mengandalkan boom mic, ia mengemas mikrofon yang tertanam langsung di bagian earcup.

Perangkat ini kabarnya akan dijual mulai bulan November 2021 ini juga, tapi masih belum tersedia saat artikel ini ditayangkan. Jadi, pantau terus saja official store Logitech agar tidak kehabisan.

6. HyperX Cloud II Wireless

Desainnya mungkin kelihatan agak kuno jika dibandingkan dengan headset lain di artikel ini, akan tetapi itu berarti Cloud II Wireless sudah sangat teruji perihal kenyamanan dan ketahanan, terutama jika melihat popularitas versi berkabelnya selama ini.

Dipadukan dengan kinerja audio yang mumpuni dan daya tahan baterai hingga 30 jam pemakaian, wajar apabila headset ini kerap menjadi rekomendasi para reviewer. Harganya? Rp2.490.000.

Link pembelian: HyperX Cloud II Wireless

7. Corsair HS80 RGB Wireless

Tren spatial audio terus bertambah populer selama tahun 2021 ini, dan produsen periferal gaming pun dengan cepat beradaptasi. Lihat saja penawaran terbaru Corsair ini, yang datang membawa dukungan teknologi Dolby Atmos dan Tempest 3D AudioTech milik PlayStation 5 sekaligus.

Kinerja audionya sendiri disokong oleh sepasang driver berdiameter 50 mm, sementara baterainya cukup untuk penggunaan selama 20 jam dalam sekali pengisian. Tertarik? Sediakan modal sebesar Rp2.099.000.

Link pembelian: Corsair HS80 RGB Wireless

8. SteelSeries Arctis 1 Wireless

Seperti halnya Barracuda X dari Razer, Arctis 1 Wireless juga datang bersama dongle USB-C sehingga ia dapat terhubung ke berbagai jenis perangkat tanpa harus terkendala latensi tinggi yang bisa didapat jika mengandalkan Bluetooth. Harganya pun juga nyaris sama persis: Rp1.695.000.

Meski cukup terjangkau, Arctis 1 Wireless tetap menjanjikan kualitas suara yang setara dengan kakak-kakaknya yang lebih mahal berkat penggunaan driver 40 mm yang sama. Buat para pemilik PS5, SteelSeries memastikan bahwa headset ini sepenuhnya kompatibel dengan teknologi 3D audio milik konsol tersebut.

Link pembelian: SteelSeries Arctis 1 Wireless

9. Cooler Master MH670

Dijual seharga Rp1.490.000, Cooler Master MH670 menawarkan berbagai keunggulan seperti driver 50 mm, desain yang sleek, dan daya tahan baterai sampai 25 jam.

Perangkat mengandalkan dongle USB-A standar, akan tetapi Cooler Master cukup murah hati dan menyertakan adaptor USB-C, sehingga ia juga bisa digunakan bersama sejumlah perangkat Android ataupun Nintendo Switch.

Link pembelian: Cooler Master MH670

10. JBL Quantum 800

Paling unik di antara yang lain, JBL Quantum 800 hadir membawa fitur active noise cancellation (ANC) untuk mengeliminasi suara di sekitar yang menganggu secara lebih efektif lagi. Sayang itu berarti daya tahan baterainya juga harus sedikit dikorbankan hingga menjadi 14 jam per charge.

Selain di PC, JBL Quantum 800 juga dapat digunakan di smartphone berkat dua tipe koneksi nirkabel yang diusungnya: 2,4 GHz via dongle atau Bluetooth 5.0. Ukuran headset ini cukup bongsor, jadi tidak mengherankan jika JBL menyematkan driver berdiameter 50 mm ke dalamnya. Perangkat saat ini bisa dibeli seharga Rp3.039.200.

Link pembelian: JBL Quantum 800

Moonton Bakal Gelar M3 World Championship di Singapura, Cloud9 Gandeng Serena Williams

League of Legends World Championships 2021 telah berakhir pada akhir pekan lalu, Edward Gaming, tim asal Tiongkok, keluar sebagai juara. Kemenangan tersebut disambut dengan meriah oleh fans Tiongkok. Pada Minggu lalu, Moonton juga mengumumkan bahwa M3 World Championship akan diadakan pada Desember 2021 di Singapura. Kompetisi itu menawarkan total hadiah hingga hampir tiga kali lipat dari M2. Sementara itu, Riot Games mengungkap bahwa divisi esports mereka masih belum mendapatkan untung. Namun, mereka menganggap bahwa hal itu bukanlah masalah.

M3 World Championship Bakal Diadakan di Singapura

Moonton mengumumkan bahwa Mobile Legends M3 World Championship bakal digelar di Singapura pada 6-19 Desember 2021. Kompetisi itu akan mengadu 16 tim Mobile Legends terbaik dari seluruh dunia, termasuk tim-tim dari Timur Tengah, Amerika Utara, Amerika Latin, dan Turki. Skena esports Mobile Legends di kawasan tersebut relatif lebih baru jika dibandingkan dengan skena Mobile Legends di Indonesia dan negara-negara tetangga.

Total hadiah dari M3 World Championship mencapai US$800 ribu, hampir tiga kali lipat dari total hadiah M2 World Championship, yang hanya menawarkan US$300 ribu. Menurut laporan Strait Times, M3 World Championship digelar dengan dukungan Singapore Tourism Board (STB).

Cloud9 Kerja Sama dengan Serena Williams

Organisasi esports asal Amerika Utara, Cloud9, baru saja mengumumkan kerja sama dengan pemain tennis legendaris, Serena Williams. Dengan bantuan Wolliams, Cloud9 akan mengubah program pengembangan anak muda mereka, Training Grounds, menjadi kegiatan ekstrakurikuler di sekolah. Dalam program tersebut, Williams akan mengisi sesi bertajuk “Training Grounds Champion’s Mindset”. Di sini, Williams akan menjelaskan perubahan pola pikir dan latihan yang membantunya untuk mengembangkan karir sebagai atlet profesional. Pelatihan tersebut juga akan mencakup tips untuk pemain esports muda, menurut laporan Esports Insider.

Cloud9 dan Serena Williams akan bekerja sama dalam Training Grounds. | Sumber: Esports Insider

Divisi Esports Riot Games Masih Belum Menghasilkan Untung

Divisi esports League of Legends belum memberikan untung untuk perusahaan. Hal ini diungkapkan oleh Head of Esports Riot Games, John Needham pada The Washington Post. Meskipun begitu, Needham mengatakan, Riot tidak keberatan dengan hal itu. Dia menjelaskan, dalam beberapa tahun belakangan, Riot tengah berusaha untuk menjadikan divisi esports sebagai bisnis mandiri yang berdiri secara terpisah. Namun, fokus dari bisnis esports itu bukanlah untuk mendapatkan untung bagi Riot, tapi untuk memastikan bahwa tim-tim profesional League of Legends bisa bertahan dan diuntungkan.

“Jika saya tidak bisa membuat esports sebagai bisnis yang menguntungkan untuk tim dan sponsor kami, kami tidak akan bisa bertahan lama,” kata Needham, seperti dikutip dari GamesIndustry. “Kami tengah memikirkan cara untuk membuat keseluruhan ekosistem esports menjadi menguntungkan.” Ketika Riot pertama kali mengadakan kompetisi esports, tujuan mereka memang bukan untuk mendapatkan untung, tapi sebagai alat marketing. Namun, sekarang, Needham berkata, Riot ingin agar operasi esports mereka setidaknya bisa balik modal.

Kemenangan EDG di League of Legends World Championships Disambut Meriah oleh Fans

Edward Gaming (EDG), tim asal Tiongkok berhasil mengalahkan DWG Kia asal Korea Selatan, di babak final League of Legends World Championships. Kemenangan EDG tersebut disambut dengan meriah oleh fans League of Legends di Tiongkok. EDG menjadi tim Tiongkok ketiga yang berhasil memenangkan Worlds. Sebelum ini, FunPlus Phoenix memenangkan Worlds pada 2019 dan Invictus Gaming pada 2018.

Edward Gaming berhasil bawa Summoner’s Cup ke Tiongkok. | Sumber: Twitter

“Semua orang berpikir bahwa mereka tidak akan menang,” kata fan esports, Jasmine Lu pada South China Morning Post. “Hampir semua perkiraan yang beredar menyebutkan bahwa mereka akan kalah. Jika saya masih kuliah, saya akan ikut merayakan kemenangan EDG. Kemengan itu membuktikan bahwa orang-orang yang meragukan kemampuan EDG salah”

Platform Latihan Esports untuk Siswa SMA Dapat Investasi US$1,85 Juta

Saat ini, semakin banyak sekolah yang menekuni esports. Menyadari hal ini, Gavin Lee, co-founder dari Gwoop, tertarik untuk menyediakan platform latihan/analisa esports untuk tim esports SMA. Dan hingga sekarang, Gwoop telah mendapatkan investasi sebesar US$1,85 juta. Tak hanya itu, mereka juga telah bekerja sama dengan sekitar 1.000 sekolah yang tersebar di 40 negara bagian Amerika Serikat, menurut laporan TechCrunch.

Dalam beberapa bulan belakangan, Gwoop membangun fitur yang disebut “Gwoop Teams”. Fitur tersebut memudahkan pelatih untuk mengatur sesi latihan para pemain asuhannya. Tak hanya itu, melalui Gwoop Teams, pelatih juga bisa memeriksa apakah para pemain memang melakukan latihan sesuai arahannya dan apakah performa para pemain mengalmai peningkatan seiring dengan waktu. Versi standar dari Teams bisa digunakan secara gratis. Melalui versi standar, pelatih akan bisa memasukkan data hingga 30 pemain dan 2 tim. Jika dirasa kurang, Gwoop menyediakan versi Team Plus, yang mencakup hingga 150 pemain dan menambahkan jumlah tim yang bisa dipantau. Biaya Team Plus adalah US$350 per tahun.