Bintang Esports, Survivorship Bias, dan Potensi Masalah yang Berbaris di Belakangnya

RRQ Hoshi baru saja memenangkan gelar MPL yang ketiga setelah mengalahkan Alter Ego di babak Grand Final MPL ID Season 6. Mereka tak hanya mendapatkan hadiah uang kemenangan semata. Usaha mereka juga membuahkan kejayaan serta popularitas berkat pencapaian mereka mempertahankan gelar sebagai raja MLBB Indonesia selama 2 musim ke belakang.

Melihat pemain-pemain RRQ Hoshi yang begitu sukses sebagai seorang gamers, mungkin jadi tidak heran kalau gamers bermimpi mencapai kesuksesan serupa. Coba saya tanya, siapa yang tidak mau menjadi bintang esports (pemain atau game streamer)? Berlimpah uang hadiah, populer, dan diakui oleh masyarakat luas. Bukan hanya gamer, bahkan orang-orang awam juga mungkin bisa mendadak jadi main game mengetahui berita kesuksesan ini.

Dari narasi tadi, tidak heran juga kalau banyak anak muda yang terhanyut dalam impian tersebut dan berusaha keras untuk mencapainya. Bermimpi tidak salah, berusaha keras untuk mencapai mimpi tersebut juga tidak ada salahnya. Namun demikian ada satu kenyataan yang perlu diterima bahwa mengejar karir menjadi bintang esports memiliki kesempatan sukses yang sangat kecil dan mungkin impian tersebut bahkan bukan untuk semua orang.

 

Kesuksesan Bintang Esports Cuma Untuk 1% Orang

Kemenangan Lemon dan kawan-kawan RRQ Hoshi mungkin menginspirasi Anda untuk turut berjuang demi mencapai kesuksesan serupa. Tapi tunggu dulu. Kalau kita teliti lagi menuju kesuksesan serupa seperti Lemon dan kawan-kawan RRQ Hoshi bukanlah hal yang mudah. Ditambah lagi kesempatanya juga amat sangat kecil.

Kenapa tidak mudah? Hitung-hitungan kasarnya mungkin seperti ini. Anggaplah roster RRQ Hoshi berisi 5 orang (demi memudahkan perhitungan… Hehe). Lalu berdasarkan klaim Moonton tahun 2018 jumlah pemain aktif MLBB di Indonesia adalah 50 juta orang. Maka berdasarkan perkiraan tersebut dengan asumsi jumlah pemain MLBB masih sama angkanya, artinya kesempatan Anda untuk bisa sukses seperti kawan-kawan RRQ Hoshi hanyalah 5 per 50 juta atau 0,0001%.

Terlepas dari kecilnya kesempatan tersebut anak muda tetap berbondong-bondong bermain games dengan mimpi untuk menjadi bintang esports Indonesia. Bukti pernyataan tersebut bisa dicontohkan lewat acara ajang pencarian bakat esports yang dilakukan salah satu televisi nasional Indonesia. Lewat sebuah postingan Instagram, dikatakan bahwa ajang tersebut sudah diikuti oleh 20 ribu lebih gamers Indonesia. Lagi-lagi proporsi angka yang sangat jauh antara jumlah kompetitor dengan jumlah orang yang berhasil sukses/survive.

Namun mimpi orang-orang menjadi bintang esports bisa jadi sangat positif bagi para pelaku bisnis. Semakin banyak orang bermimpi menjadi bintang esports bisa berarti semakin banyak orang yang mendaftar untuk sebuah turnamen. Semakin banyak orang bermimpi menjadi bintang esports juga bisa berarti konten-konten esports yang dilahap oleh anak-anak muda Indonesia. Sayangnya buaian mimpi menjadi bintang esports juga bisa jadi berdampak buruk karena melanggengkan yang disebut sebagai Survivorship Bias.

Konsep Survivorship Bias atau bias kebertahanan bisa diartikan secara sederhana sebagai bentuk kesalahan pola pikir yang terjadi karena terlalu fokus kepada sebagian kecil mereka yang berhasil (survive) dengan melupakan sebagian besar yang gagal.

Contoh paling populer konsep ini terjadi pada kasus ahli matematika Amerika Serikat, Abraham Wald, ketika diminta untuk mempelajari bagian mana yang harus dilindungi agar pesawat tempur tidak tumbang dalam perjalanan pulangnya pada masa perang dunia ke-2.

Cara yang dilakukan Wald saat itu adalah mendata bagian pesawat yang paling banyak ditembaki oleh musuh. Setelah data dikumpulkan, ditemukan bahwa bagian yang paling banyak ditembaki ada di bagian sayap pesawat. Berdasarkan dari data tersebut, orang-orang berkesimpulan untuk melapisi bagian sayap dengan baja yang lebih tebal dan berharap jumlah pesawat yang survive jadi lebih banyak. Tapi Abraham Wald berpikir sebaliknya mengatakan untuk mencoba melapisi bagian mesin pesawat yang jarang terkena tembak menurut data.

Kenapa demikian? Wald berasumsi bahwa sayap yang bolong merupakan tembakan meleset dari senjata anti udara pasukan musuh. Jadi tentu tidak masuk akal jika melapisi sayap dengan baja, toh pesawat yang sayapnya berlubang juga selamat sampai tujuan. Sementara data lain mengatakan bagian mesin adalah bagian yang paling jarang ditembak. Namun menurut Wald bagian tersebut lebih penting untuk dilindungi. Kenapa? Karena rata-rata pesawat yang tertembak di bagian mesin tidak selamat sampai tujuan sehingga jadi tidak tercatat. Berarti, data milik Wald jadi menunjukkan bahwa pesawat yang tertembak di mesin sedikit yang selamat.

Dalam esports, salah paham dalam bentuk Survivorship Bias sangat mungkin terjadi. Gaung bintang-bintang esports seperti Lemon dan kawan-kawan RRQ Hoshi atau Zuxxy-Luxxy dan kawan-kawan Bigetron RA mungkin teramat nyaring. Tapi apakah Anda tahu berapa ribu atau bahkan juta orang yang telah mereka kalahkah supaya bisa mencapai titik tersebut?

Sebuah ilustrasi Survivorship Bias dengan menggunakan perebutan jumlah viewers Fortnite sebagai contoh. Sumber: YouTube RoninOwl
Sebuah ilustrasi Survivorship Bias dengan menggunakan perebutan jumlah viewers Fortnite oleh para game streamers sebagai contoh. Sumber: YouTube RoninOwl

Apakah artinya mimpi menjadi bintang esports itu negatif? Seperti yang saya sebut tadi, langgengnya bias pikir ini bisa jadi positif buat pelaku bisnis esports. Tanpa ada orang-orang yang bermimpi jadi bintang esports, tim, penyelenggara turnamen, ataupun konten-konten esports bisa jadi sepi pengunjung. Tanpa pengunjung, bisnis bisa jadi melambat karena para sponsor urung mempromosikan brand mereka lewat esports.

Tentunya, semua orang juga boleh saja bermimpi jadi bintang esports. Namun, catatan pentingnya, Anda juga harus sadar betapa beratnya persaingan dan kecilnya kesempatan untuk sukses di salah satu bidang — tak hanya esports. Walaupun pencapaian RRQ.Lemon membuktikan premis ‘bermain game bisa jadi sukses’, mari kita mencoba berandai-andai lagi bagaimana kira-kira Lemon mencapai kesuksesannya.

Pada awalnya Anda harus bersaing dulu dengan puluhan juta pemain Mobile Legends di Indonesia (atau bahkan Asia Tenggara) untuk bisa mencapai posisi Top Global. Setelah mencapai Top Global, Anda harus bersaing lagi dengan puluhan atau ratusan ribu orang untuk memenangkan sebuah turnamen. Setelah menang turnamen demi turnamen, Anda harus bersaing lagi demi bisa mendapat kesempatan untuk bertanding di MDL. Pada MDL, persaingan akan semakin keras lagi hingga akhirnya Anda bisa mencapai liga MPL.

Setelah sampai liga MPL, jumlah saingan Anda mungkin sedikit, cuma sekitar 40 pemain dari 8 tim (dengan asumsi setiap tim MPL memainkan roster 5 pemain). Tapi pemain MLBB di kelas MPL adalah pemain-pemain kelas elit, yang tidak hanya jago tapi juga memiliki mentalitas terbaik.

Sudah pasti mendapat kejayaan di MPL bukan perkara mudah. Contohnya seperti Alter Ego di Grand Final MPL ID Season 6 kemarin. Apakah mereka tidak jago? Apakah mental mereka kurang keras? Tentu tidak. Mereka sudah berjuang dengan segala daya dan upayanya yang sayangnya usaha tersebut dihentikan begitu saja. Apakah kerja keras membuahkan hasil hanya jadi bualan palsu? Bisa iya, bisa tidak. Kenapa begitu? Karena kenyataannya ada banyak faktor eksternal lain yang tidak bisa kita kendalikan dalam jalan menuju kesuksesan.

Jadi pertanyaan sebenarnya bagi Anda yang ingin mengejar impian jadi bintang esports adalah: Apakah Anda sudah siap mengarungi pahit manis perjuangan dan tetap konsisten di jalan kompetitif demi mencapai impian tersebut? Kalau Anda memang sudah siap dan punya mental baja seperti itu, maka silakan, bahkan saya sangat menyarankan untuk mengejar impian Anda.

Karena skill jago dan mental baja adalah komposisi penting yang dibutuhkan dari diri seorang bintang esports. Sisanya Anda tinggal berharap saja kepada semesta, semoga impian Anda terjawab.

Ya benar, semesta. Karena kenyataan lain yang harus kita terima bahwa kesuksesan juga datang dari keberuntungan. Keberuntungan di sini termasuk, bisa punya gadget dan internet yang mumpuni, punya teman-teman yang sudah terjun di dunia esports sebelumnya, punya orang tua yang mendukung perjuangan Anda mengejar mimpi jadi bintang esports, dan keberuntungan-keberuntungan lain yang mungkin tidak Anda sadari.

Tapi jangan lupa juga bahwa waktu Anda terbatas. Masa keemasan pemain di esports terbilang lebih pendek dibanding dengan atlet olahraga tradisional. Jangan lupa, tidak ada juga satu orang pun yang bisa menebak game apa yang akan menjadi tren di masa depan. Apakah MLBB akan tetap menjadi tren selama 5 sampai 10 tahun ke depan? Akankah MPL terus ada selama 5 sampai 10 tahun ke depan? Tak ada satu orang pun yang bisa menjawab hal tersebut.

“Kok lama-lama faktor eksternalnya jadi banyak sekali? Faktor-faktor tersebut bikin patah arang pula!” Karena memang kenyataan yang harus dihadapi gamers dalam mencapai impian menjadi bintang esports seperti itu adanya.

 

Survivorship Bias Esports, Media, dan Potensi Masalah Sosial di Belakangnya

Jika bicara soal bagaimana orang-orang jadi terhanyut dalam mimpi untuk menjadi bintang esports, bisa dibilang bahwa peran media menjadi salah satu faktor lain. Media yang saya maksud di sini tentunya tidak hanya terbatas pada media nasional ataupun media esports seperti Hybrid.co.id, tapi juga jejaring media sosial yang justru terbilang lebih lekat dengan kehidupan sehari-hari gamer Indonesia.

Dalam konteks media massa, Anda yang sering update pemberitaan esports mungkin sedikit banyak sadar ada glorifikasi atau pemujuaan berlebihan terhadap kesuksesan bintang-bintang esports. Mirip seperti pemujaan ‘bolos sekolah bisa sukses seperti Steve Jobs’, bintang esports kadang dipuja lewat narasi yang terlalu disederhanakan seperti ‘main game bisa jadi kaya raya’.

Dengan asumsi konsumen media adalah khalayak yang pasif, sajian narasi yang terlalu disederhanakan berpotensi memberi dampak negatif berupa masalah-masalah sosial. Dampak negatif yang saya bayangkan adalah jumlah anak muda yang terbuai mimpi jadi terlalu banyak. Jika mereka bisa realistis, hal tersebut mungkin jadi tidak masalah.

Tapi apa jadinya jika kebanyakan anak muda jadi menggunakan dalih ‘main game bisa sukses’ sebagai alasan menutupi kemalasan? Atau bolos sekolah pergi ke warnet dan menjual sepedanya untuk beli billing warnet supaya bisa menjadi Sumail?

Hal tersebut adalah masalah-masalah sosial yang saya khawatirkan terjadi. Gara-gara perkara itu bisa jadi jumlah pengangguran di usia muda jadi meningkat. Atau malah bisa jadi tingkat putus sekolah di kalangan muda juga meningkat, karena kebanyakan mereka terinspirasi melihat bintang esports lalu terjebak Survivorship Bias. Mengapa putus sekolah juga jadi masalah? Padahal banyak bintang esports yang sukses meskipun putus sekolah? Lagi-lagi mengingat kepada kenyataannya bahwa jenjang pendidikan formal adalah jalan paling aman untuk bisa bertahan hidup kalaupun tidak bisa ‘sukses’.

Media sosial juga menjadi agen lain atas pesan-pesan yang rentan menciptakan pola pikir Survivorship Bias menjadi bintang esports. Dari segi konten, media sosial punya kecenderungan untuk menyajikan isi konten yang lebih disederhanakan lagi jika dibanding dengan media massa. Selain itu cara media sosial menyajikan konten kepada para penggunanya juga punya potensi untuk menciptakan masalah lain.

Mungkin sudah menjadi rahasia umum bahwa konten media sosial disajikan berdasarkan preferensi konten yang Anda pilih. Menu Explore pada Instagram bisa jadi contoh. Jika mungkin Anda belum tahu, isi konten yang ada di menu Explore disajikan kepada Anda berdasarkan dari pola konsumsi konten Anda. Dalam menu tersebut, Instagram menyajikan konten yang serupa dengan konten-konten yang sebelumnya pernah Anda Like, Saved, atau Comment.

Sistem tersebut menciptakan sesuatu yang disebut sebagai Filter Bubble. Secara sederhana, maksud Filter Bubble adalah semacam “gelembung” yang mengurung konsumen media sosial ke dalam satu lingkup konten tertentu. Dalam konteks esports contoh nyatanya mungkin begini.

Misalnya, Anda adalah fans fanatik divisi MLBB EVOS Esports yang sering berinteraksi dengan konten-konten EVOS Esports. Berangkat dari pola konsumsi konten yang seperti itu, ada kemungkinan besar menu Explore Anda akan menyajikan konten-konten yang berkaitan dengan gaming/esports, MLBB, dan EVOS Esports.

Apa dampak dari fenomena Filter Bubble? Bisa dibilang bahwa Filter Bubble punya dampak seperti pedang bermata dua. Pelaku bisnis media sosial seperti Facebook, Instagram, dan kawan-kawan, senang sekali jika penggunanya terjebak Filter Bubble. Para pengguna jadi menghabiskan waktu lebih lama di media sosial, lebih sering membuka media sosial karena mereka terus menerus dijejali oleh konten yang mereka sukai. Jika pengguna lebih lama dan sering membuka media sosial lalu apa? Perusahaan-perusahaan tersebut jadi bisa menjejali pengguna dengan iklan yang serupa. Apabila pengguna berhasil terbujuk untuk membeli dari iklan tersebut, maka perusahaan media sosial akan jadi semakin untung lagi.

Tapi bagaimana dari sisi pengguna? Seperti yang saya sebut, Filter Bubble rentan menciptakan masalah sosial. Dalam konteks gaming/esports, Filter Bubble terbilang jadi alasan kenapa pemain satu game atau fans tim esports jadi mati-matian membela game/tim esports yang mereka cintai. Fenomena Filter Bubble jadi alasan pemain games atau fans tim esports terkurung dalam satu sisi sudut pandang saja. Membuat dunia digital seolah cuma punya dua sisi yaitu “fans” dan “haters” saja.

Dalam hal Survivorship Bias, Filter Bubble punya potensi untuk menghanyutkan pengguna media sosial lebih dalam lagi terhadap impian untuk menjadi bintang esports, entah menjadi pro player ataupun YouTuber. Karena jika sebuah media sosial melihat pola konsumsi konten pengguna yang menyukai konten-konten seputar hingar-bingar, maka ia akan terus disuapi oleh konten-konten serupa setelahnya. Maka dari itu media sosial punya potensi memperkuat masalah sosial serupa seperti penyederhanaan narasi “main game bisa sukses” yang dilkukan oleh media massa.

 

Pada Akhirnya…

Ide artikel ini tercipta dari keresahan saya yang muncul setelah berbincang dengan salah satu anggota forum gaming di media sosial . Dalam obrolan tersebut, ia bercerita singkat soal bagaimana dirinya punya impian berkarir di ekosistem gaming/esports Indonesia sejak dari lama namun masih belum mencapai apapun di tahun 2020 ini.

Perbincangan tersebut memunculkan kekhawatiran terhadap bagaimana hingar bingar berita dan cerita bintang esports berpotensi memberi dampak negatif bagi konsumennya. Bahkan jika pemujaan berlebihan media terhadap bintang esports ini diteruskan, bukan tidak mungkin generasi muda melakukan jalan-jalan yang berisiko seperti putus sekolah atau menganggur bertahun-tahun lalu hanya bermain game saja dengan dalih “mengejar karir esports“.

Kami tim redaksi Hybrid.co.id selalu mencoba untuk mengupas banyak sudut hingar bingar dunia esports. Bukan cuma bicara soal kesuksesan tapi juga kenyataan kenyataan lain yang harus dihadapi seperti pekerjaan di industri game dan esports yang tidak semudah yang dibayangkan. Ada jerih payah dan cucuran keringat yang tak mungkin diungkap semuanya ke muka publik. Kami juga beberapa kali mencoba mengangkat kisah profesi balik layar di esports, seperti menjadi Observer, Referee, manager tim esports, ataupun karir-karir lain yang perangkat kemampuannya juga dibutuhkan di industri lain selain esports. Pembahasan tersebut menjadi pesan pengingat kami kepada Anda, bahwa esports menyediakan banyak peluang lain selain dari menjadi bintang esports.

Selain itu, bukan berarti sekian jumlah tantangan dan potensi kegagalan itu bisa dijadikan kambing hitam untuk berhenti berjuang. Dari pembahasan ini, saya rasa penting untuk tetap membumi kepada realita. Walaupun karir menjadi bintang esports (pro player atau streamer) terbilang sangat menjanjikan, penting bagi Anda untuk sadar bahwa kesempatan mendapatkan kesuksesan besar amatlah kecil, butuh perjuangan besar, dan bijaknya memiliki rencana cadangan.

Patut diingat juga bahwa kenyataannya hanya mereka yang mencapai kejayaan yang berkesempatan menyampaikan kisahnya. Membuat ratusan atau mungkin ribuan kisah kegagalan menjadi bintang esports jadi tidak terungkap ke permukaan. Belum lagi industri esports juga mirip seperti industri entertainment yang tidak punya satu jalan pasti untuk menuju kesuksesan.

Artikel ini mungkin jadi terasa seperti ujaran orang tua yang bawel terhadap anaknya yang ngebet jadi bintang esports. Jadi akhir kata saya ingin bilang untuk tetap bermimpi dan berjuang untuk mencapai mimpi tersebut. Namun juga jangan sampai Anda lupa daratan. Tetaplah fokus pada apa yang nyata dan kejarlah peluang jelas yang ada di hadapan Anda.

Akankah Indonesia Menjadi Kiblat Esports Mobile Dunia?

Perkembangan esports di Indonesia terbilang begitu cepat. Salah satu perubahan yang cukup terasa datang dari sisi sistem kompetisi. Sekitar tahun 2016-2017 model kompetisi liga cukup jarang ditemukan di skena esports lokal. Tanpa liga rutin, para pemain terpaksa loncat dari satu turnamen ke turnamen lain untuk bisa terus bertanding dan menyambung hidup.

Tayangan esports juga terbilang kurang “seksi” bagi sponsor karena tayangannya tidak konsisten dan cuma berlangsung sesekali. Satu-satunya kompetisi liga esports di masa itu mungkin cuma League of Legends Garuda Series, liga utama League of Legends skena lokal. Walau menjadi salah satu pionir yang cukup sukses, sayangnya liga tersebut tutup usia tahun 2018 pasca Garena pamit undur diri mengurus server League of Legends lokal.

Lompat beberapa tahun ke depan, Indonesia kini punya tiga liga esports yang terbilang liga primer di tahun 2020. Tiga liga esports tersebut adalah yaitu MPL ID untuk Mobile Legends: Bang-Bang, PMPL ID untuk PUBG Mobile, dan FFML untuk Free Fire.

Dari tiga liga tersebut, Mobile Legends Professional League Indonesia (MPL ID) terbilang sebagai salah satu yang berandil besar terhadap hidupnya kembali ekosistem esports lokal. MPL ID tak hanya membuat pasar esports lokal bergeliat, tetapi juga menunjukkan potensi pasar esports lokal Indonesia untuk menjadi pusat perkembangan game mobile. Bukti pernyataan tersebut bisa kita lihat dari laporan data Esports Charts. Laporan turnamen esports terpopuler bulian September dari Esports Charts menunjukkan bagaimana MPL ID memiliki jumlah penonton yang bersaing, bahkan dengan League of Legends World Championship 2020 ataupun liga LoL primer seperti LCK Korea Selatan ataupun LEC Eropa.

Berangkat dari data tersebut saya jadi ingin mencari tahu lebih, kira-kira sudah sampai sejauh mana tren perkembangan esports Indonesia saat ini? Dengan menggunakan liga MPL ID sebagai sampel, Indonesia ternyata punya potensi untuk menjadi pusat perkembangan esports game mobile di masa depan. Apa benar? Inilah argumentasi saya.

 

Melihat Perkembangan Esports Indonesia tahun 2020 dari Tren Penonton Babak Regular Season MPL ID 2020 Season 6

MPL Indonesia memulai musim pertamanya pada tahun 2018. Ketika itu belum banyak orang tahu game Mobile Legends. Bahkan saya ingat game ini sempat cuma jadi pengisi dadakan di salah satu event gaming/esports terbesar di tahun 2017, yaitu Indonesia Games Championship. Tetapi semenjak final MPL ID Season 1, pandangan orang-orang terhadap Mobile Legends berubah. Turnamen yang diselenggarakan di Mall Taman Anggrek tersebut menarik begitu banyak pengunjung, membuat orang-orang jadi tertarik dengan potensi bisnis gaming/esports. Kini MPL ID sudah mencapai musim ke-6. Banyak hal berubah di MPL ID selama dua tahun-lima musim perjalanannya, termasuk model liga MPL yang berubah jadi model franchise sejak Season 4 tahun 2019 lalu.

MPL ID bergulir sebanyak 2 Season setiap tahun. Awal tahun 2020 dibuka dengan pertandingan MPL ID Season 5 yang diumumkan 30 Januari 2020 kemarin. Setelah babak Grand Final MPL ID Season 5 usai bulan April 2020, MPL ID lalu berlanjut ke Season 6 yang berlangsung di paruh kedua tahun 2020. MPL ID Season 6 diumumkan tanggal 23 Juli 2020. Tim pesertanya masih sama yaitu Rex Regum Qeon, EVOS Esports, ONIC Esports, Genflix Aerowolf, Geek Fam ID, Bigetron Esports, dan AURA Esports, yang merupakan 8 organisasi esports investor liga franchise MPL ID.

Pertandingan perdana babak Regular Season MPL ID Season 6 dimulai tanggal 14 Agustus 2020. Pertandingan bergulir selama 8 pekan dengan format double Round-Robin hingga 4 Oktober 2020. Pertandingan Regular Season MPL ID sempat dilaksanakan secara offline pada Season 5 lalu namun regulasi pembatasan berkumpul dari pemerintah membuat MPL ID Season 6 digelar secara online selama masa pandemi.

MPL ID di tahun 2020 terbilang punya jumlah views yang cukup stabil. Sebelum laporan ini, Hybrid.co.id sudah melaporkan tren viewership liga esports primer Indonesia pada bulan Agustus 2020 lalu. Ditulis oleh rekan saya Ellavie Ichlasa Amalia, laporan tersebut berisi tren viewership tiga liga esports utama Indonesia di paruh pertama 2020, termasuk MPL ID Season 5.

Sumber: Hybrid.co.id
Sumber: Hybrid.co.id

Berdasarkan dari catatan Ellavie, MPL ID Season 5 berhasil mendapatkan jumlah total views sebanyak 73,6 juta views jika menyertakan jumlah views babak Playoff, dan 59,6 juta views jika hanya menjumlahkan babak Regular Season saja. Jumlah views MPL ID Season 5 di YouTube tak pernah kurang dari 1 juta, dengan catatan views tertinggi di musim itu ada pada babak Playoff, yaitu 2,4 dan 2,8 juta views.

Lalu bagaimana dengan Season 6? Seperti musim sebelumnya, MPL ID Season 6 sebenarnya menghadapi banyak tantangan. Secara teknis, koneksi internet masih menjadi momok terbesar bagi pertandingan online. Kontroversi pause pun tak terhindarkan gara-gara hal tersebut. MPL ID juga menghadapi perebutan penonton dengan skena esports lain di kancah lokal, yaitu PMPL, dan FFML.

Sementara dari sisi internasional, tayangan MPL ID pekan-pekan terakhir juga sempat bersinggungan dengan League of Legends World Championship 2020. Terlepas dari itu tren jumlah views babak Regular Season MPL ID Season 6 masih mirip dengan musim sebelumnya, yaitu tidak pernah kurang dari 1 juta, kecuali di satu week 3 day 1. Tren jumlah views saya kumpulkan dari kanal YouTube resmi Mobile Legends: Bang-Bang dan merupakan jumlah views dari tayangan berbahasa Indonesia.

Sumber: Hybrid.co.id
Tren penonton tayangan Regular Season MPL ID Season 6 Bahasa Indonesia (YouTube). Sumber: Hybrid.co.id – Akbar Priono.

Seperti saya sebut sebelumnya, Week 3 Day 1 menjadi satu-satunya pertandingan Regular Season MPL ID yang jumlah views-nya turun ke bawah satu juta. Jumlah views pertandingan hari itu hanya 980.605 saja. Alasan fenomena tersebut adalah karena ada masalah teknis dalam pertandingan antara ONIC Esports melawan EVOS Legends. Ketika itu ONIC Esports menang sempurna 2-0 gara-gara EVOS Legends kehabisan waktu pause ketika masih dalam kendala teknis. Keadaan tersebut membuat para fans kecewa, sehingga jumlah views menurun drastis. Walaupun begitu kejadian tersebut tidak menurunkan semangat penggemar di hari berikutnya, jumlah views pun kembali melejit menjadi 2.116.934 pada pertandingan Week 3 hari kedua.

Jumlah views babak Regular Season MPL ID Season 6 berangsur stabil pasca kejadian tersebut, bahkan kembali melejit di Week 6. Pertandingan pekan tersebut menyajikan matchup menarik seperti ONIC Esports vs Alter Ego, dan EVOS Legends vs Genflix Aerowolf. Berkat hal tersebut, pertandingan Week 6 Day 2 menjadi pertandingan dengan jumlah views terbanyak sepanjang babak Regular Season, dengan total sebanyak 2.298.721 views.

MPL ID 2020 Season 6 juga memiliki tayangan bahasa Inggris seperti pada beberapa musim sebelumnya. Namun tayangan bahasa Inggris babak Regular Season MPL ID Season 6 terbilang underperform, kalah jauh dari tayangan berbahasa Indonesia dari segi viewership. Bahkan tren penonton tayangan bahasa Inggris MPL ID Regular Season 6 malah berangsur menurun.

Puncak keramaian tayangan bahasa Inggris hanya ada di pekan-pekan awal. Jumlah views terbanyak tayangan bahasa Inggris mentok di angka 299.001 views, yang terjadi di pertandingan Week 2 Day 3. Setelah itu jumlah penonton tayangan bahasa Inggris turun ke angka 58.034 views di Week 3 Day 1 dan terus stabil pada kisaran 50 sampai 135 ribu views hingga week 8 day 2.

Sumber: Hybrid.co.id
Perbandingan viewership tayangan bahasa Indonesia vs bahasa Inggris babak Regular Season MPL ID Season 6 (YouTube). Sumber: Hybrid.co.id – Akbar Priono.

Lewat perbandingan jumlah views tayangan bahasa Indonesia dengan bahasa Inggris pertandingan Regular Season MPL ID Season 6, kita dapat melihat bagaimana kuatnya esports mobile Indonesia dari segi penonton. Tentunya kesimpulan tersebut saya ambil dengan asumsi bahwa tayangan bahasa Indonesia ditonton oleh orang Indonesia dan tayangan bahasa Inggris ditonton oleh khalayak internasional.

Tapi fakta menarik yang saya temukan adalah tayangan bahasa Inggris yang ternyata masih ramai dipenuhi oleh komentar bahasa Indonesia. Memang tayangan bahasa Inggris babak Regular Season MPL ID Season 6 menggunakan shoutcaster lokal Indonesia. Juga sejauh yang saya tahu, usaha Moonton mempromosikan tayangan bahasa MPL berbahasa Inggris ke khalayak internasional masih terbilang kurang getol.  Alhasil jumlah views terbanyak tayangan bahasa Inggris MPL ID Regular Season 6 (299.001 views) pun jadi cuma seperempat dari jumlah views terendah tayangan bahasa Indonesia MPL ID Regular Season 6 yaitu sebanyak 980.605 views.

Namun hal tersebut tidak menghilangkan fakta bahwa jumlah views tayangan esports berbahasa Indonesia memiliki jumlah yang sangat besar, bahkan hampir menyaingi tayangan internasional. Tetapi perlu dicatat bahwa statistik views terbilang kurang reliabel untuk dijadikan patokan karena satu orang bisa menyumbang beberapa views. Terlepas dari itu, data jumlah views bisa dibilang sebagai satu-satunya yang tersedia secara umum di internet. Jadi jika Anda hanya ingin mendapat gambaran kasar saja, data jumlah views terbilang jadi salah satu patokan.

 

Potensi Indonesia Menjadi Pusat Perkembangan Esports Mobile Asia Tenggara

Sejak Juli hingga September 2020 kemarin, pasar esports Indonesia ramai dibahas oleh salah satu perusahaan statistik viewership esports, yaitu Esports Charts. Selain Mobile Legends, khalayak Indonesia di pertandingan PUBG Mobile World League 2020 East Season Zero juga turut menjadi pembahasan.

Laporan bulan Juli 2020 mengatakan bahwa Indonesia adalah konsumen tayangan PMWL 2020 East Season Zero – Opening Weekend terbesar kedua setelah India. Catatan Esports Charts mengatakan bahwa konsumsi orang Indonesia terhadap tayangan menonton PMWL 2020 East Season Zero adalah selama 1,18 juta watch hour. Jumlah tersebut terpaut tips dengan penonton India yang mencatatkan total konsumsi sebesar 1,23 juta watch hour.

Setelah itu di akhir musim pertandingan PMWL 2020 Season Zero East Region, penonton Indonesia malah mencatatkan jumlah konsumsi yang lebih tinggi lagi, kali ini lebih tinggi dari jumlah konsumsi penonton dari India.

Dalam laporan yang diterbitkan tanggal 13 Agustus 2020, Indonesia mencatatkan konsumsi tayangan PMWL 2020 Season Zero East selama 14 juta watch hour. Jumlah tersebut adalah sebesar 37% dari total watch hour keseluruhan dan merupakan nomor 1 terbanyak. Kemenangan Bigetron RA melalui pertarungan sengit di ronde-ronde akhir bisa dibilang jadi salah satu alasan kenapa penonton Indonesia begitu getol menonton PMWL 2020 Season Zero East Region. Sementara di sisi lain, India kali ini hanya mengisi peringkat 2 dengan proporsi sebesar 35,8% dari total watch hour keseluruhan.

Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts

Dari segi jumlah viewers, pertandingan ronde 24 di PMWL 2020 Season Zero East Region juga berhasil menyodok di posisi pertama dalam daftar turnamen esports paling populer bulan Agustus menurut Esports Charts. Data tersebut tidak menjelaskan secara spesifik asal negara penonton, namun pertandingan dengan peak viewers sebanyak 1.153.865 orang tersebut menampilkan pertarungan dramatis tim Bigetron RA dari Indonesia dalam usahanya merebut titel juara Asia.

Esports Charts juga kembali menampilkan catatan menarik pada tanggal 9 Oktober 2020 lalu, yang lagi-lagi menampilkan superioritas Indonesia di kancah esports mobile lewat sebuah artikel blog yang bertajuk Most popular mobile esports teams in SEA. Laporan tersebut cenderung tidak komprehensif karena hanya menunjukkan data-data yang tersedia secara umum di internet. Data yang ditunjukkan adalah data jumlah followers media sosial yang ramai digunakan oleh masyarakat digital Asia Tenggara, yaitu data followers TikTok, Twitter, YouTube, Instagram, dan Facebook digabung menjadi satu.

Hasilnya empat besar dari 10 tim esports terpopuler di Asia Tenggara yang dipaparkan oleh Esports Charts berasal dari Indonesia. Organisasi Esports Indonesia yang mengisi posisi empat besar adalah EVOS Esports di peringkat 1 dengan 6,4 juta total followers, AURA Esports di peringkat 2 dengan 5,8 juta followers, RRQ di peringkat 3 dengan 4,1 juta total followers, dan Bigetron Esports di peringkat 4 dengan 2,3 juta total followers.

Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts

ONIC Esports juga masuk dalam daftar, berada di peringkat 6 dengan total 1,2 juta total followers. Selain jumlah followers, proporsi perwakilan Indonesia dalam daftar ini juga sangat mendominasi negara-negara Asia Tenggara lainnya. Dari 10 tim yang masuk daftar, 5 tim berasal dari Indonesia, 2 tim dari Thailand (POPS Bacon Time dan Buriram United Esports), 2 tim dari Vietnam (Heavy dan Team Flash), dan 1 tim dari Malaysia (Team Boskurr).

Potensi lain juga cukup terlihat jika kita mencoba membandingkan jumlah penonton MPL ID dengan jumlah penonton League of Legends World Championship 2020. Saya tahu perbandingan ini mungkin sedikit terdengar konyol atau malah terasa kurang apple-to-apple. Tapi kenyataan yang tidak bisa saya tampik adalah temuan saya yang mengatakan bahwa jumlah views tayangan bahasa Indonesia MPL ID yang memang bersaing dengan jumlah views tayangan Group Stage Worlds 2020.

Perbedaan jumlah views tertinggi Group Stage League of Legends World Championship 2020 dengan jumlah views tertinggi babak Regular Season MPL ID 2020 Season memang terpaut sangat jauh, hampir dua kali lipat jumlahnya. Jumlah views tertinggi Group Stage Worlds 2020 adalah 4.101.334 views, sementara jumlah views tertinggi babak Regular Season MPL ID Season 6 adalah 2.298.721 views, keduanya terpaut sekitar 1,8 juta views. Namun satu yang menarik adalah, jumlah views tertinggi babak Regular Season MPL ID Season 6 yang ternyata menempel cukup tipis dengan jumlah views terendah Group Stage Worlds 2020.

Sumber: Hybrid.co.id - Akbar Priono
Tren Viewership Group Stage League of Legends World Championship 2020 (Twitch) Sumber: Hybrid.co.id – Akbar Priono

Seperti yang bisa Anda lihat pada grafik di atas, jumlah views terendah Group Stage Worlds 2020 ada pertandingan day 6 yang mempertandingkan grup B. Tim pengisi grup B sendiri mungkin terbilang kurang menarik bagi penonton internasional. Grup tersebut memiliki dua tim kuat yaitu Damwon (LCK Korea Selatan) dan JD Gaming (LPL Tiongkok), namun dua tim sisanya adalah tim-tim yang terbilang kurang bersaing di kancah internasional yaitu PSG Talon (PCS Asia Pasifik) dan Rogue Esports (LEC Eropa). Dengan melihat pesertanya, hasil pertandingan grup B terbilang 80% bisa ditebak. Alhasil pertandingan Day 6 hanya berhasil mengumpulkan 2.315.843 views saja. Jika membandingkan jumlah views tersebut dengan pertandingan Week 6 Day 2 Regular Season MPL ID Season 6 (2.298.721 views), maka perbedaan views antar keduanya jadi hanya terpaut 17 ribu views saja.

Kenapa perbandingan jumlah views antara babak Regular Season MPL ID Season 6 dengan Group Stage Worlds 2020 menjadi penting untuk pembuktian pasar esports Indonesia? Alasan terpentingnya menurut saya adalah karena perbedaan bahasa antar dua tayangan tersebut.

2 juta penonton yang menonton babak Regular Season MPL ID Season 6 tersebut adalah penonton yang menonton tayangan berbahasa Indonesia. Sementara tayangan Group Stage Worlds 2020 menggunakan bahasa Inggris. Karena bahasa Inggris dianggap sebagai bahasa internasional, maka asumsi saya tayangan Worlds 2020 dapat ditonton dan dimengerti oleh lebih banyak orang dari seluruh dunia.

Dengan menggunakan asumsi tersebut, maka kita mendapat kesimpulan sementara bahwa jumlah viewers esports Indonesia hampir membalap jumlah viewers esports dunia. Kesimpulan sementara tersebut tentunya berdasarkan asumsi lain bahwa penonton tayangan esports berbahasa Indonesia adalah orang Indonesia. Karena bisa saja ada orang Malaysia atau orang negara lain yang tidak mengerti bahasa Indonesia menonton tayangan, cuma gara-gara penasaran.

Tetapi asumsi saya soal tayangan Group Stage Worlds 2020 yang ditonton oleh khalayak internasional juga bisa jadi salah. Bisa jadi tayangan Group Stage Worlds berbahasa Inggris hanya ditonton oleh negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa utama atau sekunder, seperti Amerika Serikat atau negara-negara Eropa.

Kenapa bisa demikian? Karena tayangan Group Stage Worlds 2020 sebenarnya juga diproduksi dalam bahasa lokal, khususnya untuk negara-negara di Asia. Contoh dari hal tersebut adalah channel YouTube LCK Korea Selatan, yang juga memproduksi tayangan pertandingan Worlds 2020 namun dengan bahasa Korea.

Jadi apakah bisa dibilang jumlah penonton esports Indonesia sudah hampir mengalahkan penonton esports internasional? Belum tentu, karena statistik views yang tidak sepenuhnya reliabel dan juga faktor-faktor lain, seperti tayangan bahasa Indonesia yang tidak ditonton oleh orang Indonesia, atau tayangan bahasa Inggris yang hanya ditonton oleh penonton berbahasa Inggris.

Tetapi satu hal yang pasti, jumlah views tertinggi Regular Season MPL ID Season 6 sedikit banyak membuktikan kekuatan jumlah penonton tayangan esports berbahasa Indonesia yang ternyata jumlahnya bisa mengalahkan tayangan bahasa Inggris, yang seharusnya bisa lebih diterima oleh masyarakat dunia secara umum.

Masih penasaran, saya lalu juga mencoba membandingkan jumlah penonton MLBB dengan penonton internasional Dota 2. Agar sebanding, saya mencoba membandingkan antara jumlah penonton M1 MLBB World Championship 2019 dengan Dota 2 The International 2019. Untuk kali ini data yang saya ambil adalah data dari Esports Charts, demi memastikan pencatata yang sedikit lebih akurat. Walupun viewership Regular Season MLBB hampir menyaingi babak grup League of Legends Worlds, tetapi pertandingan internasional MLBB ternyata masih belum sebanding dengan pertandingan internasional Dota 2.

Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts
Sumber: Esports Charts

Data Esports Charts mengatakan bahwa Peak Viewers Dota 2 The International 2019 adalah sebanyak 1.968.497 orang, dengan total 88.418.374 total watch hours dari 120 jam tayangan mengudara. Lalu bagaimana dengan M1 World Championship? Peak Viewers M1 World Championship adalah sebanyak 648.069 orang, dengan 9.914.215 total watch hours dari 60 jam tayangan mengudara. Perbedaan viewership Dota 2 The Internationals 2019 dengan M1 World Championship ternyata terpaut cukup jauh. Dari segi Peak Viewers keduanya terpaut sekitar 1,3 juta peak viewers, dengan selisih total konsumsi konten mencapai 78,5 watch hours.

Asumsi saya terkait data M1 vs TI 9 masih mirip seperti asumsi saya soal tayangan bahasa Inggris MPL ID Season 6, yaitu usaha Moonton memasarkan MLBB ke tingkat internasional yang terbilang masih kurang getol. Kekalahan ini juga jadi hal yang wajar, mengingat M1 World Championship adalah kali pertama Moonton mengadakan pertandingan MLBB tingkat internasional sementara The International 2019 adalah kali ke-9 Valve mengadakan pertandingan Dota 2 tingkat internasional.

Jadi apa kesimpulan sementara yang bisa kita tarik dari pembahasan ini? Pembuktian potensi Indonesia sebagai pasar esports mobile games terbesar di Asia Tenggara adalah salah satunya. Dulu atau malah mungkin sampai sekarang, banyak yang nyinyir mengatakan “Mobile Legends hanya terkenal di Indonesia saja”.

Namun menurut saya “hanya terkenal di Indonesia” bisa menjadi hal yang baik. Berkat Moonton Indonesia jadi bisa membuktikan bahwa negara kita adalah pasar esports mobile dengan potensi yang besar. Apa buktinya? Lihat saja viewership tertinggi tayangan bahasa Indonesia babak Regular Season MPL ID Season 6 yang jumlahnya hampir menyaingi tayangan Worlds 2020. Indonesia juga terbilang superior di kancah mobile esports Asia Tenggara jika dilihat dari segi jumlah followers media sosial. Data dari Esports Charts sedikit banyak membuktikan hal tersebut, yang menampilkan 4 organisasi esports Indonesia sebagai pengisi peringkat teratas.

Namun penting untuk dicatat jika developer/publisher ingin memaksimalkan potensi tersebut, maka lokalisasi jadi satu elemen penting. Seperti kebanyakan negara di Asia, Indonesia terbilang lebih mengutamakan khasanah lokal. Bukan hanya bahasa, tetapi juga termasuk sosok-sosok personal ataupun brand esports, yang lebih mengutamakan lokal dulu. Maka dari itu penting bagi developer/publisher untuk menggandeng kerja sama entitas esports lokal jika ingin lebih memaksimalkan pasar esports Indonesia yang jumlahnya bersaing dengan pasar esports internasional.

Moonton terbilang menjadi salah satu developer yang berhasil menerapkan strategi tersebut, sehingga MPL ID bisa berkembang sampai sebesar ini di musimnya yang ke-6. Tencent Games juga jadi contoh lain yang berhasil membuat PUBG Mobile menjadi salah satu game/esports primer di Indonesia berkat strategi lokalisasi. Melalui inisiatif-inisiatif lokal, PMPL ID menjadi liga esports lain di Indonesia yang berhasil menyentuh jutaan views di setiap tayangan, dengan puncaknya ada di pekan ketiga yang mencatatkan total views sebanyak 2,3 juta di platform Facebook Gaming.

Karena potensinya yang besar, tidak heran jika developer/publisher lain jadi semakin melirik pasar esports lokal. Riot Games adalah salah satu developer/publisher lain yang terlihat sedang gencar melakukan pedekate terhadap pasar Indonesia. Usaha-usaha tersebut terlihat lewat sajian bahasa Indonesia untuk game terbaru besutan mereka yaitu VALORANT dan Wild Rift. Bahkan jika kita bicara Wild Rift, Riot Games juga memperlakukan pasar Indonesia dengan cukup istimewa lewat sajian Official Page berbahasa Indonesia dan mendahulukan Indonesia untuk sesi Early Access walaupun durasinya terbilang singkat.

Seiring dengan perkembangan teknologi dan ekonomi, sepertinya belum ada tanda-tanda perlambatan perkembangan pasar esports Indonesia. Malah jika teknologi semakin mudah diakses dan ekonomi makro terus meningkat, bukan tidak mungkin jika Indonesia akan menjadi pusat perkembangan esports mobile Asia Tenggara di masa depan.

Ecommerce di Esports, Mau Apa?

Jika ditanya apa kesamaan antara ecommerce dan esports, saya akan menjawab, keduanya sama-sama menambahkan unsur “e” — electronic — pada sebuah kegiatan. Di kasus ecommerce, kegiatan tersebut adalah dagang (commerce) dan di esports, olahraga (sports). Keduanya memanfaatkan internet untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya sudah ada sebelumnya. Namun, selain itu, saya rasa, tidak ada kesamaan lain di antara keduanya.

Meskipun begitu, banyak perusahaan ecommerce yang menjajaki industri competitive gaming. Tak percaya? Buktinya, pada 2014, Amazon mengakuisisi platform streaming game Twitch. Pada 2016, raksasa ecommerce Tiongkok, Alibaba, menanamkan investasi sebesar US$150 juta di esports. Perusahaan ecommerce asal Tiongkok lainnya, JD juga punya tim esports sendiri. Dan jangan salah, di Indonesia, perusahaan-perusahaan ecommerce juga mulai menjajaki esports, mulai dari yang hijau, biru, oranye, sampai merah.

 

Bukti Keterlibatan Ecommerce Lokal di Esports

Berikut daftar turnamen yang disponsori atau didukung oleh perusahaan ecommerce, serta kerta kerja sama antara perusahaan ecommerce dengan tim esports Indonesia:

2017
– Tokopedia mengadakan Revival E-sports Festival

2018
– Tokopedia mengadakan Battle of Fridays (TBOF)
– JD.id jadi sponsor dari High School League (HSL) Season 1

2019
– Blibli mendukung Piala Presiden 2019
– Blibli mengadakan Blibli Esports Championship (BEC)
– JD.id jadi sponsor dari High School League Season 2
– Shopee kerja sama dengan Louvre
– Shopee mengadakan Shopee Fire Cup
– Tokopedia mengadakan Indonesia Esports National Championship (IENC)

2020
– Blibli mendukung Piala Presiden 2020
– Lazada menggandeng EVOS Esports

Battle of Fridays jadi salah satu turnamen esports dengan hadiah terbesar pada 2018. | Sumber: Bolalob
Battle of Fridays jadi salah satu turnamen esports dengan hadiah terbesar pada 2018. | Sumber: Bolalob

Dari semua turnamen di atas, Tokopedia Battle of Fridays menawarkan total hadiah paling besar, yaitu Rp1,9 miliar. Memang, turnamen itu menjadi salah satu kompetisi esports dengan hadiah terbesar pada 2018. Menggunakan format tertutup, TBOF mengadu beberapa game sekaligus, yaitu Dota 2, Counter-Strike: Global Offensive, Mobile Legends, dan Point Blank. Mereka mengundang 12 tim esports profesional untuk ikut serta, termasuk Bigetron Esports, BOOM Esports, dan EVOS Esports.

Bukan hanya TBOF, Indonesia Esports National Championship juga menawarkan hadiah yang cukup besar, mencapai Rp750 juta. Walau IENC memiliki total hadiah yang jauh lebih kecil dari TBOF, turnamen ini juga tak kalah pamor, karena dijadikan sebagai ajang kualifikasi untuk memilih atlet esports yang akan maju di SEA Games 2019. Turnamen esports yang melibatkan ecommerce lain juga menawarkan hadiah yang cukup fantastis. Misalnya, total hadiah Blibli Esports Championship mencapai Rp500 juta, sementara JD.id High School League bahkan mencapai Rp1,2 miliar.

Oke, mari beralih untuk membahas kerja sama antara perusahaan ecommerce dan tim esports. Salah satu ecommerce yang pernah mendukung organisasi esports profesional adalah Shopee. Pada tahun lalu, mereka memutuskan untuk menjadi sponsor dari Louvre karena mereka menganggap, tim tersebut memiliki potensi untuk menang. Selain sponsorship, kerja sama keduanya juga meliputi pengadaan official store dari Louvre di Shopee.

EVOS punya official store di Lazada. | Sumber: Lazada
EVOS punya official store di Lazada. | Sumber: Lazada

Sementara itu, pada April 2020, Lazada mengumumkan kolaborasinya dengan EVOS Esports. Sama seperti Shopee, salah satu bentuk kerja sama antara Lazada dan EVOS adalah pembukaan official store EVOS di Lazada. Hanya saja, Lazada dan EVOS juga punya kerja sama lain, yaitu EVOS harus mengisi program live streaming Lazada Cyber Combat.

 

Ecommerce Adakan Turnamen Esports, Memang Bisa?

Di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Pepatah ini tampaknya cocok digunakan untuk menggambarkan Blibli, yang memutuskan untuk menangani penyelenggaraan Blibli Esports Championship sendiri. “Pelaksanaan turnamen BEC tersebut disiapkan dan dilakukan oleh tim khusus yang dimiliki oleh Blibli,” ujar Lani Rahayu, Associate Vice President Social Media and Community Blibli dan Project Lead Blibli Esports Championship. “Kami juga berkolaborasi dengan berbagai pihak termasuk gaming provider para mitra brand yang menyediakan produk-produk terkait dengan esports, komunitas, juga akademisi (HIMA di universitas Jadetabek).”

Tentu saja, pendekatan masing-masing ecommerce tak harus sama. Berbeda dengan Blibli, Tokopedia memilih untuk bekerja sama dengan pelaku industri esports. Pada 2018, untuk mengadakan Battle of Fridays, Tokopedia bekerja sama dengan IESPL. Sementara untuk menyelenggarakan Indonesia Esports National Championship, mereka menggandeng IESPA.

“Lewat berbagai kolaborasi dengan para tournament organizer ini, Tokopedia dilibatkan dalam pemilihan game yang akan dipertandingkan. Penentuan game dilakukan berdasarkan popularitas, skena kompetitif dan komunitas game tersebut,” ujar Jonathan Gilbert Tricahyo, Top-up Digital Singular Senior Lead Tokopedia.

Sementara itu, JD.id tak mau repot dan lebih memilih untuk menjadi title sponsor dari High School League. Untuk membahas tentang pengadaan HSL lebih lanjut, saya menghubungi Chief Marketing Officer dan Founder Yamisok, Diana Tjong.

“JD.id merupakan title sponsor kita, tapi event-nya, High School League, memang punya kita,” ujar Diana ketika dihubungi melalui pesan singkat. Dia menjelaskan, JD.id tertarik untuk mensponsori HSL karena perusahaan ecommerce tersebut memang tertarik dengan konsep HSL. Namun, JD.id tidak ikut campur tangan dalam memilih game yang akan ditandingkan dalam HSL. “Segala sesuatunya jadi tanggung jawab Yamisok dan MoobaTV,” katanya.

High School League pada 2018. | Sumber: Kastara
High School League pada 2018. | Sumber: Kastara

Jika dibandingkan dengan turnamen esports lainnya, salah satu keunikan HSL adalah karena liga ini menyasar pemain amatir di tingkat SMA dan setara. Hanya saja, kepuutsan ini juga menimbulkan masalah tersendiri, seperti keengganan pihak sekolah atau orangtua mengizinkan anak mereka berpartisipasi dalam kompetisi tersebut. Untuk mengatasi masalah itu, Yamisok lalu mengundang psikolog dan mengadakan roadshow ke berbagai sekolah.

“Tujuan kami melakukan roadshow adalah sebagai pendekatan dan edukasi pada orangtua dan pihak sekolah, agar bisa menjadi jembatan antara dunia pendidikan dengan esports,” jelas Diana. “Sekarang pun, kita buat program-program lanjutan. Di Yamisok, ada student representative. Sekarang, kita lagi buat trial class untuk akademi esports buat ekskul esports di sekolah.”

 

Media dan Dokumentasi Kompetisi Esports

Yamisok bukan satu-satunya pihak yang memiliki andil dalam penyelenggaraan HSL. EsportsID juga punya campur tangan sebagai media partner. Salah satu tugas mereka adalah melakukan dokumentasi dari kegiatan HSL, termasuk saat grand final dan wawancara pemenang setelah turnamen berakhir.

“Sebagai media partner, tugas kami pastinya untuk mempromosikan event-nya,” kata Michael Samuel, Editor-in-Chief, EsportsID, saat dihubungi melalui pesan singkat. “Dalam dokumentasi, kita juga bantu membuat video perjalanan tim-tim finalis saat mereka di Jakarta, sampai mereka bertanding di grand final. Kami juga buat video after event ke sekolah yang juara, mengenai dampak dan pandangan positif tentang esports dari pihak sekolah. Jadi, kita wawancara guru dan timnya.” Dia menjelaskan, mereka dapat melakukan hal ini karena sekolah yang keluar sebagai juara HSL akhirnya memutuskan untuk mengadakan program ekstrakurikuler esports.

Jumlah penonton menjadi salah satu daya tarik turnamen esports. Semakin banyak orang yang menonton turnamen esports, semakin menarik pula turnamen itu di mata sponsor. Untuk turnamen esports profesional, seperti Mobile Legends Professional League, kemampuan bermain para pemain profesional jadi salah satu daya jualnya. Sayangnya, hal ini tidak berlaku untuk turnamen amatir seperti HSL. Namun, hal itu bukan berarti tidak ada hal yang pantas untuk diangkat dari pertandingan amatir.

Michael berkata, “Untuk turnamen pro dan amatir, topik yang diangkat juga berbeda. Kalau pro kan yang diangkat pasti tim atau player-nya. Sedangkan pertandingan amatir, kita bisa tampilkan perjuangan mereka, background tim atau sisi lainnya.”

Terkait HSL, Michael menjelaskan bahwa salah satu hal yang mereka coba highlight adalah usaha para tim untuk mendapatkan izin sekolah. Mereka juga menampilkan bagaimana para tim berjuang keras untuk bisa lolos babak kualifikasi hingga juara. Selain itu, EsportsID juga mengangkat topik tentang esports itu sendiri. Pasalnya, dia mengaku, masih banyak stigma buruk terkait esports yang beredar di masyarakat.

 

Tujuan Ecommerce Masuk ke Dunia Esports

Ketika ditanya tentang alasan Tokopedia terjun ke dunia esports, Jon menjawab, mereka masuk ke industri esports untuk membangun ekosistem competitive gaming sehingga orang-orang yang memiliki impian untuk berkarir di dunia esports akan bisa mencapai mimpinya.

“Mengingat potensi industri gaming di Indonesia masih sangat besar, baik dari sisi pemain maupun tim Indonesia yang sudah banyak berprestasi di level internasional. Esports bahkan saat ini menjadi industri baru yang banyak membuka kesempatan kerja kepada para peminatnya,” ujar Jon. “Kami berharap, dengan adanya dukungan Tokopedia terhadap industri esports di Indonesia, akan lebih banyak lagi talenta-talenta terbaik negeri yang nantinya bisa mendunia.”

Babak akhir Blibli Esports Championship. | Sumber: Blibli
Babak akhir Blibli Esports Championship. | Sumber: Blibli

Sejalan dengan Tokopedia, Blibli mengungkap bahwa salah satu alasan mereka tertarik mengadakan BEC adalah karena mereka melihat betapa tingginya minat akan esports di Indonesia. Hal ini mendorong mereka untuk ikut serta dalam membangun ekosistem esports.

“Kami mendukung esports karena sejalan dengan semangat serta komitmen Blibli sebagai ecommerce lokal yang ingin terus mendorong pemberdayaan kepada masyarakat,” kata Lani. “Melalui esports, Blibli berharap anak-anak muda dapat menggunakan konten teknologi atau games untuk pengembangan diri, seperti membentuk sportivitas, teamwork, kemampuan strategic thinking, dan membuka lapangan pekerjaan baru serta membangun karir untuk para gamers muda Indonesia, termasuk salah satunya menjadi atlet esports.”

Singkatnya, baik Blibli maupun Tokopedia mendukung esports dengan harapan industri ini bisa berkembang lebih besar lagi. Dengan begitu, semakin banyak gamer Indonesia yang bisa unjuk gigi. Tak hanya itu, semakin besar industri esports, semakin banyak pula lowongan pekerjaan baru yang muncul.

Tak ada yang salah dengan semua tujuan altruistik ini. Hanya saja, Blibli, Tokopedia, atau ecommerce lainnya tetaplah perusahaan yang dibangun untuk mendapatkan untung. Mustahil rasanya mereka rela mengeluarkan uang hingga beratus-ratus juta atau bahkan bermiliar rupiah jika tak ada untung yang bisa didapat perusahaan.

Jadi, pertanyaannya adalah keuntungan apa yang bisa didapatkan oleh perusahaan ecommerce jika mereka masuk ke dunia esports? Jawabannya sederhana: perhatian penonton. Pada 2018, jumlah penonton esports di dunia mencapai 395 juta orang, menurut data dari Newzoo. Angka ini terus naik, menjadi 443 juta pada 2019, dan diperkirakan menjadi 495 juta pada 2020. Jadi, tidak heran jika perusahaan non-endemik, seperti ecommerce, tertarik untuk aktif di industri esports.

Pertumbuhan jumlah penonton esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo
Pertumbuhan jumlah penonton esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo

Jika tujuan ecommerce masuk esports untuk menarik perhatian fans esports, hal ini sesuai dengan penjelasan Diana. Dia berkata, salah satu KPI (Key Performance Indicator) yang mereka harus capai saat menyelenggarakan HSL adalah impresi. “Impression itu mencakup semua, dari viewer, Instagram, influencer, dan media juga,” ujar Diana. “Tapi, target offline-nya berbeda.”

Memang, dalam konferensi pers High School League Season 2, pihak JD.id mengungkap, menjadi sponsor dari turnamen esports ini merupakan bagian dari strategi marketing mereka. Pasalnya, dengan menjadi title sponsor, nama JD.id akan selalu disandingkan dengan HSL. Tak hanya itu, logo mereka juga akan ditampilkan di semua atribut HSL. Jadi, melalui HSL, JD.id akan dapat meningkatkan brand awareness masyarakat, khususnya di kalangan siswa SMA atau setara, orangtua, dan pihak sekolah.

Setelah mengadakan turnamen esports sendiri, Blibli berhasil menjangkau penonton esports. Ketika ditanya tentang dampak yang telah Blibli rasakan setelah mereka masuk ke dunia esports, Lani menjawab, “Dampak dari penyelenggaraan esports bagi kami tentunya bisa menjangkau audience millenials yang lebih muda menjadi pelanggan Blibli. Selain itu, kami juga melihat penjualan khususnya voucher game terus meningkat, partner-partner yang menyediakan perlengkapan gaming semakin bertambah.”

Memanfaatkan hype esports sebagai alat marketing, apakah ini salah? Tentu tidak. Tak bisa dipungkiri, esports tengah populer, apalagi di tengah pandemi. Jika perusahaan ecommerce — atau perusahaan non-endemik lain — tertarik untuk mendukung pelaku esports agar mereka bisa memperkenalkan brand mereka para penonton esports, tak ada yang salah dengan itu. Toh, semakin banyak perusahaan yang tertarik mendukung pelaku esports, semakin baik.

Namun, tidak semua turnamen esports mendewakan view. Setidaknya, hal inilah yang dipercaya oleh Michael. Dia berkata, “Kalau dari saya pribadi, sebenarnya setiap event esports pasti punya tujuan masing-masing. Memang benar, tujuan itu bisa jadi view, awareness, dan lain-lain. Tapi, nggak sedikit juga event yang memang tujuan utamanya untuk mencari bibit baru dan tidak sekadar viewers sih.”

 

Penutup

Bayangkan jika Anda sedang jatuh cinta pada seseorang yang punya ketertarikan yang berbeda dengan Anda. Bukankah Anda juga akan berusaha untuk memahami hal yang disukai oleh gebetan Anda? Tujuannya, agar Anda dan si dia punya bahan obrolan. Dan mungkin, dari sana, kalian bisa jadi lebih dekat dan berakhir menjadi sepasang kekasih.

Perusahaan non-endemik, dalam hal ini ecommerce, juga begitu. Mereka tahu bahwa target konsumen mereka di masa depan — generasi Milenial dan Gen Z — kini tengah sangat suka dengan konten game dan esports. Tentu saja, mereka tak akan melewatkan kesempatan ini. Mereka ikut masuk ke dunia esports sebagai bentuk pedekate dengan fans esports. Dari sana, mungkin saja ada yang berakhir dengan checkout keranjang belanja.

Sumber header: Blibli

Tren Investasi Venture Capital di Industri Game

Tahun ini, nilai industri gaming di dunia mencapai lebih dari US$150 miliar. Jika Anda menggabungkan nilai industri musik dan industri film, industri gaming masih lebih besar. Hal ini menunjukkan bahwa bermain game kini telah menjadi salah satu bentuk hiburan utama bagi sebagian besar orang.

Anehnya, sebelum ini, sektor gaming jarang dilirik oleh para venture capital (VC), kecuali VC yang memang mengkhususkan diri untuk menanamkan investasi di industri gaming, seperti Play Ventures, Makers Fund, atau London Venture Partners. Menurut White Star Capital, salah satu alasan mengapa VC enggan untuk mendanai perusahaan yang bergerak di bidang game adalah karena hasil investasi yang sangat hitam-putih.

Ketika VC menyediakan modal untuk sebuah developer game, misalnya, hanya ada dua kemungkinan yang terjadi. Kemungkinan pertama, game yang dibuat developer itu sukses dan developer dapat melakukan IPO atau diakuisisi perusahaan lebih besar. Kedua, game itu akan gagal. Berbeda dengan startup, developer game tidak bisa mendadak merombak konsep dari game yang mereka buat, walau mereka masih bisa meluncurkan update.

Namun, dalam beberapa tahun belakangan, VC mulai tertarik untuk menanamkan modal di perusahaan yang bergerak di dunia game. Faktanya, selama empat tahun — dari tahun 2014 sampai 2018 — nilai investasi VC di industri game terus naik.

Total nilai investasi VC di dunia game. | Sumber: White Star Capital
Total nilai investasi VC di dunia game. | Sumber: White Star Capital

Pada 2018, valuasi investasi dari VC mencapai puncaknya dengan total nilai US$4,7 miliar. Namun, tahun 2018 memang unik karena pada saat itu, Epic Games mendapatkan pendanaan sebesar US$1,25 miliar.  Jadi, tidak heran jika pada 2019, nilai investasi VC di perusahaan gaming turun drastis, menjadi US$1,1 miliar. Kabar baiknya, VC kembali tertarik untuk menanamkan investasi di perusahaan-perusahaan game. Hal ini terlihat dari fakta bahwa pada semester pertama 2020, investasi dari VC untuk perusahaan game telah mencapai US$700 juta. Diperkirakan, angka investasi itu akan mencapai US$1,5 miliar pada akhir tahun ini.

 

Kenapa Investasi dari VC Penting?

Investasi dari VC biasanya identik dengan startup. Ada beberapa alasan mengapa investasi dari VC penting untuk startup. Salah satunya adalah karena tidak ada pihak lain yang bersedia untuk menyediakan modal untuk mereka, menurut Hardware Business Review. Bank memang bisa meminjamkan modal. Hanya saja, besar bunga yang mereka tawarkan pada pelaku usaha tergantung pada besar risiko dari usaha itu sendiri. Sementara usaha startup cenderung memiliki risiko tinggi. Jika bank ingin meminjamkan modal pada startup, mereka harus memberikan bunga yang sangat tinggi. Padahal, ada ketentuan yang membatasi besar suku bunga yang bisa bank berikan pada peminjam.

Pada awalnya, hanya VC khusus game yang tertarik menanamkan modal di perusahaan game. | Sumber: Deposit Photos
Pada awalnya, hanya VC khusus game yang tertarik menanamkan modal di perusahaan game. | Sumber: Deposit Photos

Alasan lain mengapa startup kesulitan untuk mendapatkan pinjaman dari bank adalah karena biasanya bank akan meminta aset berwujud sebagai jaminan. Padahal, banyak startup — atau perusahaan game — yang tidak memiliki aset berwujud karena produk mereka berupa sesuatu yang tak terlihat. Contohnya, berbeda dengan perusahaan taksi yang memiliki armada sendiri, perusahaan transportasi online, seperti Gojek dan Grab, tidak memiliki armada sendiri. Mereka hanya menyediakan “platform” untuk menghubungkan pemilik kendaraan dengan penumpang.

Alasan lain mengapa investasi dari VC penting bagi startup adalah karena hal ini akan meningkatkan reputasi mereka di mata investor lain. Ketika startup mendapatkan investasi dari VC, hal ini menjadi tanda bahwa startup tersebut memiliki potensi untuk tumbuh besar di masa depan. Pasalnya, VC juga bukan badan amal. Tentunya, mereka ingin mendapatkan untung dari investasi yang mereka tanamkan.

Jadi, jika sebuah VC menanamkan modal di sebuah startup, hal itu karena mereka percaya, startup tersebut memiliki potensi untuk sukses di masa depan. Kepercayaan ini bisa memudahkan startup untuk menarik investor lainnya. Selain modal, VC juga bisa membantu startup untuk membangun jaringan di industri startup itu bergerak.

Berdasarkan studi, jika sebuah startup mendapatkan investasi dari VC pada tahap awal, hal ini akan meningkatkan kemungkinan startup tersebut untuk dapat tumbuh secara berkelanjutan.

 

Total Investasi dari VC di Industri Game Sejak 2014

Dalam sebuah artikel di Medium, White Star Capital mencoba untuk merangkum investasi yang dilakukan oleh VC di industri game sejak 2014. Mereka memperkirakan, sampai Juli 2020, total nilai investasi yang diberikan oleh VC ke perusahaan-perusahaan game telah mencapai sekitar US$13,3 miliar.

Untuk memahami tren investasi, White Star Capital lalu membagi perusahaan-perusahaan game ke dalam beberapa kategori: developer & publisher, developer tools, distribution platform, access point, esports talent & sponsor, esports platform, esports broadcasting, dan streaming & social.

Dari semua kategori itu, developer & publisher menjadi kategori yang mendapatkan investasi paling besar. Dari total investasi VC di dunia gaming sejak 2014, sekitar 48% masuk ke dalam kategori ini. Beberapa perusahaan yang masuk dalam kategori ini antara lain Epic Games, Niantic, dan Roblox. Ada empat model monetisasi yang biasanya digunakan oleh perushaaan di kategori ini, yaitu freemium, iklan, langganan, dan penjualan langsung. Hybrid pernah membahas tentang keempat model bisnis ini di sini.

Selain developer & publisher, kategori lain yang cukup populer adalah kategori streaming & social. Kategori ini mendapatkan sekitar 22,91% dari total investasi yang ditanamkan oleh VC di industri game sejak 2014. Contoh perusahaan yang bergerak di bidang ini yaitu Twitch dan Discord; serta dua perusahaan streaming Tiongkok, yaitu Douyu dan Huya. Biasanya, platform streaming atau sosial game menggunakan tiga model bisnis, yaitu freemium, iklan, dan langganan atau subscription.

Beberapa perusahaan di dunia game yang pernah mendapatkan investasi besar-besaran. | Sumber: Medium
Beberapa perusahaan di dunia game yang pernah mendapatkan investasi besar-besaran. | Sumber: Medium

Sementara itu, kategori developer tools — seperti Unity dan Unreal Engine — mendapatkan porsi investasi sebesar 14,83% dari total investasi oleh VC sejak 2014. Salah satu model bisnis yang digunakan oleh perusahaan yang membuat game engine dan developer tools lainnya adalah melakukan penjualan ke perusahaan alias enterprise sale. Bisnis model lain yang biasa dipakai oleh perusahaan di kategori ini adalah Software-as-a-Service.

Selain tiga kategori di atas, masih ada empat kategori lain. Hanya saja, nilai investasi yang pernah didapatkan oleh masing-masing kategori ini kurang dari 10% dari total investasi VC di dunia game sejak 2014. Kategori platform distribusi game misalnya — seperti SEA dari Singapura — hanya mendapatkan porsi 6,99% dari total investasi VC.

Sementara kategori access point, yaitu perusahaan-perusahaan yang membuat komponen dan hardware gaming seperti Razer, hanya memiliki bagian 1,42%. Kategori esports talent & sponsor, yang mencakup organisasi esports seperti Cloud9, mendapatkan porsi investasi yang sedikit lebih besar dari kategori access point, mencapai 1,71% dari total investasi. Dan terakhir, kategori esports platform — seperti Skillz dan PlayVS — mendapatkan porsi investasi sebesar 4,14%.

 

Investasi di Industri Game Selama 9 Bulan 2020

Sepanjang 2020, banyak industri yang mengalami masalah akibat pandemi COVID-19. Namun, industri game jadi salah satu industri yang diuntungkan. Pasalnya, ketika masyarakat harus melakukan karantina, mereka jadi punya waktu luang lebih banyak untuk bermain game. Dan hal ini juga tercermin dalam meningkatnya penanaman modal, IPO, dan akuisisi di dunia game selama 2020. Hingga akhir Q3 2020, total valuasi investasi, IPO, dan akuisisi di industri game mencapai US$20,5 miliar.

Data tersebut dikumpulkan oleh perusahaan pelacak investasi game, InvestGame. Mereka mengumpulkan data tentang transaksi — baik dalam bentuk investasi, IPO, maupun akuisisi — yang melibatkan pelaku industri game, mulai dari developer, publisher, perushaaan teknologi, esports, sampai hardware. Hanya saja, mereka hanya menghitung transaksi yang diumumkan secara terbuka dan sudah terjadi. Transaksi yang nilainya tidak diumumkan atau belum pasti akan dilangsungkan tidak dihitung. Selain itu, mereka juga tidak menghitung akuisisi ZeniMax senilai US$7,5 miliar oleh Microsoft.

“Kami melacak semua informasi tentang transaksi yang terjadi di industri game,” kata Sergei Evdokimov dari InvestGame pada VentureBeat. “Anda bisa melihat besarnya angka perputaran uang di dunia game dan angka ini masih terus tumbuh. Kami ingin bisa menunjukkan data ini pada para investor.”

Berbeda dengan White Star Capital, InvestGames mengategorikan perusahaan game ke dalam empat kategori, yaitu gaming, platform & tech, esports dan other. Dari tiga kategori lainnya, kategori gaming memiliki jumlah dan nilai transkasi paling besar. Selama sembilan bulan di 2020, ada 211 transaksi yang terjadi di kategori ini, dengan total nilai US$15,3 miliar. Sementara itu, di kategori platform & tech, jumlah transaksi yang terjadi mencapai 112 transaksi, dengan total nilai US$3,97 miliar. Dalam kategori esports, terdapat 89 transaski dengan total nilai US$685 juta, dan di kategori other, terdapat 25 transaksi yang bernilai US$504 juta.

Jumlah dan nilai total transaksi di 4 kategori selama 9 bulan terakhir. | Sumber: InvestGame
Jumlah dan nilai total transaksi di 4 kategori selama 9 bulan terakhir. | Sumber: InvestGame

InvestGame juga membagi ratusan transaksi yang terjadi selama 2020 berdasarkan tipe transaksi, yaitu IPO, akuisisi, dan investasi privat. Dari ketiga tipe tersebut, IPO memiliki valuasi paling besar, mencapai US$9,2 miliar. Salah satu perusahaan game yang melakukan IPO pada tahun ini adalah Unity.

Sementara itu, akuisisi memiliki valuasi terbesar kedua dengan nilai US$6,6 miliar. Memang, sepanjang 2020, terdapat beberapa akuisisi bernilai besar di industri game. Terakhir, jenis investasi privat, yang jumlahnya mencapai US$4,6 miliar sepanjang 2020. Di industri game, VC yang paling aktif saat ini antara lain Play Ventures, Galaxy EOS VC, Bitkraft Ventures, Sisu Game Ventures, dan Makers Fund.

 

Akuisisi di Industri Game Selama 2020

Tahun ini, cukup banyak akuisisi penting yang terjadi. Salah satunya adalah akuisisi perusahaan Turki, Peak Games oleh Zynga seharga US$2 miliar. Akuisisi lain yang menarik perhatian banyak orang adalah akusisi developer Warframe, Leyou Technologies oleh Tencent. Sementara pada September 2020, Microsoft mengakuisisi ZeniMax senilai US$7,5 miliar.

Sepanjang 2020, Tencent menjadi salah satu perusahaan yang paling aktif dalam mengakuisisi perusahaan lain. Memang, sejak tahun lalu, konglomerasi asal Tiongkok itu sangat aktif membeli saham atau bahkan mengakuisisi perusahaan game seperti Funcom dan Marvelous. Selain Tencent, dua perusahaan lain yang aktif melakukan akuisisi di industri game adalah Embracer Group serta Stilfront Group.

“Satu hal yang paling menarik, jumlah transaksi M&A di dunia game tetap sangat banyak meski di tengah pandemi,” kata Evdokimov. “Hanya saja, jumlah transaksi dari VC — baik pada tahap awal maupun akhir — memang mengalami penurunan secara signifikan.”

Sepanjang tahun ini, ada 41 perusahaan mobile game yang diakusisi. Secara total, nilai akuisisi perusahaan-perusahaan tersebut mencapai US$4,4 miliar. Sementara akuisisi terkait perusahaan game konsol dan PC memiliki nilai yang jauh lebih besar, mencapai US$10,5 miliar.

 

Popularitas Streamer dan Esports Buat Ekosistem Game Semakin Besar

Selama ini, jika sebuah merek ingin menjangkau para gamer, mereka hanya bisa bekerja sama dengan developer atau publisher game untuk memasang iklan dalam game. Namun, sekarang, ekosistem game telah berkembang menjadi lebih besar berkat semakin populernya streamer dan esports. Konsumen game tak lagi terbatas pada orang-orang yang memainkan sebuah game tapi juga orang-orang yang menonton konten game melalui platform streaming atau fans esports. Dan banyak merek yang semakin tertarik untuk memenangkan hati para audiens gaming tersebut.

Contoh beberapa perusahaan besar yang bekerja sama dengan perusahaan game/esports. | Sumber: White Star Capital
Contoh beberapa perusahaan besar yang bekerja sama dengan pelaku industri game/esports. | Sumber: White Star Capital

Buktinya, banyak merek ternama yang tertarik untuk bekerja sama dengan perusahaan game dan esports, seperti Louis Vuitton, Adidas, dan BMW. Ketiga perusahaan tersebut memang tidak membuat produk yang berhubungan langsung dengan game. Namun, hal itu tidak menghentikan mereka untuk bekerja sama atau menjadi sponsor dari pelaku industri game dan esports. Misalnya, dalam kasus Louis Vuitton, mereka bekerja sama dengan Riot Games tidak hanya untuk membuat koleksi pakaian bertema League of Legends tapi juga membuat skin mewah bagi karakter dalam game.

Salah satu alasan mengapa esports kini menarik perhatian merek-merek besar adalah karena pertumbuhan audiens mereka yang cukup signifikan. Menurut Deloitte, fans esports di dunia mencapai 380 juta orang pada 2018. Sementara pertumbuhan fans esports per tahun mencapai 15%.

Pertumbuhan penonton esports. | Sumber: Nfx
Pertumbuhan penonton esports. | Sumber: NfX

 

Penutup

Ada beberapa kesamaan antara perusahaan game dan startup. Salah satunya, biasanya, keduanya tidak memiliki aset yang berwujud. Hal ini akan menyulitkan mereka untuk mendapatkan pinjaman dari bank. Di sinilah perusahaan venture capital bisa membantu. Mereka tidak hanya bisa menyediakan modal, tapi juga keahlian dan jaringan. Dan hal ini bisa membantu startup atau perusahaan game tumbuh.

Pada awalnya, perusahaan-perusahaan game tak terlalu menarik minat para VC, kecuali VC yang memang mengkhususkan diri untuk mendanai perusahaan game. Namun, seiring dengan semakin beragamnya perusahaan yang bergerak di bidang game, para VC pun mulai tertarik. Salah satu alasan mengapa industri game kini menjadi semakin beragam adalah karena semakin populernya streamer dan esports. Kedua hal ini membuka pintu baru bagi perusahaan yang ingin bekerja sama dengan pelaku industri game.

Sumber: Medium, VentureBeat

[Exclusive] Saweria: Streamer Game Bisa Dapatkan Rp44 Juta Sebulan dari Dana Dukungan

Konten kreator, khususnya di ranah gaming memang biasanya mendapatkan pendapatan dari sponsor alias iklan. Namun hal ini sebenarnya jadi menciptakan gaya dan tren konten yang itu-itu saja karena mereka mencoba mencari penonton sebanyak-banyaknya agar dilirik pengiklan. Konten kreator yang membahas konten-konten niche jadi kian sedikit karena dianggap tak mampu menarik perhatian sponsor, yang akhirnya juga tak bisa mencari pemasukkan dari hasil jerih payahnya.

Jujur saja, karena itulah, saya sungguh tertarik untuk metode lain dalam menghasilkan pendapatan. Salah satu metode pendapatan lain yang sebenarnya sudah berjalan buat konten kreator di luar sana adalah aliran dana dari para pendukungnya. Anda bisa membaca lebih lanjut soal ini di artikel yang sebelumnya kami tuliskan.

Dengan mencari dana dukungan dari para penonton, seorang konten kreator mungkin tak perlu mencari penonton sebanyak-banyaknya namun lebih mencari penonton setia meski niche topik bahasannya. Salah satu contoh konkretnya adalah soal PC gaming dan mobile gaming. Jika Anda mencari massa sebanyak-banyaknya, mobile gaming memang lebih masuk akal. Namun, pecinta PC gaming bisa jadi berada di kelas ekonomi yang lebih tinggi sehingga mau merogoh kocek untuk memberikan dana dukungan kepada idolanya.

Beberapa waktu yang lalu, saya mendapatkan cerita dari seorang kawan (streamer Dota 2) yang mengatakan bahwa pendapatannya dari donasi penonton bisa mencapai Rp7 juta dalam satu pekan. Salah satu sarana yang memungkinkan kawan saya meraih pendapatan tersebut adalah Saweria.

 

Tentang Saweria

Untuk menggali lebih jauh tentang potensi pendapatan dari dana dukungan itu pun, saya langsung menghubungi Saweria. Saya pun berbincang dengan Natalia, salah satu Co-Founder dari Saweria lewat Google Meet.

Buat yang belum tahu, Saweria adalah jembatan interaksi live-streamer dengan penonton. Dengan kata lain, Saweria adalah sebuah layanan yang membantu konten kreator untuk mendapatkan dukungan finansial dari penikmat karyanya. Saat ini, Anda bisa memberikan dukungan lewat Saweria melalui 4 ewallet terbesar yang ada di Indonesia yaitu GoPay, OVO, DANA, dan LinkAja. Buat konten kreatornya, dana Anda bisa dicairkan ke semua rekening bank di Indonesia. Untuk lebih jauh tentang Saweria, Anda bisa membaca sendiri keterangan lengkapnya di tautan ini.

Oh iya, untuk setiap transaksi dana dukungan yang diberikan, ada potongan sebesar 5% lewat semua ewallet (kecuali OVO yang sebesar 6%). Untuk mencairkan dana, Anda juga akan dikenakan potongan sebesar Rp5000 setiap kali cash-out. Menurut Natalia, potongan tersebut sepenuhnya dari sistem payment yang digunakan. Dana minimal yang bisa dicairkan adalah Rp100 ribu. Sedangkan dana dukungan minimal yang bisa dikirimkan adalah Rp10 ribu.

Menariknya, Natalia pun bercerita bagaimana Saweria berdiri di 2019. Ia bercerita bahwa salah satu Co-Founder Saweria lainnya memang berkawan dengan konten kreator dan gamer. Ia memang suka mencoba produk-produk baru yang unik. Maka dari itu, Saweria dibuat untuk memberikan dukungan lebih kepada orang-orang di industri kreatif.

 

Under the Hood 

Setelah kita berkenalan, mungkin inilah yang Anda tunggu-tunggu. Saat kami berbincang, saya pun menanyakan market share pengguna Saweria. Natalia pun mengatakan bahwa 90% streamer di Saweria memang datang dari ranah gaming. Meski begitu, ia juga mengatakan ada juga streamer dari ranah musik (seperti band atau DJ) ataupun 3D Artist.

Lalu seberapa besar sebenarnya donasi-donasi yang dikirimkan lewat Saweria? Natalia mengatakan, “dana dukungan rata-rata yang diberikan oleh fans ada di Rp27 ribu. Sedangkan highest earner di Saweria bisa mencapai Rp44 juta dalam sebulan. 10 penerima dana dukungan terbesar di Saweria juga gamer.”

Kemudian, apakah ada kurasi dari pihak Saweria untuk siapa saja yang boleh menggunakan? Menurut penjelasan Natalia, patokan yang digunakan adalah hukum yang berlaku di Indonesia. Ia pun mengungkap sebenarnya ada beberapa yang terkait dengan konten pornografi namun pihak Saweria akan langsung menutupnya jika hal tersebut ditemukan. Untungnya, menurut Natalia, komunitas gamer (mayoritas pengguna Saweria) memang tidak separah itu.

Saweria
Saweria

Sebaliknya, apakah Saweria juga akan aktif mencari streamer atau kreator konten untuk diajak kerja sama? “Sementara itu kita memang belum mengejar ke sana. Promosinya memang masih lumayan minimal. Namun kita sangat terbuka untuk berbincang dengan para streamer dan kreator konten yang butuh bantuan untuk mencari dukungan.”

Meski usaha promosinya minimal, mungkin memang industri gaming sedang hangat-hangatnya. Pasalnya, Natalia mengatakan bahwa Daily Active Users di Saweria mencapai 500-700 streamer. Itu angka streamer atau kreator konten yang menerima dana dukungan ya. Harusnya, menurut saya, pengguna yang memberikan dukungan bisa lebih banyak dari angka tadi. Sedangkan halaman utama website Saweria mendapatkan 700 ribu Pageviews setiap minggunya.

 

Industry Insight

Angka Rp7 juta dalam satu pekan (dari kawan saya) ataupun Rp44 juta dalam satu bulan (pendapatan terbesar di Saweria, saat artikel ini ditulis), itu memang tidak kecil. Faktanya, angka tersebut bahkan mungkin lebih besar jumlahnya dari harga yang disodorkan oleh beberapa sponsor — apalagi tidak sedikit sponsor yang maunya kasih produk… Uhuk… 

Namun pertanyaannya, apakah aliran dana dari fans bisa mengalahkan pendapatan dari sponsor? Natalia pun menjawab, “gaming itu lagi hot. Akan ada lebih banyak uang yang mengalir ke industri ini. Jadi kayaknya ga mungkin sih ngalahin dana dari sponsor. Lagipula, tujuan kita memang membantu small to medium streamer sih… Biar mereka bisa terus produktif meski baru memulai.”

Selain itu tadi, kebanyakan pengguna internet di Indonesia berpikir bahwa konten itu harusnya gratis. Lalu kenapa hal ini bisa berubah sekarang?

Saweria percaya bahwa fans itu rela memberikan dana dukungan jika mereka benar-benar menyukai konten yang disuguhkan. Apalagi di zaman demokratisasi konten sekarang ini, setiap orang berhak membuat konten ataupun memilih konten yang ingin dikonsumsi. Dengan memberikan dana dukungan, hal tersebut seperti sebuah vote untuk konten seperti apa yang disukai oleh masing-masing orang.

Selain itu, meski sistem donasi ini juga sudah berjalan dari beberapa tahun silam, ekosistem di Indonesia yang tidak memiliki sarana untuk memberikan dukungan itu. “Dulu misalnya kan ramai pakai PayPal tapi orang-orang di Indonesia kan kebanyakan tidak punya kartu kredit.” Jelas Natalia. Sekarang, sistem ewallet sudah sangat umum digunakan oleh sebagian besar pengguna internet.

 

Plan for the Future

Lalu bagaimana rencana ke depan dari Saweria?

“Saat ini kita fokus untuk memperkaya fitur, misalnya seperti fitur overlay yang membuat fans memberikan dukungan lebih banyak.” Saat ini, Saweria memang sudah memiliki beberapa fitur yang menarik sebenarnya. Fitur voting, misalnya, mengizinkan penonton menentukan pilihan sembari mengirimkan dana dukungan. Ada juga fitur Milestone, misalnya, jika total dana dukungan sudah mencapai angka tertentu, sang streamer akan melakukan hal tertentu.

Meski saat ini sebagian besar pengguna Saweria datang dari komunitas gamer, Saweria sendiri sebenarnya tidak ditujukan spesifik untuk gamer. Tujuannya adalah untuk semua orang yang streaming atau membuat konten. Maka dari itu, Saweria sangat terbuka untuk streamer ataupun kreator konten dari ranah lainnya jika mereka membutuhkan bantuan.

Namun demikian, Saweria juga terbuka jika ada perusahaan lain yang ingin berkolaborasi.

Selain itu, Natalia pun mengatakan bahwa Saweria juga ingin memberikan opsi lebih dalam hal pembayaran seperti transfer bank ataupun kartu kredit. Namun mereka mengaku masih ingin riset dulu soal itu, apakah akan efektif atau tidak.

Berhubung semangat Saweria yang terbuka untuk membantu para streamer dan kreator konten, saya pun menghubungi dua kawan saya untuk menanyakan pendapat mereka tentang Saweria dan fitur baru apa yang mereka inginkan.

Edi “Edel” Kusuma, salah satu founder dari HASAGI yang merupakan komunitas League of Legends Indonesia, menceritakan pengalamannya menggunakan Saweria.

Ia bercerita jumlah yang ia dapatkan masih sangat sedikit namun ia juga menyadari soal sifatnya yang sukarela. “Kalau lagi beruntung, ada yang pernah sumbang sampai ratusan ribu tapi biasanya sekitaran Rp10-50 ribu saja.”

“Saweria jelas lebih gampang. Daftarnya mudah, pakainya mudah, dan pencairan dananya juga mudah banget. Komunitas yang mau nyumbang pun enggak akan dibuat repot, cukup pindai QR Code yang ada atau bisa lewat website Saweria.” Jawab Edel saat saya tanya pengalamannya menggunakan Saweria dibanding layanan sejenis.

“Paling lebih ke kustomisasi ya. Misalnya perbanyak font, warna, dll. buat overlay. Intinya kasih lebih banyak pilihan kustomisasi saja di bagian overlay. Karena, menurut gua, overlay Saweria itu masih kaku banget yang kadang ga masuk banget ke desain overlay gua yang futuristik. Sisanya udah oke kok. Fungsinya bagus sih, gua suka. Real time banget. Pencairan dananya yang paling gua demen, potongannya dikit.” Ujar Edel memberikan masukkan sembari menutup perbincangan.

Kawan saya satu lagi adalah Yudi “Justincase” Anggi yang merupakan caster Dota 2 tua, eh senior (wkawkawk), yang sekarang streaming untuk WxC Indonesia.

Ia pun memberikan beberapa fitur yang ia inginkan dari Saweria.

  • Profanity filter. Walaupun sedikit, masih ada beberapa donatur yang sengaja memasukkan kata-kata kasar ketika melakukan donasi.
  • Block URL di pesan dukungan. Beberapa donatur memanfaatkan jumlah viewer yang banyak untuk memasarkan produk/website mereka. Seperti jadi mirip pesan spam/iklan.
  • Alert customization. Kita bisa mendesain sendiri bentuk dan warna alert donasi sesuai dengan keinginan kita.

So far so good sih Saweria. Mereka udah banyak ngasih pilihan pembayaran donasi. Udah ada update untuk mengatur sendiri efek suara alert donasi dan ada fitur GIF di alert donasi.” Ujar Yudi tentang pendapatnya menggunakan Saweria.

“Mereka memang bisa membaca kekurangan platform donasi yang sudah ada di Indonesia sebelumnya. Makanya, mereka langsung mendominasi pasar ketika masuk.” Tutup Yudi.

 

Penutup

Akhirnya, saya pribadi memang jujur berharap aliran dana dari komunitas bisa menyegarkan tren konten gaming Indonesia yang isinya itu-itu saja dengan yang lebih niche.

Lagi pula, saya juga sangat percaya seperti yang dikatakan oleh Douglas Rushkoff bahwa aliran dana yang lebih luas dan lebih cepat akan lebih baik buat sebuah industri. Meski mungkin memang aliran dana saat ini didominasi oleh sponsor dan mungkin akan terus demikian, sumber aliran dana baru bisa membantu mereka-mereka yang baru mulai ataupun tak ingin mengikuti budaya massa.

Feat Image via: Deposit Photos

Evolusi Controller PlayStation dari Masa ke Masa

Saya memainkan PlayStation ketika saya masih SD. Ketika itu, saya sadar bahwa tombol X digunakan untuk memberi jawaban ya atau mengonfirmasi jawaban. Namun, saya kemudian juga sadar, pada game-game tertentu, tombol X justru digunakan untuk membatalkan pilihan. Game-game tersebut biasanya punya satu kesamaan, yaitu menggunakan Bahasa Jepang. Hal ini membuat saya paham, di Jepang, tombol X dan O memiliki fungsi “terbalik”.

Berkiblat pada negara-negara Barat, Indonesia menjadikan tombol X untuk konfirmasi dan tombol O untuk batal. Namun, lain halnya dengan Jepang. Di Negeri Sakura tersebut, tombol O justru digunakan untuk konfirmasi dan tombol X untuk batal. Perbedaan ini muncul karena adanya perbedaan budaya antara Jepang dan negara-negara Barat.

Di Jepang, “X” — alias batsu — melambangkan kesalahan, menurut laporan The Verge. Bagi Anda yang sering mendapatkan nilai merah ketika sekolah, pasti familier dengan lambang yang satu ini. Sementara itu, ikon lingkaran — atau maru — justru memiliki arti yang sama dengan lambang centang. Jika Anda sering menonton acara kuis Jepang, Anda pasti pernah melihat ikon “O” ketika peserta memberikan jawabanyang benar.

Negara-negara Barat punya budaya yang berbeda. Di Amerika Utara dan Eropa, “X” justru dianggap sebagai lambang target. Misalnya, pada peta harta karun, “X” akan melambangkan tempat harta berada. Selain itu, tombol X juga punya posisi yang strategis. Alhasil, tombol X dipilih sebagai tombol konfirmasi pada game. Berbeda dengan Jepang, di negara-negara Barat, ikon “O” tidak memiliki arti apapun. Jadi, ikon ini bisa digunakan sebagai lambang batal.

Jika ditanya mana yang benar, saya akan menjawab tidak ada. Karena perbedaan fungsi tombol muncul karena perbedaan budaya. Masalahnya, hal ini memberikan pekerjaan ekstra untuk para developer game. Jadi, jangan heran jika…

 

Sony Bakal Menyeragamkan Tombol Konfirmasi Pada PlayStation 5

Selama empat generasi konsol, Sony tidak pernah keberatan untuk mengakomodasi perbedaan penggunaan tombol di Jepang. Namun, mereka berencana untuk menyeragamkan fungsi tombol pada PlayStation 5. Hal itu berarti, para gamer di Jepang harus membiasakan diri untuk menggunakan tombol X sebagai konfirmasi dan tombol O sebagai batal. Menurut laporan Kotaku, perwakilan Sony menjelaskan, alasan mereka melakukan hal ini adalah untuk memudahkan para developer dalam membuat game. Alasan lainnya adalah untuk menyeragamkan pengaturan tombol di semua negara.

Tentu saja, keputusan Sony ini mendapatkan protes dari gamer Jepang. Memang, ada gamer yang percaya diri jika mereka akan bisa menyesuaikan diri dengan perubahan ini. Namun, tidak sedikit juga gamer percaya bahwa keputusan Sony ini akan membuat banyak orang Jepang kebingungan. Bahkan ada orang yang mengatakan, mereka tidak akan membeli PlayStation 5 karena hal ini.

Kejadian ini membuat saya penasaran: bagaimana perusahaan game seperti Sony menentukan layout dari tombol pada controller. Kenapa D-Pad diletakkan di sebelah kiri? Kenapa Sony memilih untuk menggunakan ikon X, O, kotak, dan segitiga? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, saya akan membahas tentang controller sejak awal.

 

Sejarah Controller

Berbicara tentang sejarah controller, tentu tak lepas dari Spacewar, yang dianggap sebagai salah satu video game pertama. Spacewar bisa dimainkan berdua. Masing-masing pemain akan mengendalikan sebuah pesawat luar angkasa. Seorang pemain akan dinyatakan sebagai pemenang ketika dia berhasil menghancurkan pesawat musuh. Untuk memainkan Spacewar, pemain bisa menggunakan empat dari delapan switch yang ada pada PDP-1. Dua switch berfungsi untuk memutar pesawat ke kiri atau ke kanan, satu switch untuk mengaktifkan thruster pesawat dan satu switch lain untuk menembakkan torpedo.

Hanya saja, ada beberapa kelemahan dari sistem kendali ini. Salah satunya adalah para pemain harus menghafal fungsi dari masing-masing switch. Pasalnya, empat switch pada PDP-1 saling berdampingan. Jadi, sulit untuk membedakan switch yang berfungsi untuk memutar pesawat dengan switch untuk menembakkan torpedo. Masalah lainnya adalah switch yang digunakan untuk bermain Spacewar terletak dekat dengan tombol power. Hal ini meningkatkan risiko pemain secara tidak sengaja mematikan komputer saat sedang bermain.

Control box untuk Spacewar. | Sumber: Tom Tilley
Control box untuk Spacewar. | Sumber: Tom Tilley

Masalah pada sistem kendali untuk Spacewar mendorong Alan Kotok dan Robert A. Saunders untuk membuat sebuah control box. Sesuai namanya, control box berbentuk kotak dengan dua switch dan satu tombol. Switch horizontal untuk membelokkan pesawat dan switch vertikal untuk menyalakan thruster. Sementara tombol pada control box berfungsi untuk menembakkan torpedo. Jika dibandingkan dengan controller modern, control box memiliki ukuran yang jauh lebih besar.

Seiring dengan semakin populernya Spacewar, semakin banyak pihak yang tertarik untuk membuat control box dari game tersebut. Et voila! Muncullah berbagai variasi dari control box untuk Spacewar. Salah satunya adalah control box dengan lima tombol yang berfungsi untuk melakukan aksi yang berbeda-beda. Control box inilah yang menjadi inspirasi dari sistem kendali pada arcade.

 

Joystick dari Atari

Spacewar bukan satu-satunya game yang populer pada 1960-an. Pong menjadi game lain yang juga digemari masyarakat. Begitu populernya Pong sehingga game ini memiliki franchise arcade sendiri.

Controller untuk Pong. | Sumber: Ciroforo / Wikimedia Commons / CC BY 2.0
Controller untuk Pong. | Sumber: Ciroforo / Wikimedia Commons / CC BY 2.0

Atari lalu meluncurkan Pong untuk konsol mereka pada 1970-an. Bersamaan dengan itu, mereka memperkenalkan controller baru yang berbeda dari kebanyakan controller yang ada. Controller ini memiliki dua kenop — bernama potentiometer — yang bisa digunakan untuk menggerakkan alat pemukul di Pong. Walau controller ini cocok untuk memainkan Pong, ia tidak bisa digunakan untuk memainkan game lain. Jadi, desain controller ini pun tak lagi digunakan.

Pada 1978, Stephen D. Bristow mendapatkan paten untuk joystick Atari. Memang, ketika itu, Atari bukan satu-satunya perusahaan yang membuat joystick, mengingat proses pembuatan joystick relatif mudah. Namun, satu hal yang membedakan joystick Atari keberadaan pondasi pada bagian bawah joystick. Dulu, kebanyakan joystick memiliki desain seperti controller Channel F.

Controller Channel F. | Sumber: Google Arts & Culture
Controller Channel F. | Sumber: Google Arts & Culture

Pada joystick buatan Atari ini, hanya ada satu tombol. Kebanyakan gamer menggunakan tangan kanan untuk mengendalikan joystick, sementara tangan kiri digunakan untuk menekan tombol. Ke depan, ketika controller memiliki lebih dari satu tombol, gamer justru akan terbiasa menekan tombol aksi dengan jempol kanan.

 

D-pad dari Nintendo

Lalu, bagaimana joystick berevolusi menjadi D-pad? Directional pad atau D-pad “ditemukan” oleh Nintendo. Pada awalnya, Nintendo adalah perusahaan yang membuat kartu Hanafuda. Untuk tahu sejarah lengkap Nintendo, Anda bisa membacanya di sini. Sementara itu, video game mulai populer pada 1970-an. Tren ini membuat Nintendo tertarik untuk masuk ke industri game.

Pada 1977, Nintendo meluncurkan Color TV Game 6, yang memiliki 6 game tenis serupa Pong. Mereka juga sempat meluncurkan Color TV Game 15. Namun, Hiroshi Yamauchi, yang ketika itu menjabat sebagai Presiden Nintendo, punya visi yang lain. Dia meminta Gunpei Yokoi dan para teknisi untuk membuat video game baru. Terinspirasi dari kalkulator, Yokoi membuat Game & Watch pada 1980.

Game & Watch. | Sumber: Wikimedia
Game & Watch. | Sumber: Wikimedia/Peer Schmidt

Seperti yang bisa Anda lihat pada gambar di atas, pada Game & Watch orisinal, hanya ada dua tombol: satu tombol untuk bergerak ke kiri dan satu ke kanan. Namun, video game berevolusi dengan cepat, sehingga kendali sederhana seperti pada Game & Watch tak lagi cukup. Masalahnya, Nintendo juga tidak bisa memasang joystick pada Game & Watch, mengingat kecilnya ukuran dari perangkat ini.

Nintendo lalu mencoba untuk memasang empat tombol di empat arah. Sayangnya, ide tersebut gagal. Yokoi mendapatkan ide untuk membuat “tombol” yang bisa bergerak ke empat arah, yang kini kita kenal dengan sebutan D-pad. Nintendo langsung menggunakan D-pad untuk controller dari konsol pertama mereka, Famicom alias Nintendo Entertainment System (NES). Tak hanya itu, mereka bahkan mematenkan D-pad. Meskipun begitu, hal ini tidak menghentikan Sony dan Sega untuk menggunakan D-pad pada controller dari konsol mereka. Untuk menghindari pelanggaran hak paten, keduanya biasanya melakukan sedikit perubahan desain pada controller mereka.

 

Kenapa D-Pad Ada di Sebelah Kiri?

Ketika menggunakan joystick buatan Atari — yang hanya terdiri dari satu tonggak di bagian tengah dan satu tombol — gamer lebih suka menggunakan tangan kiri untuk menekan tombol. Namun, pada controller modern, para gamer justru harus menekan tombol aksi dengan tangan kanan. Ada alasan mengapa perusahaan game melakukan hal ini.

Bagi kebanyakan orang — sekitar 90% populasi dunia — tangan kanan adalah tangan dominan. Biasanya, orang menganggap tangan dominan sebagai tangan yang bisa mengerjakan suatu tugas dengan lebih baik. Padahal, menurut studi, perbedaan antara tangan dominan dan non-dominan tidak sesederhana itu. Baik tangan dominan maupun non-dominan memiliki keahlian tersendiri. Tangan dominan biasanya dapat melakukan gerakan kecil yang membutuhkan akurasi tinggi dengan sangat baik. Sementara tangan non-dominan cocok untuk melakukan gerakan besar yang lebih mementingkan kecepatan atau tenaga.

Hal inilah yang menjadi salah satu alasan mengapa D-pad atau analog stick ada di bagian kiri controller, sementara empat tombol lainnya ada di sebelah kanan. Ketika Anda menggerakkan karakter menggunakan D-Pad atau analog stick, biasanya, Anda tidak perlu terlalu memerhatikan presisi. Sementara itu, untuk melakukan aksi tertentu pada game, Anda harus bisa menekan tombol X, O, kotak, dan segitiga — yang masing-masing memiliki fungsi yang berbeda-beda — secara akurat. Berikut tombol yang harus ditekan untuk mengeluarkan combo dari Akuma di Tekken 7.

Combo Akuma. | Sumber: Tekken 7 Combo
Combo Akuma. | Sumber: Tekken 7 Combo

Kenapa Sony Menggunakan Simbol?

Sony meluncurkan PlayStation pertama di Jepang pada Desember 1994 dan September 1995 di Amerika Utara. Ketika itu, para gamer telah terbiasa dengan controller dari Super Nintendo Entertainment System (SNES) dan SEGA Genesis. Tombol-tombol pada controller dari kedua konsol ini ditandai dengan huruf. Sony tampil berbeda karena mereka memilih untuk menggunakan ikon, yaitu X, O, kotak, dan segitiga.

Ada alasan tersendiri mengapa Sony memilih empat ikon tersebut. Menurut Push Square, tim desain Sony tidak ingin menggunakan huruf karena mereka tidak ingin controller mereka diidentikkan dengan satu bahasa tertentu. Dengan menggunakan ikon, mereka berharap controller mereka akan menampilkan budaya global.

Teiyu Goto, designer dari PlayStation pertama menjelaskan arti dari masing-masing simbol pada controller PS. Di Jepang, X merupakan lambang untuk tidak, sementara O untuk iya. Karena itu, tombol O di Jepang digunakan untuk mengonfirmasi, dan tombol X untuk batal. Ikon segitiga dibuat untuk melambangkan viewpoint atau arah. Dan ikon kotak diasosiasikan dengan secari kertas untuk menu atau dokumentasi. Seiring dengan perkembangannya zaman, arti dari masing-masing ikon ini tampaknya telah semakin terlupakan. Namun, empat simbol tersebut tetap identik dengan PlayStation.

 

Evolusi Controller dari PlayStation dari Waktu ke Waktu

Melihat desain dari controller PlayStation pertama, terlihat jelas bahwa Sony mendapatkan inspirasi dari controller SNES milik Nintendo. Tentu saja, mereka membuat sejumlah perubahan. Selain ikon untuk menandai masing-masing tombol, Sony juga memberikan handle pada controller mereka, sehingga ia lebih nyaman untuk digenggam. Controller dari Sony juga memiliki empat bumpers/shoulder buttons, lebih banyak dari shoulder buttons pada controller SNES.

Dua tahun setelah meluncurkan PlayStation pertama, Sony meluncurkan controller DualShock untuk PS1. Pada DualShock, Sony menambahkan dua analog stick dan juga dua rumble motors. Jika dibandingkan dengan D-Pad, analog stick memudahkan pemain untuk menggerakkan karakter dalam dunia 3D. Karena itu, analog stick dengan cepat menjadi standar industri. Tentu saja, DualShock juga menjadi controller standar untuk Sony.

Ketika Sony meluncurkan DualShock 2 bersamaan dengan PlayStation 2, mereka tidak membuat banyak perubahan. Mengingat controller DualShock memang disukai, masuk akal jika Sony memutuskan untuk terus menggunakan desain ini. Satu-satunya perubahan kasat mata pada DualShock 2 adalah soal warna. Sony mengubah warna controller DualShock 2 menjadi hitam dari abu-abu. Namun, sebenarnya, ada beberapa perubahan yang tak terlihat oleh mata. Salah satunya adalah masalah berat. DualShock 2 lebih ringan dari pendahulunya. Sony juga menggunakan tombol analog pada controller itu. Hal itu berarti, tekanan yang pemain gunakan akan memengaruhi apa yang terjadi.

Boomerang, prototipe controller untuk PS3. | Sumber: Wikimedia Commons
Boomerang, prototipe controller untuk PS3. | Sumber: Wikimedia Commons

Saat membuat controller untuk PlayStation 3, Sony sempat membuat prototipe yang dinamai Boomerang. Seperti yang Anda lihat pada gambar di atas, prototipe ini memiliki desain yang sangat berbeda dari DualShock. Hanya saja, di dunia online, banyak orang yang mengaku tidak suka dengan desain tersebut. Alhasil, akhirnya Sony memutuskan untuk membuat controller dengan desain yang tak jauh berbeda dari sebelumnya.

Meskipun begitu, Sony tetap melakukan beberapa eksperimen pada controller PS3. Salah satunya, mereka menghilangkan rumble motor. Memang, ketika itu, Sony juga sedang maju ke meja hijau melawan perusahaan bernama Immersion terkait penggunaan rumble motor. Sebagai ganti rumble motor, Sony memasang gyro sensor pada controller PS3, sehingga controller tersebut dilengkapi dengan motion control.

Selain itu, pada controller PlayStation 3, Sony juga mencoba untuk menggunakan teknologi Bluetooth dan baterai yang bisa diisi kembali. Dengan begitu, para gamer akhirnya bisa bermain game menggunakan wireless controller. Pada bagian tengah controller, Sony juga menambahkan tombol “PS”, yang berfungsi untuk menyalakan PS3. Ke depan, tombol ini bisa digunakan untuk mengakses menu konsol di tengah game.

Dua tahun setelah peluncuran PS3, Sony akhirnya memenangkan kasus pengadilan melawan Immersion. Dan mereka pun meluncurkan DualShock 3, lengkap dengan rumble motor. Hal ini bukan berarti DualShock 3 bebas dari kritik. Salah satu protes para gamer adalah trigger button yang tidak bekerja maksimal karena desainnya yang cembung. Keluhan para gamer ini menjadi masukan agar Sony bisa  menyempurnakan controller mereka yang berikutnya.

Sony kembali merombak desain dari controller mereka ketika meluncurkan PlayStation 4. Salah satu perubahan terbesar pada DualShock 4 adalah touch pad yang ada pada bagian tengah controller. Selain itu, Sony juga mengganti tombol Start dan Select menjadi Options dan Share. Tombol Options memiliki fungsi yang sama dengan tombol Start dan Select. Sementara tombol Share, sesuai namanya, berfungsi untuk memudahkan para gamer PS4 memamerkan kegiatan gaming mereka di internet, seperti berbagi screenshot atau video pendek dari sesi gaming mereka.

DualShock 4. | Sumber: Deposit Photos
DualShock 4. | Sumber: Deposit Photos

Tak berhenti sampai di situ, Sony juga menambahkan speaker kecil pada DualShock 4 serta headphone jack. Jadi, Anda bisa langsung menghubungkan headphone Anda ke controller tersebut. DualShock 4 juga memiliki light bar. Hanya saja, fitur tersebut mendapatkan protes dari sebagian gamer. Alasannya, light bar pada DualShock 4 akan memantul di layar ketika mereka sedang bermain. Sayangnya, Sony tidak bisa menghilangkan light bar itu begitu saja. Karena, ketika Anda menggunakan PlayStation VR, light bar pada controller berfungsi untuk melacak posisi controller.

Selain perubahan besar, Sony juga melakukan sejumlah perubahan kecil pada DualShock 4. Misalnya, mereka membuat pad yang lebih besar dan pegangan yang lebih nyaman. Mereka juga menyempurnakan desain trigger button. Jadi, tidak heran jika saat ini, DualShock 4 dianggap sebagai controller terbaik buatan Sony.

 

Penutup

Sama seperti konsol, controller juga terus berubah dari waktu ke waktu. Dan Sony berencana untuk memperkenalkan controller dengan desain berbeda saat mereka meluncurkan PlayStation 5. Perusahaan asal Jepang itu bahkan menggunakan merek yang berbeda untuk controller PS5. Bukannya DualShock, tapi DualSense.

Selain warna, DualSense juga memiliki desain yang berbeda dari DualShock 4. Tampaknya, Sony berusaha untuk membuat controller ini menjadi semakin nyaman digenggam tanpa harus mengganti layout tombol. Salah satu perubahan pada tombol DualSense adalah tombol X, O, kotak, dan segitiga kini memiliki warna yang sama. Selain itu, Sony juga mengganti nama tombol Share menjadi tombol Create. Sementara light bar yang menjadi keluhan para gamer di DualShock 4, kini tampil di sekitar touch pad.

Selain dari segi desain, Sony dikabarkan membuat tombol L2 dan R2 sebagai tombol adaptive. Mereka juga mengganti rumble motor dengan haptic feedback. Kabar baiknya, sejauh ini, DualSense cukup populer di kalangan warganet. Jadi, Sony tak perlu menggunakan desain lama untuk controller PS5.

Sumber: The Verge, Ranker

Metrics in Esports that can be Used to Measure its Success

In recent years, esports has become increasingly popular, both as a competition and as entertainment content. Along with the skyrocketing popularity of esports, more and more companies are also interested in becoming sponsors or investors for esports players. These companies are just not only from the companies which engaged in games or esports. More and more large non-endemic companies are starting to be interested in entering the world of esports. For example, BMW, which immediately cooperates with 5 esports organizations at once, or Lamborghini, which holds its own esports racing tournament.

It is no wonder that more and more companies are interested in entering the esports industry, considering that Newzoo estimates the value of the esports industry will reach US$ 1 billion in 2020. Indeed, currently, sponsorship is still the main source of income for esports organizations and most esports players have not made a profit yet. However, investors still believe that the esports industry will become a big industry in the future. One of the reasons is because the number of viewers continues to increase.

In Indonesia, whether a television program is popular or not is determined by the rating issued by Nielsen. According to CNN Indonesia, to measure the ratings, Nielsen installed a special tool called a people meter in 2,273 households as samples. Thousands of samples were spread across 11 major cities. However, the method for determining the popularity of esports content is not the same as television ratings. The reason is that most of the esports content is broadcast on streaming platforms, such as YouTube, Facebook Gaming, and Twitch; instead of television.

Jumlah penonton esports kini terus bertambah. | Sumber: Polygon
Via: Polygon

On streaming platforms, there is no “rating” that determines the popularity of a video, only the number of views. However, the number of views is not the only metric that can be used to determine the level of popularity of an esports tournament or game. There are several other units used to measure the popularity of esports events.

What are the metrics used to determine the popularity of esports?

 

AMA (Average Minute Audience)

AMA, also known as Average Concurrent Viewers (AVC) is the metric most often used to determine the popularity of esports content. There are two ways to calculate AMA. First, dividing the total hours of video watched by the video duration. Second, calculate the average number of viewers per minute of the video. One of the reasons why AMA is the most popular metric is because it is comparable to the average number of viewers, which is commonly used on television.

While still as a Managing Director at Nielsen Esports, Nicole Pike explained that using AMA to calculate viewership makes it easier for advertisers to understand the level of popularity of esports content. “We use AMA metrics so companies can compare our data with the average number of viewers of the various television shows they know about.”, Pike told Esports Insider.

Remer Rietkerk, Head of Esports Newzoo, agreed with Pike’s words. “AMA makes it easier for you to find out which programs have a higher viewership.”, he said. AMA also helps advertisers to know the length of duration of content, He added. Unfortunately, AMA is not the perfect metric for determining the popularity of esports content.

Turnamen esports paling populer pada 2019. | Sumber: Esports Charts
Via: Esports Charts

Artyom Odintsov, CEO of Esports Charts said, “AMA cannot be used to compare esports tournaments from different games, such as Fortnite World Cup (FWC) and League of Legends World Championship (LWC)”. The reason is, these two tournaments have totally different format. He explained, if you compare FWC and LWC in terms of AMA, FWC will get a better value. Not because Fortnite is more popular as an esports game, but because LWC has Play-In and Group Stages rounds, which extend the duration of the tournament. “AMA metrics can only be used to compare tournaments at the same stage. For example, at the final stage or group stages”, said Odintsov.
According to the Games Impact Index created by The Esports Observer in Q1 2020, League of Legends is still the most influential esports game in the esports ecosystem, followed by Counter-Strike: Global Offensive, Dota 2, Rainbow Six Siege, and Fortnite. There are several things to consider in determining the list, such as the number of monthly active players, the total number of tournament prizes, the number of hours watched, the number of tournaments, etc.

Odintsov said, if only using AMA as a measure of the popularity of esports games, League of Legends and CS: GO might not get the best scores because the two games have many tournaments. “Games with a centralized tournament system like Overwatch might actually look more popular than LoL and CS: GO simply because Overwatch doesn’t have many tournaments,” he said.

 

Unique Viewers

Apart from AMA, another metric commonly used in the world of esports is Unique Viewers. Usually, this metric is used to find out how many people watched esports content and how long they watched the video. Rietkerk said the Unique Viewers metric is usually used to determine the level of effectiveness of a marketing campaign.

Indeed, Unique Viewers will make it easier for sponsors to find out whether their marketing campaign is successful or not. Meanwhile, for game publishers, Unique Viewers helps them to know how many people are interested in their game. The problem is, it’s difficult to compare the Unique Viewers metrics with those commonly used on television.

League of Legends World Championship pada 2018. | Sumber: LOL Nexus
Via: LOL Nexus

“There are claims that the League of Legends World Championship is more popular than the Super Bowl, but when you look at the data, you find that Super Bowl popularity is calculated using the average attendance metric while LWC uses Unique Viewers,” said Pike. “In fact, the two are completely different metrics and shouldn’t be compared”.

 

Peak Concurrent Users (PCU)

Peak Concurrent Users refers to the highest number of viewers of a broadcast. Odintsov said, “PCU is influenced by many factors. The main factor is the time zone in which the tournament is held. This metric is suitable for comparing the popularity of tournaments held in the same region. The goal is to find out which tournament is more popular”.

 

Hours Watched (HW)

Finally, a metric commonly used in the world of esports is Hours Watched or the length of time a video was watched. “For sponsors, Hours Watched can help them to find out how long it took the audience to see their brand,” said Rietkerk. “This metric is also suitable if you want to compare the popularity of two games of different genres”.

However, the HW metric cannot be used alone. “The Hours Watched metric cannot be used without the support of data on the average number of viewers or length of content duration,” Odintsov said. He explained that 1 million Hours Watched could be achieved with 8 hours of broadcast and 125 thousand AMAs or 100 hours of broadcasts with 10 thousand AMAs. In this case, the two programs both received 1 million total hours watched. However, the two of them had vastly different views on average.

 

Why Are There So Many Metrics Used in Esports?

According to Pike, the reason why there are so many metrics used in the competitive gaming industry is that esports started from the grassroots community. Initially, data related to esports also came from stakeholders in the esports ecosystem, such as game publishers or tournament organizers. “In the TV industry, third parties will present data consistently to provide clarity for parties who want to make advertisements or become sponsors,” he said. “Without a third party to provide data, the publisher or tournament organizer is free to submit their own reports”.

Overwatch League adalah salah satu turnamen dengan model franchise. | Sumber: Variety
Via: Variety

Pike further explained, “The data provided by the publisher and tournament organizer is not wrong. However, you can attract the attention of large numbers of people and sponsors by providing bombastic data. Because the metrics used are stakeholder dependent, the use of metrics is inconsistent”. For example, if the Overwatch League has a high average viewership then, of course, that’s what Activision Blizzard will stand out. Meanwhile, if the League of Legends tournament can get high Hours Watched, then Riot will use this metric.

The good news is, that along with the development of the esports ecosystem, more and more gaming and esports companies are interested in collaborating with third-party analytics companies. Some game companies have already done this include Riot Games and Activision Blizzard. One of their goals is to ensure the validity of the data they provide.

Not only publishers, esports players such as ESL and Astralis have also started working with analytics companies. Through its collaboration with Newzoo, Astralis will exchange data with the analytics company. The hope is that Newzoo will be able to make more accurately estimate of esports world using data from Astralis. Meanwhile, Newzoo will provide insight into Astralis to help that esports organization to make decisions in the future.

 

Esports Needs Standard Units to Measure Content Popularity

In the esports industry, there are various games with different genres. Usually, each esports game also has a different tournament format and target audience. For example, most of League of Legends regional leagues are using a franchise model, while Dota 2 tournaments have an open nature. Therefore, it is difficult for sponsors to calculate ROI (Return of Investment) when they support an esports tournament. Using the same metric to measure the esports content popularity can help to solve that problem.

“The biggest advantage of using the same metrics is that we can understand each other”, said Rietkerk. “If all the actors use different metrics to discuss the same thing, this act will make the sponsors confuse”. Indeed, as more and more large companies invest their marketing funds in esports, esports players are increasingly aware that they must be able to provide valid data and ensure that sponsors’ investments are not in vain.

“In the world of esports, tournament viewership data will have a direct impact on the number of partners a team or tournament organizer can get”, said Odintsov. He said that social media data was no longer in great demand. Instead, advertisers are attracted by live events, such as the livestreams made by streamers or live broadcasts tournaments.

 

Conclusion

The esports industry grew from a grassroots community. Along with the increasing interest in watching esports matches, more and more companies are interested in becoming sponsors. Therefore, esports players are also required to be able to provide valid data so that sponsors can ensure that their investments are not in vain.

Currently, there are several metrics used to measure the popularity of esports events, such as the average number of views or the total length of time a video was watched. Unfortunately, using different metrics can confuse sponsors and advertisers alike. For that reason, esports industry actors should determine the metrics they will use as a standard.

Header source: Deposit Photos

Serba-Serbi Gamifikasi: Penerapan dengan dan Tanpa Aplikasi

Ketika saya SD, saya sering bermain game Puzzle Bobble. Beberapa waktu lalu, saya melihat adik saya memainkan game serupa, di aplikasi Shopee. Sementara bulan lalu, saya mendapatkan rilis dari Tinder, memperkenalkan fitur barunya,  “Swipe Night”, berupa cerita interaktif yang mengingatkan saya akan game-game buatan Telltale Games.

Semua hal ini membuat saya berpikir: unsur-unsur game apalagi yang ada dalam aplikasi non-gaming? Kenapa aplikasi e-commerce dan kencan online memasukkan unsur-unsur game padahal aplikasinya tak ada sangkut pautnya dengan game? Bukankah game adalah hal tak berguna yang hanya merusak masa depan?

Dalam usaha saya untuk menemukan jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas, saya menemukan istilah menarik: gamifikasi. Dan kali ini, saya akan membahas segala sesuatu tentang gamifikasi.

Apa sih Gamifikasi Itu?

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang gamifikasi, saya menghubungi Eko Nugroho, CEO dari Kummara Group, perusahaan yang fokus pada game serius, pembelajaran via gaming, dan gamifikasi secara umum. Eko menjelaskan, pada dasarnya, gamifikasi adalah penggunaan unsur game di bidang selain game, mulai dari edukasi, tempat bekerja, hingga militer.

Unsur game yang digunakan dalam gamifikasi juga tidak selalu sama. Dalam kasus Shopee, mereka memasukkan game utuh ke dalam aplikasinya. Namun, gamifikasi tidak harus selalu seperti itu. Penerapan gamifikasi bisa sesederhana penggunaan sistem poin atau memasang leaderboard pada aplikasi.

Leaderboard jadi salah satu unsur game yang sering digunakan pada aplikasi non-gaming. | Sumber: Deposit Photos
Leaderboard jadi salah satu unsur game yang sering digunakan pada aplikasi non-gaming. | Sumber: Deposit Photos

Eko memberikan contoh gamifikasi dalam dunia edukasi. Misalnya, setelah lulus tingkat pendidikan tertentu, maka seseorang akan mendapatkan sertifikasi. Sistem ini serupa dengan penerapan sistem badge pada game. Ketika Anda berhasil mendapatkan pencapaian tertentu, usaha Anda akan dihargai dengan “badge”. Menurut Eko, penggunaan unsur game dalam bidang non-gaming sudah dilakukan sejak lama. Namun, istilah “gamifikasi” baru mulai muncul pada 2000-an.

Sayangnya, sama seperti segala sesuatu di dunia ini, gamifikasi juga bisa memberikan dampak buruk jika tidak diterapkan dengan benar. Eko kembali memberikan contoh dalam dunia edukasi. “Dunia pendidikan yang ‘menuhankan’ nilai, hal ini membuat para murid termotivasi untuk berbuat curang dan bukannya belajar lebih baik,” kata Eko.

 

Optimasi dan Tujuan Gamifikasi

Salah satu alasan mengapa penerapan gamifikasi tidak selalu optimal adalah karena masih banyak orang yang memiliki pemikiran yang salah tentang gamifikasi. Eko mengungkap, masih banyak orang yang mengira bahwa gamifikasi itu sekadar menggunakan sistem poin atau badge. “Menggunakan sistem poin atau badge memang gamifikasi. Tapi, gamifikasi itu lebih dari itu,” ujar Eko. “Gamifikasi harus bisa didesain dengan baik.”

Alasan lain mengapa penggunaan gamifikasi terkadang tidak optimal adalah karena terkadang. orang-orang yang hendak menerapkan gamifikasi ingin mengimplementasikannya dengan cepat. Padahal, gamifikasi hanya akan bisa optimal jika ia memang diimplementasikan dengan tepat. “Misalnya, pembaca Hybrid adalah orang-orang pada umur 18-30 tahun. Mendadak, Hybrid menambahkan fitur gamifikasi, tapi UI/UX-nya old school. Ya, gamifikasi tidak akan maksimal,” kata Eko.

Lalu, bagaimana cara menentukan apakah penerapan gamifikasi sudah optimal? Menurut Eko, optimal atau tidaknya gamifikasi tergantung pada apakah tujuan dari gamifikasi itu sendiri berhasil dicapai. Tolok ukur lainnya adalah apakah gamifikasi bisa memberikan pengalaman yang lebih baik pada konsumen. “Pada aplikasi, kalau fitur gamifikasi membuat pengguna tertarik menggunakan mencoba, hal itu berarti gamifikasinya berjalan dengan baik,” ujarnya.

Dalam jangka panjang, fitur gamifikasi yang optimal bisa menumbuhkan loyalitas konsumen. Contoh yang Eko berikan adalah sistem frequent flyers yang digunakan oleh maskapai penerbangan. Dalam sistem itu, semakin sering seseorang menggunakan layanan maskapai tertentu, maka semakin tinggi kelasnya dan semakin baik pula layanan yang dia dapatkan. Pada awalnya, seseorang mungkin menggunakan satu maskapai karena memang perlu. Namun,  lama-kelamaan, dia akan enggan untuk menggunakan maskapai lain karena layanan yang dia dapatkan sudah sangat baik.

Sistem serupa juga diterapkan oleh perusahaan transportasi online. Tak hanya menumbuhkan kesetiaan, gamifikasi juga bisa digunakan dengan tujuan untuk memperkenalkan produk baru. Misalnya, pada awal kemunculan transportasi online, mereka sering memberikan “reward” berupa voucher atau diskon. Hal ini mendorong konsumen untuk mencoba menggunakan transportasi online. Setelah konsumen terbiasa, diskon atau voucher itu pun perlahan dihilangkan. Namun, konsumen yang sudah terlanjur merasa senang dengan layanan yang ditawarkan tetap menggunakan layanan transportasi online.

Satu hal yang harus diingat, Eko mengingatkan, fitur gamifikasi hanya akan bisa berfungsi optimal jika produk yang diperkenalkan memang berkualitas. “Mengenalkan produk baru kan susah. Jadi, supaya konsumen mau mencoba produk atau layanan baru, perusahaan menggunakan konsep gamifikasi. Namun, gamifikasi tidak bisa berdiri sendiri. Perusahaan harus memang punya produk yang baik,” ujar Eko. Dia juga menekankan, jangan sampai fitur gamifikasi justru membuat pelanggan merasa tertipu.

Sistem badge merupakan sistem gamifikasi lain yang biasa digunakan pada aplikasi non-gaming. | Sumber: Deposit Photos
Sistem badge merupakan sistem gamifikasi lain yang biasa digunakan pada aplikasi non-gaming. | Sumber: Deposit Photos

Tujuan dari gamifikasi, jelas Eko, sebenarnya tak hanya menumbuhkan loyalitas atau memperkenalkan produk baru. “Tergantung pada aplikasi,” jawab Eko ketika ditanya tentang tujuan gamifikasi pada aplikasi non-gaming. “Misalnya pada e-commerce, mereka menggunakan konsep game agar pengguna menggunakan aplikasi lebih lama. Dengan begitu, para pemain bisa diekspos ke banyak hal. Contoh, ketika kita bermain game, kita bakal dapat voucher atau diskon. Contoh lainnya, ketika kita main, kita disajikan iklan.”

Lebih lanjut, dia menjelaskan, fitur gamifikasi dalam aplikasi tak melulu blak-blakan seperti yang sudah dibahas. Dia menjadikan LinkedIn sebagai contoh. “Kalau kamu isi data diri, bar completion-nya akan terisi. Di sini, tujuan gamifikasi adalah mendorong pengguna untuk memberikan data diri mereka,” ujarnya. “Jadi, tujuan dari gamifikasi itu ya tergantung masing-masing aplikasi.”

 

Contoh Gamifikasi dalam Aplikasi

Tokopedia adalah salah satu aplikasi non-gaming yang menggunakan strategi gamifikasi. Menurut Bety Rosalina, Buyer Engagement Lead, Tokopedia, mereka mulai menampilkan fitur gamifikasi sejak 2017. Tujuannya adalah untuk memberikan pengalaman belanja yang interaktif dan lebih menaik.

Salah satu fitur gamifikasi yang Tokopedia gunakan dinamai Lucky Egg. Fitur ini sangat sederhana. Anda cukup “membuka” Lucky Egg di Tokopedia dan Anda akan mendapatkan hadiah berupa kupon atau voucher. Bety mengatakan, kupon yang diberikan telah disesuaikan dengan masing-masing pelanggan. Sekarang, Tokopedia juga menampilkan fitur gamifikasi lain, yaitu TopQuest. Dalam game, ketika Anda mendapatkan quest atau misi, maka Anda harus menyelesaikannya — terkadang dengan batas waktu tertentu — untuk mendapatkan hadiah. Cara kerja TopQuest persis seperti itu. TopQuest mendorong Anda untuk melakukan kegiatan tertentu untuk mendapatkan hadiah berubah cashback atau voucher.

“Tokopedia juga menghadirkan Tap Tap Kotak sebagai lanjutan dari fitur Lucky Egg,” ujar Bety. Sama seperti Lucky Egg, keuntungan yang didapat pelanggan dari Tap Tap Kotak adalah hadiah. Sementara bagi para mechant, manfaat Tap Tap Kotak adalah mereka bisa membangun engagement yang lebih interaktif dan lebih personal. “Hingga Agustus 2020, jumlah kotak yang dibuka mencapai lebih dari 25 juta kali. Bahkan ada lebih dari 40 ribu kotak Tap Tap Kotak yang dibuka per menit selama malam perayaan festival belanja bulanan Waktu Indonesia Belanja (WIB) pertama Tokopedia yang berlangsung pada 29 Juli 2020,” ujar Bety.

Bety menceritakan, fitur-fitur gamifikasi pada Tokopedia merupakan hasil kolaborasi dari tim internal Tokopedia, yang terdiri dari 9 orang, termasuk software engineers dan product manager.

Tap Tap Kotak merupakan kelanjutan dari fitur Lucky Egg.
Tap Tap Kotak merupakan kelanjutan dari fitur Lucky Egg.

Selain Tokopedia, Tinder menjadi aplikasi non-gaming lain yang memasukkan fitur gamifikasi. Tinder menamai fitur gamifikasi mereka “Swipe Night”. Bagi Anda yang tidak tahu, Swipe Night merupakan cerita interaktif. Di sini, Anda bisa memilih opsi yang berbeda yang akan memengaruhi jalan cerita. Mekanisme ini mengingatkan saya akan game-game buatan Telltale Games, seperti The Wolf Among Us. Hanya saja, opsi yang Anda ambil di Swipe Night tidak hanya memengaruhi alur cerita, tapi juga match yang Anda dapatkan.

Di Indonesia, fitur Swipe Night baru hadir pada awal September 2020 lalu. Proses pembuatan Swipe Night sendiri cukup lama. Kegiatan syuting untuk cerita Swipe Night telah dimulai sejak Q3 2019. Memang, pandemi jadi salah satu alasan mengapa fitur baru diluncurkan September 2020. Pada awalnya, Tinder berencana untuk memperkenalkan Swipe Night pada Maret 2020.

Berbeda dengan Tokopedia yang ingin menawarkan pengalaman belanja lebih interaktif, tujuan Tinder menghadirkan fitur gamifikasi adalah untuk memudahkan penggunanya memulai percakapan.

“Kami sadar bahwa orang-orang lebih mudah mengobrol ketika mereka berbagi pengalaman yang sama, seperit ketika menghadiri konser atau saat mereka tengah hangout bersama,” kata perwakilan Tinder pada Hybrid.co.id. “Kami ingin Swipe Night jadi bahan pembuka pembicaraan.” Selain itu, Tinder juga berharap, fitur Swipe Night akan membantu para penggunanya untuk membangun chemistry yang lebih baik.

Pihak Tinder menjelaskan, ide untuk membuat fitur Swipe Night muncul ketika mereka mengamati kebiasaan berkencan para Gen Z. Fortnite menjadi salah satu sumber inspirasi mereka. Memang, satu tahun belakangan, Fortnite juga mulai mengundang musisi ternama untuk melakukan konser digital di game tersebut. Tinder ingin melakukan hal serupa. Hanya saja, mereka juga ingin memastikan bahwa fitur gamifikasi yang mereka tanamkan sesuai dengan tema Tinder sebagai aplikasi kencan.

Swipe Night merupakan fitur gamifikasi pada TInder.
Swipe Night merupakan fitur gamifikasi pada Tinder.

“Kami akhirnya memutuskan untuk membuat konten dengan sudut pandang orang pertama. Di sini, para pengguna Tinder akan jadi karakter utama dan mereka bisa melakukan berbagai aksi atau membuat pilihan yang akan menunjukkan kepribadian mereka,” jelas perwakilan Tinder. “Selain itu, penting juga untuk mencantumkan hasil pengalaman mereka di bio.”

Tinder berharap, setelah mencoba Swipe Night, para pengguna akan tertarik untuk membicarakan pengalaman mereka, sama seperti setelah mereka menonton bioskop atau seri TV.

Sebelum diluncurkan secara global, fitur Swipe Night telah tersedia di Amerika Serikat terlebih dulu. Tinder mengungkap, tanggapan yang mereka dapatkan positif. “Sesuai dengan janji awal, Swipe Night dapat meningkatkan jumlah match dan dapat membantu pengguna kami untuk memulai percakapan,” aku Tinder. “Contohnya, total match di AS naik 26% sementara total percakapan naik 12%.”

 

Proses Pembuatan Gamifikasi

Jika setiap aplikasi dapat menerapkan sistem gamifikasi yang berbeda-beda, serumit apa proses pembuatan gamifikasi? Eko mengungkap, semua developer sebenarnya bisa menanamkan fitur gamifikasi pada aplikasi. Hanya saja, setiap developer memiliki pemahaman akan gamifikasi yang tidak sama. Eko memberikan analogi ketika Anda meminta tukang bangunan untuk membangun rumah. Semua tukang bangunan akan bisa membangun rumah, hanya saja, mereka akan membangunnya berdasarkan apa yang mereka ketahui saja. Lain halnya jika Anda meminta bantuan arsitek.

“Jika Anda ngomong dengan arsitek, dia tidak akan langsung membuatkan rumah yang Anda minta. Dia justru akan memberikan beberapa pertanyaan, seperti apa fungsi rumah, siapa yang akan tinggal di rumah tersebut, dan karakteristik dari orang yang akan tinggal nantinya. Setelah itu, sang arsitek baru akan mendesain rumah dan memanggil tukang bangunan untuk membangun rumah tersebut,” cerita Eko.

Meminta bantuan "arsitek" gamifikasi dapat membantu membuat fitur yang sesuai. | Sumber: Deposit Photos
Meminta bantuan “arsitek” gamifikasi dapat membantu membuat fitur yang sesuai. | Sumber: Deposit Photos

Eko menjelaskan, jika perusahaan sekadar ingin memasang sistem poin atau badge pada aplikasinya, maka developer manapun bisa melakukan itu. Namun, jika perusahaan ingin mengoptimalkan fitur gamifikasi agar ia tepat sasaran, maka tidak ada salahnya mereka meminta bantuan “arsitek” gamifikasi.

“Sama seperti konsultan di bidang lain, biasanya kita akan mempelajari terlebih dahulu keadaan klien, seperti target mereka siapa, objektif mereka melakukan gamifikasi apa, dan bagaimana infrastruktrur aplikasi/situs yang telah mereka miliki,” ungkap Eko. Setelah itu, baru mereka akan membuat strategi yang sesuai. Sayangnya, tidak semua klien memahami hal ini. “Ada juga yang pola pikirnya, ‘pokoknya mau seperti Candy Crush, biar pelanggan main terus’,” ujarnya. “Namun, hal ini memang bukan sepenuhnya salah mereka, karena konsep tentang gamifikasi itu memang masih terbatas. Sebagian orang masih merasa, gamifikasi akan bisa mengubah segala sesuatu secara instan.”

Untuk mengetahui lebih lanjut tentang proses pembuatan fitur gamifikasi, saya mengobrol dengan Garibaldy Wibowo Mukti, Co-founder dan CEO dari Nightspade Studio, yang bertanggung jawab dalam membuat fitur gamifikasi untuk Tokopedia. Seperti apa game yang mereka buat untuk aplikasi e-commerce tersebut? Anda bisa melihat contohnya pada video di bawah.

“Tokopedia memang memberikan gambaran akan game yang mereka mau, maunya kira-kira seperti apa,” jawab pria yang akrab dengan panggilan Gerry ini ketika ditanya tentang proses pembuatan game untuk Tokopedia. “Tapi yang flesh out dari kita. Kita mengusulkan beberapa ide dan mereka pilih mana ide yang mau kita buat secara detail.” Secara sederhananya, proses dimulai dari briefing oleh klien — dalam hal ini Tokopedia — lalu diikuti oleh high level pitch dan terakhir, proses fleshing out. Sejak awal, Gerry mengungkap, Tokopedia juga telah menjelaskan tujuan mereka membuat gamifikasi.

“Secara umum, mereka ingin bisa menggaet lebih banyak user dan membuat mereka menggunakan aplikasi lebih lama,” jelas Gerry tentang alasan Tokopedia membuat fitur gamifikasi. “Dan gamifikasi memang bisa mendorong pelanggan stay lebih lama. Sama seperti WiFi di cafe-lah. Dengan adanya WiFi, orang-orang bakal stay lebih lama, mungkin akan pesan minuman lain.” Sambil bercanda dia menambahkan, “Bahkan ada orang-orang yang ke cafe hanya untuk mendapatkan WiFi.”

 

Game Mandiri vs Game di Aplikasi Non-Gaming

Kriteria dari game yang akan dimasukkan dalam aplikasi non-gaming berbeda dengan game yang developer buat untuk berdiri sendiri. Daripada fokus pada gameplay yang kompleks, pertimbangan utama dalam membuat game di aplikasi non-gaming justru kesederhanaan gameplay. “Game-nya harus yang mudah dimengerti oleh user, tidak bisa game yang hardcore gitu,” kata Gerry.

Kriteria lainnya adalah waktu bermain yang singkat. “Karena tujuan utama orang buka Tokopedia bukan untuk bermain game,” ujar Gerry. “Game juga harus bisa dimainkan dengan lancar di perangkat low-end. Jangan sampai game-nya menggunakan fitur-fitur tertentu yang hanya ada di perangkat-perangkat khusus. Selain itu, aset visual dan audio harus sekecil mungkin agar waktu download jadi singkat.” Dia mengaku, biasanya, limitasi utama dalam membuat game di aplikasi non-gaming adalah dari segi teknis. “Sisanya, gameplay harus user-friendly dan engaging. Dan walau waktu bermainnya sinngat, tapi punya depth atau konten yang membuat orang untuk bermain lagi dalam waktu lama.”

Dalam proses pembuatan, membuat fitur gamifikasi di aplikasi non-gaming tak melulu lebih sulit atau lebih mudah. “Sebenarnya tergantung klien,” aku Gerry. “Kalau klien memang sudah tahu tentang game development, atau setidaknya tahu dengan jelas apa yang diharapkan dari game, itu lebih gampang. Untuk klien yang belum tahu apa-apa tentang game dan tiba-tiba mau buat game… Nah, klien kayak gini yang biasanya lebih susah untuk di-handle.”

 

Gamifikasi Tanpa Aplikasi

Anda mungkin akan berpikir, gamifikasi hanya bisa diterapkan dalam aplikasi. Namun, Eko dari Kummara berpendapat lain. Menurutnya, unsur dalam game juga bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari tanpa aplikasi. Dalam situsnya, Eko menjelaskan, selama kita memahami fungsi dari unsur-unsur gamifikasi — seperti sistem poin, badge, atau leaderboard — maka hal-hal itu bisa diaplikasikan dalam media/format lain selain aplikasi. Lalu, sebenarnya, apa fungsi dari sistem poin, badge, dan leaderboard?

Pada dasarnya, sistem poin dalam game berfungsi sebagai cara untuk memberikan feedback langsung pada pemain, untuk menunjukkan bahwa setiap aksi akan memiliki konsekuensi. Kenapa ini penting? “Ketika kita bisa melihat dampak dari aksi atau pilihan kita dalam waktu singkat atau bahkan secara instan, kita umumnya lebih serius,” tulis Eko. Misalnya, dalam game, jika Anda berhasil melakukan sesuatu — membalap pemain lain di balapan sebagai contoh — Anda akan langsung mendapatkan poin. Sayangnya, hal ini tidak Anda temukan dalam dunia nyata. Jika Anda belajar dengan rajin, Anda tidak dapat melihat status INT Anda naik. Karena itulah digunakan sistem poin/nilai di dunia pendidikan.

Sementara itu, leaderboard berfungsi untuk mengasah sifat kompetitif manusia. Ketika Anda memiliki pembanding, Anda biasanya akan terdorong untuk menjadi lebih baik. Contohnya, ketika saya SD, saya selalu didorong untuk mendapatkan peringkat pertama di kelas. Namun, hal ini merupakan pisau bermata dua. Bagi sebagian orang, memiliki pesaing akan mendorong mereka untuk menjadi lebih baik. Tapi, bagi sebagian orang lainnya, hal ini justru bisa menjadi pematah semangat.

Dalam tulisannya, Eko juga memberikan contoh bagaimana gamifikasi bisa diterapkan untuk mendorong masyarakat mematuhi protokol kesehatan. Salah satunya adalah dengan memasang stiker pada restoran, pedagang kaki lima, atau angkutan umum bahwa harga naik dua kali lipat bagi orang-orang yang tidak menggunakan masker.

Dalam game, Anda tidak melulu mendapatkan reward ketika sukses melakukan sesuatu. Ketika Anda gagal, Anda juga akan mendapatkan hukuman. Misalnya, gagal menghindari serangan musuh akan membuat HP Anda berkurang. Dengan menaikkan harga untuk orang-orang yang tidak menggunakan masker, maka mereka akan langsung dapat merasakan dampak dari keputusan mereka.

Sebaliknya, masyarakat juga bisa didorong untuk lebih patuh pada protokol kesehatan dengan pemberian hadiah atau reward. Contoh yang Eko berikan adalah pemberian voucher bagi orang-orang yang mau melakukan rapid test mandiri.

Naratif serta random check juga bisa digunakan untuk mendorong masyarakat untuk melakukan karantina mandiri. Pemerintah Kabupaten Sragen pernah melakukan ini pada April 2020 lalu. Mereka menyebarkan naratif bahwa orang-orang yang tidak melakukan karantina mandiri akan diberi hukuman berupa isolasi di rumah yang dianggap angker. Jika pemerintah melakukan random check secara rutin, hal ini akan membuat masyarakat percaya bahwa mereka akan mendapatkan hukuman jika mereka tidak mematuhi protokol kesehatan. Pada akhirnya, masyarakat akan memiliki kesadaran diri yang lebih tinggi untuk disiplin.

 

Penutup

Beberapa tahun lalu, ketika saya masih menjadi jurnalis teknologi, perusahaan vendor smartphone berlomba-lomba untuk menyediakan fitur dua kamera belakang, bahkan pada smartphone kelas entry-level sekalipun. Dan memang, smartphone harga Rp1 jutaan pun bisa punya dua kamera belakang. Hanya saja, performanya tentu tidak sebaik smartphone flagship dengan harga belasan juta.

Saya rasa, gamifikasi juga seperti itu. Perusahaan bisa saja sekadar “menempelkan” fitur-fitur gamifikasi, seperti sistem poin atau leaderboard, pada aplikasinya. Namun, apakah fitur itu hanya menjadi gimmick atau memang punya fungsi tersendiri, hal itu tergantung pada seberapa serius menggarap gamifikasi pada aplikasi atau perusahaan mereka.

Apa Kabar Industri Warnet di Kala Pandemi?

Karena memang tidak bergantung pada fisik, industri gaming secara umum justru meningkat di kala pandemi. Penjualan hardware PC meningkat 10%. Laporan lainnya, jumlah gamer baik untuk mobile ataupun PC juga mengalami peningkatan. Pertumbuhan di mobile gaming bahkan tak hanya soal jumlah pemainnnya namun juga dalam hal pendapatan dari in-app purchase (IAP).  Pendapatan yang diterima oleh game-game mobile selama bulan Maret dan April 2020 justru malah lebih besar ketimbang masa liburan di Desember 2019 — yang umumnya menjadi puncak pendapatan game mobile. Di Q1 2020, total belanja gamer di US bahkan mencapai US$10,9 miliar yang naik 9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Di sisi lain, meski esports juga jadi terbatas pada turnamen online, viewership turnamen esports juga naik dua kali lipat menurut IDC. Meski industri esports mungkin akan terganggu jika pandemi ini akan berjalan panjang, setidaknya saat ini esports masih bisa bergerak naik.

 

Kondisi Warnet di Kala Pandemi

Sayangnya, peningkatan ini tak bisa dirasakan oleh salah satu bagian dari industri game yaitu industri warnet. Pasalnya industri warnet memang berbasis fisik, layaknya turnamen esports tatap muka yang terkena dampak kebijakan pembatasan fisik.

Untuk menggali lebih jauh, saya pun menghubungi salah seorang kawan saya yang sudah lama berkecimpung di ranah ini. Turyana Ramlan adalah Sekjen dari HIPWINDO (Himpunan Pengusaha Warung Internet Indonesia).

Ia pun mengawali ceritanya dengan penurunan yang dirasakan oleh para pemilik warnet. “Penurunannya bervariasi dari 30-50% untuk wilayah yang masih boleh buka dengan menerapkan protokol kesehatan. Untuk wilayah yang tidak boleh buka, penurunannya ya bisa jadi 100%.” Cerita Ramlan.

Sumber: Dokumentasi Pandora
icafe Pandora Makassar di 2019. Sumber: Dokumentasi Pandora

Untuk warnet yang masih boleh buka, ada sejumlah penyesuaian yang harus dilakukan. Ramlan pun mengungkap, “area yang boleh buka juga memberlakukan jam malam. Ada yang harus tutup jam 9 malam dan ada juga yang boleh sampai jam 12 malam karena dilarang buka 24 jam.”

Selain pembatasan jam beroperasi, warnet juga diharuskan untuk melakukan pembatasan kapasitas selain protokol kesehatan lainnya. Protokol kesehatan yang dilakukan oleh warnet juga sama seperti kebanyakan area umum lainnya.
“Wajib cek suhu tubuh saat masuk ke area warnet. Wajib menggunakan masker. Jarak antar PC juga dibuat lebih jauh. Ada juga yang menggunakan sekat tambahan antara satu PC dengan yang lainnya.” Kata Ramlan yang saya hubungi lewat pesan Whatsapp.

Selain memang kebijakan pembatasan fisik yang berbeda-beda antar wilayah berdasarkan jumlah kasus COVID-19, satu hal yang unik dari perbedaan kebijakan untuk warnet adalah soal perbedaan definisi yang digunakan oleh pemda/pemprov setempat.

Menurut penuturan Ramlan, ada yang mendefinisikan usaha warnet sebagai layanan yang berkaitan dengan komunikasi dan teknologi seperti browsing, printing, dan kawan-kawannya. Namun ada juga yang mengkategorikan warnet sebagai tempat hiburan, sejenis arcade center (seperti Timezone), jadi wajib ditutup.

Via: Turyana Ramlan
Via: Turyana Ramlan

Ia pun berargumen lebih jauh jika perbedaan definisi yang digunakan oleh pemda atau pemprov setempat inilah yang membuat industri warnet jadi lebih sulit mencari solusi di kala pandemi. Misalnya, jika para pemilik warnet bisa memastikan para pengunjung di area memang hanya bermain, bukan sekadar nongkrong, hal ini bisa jadi salah satu upaya untuk menekan persebaran virus karena memang membatasi interaksi antar individu meski di area umum. Namun solusi-solusi seperti ini memang jadi tak relevan jika memang pemerintah setempat sudah mengkategorikannya sebagai tempat hiburan.

“Di sinilah peran organisasi, seperti HIPWINDO, dibutuhkan.” Jelas Ramlan. Pasalnya, HIPWINDO memiliki beberapa misi seperti menjadikan wadah komunikasi antara semua pihak yang terkait dengan bidang industri teknologi informasi dan komputer, serta olahraga elektronik.

 

Prediksi ke Depan Industri Warnet di Kala Pandemi?

Menurut Ramlan, industri warnet akan terus tumbuh dan berkembang meski harus beradaptasi dengan segala bentuk perubahan yang terjadi.

Di sisi lain, izinkan saya juga menyumbangkan opini dari perspektif saya yang sudah berkecimpung di industri gaming secara umum di Indonesia sejak 2008.

Di Januari 2020, kami juga sempat mendengarkan cerita dari para pemilik warnet tentang kondisi industri ini di 2019. Bahkan sebelum pandemi sekalipun, bisnis warnet sebenarnya juga sudah tergerus karena beberapa sebab.

Inilah ketiga penyebabnya, menurut pengamatan saya.

Penyebab pertama adalah yang paling kentara, yaitu dominasi mobile gaming di Indonesia. Salah satu bagian dari pasar gamer yang sebelumnya bermain game di warnet adalah anak-anak atau gamer kelas ekonomi bawah. Buat pasar ini, mobile gaming tentunya jadi disrupsi yang sangat kuat karena ongkos yang lebih murah — yang biasanya jadi pertimbangan pertama pasar ekonomi bawah.

Hal ini terbukti dengan perubahan tren warnet kumuh dengan spek PC dan interior ala kadarnya menjadi konsep icafe.

Sumber: Mineski Infinity Indonesia
Sumber: Mineski Infinity Indonesia

Tentunya, tidak semua gamer warnet adalah kelas ekonomi bawah juga. Ada juga kelas ekonomi menengah dan atas yang bermain di warnet karena ada nilai lebih lainnya yang bisa ditawarkan.

Salah satunya adalah soal kompetisi dan komunitas esports PC yang dulu memang berangkat dari warnet. Sayangnya, esports PC juga ikut terkikis tajam beberapa tahun belakangan. Para pelaku di ekosistem esports Indonesia dari semua sisi (tim, EO, media, kreator konten, sponsor, dkk.) lebih menaruh perhatian juga ke mobile esports karena dipandang lebih menguntungkan.
Tergerusnya esports PC jadi membuat gamer PC kompetitif jadi kehilangan alasan dan tujuan untuk terus berlatih dan mencari komunitas di warnet.

Sumber: Highgrounds Indonesia
Sumber: Highgrounds Indonesia

Penyebab ketiga, menurut saya, datang dari bergesernya peran publisher game lokal. Diakui atau tidak, dulu publisher game lokal seperti Lyto, Megaxus, Wavegame, dan kawan-kawannya yang jadi penggerak utama industri game tanah air — alias pihak yang menggelontorkan dana paling besar.

Sekarang, meski publisher-publisher tadi masih ada, mereka tak lagi menjadi penggerak utama atau bahkan tak lagi kedengaran suaranya. Posisi itu sekarang dipegang oleh publisher game luar negeri seperti Tencent, Garena, ataupun Moonton.

Mungkin memang penyebab pergeseran peran tadi juga karena melesatnya mobile gaming di Indonesia. Namun, bagi saya, ada juga soal brand image publisher lokal yang sudah tak lagi positif dari perspektif para pemainnya — mengingat kebanyakan (jika tak mau dibilang semua) game rilisan publisher lokal dulu bersifat pay-to-win.

Dari tiga penyebab di atas tadi, pandemi ataupun solusi atas pandemi jadi tak lagi relevan… Ditemukannya vaksin COVID-19 juga bukan jadi solusi atas 3 persoalan yang saya jabarkan di atas.

 

Penutup

Akhirnya, saya setuju sebenarnya dengan Ramlan jika warnet masih bisa bertahan selama mereka bisa beradaptasi di berbagai aspek, termasuk di masa pandemi.

Via: Turyana Ramlan
Via: Turyana Ramlan

Meski demikian, saya juga tidak yakin bahwa bisnis warnet dapat kembali ke puncak kejayaannya seperti dulu atau bahkan mencapai titik sukses yang lebih tinggi. Perjalanan bisnis warnet akan kian berat dan penuh dengan bebatuan yang sulit untuk dimuluskan.

What’s Wrong with Microsoft Acquiring Fallout, Doom, and Elder Scrolls?

21 September 2020, Microsoft surprised the gaming industry and its community when announcing the Zenimax Media acquisition for US$7.5 billion in cash.

In case you didn’t know, Zenimax Media is pretty big since it has some companies and several popular franchises under its belt. According to Microsoft, ZeniMax Media (founded in 1999) has more than 2,300 employees.

These are the notable IPs (and its developer) under Zenimax:

  • The Elder Scrolls IV: Oblivion (Bethesda)
  • The Elder Scrolls V: Skyrim (Bethesda)
  • Fallout 3 (Bethesda)
  • Fallout 4 (Bethesda)
  • DOOM (2016, id Software)
  • DOOM Eternal (id Software)
  • Dishonored (Arkane Studios)
  • Dishonored 2 (Arkane Studios)
  • Wolfenstein: The New Order (Machine Games)
  • Wolfenstein II: The New Colossus (Machine Games)
  • Wolfenstein: Youngblood (Machine Games)
  • The Evil Within (Tango Gameworks)
  • The Evil Within 2 (Tango Gameworks)

I know that, usually, the gaming community is pessimistic when they see a giant company acquires an indie or private game developer/publisher. It’s justified though because giant gaming companies mostly prefer to satisfy their board members or shareholders rather than the community — if they have to pick a side.

Most game enthusiasts, including me, hate these features: game as a service (GaaS), lootbox or gacha system, always online even in the single player mode, micro-transactions, overused franchises, or even advertising in the game. Yet, those features could be found in so many modern games because it brings more money and makes shareholders happier.

Source: Microsoft
Credits: Microsoft

Those are not the only things that annoy gamers. Sometimes, giant companies want to publish the game as fast as possible so they could generate revenue quicker even though it’s not ready yet and full of bugs.

That’s why I understand if some people share their concern regarding the acquisition of Zenimax by Microsoft.

Let’s take a look at the acquisition from some perspectives.

 

Previous Acquisitions by Microsoft

We already have some samples that can be compared with if talking about previous acquisitions.

Let’s take a look at one of the oldest, which is the case of Bungie and Halo series. This is usually the case used against Microsoft. You could read the long story about Bungie and Microsoft in this article on Vice.

Since it will be too long to explain everything here, basically, Microsoft prioritized on maximizing profits as most big companies do. While Bungie was taking more of an idealistic approach. I can’t blame both of them, honestly. I firmly believe that a business needs to find the equilibrium point between the two.

Via: Microsoft
Via: Microsoft

However, it was a long time ago. Indeed, people behind Microsoft have changed. Even the CEO was different back then. I can’t say that Microsoft would have done differently if the current people had been in-charge back then. Yet, I think different people may make a different decision — even if it’s for the same company.

On the other hand, from the newer acquisitions, like from Mojang, Ninja Theory, or even Obsidian that was also acquired by Microsoft, I haven’t found a similar story to Bungie’s yet.

Here is a story about post-acquisition Obsidian on Eurogamer. Also, there is an article regarding Minecraft from Rock Paper Shotgun.

How about seeing it from the products after being acquired?

Some people worry if Microsoft will stop modding capabilities from Bethesda’s games — because of how Microsoft handles its store in Windows. However, I could play State of Decay 2 (from Steam) with mods. Minecraft also has so many mods and user-generated contents. Its latest prominent game, Microsoft Flight Simulator also has many exciting mods.

Ninja Theory still hasn’t produced another Hellblade even though the first game was released in 2017. It could be seen that Microsoft doesn’t push the developer to milk the popular franchise every year — like you-know-who… Although, in Ninja Theory’s case, it certainly raises questions when its latest game is multiplayer and online (Bleeding Edge) while Hellblade has strong points in its atmosphere as a single-player game.

Obsidian’s latest game is also a multiplayer game, Grounded. I am a huge fan of Obsidian, so I know its strong point is not in multiplayer. This could be the result of a nudge from Microsoft to create a multiplayer game — which is usually seen more profitable by giant companies.

Meanwhile, Bethesda is also better at creating single-player games like Fallout 3, Fallout 4, Oblivion, Skyrim etc. Other products under ZeniMax Media are also known for its single-player such as Dishonored, (modern) Doom, Wolfenstein: The New Order, The Evil Within 2, etc. However, ZeniMax Media also has online multiplayer games like Fallout 76 or Elder Scrolls Online albeit inferior to their single-player counterparts.

So, does this mean we will see more online multiplayer games from ZeniMax Media — even though it’s not its strongest suit? It remains to be seen… At least not until we have the next games from Obsidian because I think this developer could be the study case. In my opinion, Obsidian is on the same level as Bethesda, CD Projekt, or even BioWare (in the past) when creating single-player games. Those are the best in the realm of single-player PC games.

Credits: EA
Credits: EA

This is why I also mention Obsidian because it’s comparable with BioWare… I think it’s fair to say that Anthem doesn’t live up to our expectations from BioWare — who brought us so many legendary single-player RPGs. I just hope and pray it doesn’t happen with Obsidian and Bethesda… Please Microsoft, don’t be that guy…

From this perspective, I would say the chance could be 50/50… I mean, Microsoft could give a nudge to its studio to create multiplayer games. Yet, on the other hand, Microsoft would balance it by allowing the studios to do what they do best in other games. At least, this is what I hope would be the case…

 

Giant Companies, Giant Graveyard

Besides seeing it from previous acquisitions, pessimistic concerns could come from the giant graveyard of massive companies.

Another company that’s comparable to Microsoft in size is Google (Alphabet). Take a look at this site that shows how many dead products Google has… Microsoft has fewer fallen products, though, compared to Google. Still, its recent fail on Mixer could be seen as a red flag. Windows, Microsoft’s most popular product, is also a hit-and-miss. It has superb Windows 98, XP, and Windows 7. Yet, Microsoft also brought Vista or Windows ME.

Windows 10 isn’t perfect either. Sometimes it gives terrible updates. Although it certainly does great, most of the time.

It’s true that giant companies like Microsoft and Google could afford some failed products. They have more than enough money to try so many different things and kill it without disturbing their sustainability. However, the same money could also be used to support smaller game developers, so they don’t need to worry about cash flow.

Also, I think it’s not fair to judge Xbox Game Studios by looking at Windows or Mixer. Microsoft is a massive company with so many different people. The one in charge on Windows is undoubtedly different than the one on Xbox Game Studios or Mixer.

I do like YouTube as a consumer but hate Google Play, even though it belongs to the same giant company — because different people run them. We have to see it separately because, of course, different people behind it could affect the products differently, even under the same big company; as I said earlier.

 

Finally,

Microsoft is not a charity organization. That’s for sure. Microsoft probably won’t spend so much money just to let the studios do whatever they want to do. I just hope Microsoft will keep it balanced by allowing the studios doing their signatures while giving a nudge in some parts to bring more profits.

Lastly, I have been following Obsidian and playing all of their games for years. Also, I am a fanatic fan of Bethesda and play most of the notable ZeniMax’s games. Let’s see and hope that their games will still bring us the sweet and unforgettable memories post-Microsoft…

Feat Image: Dishonored 2, Arkane Studios