Cortana Bukan Lagi Asisten Virtual Generik yang Kurang Laku Seperti Dulu

Alexa, Cortana, Google Assistant, Siri, dari keempat asisten virtual tersebut, mungkin cuma Cortana yang minim peminat. Upaya Microsoft untuk menghadirkan Cortana di semua platform juga tidak membantu meningkatkan popularitasnya.

Belakangan ini, Microsoft sepertinya mulai sadar bahwa Cortana tidak semestinya mengejar ketertinggalannya dari trio asisten populer itu tadi. Yang seharusnya mereka kejar adalah kategori yang lebih spesifik, yakni Cortana sebagai asisten untuk urusan produktivitas; membantu pengguna mengatur agenda, mengingatkan pengguna akan email penting, dan lain sebagainya.

Nama Microsoft memang lebih banyak diasosiasikan dengan produktivitas berkat eksistensi software Office selama ini, dan Cortana juga seharusnya dikaitkan dengan hal yang sama. Pertanyaannya, bukankah asisten virtual lain sebenarnya juga sudah bisa membantu di bidang produktivitas?

Cortana bakal dihapus dari aplikasi Microsoft Launcher / Google Play
Cortana bakal dihapus dari aplikasi Microsoft Launcher / Google Play

Betul, akan tetapi salah satu keunggulan Cortana adalah integrasinya dengan ekosistem Microsoft, dan ini cukup krusial bagi para pelanggan layanan Office 365 atau Microsoft 365. Mereka yang bekerja di perusahaan yang memanfaatkan layanan-layanan ini mau tidak mau harus bergantung pada Cortana, dan peralihan fokus Cortana ke aspek produktivitas tentunya bakal sangat membantu mereka lebih lagi.

Singkat cerita, jangan anggap Cortana sebagai asisten virtual generik lagi seperti sebelumnya. Cortana sudah berevolusi menjadi komponen penting dalam layanan produktivitas Microsoft, dan Microsoft pun harus merelakan kepergian Cortana dari sejumlah platform.

Mulai akhir April nanti, pengguna Microsoft Launcher untuk Android tidak bisa lagi mengakses Cortana. Aplikasi Cortana untuk Android dan iOS sendiri juga sudah diberhentikan di beberapa negara sejak tanggal 31 Januari kemarin. Di luar Windows 10, Cortana cuma bisa diakses melalui aplikasi Outlook di Android atau iOS, atau lewat smart speaker macam Harman Kardon Invoke.

Sumber: Windows Central dan Microsoft.

Snafu Records Gunakan AI untuk Temukan Musisi-Musisi Berbakat

Suka atau tidak, popularitas platform streaming seperti Spotify telah mengubah kondisi industri musik. Statistik dan data kini jadi semakin berarti, dan software macam Chartmetric eksis untuk membantu label rekaman menemukan artis-artis berbakat.

Masalahnya, kalau menurut Ankit Desai yang pernah bekerja di Universal Music Group, mayoritas label masih menganut cara lama. Cara lama yang dimaksud adalah mencari artis berdasarkan rekomendasi manusia, bukan rekomendasi mesin seperti yang ditawarkan Chartmetric.

Alhasil, seandainya ada musisi berbakat dari Indonesia, kecil kemungkinan dunia bisa mengenalnya karena ia tidak terikat dengan label manapun, demikian Ankit mencontohkan. Dari situ dia memutuskan untuk mendirikan labelnya sendiri, Snafu Records. Apa yang membuat Snafu Records berbeda? Mereka memadukan kecanggihan mesin dan sumber daya manusia sekaligus.

Senjata utama Snafu pada dasarnya merupakan algoritma berbasis AI. Setiap minggunya, algoritma tersebut menganalisis sekitar 150.000 lagu dari artis-artis tak berlabel di platform seperti SoundCloud, YouTube dan Instagram. Lagu-lagu tersebut kemudian dievaluasi berdasarkan engagement dan sentimen para pendengarnya, serta kemiripannya dengan lagu-lagu yang populer di Spotify.

Hasil analisisnya kemudian dikerucutkan lagi menjadi 15 – 20 lagu setiap minggunya. Di titik itu, giliran tim manusia yang turun tangan langsung. Artis-artis yang terpilih pada akhirnya akan dihubungi dan ditawari kontrak yang durasinya lebih singkat ketimbang kontrak label rekaman pada umumnya.

Snafu memang baru saja diresmikan, namun mereka sejauh ini sudah mengamankan total pendanaan sebesar $2,9 juta dari sejumlah investor. Snafu juga sudah menggaet 16 musisi; salah satunya Mishcatt, musisi jazz yang salah satu lagunya yang berjudul “Fades Away” telah di-stream sebanyak 5 juta kali hanya dalam kurun waktu lima minggu sejak dirilis.

Sumber: TechCrunch. Gambar header: Fixelgraphy via Unsplash.

Cinema XXI Hadirkan IMAX with Laser di Gandaria City

Menonton film di bioskop saat ini sudah terbagi menjadi dua bagian. Apakah ingin menonton dengan gambar yang lebih tajam atau membayar dengan harga yang lebih terjangkau untuk menonton dengan kualitas standar. Jika ingin menonton dengan kualitas yang lebih baik, saat ini pilihan tentu saja jatuh kepada IMAX.

IMAX with Laser - Launch

Cinema XXI saat ini sudah memiliki beberapa proyektor IMAX dan ditempatkan pada jaringan bioskop mereka, seperti di Gandaria City, Kelapa Gading, The Breeze, dan lain sebagainya. IMAX sendiri mampu memberikan resolusi yang lebih baik dari proyektor bioskop standar, di mana resolusi yang ditampilkan adalah 2K. Selain itu tata suara yang dimiliki juga lebih baik dari bioskop pada umumnya.

Pada tanggal 6 Februari 2020, Cinema XXI mengundang para jurnalis untuk menyaksikan versi IMAX terbaru. Bertempat di Gandaria City XXI, Cinema XXI memperkenalkan IMAX with Laser, yang menggunakan proyektor dengan resolusi 4K serta instalasi suara 12 kanal.

Selain memiliki resolusi yang lebih besar, ternyata aspect ratio dari layarnya juga lebih besar, yaitu 1,43:1, sehingga dapat memancarkan gambar 40% lebih banyak. IMAX with Laser juga memiliki tingkat brightness yang lebih tinggi dibandingkan dengan proyektor lainnya yang ada di industri ini.

“Kami senang sekali dapat membawa teknologi bioskop terdepan dari IMAX ke tengah masyarakat Indonesia. Melalui pembaharuan teknologi visual dan audio, pengalaman menonton di studio IMAX with Laser akan menciptakan pengalaman menonton film yang istimewa karena penikmat film seperti akan terhanyut dalam adegan film,” papar John M. Schreiner, Senior Vice President, Theatre Development, IMAX Corporation.

Dengan dilakukan upgrade dari sisi proyektor, otomatis layar yang digunakan juga menjadi lebih besar. Akan tetapi, bagaimana dengan harga jual tiketnya? Apakah akan lebih mahal? Ternyata, pihak Cinema XXI tidak menaikkan harga tiket untuk menonton dengan IMAX Laser.

Pengalaman Menonton Pertama Kali

Setelah acara konferensi pers dilakukan, Cinema XXI juga mengajak para jurnalis untuk mencoba keandalan teknologi terbaru mereka. Untuk itu, kami diajak menonton salah satu film DC yang ditunggu-tunggu, yaitu Bird of Prey. Sayang memang, film yang ditonton masih dalam format 2D, bukan 3D, sehingga belum memperlihatkan keandalan teknologi ini dengan maksimal.

IMAX with Laser - Besar Screen

Gambar yang dihasilkan memang sangat baik, bahkan terbaik yang pernah saya lihat pada sebuah bioskop. Detail gambar dapat disajikan dengan baik, serta kontras warna yang apik. Layar yang lebih lebar ternyata tidak membuat gambarnya menjadi pecah, justru terlihat lebih baik dari terakhir saya duduk di bioskop yang sama. Hal ini terlihat dari adegan dengan scene yang cepat.

Suara juga menjadi hal yang terdengar sangat berbeda pada saat saya duduk pada baris J ini. Walaupun saya tidak merasakan perbedaan pada 12 kanal, namun suaranya memang terdengar tajam dan jelas. Cukup berbeda dengan studio lain yang ada pada Gandaria City XXI ini.

Berdasarkan pengalaman yang ada, sepertinya standar menonton bioskop memang menjadi lebih tinggi berkat adanya IMAX with Laser ini. Anda tidak akan percaya jika hanya diceritakan saja, namun harus merasakan sendiri sensasi 4K pada layar sangat lebar.

Samsung Akan Perkenalkan ‘Manusia Buatan’ Bernama Neon di CES 2020

Siap digelar pada tanggal 7 sampai 10 Januari besok, CES 2020 rencananya akan mengangkat sejumlah topik besar: 5G, perangkat-perangkat pendukungnya, kendaraan terkoneksi atau tanpa pengemudi, munculnya lebih banyak headset VR dan AR, dan persaingan layanan streaming yang semakin memanas. Seperti biasa, event ini kembali akan dimeriahkan oleh nama-nama raksasa di ranah teknologi.

Kurang dari dua minggu sebelum CES 2020 berlangsung, Samsung menyingkap agenda untuk memperkenalkan produk berbasis kecerdasan buatan baru bernama Neon. Pengumuman dilakukan lewat akun Twitter resmi Neon, dan hingga saat artikel ini ditulis, detail mengenainya masih sangat minim. Di Twitter, Samsung hanya menuliskan bahwa Neon adalah ‘manusia buatan’. Satu hal yang jelas, Neon akan sangat berbeda dari Bixby – asisten virtual yang Samsung luncurkan di tahun 2017.

Di tweet sebelumnya, Samsung beberapa kali mem-posting poster dengan kalimat tanya serupa dan diterjemahkan ke sejumlah bahasa: Pernahkah Anda bertemu dengan ‘artificial‘? Perusahaan mendeskripsikan Neon sebagai ‘makhluk kecerdasan buatan’ yang dapat menjadi ‘teman baik’ Anda. PC Mag mengungkapkan, kalimat di poster-poster tersebut menyerupai tagline dari serial televisi AMC berjudul Humans – yang mengangkat tema soal android.

Tapi apakah itu berarti Samsung akan memamerkan robot berwujud manusia di CES 2020? Sempat ada spekulasi yang menyebutkan bahwa Neon merupakan versi lebih canggih dari Bixby, namun Samsung segera menampiknya dan bilang Neon serta Bixby tak punya hubungan sama sekali. Ia diklaim berbeda dari apa yang pernah kita temui sebelumnya.

Neon dikembangkan oleh divisi Samsung Technology and Advanced Research Labs (disingkat STAR Labs). Unit ini dipimpin oleh Pranav Mistry selaku presiden sekaligus CEO yang sempat pula berpartisipasi dalam penggarapan teknologi augmented reality Sixth Sense dan smartwatch Galaxy Watch. Berdasarkan keterangan Mistry, pengerjaan Neon telah berlangsung selama beberapa tahun dan ia bahkan tidak menutupi rasa gembiranya terkait penyingkapan Neon minggu depan.

Sedikit membahas soal Bixby, berbeda dari Siri dan Google Assistant, asisten pribadi ini terdiri dari tiga pilar utama: Bixby Home, Bixby Vision serta Bixby Voice. Voice ialah metode menagktifkan Bixby lewat suara, Vision adalah fitur kamera augmented reality yang mampu mengidentifikasi objek secara real-time, sedangkan lewat Home, Bixby dipersilakan berinteraksi dengan aplikasi dan sejumlah informasi.

Pertanyaan terbesarnya kini adalah, apa yang membedakan Neon dengan Bixby? Selanjutnya, apakah ia bisa diakses di perangkat Samsung dalam waktu dekat atau Neon baru akan diperkenalkan di CES 2020 sebagai konsep saja? Lalu apakah Neon pada akhirnya akan menggantikan Bixby? Semuanya akan dijelaskan di tanggal 7 Januari nanti.

Sumber: Digital Trends.

VSCO Akuisisi Produsen Kamera 360 Derajat Rylo

Dua nama yang tak bisa lepas dari perbincangan seputar kamera 360 derajat saat ini adalah GoPro Max dan Insta360 One X. Tanpa bermaksud melebih-lebihkan, keduanya merupakan opsi terbaik yang ada di pasaran saat ini, dan dominasi keduanya rupanya telah memakan korban.

Adalah Rylo, kamera 360 derajat bikinan pencipta Hyperlapse yang dirilis di tahun 2017, yang bakal segera menghilang dari pasaran. Kendati demikian, keputusan mereka berhenti bukan didasari faktor kalah saing saja, melainkan juga karena mereka baru saja diakuisisi oleh VSCO, perusahaan pengembang aplikasi edit foto dan video dengan nama yang sama.

Seperti yang kita tahu, VSCO mulai menekuni ranah video sejak dua tahun silam, tepatnya ketika mereka merilis fitur editing video buat para pelanggan layanan berbayarnya. Respon konsumen pun rupanya cukup positif; tahun lalu saja, VSCO melihat adanya kenaikan hingga dua kali lipat dalam hal pemakaian fitur editing video aplikasinya.

VSCO acquires Rylo

Lalu mengapa mereka memilih Rylo, yang notabene merupakan produsen hardware? Well, tidak demikian apabila kita mengenal dua pendirinya, Alex Karpenko dan Chris Cunningham. Jauh sebelum Rylo eksis, tepatnya di tahun 2011, Alex menciptakan aplikasi bernama Luma Camera dengan fitur stabilisasi video yang apik.

Dua tahun setelahnya, Luma Camera diakuisisi oleh Instagram. Selama di Instagram, Alex sibuk mengembangkan Hyperlapse, dan Hyperlapse inilah yang pada akhirnya menjadi fondasi teknologi atas sistem stabilisasi Rylo. Di sisi lain, Chris memulai kiprahnya sebagai anggota tim pengembang software edit foto di Apple, sebelum akhirnya juga berlabuh di Instagram pada tahun 2013.

Ya, daya tarik utama Rylo sebenarnya terletak pada software-nya, dan inilah yang pada akhirnya menarik perhatian VSCO. Pasca akuisisi ini, kita pada dasarnya bisa menanti fitur editing video yang lebih komprehensif dan lebih canggih lagi pada aplikasi VSCO berkat kontribusi dari tim Rylo.

Kamera Rylo sendiri akan segera berhenti dipasarkan, akan tetapi konsumen yang sudah terlanjur membeli bakal tetap bisa menggunakannya. Rylo pun memastikan aplikasi pendampingnya yang tersedia di iOS, Android maupun macOS masih dapat diunduh sampai 31 Januari 2021, dan pengguna tetap bisa memakainya meski sudah lewat tanggal tersebut.

Sumber: 1, 2, 3.

Botol Coca-Cola Edisi Star Wars Ini Andalkan Teknologi OLED Agar Labelnya Bisa Menyala

Pemutaran Star Wars: The Rise of Skywalker di bioskop hanya tinggal hitungan hari, dan seperti biasa, bersamanya datang sederet merchandise tematik yang unik sekaligus menarik. Salah satu yang paling unik bisa kita jumpai di Singapura, tepatnya dalam wujud sebotol minuman Coca-Cola.

Seperti yang bisa kita lihat, ini bukan sembarang botol, melainkan yang labelnya dilengkapi panel OLED. Ketika botol digenggam, panel OLED-nya akan menyala dan ‘menghidupkan’ Lightsaber milik Rey maupun Kylo Ren. Bukan, ini bukan sihir, melainkan hasil karya sebuah perusahaan asal Jerman bernama Inuru.

Spesialisasi Inuru adalah menciptakan label dan kemasan dengan sirkuit elektronik terintegrasi. OLED, seperti yang kita tahu, tidak membutuhkan bantuan backlight untuk bisa menyala. Sentuhan tangan tadi melengkapi rangkaian elektroniknya, yang lalu mengirimkan energi yang cukup agar deretan diodanya dapat menyala sampai sekitar 500 kali.

Sesuai dugaan, kemasan Coca-Cola ini merupakan edisi terbatas, dan Coca-Cola Singapore berniat merilis hanya 8.000 botol saja. Untuk bisa mendapatkannya, konsumen pun diharuskan untuk memecahkan sejumlah teka-teki terlebih dulu, dan jawabannya ini akan memandu konsumen menuju ke lokasi penyedia kupon khusus untuk ditukarkan dengan botol spesialnya.

Ini bukan pertama kalinya Inuru bekerja sama dengan Coca-Cola. Setahun lalu, mereka sudah lebih dulu menyuplai Coca-Cola dengan label yang tulisannya bisa menyala. Tahun ini konsep yang sama kembali diangkat sekaligus dikawinkan dengan aset brand lain yang super-populer.

Sumber: CNET dan Inuru.

Australia Gunakan Kamera Berbasis AI untuk Mendeteksi Penggunaan Ponsel oleh Pengemudi

Di banyak negara, menggunakan smartphone selagi mengemudi dikategorikan sebagai tindakan yang ilegal. Saya yakin semua orang tahu apa alasannya, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak yang nekat melanggar. Kesulitan memantau yang dialami pihak berwajib juga semakin mendorong kebiasaan buruk ini terus berlanjut.

Menugaskan seseorang untuk berpatroli di jalanan jelas bukan solusi yang ideal, apalagi kalau cuacanya sedang tidak mendukung. Solusi yang lebih efektif, kalau menurut dinas perhubungan negara bagian New South Wales di Australia, adalah kamera canggih berbasis AI. AI adalah kata kuncinya, jadi jangan samakan kamera ini dengan yang biasa dipakai untuk menangkap basah para pelanggar lampu merah.

Sistem berbasis AI ini akan terus memantau sekaligus mendeteksi ketika ada pengemudi yang tengah menggunakan ponselnya selagi menyetir. Kendati demikian, tenaga manusia masih dibutuhkan di sini; gambar bukti pelanggar yang dideteksi secara otomatis oleh AI akan diverifikasi lebih lanjut oleh seorang operator.

Transport for NSW mengklaim kamera ini dapat beroperasi di cuaca apapun, bahkan saat jalanan sedang berkabut sekalipun. Di samping itu, AI-nya juga cukup terlatih untuk menangkap basah pelanggar secara akurat meski mobilnya sedang melaju dalam kecepatan tinggi.

Berdasarkan pengujian yang dilakukan selama sekitar enam bulan, sistem ini disebut berhasil memonitor sekitar 8,5 juta kendaraan yang lewat, sekaligus mendeteksi lebih dari 100.000 pelanggar. Kalau diestimasikan, sistem ini diyakini mampu mencegah sekitar 100 kecelakaan lalu lintas dalam tempo lima tahun.

Deretan kamera pendeteksi penggunaan ponsel di salah satu ruas jalan kota Sydney / Transport for NSW
Deretan kamera pendeteksi penggunaan ponsel di salah satu ruas jalan kota Sydney / Transport for NSW

Jaringan kamera canggih ini sudah dioperasikan secara resmi di sejumlah kota yang merupakan bagian dari provinsi New South Wales per 1 Desember kemarin. Pemerintah setempat sengaja tidak menyebutkan lokasi-lokasi yang dimonitor oleh kamera ini dengan alasan supaya para pengemudi sadar bahwa mereka bisa tertangkap basah di mana saja dan kapan saja.

Selama tiga bulan pertama sejak sistemnya diimplementasikan, para pelanggar hanya akan dikirimi surat peringatan. Setelahnya, barulah akan diterapkan sanksi berupa denda dan pengurangan poin mengemudi (demerit points). Dibuat kapok, demikian intinya.

Sumber: 1, 2, 3.

Sonos Akuisisi Startup AI untuk Kembangkan Voice Assistant yang Dapat Beroperasi Secara Offline

Dimulai dari Sonos One, integrasi Alexa dan Google Assistant kini sudah meluas hingga merambah ke soundbar Sonos Beam sekaligus speaker portable Sonos Move. Namun Sonos rupanya belum puas hanya menebeng ke dua platform voice assistant terpopuler itu.

Baru-baru ini, mereka mengakuisisi startup asal Perancis bernama Snips dengan mahar $37,5 juta. Sejak didirikan di tahun 2013, Snips telah sibuk mengembangkan platform voice assistant-nya sendiri. Kendati demikian, akuisisi ini bukan berarti Sonos punya rencana untuk menciptakan kompetitor Alexa dan Google Assistant, lalu mendepak keduanya di masa yang akan datang.

Yang Sonos incar justru lebih spesifik lagi, yakni voice assistant yang dapat membantu mengoperasikan fungsi-fungsi dasar perangkat, tanpa harus bergantung dengan koneksi internet setiap saat. Alexa dan Google Assistant masih akan terus eksis di perangkat-perangkat bikinan Sonos, dan voice assistant baru ini dimaksudkan untuk menjadi pelengkap.

Satu hal yang menjadi daya tarik platform bikinan Snips adalah kemampuannya mengolah data secara lokal, alias langsung di dalam perangkat. Sonos melihatnya sebagai peluang untuk memenuhi tuntutan konsumen yang sangat peduli terhadap privasinya, yang selalu merasa khawatir setiap kali perangkat harus meneruskan data ke cloud hanya untuk memahami perintah suara dari pengguna.

Bisa kita bayangkan bahwa ke depannya, speakerspeaker Sonos bakal dilengkapi tiga voice assistant yang berbeda: Alexa dan Google Assistant buat yang perlu mengakses sejumlah informasi dari internet beserta ekosistem perangkat smart home di rumahnya, lalu voice assistant bawaan perangkat untuk membantu pengoperasian secara hands-free dan offline.

Privasi merupakan topik penting yang selalu dibicarakan semenjak kasus Edward Snowden di tahun 2013, dan rupanya perusahaan seperti Sonos tidak segan berinvestasi lebih demi mengedepankan fitur-fitur seputar privasi.

Sumber: TechCrunch dan Variety.

Peran Unreal Engine Dalam Serial Star Wars: The Mandalorian

The Rise of Skywalker rencananya akan jadi film Star Wars ‘terakhir’ sebelum Disney mengistirahatkan sementara franchise sci-fi raksasa ini. Sayang sekali, banyak fans skeptis pada Episode IX setelah dikecewakan oleh arahan sutradara Rian Johnson di The Last Jedi. Namun kabar baiknya, masih ada harapan bagi Star Wars. Perhatian para penggemar kini tertuju pada serial The Mandalorian yang tayang di layanan Disney+.

Jika Anda mengikuti The Mandalorian, mungkin Anda melihat sesuatu yang menarik ketika film ini usai dan bagian credit ditampilkan. Di sana, Lucasfilm/Disney mencantumkan nama yang tidak biasa di ranah perfilman: Epic Games, yaitu studio di belakang permainan Fortnite dan Unreal Tournament. Alasannya? Ternyata Jon Favreau selaku penulis sekaligus pencipta seri ini memanfaatkan teknologi Unreal Engine dalam pembuatan The Mandalorian.

Unreal sendiri ialah engine yang menjadi basis banyak permainan, baik blockbuster maupun independen: The Outer Worlds, We Happy Few, Street Fighter V, Sea of Thieves, hingga Star Wars Jedi: Fallen Order – ada deretan panjang game yang mengusungnya. Engine ini menjadi salah satu pilihan favorit developer karena ‘tingginya portabilitas tinggi’, fleksibilitas, serta kemudahan modifikasi. Pertanyaannya, apa yang dilakukan Unreal di film The Mandalorian?

Di sesi diskusi di konferensi SIGGRAPH 2019, Favreau menjelaskan bagaimana Unreal Engine betul-betul membantu proses previsualisasi. Mereka menggunakan sistem V-cam untuk membuat film dalam bentuk VR, mengirimkannya pada editor dan membiarkan mereka melakukan penyuntingan. Selain itu, kombinasi Unreal Engine serta sejumlah teknologi juga sangat berguna memuluskan alur produksi.

Satu contohnya: Unreal Engine bisa dimanfaatkan untuk membangun lingkungan virtual (computer-generated), kemudian pemandangan tersebut diproyeksikan ke dinding LED. Berdasarkan posisi kamera dan jenis lensa yang digunakan, perspektif pada hasil proyeksi dapat berubah secara natural dan otomatis. Dengan begini, teknologi Unreal dapat memberikan informasi visual langsung untuk para aktor, serta menyediakan sistem pencahayaan akurat bagi tim VFX.

Cara kerjanya seperti ini:

Pada pengambilan adegan tertentu, bergantung dari setting dan jenis lensa, kru dapat melihat jelas letak kamera, seperti apa pencahayaannya, interaksi cahaya terhadap objek/aktor, layout, latar belakang serta horizon. Mereka tidak perlu menyatukan bagian-bagian tersebut lagi karena engine sudah me-render lingkungan/pemandangan secara real-time.

Salah satu keuntungan utama dari metode visualisasi on-set berkat dukungan Unreal adalah, para aktor tak lagi mesti menebak-nebak. Seorang aktor mungkin dapat mendeteksi anomali saat melihat layar LED dari dekat, tapi dalam berakting ia bisa mengetahui jelas kondisi set, letak horison serta pencahayaan berkat pemakaian dinding LED – memastikan proses akting jadi lebih simpel.

Di luar akting, dukungan teknologi Unreal Engine menciptakan situasi yang memperkenankan lebih banyak kru di set memahami adegan yang sedang atau akan diambil. Itu berarti, tiap orang bisa lebih mudah berbagi ide dan saling memberikan masukan.

Peran Unreal Engine di serial The Mandalorian bisa Anda simak lebih lengkap di artikel Venturebeat ini.

Gambar header: StarWars.com.

Logitech Akuisisi Streamlabs Senilai $89 Juta Tunai

Berkiprah hampir empat dekade, Logitech sudah melakukan cukup banyak pengambilalihan strategis demi memperkaya portfolio produknya: pemasok in-ear monitor Ultimate Ears, penyedia produk komunikasi visual Mirial, produsen gaming gear Astro, lalu sempat mengumumkan rencana untuk membeli perusahaan spesialis perangkat audio Blue Microphones. Dan ada satu nama lagi yang resmi bergabung bersama Logitech di akhir September ini.

Lewat rilis pers, Logitech mengumumkan bahwa mereka setuju untuk mengakuisisi produsen software serta perkakas khusus live-streaming Streamlabs senilai US$ 89 juta tunai. Lewat aplikasi Streamlabs OBS, para streamer dimudahkan buat berinteraksi dengan pemirsa, mengekspansi channel dan brand, serta memonetisasi siaran di platform-platform populer semisal Twitch, YouTibe, Mixer dan Facebook.

Sebelum adanya keputusan akuisisi ini, Logitech sempat bermitra bersama Streamlabs dua tahun silam. Dan sejak saat itu, software buatan Streamlabs telah menjadi favorit Logitech. Perusahaan asal Swiss ini menyediakan begitu banyak varian aksesori komputer, dari mulai keyboard, mouse sampai webcam. Dengan menggandeng Streamlabs, secara teori akan lebih mudah bagi mereka untuk mengintegrasikan software stream ke produk hardware-nya.

CEO Streamlabs Ali Moiz menjelaskan bagaimana perusahaan yang dirintisnya dan Logitech sama-sama memiliki antusiasme tinggi di ranah gaming dan sangat berdedikasi untuk melayani baik komunitas gamer maupun streamer. Dengan bergabung bersama Logitech, Streamlabs bisa terus melakukan apa yang mereka cintai, secara lebih berani dan di skala lebih besar – dibantu oleh jangkauan brand, sumber daya dan pengalaman Logitech.

Meski demikian, pengguna Streamlabs OBS tidak perlu cemas. Tak ada yang berubah dari cara perusahaan menyajikan layanannya. Developer akan terus mendukung segala macam platform, hardware dan software seperti sekarang dan akan memperluasnya di masa depan. Tool tersebut tetap dapat diunduh dan digunakan secara gratis. Nantinya, Streamlabs akan terintegrasi lebih baik ke produk-produk Logitech G, Astro Gaming dan Blue Microphones.

Pembayaran sebesar US$ 89 juta dilakukan Logitech secara tunai dengan tambahan US$ 29 juta lagi dalam bentuk saham jika Streamlabs berhasil mencapai target pertumbuhan ‘yang signifikan’.

Selain layanan yang dihidangkan secara gratis, Streamlabs OBS juga menjanjikan proses setup yang mudah, hanya memakan waktu kurang dari 60 detik. Di sana Anda bisa memilih lebih dari 250 theme, serta menggunakan fitur-fitur semisal smart recording, in-game overlay, serta 4-screens-in-1. Saat ini, Streamlabs telah menghimpun 1,6 juta pengguna aktif per bulan. Dan terhitung sejak bulan Januari 2018, user sudah men-stream konten sepanjang 161 juta jam via Streamlabs OBS.

Tambahan: Streamlabs.