Pertumbuhan Pengguna Bukanlah Sebuah Trik

Bagi startup, mengejar pertumbuhan adalah pekerjaan yang tidak mudah. Memastikan layanan atau produk dipakai banyak orang menjadi prioritas utama di samping perbaikan layanan. Mengupayakan pertumbuhan tidak hadir begitu saja atau dengan trik khusus. Ada sistem yang dibangun, ada keputusan dan ada perhitungan yang matang di balik upaya meningkatkan pertumbuhan startup.

Dalam sebuah kesempatan, Supply Growth Uber Andrew Chen mengungkapkan bahwa pertumbuhan adalah sebuah model yang utuh dan sebuah sistem dengan bagian yang saling terhubung dan perulangan yang sesuai dengan bisnis. Sebuah taktik yang bisa digunakan untuk mengoptimalkan perulangan pengembangan produk atau layanan.

Pertumbuhan bukan hanya menghasilkan sesuatu yang menarik dan membuat sesuatu yang ramai dibicarakan, tetapi juga bagaimana akhirnya pertumbuhan di tahap ini bisa mengundang pertumbuhan di tahap selanjutnya.

Dalam kesempatan yang sama Andrew juga menjelaskan bahwa pertumbuhan adalah sesuatu yang krusial dan mendasar dari sebuah produk. Ini melibatkan banyak pihak seperti manajer proyek, desainer, pengembang, dan tim lain yang terlibat.

Di awal pendiri membuat produk untuk memecahkan suatu masalah. Setelah itu pengembangan harus difokuskan pada kebutuhan pengguna. Tetapi jangan lupa siapkan produk dari awal untuk mudah dikembangkan.

Pastikan sebelum mencari pertumbuhan pengguna Anda sudah menemukan produk yang ideal atau pasar yang cocok untuk produk Anda. Keduanya merupakan kunci utama sebelum Anda bicara lebih jauh tentang pertumbuhan pengguna.

Pertumbuhan pengguna sejatinya merupakan bagian tak terpisahkan dari perulangan pengembangan produk. Dengan umpan balik dari pengguna yang kemudian dieksekusi untuk menjadi perbaikan produk diharapkan mampu memberikan pengalaman terbaik bagi pengguna. Ini efektif untuk “menahan” pengguna lama. Selanjutnya Anda harus merancang bagaimana meyakinkan pengguna yang baru.

Kesimpulannya, pertumbuhan pengguna bukan merupakan sebuah hal yang datang tiba-tiba tanpa usaha. Ada sesuatu yang disiapkan, diperhitungkan dan diusahakan sejak awal untuk menjaga tren pertumbuhan bahkan meningkatkan pertumbuhan.

Big Data Bisa Jadi Solusi Optimasi Layanan Pelanggan

Salah satu bagian yang bisa dioptimalkan dengan hadirnya teknologi big data di perusahaan adalah layanan pelanggan, atau biasa kenal dengan istilah customer service. Dengan kemampuan analisis dari big data customer service bisa lebih optimal dan lebih canggih dalam memberikan layanannya. Seperti identifikasi masalah dan pencegahan masalah lebih dini.

Dengan memanfaatkan kemampuan analisis big data, perusahaan, terutama bagian customer service, bisa mengidentifikasikan dengan pasti faktor permasalahan dari pengguna, kemudian ditindaklanjuti dengan solusi yang efektif agar permasalahan serupa tidak terulang bagi pengguna lainnya.

Kemampuan analisis big data juga memberikan customer service kemampuan mempersonalisasi pengalaman pengguna. Seperti pada kebanyakan kasus, penggunaan big data pada customer service juga memungkinkan penggunaan data personal pengguna untuk meningkatkan pengalaman pengguna tersebut. Dengan demikian pengguna bisa mendapatkan pengalaman terbaik sesuai dengan kebutuhan mereka. Seperti rumus:

transaksi + kebiasaan + data sosial = kepuasan tinggi pengguna

Data yang bisa diolah dengan analisis big data itu adalah umpan balik. Wawasan dari analisis data dari saluran-saluran yang ada akan memberikan customer service dan perusahaan pertimbangan yang baik dalam hal menarik pengguna. Ini membuka peluang optimasi strategi omnichannel.

Identifikasi masalah, kemampuan personalisasi dan umpan balik dari analisis big data juga bisa berperan sebagai awal yang baik untuk produk yang baru dan lebih baik. Dengan data dari pengguna mulai dari keluhan hingga umpan balik melalui customer service perusahaan bisa memperbaiki produk atau layanan yang ada. Bahkan bisa menjadi ide untuk produk atau layanan baru yang lebih baik.

Big data juga memberikan kemampuan customer service untuk pencegahan penipuan. Sistem tradisional mendeteksi penipuan dengan mencari faktor-faktor seperti alamat IP yang tidak dikenal dan catatan login sistem yang asing. Penggunaan big data bisa mengubah pendekatan tradisional dengan kemampuan memberikan pola penipuan dari data-data yang sudah tercatat sebelumnya. Cara yang lebih proaktif untuk melindungi pengguna.


Disclosure: DailySocial bekerja sama dengan Bigdata-madesimple.com untuk penulisan artikel ini

Perizinan Seputar Modal Asing

Menjamurnya startup dengan konsep bisnis yang menjanjikan di Indonesia telah mengundang penanam-penanam modal asing untuk berinvestasi di Indonesia. Modal asing tersebut relatif besar memang untuk menjalankan bisnis di negara kita ini, namun apakah uangnya bisa diterima begitu saja? Pada kenyataannya, tidak mudah untuk menggunakan uang yang datang dari luar negeri. Terdapat ketentuan yang harus dipatuhi sebelum uang itu dapat kita manfaatkan.

Sebelum membahas soal modal asing, perlu dipahami terlebih dahulu konsep permodalan dalam peraturan perundang-undangan kita. Sebagai informasi, artikel ini tidak mencakup perkembangan terbaru soal kebijakan 100% kepemilikan asing di layanan e-commerce hingga muncul peraturan definitifnya.

Berdasarkan Undang-undang Penanaman Modal (UU No. 25 Tahun 2007), penanaman modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia. Besar modal minimal yang dibutuhkan untuk berbisnis di bawah suatu perseroan terbatas (PT) dapat dilihat dalam Undang-undang Perseroan Terbatas, yaitu Rp. 50.000.000 (modal dasar).

Dari modal dasar tersebut, setidaknya 25% harus dialokasikan sebagai modal ditempatkan dan disetor, yaitu Rp. 12.500.000 (bila modal dasar kita adalah 50 juta). Untuk bidang usaha tertentu, modal dasar minimal bisa jadi harus lebih dari 50 juta. Contohnya adalah perusahaan jasa pengurusan transportasi yang mempersyaratkan modal dasar minimal Rp. 25 miliar.

Diperlukan catatan khusus mengenai perusahaan-perusahaan yang menggunakan modal asing. Dibutuhkan modal dasar minimal sebesar Rp. 10 miliar, di luar investasi tanah dan bangunan. Kemudian, pengusaha juga perlu memohon penerbitan Izin Prinsip ke Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) supaya perusahaan kita dapat menggunakan modal asing.

Izin Prinsip ini dapat dimohonkan sebelum atau sesudah PT didirikan. Izin Prinsip adalah persetujuan awal dari BKPM sebelum pemodal asing dapat berinvestasi. Untuk memperoleh Izin Prinsip ini, kita harus menyerahkan rencana penggunaan modal asing dan berapa besarnya yang akan diinvestasikan di bisnis kita. Dengan terbitnya Izin Prinsip, PT kita resmi menjadi PT penanaman modal asing (PT PMA).

Kemudian, dalam hal PT PMA kita akan memulai operasi atau produksi, kita perlu memohon Izin Usaha dari BKPM. Izin Prinsip merupakan salah satu persyaratan untuk memohon Izin Usaha tersebut. Bentuk Izin Usaha BKPM bisa macam-macam, tergantung dari jenis usaha yang kita jalankan.

Satu hal lagi yang perlu diingat sebelum menerima modal asing adalah Daftar Negatif Investasi (DNI) yang disusun oleh pemerintah. Tidak semua bidang usaha di Indonesia memperbolehkan penyertaan modal asing. Beberapa bidang usaha tertutup dari modal asing; beberapa lainnya terbuka, tapi dengan jumlah terbatas. Seberapa besar penanam modal asing dapat memberikan modalnya dalam suatu usaha diatur dalam DNI ini, tergantung dari bidang usahanya.

Apabila masih terdapat hal-hal lebih rinci yang anda ingin ketahui soal penanaman modal asing, anda dapat berkonsultasi dengan pengacara atau langsung ke BKPM. Mengingat modal yang dipersyaratkan cukup besar, pengusaha juga perlu melakukan persiapan yang matang sebelum memohon Izin Prinsip, supaya izin tersebut tidak perlu sedikit-sedikit diubah ke depannya.

logo_klikkonsul

Klikonsul adalah konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Kami dapat menyusun kontrak, mengurus izin, mendirikan perusahaan, hingga membantu perencanaan bisnis. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com.

Menyikapi Penggunaan Teknologi Komputasi Awan untuk Jaminan Keamanan

Sama seperti teknologi lainnya, komputasi awan di balik segala kelebihan yang ditawarkan menyimpan potensi ancaman keamanan yang cukup besar. Kehilangan atau kebocoran data yang disimpan dalam infrastruktur komputasi awan bisa menjadi risiko yang dapat berimbas fatal bagi bisnis. Terlebih data bisa bocor dari dalam, bukan dari luar.

Komputasi awan dan semua layanan-layanan yang melengkapinya dewasa ini menjadi perbincangan serius di forum-forum teknologi, termasuk di dalamnya tentang sektor keamanan. Seiring mulai naik daunnya layanan komputasi awan kebutuhan perusahaan atau organisasi terhadap penyedia layanan keamanan terus meningkat.

Perusahaan mulai mengantisipasi kemungkinan serangan-serangan yang mengganggu kinerja sistem atau infrastruktur komputasi awan yang mereka bangun. Namun tak bisa dipungkiri satu yang cukup menjadi ancaman serius adalah ancaman kebocoran data yang justru terjadi dari dalam sistem, dari para pengguna sistem. Tak hanya faktor teknis, tetapi juga non teknis.

Permasalahan teknis pada keamanan komputasi awan tidak terbatas pada apakah layanan yang digunakan itu privat maupun publik. Keduanya menyimpan potensi meski dalam kadar yang berbeda. Inisiatif pengamanan sistem harus terus berkembang mengingat jenis serangan yang juga terus berkembang.

Selain faktor teknis yang sudah pasti menjadi tanggung jawab divisi IT, faktor non-teknis juga menyimpan potensi untuk celah dalam kebocoran data dalam sistem komputasi awan. Hal ini terkait dengan pengalaman pengguna.

Dari sekian banyak karyawan di perusahaan tentu tidak semua memiliki kecermatan dan ketelitian yang sama dalam menggunakan perangkat teknologi. Kemungkinan infrastruktur komputasi awan bisa diakses di mana saja membuat kemungkinan mereka yang tidak begitu aware dengan permasalahan keamanan, seenaknya saja meninggalkan hal-hal krusial seperti informasi akun sistem, kata sandi atau hal krusial lainnya di ranah publik. Belum lagi kemungkinan pembajakan informasi ketika mereka berada di jaringan publik.

Untuk kasus seperti ini divisi IT harus bekerja sama dengan seluruh elemen dalam perusahaan untuk merumuskan kebijakan yang bisa mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan tersebut. Misalnya dengan membatasi akses dari jaringan tertentu dan lain sebagainya.

Belum lagi antisipasi akses terhadap para karyawan yang bermasalah. Selain dibatasi dengan hal-hal teknis, harus ada aturan dan kebijakan non-teknis. Misalnya dengan perjanjian yang sah di mata hukum untuk mengantisipasi terjadinya permasalahan di kemudian hari.

Disclosure : DailySocial bekerja sama dengan Big Data-Madesimple dalam penulisan artikel ini.

Akselerasi Pertumbuhan Startup dengan Big Data

Data dalam beberapa waktu terakhir menjadi salah satu objek yang dibicarakan banyak orang. Tak hanya instansi dan organisasi pemerintah tetapi juga di sektor bisnis. Bahkan beberapa perusahaan sudah mulai mengambil nilai lebih dari data dengan menerapkan teknologi big data. Menganalisis data untuk mendapat manfaat baru.

Salah satu yang dianggap sebagai manfaat penerapan big data adalah kemampuan teknologi ini untuk mengakselerasi bisnis. Data yang menumpuk bisa dimanfaatkan untuk menunjukkan pola pemasaran, penjualan dan juga kebutuhan pelanggan. Sesuatu yang jika ditindak lanjuti dengan bijak akan mendekatkan bisnis dengan pelanggan.

Startup misalnya, sebagai bisnis yang menjadikan pengalaman dan kenyamanan pelanggan bisa lebih mudah untuk mengidentifikasi kebutuhan dan keinginan pasar. Dengan demikian target pasar bisa dijangkau lebih optimal. Data-data yang melimpah dari media sosial dan saluran pemasaran bisa menjadi pelengkap yang tepat untuk teknologi big data.

Di Indonesia tingkat adopsi big data mungkin tidak sebanyak yang sudah ada di luar negeri, tapi dengan perkembangan alat dan kemudahan mengakses penyedia layanan big data bisa membuat teknologi ini solusi murah untuk manajemen data.

Teknologi komputasi awan adalah pasangan sempurna untuk teknologi big data. Dua kombinasi teknologi ini bisa menjadi solusi terbaik bagi startup yang ingin mengoptimalkan data dan mengakselerasi bisnis mereka.

Sudah bukan menjadi rahasia umum jika sebagian startup memulai petualangan bisnisnya dengan dana yang terbatas. Mulai dari anggaran pengembangan produk, kampanye di media sosial, dan urusan manajerial semua menjadi terbatas. Salah satu harapan untuk meningkatkan produktivitas ada pada pemilihan teknologi yang digunakan.

Komputasi awan dan big data tidak bisa dibilang murah, tapi setidaknya lebih optimal jika dibanding harus membangun infrastruktur secara mandiri. Menyewa layanan komputasi awan lebih masuk akal dibanding membangun infrastrukur server bagi startup dengan dana terbatas.

Untuk big data memang belum ada pembanding langsung, tetapi jika ingin langsung memanajemen data dari berbagai saluran seperti pemasaran, umpan balik aplikasi, surel, hingga media sosial big data adalah pilihan terbaik.


Disclosure: DailySocial bekerja sama dengan Bigdata-madesimple.com untuk penulisan artikel ini

Bagaimana Big Data dan Komputasi Awan Mengubah Dunia Medis

Dewasa ini dunia medis didorong untuk melakukan pembaruan di teknologi mereka terutama untuk teknologi big data dan komputasi awan. Kedua teknologi tersebut dirasa mampu menjadi ujung tombak untuk ekspansi layanan medis. Selain jangkauan yang lebih luas dari teknologi komputasi awan, teknologi big data juga diharapkan memberikan solusi yang lebih baik bagi industri medis.

Salah satu yang menjadi pembahasan utamanya adalah big data. Selama ini kita kenal dokter sebagai satu-satunya sumber pengetahuan medis. Namun hal ini bergeser hari demi hari berkat hadirnya teknologi. Menggunakan big data dalam sektor medis dapat membantu kinerja dokter. Teknologi big data mampu menyuguhkan data-data konkret untuk mendukung opini seorang dokter. Para dokter mungkin bisa beropini, berspekulasi bahkan menyimpulkan tentang kondisi pasien, sedang big data berperan memproduksi datanya.

Mungkin banyak yang berpendapat bahwa hal tersebut mulai menggantikan peran dokter dengan mesin, tapi sebetulnya tidak. Repositori big data medis berbasis komputasi awan hanya membantu memudahkan dokter, bukan menggantikannya. Salah satu alasannya adalah dokter setiap harinya menghasilkan banyak data, terutama data-data penting. Teknologi big data mampu membantu mereka mengelola dan memberikan efisiensi data yang mereka kumpulkan. Tentu dengan penghematan waktu yang lebih singkat.

Dalam penerapan big data dalam dunia medis, salah satu hal positifnya adalah prediksi. Big data membantu untuk menemukan diagnosa penyakit dengan cara yang sebelumnya belum ada di industri medis. Dengan teknologi ini dokter juga terbantu dalam menemukan korelasi dalam agregasi data yang biasanya mereka abaikan.

Dokter yang menolak bergerak maju, dengan memanfaatkan teknologi untuk kebutuhan analisis seperti big data dan layanan komputasi awan, akan tertinggal adopsi teknologi. Padahal sudah seharusnya mereka melakukan pembaruan teknologi untuk memudahkan pencatatan EMR (electronic medical report) dan meningkatkan efisiensi dari praktik medis.

Untuk saat ini, hadirnya perangkat lunak manajemen dalam dunia medis hanya akan berfungsi membantu dokter dalam mengatasi permasalahan digitalisasi dan kemudahan bagi pasien mereka. Di sisi lain, masyarakat, dan mungkin juga termasuk para pasien, sudah menjadi seorang tech-savvy yang sudah sangat akrab dengan teknologi. Sudah saatnya dunia medis semakin mendekat kepada pasien dan terhubung dengan mereka dengan teknologi yang lebih maju.

Teknologi selama ini telah dikenal sebagai sesuatu yang bisa meningkat kinerja dan efisiensi, termasuk dalam dunia medis. Big data dan layanan komputasi awan akan menawarkan sesuatu yang lebih bermanfaat bagi para profesional medis dalam mengurangi beban keseharian mereka.

Dengan analisis data yang lebih baik, dokter akan lebih optimal dalam menegakkan diagnosis pasien. Bagi pasien, ini berarti pencegahan dan pengobatan yang lebih baik. Dengan konektivitas yang disediakan layanan komputasi awan para profesional medis akan lebih dekat dengan para pasien. Terlebih jika sudah menyentuh solusi mobile.


Disclosure: DailySocial bekerja sama dengan Bigdata-madesimple.com untuk penulisan artikel ini

Mampukah UU ITE Menjawab Tantangan Perkembangan E-Commerce di Indonesia?

Bukan informasi baru bahwa Indonesia memiliki pangsa pasar yang besar, termasuk pasar bagi kegiatan perdagangan elektronik, atau yang lumrah disebut e-commerce. Hingga akhir tahun 2015 kemarin, Kementerian Komunikasi dan Informatika (“Kominfo”) mencatat bahwa terdapat 93,4 juta pengguna internet di Indonesia dan 7,4 juta di antaranya adalah konsumen online shop dengan total nilai transaksi e-commerce sebesar $3,5 milliar. Kominfo memperkirakan jumlah online shopper akan meningkat menjadi 8,4 juta orang dengan nilai transaksi hingga $4,89 miliar di sepanjang tahun 2016 ini.

Sayangnya, potensi besar tersebut belum didukung dengan peraturan perundang-undangan yang memadai karena belum ada peraturan yang secara khusus diterbitkan untuk mengatur sektor e-commerce. Hingga saat ini, hanya terdapat Rancangan Peraturan Pemerintah tentang E-Commerce (“RPP E-Commerce”) sebagai calon peraturan pelaksana dari Undang-Undang No. 7 tahun 2014 tentang Perdagangan (“UU Perdagangan”). Selama rancangan peraturan tersebut belum disahkan, maka kerangka utama peraturan perundang-undangan terkait kegiatan e-commerce masih berpusat pada Undang-Undang No. 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Elektronik (“UU ITE”).

Salah satu tujuan diterbitkannya UU ITE memang untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi para pelaku di sektor e-commerce. Namun, banyak anggapan bahwa undang-undang ini belum mampu mewujudkan tujuannya tersebut, sebagaimana akan dibahas dalam artikel ini.

Pembahasan mengenai ketidakmampuan tersebut dapat dimulai dari fakta bahwa tidak adanya definisi khusus untuk e-commerce dalam kerangka UU ITE, sebab kegiatan perdagangan yang dilakukan secara elektronik tersebut dipahami sebagai “transaksi elektronik”. Padahal, definisi “transaksi elektronik” yang diberikan oleh Pasal 1 ayat (2) UU ITE begitu luas, yaitu perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan komputer, jaringan computer, dan/atau media elektronik lainnya.

Sebagai perbandingan, UU Perdagangan memahami e-commerce sebagai “perdagangan melalui sistem elektronik”, yaitu perdagangan yang transaksinya dilakukan melalui serangkaian perangkat dan prosedur elektronik (Pasal 1 nomor 24 UU Perdagangan).

Selain itu, banyak ketentuan dalam UU ITE yang masih “kosong” dan oleh karenanya memerlukan peraturan pelaksana. Beberapa di antaranya sangat berkaitan dengan perkembangan kegiatan e-commerce, seperti:

1. Ketentuan mengenai penyelenggaraan transaksi elektronik

Terlepas dari adanya ketentuan-ketentuan lain tentang transaksi elektronik dalam Bab V, UU ITE tetap mengamanatkan diterbitkannya peraturan pemerintah untuk mengatur penyelenggaraan transaksi elektronik dalam ringkup publik ataupun privat. Walau demikian, UU ITE tidak menjelaskan cakupan ketentuan penyelenggaraan yang dapat diatur dalam peraturan pemerintah tersebut (Pasal 17 dan penjelasannya dalam UU ITE).

2. Ketentuan mengenai lembaga sertifikasi keandalan dan penyelenggara sertifikasi elektronik

UU ITE mengatur bahwa setiap pelaku usaha yang menyelenggarakan transaksi elektronik dapat disertifikasi oleh lembaga sertifikasi keandalan. Lembaga tersebut merupakan lembaga independen yang dibentuk oleh para profesional untuk mengaudit dan mengeluarkan sertifikat keandalan dalam transaksi elektronik, di mana kegiatannya harus disahkan dan diawasi oleh pemerintah (Pasal 10 UU ITE).

Sertifikat keandalan adalah bukti bahwa pelaku usaha yang melakukan perdagangan secara elektronik layak melakukan usahanya tersebut, setelah melalui penilaian dan audit dari badan yang berwenang (penjelasan Pasal 10 UU ITE). Keberadaan lembaga sertifikat keandalan jelas penting untuk memberikan ukuran kelayakan pelaku usaha di bidang e-commerce dan pada akhirnya meningkatkan kepercayaan masyarakat dalam bertransaksi melalui sistem elektronik.

Sejalan dengan ketentuan di atas, UU ITE juga mengamanatkan penerbitan peraturan pemerintah mengenai penyelenggara sertifikasi elektronik, yaitu badan hukum yang memberikan dan mengaudit sertifikat elektronik. Sertifikat ini memuat tanda tangan elektronik dan identitas yang menunjukkan status subjek hukum para pihak dalam transaksi elektronik. Sama halnya dengan sertifikat keandalan, sertifikat elektronik juga penting untuk meningkatkan kepastian dalam melakukan transaksi e-commerce dan mencegah penyalahgunaan data dari para pelaku dalam kegiatan perdagangan elektronik.

Sayangnya, kedua peraturan pelaksana tersebut tak kunjung diterbitkan. Padahal, UU ITE telah mengatur bahwa peraturan pelaksana dari UU ITE wajib diterbitkan dalam waktu selambat-lambatnya 2 tahun sejak UU ITE diundangkan (Pasal 54 ayat (2) UU ITE).

Selain kekurangan yang dijelaskan di atas, perlu juga dilakukan sosialisasi yang lebih mendalam mengenai ketentuan-ketentuan dalam UU ITE sehingga masyarakat lebih memahami hak dan kewajibannya dalam bertransaksi sebagaimana yang sudah diatur dalam UU ITE. Misalnya, hak mengajukan gugatan atas kerugian yang dialami atas penggunaan suatu sistem elektronik. Bukan sedikit kasus penipuan yang terjadi di bidang e-commerce, tapi tidak banyak konsumen yang menindaklanjuti hal tersebut sehingga tidak banyak yang mengetahui celah-celah penipuan yang dapat terjadi, apalagi cara mengatasinya.

Pada akhirnya, dapat disimpulkan bahwa memang UU ITE perlu ditinjau kembali. Tidak hanya memperbaiki kekurangan-kekurangan yang dijelaskan sebelumnya, peninjauan kembali tersebut juga diaharapkan dapat mengakomodir berbagai perkembangan di sektor e-commerce yang telah terjadi selama tujuh tahun keberlakuan UU ITE dan perlu diakomodir agar pelaksanaan e-commerce di Indonesia dapat lebih optimal.

logo_klikkonsul

Klikonsul adalah konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Kami dapat menyusun kontrak, mengurus izin, mendirikan perusahaan, hingga membantu perencanaan bisnis. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com.

Peran Sentral Chief Data Officer di Era Big Data

Teknologi big data menghadapkan pada kita fakta bahwa data tidak harus didiamkan. Data jika hanya ditumpuk hanya akan menjadi beban. Manajemen data yang buruk hanya akan membuat perusahaan mendapatkan “limbah data”. Terlebih jika data sudah terlalu lama disimpan mungkin nilai dari data bisa berkurang, sehingga mempertahankan data seolah membuatnya sia-sia. Untuk itulah perusahaan sekarang membutuhkan Chief Data Officer.

Peran atau posisi Chief Data Officer relatif baru, tapi sangat dibutuhkan saat ini. Perusahaan dihadapkan pada fakta bahwa pelanggan mulai membanjiri mereka dengan data. Data ini harus dikelola dengan tepat dan cepat untuk bisa dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Chief Data Officer dihadapkan pada tanggung jawab pengelolaan data bisnis secara keseluruhan. Mengambil alih dari IT atau bagian yang biasa bersinggungan dengan data. Hadirnya Chief Data Officer bisa menempatkan kualitas data di inti operasi bisnis.

Hal yang mereka lakukan adalah melacak di mana perusahaan meletakkan aset data. Mencari tahu di mana mereka disimpan, siapa yang memiliki akses, dan informasi seberapa sering mereka “dibersihkan” dan diperiksa. Mereka meletakkan kualitas sebagai yang terpenting untuk mengelola kemurnian data-data penting dan memastikan perusahaan tidak mengeluarkan biaya lebih untuk menyimpan, menggandakan, versifikasi data atau data yang rusak.

Data bisa lebih “bersih” dan berguna bagi semua orang di dalam perusahaan. Membawa manajemen data lebih aman, tepat waktu dan efektif untuk data pelanggan.

Namun Chief Data Officer bukanlah seorang penyihir atau superhero yang tiba-tiba datang langsung mengatasi permasalahan perusahaan tentang data. Harus ada tujuan strategis dari perusahaan untuk menjadikan data sebagai aset. Tugas Chief Data Officer adalah untuk memastikan tujuan itu tercapai.

Misi menjadikan data sebagai aset strategis bukan misi individu. Itu harus menjadi tanggung jawab bersama. Setelah adanya Chief Data Officer di perusahaan, setiap elemen yang ada di perusahaan harus mulai mendukung dengan tetap bertanggung jawab pada data yang mereka hasilkan untuk membantu kerja Chief Data Officer.


Disclosure: DailySocial bekerja sama dengan Bigdata-madesimple.com untuk penulisan artikel ini

“Highlight” Kauffman Global Summit: Memandang dari Sudut Pandang Asia Tenggara

Kauffman Foundation menghadirkan Kauffman Global Summit yang pertama kali diselenggarakan di Asia Tenggara. Sebagai salah satu foundation yang paling ternama di dalam bidang venture capital, tahun ini Kauffman memilih negara Singapura untuk menjadi tuan rumah, yang dikenal memiliki ekosistem startup yang sangat vibrant dan matang di antara negara-negara Asia Tenggara lainnya. Summit kali ini dilaksanakan di BASH Coworking Space yang terletak di Block 79 — sebuah hub startup terbaru di area One North Launchpad Hub — dan juga kampus INSEAD Business School.

Salah satu panel yang menjadi highlight dari summit ini adalah panel mengenai Corporate Venture Capital, yang dinilai oleh banyak ahli sebagai salah satu model venture investing yang lebih strategis. Panel ini dihadiri oleh John McIntyre (CEO Citrix Accelerator), Dr. Alex Lin (Head of Infocomm Investments/IDA of Singapore), Boon Ping (CEO SPH Media Fund) dan Nicko Widjaja (CEO Telkom MDI) yang dimoderasikan oleh John Fitzpatrick yang merupakan Asia Pacific Director for Venture Capital and Startup Ecosystem dari AWS Activate.

Pembicaraan seputar corporate venture initiatives ini berlangsung selama 50 menit, diawali dengan memperkenalkan masing-masing perusahaan di bawah bendera korporasi dan dilanjutkan dengan sesi interaktif antara moderator dan keempat panelis, serta diakhiri dengan sesi tanya jawab dengan peserta Summit yang terdiri dari wakil-wakil perusahaan modal ventura papan atas seperti Sequoia Capital, Andreessen Horowitz, Intel Capital, Accel Partners, BCG Ventures dan beberapa corporate venture capital regional lainnya seperti Mediacorp, NSI Ventures (North Star Group), Vertex Ventures (Temasek Group), Formation8 dan lainnya.

Moderator melemparkan kesempatan pertama kepada John McIntyre (MD Citrix Accelerator) untuk memberikan perbandingan kondisi ekosistem bagi startup di Amerika Serikat dengan Asia Tenggara.

“Pengalaman saya setelah hampir 20 tahun berkecimpung di dalam corporate ventures and innovation di Amerika Serikat, adalah tren investasi dari corporate ventures di AS semakin lama semakin meningkat. Hal ini terjadi karena semakin banyak Venture Capital dan Startup di AS yang melihat pentingnya memiliki exit strategy yang solid di pasar teknologi digital yang sudah cukup matang, sehingga Corporate Venture Initiatives yang biasanya memiliki exit strategy yang lebih solid mulai dilirik oleh para startup dan investor. Hal ini belum terlihat di negara-negara Asia Tenggara dimana ekosistem startup-nya masih pada tahap early stage,” ujar John.

Pengalaman investor Asia Tenggara

Kondisi serupa yang dikatakan oleh Dr. Alex Lin bahwa Singapura dalam formasi awalnya juga berinvestasi dalam membangun ekosistem bagi entrepreneur melakukan eksperimen untuk mengembangkan startup early stage melalui dukungan network dari korporasi.

Alex mengatakan, “Banyak founder dari early-stage startup yang belum memahami bagaimana cara membangun perusahaan, mengembangkan bisnis, merekrut dan mempertahankan talenta, dan sebagainya. Dalam hal ini, korporasi dalam corporate venture initiatives memiliki peran yang krusial di dalam memberikan arahan kepada para founder dari startup, dan juga network korporasi dalam rangka membantu meningkatkan growth dari startup tersebut.”

Indonesia yang merupakan pangsa pasar terbesar di Asia Tenggara menjadi topik pembahasan yang menarik karena melihat trend startup di Singapura, Malaysia, bahkan Thailand, ketika sudah menjadi besar di negaranya masing-masing mereka melakukan ekspansi besar-besaran ke Indonesia (GrabTaxi dari Malaysia, Carousell dari Singapura, dan 2C2P dari Thailand).

“Kondisi pasar di Indonesia unik dan tidak mudah ditaklukkan begitu saja, misalkan GrabBike dengan Go-Jek, dimana Go-Jek memiliki keunggulan dibandingkan GrabBike dalam hal business verticals yang telah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat Indonesia, terutama vertikal Go-Food yang menjadi komponen terbesar dalam traffic yang dimilili oleh Go-Jek,” ungkap Nicko Widjaja (CEO Telkom MDI).

Diskusi panel berlanjut kepada peranan korporasi dalam pembinaan startup. SPH Media Fund dengan SPH Plug and Play (kolaborasi dengan inkubator dari Silicon Valley, Plug and Play), Infocomm Investments yang juga merupakan program startup incubation and acceleration milik Infocomm Development Authority (IDA) of Singapore, Citrix Accelerator yang berbasis di Silicon Valley dan Telkom dengan program Indigo Incubator.

“Telkom yang telah memiliki inisiasi program Indigo Incubator sejak 2012 telah membuktikan bahwa peranan korporasi dalam membimbing digital entrepreneur menjadi hal yang sangat krusial dalam tahapan suatu negara untuk memupuk kesiapan dan kematangan dari ekosistem startup di Indonesia,” tutur Nicko.

“Kami melihat aspirasi yang terus bertumbuh dan yang menarik dari setiap batch terlihat kualitas founder yang semakin baik. Survival rate pun terus meningkat.”

“Indigo telah menjadi platform yang sangat baik dan kondusif untuk perusahaan yang masih berada pada seed stage, maka Telkom MDI dimandatkan menjadi platform untuk perusahaan yang sudah dalam growth stage”, lanjutnya.

Moderator melemparkan pertanyaan kepada keempat panelis, apakah yang menjadi fokus utama bagi sebuah corporate ventures: financial gain atau group synergy (strategic fit).

Boon Ping (CEO SPH Media Fund) mengatakan bahwa yang terpenting bagi sebuah korporasi dalam melakukan aktivitas corporate ventures and innovation adalah membangun kredibilitas melalui co-investment dengan investor atau venture capital lain yang prominent, untuk meningkatkan financial gain dari investasi yang telah dilakukan.

“Tentunya financial return merupakan fundamental dari setiap investasi. Strategic Fit dan Group Synergy dapat berubah seiring berjalannya waktu dan pergantian kepengurusan. Satu-satunya hal yang tidak akan berubah dalam skema investasi adalah fundamentalnya, yakni financial gain. Oleh karena itu, kita akan selalu fight untuk mendapatkan deal yang paling baik dari setiap investasi. Untuk mendapatkan deal yang baik, sangatlah penting bagi kami untuk melakukan co-investment dengan investor yang lain,” papar Boon Ping.

Nicko juga sepakat dengan apa yang dikatakan oleh Boon Ping, bahkan dalam prakteknya, pada startup yang masih di tahapan Indigo sekalipun telah dilakukan validasi melalui follow-on funding dari investor pihak ketiga, baik oleh angel investor, Venture Capital, ataupun institutional investor yang lain.

Nicko mengungkapkan, “Selain faktor strategi, follow-on funding dari pihak ketiga sangatlah penting bagi startup untuk membuktikan bahwa solusi yang diberikan valid di pasar. Entrepreneurial mindset seperti ini yang selalu kita coba untuk tanamkan pada para startup founder yang mengikuti program Indigo, sehingga mereka memiliki attitude yang benar di dalam mengembangkan sebuah startup.”

Di akhir panel, keempat panelis sepakat mengatakan bahwa semakin banyak korporasi-korporasi besar yang ada di Asia Tenggara menyadari pentingnya untuk melakukan inovasi di dalam tubuh perusahaan untuk dapat tetap relevan di pasar, sehingga kita akan melihat semakin banyak corporate venture initiatives akan muncul di ASEAN. Hal ini dinilai dapat menjadi sebuah avenue baru untuk dieksplorasi lebih lanjut oleh para startup founder sebagai salah satu alternatif strategic pathway dalam mengembangkan perusahaan masing-masing.


Disclosure: Artikel tamu ini ditulis oleh Joshua Agusta. Joshua adalah Associate di Telkom MDI

Big Data dan Revolusi Industri Memandang Data

Big data telah mengubah cara pandang kita terhadap data. Relativitas dan scope data sedang berubah. Alir dan saluran data semakin banyak menyebabkan teknologi big data menjadi salah satu hal yang wajib dipahami. Salah satu cara yang unik untuk mencoba mengerti teknologi big data adalah dengan memahami bagaimana data mining bekerja dan bagaimana melihat aspek keuntungan lain dari data. Big data sebenarnya adalah pengelolaan data dengan cara yang tepat.

Perkembangan teknologi internet dan menjamurnya media sosial dan budaya-budaya daring lainnya berperan besar terhadap perkembangan teknologi big data. Tepatnya membantu ekosistem big data tumbuh. Setiap dari kita mengunggah gambar, membeli barang secara daring, dan kegiatan daring lainnya turut menyumbang data yang sedikit “memaksa” untuk mengelola data tersebut lebih baik dengan big data. Lanskap big data pada umumnya membantu untuk berinovasi dalam mengembangkan, mengumpulkan, bertahan dan mempertahankan berbagai macam informasi.

Big data merupakan sesuatu yang rumit. Berbicara tentang big data selain berbicara mengenai ukuran data yang besar juga tentang variasi dan arus data yang kencang. Terlebih lagi selalu akan ada “banjir” data selama internet, media sosial dan perangkat seperti wearable dan internet of things masih tetap digunakan dan saling terhubung.

Sebuah tantangan yang mesti dipecahkan industri. Terlebih bagi mereka yang mencoba mendapatkan wawasan lebih dari data yang mereka miliki. Memahami data mining bisa menjadi awal yang baik untuk memahami bagaimana big data bekerja. Juga bagaimana pengelolaan data dengan berbagai macam kompleksitas seperti ukuran, variasi dan alir yang deras.

Pada intinya big data mampu merevolusi bagaimana cara industri mencari informasi dan selanjutnya dimanfaatkan untuk sebuah improvisasi. Informasi yang didapat bisa diubah menjadi strategi untuk kebutuhan perusahaan. Data yang terus bertambah butuh pengelolaan yang tepat. Big data bisa menjawab hal itu.


Disclosure: DailySocial bekerja sama dengan Bigdata-madesimple.com untuk penulisan artikel ini