Aptera Paradigm Adalah Mobil Listrik Berpenampilan Unik dengan Panel Surya Terintegrasi

Tujuan utama mobil listrik diciptakan adalah untuk mengeliminasi emisi karbon yang selama ini dihasilkan oleh mesin bensin. Kendati demikian, di saat energi listriknya sendiri masih berasal dari sumber yang memanfaatkan batu bara sebagai bahan bakarnya, mungkin gagasan soal nol emisi itu masih belum dapat terwujud sepenuhnya.

Ceritanya bakal berbeda saat mobil listrik sudah bisa menciptakan energinya sendiri, dan kita sepertinya sedang dalam proses menanti tren baru itu terealisasikan. Tahun lalu, kita sempat membahas mengenai Lightyear One, sebuah mobil listrik dengan panel surya yang membentang dari kap mesin sampai ke penutup bagasi belakangnya.

Mobil tersebut memang belum mengaspal secara resmi, dan kalau melihat situasi pandemi yang tak kunjung berakhir, mungkin pengembangnya bakal sulit memenuhi target “awal 2021”. Namun Lightyear One bukanlah satu-satunya ‘mobil bertenaga surya’ yang diproyeksikan bakal hadir tahun depan. Di tempat lain, ada sebuah perusahaan bernama Aptera yang sedang mengejar target serupa.

Aptera bukanlah perusahaan baru. Aptera sudah didirikan sejak 2005, tapi mereka sempat bangkrut di tahun 2011. Barulah pada tahun 2019 Aptera dibentuk ulang oleh para pendiri aslinya, dan sekarang mereka sudah siap untuk memperkenalkan mobil pertamanya kepada publik: Aptera Paradigm.

Sepintas, wujudnya terkesan tidak umum. Rodanya cuma tiga, dan bentuknya mirip badan pesawat tanpa sayap, dan ini rupanya menjadi alasan di balik nilai koefisien hambatannya yang begitu kecil: 0,13. Menggunakan basis angka ini, Aptera optimis bahwa Paradigm hanya memerlukan energi listrik sebesar 100 Wh per milnya (1,6 km).

Dengan kata lain, pada varian yang dibekali baterai berkapasitas 100 kWh, jarak tempuhnya diyakini bisa mencapai angka 1.000 mil (1.600 km) per charge. Namun efisiensi baru sebagian dari cerita utuhnya, sebab Aptera Paradigm juga dibekali dengan kemampuan untuk menciptakan energinya sendiri, kurang lebih sama seperti Lightyear One itu tadi.

Metode yang diterapkan pun hampir sama, yakni dengan menambatkan panel surya pada atap mobil beserta kap bagian depan dan belakangnya. Dalam sehari – dengan asumsi cuaca tidak mendung dan matahari bersinar begitu terang – panel surya milik Aptera Paradigm diklaim bisa menghasilkan energi listrik yang setara dengan jarak tempuh 64 mil (± 103 km).

Tentunya ini bisa diartikan bahwa Aptera Paradigm bukan sepenuhnya mobil bertenaga surya dan masih perlu di-charge seperti biasa, tapi setidaknya kehadiran panel surya tersebut bisa membantu mengeliminasi rasa khawatir bahwa energi yang dimiliki mobil tidak akan cukup untuk mencapai tujuan, atau yang lebih dikenal dengan istilah keren “range anxiety“.

Proses charging-nya sendiri sangat cepat jika menggunakan DC fast charger; satu jam pengisian cukup untuk menempuh jarak 500 mil (800 km). Performanya pun juga memukau di atas kertas, dengan klaim akselerasi 0 – 100 km/jam dalam waktu 5,5 detik, atau 3,5 detik saja jika memilih varian yang berpenggerak semua roda.

Andai tidak meleset, Paradigm kabarnya bakal mulai diproduksi pada tahun 2021, dan Aptera sudah menerima pemesanan dari konsumen di Amerika Serikat mulai sekarang. Banderol harganya berada di kisaran $25.900 – $46.900. Tentu saja harga paling murah itu bukan untuk yang berkapasitas 1.000 kWh, melainkan 250 kWh.

Sumber: Car and Driver dan Aptera.

BMW Ungkap SUV Elektrik Baru, BMW iX

Masih ingat dengan mobil konsep bernama iNext yang BMW pamerkan dua tahun silam? Seperti yang sudah dijanjikan, mobil itu akhirnya bakal diproduksi secara massal sebagai sebuah mobil elektrik. Namun ada sedikit revisi pada namanya, yang kini dikenal sebagai BMW iX.

Secara estetika, iX banyak mempertahankan elemen futuristis yang diperkenalkan iNext. Beberapa bagian memang harus disederhanakan demi memudahkan tahap produksi, akan tetapi iX tetap kelihatan paling modern di antara mobil-mobil BMW lainnya.

Selain desain, hal lain yang paling mencolok dari fisik iX adalah ukurannya. Mobil ini besar, dengan panjang dan lebar setara SUV BMW X5, serta ukuran ban sekelas milik BMW X7. Kalau mengacu pada dimensi BMW X5 dengan panjang 4.922 mm dan lebar 2.004 mm, berarti iX bakal menjadi yang paling bongsor di antara kedua rivalnya yang juga berdarah Jerman, yakni Audi e-tron dan Mercedes-Benz EQC, sekaligus mendekati ukuran Tesla Model X.

Kalau eksteriornya terlihat agresif, interior iX malah terbilang kalem. Saking minimalisnya kabin iX, kita hanya akan menjumpai satu buah layar saja, meski memang layar itu menutupi lebih dari separuh dashboard-nya. Seperti biasa, layarnya dibagi menjadi dua: porsi kiri dengan bentang diagonal 12,3 inci sebagai panel instrumen, porsi kanan dengan dimensi 14,9 inci untuk sistem infotainment.

Dilihat sepintas, penampilan interiornya lagi-lagi tidak berbeda drastis dibanding versi konsepnya dulu. Teknologi “Shy Tech” yang diusung memang tidak secanggih yang dijanjikan sebelumnya, tapi BMW tetap berusaha semaksimal mungkin untuk menyamarkan sejumlah komponen interiornya sehingga terlihat membaur dengan material yang digunakan.

BMW membangun iX di atas platform mobil elektrik generasi kelimanya. Sepasang motor elektrik yang terpasang pada iX sanggup menghasilkan output daya maksimum lebih dari 370 kW (500 hp), dan untuk urusan akselerasi 0-100 km/jam, iX diyakini mampu mencatatkan waktu di bawah 5 detik.

Untuk baterainya, BMW masih enggan menyebut kapasitas persisnya, namun mereka bilang ada di kisaran 100 kWh. Baterai sebesar itu diperkirakan cukup untuk menenagai iX hingga menempuh jarak sekitar 482 kilometer dalam sekali pengisian, dan proses pengisiannya pun sangat cepat berkat dukungan teknologi DC fast charging.

Secara teknis, iX diklaim sanggup menerima asupan daya dengan output maksimum 200 kW. Dalam skenario ini, baterainya dapat terisi dari 10 sampai 80 persen dalam waktu kurang dari 40 menit. Kalau dilihat dari perspektif lain, iX sanggup menempuh jarak 120 km dalam setiap 10 menit charging.

Sebagai model flagship, BMW iX jelas terdengar menjanjikan. Sayang mobil ini baru akan diproduksi mendekati akhir 2021, dan sejauh ini juga belum ada informasi soal banderol harganya. Kalau boleh menebak, harganya bakal lebih mahal daripada BMW X5, yang sendirinya berada di kisaran $60.000.

Sumber: Electrek dan BMW.

Renault Pamerkan Konsep Mobil Elektrik Megane eVision, Siap Diproduksi Tahun Depan

Renault kembali memperkenalkan sebuah mobil konsep yang cukup menarik bernama Megane eVision. Menarik karena ia pada dasarnya merupakan gambaran dari masa depan seluruh lini mobil elektrik yang tergabung dalam aliansi Renault-Nissan-Mitsubishi.

Sepintas, mobil ini tampak begitu futuristis, dengan sejumlah inspirasi desain yang diambil dari konsep Renault Morphoz, serta mobil listrik terbaru Nissan, Ariya. Meski demikian, Renault memastikan bahwa fisik versi konsepnya ini 95 persen sama seperti versi produksinya nanti, yang dijadwalkan hadir pada akhir 2021.

Secara teknis, Megane eVision dibangun di atas platform Common Module Family-Electric Vehicle (CMF-EV) yang sama seperti Nissan Ariya. Wujudnya sepintas kelihatan seperti SUV, tapi Renault bilang ukurannya lebih menyerupai sebuah compact crossover. Perkara dimensi ini penting mengingat Megane sendiri adalah lini hatchback yang sudah berusia dua dekade lebih.

Kecil di luar, lapang di dalam, kira-kira seperti itu motto yang dipegang oleh Megane eVision, dan itu dicapai lewat dua hal. Yang pertama adalah wheelbase yang cukup panjang, persisnya sepanjang 2,7 meter. Kedua, lantai kabinnya sangat rendah berkat modul baterai yang tebalnya tidak lebih dari 11 cm.

Sayang sejauh ini Renault belum membeberkan foto interiornya, sehingga agak sulit mendapat gambaran terkait seberapa lega kabin Megane eVision jika dibandingkan dengan hatchback pada umumnya. Seandainya mobil ini benar-benar satu DNA seperti Nissan Ariya, semestinya kabinnya akan terkesan seperti lounge dengan tampilan yang minimalis dan sejumlah bagian yang modular.

Lalu untuk baterainya sendiri, meskipun tipis, kapasitasnya ternyata masih cukup lumayan di angka 60 kWh, serta kompatibel dengan teknologi fast charging dengan daya maksimum 130 kW. Jarak tempuhnya sendiri diprediksi mencapai 450 km per charge, tapi kemungkinan besar versi produksinya nanti bakal hadir dalam beberapa varian kapasitas baterai.

Baterai tersebut memasok tenaga untuk motor elektrik bertenaga 215 hp, dengan klaim torsi sebesar 300 Nm dan akselerasi 0-100 km/jam dalam waktu 8 detik. Kalau melihat segmentasinya, Renault Megane eVision pada dasarnya bakal bersaing langsung dengan VW ID.3.

Sumber: Engadget dan Renault.

Unreal Engine Kini Dipakai untuk Mengembangkan Sistem Infotainment Mobil

Sebagian besar dari kita mungkin tidak terlalu terkejut mengetahui peran Unreal Engine dalam proses produksi serial The Mandalorian. Namun saya yakin tidak ada yang menyangka game engine tersebut juga bisa dipakai untuk mengembangkan sistem infotainment milik mobil.

Kalau game Stardew Valley saja bisa dimainkan lewat dashboard milik mobil Tesla, semestinya skenario sebaliknya pun juga dapat diwujudkan. Menurut Epic Games sendiri, sebagian besar fungsionalitas yang dibutuhkan untuk menciptakan sistem human-machine interface (HMI) – istilah yang Epic pakai untuk sistem infotainment mobil – memang sudah tersedia di Unreal Engine sejak lama, sehingga pada dasarnya cuma tinggal dikemas secara lebih proper saja.

Apa yang perlu dilakukan Epic sekarang hanyalah menarik perhatian produsen mobil, dan rupanya mereka sudah punya satu klien besar: General Motors (GM). Mobil pertama yang akan hadir mengusung sistem infotainment yang dibuat menggunakan Unreal Engine ini adalah Hummer versi elektrik, yang sudah dijadwalkan untuk menjalani debutnya pada tanggal 20 Oktober mendatang.

Apa saja sebenarnya keuntungan memakai Unreal Engine untuk mengembangkan sistem infotainment mobil? Menurut Epic, salah satunya adalah bagaimana desainer bisa memiliki peran yang lebih besar dan tidak selamanya harus bergantung pada engineer. Jadi semisal tim desainer sedang menguji tampilan sistemnya di dashboard mobil, mereka juga bisa menerapkan sejumlah penyesuaian secara langsung di situ.

Lalu seandainya mereka sedang tidak punya akses ke prototipe mobilnya, tampilan sistemnya juga dapat dilihat melalui iPad atau tablet Android dengan mudah karena Unreal Engine memang merupakan sebuah software yang sifatnya cross-platform. Singkat cerita, Unreal Engine menawarkan peningkatan efisiensi dalam pengembangan sistem infotainment mobil.

Bagi kita sebagai konsumen, Unreal Engine juga dapat mendatangkan sejumlah keuntungan, seperti misalnya waktu loading awal sistem infotainment yang lebih cepat, sebab tidak semua porsi software-nya harus dimuat dari awal.

Tanpa harus terkejut, sistem infotainment yang ditenagai Unreal Engine juga tentu saja dapat menampilkan visual yang sangat berkualitas, dan ini cukup krusial dalam skenario seperti ketika sistem menampilkan kondisi 360° di sekitar mobil berbekal teknologi ADAS (advanced driver-assistance system) yang tersematkan.

Epic melihat potensi Unreal Engine sebagai development platform untuk sistem infotainment mobil ini bakal semakin besar ke depannya, persisnya ketika teknologi kemudi otomatis yang menyeluruh (Level 5) sudah benar-benar terwujudkan. Di titik itu, kelengkapan sistem hiburan bakal menjadi salah satu faktor penentu utama konsumen membeli mobil, sebab mereka tak lagi perlu menyetir dan ingin memanfaatkan waktu luangnya selama dalam perjalanan.

Entah itu streaming video, bermain video game, atau berkomunikasi via video call, fitur-fitur ini bakal menjadi incaran konsumen saat mobil sudah tak lagi dilengkapi setir, dan di situlah Epic melihat potensi besar pengaplikasian Unreal Engine.

Sumber: The Verge dan Epic Games.

Nissan RE-LEAF Adalah Mobil Tanggap Darurat Sekaligus Sumber Listrik Dadakan

Tahukah Anda bahwa sejak tahun 2011, mobil elektrik Nissan LEAF telah dimanfaatkan sebagai sumber listrik darurat ketika ada bencana alam yang melanda di Jepang? Kita tahu bahwa Jepang memang bisa dibilang langganan bencana alam, dan sering kali jaringan listrik di lokasi akan terputus selama 24 – 48 jam sebelum akhirnya normal kembali.

Dalam rentang waktu tersebut, adanya sumber listrik darurat jelas akan sangat membantu proses penanganan di area yang terkena musibah, dan di sinilah sebuah mobil elektrik bisa ikut mmpunyai andil yang besar. Nissan pun memutuskan untuk mengeksekusi ide ini di level yang lebih tinggi lagi.

Dari situ lahirlah Nissan RE-LEAF, sebuah prototipe mobil yang secara spesifik dirancang untuk kebutuhan tanggap darurat. Tidak seperti LEAF standar, RE-LEAF telah didesain agar sanggup bermanuver di jalanan yang dipenuhi oleh puing-puing atau reruntuhan bangunan. Berbekal suspensi yang lebih tinggi dan ban tipe offroad, RE-LEAF pada dasarnya siap melahap segala medan.

Modifikasi lainnya mencakup perangkat-perangkat yang diperlukan untuk menjadi semacam command center dadakan. Namun senjata utama RE-LEAF terletak pada colokan charger-nya yang bersifat bidirectional, yang bisa menerima asupan listrik sekaligus menyalurkan energi listrik.

Jadi selagi jaringan listrik di lokasi terputus, RE-LEAF dengan baterai 62 kWh-nya dapat menyuplai daya untuk beberapa perangkat sekaligus seperti ventilator, lampu sorot, bor jackhammer, dan lain sebagainya yang umum dipakai oleh regu penyelamat.

Ketika jaringan listrik sudah kembali normal, tentu saja RE-LEAF dapat di-charge dan kembali ke fungsi asalnya sebagai medium transportasi tanpa emisi. Menariknya, colokan bidirectional ini sebenarnya sudah menjadi fitur standar Nissan LEAF sejak generasi pertamanya diperkenalkan di tahun 2010.

RE-LEAF sejatinya dibuat untuk mendemonstrasikan potensi mobil elektrik, spesifiknya Nissan LEAF dalam konteks ini, sebagai produk yang sangat fleksibel. Jadi kalau memang terpaksa harus menjadi sumber listrik dadakan untuk suatu rumah berukuran standar di dataran Eropa, LEAF bisa menjalankan tugas tersebut selama 6 hari berturut-turut sebelum akhirnya kehabisan daya.

Di saat produsen mobil elektrik lain saling berlomba dalam hal efisiensi, menurut saya sangat menarik melihat Nissan mengalihkan fokusnya ke aspek yang tidak kalah penting seperti ini. Sebuah mobil elektrik yang dapat menempuh jarak di atas 500 km dalam sekali charge jelas terdengar mengesankan, tapi bisakah mobil itu menyumbangkan sebagian energinya di saat sekitarnya membutuhkan?

Sumber: Nissan via SlashGear.

Siap Diproduksi, Polestar Precept Adalah Mobil Elektrik Pertama Polestar yang Tidak Mewarisi DNA Volvo

Februari lalu, Polestar memperkenalkan sebuah mobil konsep yang sangat menarik bernama Precept. Saat diumumkan, Precept disebut bakal mendikte filosofi desain yang bakal Polestar terapkan pada mobil-mobil mereka ke depannya.

Namun ternyata sub-brand Volvo tersebut bohong. Bukannya menjadi indikator masa depan Polestar, Precept justru akan diproduksi secara massal. Respon publik yang sangat positif terhadap Precept rupanya berhasil mendorong Polestar untuk merealisasikan mobil elektrik yang sangat istimewa ini.

Ada beberapa alasan menurut saya yang membuat Polestar Precept spesial. Yang pertama, ia merupakan mobil perdana Polestar dengan desain yang orisinal, tidak seperti Polestar 1 ataupun Polestar 2 yang memakai mobil besutan Volvo sebagai basisnya. Boleh dibilang, Precept adalah titik balik yang menandai lepasnya Polestar dari warisan DNA Volvo.

Kebetulan Precept memang tidak kelewat canggih seperti mobil konsep pada umumnya, terutama beberapa yang bahkan tidak memiliki setir sama sekali. Kendati demikian, setidaknya ada satu elemen desain yang membuat Precept terkesan futuristis, bahkan jika dibandingkan dengan mobil-mobil elektrik yang saat ini sudah mengaspal sekalipun: absennya spion dan kaca belakang.

Ya, spion kiri, kanan, dan tengahnya sudah ditukar dengan kamera. Berhubung tidak punya spion tengah, Precept pada akhirnya juga tidak memerlukan kaca belakang. Alhasil, ruang kepala bagi penumpang di kabin belakangnya pun bisa terasa lebih lega walaupun atapnya melandai seperti mobil coupé.

Lebih lanjut soal kabin, Precept menawarkan interior yang tidak kalah istimewa dari eksteriornya. Istimewa karena interiornya sepenuhnya vegan, alias tidak ada satu pun material yang berasal dari seekor hewan. Lapisan yang membalut joknya misalnya, terbuat dari hasil daur ulang botol plastik yang umum dipakai oleh produsen air mineral, sedangkan karpetnya menggunakan bahan yang berasal dari jaring-jaring nelayan.

Yang menarik, penekanan pada tema sustainability ini tidak semata untuk menunjukkan kepedulian terhadap bumi saja, melainkan juga menawarkan manfaat dari segi fungsionalitas. Contohnya adalah serat komposit besutan Bcomp, material unik lain yang juga Polestar gunakan pada panel pintu maupun sisi belakang jok milik Precept, yang terbukti lebih kokoh ketimbang plastik meskipun ternyata bobotnya jauh lebih ringan.

Secara estetika, interior Precept memang langsung menggambarkan nuansa minimalis khas Skandinavia. Seperti halnya Polestar 2, Precept turut mengandalkan sistem infotainment berbasis Android yang Polestar garap sendiri langsung bersama Google, meski tentu dengan beberapa pembaruan.

Satu fitur yang paling saya suka adalah pemanfaatan proximity sensor pada layar 15,5 inci yang ada di tengah dashboard-nya. Jadi dalam kondisi normal, layar ini akan menampilkan informasi seminimal mungkin demi tidak menjadi pengalih perhatian bagi sang pengemudi. Lalu ketika pengemudi atau penumpang depan mendekatkan tangannya dan hendak menyentuh layar, secara otomatis tampilan layarnya akan berubah dan menyajikan informasi tambahan, termasuk halnya tombol-tombol ekstra yang berukuran besar demi semakin memudahkan pengoperasian.

Bentuk layar yang vertikal juga sudah dipikirkan agar pengguna dapat menampilkan dua aplikasi sekaligus dalam ukuran yang proporsional, semisal Spotify dan Google Maps. Panduan navigasi turn-by-turn pada Precept juga secara otomatis akan ditempatkan di panel instrumen di balik lingkar kemudi ketimbang di layar tengahnya.

Terakhir, Precept turut mengemas sebuah sistem eye tracking di dashboard-nya yang berguna untuk memantau kesiagaan pengemudinya. Jadi seandainya sistem mendeteksi pengemudi mulai kelelahan, secara perlahan sistem akan mengambil alih kendali, mulai dari memberikan peringatan sampai menurunkan kecepatan mobil dengan sendirinya.

Mengenai performa, sayangnya Polestar sejauh ini masih bungkam; wajar mengingat Precept masih berstatus konsep sampai beberapa hari lalu. Pun begitu, setidaknya kita bisa melihat jarak roda depan dan belakang yang cukup panjang pada Precept, yang berarti ia menyimpan ruang yang cukup luas untuk menyimpan baterai. Kalau memang harus menebak, saya cukup yakin Precept bakal lebih efisien lagi ketimbang Polestar 2 yang diklaim sanggup menempuh jarak 500 km dalam sekali pengisian baterai 78 kWh-nya.

Sejauh ini Polestar belum bilang kapan tepatnya Precept bakal mulai diproduksi. Kemungkinan besar versi finalnya juga tidak akan memakai nama Precept, melainkan nama berbasis angka seperti dua mobil Polestar yang sudah dijual sekarang.

Via: CNET.

Sedan Elektrik Mewah Lucid Air Siap Mengaspal Tahun Depan

2021 nanti, Tesla Model S bakal kedatangan rival baru yang cukup berat bernama Lucid Air. Kalau namanya kedengaran familier, itu karena Anda sudah pernah membaca beritanya sejak tahun 2016 lalu, tepatnya ketika Lucid Air masih berstatus konsep karya eks karyawan Tesla.

Sekarang, Lucid Motors sudah siap memperkenalkan versi final Air yang akan diproduksi secara massal. Dilihat dari luar maupun dalam, penampilannya ternyata tidak jauh berbeda dari sketsa versi konsepnya ataupun prototipe yang sempat dikendarai oleh YouTuber Marques Brownlee di tahun 2017.

Bicara soal dimensi, Air rupanya sedikit lebih ringkas daripada Model S. Kendati demikian, interiornya masih terkesan sangat lapang. Berhubung ini merupakan mobil elektrik, bagasinya ada di belakang sekaligus depan, dan Lucid mengklaim bagasi depan Air adalah yang paling luas di antara mobil elektrik lain.

Satu elemen desain yang cukup menarik bisa kita dapati pada penutup bagasi depannya. Tampak ada dua ventilasi udara di situ meski tidak ada mesin di baliknya. Usut punya usut, lubang ini disiapkan untuk mengalirkan udara ke arah lampu LED-nya supaya tetap dingin, sekaligus meningkatkan aerodinamika Air secara keseluruhan.

Masuk ke dalam, kita akan langsung disambut oleh dashboard yang minimalis sekaligus futuristis. Untungnya tidak seminimalis mobil-mobil terbaru Tesla, sebab kita masih bisa melihat beberapa tombol dan tuas kendali di samping dua layar besarnya.

Layar yang pertama diposisikan persis di depan pengemudi dan dibagi menjadi tiga zona yang berbeda. Zona yang paling kiri adalah satu-satunya yang tidak dibekali panel sentuh, berfungsi untuk menampilkan berbagai indikator. Zona yang tengah punya peran seperti panel instrumen tradisional, menampilkan informasi-informasi esensial macam kecepatan, sisa jarak tempuh, dan lain sebagainya.

Zona yang paling kanan, yang berada di tengah dashboard, adalah yang menampilkan informasi navigasi serta multimedia. Kalau memerlukan akses yang lebih lengkap ke sistem infotainment mobil, pengemudi atau penumpang depan bisa memanfaatkan layar kedua yang berada di konsol tengah. Layar kedua ini retractable, yang berarti ia bisa disembunyikan saat sedang tidak diperlukan, atau saat hendak mengambil barang yang tersimpan di kompartemen di baliknya.

Secara keseluruhan, saya suka dengan interior mobil ini. Dashboard-nya terkesan jauh lebih familier daripada milik Tesla Model S, tapi di saat yang sama tidak melupakan aspek-aspek yang membuatnya pantas menjadi mobil masa depan. Salah satunya adalah sistem facial recognition, yang akan mengenali wajah pengemudi pada saat mobil dinyalakan, lalu langsung menetapkan opsi-opsi pengaturan sesuai preferensinya.

Beralih ke soal performa, di sini kita bisa paham mengapa mobil ini digadang-gadang sebagai ‘pembunuh’ Tesla. Varian termahalnya, yakni Lucid Air Dream Edition yang dibanderol mulai $169.000, mengemas hanya dua motor elektrik saja, satu di depan dan satu di belakang. Meski begitu, total output daya yang sanggup dihasilkannya mencapai angka 1.080 horsepower, dan akselerasi 0 – 100 km/jam bisa dicatatkannya dengan mudah dalam waktu 2,5 detik saja.

Lucid Air bisa digeber hingga mencapai top speed 270 km/jam. Semua angka ini sesuai dengan klaim awal ketika Air masih berwujud konsep. Yang meleset adalah angka-angka seputar efisiensi dayanya. Meleset dalam artian positif, sebab mobil ini ternyata jauh lebih irit lagi daripada yang diperkirakan empat tahun silam.

Jarak tempuh paling jauh ini bisa didapat melalui varian termahal kedua, yaitu Lucid Air Grand Touring yang dihargai $139.000. Varian ini tidak seberingas Dream Edition – tapi tetap masih sangat ngebut dengan total daya sebesar 800 hp – akan tetapi jarak tempuh maksimumnya mencapai angka 832 km dalam sekali charge.

Yang lebih mengesankan lagi adalah, baterai berkapasitas 113 kWh miliknya ini bisa diisi ulang dengan sangat cepat. Saat disambungkan ke jaringan DC Fast Charging, pengisian selama 20 menit sudah cukup untuk menyuplai daya yang setara dengan jarak tempuh 482 km. Dengan kata lain, 20 menit charging sudah bisa mengisi lebih dari separuh kapasitas baterainya. Anggap saja ini SuperVOOC tapi untuk mobil.

Lucunya, charger bawaan Lucid Air juga bersifat bi-directional, yang berarti mobil ini bisa menerima sekaligus menyalurkan energi listrik. Jadi seandainya diperlukan, Lucid Air dapat berperan sebagai genset dadakan untuk menyalurkan daya ke rumah yang aliran listriknya terputus.

Lalu bagaimana dengan kemampuan berkendara otomatisnya? Secara total, Lucid Air mengemas 32 sensor, termasuk halnya sensor ultrasonik, radar, maupun LIDAR beresolusi tinggi. Dipadukan semuanya, Lucid Air mampu mewujudkan autonomous driving Level 2, setara dengan yang dicatatkan Tesla Autopilot sejauh ini. Ke depannya, Lucid optimis dapat menyuguhkan Level 3 menggunakan hardware yang sama.

Dengan harga setinggi $169.000, Lucid Air pada dasarnya sudah masuk di kelas sedan mewah seperti Mercedes-Benz seri S-Class. Memang mudah sekali membandingkan mobil ini dengan Tesla Model S, akan tetapi Lucid Motors sebenarnya ingin mobil ini bisa menarik perhatian para pemilik mobil mewah seperti Mercy S-Class.

Dalam wawancaranya bersama Bloomberg baru-baru ini, Peter Rawlinson selaku CEO Lucid Motors mengatakan bahwa Air mereka tujukan buat pemilik S-Class yang sempat tertarik dengan mobil elektrik berkat inovasi Tesla, tapi sejauh ini belum sudi meninggalkan sedan mewah kesayangannya itu sepenuhnya.

Semua itu baru bisa terjawab paling cepat kuartal kedua tahun depan, tepatnya ketika Lucid Air Dream Edition mulai mengaspal di Amerika Serikat secara resmi. Memasuki tahun 2022, Lucid berencana memperkenalkan varian termurah Air yang harganya diperkirakan berada di bawah $80.000, tentu saja dengan performa dan efisiensi yang lebih inferior.

Kejutan lain bernama Project Gravity

Dalam livestream peluncuran Lucid Air, Lucid juga sempat membocorkan sedikit tentang mobil kedua yang sedang mereka garap. Sejauh ini baru dinamai Project Gravity, SUV ini dibangun di atas platform yang sama seperti Lucid Air.

Tanpa perlu terkejut, gaya desain yang diadopsi sama minimalisnya seperti Lucid Air. Bentuknya kelihatan gagah dan menggambarkan sebuah SUV yang siap melahap segala medan, berbeda dari Tesla Model X yang sepintas lebih menyerupai crossover berkat atapnya yang melandai.

Sejauh ini belum banyak yang Lucid bagikan mengenai Project Gravity, namun mereka memastikan kabinnya cukup luas untuk menampung tujuh penumpang dewasa sekaligus. Performa dan efisiensi dayanya belum diketahui, tapi kalau boleh menebak, kemungkinan sedikit di bawah Air karena dua hal: wujud SUV yang tidak seaerodinamis sedan, dan bobot yang semestinya lebih berat.

Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, SUV mewah bermesin listrik ini akan terealisasikan pada tahun 2023.

Sumber: CNET dan Lucid Motors.

Setelah Tiga Tahun, Google Maps Bakal Hadir Kembali di Apple Watch

Salah satu alasan yang selalu mencegah saya membeli Apple Watch – selain perkara uang tentu saja – adalah, secanggih apapun perangkat tersebut, pengguna tidak bisa mengakses Google Maps darinya. Padahal, turn-by-turn navigation menurut saya merupakan salah satu kegunaan terbaik dari smartwatch.

Percaya atau tidak, Google Maps sudah lenyap dari Apple Watch sejak tahun 2017. Baik Apple maupun Google tidak memberikan alasan apapun, padahal sebelumnya Google Maps sempat hadir di Apple Watch sebagai extension dari aplikasi versi iPhone-nya. Sebagai gantinya, pengguna Apple Watch hanya punya akses ke Apple Maps. Di Amerika mungkin ini bukan masalah besar, tapi di negara lain, Google Maps masih merupakan pilihan yang lebih rasional.

Kabar baiknya, Google sudah punya rencana untuk meluncurkan kembali Google Maps di Apple Watch. Dalam beberapa minggu ke depan, pengguna Apple Watch di seluruh dunia bisa mengunduhnya dan mengakses fitur seperti step-by-step direction atau estimasi waktu sampai tiba di tujuan.

Semua lokasi favorit yang disimpan di akun masing-masing pengguna bisa langsung diakses dari Maps versi Watch, sedangkan untuk lokasi yang tidak tersimpan, pengguna perlu memilihnya terlebih dulu di iPhone. Meski mungkin cuma kebetulan, kehadiran Google Maps di Apple Watch semestinya bakal disambut oleh konsumen yang sedang menggandrungi hobi bersepeda.

Google Maps in Apple CarPlay Dashboard

Selain di Apple Watch, Google Maps juga akan hadir di mode Dashboard milik CarPlay, memungkinkan pengguna untuk melihat tampilan peta bersamaan dengan media control. Keduanya akan ditampilkan dalam format split screen, sehingga pengguna tetap bisa memantau petunjuk navigasi selagi mempercepat playback speed podcast yang diputar, atau mengecek agenda di kalender.

Google bilang dukungan Maps pada CarPlay Dashboard ini sudah tersedia sekarang juga di semua mobil yang mendukung secara global. Seharusnya ini juga mencakup head unit aftermarket CarPlay besutan Sony maupun sejumlah pabrikan lain.

Sumber: Google.

eBussy Adalah Mobil Elektrik Modular dengan 10 Wujud yang Berbeda

Dibandingkan mobil tradisional, mobil elektrik jauh lebih mudah diperlakukan sebagai suatu platform. Berhubung tidak perlu ada ruang khusus untuk menyimpan mesin, satu macam sasis mobil elektrik yang umumnya berbentuk seperti skateboard bisa dikembangkan lebih lanjut menjadi banyak tipe. Dalam kasus yang ekstrem, satu macam sasis bahkan bisa dikemas menjadi 10 wujud mobil yang berbeda.

Kasus ekstrem itu bukanlah imajinasi pribadi saya, melainkan visi yang tengah dikejar oleh sebuah perusahaan asal Jerman bernama Electric Brands. Mereka memulai kiprahnya dengan memproduksi skuter elektrik di tahun 2018, dan sekarang tengah berfokus mewujudkan mobil bernama eBussy ini menjadi kenyataan.

Namanya merupakan singkatan dari “electric bus system“, dengan “system” sebagai kata kuncinya. eBussy hadir dalam dua varian sasis – Off-road dan City, dengan perbedaan di ground clearance – dan masing-masing dapat dikonfigurasikan secara modular menjadi 10 jenis bodi yang berbeda.

Jadi dari satu sasis yang sama, eBussy bisa disulap menjadi sebuah mobil boks, pickup, minivan, station wagon, bahkan camper lengkap dengan TV, kulkas, tangki air bersih, hingga wastafel. Hampir semua bagian eBussy modular, mulai dari interior sampai unit baterainya, yang bisa dilepas dan diganti dengan unit yang baru seandainya tidak ada waktu untuk mengisi ulang. Bahkan setir dan pedal gas beserta remnya bisa dipindah dari satu sisi ke yang lain jika memang diperlukan.

Eksterior sekaligus interior yang modular tentu membuat eBussy terkesan lapang meski sebenarnya dimensinya tergolong mungil. Tanpa modul baterai, bobotnya berkisar 450 – 600 kg, sedangkan panjangnya sendiri tidak sampai 4 meter. Terlepas dari ukurannya, eBussy siap mengangkut kargo dengan bobot maksimum 1 ton.

Urusan baterai, versi standar eBussy mengemas modul berkapasitas 10 kWh yang diestimasikan cukup untuk menempuh jarak 200 kilometer dalam sekali pengisian. Kapasitas maksimum yang bisa diusung adalah 30 kWh, dengan jarak tempuh maksimum 600 km dibantu oleh atap panel surya seperti pada varian camper-nya itu tadi.

Baterainya ini menyalurkan energi ke empat motor elektrik yang menggerakkan tiap-tiap rodanya. Output daya total yang dihasilkan memang kecil, cuma 15 kW atau sekitar 20 tenaga kuda, akan tetapi berhubung eBussy merupakan mobil elektrik, torsinya luar biasa besar: nyaris 1.000 Nm, atau setara dengan torsi supercar bermesin V12 sekalipun. Jadi walaupun larinya tidak ngebut, menggotong beban berat sama sekali bukan masalah buat eBussy.

Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, eBussy siap mengaspal di jalanan Eropa mulai tahun depan. Harganya dipatok mulai 15.800 euro sampai 28.800 euro pada varian termahalnya, yakni varian camper itu tadi.

Sumber: SlashGear.

Sony Siap Uji Prototipe Mobil Elektriknya di Jalanan Umum

Januari lalu, tepatnya di acara CES 2020, Sony memamerkan sebuah prototipe mobil elektrik bernama Vision-S. Kabar itu tentu sangat mengejutkan, sebab selama ini memang tidak pernah terpikirkan bagaimana perusahaan elektronik seperti Sony bisa terjun ke industri otomotif dan menjual mobil bikinannya sendiri.

Namun kenyataannya tidak serumit yang kita bayangkan. Setidaknya untuk sekarang, Sony tidak punya sedikit pun keinginan untuk memproduksi Vision-S secara massal dan menjualnya ke publik. Seperti yang kita tahu, Sony juga tidak sendirian dalam menggarap Vision-S. Mereka dibantu oleh Magna Steyr, perusahaan Austria yang pabrik perakitannya sudah sering digunakan oleh merek-merek kenamaan seperti Mercedes-Benz, BMW, Audi maupun Aston Martin.

Lalu apa sebenarnya tujuan Sony menciptakan Vision-S? Sebagai medium untuk mengumpulkan beragam data, dengan tujuan akhir untuk menyempurnakan teknologi sensor-sensor otomotif yang mereka buat. Ya, selain memproduksi sensor kamera untuk smartphone, Sony selama ini juga menyuplai beberapa pabrikan otomotif, meski memang pangsa pasarnya tidak terlalu besar, apalagi kalau dibandingkan dengan supplier sekelas ON Semiconductor.

Vision-S sendiri akhirnya sudah tiba di Jepang dan siap menjalani berbagai pengujian di jalanan publik menjelang akhir tahun fiskal nanti (kemungkinan di bulan September). Selain di Jepang, sedan empat pintu ini juga akan diuji di jalanan di Eropa dan Amerika Serikat. Berhubung tujuannya adalah untuk mengumpulkan data, tentu saja pengujian harus dilakukan di lebih dari satu lokasi dan meliputi iklim yang berbeda.

Vision-S tidak akan dijual. Oke, perkara ini sudah jelas. Lalu bagaimana dengan ke depannya? Apa rencana Sony setelah ini? Well, berdasarkan laporan Nikkei, Sony juga sedang mengembangkan prototipe mobil kedua yang akan dilengkapi lebih banyak sensor. Sekadar mengingatkan, Vision-S sendiri mengemas total 33 sensor di sekujur tubuhnya.

Pengujian Vision-S di jalan umum tentu bakal menghasilkan banyak insight buat Sony, dan ini pasti bakal mereka manfaatkan dalam pengembangan prototipe mobil keduanya. Mematangkan sensor-sensor ini krusial seiring tren industri otomotif yang semakin mengarah ke sistem kemudi otomatis, dan Sony percaya mereka bisa ikut memegang andil dalam bidang ini.

Satu hal yang dari dulu mengganjal di benak saya adalah, Sony sebenarnya tidak perlu sampai membangun prototipe mobilnya sendiri kalau memang tujuannya hanya sebatas memamerkan teknologi sensor otomotif yang mereka punyai. Mereka bisa saja memakai mobil paling laris yang dijual di masing-masing negara yang menjadi lokasi pengujian, lalu menyematkan deretan sensor bikinannya ke mobil tersebut.

Namun kenyataannya tidak demikian. Sony dengan serius menciptakan prototipe mobil elektriknya sendiri, dan sekarang, mereka malah punya niatan merancang prototipe mobil kedua. Semoga saja ke depannya ada pabrikan yang bisa bernegosiasi dengan Sony dan akhirnya mewujudkan visi Sony ini menjadi tunggangan yang bisa dinikmati oleh konsumen secara luas.

Sumber: Nikkei.