5 Alasan Psikologis Gamer Beli Item di Game

Jika Anda punya uang Rp64 juta yang bisa Anda gunakan sesuka hati, apa yang akan Anda lakukan? Beli Super Cub C125, yang diklaim sebagai motor bebek termahal di Indonesia? DP rumah? Langganan Hybrid selama lebih dari 200 tahun? Atau… Beli primogem demi mendapatkan Albedo C6 di Genshin Impact, seperti yang dilakukan oleh YouTuber ini?

Dalam industri game, in-app purchase menjadi salah satu model bisnis yang bisa digunakan oleh para developer game. Item yang mereka jual pun beragam: mulai dari item kosmetik, powerup, sampai karakter. Secara teknis, item atau karakter yang dijual oleh developer tidak lebih dari kode programming dan juga piksel. Namun, hal itu tidak menghentikan sejumlah gamer untuk menghabiskan jutaan atau bahkan ratusan juta rupiah demi mendapatkan item atau karakter yang mereka inginkan.

Pertanyaannya, apa yang membuat sebagian gamer rela menghabiskan uang demi mendapatkan item dalam game? Kali ini, Hybrid.co.id akan membahas lima alasan psikologis seorang gamer mau mengeluarkan uang untuk mendapatkan sebuah item atau karakter dalam game.

 

1. Uang Sebagai Jalan Pintas

Ketika saya masih SD, saya menghabiskan waktu berpuluh-puluh jam untuk memaksimalkan level tiga karakter utama dalam game Legend of Legaia. Tujuannya adalah untuk mendapatkan Juggernaut, yang disebut sebagai Sim-Seru paling kuat dalam game. Sekarang, jika ada opsi untuk “membeli” Juggernaut, kemungkinan saya akan lebih rela mengeluarkan uang demi mendapatkan Sim-Seru itu.

Jika Anda bertanya pada para gamer mengapa mereka mau membeli item virtual, salah satu jawaban yang Anda dengar paling sering adalah karena item itu memang berguna. Misalnya, membuat karakter menjadi lebih kuat. Memang, dalam game gratis atau free-to-play sekalipun, Anda akan tetap memperkuat karakter Anda dengan menaikkan level atau menggunakan equipment yang memadai. Namun, biasanya, item yang harus Anda beli tetap menawarkan status yang lebih bagus. Terkadang, Anda tetap bisa mendapatkan sebuah item tanpa harus mengeluarkan uang. Sebagai gantinya, Anda harus rela untuk menghabiskan waktu dan tenaga Anda untuk bermain.

Gamer senang mencari jalan pintas bahkan sebelum model in-app purchase ditetapkan. | Sumber: Wikipedia
Gamer senang mencari jalan pintas bahkan sebelum model in-app purchase ditetapkan. | Sumber: Wikipedia

Dalam kasus ini, uang layaknya cheat code yang memungkinkan para pemain untuk memperkuat karakternya dalam sekejap. Namun, jangan salahkan developer game karena menawarkan jalan pintas bagi pemain yang rela untuk membuka dompetnya. Pasalnya, bahkan sebelum model in-app purchase marak digunakan oleh developer, gamer sudah terbiasa mencari cara untuk mengakali mekanisme dalam game. Contohnya, dengan menggunakan GameShark di zaman PS1 dulu.

Meskipun begitu, keinginan para gamer untuk bisa menjadi kuat — atau menjadi kaya — secara instan dalam game bukanlah hal yang aneh. Di dunia nyata sekalipun, ada saja orang yang menggunakan pelet demi memenangkan hati pujaan hatinya. Memang, manusia punya kecenderungan untuk mencari jalan pintas, memilih jalan yang tidak memakan banyak waktu dan tenaga.

Dalam psikologi, pikiran manusia alias human mind dianggap sebagai cognitive miser. Hal itu berarti, manusia cenderung untuk mencari cara paling sederhana dan membutuhkan daya pikir paling sedikit untuk memecahkan masalah. Tidak heran, karena manusia memang penuh dengan keterbatasan, mulai dari keterbatasan pengetahuan, waktu, sampai keterbatasan untuk fokus pada satu hal. Jadi, jangan heran jika ada gamer yang rela untuk mengeluarkan uang demi membeli item dan memperkuat karakternya dengan instan.

 

2. Ekslusivitas

Fungsi bukan satu-satunya alasan seorang gamer mau membeli item virtual. Pasalnya, ada juga gamer yang mau membeli item kosmetik, yang hanya membuat karakter tampil lebih keren tanpa memberikan kenaikan status apapun. Terkait item kosmetik, salah satu alasan mengapa gamer mau membeli item tersebut adalah eksklusivitas. Memang, item dalam game sebenarnya tersedia dalam jumlah tak terbatas. Berbeda dengan produksi konsol, developer tidak memerlukan bahan mentah untuk membuat item atau karakter dalam game. Mereka bisa saja membuat item atau karakter sebanyak-banyaknya.

Meskipun begitu, developer tetap bisa membuat sebuah item menjadi eksklusif dengan memberikan batasan waktu. Misalnya, Anda hanya bisa mendapatkan skin bertema Natal pada bulan Desember. Hal ini akan mendorong gamer untuk membeli item tersebut karena mereka berpikir, mereka tidak bisa mendapatkan item itu lagi setelah periode penawaran habis. Developer juga bisa membuat sebuah item menjadi eksklusif dengan membatasi ketersediaan jumlah item dalam game. Di Indonesia, seorang gamer pernah menghabiskan sekitar Rp1,2 miliar demi mendapatkan kostum Evangelion edisi terbatas di Ragnarok M: Eternal Love.

Kostum Evangelion Unit-01 yang terjual seharga sekitar Rp1,2 miliar. | Sumber: GameBrott
Kostum Evangelion Unit-01 yang terjual seharga sekitar Rp1,2 miliar. | Sumber: GameBrott

Lagi, trik membatasi waktu penjualan tidak hanya digunakan oleh developer, tapi juga perusahaan di bidang lain, seperti situs e-commerce. Bagi Anda yang suka belanja online, Anda pasti familier dengan sistem flash sale atau daily deal. Seperti namanya, flash sale menawarkan diskon dalam periode waktu singkat, sekitar satu jam atau beberapa jam saja. Menariknya, metode ini bisa mendorong konsumen untuk membeli produk yang mungkin sebenarnya tidak mereka terlalu butuhkan dengan membuat mereka berpikir bahwa mereka akan mendapatkan untung karena membeli barang diskonan.

Fenomena Fear Of Missing Out (FOMO) juga membuat konsumen melakukan pembelian produk diskonan secara impulsif. Dalam buku Neuromarketing, Patrick Renvoise dan Christophe Morin mengungkap, manusia cenderung membuat keputusan dengan alasan emosional. Setelah itu, mereka baru akan menjustifikasi keputusan mereka secara rasional, seperti yang disebutkan oleh Business Insider.

Steam Sale yang menggoda iman. | Sumber: PC Gamer
Steam Sale yang menggoda iman. | Sumber: PC Gamer

Jadi, konsumen yang melakukan pembelian impulsif sekalipun — seperti saya yang membeli game diskonan saat Steam Sale walau masih banyak game yang belum saya mainkan di library saya — akan membuat alasan rasional untuk menjustifikasi keputusan mereka. Contoh alasan yang mereka buat adalah “Toh sedang diskon” atau “Nanti, keburu barangnya habis”. Secara pribadi, alasan yang paling sering saya gunakan adalah lebih baik menyesal telah membeli daripada menyesal karena tidak beli.

 

3. Dorongan dari Orang Lain

Di dunia nyata, luxury goods — seperti mobil Ferrari, tas Chanel, atau iPhone — bisa menjadi simbol dari status sosial seseorang. Di game, item juga bisa menjadi lambang status sosial pemainnya. Kita hidup dalam tatanan masyarakat yang cenderung untuk memandang seseorang berdasarkan status sosial mereka. Jadi, tidak aneh jika ada orang yang membeli sebuah barang hanya demi meningkatkan status sosial mereka. Fenomena ini disebut sebagai social shopping. Faktanya, salah satu alasan seseorang membeli barang mewah adalah untuk meningkatkan rasa percaya diri. Fenomena social shopping juga terjadi di dalam game.

Di Amerika Serikat, Fortnite sangat populer, layaknya Free Fire di Indonesia. Lebih dari sekedar game, Fortnite juga menjadi tempat virtual bagi para pemainnya untuk berkumpul bersama, termasuk di kalangan siswa SMP. Namun, Fortnite juga menjadi alasan sebagian siswa dirisak. Seperti yang dilaporkan oleh Polygon, alasan sebagian murid dirisak bukan karena mereka kurang jago atau masih n00b, tapi karena mereka menggunakan default skin.

Paul Towler, seorang guru SMP, bercerita bahwa salah satu muridnya bahkan memohon pada orangtuanya untuk memberikan uang agar dia bisa membeli skin di Fortnite. Alasannya, teman-temannya tidak mau bermain dengannya karena dia menggunakan default skin. Padahal, skin di Fortnite tidak lebih dari item kosmetik. Skin tidak memengaruhi status para pemain dalam game. Hal ini menjadi bukti bahwa bagi sebagian gamer, meningkatkan status sosial menjadi alasan mereka item virtual.

Skin di Fortnite bisa menjadi lambang status sosial.
Skin di Fortnite bisa menjadi lambang status sosial.

Alasan untuk membeli item dalam game tidak melulu sedramatis demi menghindari bullying. Terkadang, seorang gamer membeli item karena mereka ingin tampil matching dengan teman mereka atau karena item tersebut sedang populer. Dan konsumen cenderung untuk membeli produk yang tengah hype. Karena manusia adalah makhluk sosial dan pendapat mereka dipengaruhi oleh opini masyarakat. Jadi, ketika sebuah produk menjadi populer, secara otomatis, kita akan menganggap barang atau layanan tersebut pantas untuk dibeli.

 

4. Keinginan untuk Tampil Unik

Di satu sisi, manusia ingin bisa berbaur dengan orang-orang di sekitarnya. Di sisi lain, kita ingin tampil unik. Dalam game, tampilan yang keren atau cool factor menjadi salah satu alasan seorang gamer mau membeli item virtual. Karena itulah, item kosmetik, yang tidak menawarkan penambahan status apapun, juga bisa laku dijual.

Dalam artikel The Significance of Being Unique, Earl C. Kelley menyebutkan, tidak ada manusia yang sama, baik dari segi penampilan fisik maupun perilaku mereka. Setiap orang juga punya tujuan hidup atau “drive” yang berbeda-beda. Dari segi penampilan fisik, manusia menjadi berbeda-beda karena kita terlahir dari dua orang yang berbeda. Sementara itu, perilaku seseorang dipengaruhi oleh berbagai hal, mulai dari kebiasaan, pengetahuan, sampai bias yang mereka miliki. Lebih lanjut, Kelley menjelaskan, persepsi memegang peran penting dalam bagaimana seseorang menjalani kehidupan mereka. Tanpa persepsi, hidup manusia tidak akan jauh berbeda dengan tanaman, yang tak bisa mengambil tindakan aktif. Sementara itu, persepsi seseorang dipengaruhi oleh rangsangan yang ada di sekitarnya, baik berupa suara, bau, sentuhan, dan lain sebagainya.

Namun, manusia tidak bisa menerima dan memproses semua rangsangan yang ada di sekitarnya. Alasannya, ada terlalu banyak data yang harus diproses di sekitar kita. Jadi, kita hanya memerhatikan segala sesuatu yang ada kaitannya dengan tujuan hidup kita sebagai manusia. Misalnya, ketika Anda duduk di bangku sekolah, tujuan Anda — idealnya — adalah belajar. Jadi, Anda seharusnya fokus Anda adalah pada segala sesuatu yang menunjang proses belajar Anda. Contoh lainnya, ketika Anda bermain sebagai support/helaer dalam game MMORPG, fokus Anda harusnya adalah pada buff/debuff/heal. Soal bagaimana cara memaksimalkan DPS, masalah itu bukanlah prioritas Anda.

Karena setiap orang terlahir unik dan punya persepsi yang juga uni, dia akan menganggap dirinya sebagai pusat dari dunianya, tokoh utama dalam cerita hidupnya. Dan ketika Anda menjadi seorang tokoh utama, tentunya, Anda ingin merasa spesial, berbeda dari yang lain. Dalam game sekalipun, penampilan karakter Anda dan NPC biasanya berbeda. Para NPC biasanya memiliki penampilan yang lebih sederhana. Tidak jarang, Anda akan menemukan NPC dengan wajah yang sama.

Kustomisasi jadi salah satu hal yang membuat pemain senang bermain game. | Sumber: Dual Shockers
Kustomisasi jadi salah satu hal yang membuat pemain senang bermain game. | Sumber: Dual Shockers

Hanya saja, bagi sebagian gamer, terlihat unik dari NPC saja tidak cukup. Mereka juga ingin tampil beda bahkan jika dibandingkan dengan pemain lain. Karena itulah, bagi sebagian gamer, kustomisasi karakter sangat penting. Karena avatar dalam game merupakan representasi diri mereka dan mereka ingin bisa menampilkan keunikan mereka melalui avatar tersebut. Selain itu, kustomisasi karakter juga penting karena hal itu bisa menjadi cara bagi sebagian gamer untuk mengekspresikan diri. Dan jika seorang gamer rela mengeluarkan uang demi tampil unik dalam game, hal itu sah-sah saja.

 

5. Kecenderungan Berjudi

Di dunia programming, ada konsep What You See Is What You Get (WYSIWYG): hasil akhir yang Anda dapatkan sesuai dengan apa yang Anda lihat. Di dunia nyata, ketika Anda membeli sebuah produk, Anda akan mendapatkan barang atau layanan sesuai deskripsi. Dalam game, Anda juga bisa membeli item yang rupa dan fungsinya sudah jelas. Namun, hal ini tidak berlaku pada game yang menggunakan mekanisme loot box atau gacha, seperti Overwatch atau Genshin Impact dan lain sebagainya.

Dalam game loot box atau gacha, Anda tidak membeli item, tapi kesempatan untuk mendapatkan item atau karakter tertentu. Dan persentase untuk mendapatkan sebuah item atau seorang karakter rare dalam sebuah game gacha sangat kecil. Contohnya, untuk mendapatkan karakter SSR dalam game Fate/Grand Order, Anda memiliki kesempatan 1%. Sementara di Genshin Impact, kesempatan Anda untuk mendapatkan karakter bintang 5 adalah 0,6%. Yup, saya tidak salah ketik. Persentasenya memang di bawah 1%. Hal ini memunculkan pertanyaan: apakah game gacha termasuk judi?

Di Indonesia, belum ada peraturan jelas yang mengatur tentang game gacha atau loot box. Namun, di negara-negara tertentu, seperti di kawasan Eropa, sudah ada negara-negara lain yang mengatur tentang game loot box. Misalnya, pada 2018, Belgia melarang game yang menggunakan mekanisme loot box. Alasannya karena game gacha atau loot box menyerupai judi. Dan, tidak semua orang — apalagi gamer yang masih muda — bisa menahan diri untuk tidak menghabiskan uang saat bermain game loot box atau gacha. Di Jepang, mobile game yang mengandung unsur gacha bahkan mendapatkan kritik karena dianggap mendorong para pemainnya untuk berjudi.

Fire Emblem Heroes, game gacha, menjadi salah satu sumber pemasukan utama divisi mobile Nintendo. | Sumber: Sensor Tower
Fire Emblem Heroes, game gacha, menjadi salah satu sumber pemasukan utama divisi mobile Nintendo. | Sumber: Sensor Tower

Memang, saat ini, belum banyak studi yang membahas tentang kaitan antara bermain game gacha atau loot box dan kemungkinan seseorang untuk berjudi. Namun, berdasarkan studi Video game loot boxes are linked to problem gambling: Results of a large-scale survey, bermain game loot box akan membuat orang yang memang memiliki kecenderungan berjudi untuk menghabiskan uang demi membeli loot box. Selain itu, studi itu juga menunjukkan, semakin tinggi kecenderungan seseorang untuk berjudi, semakin banyak pula uang yang mereka habiskan saat bermain game loot box.

Menariknya, biaya gacha yang rendah justru akan mendorong para gamer — yang memang sudah punya kecenderungan untuk berjudi — untuk menghabiskan uang lebih banyak. Tren serupa dapat ditemukan pada para penjudi. Biasanya, semakin kecil biaya untuk berjudi, semakin banyak taruhan yang seorang penjudi buat. Dalam kasus game gacha, meskipun pada awalnya gamer tidak mengeluarkan uang banyak, di masa depan, ada kemungkinan mereka akan menghabiskan uang lebih banyak, terutama jika mereka sudah “menang” dan merasakan gratifikasi instan dari bermain gacha. Misalnya, mendapatkan item atau karakter yang mereka incar.

Kabar baiknya, jika seorang gamer memang tidak punya kecenderungan berjudi, maka kecil kemungkinan dia akan tergoda untuk menghabiskan uang saat bermain game loot box atau gacha. Selain itu, berdasarkan studi Long-Term Effects of In-Game Purchases and Event Game Mechanics on Young Mobile Social Game Players in Japan, mekanisme game gacha tidak membuat seseorang menjadi kecanduan bermain game. Dan sekalipun mereka bermain game dengan sistem gacha atau loot box, uang yang mereka habiskan biasanya tidak terlalu besar. Anda bisa melihat korelasi antara jumlah uang yang dihabiskan setiap bulan dengan kecenderungan seorang gamer untuk berjudi pada grafik di bawah.

Kaitan antara kecenderungan gamer untuk berjudi dan uang yang dihabiskan untuk membeli loot box. | Sumber: Studi
Kaitan antara kecenderungan gamer untuk berjudi dan uang yang dihabiskan untuk membeli loot box. | Sumber: Studi

 

Kesimpulan

Ketika saya SMP, saya membuat tagihan telpon di rumah melonjak karena bermain game Ragnarok Online setiap hari. Dan jangan tanya berapa banyak uang yang saya habiskan untuk membeli voucher dari game online tersebut. Sampai sekarang pun, saya lebih memilih untuk mengeluarkan uang untuk membeli game atau item di game daripada makeup. Sebagian orang mengaku heran karena saya lebih rela menghabiskan uang untuk item dalam game, sesuatu yang tak berwujud, yang sewaktu-waktu bisa hilang begitu saja jika developer game yang saya mainkan bangkrut.

Tentu saja, saya bisa memberikan penjelasan panjang lebar tentang mengapa gamer mau membeli item dalam game — atau menyodorkan artikel ini. Namun, bagi saya pribadi, jawabannya sederhana: it makes me happy. Sebagian orang senang dengan membeli makeup, sebagian lainnya rela menghabiskan uang berjuta-juta untuk action figure. Sementara bagi gamer, mereka merasa senang ketika bisa bermain game. Dan jika membeli item dalam game bisa membuat pengalaman bermain mereka lebih menyenangkan, hal itu bukan masalah. Tentu saja, asalkan mereka bisa mengatur keuangan mereka dengan baik. Misalnya, tidak menghabiskan biaya kuliah untuk gacha.

DPC 2021 Dota 2 di Mata Tokoh-Tokoh Dota Indonesia, dari Melon sampai IYD

Musim baru DPC 2021 Dota 2 hadir dengan beberapa perubahan yang terbilang sudah cukup lama diinginkan oleh komunitas profesional Dota 2. Apakah perubahan tersebut berarti akan berdampak baik? Atau mungkin punya potensi menghadirkan masalah di masa depan? Dalam artikel ini saya menanyakan pendapat dari 3 sosok shoutcaster Dota ternama di Indonesia, ada Gisma “Melon”, Yudi “JustInCase”, dan Dimas “Dejet” seputar DPC 2021. Selain itu, saya juga bertanya kepada Gary Ongko Putera selaku owner dari BOOM Esports untuk mendapatkan opini dari sudut pandang praktisi, serta Muhammad “InYourDream” Rizky sebagai perwakilan pemain. Seperti apa jawaban-jawaban mereka? Mari kita simak.

 

Dota 2 Pro Circuit 2021: Kompetisi Dota Ala Liga Sepak Bola Inggris

DPC 2021 menampilkan perubahan format. Perubahan tersebut adalah kehadiran pertandingan liga yang terstruktur dan berdurasi lebih panjang. Liga Dota kini jadi layaknya liga sepak bola inggris. Ada divisi atas dan divisi bawah. Apabila tim divisi atas turun ke peringkat paling bawah, maka ia akan turun kasta ke divisi bawah dan sebaliknya (tim terbaik dari divisi bawah akan naik kasta ke divisi atas).

Selain itu, kesempatan masuk liga juga terbuka bagi siapapun yang mau berjuang lewat babak Open Qualifier. Bagaimana pendapat dari narasumber terkait hal tersebut? Apakah perubahan tersebut memberi angin segar kepada tim kelas amatir/semi-pro?

Dimas Surya Rizky yang dikenal dengan nama panggung "Dejet". Sumber Gambar - Instagram @papadejet
Dimas Surya Rizky yang dikenal dengan nama panggung “Dejet”. Sumber Gambar – Instagram @papadejet

Dejet: Menurut gue bagus banget, tim kecil akhirnya punya wadah untuk berpartisipasi di turnamen resmi Valve. Kalaupun tidak mendapat kemenangan, minimal banget tim-tim tersebut bisa mendapat experience. Jadwal kompetisi pun lebih jelas. Semisal tidak dapat kesempatan di Season 1 masih ada kesempatan di season berikutnya.

Melon: Dengan sistem Open Qualifier, tentunya kesempatan akan terbuka bagi tim-tim yang baru merintis. Walaupun demikian, semakin tinggi divisi maka kompetisi akan menjadi layaknya neraka. Terlepas dari hal tersebut, saya merasa kesempatan yang diberikan Valve sudah cukup bagus. Walau begitu, saya merasa Valve agak kurang mengedukasi seputar sistem kualifikasi tersebut karena saya melihat jumlah pendaftar Open Qualifier cenderung lebih sedikit.

JustInCase: DPC 2021 adalah langkah yang baik dari Valve. Mereka akhirnya sadar bahwa regenerasi pemain kompetitif Dota 2 sudah semakin menurun belakangan. Apalagi mereka juga telah menerima sumber daya finansial yang besar lewat Battle Pass. Karena itu gue rasa memang sudah semestinya Valve memutar otak untuk mengembangkan skena kompetitifnya.

Bicara soal format, gue merasa tim grassroot akan punya kesempatan sangat besar pada musim 2021 ini. Hal tersebut karena Valve menyediakan 4 kali Open Qualifier di dalam satu musim DPC. Karena itu, pemain papan bawah tentunya akan punya semangat lebih untuk berjuang mendaki ke tingkat selanjutnya.

Gary Ongko: Kalau dari sudut pandang manajemen BOOM Esports sebagai pelaku bisnis, jujur sih agak sedih karena prizepool di DPC 2021 cenderung menurun karena cuma ada 2 major saja. Tapi selain itu belum tahu kira-kira bagaimana dampak perubahan format DPC 2021 ini terhadap side-tournament seperti ESL One dan lainnya.

Kalau ditanya soal liga atau turnamen, saya juga belum bisa banyak bicara. Tapi dari apa yang saya lihat, salah satu kelebihan format liga ini adalah kemungkinan tim seperti BOOM Esports bertanding di panggung Major jadi lebih besar. Dari segi bisnis, hal tersebut jadi penting karena akan membuka peluang sponsor untuk bisa masuk. Kalau dari segi challenge, mungkin dari segi visa atau travel. Kalau diperhatikan, jeda tanggal dari akhir liga ke major terbilang cukup pendek. Namun ada info bahwa lokasi pertandingan major sudah dipastikan untuk mempermudah hal tersebut.

InYourDream: DPC 2021 ini bagus menurut gue. Supaya pemain jadi lebih berusaha, punya lebih banyak pertandingan, dan jadi konsisten selama liga berlangsung. Tim rintisan juga punya kesempatan lolos yang besar karena mereka bisa langsung bersaing dengan tim-tim yang lebih jago.

Kalau bicara jadwal pertandingannya, jujur memang padat. Tapi ya beginilah esports. If you want to be a successful player, if you want to win big tournament, then you gotta work for it.

 

Perbaikan Nasib Pemain di DPC 2021?

Muhammad "InYourDream" Rizky yang kini bermain bersama Dreamocel untuk DPC 2021.
Muhammad “InYourDream” Rizky yang kini bermain bersama Dreamocel untuk DPC 2021.

Anda yang sudah sejak lama mengikuti kancah kompetitif Dota 2 mungkin sudah tahu betapa mudahnya nasib pemain profesional jadi terombang-ambing. Satu kali kegagalan saja, maka pemain akan mendapat risiko dipecat oleh organisasi esports terkait. Salah satu perubahan di DPC 2021 adalah sebuah hukuman (berupa potongan poin yang didapat) bagi organisasi apabila mereka bertindak seenaknya kepada pemain. Bagaimana pendapat para narasumber terkait hal tersebut?

Gary Ongko: Bagaimana pengaruh peraturan ini terhadap tim? Menurut gue sih tergantung. Bagi BOOM Esports hal tersebut tidak pengaruh karena mindset manajemen adalah kerja dan komitmen bareng selama satu tahun. Tapi memang tidak bisa dipungkiri juga bahwa ada organisasi lain yang menerapkan cara kerja “kalah ganti lineup”. Bagi manajemen hal tersebut bisa berdampak baik, terutama dari persaingan mendapatkan pemain yang terjadi antar manajemen tim. Dampaknya kami jadi lebih terlindungi dari tindakan poaching. Bisa mengurangi tawaran tiba-tiba dari pihak-pihak tidak bertanggung jawab yang membuat pemain jadi tidak fokus.

Dejet: Gue setuju banget sama peraturan tersebut. Benar-benar menjadi usaha Valve untuk meminimalisir “cabut colok pemain”. Harapannya tentu adalah supaya pemain jadi lebih komitmen. Supaya scene internasional tidak seperti scene grassroot yang mana kalah satu turnamen langsung bubar.

JustInCase: Gue merasa peraturan tersebut adalah cara Valve untuk meyakinkan para organisasi untuk terjun. Valve hanya memberi jalan dan kesempatan bagi pemain. Namun pada intinya tetap organisasi esports yang membuat mereka (para pemain) bisa terus memiliki bahan bakar. Dari apa yang gue lihat, Valve memang berusaha memenuhi keinginan berbagai pihak di DPC 2021 ini.

Kebanyakan pemain diuntungkan dengan sistem liga yang baru. Valve juga membuat peraturan roster yang menguntungkan organisasi. Hal tersebut tentunya akan lebih diterima oleh komunitas Dota. Bagaimanapun kita harus sadar bahwa Valve juga berusaha melakukan berbagai cara untuk menyelamatkan dunia kompetitif Dota. Kita sebagai komunitas, pemain, dan peaku bisnis harus menerima dan bersikap dinamis.

Melon: Gue setuju dengan peraturan dari Valve tersebut. Karena kita coba lihat saja kasus T1 kemarin. Pemain baru masuk beberapa bulan, lalu di-kick, diganti oleh pemain baru. Berkat peraturan tersebut, organisasi-organisasi jadi lebih perhatian dengan masalah tersebut. Jadi mereka setidaknya bisa komitmen mempertahankan kontrak, minimal sampai The International selesai.

InYourDream: Peraturan pemain ini juga salah satu yang bagus. Pemain juga bisa jadi lebih profesional. Contohnya begini misal ada tim menang Major, lalu ada pemain mau keluar karena masalah kecil. Karena peraturan tersebut, pemain jadi enggak bisa keluar dengan seenak hati.

 

Major Tetap Jadi Jalur Utama Menuju The International

Walaupun sudah menghadirkan liga yang terstruktur dengan durasi yang panjang, namun Valve sepertinya masih tetap mengutamakan Major sebagai jalan untuk menuju kompetisi Dota 2 terakbar di dunia, The International. Mengutip laman resmi DPC 2021, dikatakan bahwa Major memiliki total sebesar 2700 poin yang akan didistribusikan sementara Regional League hanya memiliki total sebesar 1150 poin untuk didistribusikan. Apakah pembagian tersebut sudah cukup adil?

Yudi Anggi yang lebih dikenal dengan nama panggung "JustInCase" sebagai shoutcasters Dota 2.
Yudi Anggi yang lebih dikenal dengan nama panggung “JustInCase” sebagai shoutcasters Dota 2.

JustInCase: Pembagian poin ini tujuannya adalah untuk menghibur tim-tim yang berada di papan atas. Kenapa? Karena posisi mereka cenderung jadi lebih sulit karena format liga ini. Mereka harus mempertahankan kursi Upper Division guna melaju ke Major. Apabila mereka gagal di Upper Division, maka mereka harus melangkah dari Lower Division yang bisa berarti kehancuran bagi karir mereka.

Dejet: Pembagian poin ini masih terasa wajar sih kalau menurut gue. Valve pasti sudah memiliki pertimbangannya tersendiri ketika merumuskan hal tersebut. Ibaratnya Regional League jadi seperti Minor di DPC terdahulu. Karena hal tersebut, wajar saja kalau pembagian poinnya adalah seperti demikian.

Melon: Bagus jika pembagian poinnya seperti itu. Pembagian poin tersebut berfungsi untuk menghindari tim-tim yang masuk The International dengan modal poin regional saja. Poin di major dibuat lebih besar supaya mereka yang menang bisa langsung berkesempatan masuk The International. Jadi ibaratnya mereka yang usaha lebih keras juga dapat kemungkinan masuk The International yang lebih besar.

Lalu apakah dengan format seperti ini membuat tim seperti BOOM Esports jadi lebih mudah lolos ke The International atau jadi lebih sulit?

Gary Ongko: Menurut gue sih sama saja, intinya tim dari top 3 akan lolos ke major lewat regional SEA. Tapi kalau bicara dari sisi manajemen sendiri, gue merasa kesempatan BOOM Esports lolos di musim ini lebih besar karena kami konsisten dan tidak banyak berganti roster.

InYourDream: Soal poin enggak terlalu masalah sih. Sedari dulu turnamen Major memang menjadi tolak ukur pemain/tim di dalam DPC ini dan seberapa pantas mereka untuk bisa bertanding di The Internatinal.

 

Aspek Bisnis, Persaingan, dan Potensi Investasi di DPC 2021

Perubahan format tersebut mungkin bisa berdampak baik bagi tim maupun pemain. Namun bagaimana nasib ekosistem esports Dota secara keseluruhan? Dengan jadwal turnamen DPC 2021 yang cukup padat, apakah masih ada ladang bagi penyelenggara pihak ketiga? Apakah ekosistem Dota 2 lokal Indonesia masih bisa tumbuh dan bersemi kembali seperti dahulu?

Sumber Gambar - Acer Predator Official Website.
Sumber Gambar – Acer Predator Official Website.

Melon: Ladang bagi penyelenggara pihak ketiga akan jadi lebih sempit karena DPC 2021 ini. Sistem DPC 2021 membuat jasa EO cenderung akan lebih kesulitan untuk membuat turnamen tingkat regional APAC/SEA. Kenapa? Karena tentu saja tim-tim kelas semi-pro akan lebih memilih untuk bertanding di DPC. Jadwal pertandingan DPC 2021 juga tidak pandang bulu. Kadang-kadang bisa berada di weekdays dan di tengah hari bolong pukul 12 siang waktu Indonesia.

Tapi kalau bicara scene lokal Indonesia, menurut gue perkembangannya akan tetap melibatkan warnet-warnet daerah. Gue merasa cuma dari situ jalan yang paling memungkinkan untuk mengembangkan Dota 2 di Indonesia. Mau tidak mau, prasarana warnet tetaplah dibutuhkan (kesediaan PC dll) baik untuk event ataupun mengembangkan talenta pemain baru.

Dejet: Kalau ditanya menghidupkan scene kompetitif lokal, menurut gue sih pasti lah! Tapi kalau bicara aspek bisnis dari segi penyelenggara pihak ketiga, gue merasa masih ada lahan yang bisa diharap. Jumlah slot DPC kan sangat terbatas. Sementara tim masih amatlah banyak tetrutama dari sisi grassroot entah itu tim amatir, icafe, atau semi-pro. Jadi menurut gue penyelenggara pihak ketiga masih bisa menggarap lahan tersebut dan dapat berperan dalam ekosistem Dota 2 secara keseluruhan.

JustInCase: Menghidupkan scene lokal di Indonesia? Sepertinya cenderung tidak mungkin. Gue mengembangkan WxC Indonesia, memang bisa konstan mendapat pentonton sejumlah belasan sampai puluhan ribu di YouTube. Hal tersebut bisa terjadi karena kami selalu menyiarkan turnamen skala internasional, bukan nasional. Kalau turnamen lokal, viewership-nya jelas akan lebih sedikit. Mungkin maksimum 5 ribu penonton saja.

Jumlah tersebut tentu terhitung rendah apabila dibanding dengan penonton game mobile di scene lokal. Pada sisi lain, sponsor juga lebih tertarik berinvestasi ke game mobile karena melihat angka tersebut. Jadi kalau organizer lokal ingin mendapat jumlah viewership yang besar untuk Dota, mereka harus menyelenggarakan turnamen skala internasional seperti ONE Esports. Pokoknya go big or go home.

InYourDream: Bicara aspek ini sih gue enggak bisa ngomong banyak. Tapi harapan gue sih semoga bisa hidup lagi. Karena menurut gue sebenarnya masih banyak player dota 2 Indonesia yang punya potensi untuk menjadi seorang profesional.

Setelah bicara soal investasi pihak penyelenggara lokal, bagiamana dengan investasi bagi organisasi esports lokal terhadap ekosistem Dota 2? Apakah perubahan format membuat berinvestasi tim Dota 2 di DPC 2021 jadi memiliki potensi keuntungan?

Gary Ongko Putera, Owner dan CEO dari BOOM Esports. Sumber Gambar - YouTube Channel HybridIDN.
Gary Ongko Putera, Owner dan CEO dari BOOM Esports. Sumber Gambar – YouTube Channel HybridIDN.

Gary Ongko: Jujur saja, seperti yang gue bilang dari awal bahwa visi misi BOOM Esports sebagai sebuah tim adalah menembus kancah dunia. Kalau ditanya apakah kepingin ada tim lokal terjun lagi di Dota dan bertanding sama kita? It will be fun menurut gue. Mungkin seru juga kalau ada pertandingan derby lokal di DPC 2021 ini. Tapi balik lagi, organisasi lokal pasti ketinggalan kalau ibaratnya impian mereka cuma untuk kancah lokal saja. Karena apabilanya visi misinya beda, maka investasinya pun jadi berbeda.

Gue sampai akhir dunia akan berusaha mengejar kesuksesan tim-tim seperti Cloud 9, Team Secret, Team Liquid dan sebagainya. Bakal seru tentunya kalau ada kawan se-negara. Tapi jujur ya kita juga sudah biasa juga sih berjuang sendirian… Haha.

JustInCase: Liga yang diberikan Valve tidak seperti liga dari Riot Games atau Moonton yang punya sistem revenue sharing. Karena hal tersebut, sustainability mengikuti liga tersebut tentu menjadi tanda tanya tersendiri bagi organisasi esports. Kalau bicara organisasi lokal, kebanyakan mereka telah nyaman berada di dalam ekosistem Mobile Legends yang memang lebih menguntungkan secara finansial. Menurut gue mereka tidak akan berpikir untuk kembali terjun ke Dota 2 melihat kondisi liga yang disediakan oleh Valve, kecuali liga diubah untuk dapat lebih menguntungkan organisasi esports. Soalnya liga DPC sekarang cenderung lebih menguntungkan bagi pemain dibanding organisasi kalau menurut gue.

Dejet: Menurut gue tahun ini memang tahun yang tepat untuk kembali terjun ke Dota 2 bagi organisasi esports Indonesia. Tapi yang penting organisasi esports lebih jeli dalam mengambil tim dengan mengambil tim-tim yang jelas masuk DPC. Organisasi esports pasti ingin mendapat sorotan terbesar, jadi menurut gue ikut Regional League, Major, dan The International adalah tujuan besar yang perlu dikejar.

Melon: Balik lagi dari sisi edukasi informasinya sih. Kalau seandainya organisasi esports Indonesia tahu bahwa hadiah DPC 2021 ini cukup besar, mereka mungkin akan mempertimbangkan untuk investasi dan konsisten mengikuti Open Qualifier, Stage 1-2, Upper Division, dsb. Karena bagaimanapun hadiah kemenangan adalah salah satu sumber pemasukan bagi organisasi esports.

InYourDream: Yes, menurut gue tahun ini adalah tahun yang tepat. Beberapa alasannya adalah karena sistem DPC sekarang menjadi liga dan prizepool juga di-split dengan sedemikian rupa.

 

Mengharapkan Ekosistem Esports Dota 2 di Masa Depan

Menutup perbincangan ini, apa saja yang jadi harapan dari sosok-sosok tersebut terhadap ekosistem esports Dota 2?

Gary Ongko: Semoga pemain-pemain lokal yang berhasil lolos bisa diakuisisi sama organisasi. Semoga juga semakin banyak yang mau menghidupkan Dota di kancah lokal.

Menurut gue sayang sekali karena talenta Dota 2 Indonesia sebetulnya banyak, tapi malah jadi pemain untuk tim negara sebelah. Kalau secara internasional, semoga liga ini bisa berdampak baik bagi pemain dan tim. Again, format seperti ini sebetulnya perdana di DPC 2021, jadi ya kita lihat saja bakal bagaimana ke depannya. Harapan lain, semoga compendium The International ada lagi dan lebih banyak kosmetik lagi… Haha.

JustInCase: Gue berharap pemain Indonesia yang sebelumnya tidak bersinar bisa mendapatkan kesempatan mereka untuk bermain di kancah internasional lewat DPC 2021 ini. Bukan hanya di Open Qualifier saja, tapi semoga bisa lihat lebih banyak pemain/tim indonesia di Lower ataupun Upper Division. Harapan akhirnya tentu agar bisa melihat pemain Indonesia bermain di panggung The International tahun ini.

Melon: Dampak yang diharapkan tentunya livestream jadi makin meriah dan perhatian orang tentunya jadi tidak lagi hanya terpusat pada BOOM Esports saja. Harapan lainnya adalah semoga tim-tim Indonesia semoga semakin solid dan semakin tambah konsisten.

Dejet: Kalau gue harapannya sih semoga semakin banyak organisasi esports lokal mau terjun ke Dota 2 lagi. Ibaratnya seperti “nagih janji”. Dulu organisasi esports lokal enggak mau turun di Dota kan karena kompetisinya kurang jelas. Sekarang sudah jelas, jadi ayo dibikin timnya.

InYourDream: Kalau harapan gue buat scene Dota lokal indonesia adalah semoga pemain-pemain Indonesia lebih termotivasi lagi buat bersaing and play more Dota 2, that’s all. Buat scene internasional pun juga sama.

10 Tim Esports dengan Hadiah Kemenangan Terbesar Pada 2020

Dari tahun ke tahun, turnamen Dota 2, The International, selalu mencetak rekor baru sebagai turnamen esports dengan total hadiah terbesar. Sayangnya, pada 2020, Valve memutuskan untuk menunda The International 10 karena pandemi virus corona. Alhasil, total hadiah turnamen esports pada tahun lalu menurut drastis.

Sepanjang 2020, total hadiah seluruh kompetisi esports hanya mencapai sekitar US$92 juta (sekitar Rp1,3 triliun). Sebagai perbandingan, pada 2019, angka itu mencapai US$240 juta (sekitar Rp3,3 triliun). Untungnya, masih ada beberapa kompetisi esports besar yang diselenggarakan, seperti League of Legends World Championship dari Riot Games serta liga Overwatch dan Call of Duty dari Activision Blizzard.

Total hadiah turnamen esports yang turun pada 2020 berarti pemasukan organisasi esports dari hadiah turnamen juga turun drastis. Berikut 10 tim esports dengan total hadiah kemenangan terbanyak selama 2020.

 

1. Dallas Empire – US$1,8 juta (Rp25,1 miliar)

Biasanya, organisasi esports yang tim Dota 2-nya memenangkan The International akan menjadi organisasi esports dengan total hadiah terbesar dalam setahun. Namun, pada 2020, gelar itu jatuh pada Dallas Empire, yang membawa pulang US$1,79 juta (sekitar Rp25 miliar) ketika mereka memenangkan Call of Duty League, seperti yang disebutkan oleh The Esports Observer.

 

2. San Francisco Shock – US$1,56 juta (Rp21,8 miliar)

Sementara itu, San Francisco Shock ada di posisi kedua dengan total hadiah sebesar US$1,55 juta. Mereka berhasil meraih gelar ini setelah memenangkan Overwatch League Season 3. San Francisco Shock merupakan tim Overwatch yang bernaung di bawah NRG Esports, organisasi esporst asal Los Angeles, Amerika Serikat.

San Francisco Shock saat memenangkan Overwatch League 2019. | Sumber: Wikimedia
San Francisco Shock saat memenangkan Overwatch League 2019. | Sumber: Wikimedia

Overwatch League dan Call of Duty League tetap bisa berjalan di tengah pandemi karena Activision Blizzard dapat menyesuaikan diri dan memutuskan untuk mengadakan kedua liga esports itu secara online. Kesamaan lain antara OWL dan CDL adalah keduanya sama-sama menggunakan model franchise.

 

3. Team Liquid – US$1,46 juta (Rp20,4 miliar)

Sepanjang 2020, ada beberapa turnamen besar dari Dota 2 dan CS:GO yang harus ditunda. Meskipun begitu, tim CS:GO dan Dota 2 dari Team Liquid tetap memberikan kontribusi yang signifikan pada total hadiah yang mereka menangkan pada 2020. Tim Dota 2 menyumbangkan sekitar US$414 ribu (sekitar Rp5,8 miliar) sementara tim CS:GO US$292 ribu (sekitar Rp4,1 miliar).

Via: ESTNN
Via: ESTNN

Selain tim Dota 2 dan CS:GO, Team Liquid juga punya beberapa divisi yang berlaga di game esports lain. Divisi-divisi tersebut juga punya andil dalam memenangkan berbagai kompetisi esports. Misalnya, dari StarCraft II, Team Liquid mendapatkan US$95 ribu (sekitar Rp1,3 miliar). Sementara tim PUBG menyumbangkan US$83 ribu (sekitar Rp1,2 miliar), League of Legends US$81 ribu (sekitar Rp1,1 miliar), Hearthstone US$75 ribu (sekitar Rp1 miliar), Fortnite US$64 ribu (sekitar Rp900 juta), dan Arena FPS US$49 ribu (sekitar Rp683 juta).

Kehandalan para pemain Team Liquid berhasil membuat organisasi esports ini tetap masuk dalam daftar organisasi esports dengan hadiah kemenangan terbesar pada tahun lalu. Meskipun begitu, harus diakui bahwa total hadiah yang didapatkan oleh Team Liquid pada 2020 jauh lebih sedikit dari jumlah hadiah yang mereka bawa pulang pada 2019. Pada 2019, Team Liquid berhasil memenangkan total hadiah sebesar US$9 juta (sekitar Rp125 miliar).

 

4. Virtus.pro – US$1,37 juta (Rp19,1 miliar)

Via: Twitter
Via: Twitter

Sama seperti Team Liquid, sebagian besar total hadiah yang dimenangkan oleh Virtus.pro berasal dari turnamen CS:GO dan Dota 2. Sepanjang tahun 2020, tim CS:GO dari Virtus.pro berhasil memenangkan US$641 ribu (sekitar Rp9 miliar). Sekitar US$500 ribu (sekitar Rp7 miliar) mereka dapatkan dengan memenangkan Flashpoint Season 2.

Tak hanya tim CS:GO, tim Dota 2 dari Virtus.pro juga memberikan kontribusi yang cukup besar sepanjang 2020. Sebelum skena esports Dota 2 terhenti karena pandemi, organisasi asal Rusia ini berhasil memenangkan sejumlah kompetisi Dota 2, termasuk EPIC League dan ESL One Los Angeles. Dari sana, mereka memenangkan US$472 ribu (sekitar Rp6,6 miliar). Virtus.pro juga memiliki tim Fortnite yang memberikan kontribusi sebesar US$25 ribu (sekitar Rp348,5 juta) dan tim Apex Legends yang menyumbangkan US$4,6 ribu (sekitar Rp64,1 juta).

5. Spacestation Gaming – US$1,36 juta (Rp19 miliar)

Tahun 2020 justru menjadi tahun yang baik bagi Spacestation Gaming. Total hadiah dari kompetisi esports yang mereka menangkan naik hingga tiga kali, dari US$436 ribu (sekitar Rp6,1 miliar) pada 2019 menjadi US$1,36 juta pada 2020.

Tim Rainbow Six dari Spacestation Gaming.
Tim Rainbow Six dari Spacestation Gaming.

Tim Rainbow Six dari Spacestation Gaming memberikan kontribusi paling besar. Mereka berhasil memenangkan dua dari empat kompetisi yang mereka ikuti dan membawa pulang US$1,1 juta (sekitar Rp15,3 miliar). Spacestation Gaming juga punya tim-tim yang bertanding di game lain dan memenangkan sejumlah kompetisi, membuat total hadiah kemenangan mereka sepanjang 2020 mencapai US$1,36 juta (sekitar Rp19 miliar).

 

6. G2 Esports – US$1,23 juta (Rp17,1 miliar)

Via: Esports Observer
Via: The Esports Observer

Sebagai pendiri dan CEO G2 Esports, Carlos “ocelote” Rodríguez berhasil mengumpulkan para pemain berbakat untuk berlaga di berbagai game esports, mulai dari game FPS seperti CS:GO, Rainbow Six, dan Valorant, game battle royale seperti Fortnite, game MOBA seperti League of Legends, sampai sim racing. Hal inilah yang menjadi kunci dari kesuksesan G2 untuk membawa pulang US$1,23 juta (sekitar Rp17,1 miliar) pada 2020.

Sepanjang 2020, tim League of Legends G2 mendapatkan US$383 ribu (sekitar Rp5,3 miliar), sementara tim CS:GO mereka membawa pulang US$330 ribu (sekitar Rp4,6 miliar). G2 mendapatkan US$163 ribu (sekitar Rp2,3 miliar) di skena Rainbow Six, US$159 ribu (sekitar Rp2,2 miliar) di Rocket League, dan lebih dari US$100 ribu (sekitar Rp1,4 miliar) di Valorant serta game-game esports lain.

 

7. Atlanta FaZe – US$1,19 juta (Rp16,6 miliar)

Via: Red and Black
Via: The Red and Black

Sepanjang musim pertama Call of Duty League, Atlanta FaZe sangat dominan. Pada akhir musim reguler, mereka berhasil duduk di peringkat pertama. Sayangnya, mereka harus bertekuk lutut di hadapan Dallas Empire pada babak final. Sebagai runner up dari Call of Duty League, Atlanta FaZe membawa pulang hadiah US$900 ribu (sekitar Rp12,5 miliar). Mereka juga memenangkan sejumlah kompetisi lain sehingga mereka dapat mengumpulkan US$1,19 juta (sekitar Rp16,6 miliar) sepanjang 2020.

 

8. Team SoloMid – US$1,18 juta (Rp16,5 miliar)

TSM memiliki 11 tim yang berlaga di berbagai game esports, termasuk League of Legends, Fortnite, dan Valorant. Tak hanya itu, TSM juga menggandeng pemain catur profesional, Hikaru Nakamura. Dari kompetisi catur, TSM mendapatkan hadiah sebesar US$125 ribu (sekitar Rp1,7 miliar). Sementara tim League of Legends mereka berhasil mendapatkan US$158 ribu (sekitar Rp2,2 miliar) dan dari kompetisi Fortnite, TSM memenangkan US$179 ribu (sekitar Rp2,5 miliar). Pada 2021, tampaknya TSM masih akan terus menggunakan strategi yang sama, yaitu memecahkan fokus mereka beberapa game esports sekaligus.

 

9. Team Secret – US$1,1 juta (Rp15,3 miliar)

Pada 2019, Team Secret duduk di peringkat 8 dalam daftar 10 organisasi esports dengan total hadiah terbesar. Ketika itu, mereka memenangkan US$3,31 juta (sekitar Rp46,1 miliar). Sementara pada 2020, Team Secret turun satu peringkat ke posisi sembilan. Hanya saja, jumlah hadiah yang mereka bawa pulang jauh lebih sedikit, hanya US$1,1 juta (sekitar Rp15,3 miliar).

Tim Dota 2 Team Secret ketika memenangkan One Birmingham. | Sumber: ESTNN
Tim Dota 2 Team Secret ketika memenangkan One Birmingham. | Sumber: ESTNN

Hal ini tidak aneh, mengingat Team Secret memang sangat mengandalkan tim Dota 2 mereka. Sementara, pada tahun lalu, skena esports game MOBA itu sempat tersendat akibat pandemi virus corona. Meskipun begitu, roster Dota 2 dari Team Secret berhasil memenangkan US$1,017 (sekitar Rp14,2 miliar) juta dari 12 turnamen Dota 2 yang mereka ikut pada 2020. Kabar baik untuk Team Secret, Dota Pro Circuit telah kembali berjalan pada awal tahun ini.

 

10. Fnatic – US$994,2 ribu (Rp13,9 miliar)

Fnatic duduk di peringkat 10 dengan total hadiah US$994,2 ribu. Tahun 2020 menjadi kali pertama total hadiah yang Fnatic bawa pulang tidak mencapai US$1 juta (sekitar Rp13,94 miliar). Padahal, sejak 2014, total hadiah yang Fnatic menangkan setiap tahun selalu melewati angka US$1 juta.

Sepanjang 2020, tim CS:GO Fnatic memberikan kontribusi paling signifikan. Mereka ikut serta dalam berbagai turnamen online, termasuk Flashpoint Season 2. Dalam kompetisi itu, mereka keluar sebagai juara tiga. Secara keseluruhan, tim CS:GO Fnatic menyumbangkan US$321 ribu (sekitar Rp4,5 miliar).

grafik

Esports ke Olimpiade, Seberapa Perlu?

Diikuti oleh lebih dari 200 negara, Olimpiade adalah salah satu kompetisi olahraga paling bergengsi di dunia. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, minat masyarakat untuk menonton Olimpiade semakin menurun. Seolah itu tidak cukup buruk, umur rata-rata dari penonton Olimpiade pun menunjukkan tren yang semakin tua. Esports — yang digandrungi oleh generasi Milenial dan Gen Z — bisa memecahkan masalah ini. Hanya saja, memasukkan esports ke Olimpiade bukanlah masalah gampang.

 

Jumlah Penonton Olimpiade yang Terus Turun

Di Amerika Serikat, Olimpiade Musim Dingin 2018 disiarkan oleh NBC (National Broadcasting Company). Menurut data dari Sports Media Watch, jumlah rata-rata penonton Olimpiade pada prime time hanya mencapai 22,2 juta, turun 6% jika dibandingkan dengan jumlah rata-rata penonton dari Olimpiade Musim Dingin 2014. Sementara itu, jumlah rata-rata penonton Olimpiade Musim Dingin 2018 justru lebih rendah, hanya 19,9 juta orang, yang merupakan rekor jumlah rata-rata penonton paling rendah sejak 1992, menurut laporan Forbes.

Memang, beberapa tahun belakangan, rating siaran pertandingan Olimpiade terus turun, membuktikan bahwa jumlah orang-orang yang tertarik menonton kompetisi olahraga itu terus berkurang. Sebaliknya, umur rata-rata penonton Olimpiade terus naik, menurut survei yang diadakan oleh Nielsen pada 24 televisi olahraga. Pada 2000, umur rata-rata penonton Olimpiade adalah 45 tahun. Angka ini naik menjadi 50 tahun pada 2006 dan menjadi 53 tahun pada 2016. Seiring dengan turunnya jumlah penonton Olimpiade, begitu juga dengan daya tarik siaran Olimpiade di mata pengiklan atau sponsor.

Umur rata-rata penonton Olimpiade. | Sumber: Lanxiong Sport, via core.ac.uk
Umur rata-rata penonton Olimpiade. | Sumber: Lanxiong Sport, via core.ac.uk

Sebenarnya, umur rata-rata penonton yang terus naik, hal ini juga terjadi di semua kompetisi olahraga tradisional. Sepak bola, salah satu olahraga terpopuler di dunia, pun mengalami masalah ini. Satu-satunya olahraga yang umur rata-rata penontonnya justru turun dalam 10 tahun terakhir adalah tennis perempuan, menurut laporan TechCrunch. Meskipun begitu, umur rata-rata penonton pertandingan tennis di Amerika Serikat tetap tinggi, yaitu 55 tahun. Sebagai perbandingan, umur rata-rata penonton esports adalah 26 tahun. Hal ini menunjukkan bagaimana generasi muda lebih suka untuk menonton esports daripada olahraga tradisional.

Seorang artis bisa menjadi figur publik karena dia punya banyak fans. Olimpiade menjadi salah satu ajang olahraga paling bergengsi karena ada banyak orang yang menonton kompetisi tersebut. Jika tidak ada lagi orang yang menonton Olimpiade, maka prestise dari kompetisi itu pun akan hilang. Dan tanpa prestise, siapa yang akan tertarik untuk menyiarkan pertandingan Olimpiade? Atau menjadi sponsor dari acara olahraga tersebut?

Untungnya, International Olympic Comittee (IOC) menyadari masalah ini. Mereka juga telah mengambil beberapa langkah untuk mengatasi masalah tersebut. Salah satu hal yang mereka lakukan adalah dengan menambahkan beberapa olahraga baru yang dianggap disukai anak muda, seperti sport climbing, surfing, skateboarding, karate, dan baseball. Jika dibandingkan dengan olahraga tradisional lainnya — seperti anggar, lempar lembing, atau loncat indah — olahraga-olahraga ini mungkin memang lebih populer di kalangan generasi muda. Hanya saja, jika dibandingkan dengan pertandingan esports, seperti League of Legends atau Counter-Strike: Global Offensive, pertandingan esports masih menang jauh.

 

Bagaimana Esports Bisa Membantu

Pada 2018, ada 737 kompetisi esports besar yang diadakan dengan total penjualan tiket mencapai US$54,7 juta. Sementara itu, pada 2019, jumlah penonton esports mencapai 443 juta orang, menurut Newzoo dan mencapai 454 juta, berdasarkan Statista. Dan seperti yang dapat Anda lihat pada gambar di bawah, jumlah penonton esports menunjukkan tren naik dari tahun ke tahun.

 

Jumlah penonton esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo
Jumlah penonton esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo

 

Selain itu, penonton esports biasanya datang dari kalangan Milenial dan Gen Z. Mari kita berkaca ke Tiongkok, salah satu negara yang ekosistem esports-nya berkembang pesat. Tiongkok tidak hanya menelurkan banyak atlet esports di berbagai game — mulai dari mobile game seperti Clash Royale sampai League of Legends — pemerintah di Beijing pun sudah mulai mengakui atlet esports sebagai profesi resmi.

Berdasarkan data dari Statista tentang demografi penonton esports di Tiongkok pada 2019, penonton esports paling banyak ada di rentang usia 18-24 tahun. Sekitar 26,2% penonton esports di Tiongkok ada di rentang umur tersebut. Sementara itu, sekitar 21,9% audiens esports memiliki usia di bawah 18 tahun, 23,8% ada di rentang umur 24-30 tahun, 18,6% penonton di rentang umur 30-35 tahun, dan 9,5% ada di rentang umur di atas umur 35 tahun.

Demografi penonton esports di Tiongkok. | Sumber: Statista via core.ac.uk
Demografi penonton esports di Tiongkok. | Sumber: Statista via core.ac.uk

Jika esports masuk dalam Olimpiade, hal ini akan menarik perhatian para penonton muda. Semakin banyak orang yang tertarik untuk menonton Olimpiade, maka semakin menarik ajang olahraga itu di mata sponsor. Namun, yang paling penting, memenangkan hati penonton muda berarti Olimpiade akan tetap relevan di masa depan. Sayangnya, menjadikan esports sebagai cabang olahraga dalam Olimpiade tidak semudah membalikkan telapak tangan.

 

Kenapa Esports Tidak Masuk Olimpiade?

Sebelum sebuah olahraga menjadi bagian dari Olimpiade, maka olahraga itu harus dipatikan memiliki nilai-nilai yang sama dengan Olimpiade, yaitu Excellence, Respect, dan Friendship. Hal ini menjadi salah satu tantangan yang harus dihadapi oleh pelaku esports jika mereka ingin menjadikan esports sebagai bagian dari Olimpiade.

Dalam wawancara menjelang Asian Games 2018 di Jakarta, Thomas Bach, Presiden dari IOC mengungkap, salah satu alasan mengapa esports tidak masuk dalam Olimpiade adalah karena game esports mendukung kekerasan dan diskriminasi, yang dianggap tidak sejalan dengan nilai-nilai Olimpiade. Memang, ada game esports yang tidak menampilkan kekerasan, seperti FIFA atau PES, yang merupakan game sepak bola. Namun, game esports yang populer biasanya memiliki aspek kekerasan, sebut saja Dota 2, CS:GO, dan Mobile Legends.

Meskipun begitu, hal itu bukan berarti esports tidak punya kesempatan sama sekali untuk masuk Olimpiade. Pasalnya, di Olimpiade, ada beberapa olahraga yang mengandung kekerasan, seperti menembak, panahan, tinju, dan taekwondo. Terkait hal ini, Presiden IOC, Bach menjelaskan, olahraga-olahraga itu memang didasarkan pada pertarungan yang nyata. Tapi, semua olahraga tersebut telah diregulasi sedemikian rupa sehingga mereka menjadi “civilized expression” dari pertarungan antar manusia. Jadi, selama pertarungan dalam game esports bisa dibuat agar tidak terlihat seperti senseless killing, maka esports tidak akan melanggar nilai Olimpiade.

Presiden IOC, Thomas Bach.
Presiden IOC, Thomas Bach.

Namun, ada alasan lain mengapa esports tidak bisa masuk ke Olimpiade, setidaknya saat ini, yaitu karena game merupakan produk komersil. Padahal, Olympic Charter dengan tegas melarang untuk menjadikan olahraga atau atlet sebagai alat demi kepentingan politik dan komersil. Memang, ada olahraga yang memiliki nilai komersil tinggi, seperti sepak bola dan basket. Namun, berbeda dengan game, sebuah olahraga tidak memiliki “pemilik”. Sementara dalam esportsgame yang menjadi media pertandingan merupakan produk komersil. Pembuatan, pengoperasian, dan peraturan bermain dari sebuah game sepenuhnya ada di tangan developer dan publisher.

Sama seperti olahraga tradisional kebanyakan, esports memang punya badan organisasi internasional sendiri. Salah satunya adalah International Esports Federation (IeSF), yang didirikan di Korea Selatan pada 2008. Selain itu, juga ada Global Esports Federation (GEF) yang didirikan pada 2019 dengan sokongan dari Tencent. Dan IeSF bisa menghubungi pihak developer terkait game mereka, tapi badan esports itu tidak punya hak untuk mengubah peraturan dalam pertandingan game esports.

Esports juga sudah punya kompetisi sendiri. Dan hal ini bisa menyebabkan tabrakan jadwal. Hal ini terjadi ketika League of Legends menjadi salah satu cabang olahraga eksibisi di Asian Games 2018. Pertandingan Asian Games ketika itu berbarengan dengan babak final dari League of Legends World Championship. Memang, IOC bisa saja mendiskusikan masalah ini dengan pihak developer. Toh masalah ini juga terjadi di sepak bola dan bisa diselesaikan. Satu hal yang harus diingat, setiap game esports biasanya punya developer yang berbeda. Dengan kata lain, jika ada tiga game esports yang masuk Olimpiade, IOC harus membahas masalah ini dengan tiga developer yang berbeda.

Alasan terakhir mengapa esports tak bisa masuk Olimpiade adalah terkait umur hidup sebuah game esports. Berdasarkan regulasi IOC, proses untuk memasukkan cabang olahraga baru akan memakan waktu tiga tahun. Sementara skena esports berubah dengan cepat. Game esports yang tengah populer saat ini mungkin tak lagi populer beberapa tahun ke depan.

Berikut grafik dari popularitas PUBG, CS:GO, dan Rainbow Six: Siege dari Januari 2016 sampai September 2019.

Jumlah peak concurrent players CS:GO dari Januari 2016 sampai September 2019.
Jumlah peak concurrent players CS:GO dari Januari 2016 sampai September 2019.
Jumlah peak concurrent players PUBG dari Januari 2016 sampai September 2019.
Jumlah peak concurrent players PUBG dari Januari 2016 sampai September 2019.
Jumlah peak concurrent players Rainbow Six: Siege dari Januari 2016 sampai September 2019.
Jumlah peak concurrent players Rainbow Six: Siege dari Januari 2016 sampai September 2019.

Tiga grafik di atas menunjukkan bagaimana popularitas sebuah game bisa meningkat atau menurun secara drastis dalam waktu singkat. Karena itu, menentukan game esports yang pantas masuk Olimpiade akan jadi hal yang sangat sulit.

Yohannes Siagian, Wakil Ketua Bidang Atlet, Prestasi, dan IT, Pengurus Besar Esports Indonesia (PB ESI) memiliki pendapat yang sama. “Game esports belum tentu akan bertahan selama lebih dari 1-2 masa Olimpiade, yang memiliki siklus 4 tahunan. Sehingga sulit untuk membangun konsistensi jangka panjang sebagai event,” kata pria yang akrab dengan panggilan Joey ini ketika dihubungi oleh Hybrid.

“Komunitas esports kadang terlalu sibuk mencari pengakuan dari pihak yang dianggap lebih berwenang atau berwibawa, seperti Olimpiade, sehingga tidak sadar bahwa esports sudah memiliki status yang cukup untuk membuat event sendiri,” jelas Joey lebih lanjut. “Misalnya, Olimpiade ada Olimpiade Musim Panas, Musim Dingin, dan seterusnya. Jika esports memang merasa harus menggandeng Olimpiade, mereka bisa membuat Olimpiade versi esports saja, tidak perlu digabung dengan cabang-cabang lain.” Namun, dia menekankan, jika kegiatan Olimpiade untuk esports digelar, maka pihak penyelenggara harus menentukan regulasi terkait gelar, persyaratan, dan lain sebagainya dengan sangat hati-hati.

Jadi…

 

Perlukah Esports ke Olimpiade?

“Ini perdebatan yang berjalan intens di berbagai tingkat dunia esports. Kalau menurut saya pribadi, tidak penting bagi esports untuk masuk ke SEA Games, Asian Games, atau Olimpiade,” jawab Joey. “Kalau memang masuk, ya bagus. Nilai-nilai dasar Olimpiade memang berlaku di esports, tapi di sisi lain, ada hal-hal fundamental dari esports yang terlalu berbeda.” Salah satunya adalah fakta bahwa game esports merupakan intellectual property dari developer.

Soal penonton, esports telah berhasil mengumpulkan ratusan juta audiens tanpa menjadi bagian dari Olimpiade. Dan ke depan, jumlah penonton esports diperkirakan masih akan naik. Pandemi virus corona tahun ini juga membuat esports menjadi booming. Sementara jumlah penonton Olimpiade terus turun. Namun, bukan berarti tidak ada keuntungan yang didapat oleh industri esports jika competitive gaming menjadi cabang olahraga di Olimpiade.

Salah satu keuntungan yang akan didapatkan oleh esports jika ia masuk ke dalam Olimpiade adalah publikasi. Misalnya, ketika tim League of Legends Tiongkok memenangkan medali emas di Asian Games 2018, kabar ini disiarkan oleh stasiun televisi nasional, mengenalkan esports pada masyarakat yang sebelumnya tak pernah mendengar tentang competitive gaming. Di Indonesia, pencarian akan esports di Google juga melunjak ketika esports menjadi bagian dari Piala Presiden.

Tak hanya itu, masuknya esports dalam Olimpiade atau ajang olahraga bergengsi lainnya akan memberikan citra positif pada esports. Memang, esports kini sudah jadi industri yang besar. Tapi, tak bisa dipungkiri, stigma negatif yang melekat pada esports dan gaming secara umum pun susah hilang. Jika esports menjadi bagian dari Olimpiade, hal ini akan membuat esports bisa diterima oleh masyarakat luas, khususnya oleh orang-orang yang lebih berumur alias generasi Boomers dan Gen X.

Joey setuju dengan hal ini: masuknya esports ke Olimpiade bisa membuat esports diakui oleh generasi Boomers dan Gen X. Hanya saja, dia mengingatkan, saat ini, sebagian besar masyarakat sudah sangat dekat dengan dunia digital. “Orang-orang sudah terbiasa mendengar esports jadi acara khusus, yang jika diiringi dengan promosi dan marketing yang benar, maka akan menjadi acara yang sukses,” ujarnya. “Apalagi, tim esports dan perusahaan/brand yang masuk ke esports sudah sangat ahli dalam marketing dan promosi terkait esports. Pastinya, mereka akan membuat event esports menjadi acara yang besar.”

 

Kesimpulan

Setiap orang pasti punya kelebihan dan kelemahan. Ada orang yang cerdas secara akademis, tapi tidak kuat dalam berolahraga. Atau, ada orang yang memiliki bakat seni, tapi sulit paham pelajaran eksakta. Namun, hal ini tidak menghentikan sebagian orang untuk bisa menguasai semua hal. Saya merasa, esports seperti itu.

Esports telah berhasil menciptakan ekosistemnya sendiri. Saat ini, ada ratusan turnamen esports yang diadakan setiap tahunnya, sementara jumlah penonton esports di global telah mencapai ratusan juta orang. Namun, hal itu tidak menghentikan pelaku esports untuk mencoba masuk ke ajang olahraga campuran, seperti SEA Games, Asian Games, dan Olimpiade.

Memang, masuknya esports ke SEA Games dan Asian Games membuat esports bisa diterima oleh masyarakat luas. Walaupun begitu, jia esports tak masuk Olimpiade, hal ini tidak akan mematikan esports. Seperti yang disebutkan oleh Joey, tidak semua atlet esports menginginkan kehormatan untuk membawa pulang medali di Olimpiade. Sama seperti tim sepak bola yang lebih ingin memenangkan Liga Champions atau Piala Dunia, tim Dota 2 mungkin lebih ingin memenangkan The International daripada Olimpiade.

Sumber: Forbes, TechCrunch, The Possibility Analysis of Esports Becoming an Olympic Sport, Hybrid, Round Hill Investment

Antara Esports dan Startup: Kesamaan, Perbedaan, dan Pembelajaran

Esports sedang berkembang dengan pesatnya, namun tak bisa dipungkiri bahwa industri baru ini memiliki beberapa masalah unik tersendiri. Masalah regenerasi dan profesionalitas para talenta atau sustainability model bisnis mungkin hanya beberapa dari ragam masalah yang belum terpecahkan di ekosistem esports.

Untuk itu ekosistem esports sebenarnya bisa belajar dari “saudara dekatnya”, yaitu ekosistem startup.

Startup dan esports bisa dibilang sebagai dua bidang yang saling beririsan. Perusahaan startup bisa memiliki berbagai macam bidang termasuk esports, namun tidak semua perusahaan esports bisa digolongkan sebagai perusahaan startup. Terlepas dari hal tersebut, hal apa yang sebenarnya membedakan antara keduanya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya pun berdiskusi dengan Amir Karimuddin.

Amir atau kami memanggilnya “Mas Amir” merupakan sosok yang sudah cukup lama malang melintang di ekosistem startup. Kini ia menjabat sebagai Head of Editorial and Research di Dailysocial.id, sister company Hybrid.co.id yang merupakan sebuah media dengan fokus pembahasan seputar ekosistem startup Indonesia. Dalam menjelaskan definisi startup, Amir pun mengatakan, “ada begitu banyak definisi startup. Saya sendiri lebih suka mendefinisikan startup sebagai perusahaan yang didirikan dengan mindset mengembangkan bisnis yang tervalidasi dan bisa bertumbuh (growth dan scalable).

Amir Karimuddin
Head of Editorial and Research di DailySocial.id, Amir Karimuddin / DailySocial

Amir juga menambahkan bahwa selain soal growth mindset dan scalable, exposure ke sektor teknologi menjadi salah satu ciri lain yang membuat sebuah perusahaan dapat digolongkan sebagai startup. “Jadi asalkan konsepnya adalah membangun platform dengan growth mindset, maka suatu perusahaan bisa disebut dengan startup juga. Dalam hal ekosistem esports, misalnya mungkin perusahaan demgam tujuan membangun platform game esports yang bisa dijangkau oleh jutaan orang, punya model bisnis yang jelas, dan rencana pengembangan berkelanjutan. Apabila suatu perusahaan memiliki 3 hal tersebut, maka perusahaan tersebut bisa juga dibilang sebagai startup.”

Namun demikian ekosistem esports/gaming sendiri memang terbagi jadi beberapa sektor lagi untuk saat ini. Dua sektor yang umum terdengar adalah perusahaan pengembang game yang fokusnya membuat game (perusahaan developer game) dan perusahaan yang fokus mengembangkan unsur kompetisi dari suatu game (perusahaan esports).

Dalam artikel ini, bagian ekosistem yang menjadi fokus pembahasan saya adalah perusahaan esports seperti ESL, LoL Esports, atau juga seperti kami dan RevivaLTV pada konteks lokal. Amir lalu menambahkan apa yang jadi persamaan dan perbedaan antara ekosistem startup dengan ekosistem esports.

“Kalau persamaannya adalah keduanya memiliki paparan yang tinggi terhadap teknologi dan sama-sama mendapatkan keuntungan secara online. Sementara salah satu perbedaan antar keduanya adalah dari sisi stakeholder startup yang lebih beragam, seperti pelaku bisnis, konsumen, regulator, dan berbagai support system. Dari apa yang saya amati, stakeholder esports sepertinya masih didominasi oleh pemain. Selain itu, esports juga memiliki unsur sport dan bisnis sementara startup murni hanya bisnis.” Tukas Amir.

Dokumentasi Hybrid - Lukman Azis
Chief Editor Hybrid.co.id, Yabes Elia. Dokumentasi Hybrid – Lukman Azis

Dalam soal cara mendapatkan keuntungan, Yabes Elia Chief Editor Hybrid.co.id juga menambahkan bahwa sumber pendapatan ekosistem esports juga terbilang ambigu karena beririsan dengan industri game. “Misalnya dalam hal orang membeli skin. Apakah keuntungan tersebut merupakan keuntungan ekosistem esports? Karena kenyataannya memang ada juga game yang tidak memiliki esports namun tetap mendapat keuntungan yang besar dan secara online, Genshin Impact contohnya.” Ucapnya.

Jadi untuk mempertegas, Anda juga perlu tahu juga bedanya ekosistem esports dengan industri game. Industri game belum tentu berhubungan dengan ekosistem esports sementara ekosistem esports sudah pasti berhubungan dengan industri game. “Jadi esports bisa dibilang sebagai turunan dari industri gaming. Esports tidak akan bisa muncul tanpa ada industri game, sementara industri game bisa tetap hidup walau tanpa esports sekalipun.” Tambah Yabes mempertegas.

 

Dua Ekosistem yang Pelakunya Didorong Oleh Passion

Gaung kata passion begitu kuat di era internet ini. Tidak hanya dalam ekosistem esports, passion juga menjadi energi besar yang mendorong ekosistem startup sampai menjadi seperti sekarang. “Kalau di startup, faktor pendorong paling besar adalah menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat. Role model pasti ada, cuma mungkin baru ada pada sektor tertentu seperti e-commerce dan ride hailing.” Amir menjelaskan soal passion di balik ekosistem startup

Kalau Anda tergolong sebagai orang-orang yang “tech savvy“, Anda mungkin sedikit banyak ingat tentang cerita sukses startup lokal di sektor ecommerce dan ride hailing. Pada sektor ride hailing, masalah angkutan umum ojek yang harga dan keamanannya tidak jelas menjadi landasan terciptanya ladang bisnis ojek online yang kini bernilai puluhan miliar dolar AS. Sementara pada sektor ecommerce, Anda mungkin juga ingat bahwa isu pemerataan ekonomi di Indonesia menjadi landasan terciptanya platform yang berfungsi sebagai medium transaksi jual beli secara online. Seperti yang disebut Amir, keduanya memiliki satu passion yang sama yaitu untuk mengentaskan masalah yang ada di masyarakat.

Bagaimana dengan esports? Ekosistem esports juga didorong oleh rasa yang sama, passion. Bedanya passion di dalam esports adalah untuk berkompetisi dan menjadi yang terbaik. Walaupun sama-sama didorong oleh passion, namun keduanya terbilang berkembang ke arah yang… Cukup berbeda.

Hubungan baik Gojek dan transportasi publik
Walau sama sama didorong oleh passion, namun esports dan startup terbilang bergerak ke arah yang berbeda.

Perbedaan ini mungkin terbilang hanya stereotipe saja yang sebenarnya tidak menggambarkan populasi secara keseluruhan. Membicarakan ekosistem startup mungkin Anda akan ingat dengan sosok cemerlang seperti Nadiem Makarim yang pintar dan inovatif.  Lalu bagaimana dengan ekosistem esports? JessNoLimit mungkin bisa dibilang jadi salah satu stereotipe ekosistem esports, yaitu jago main game dan menghibur.

Tapi selain dua hal tersebut, tidak ada kesan lain yang tercipta dari seorang JessNoLimit. Stereotipe tersebut juga tidak bisa disalahkan, karena sport dan entertainment terbilang sebagai nafas utama dari ekosistem esports. Kalau menggunakan analogi olahraga basket, tidak mungkin orang seperti Nadiem Makarim jadi stereotipe “anak basket”. Tentu saja sosok yang jadi stereotipe anak basket adalah atlet-atlet NBA yang jago main basket dan atletis seperti LeBron James atau James Harden.

“Sebenarnya stereotipe tersebut muncul karena persaingan yang ketat di dalam ekosistem startup. Semua orang ingin menciptakan invoasi terbaik dan menguasai pasar. Target yang ingin dicapai juga begitu tinggi. Hal tersebut terjadi hampir di ekosistem startup semua kawasan karena berkaca kepada Silicon Valley yang jadi role model dari banyak startup.” Ucap Amir membahas soal stereotipe “anak startup”.

Jika melihat apa yang dijelaskan oleh Amir, bayangan saya kurang lebih jadi seperti ini. Berhubung ekosistem startup memang fokus kepada bisnis dan inovasi, tidak heran persaingan di dalamnya adalah untuk menjadi yang paling pintar dan inovatif agar bisa bersaing.

Sementara pada sisi lain, arah utama ekosistem esports adalah kompetisi dan entertainment. Karena hal tersebut, tidak heran juga kalau persaingan di dalamnya adalah untuk menjadi yang paling jago. Kalau tidak bisa menjadi yang paling jago, bisa juga menjadi yang paling menghibur agar jadi paling populer, walau memang untuk menjadi populer kadang bisa dicapai dengan cara-cara yang nyeleneh.

Sumber: Official Riot Games
Esports memang condong ke arah kompetisi dan entertainment. Tapi tanpa kualitas profesional yang mumpuni, esports akan kesulitan untuk menyajikan entertainment yang pantas. Sumber: Official Riot Games

Namun. mungkin yang sedikit mungkin patut disayangkan adalah persaingan menjadi paling jago/populer tersebut tidak dibarengi dengan profesionalitas para talenta-nya. Dalam esports, mencari orang yang jago main game atau menghibur terbilang mudah. Tetapi talenta yang jago dan punya tingkat profesionalitas yang tinggi mungkin bisa dihitung jari jumlahnya.

Masalah tersebut sudah beberapa kali diceritakan para narasumber kepada Hybrid.co.id. Muhammad Darmawan sosok shoutcaster Free Fire sempat menyebut masalah Star Syndrome sebagai salah satu faktor yang membuat beberapa tim Free Fire Indonesia jadi tidak konsisten prestasinya. Marzarian “Ojan” Sahita General Manager BOOM Esports pernah menceritakan soal sulitnya untuk mencari pemain yang punya skill serta attitude yang baik di ekosistem esports. Yohannes Siagian yang dulu sempat menjabat sebagai Vice President EVOS Esports juga memberikan pendapat yang serupa ketika membahas soal regenerasi pemain esports.

Kita sudah membahas dari sisi pemain. Lalu bagaimana dari sisi bisnis dan taletna profesional industri esports? saya sendiri cukup sering mendengar cerita kesulitan kawan-kawan saya mencari profesional suatu bidang untuk bekerja di esports. Kebanyakan fans esports/gamers memang punya passion. Tapi ya… Hanya passion main game saja tanpa dilengkapi dengan pengalaman kerja/profesional yang mumpuni. Merekrut profesional dari industri lain belum tentu juga bisa menjadi solusi. Karena menjadi profesional di industri esports terkadang masih dianggap “main-main” dan belum sepenuhnya diterima sebagai industri yang serius oleh masyarakat secara umum.

Saya juga jadi ingat cerita kawan saya yang bekerja di sebuah tim esports soal sulitnya mencari video editor dari kalangan fans esports. Kebanyakan yang melamar hanya bisa bilang bahwa mereka adalah fans tim tersebut tanpa menunjukkan kemampuan mereka sebagai video editor. Jangankan tembus sampai tahap interview, beberapa pelamar bahkan masih berada di titik belum mengerti cara mengirim lamaran kerja yang baik dan benar.

Padahal, peran profesional atau pekerja di industri esports terbilang tak kalah penting. Tanpa para profesional industri esports, tidak akan ada live-stream meriah, panggung megah, ataupun konten artikel/video/media sosial yang jadi saksi pencapaian para atlet esports.

Sumber: Blizzard Official
Tanpa para profesional, industri esports mungkin tidak akan punya panggung megah seperti ini. Sumber: Blizzard Official

Saya pun lalu bertanya kepada Amir soal bagaimana dengan keadaan pencarian talenta profesional di ranah startup saat ini. Amir pun mengatakan, “kalau bicara talent, industri startup terbilang punya demand yang lebih besar daripada supply yang ada. Soal talenta dan skill ini memang ada, tapi mulai ditutup dengan rekruitment besar-besaran dan adanya edukasi serta transfer knowledge dari banyak talenta asing.” Ucap Amir menceritakan dari sisi startup.

“Kalau dalam hal esports, mungkin memang sektor industri perlu diperluas. Selain itu, mungkin juga perlu lebih banyak role model entah dari sisi industri yang terlihat sukses. Transfer knowledge dari sisi bisnis ataupun profesional mungkin bisa menjadi salah satu solusi. Tapi gue sendiri belum paham apakah praktik tersebut bisa dilakukan juga di industri esports atau tidak.” Amir menyatakan pendapatnya untuk mengentaskan masalah talenta profesional di industri esports.

Yabes pun menambahkan, “soal transfer knowledge juga penting menurut gue. Menurut pengamatan gue, profesional/pekerja di industri esports sekarang itu kebanyakan adalah anak muda yang punya passion dan semangat besar tapi minim pengalaman kerja atau hanya orang yang itu-itu lagi. Jadi gue melihat memang perkembangan knowledge para profesional industri esports memang masih sangat terbatas.”

Memang untuk saat ini, jago main game dan menghibur adalah dua kesan yang melekat erat di dalam ekosistem esports. Mereka yang paling jago dan paling menghibur juga terbilang mendapat ganjaran finansial yang paling melimpah dibanding mereka yang pintar dan inovatif. Karena hal tersebut, saya jadi melihat posisi profesional industri esports terkesan hanya jadi sekumpulan orang-orang “limpahan” yang kurang jago ataupun kurang menghibur di ekosistem esports.

Jadi mungkin bisa saja hal tersebut jadi salah satu alasan kenapa perkembangan kualitas profesional industri esports masih terjebak di tengah-tengah. Mereka yang punya passion gaming mungkin belum cukup bersaing jika dilepas ke bidang industri lain. Sementara mereka yang sudah malang melintang di industri lain merasa gengsi masuk ke industri esports yang cenderung masih dianggap industri main-main. Padahal di lain sisi benar seperti yang dibilang Amir dan Yabes, bahwa transfer knowledge adalah hal yang penting untuk menyelesaikan masalah tersebut.

 

Melihat Ekosistem Esports dan Startup Sebagai Dua Ekosistem yang Masih Bertumbuh. 

Baik esports ataupun startup, bisa dibilang bahwa keduanya merupakan ekosistem yang masih punya ruang bertumbuh. Tetapi apa benar? Industri startup terbilang punya ruang tumbuh yang lebih besar karena ekosistem tersebut bisa berdiri di bidang apapun.

“Memang beberapa sektor terbilang sulit ditembus pemain baru, e-commerce dan ride hailing contohnya. Tapi ruang tumbuh startup terbilang masih cukup luas karena masih banyak sektor yang punya entry barrier lebih rendah karena belum ada pemain besar di sana.” Amir menceritakan pengamatannya terhadap kondisi ekosistem startup saat ini.

Sementara itu pada sisi lain, ekosistem esports mungkin terbilang sedang panas-panasnya apabila kita melihat pemberitaan ataupun prediksi dari perusahaan-perusahaan analisis industri seperti Newzoo. Tapi jika diteliti lebih dekat lagi, pilihan bidang bisnis untuk ditekuni industri esports di skena lokal terbilang cukup terbatas, setidaknya dari pengamatan saya.

Yabes pun menanggapi soal ini, “kalau industri startup memang perlu mindset problem solving untuk bisa sukses besar. Contohnya bisa kita lihat sendiri seperti perusahaan ride hailing atau ecommerce yang benar-benar mempermudah hidup dan dibutuhkan. Tapi pada sisi lain industri esports basisnya adalah hiburan. Hal yang patut disadari adalah meski hiburan memang jadi salah satu kebutuhan pokok manusia, jenis hiburan itu bukan cuma esports saja. Orang yang main game sekalipun mungkin punya jenis hiburan lain yang ia nikmati, menonton film misalnya. Gue rasa itu jadi salah satu perbedaan antara industri startup dengan industri esports.”.

Genshin Impact menjadi mobile game dengan pemasukan dalam satu minggu terbesar kedua.
Genshin Impact menjadi mobile game dengan pemasukan dalam satu minggu terbesar kedua.

Selain itu menurut pendapat saya ekosistem esports juga punya satu perkara lain yaitu ketergantungan ekosistem ini terhadap pelaku pihak pertama, sang developer game. Pernyataan ini mungkin sudah beberapa kali saya katakan. Tapi satu patut yang disadari adalah bahwa salah satu motor penggerak terbesar yang membuat ekosistem esports menjadi begitu maju belakangan ini adalah sang pengembang itu sendiri.

Coba bayangkan semisal Moonton memutuskan untuk berhenti membuat game dan berubah haluan bisnis jadi perusahaan makanan, apa kabar nasib perusahaan esports yang bergantung kepada Mobile Legends? Walaupun begitu, salah satu kelebihan lain dari ekosistem esports adalah banyaknya jumlah ragam game yang bisa dipertandingkan. Tapi tetap saja, ekosistem industri esports pihak ketiga terbilang punya kemungkinan tumbang yang lebih besar jika dibandingkan dengan developer game yang merupakan pelaku pihak pertama.

Terlepas dari hal tersebut, Yabes juga menambahkan bahwa mindset problem solving menjadi salah satu hal yang perlu bagi para pelaku bisnis esports di Indonesia. “Gue setuju soal mindset problem solving yang disebut Amir. Menurut pengamatan gue, industri esports di Indonesia cenderung punya mindset peniru. Misal bisnis EO lagi ramai, semua orang pun berbondong-bondong bikin bisnis EO. Padahal menurut gue, esports masih punya banyak problem yang bisa diatasi dan jadi peluang bisnis.”

Amir lalu menambahkan cerita soal kondisi para pelaku bisnis di ekosistem startup. “Sebetulnya sih pelaku startup yang non-mainstream juga ada. Biasanya pelaku tersebut fokusnya condong ke arah profit dibanding growth. Mereka biasanya disebut juga sebagai ‘cockroach’ di kalangan para pelaku startup. Tapi menurut pengamatan saya, jumlahnya sih terbilang masih minoritas.”

 

Pada Akhirnya

Antara esports dengan startup mungkin bisa dibilang seperti kakak dan adik yang keduanya sama-sama merupakan industri baru di era internet ini. Dalam konteks Indonesia, esports yang bisa dibilang sebagai “adik” mungkin memang harus banyak belajar dari industri startup yang bisa dibilang sebagai “kakak” karena posisinya yang lebih dulu mencuat.

Dari perbincangan dengan mas Amir, saya sangat setuju dengan mindset startup yang fokus pada growth dan problem solving. Saya melihat esports sangat butuh hal tersebut. Bagaimanapun, bisnis esports adalah bisnis teknologi yang terus-menerus butuh inovasi. Ekosistem esports mungkin tidak akan bertahan lama apabila modelnya lagi-lagi cuma menarik massa dan berharap sponsor saja. Seperti yang dikatakan Yabes, pelaku bisnis esports juga harus belajar lebih mengutamakan mindset problem solving ketimbang cuma sekadar meniru model bisnis yang lebih dulu ada.

“Menurut gue, kegigihan dan adaptasi pemain di masing-masing segmen untuk terus relevan dan berkembang harus jadi sorotan utama bagi para pelakunya.” Ucap Amir menyatakan pendapatnya terkait hal yang bisa dipelajari oleh industri startup dan esports seraya menutup perbincangan kami membahas topik tersebut.

Irisan Antara Organisasi Esports dan Klub Sepak Bola

Dalam bahasa Inggris, ada ungkapan: if you can’t beat them, join them. Hal inilah yang dilakukan oleh klub sepak bola pada esports. Walau pada awalnya dipandang sebelah mata, esports kini telah menjadi industri yang besar. Melihat hal ini sebagai kesempatan, klub-klub sepak bola pun mulai terjun ke dunia esports, baik dengan menggaet pemain profesional, bekerja sama dengan organisasi esports, atau bahkan membuat divisi esports sendiri. Dan fenomena ini juga terjadi di Indonesia.

 

Klub Sepak Bola Mana Saja yang Telah Menjajaki Esports?

Klub sepak bola pertama yang menjajaki dunia esports, menurut laporan The Esports Observer, adalah Besiktas Istanbul dari Turki. Mereka membuat Besiktas e-Sports Club pada Januari 2015. Sayangnya, tim esports itu tidak bertahan lama. Pada Januari 2016, divisi esports Besiktas dibubarkan. Namun, hal itu tidak mengurungkan niat dari klub sepak bola lain untuk masuk ke dunia esports.

Sejak 2015, ada banyak klub sepak bola yang masuk ke dunia esports. Dan masing-masing klub sepak bola punya pendekatan yang berbeda-beda. Misalnya, ketika memasuki dunia esports pada 2015, VFL Wolfsburg —  klub sepak bola yang berlaga di Bundesliga, Jerman  — memilih untuk menggandeng pemain FIFA, Benedikt “Salz0r” Saltzer. Wolfsburg bukan satu-satunya klub sepak bola yang memilih pendekatan ini. Pada Mei 2016, West ham United juga bekerja sama dengan Sean “Dragonn” Allen. Pada tahun yang sama, Manchester City juga menarik pemain FIFA profesional Kieran “Kez” Brown 

Di Indonesia, kebanyakan klub sepak bola yang masuk ke esports mengambil pendekatan ini. Sebut saja PERSIJA dan klub-klub sepak bola lain yang ikut serta dalam Indonesia Football e-League (IFeL), Liga 1 versi virtual. Para gamer profesional yang digaet oleh klub-klub sepak bola ini juga bukan pemain sembarangan. Kebanyakan dari mereka sudah berhasil menorehkan prestasi di skena esports PES, seperti Rizal “Ivander” Danyarta yang mewakili PERSIJA, Rizky Faidan yang membawa nama PSS Sleman, atau LuckyMaarif yang mewakili PERSIK Kediri.

Rizky Faidan berhasil lolos ke World Finals PSE 2019. | Sumber: Bola
Rizky Faidan berhasil lolos ke World Finals PSE 2019. | Sumber: Liga1PES

Pendekatan lain yang biasa klub sepak bola lakukan ketika mereka hendak masuk ke dunia esports adalah dengan menggandeng organisasi esports. Strategi ini masuk akal. Jika Anda hendak terjun ke industri baru yang tidak terlalu dipahami, daripada harus belajar dari nol dan melakukan segala sesuatunya sendiri, lebih mudah untuk bekerja sama dengan pihak yang sudah berkecimpung di industri tersebut.

Klub sepak bola pertama yang menggunakan strategi ini adalah Santos FC. Pada Agustus 2015, klub asal Brasil itu menggandeng Dexterity Team, yang memiliki roster di League of Legends, Counter-Strike: Global Offensive, Battlefield 4, dan Heroes of the Storm. Pada tahun berikutnya, Clube do Remo, yang juga berasal dari Brasil, menggaet Brave e-Sports, yang berlaga di Hearthstone, Heroes of the Storm, dan SMITE.

Belum lama ini, pada November 2020, AC Milan mengumumkan kerja sama mereka dengan tim esports lokal Qlash. Sementara itu, Juventus menunjuk Astralis — yang dikenal dengan tim CS:GO mereka — untuk mewakili mereka di liga PES eFootball musim 2019/2020.

Ada juga klub sepak bola yang memilih untuk membentuk divisi esports sendiri, seperti Arsenal. Namun, mereka tidak memegang manajemen dari divisi tersebut. Arsenal menyerahkan tanggung jawab penuh atas divisi esports mereka Esports Gaming League, mulai dari pencarian talenta, wawancara dengan calon pemain, sampai tanda tangan kontrak.

Menariknya, kesertaan klub sepak bola di industri esports tidak terbatas pada liga sepak bola virtual. Ada beberapa klub sepak bola yang membuat tim yang berlaga di game esports lain selain FIFA dan PES. Contohhnya adalah Schalke 04. Tim sepak bola Jerman itu membeli slot liga League of Legends Eropa dari tim esports Elemenets pada 2016. Sampai sekarang, tim esports Schalke masih berlaga di League of Legends European Championship. Pada LEC Summer 2020, mereka berhasil duduk di peringkat lima dan memenangkan US$14.802.

Schalke 04 punya tim League of Legends.
Schalke 04 punya tim League of Legends.

Contoh lainnya adalah Paris Saint-Germain. Saat ini, mereka punya tim yang bertanding di tiga game esports, yaitu Dota 2, League of Legends, dan Brawl Stars. Sebelum ini, PSG juga pernah mencoba masuk ke Mobile Legends dengan menjalin kerja sama dengan RRQ. Sayangnya, kerja sama itu hanya bertahan selama satu setengah tahun.

 

Kenapa Klub Sepak Bola Tertarik Masuk ke Esports?

Sebelum ini, Hybrid pernah membahas betapa pentingnya regenerasi pemain di dunia esports. Saya percaya, di dunia sepak bola, regerasi juga sama pentingnya, baik regenerasi pemain maupun fans. Menurut data perusahaan marketing, CSM Sport & Entertainment, umur rata-rata fans Premier League adalah 42 tahun. Sebagai perbandingan, umur rata-rata penonton esports adalah 26 tahun, berdasarkan riset yang dilakukan oleh Paper Money Grading pada 2018. Jadi, jika ditanya apa alasan klub sepak bola berbondong-bondong masuk ke dunia esports, salah satu jawabannya adalah darah muda.

“Fakta bahwa umur rata-rata fans sepak bola terus naik memaksa tim-tim sepak bola untuk memikirkan cara agar mereka bisa bertahan dan tetap relevan bagi fans generasi berikutnya. Apa yang harus klub sepak bola lakukan untuk memastikan mereka tetap menarik bagi para sponsor?” ujar Corporate Strategy Director, CSM Sport & Entertainment James Gallagher-Powell dalam ESI Digital Summer, seperti dikutip dari Insider Sport. “Melalui esports, klub sepak bola bisa membuat fans muda tertarik untuk menonton pertandingan sepak bola, yang merupakan bisnis utama mereka. Jadi, mereka bisa memastikan bahwa mereka tetap populer di generasi muda sehingga mereka tetap bisa mendapatkan untung di masa depan.”

Hal serupa diungkapkan oleh Chairman dari European Club Association dan Chairman dari Juventus, Andrea Agnelli. Tahun lalu, dia mewanti-wanti, industri sepak bola harus siap bersaing dengan industri game dan esports dalam memperebutkan hati penonton.

“Sekarang, kebiasaan para fans mulai berubah,” ujar Agnelli, lapor Goal. “Kita kini menghadapi ‘Gen Z’, digital natives yang kini mulai beranjak dewasa. Kita harus tahu bagaimana kebiasaan mereka. Kita harus sadar, kita tidak hanya bersaing dengan klub sepak bola lain, tapi juga esports, League of Legends, dan Fortnite. Ke depan, merekalah yang harus kita hadapi.”

 

PENONTON

Penonton bukan satu-satunya keuntungan yang bisa didapatkan oleh klub sepak bola ketika mereka masuk ke dunia esports. Menurut Gallagher-Powell, esports bisa menjadi sumber pemasukan baru bagi klub sepak bola di masa depan. Dia menyadari, biaya franchise liga esports besar kini ada di rentang harga US$10-50 juta, sama seperti nilai liga sepak bola Eropa sekitar 20 tahun lalu.

Memang, pada 2018, slot di League of Legends European Championship dihargai US$13 juta. Di tahun yang sama, Activision Blizzard mematok harga slot Overwatch League di US$20 juta untuk 12 tim pertama. Mereka kemudian menawarkan slot ekstra yang dihargai sekitar US$30-60 juta.

Klub sepak bola juga bisa menjadikan esports sebagai alat marketing, menurut Co-founder dan Managing Director Esports Insider, Sam Cooke. Klub yang berhasil melakukan ini adalah Manchester City. Pada September 2019, Manchester City mengumumkan kerja samanya dengan FaZe Clan. Melalui kerja sama ini, keduanya akan membuat merchandise co-branded edisi terbatas. Tak hanya itu, Manchester City juga punya pemain profesional yang mewakili mereka dalam pertandingan FIFA. Dengan begitu, para fans esports akan menjadi familier dengan nama Manchester City.

Hanya saja, esports dari game olahraga seperti FIFA dan PES masih kalah populer dari game esports MOBA dan FPS, seperti Dota 2 atau CS:GO. Menurut Remer Rietkerk, Head of Esports at Newzoo, tiga game esports yang paling populer adalah League of Legends, CS:GO, dan Dota 2. Di YouTube dan Twitch, total watched hours dari ketiga game itu mencapai 845 juta jam pada 2019. Sebagai perbandingan, total watched hours FIFA 19 hanya mencapai 8 juta jam dan FIFA 20 hanya 3 juta jam.

“FIFA adalah game yang bagus dan banyak orang yang memainkan game itu. Tapi, tidak ada fans hardcore esports yang akan setia menonton game itu selama bertahun-tahun,” kata Carlos Rodriguez, pendiri G2 Esports, dikutip dari Financial Time.

Hal yang sama diungkapkan oleh Account Director, CSM Sport & Entertainment, Debs Scott-Bowden. Aktif dalam skena esports FIFA dan PES memang bukan langkah yang buruk bagi klub sepak bola, karena mereka dapat memberikan eksposur ekstra pada sponsor. Namun, jumlah penonton game esports bola memang tidak sebanyak game esports MOBA dan FPS.

Jadi, bagi klub sepak bola yang terjun ke esports demi menjangkau audiens lebih luas, mereka sebaiknya menyeburkan diri ke skena esports dari game yang lebih populer, seperti League of Legends dan CS:GO. Dan saat ini, sudah ada beberapa klub sepak bola yang telah melakukan hal ini, seperti Schalke 04, PSG, dan FC Copenhagen. Di Indonesia, contoh tim sepak bola yang melakukan ini adalah Bali United (IOG Esports), yang memiliki tim Free Fire dan Mobile Legends.

“Strategi ini memiliki risiko yang lebih tinggi daripada sekadar masuk ke esports game olahraga, tapi keuntungan yang ditawarkan juga lebih besar,” kata Gallagher-Powell. “Game esports non-sepak bola memiliki jumlah fans yang jauh lebih banyak dari fans esports dari FIFA dan Rocket League. Jika sebuah klub ingin menjangkau audiens baru, mereka sebaiknya membuat divisi esports dari game-game yang lebih populer.”

Biaya besar jadi salah satu kendala yang harus dihadapi oleh klub sepak bola jika mereka ingin membuat tim esports dari game yang populer. Ketika tim sepak bola ingin ikut masuk dalam liga esports dengan sistem franchise — seperti yang dilakukan oleh Schalke 04 — maka mereka harus membayar biaya yang tidak kecil. Tak hanya itu, gaji dari para pemain esports League of Legends, Dota 2, atau CS:GO juga lebih mahal dari pemain FIFA atau PES. Gallagher-Powell memperkirakan, gaji seorang pemain League of Legends kelas atas bisa digunakan untuk membiayai keseluruhan tim esports FIFA.

 

Bagaimana dengan Indonesia?

Di Indonesia, klub sepak bola dan pemain esports profesional dipertemukan dalam Indonesia Football e-League (IFeL). Putra Sutopo, Head of IFeL bercerita, “Ide awal untuk IFeL itu sebenarnya karena iri dengan negara tetangga yang punya Liga 1 virtual sendiri, sementara di Indonesia belum ada. Padahal, Liga 1 di Thailand itu diikuti oleh pemain-pemain dari Indonesia. Peringkat satu sampai lima saja rata-rata didominasi oleh pemain Indonesia.”

Putra mengaku heran dengan fenomena ini. Pasalnya, dia merasa, fans sepak bola di Indonesia tidak hanya banyak, tapi juga fanatik. Dari sana, dia lalu mengambil inisiatif untuk mengajak klub-klub sepak bola Liga 1 untuk ikut serta dalam IFeL. “Respons dan hasilnya di luar ekspektasi kita,” ujarnya. “Viewers-nya banyak banget, bahkan liga tetangga saja nggak seramai itu.”

Baik tim sepak bola maupun pemain profesional tentunya memiliki fans sendiri-sendiri. Putra mengungkap, penonton IFeL adalah gabungan dari keduanya. Dia juga yakin, liga sepak bola dan liga esports bisa berjalan berdampingan, tanpa harus khawatir akan saling berebut penonton. “Kita justru bakal jadi pre-event-nya,” ujar Putra. “Misalnya, pertandingan jam 7 malam, kita bakal tanding di jam 5.”

Fans sepak bola di Indonesia cenderung fanatik.
Fans sepak bola di Indonesia cenderung fanatik.

Menurut Putra, kerja sama antara tim sepak bola dengan pemain profesional merupakan simbiosis mutualisme. Industri esports akan diuntungkan karena semakin banyak pihak yang ikut serta dalam mengembangkan industri itu, khususnya skena sepak bola virtual.

“Selain itu, karena semakin banyak klub bola yang terjun ke industri esports, hal ini juga bakal buat PSSI melek akan industri sepak bola virtual,” ungkapnya. “Menurutku, ini langkah awal yang baik untuk industri sepak bola virtual, mengingat negara kita sebenarnya masih ketinggalan sama negara tetangga dalam hal pengembangan industri esports sepak bola virtual.”

Bagi pelaku industri esports, khususnya game sepak bola, ada keuntungan lain yang bisa didapat dengan melibatkan klub sepak bola dalam liga esports, ungkap Rizki Darmawan, CEO dan Founder dari IVPL. Keuntungan itu adalah ikatan emosional. Saat ini, dia menjelaskan, alasan kebanyakan orang menonton konten game atau pertandingan esports sepak bola adalah karena mereka ingin tahu tentang tips dan trik dalam bermain atau karena mereka tertarik dengan sang pembuat konten atau pemain yang bertanding. Mereka kurang tertarik pada konten esports sepak bola itu sendiri.

Lain halnya dengan fans klub sepak bola, ujar Rizki. Mereka biasanya punya ikatan emosi yang kuat pada klub, sehingga mereka akan tetap setia mendukung tim favoritnya, tak peduli apakah tim itu menang atau kalah. Dengan melibatkan klub sepak bola di liga sepak bola virtual, diharapkan, para penonton juga menjadi lebih setia pada game sepak bola virtual itu sendiri. Karena itulah, IVPL berencana untuk bekerja sama dengan tim-tim Liga 2.

“Kami ingin tap in ke Liga 2 agar muncul emotional bond. Karena kalau sudah suka, meskipun klubnya papan bawah, seorang fan akan tetap dukung klub itu. Kami ingin memanfaatkan kedekatan emosi ini untuk sesuatu yang berbeda,” ujar Rizki. Dia membandingkan ikatan emosi antara fans klub sepak bola dengan fans seorang artis. “Apapun yang sang artis lakukan, para fans akan mau tahu. Itu formula yang ingin kami gunakan.”

Satu hal yang membedakan IFeL dan IVPL adalah IFeL fokus pada pertandingan 1v1 di PES, sementara IVPL fokus pada laga 11v11 di FIFA. Rizki mengungkap, tujuan jangka panjangnya adalah untuk membuat tim nasional sepak bola virtual.

Ketika ditanya apa keuntungan yang didapatkan oleh klub sepak bola jika mereka terjun ke esports, Rizki mengungkap, “Mereka akan mendapatkan fans baru, sumber pemasukan baru, dan bisa jual merchandise baru.” Dia menambahkan, mengurus liga virtual juga relatif lebih mudah. Alasannya, pertandingan bisa dijalankan dan ditonton dari rumah. “Jadi, Anda tidak harus datang ke kota tempat pertandingan diadakan. Hal ini akan menghemat biaya. Nanti, tinggal bagaimana cara me-manage turnamen,” ujarnya.

Senada dengan Rizki, Putra menyebutkan, masuk ke esports akan memungkinkan klub sepak bola untuk memperluas pasar mereka dan menjangkau generasi milenial. “Kalau mereka bisa memanfaatkan ini dengan baik, esports bisa jadi metode bisnis baru yang mengguntungkan untuk para klub bola,” ungkapnya. “Sayangnya, belum banyak klub-klub sepak bola di Indonesia yang mengerti bisnis model esports.”

Lebih lanjut Putra menjelaskan, ketika klub sepak bola membuat tim esports dan merekrut pemain profesional, mereka akan bisa membuat tim tersebut untuk ikut dalam pertandingan esports. “Hal ini bisa jadi pemasukan untuk klub,” katanya. “Sponsor? Karena merek mereka sudah besar, tidak begitu sulit bagi mereka untuk mendapatkan sponsor demi manajemen esports.” Dia menambahkan, klub juga bisa mendapatkan untung dari penjualan atau peminjaman pemain profesionalnya.

Untuk masalah ketidaktahuan klub sepak bola akan esports, Putra merasa, masalah ini bisa diselesaikan dengan membuka wawasan tim-tim sepak bola tentang industri esports. “Mereka seperti itu karena belum tahu bagaimana sistem bisnisnya. Makanya, perlahan dengan adanya IFeL, terbukti ada beberapa klub yang buka tim esports, seperti PERSITA,” ungkap Putra.

 

Kesimpulan

Ada beberapa alasan kenapa sepak bola bisa menjadi salah satu olahraga paling populer di dunia. Salah satunya adalah peraturan yang mudah. Alasan lainnya adalah karena bermain bola tidak memerlukan peralatan khusus. Anda hanya memerlukan bola, tempat yang cukup luas, dan tentu saja, teman bermain. Namun, sekarang, hal-hal tersebut semakin sulit untuk didapatkan. Sebaliknya, smartphone justru semakin mudah didapatkan. Tak hanya itu, ada banyak game yang bisa dimainkan dengan gratis. Jadi, jangan heran jika sebagian orang lebih memilih untuk bermain game daripada sepak bola.

Kabar baiknya, sepak bola dan game serta esports, sebenarnya tidak harus saling bermusuhan. Keduanya bisa berdiri berdampingan. Buktinya, selama pandemi virus corona, berbagai liga sepak bola dialihkan menjadi pertandingan sepak bola virtual, seperti liga di Singapura dan Malaysia.

Kolaborasi antara klub sepak bola dengan pemain esports juga terbukti menguntungkan kedua belah pihak. Jadi, daripada saling menyerang satu sama lain dan membuat perebutan penonton sebagai zero-sum game, tidak ada salahnya jika pelaku industri esports dan sepak bola justru saling membantu satu sama lain.

Feat Image: Deposit Photos

Strategi Garena Di Balik Kesuksesan Free Fire

Bahkan setelah esports menjadi populer, mobile esports sempat dianaktirikan, dipandang sebelah mata. Namun, perlahan tapi pasti, anggapan itu mulai berubah. Ekosistem mobile esports kini juga mulai tumbuh. Dan hal ini terjadi berkat kemunculan sejumlah mobile game kompetitif, baik game dengan genre MOBA seperti Mobile Legends maupun game battle royale, seperti PUBG Mobile dan Free Fire.

Faktanya, Free Fire dari Garena berhasil menyabet penghargaan mobile esports terbaik tahun ini. Lalu, bagaimana strategi Garena sehingga mereka bisa membuat Free Fire sukses di dunia?

 

Bisnis Lisensi Game Garena

Sebelum membahas tentang Free Fire, mari kita membahas sejarah Garena secara sekilas. Garena didirikan di Singapura pada 2009. Ketika itu, mereka merupakan developer game. Pada 2017, mereka mengganti nama mereka menjadi Sea Limited. Meskipun begitu, Garena masih digunakan sebagai nama divisi hiburan/game dari perusahaan itu.

Selain bisnis game, Sea juga punya dua divisi lain, yaitu layanan e-money dan e-commerce, yaitu Shopee. Dari ketiga divisi Sea, Shopee merupakan divisi dengan pertumbuhan paling pesat. Namun, hal itu bukan berarti Shopee telah mendapatkan untung. Garena, yang pendapatannya naik 61,6% pada Q2 2020, masih menjadi tulang punggung untuk Sea.

Garena sendiri punya beberapa sumber pemasukan. Salah satunya adalah licensing game. Dengan model bisnis ini, Garena akan membeli lisensi sebuah game dan merilisnya di Asia Tenggara. Beberapa game yang lisensinya Garena miliki antara lain League of Legends, FIFA Online 3 dan 4, Point Blank, Blade & Soul, Arena of Valor, dan Call of Duty: Mobile. Garena menampilkan game-game tersebut di platform distribusi digital mereka, seperti Uplay milik Ubisoft atau Origin dari EA.

Platform distribusi game milik Garena.
Platform distribusi game milik Garena.

Jika Anda memerhatikan game-game yang lisensinya Garena beli, Anda akan menyadari bahwa semua game itu punya model bisnis yang sama, yaitu free-to-play. Dengan game gratis, Garena dapat menjangkau lebih banyak gamer dengan lebih mudah. Pasalnya, di kawasan negara berkembang seperti Asia Tenggara, Amerika Latin, dan India, para gamer cenderung untuk tidak membeli game. Mereka lebih suka untuk memainkan game gratis, walau game itu menawarkan in-game purchase.

Pada 2010, Garena mendapatkan lisensi dari Riot Games untuk meluncurkan League of Legends di Asia Tenggara. Memang, League of Legends terbilang kurang sukses di Indonesia dan negara-negara tetangga. Meskipun begitu, keberhasilan Garena untuk menjalin kerja sama dengan Riot membuat mereka dikenal oleh perusahaan-perusahaan game global, termasuk Tencent.

Pada November 2018, Tencent dan Garena itu menandatangani letter of intent yang menyebutkan bahwa Garena akan menjadi opsi pertama Tencent jika mereka ingin merilis game di Indonesia, Taipei, Thailand, Filipina, Malaysia, dan Singapura. Berkat kerja sama ini, Tencent dapat merilis sejumlah game-game ternama, seperti Arena of Valor, Contra: Return, dan Call of Duty: Mobile.

Call of Duty: Mobile adalah game milik Activision. Namun, Garena bisa merilisnya di ASEAN berkat kerja sama dengan Tencent.
Call of Duty: Mobile adalah game milik Activision. Namun, Garena bisa merilisnya di ASEAN berkat kerja sama dengan Tencent.

Kerja sama dengan Tencent tentu menguntungkan Garena. Berkat kolaborasi itu, Garena tidak hanya dapat merilis game-game populer, tapi juga dapat belajar tentang cara mengembangkan game dan operasinal perusahaan dari Tencent. Nantinya, ilmu yang Garena pelajari ini akan sangat membantu mereka ketika mereka memutuskan untuk membuat game sendiri.

Tentu saja, Tencent juga mendapatkan untung. Kerja sama bisnis tidak akan bertahan lama jika tidak saling menguntungkan. Tencent melihat Garena sebagai perusahaan berpengalaman. Jadi, Tencent tak ragu untuk memercayakan peluncuran sejumlah game di Asia Tenggara pada Garena. Nilai kerja sama dengan Garena menjadi semakin tinggi bagi Tencent ketika pemerintah Tiongkok memperketat peraturan terkait game-game yang bisa diluncurkan di Tiongkok. Karena Tencent harus menunda peluncuran game-game di negara asal mereka, mereka akhirnya memutuskan untuk mencoba dan merilis game di Asia Tenggara dengan bantuan Garena.

Bisnis licensing game memang berhasil membuat Garena sukses. Hanya saja, seiring dengan berjalannya waktu, distribusi game di Asia Tenggara menjadi semakin mudah berkat keberadaan platform seperti Steam untuk game PC dan Play Store serta App Store untuk mobile. Para developer game merasa, mereka bisa merilis game mereka sendiri tanpa bantuan perusahaan perantara seperti Garena.

Karena bisnis licensing game mulai menjadi tak populer, Garena lalu memutuskan untuk membuat dan meluncurkan game sendiri. Hal inilah yang akan menjadi awal dari Free Fire.

 

Strategi Garena di Free Fire

Garena membuat studio game pertama mereka pada 2014. Ketika itu, mereka mencari developer berbakat dari Asia Tenggara dan Tiongkok. Bersama 111dots — developer asal Vietnam — Garena mengembangkan Free Fire. Game battle royale itu lalu diluncurkan pada September 2017. Mengingat game itu dibuat sendiri oleh Garena, mereka tidak lagi perlu untuk membayar biaya lisensi pada pihak developer, yang berarti mereka bisa mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari Free Fire.

Dengan cepat, Free Fire menjadi populer di Asia Tenggara dan Amerika Latin. Memang, pada awal 2017, game dengan genre battle royale tengah populer. Banyak game-game battle royale yang bermunculan. Namun, Garena dapat menggunakan strategi yang tepat sehingga mereka bisa sukses dengan Free Fire, khususnya di kawasan negara berkembang.

Salah alasan mengapa Free Fire bisa sukses adalah karena game tersebut merupakan mobile game. Pada 2017, game battle royale memang menjamur. Namun, kebanyakan developer memilih untuk membuat game untuk PC. Sementara game battle royale untuk mobile masih belum banyak. Dengan menjadikan Free Fire sebagai mobile game, Garena tak perlu bersaing dengan banyak pihak.

Selain itu, Garena juga fokus mengoptimalkan Free Fire sehingga game itu bisa dimainkan di perangkat ‘kentang’ sekalipun. Dengan ini, semakin banyak mobile gamer yang bisa dijangkau. Pendekatan Garena berbeda dengan Epic Games, yang juga merilis Fortnite untuk mobile. Versi mobile Fortnite memerlukan smartphone dengan spesifikasi yang cukup tinggi. Hal ini justru membuat game buatan Epic itu menjadi kurang populer.

Free Fire tidak menuntunt spesifikasi tinggi.
Free Fire tidak menuntunt spesifikasi tinggi.

Tak berhenti sampai di situ, Garena juga memastikan, ukuran file Free Fire tidak terlalu besar. Dengan begitu, orang-orang yang koneksi internetnya tidak terlalu bagus tetap bisa mengunduh dan memainkan game tersebut. Meskipun begitu, Garena tetap mencoba untuk membuat Free Fire tampil unik dengan menambahkan skill pada karakter. Sementara untuk masalah monetisasi, Garena menggunakan model in-game purchase. Selain itu, mereka juga menjual battle pass yang dinamai Elite Pass.

Semua faktor di atas berhasil membuat Free Fire sukses. Namun, Free Fire tidak akan bertahan sampai sekarang jika Garena tidak bisa membuat game itu tetap menarik di mata para gamer. Untuk memastikan para gamer tetap memainkan Free Fire, Garena terus memberikan update berupa campaign dan event. Selain update berkala, strategi lain dari Garena adalah fokus pada pelokalan. Memang, perusahaan asal Singapura itu tidak hanya punya kantor di negara asalnya, tapi juga enam negara lain, termasuk Indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam, Thailand, dan Taipei.

Tugas tim lokal adalah untuk memastikan kegiatan marketing dan promosi yang Garena lakukan bisa diterima dengan baik. Misalnya, di Indonesia, Garena menjadikan Joe Taslim sebagai brand ambassador dari Free Fire. Mereka bahkan membuat karakter bernama Jota yang didasarkan pada artis tersebut. Dengan begitu, tim utama Garena akan bisa fokus pada pengembangan Free Fire.

Setiap negara punya budaya dan kebiasaan yang berbeda-beda. Misalnya, soal makanan, masyarakat Indonesia cenderung makan nasi. Meskipun sudah memakan makanan kaya karbohidrat seperti pizza sekalipun, orang Indonesia tetap merasa belum makan kalau belum menyantap nasi. Begitu juga dengan game. Di Asia Tenggara, negara-negaranya adalah mobile first. Jadi, jangan heran jika mobile game sangat populer di Indonesia dan negara-negara sekitar.

Salah satu hal yang membuat Garena sukses dengan Free Fire adalah karena sejak awal, mereka memang menyasar pasar Asia Tenggara. Padahal, biasanya, perusahaan game besar justru fokus ke pasar-pasar game besar, seperti Amerika Utara, Eropa, Jepang, dan Korea Selatan. Memang, pasar game di kawasan itu besar. Namun, pasarnya sudah jenuh. Jika Garena ingin menembus pasar tersebut, mereka harus siap bersaing dengan perusahaan-perusahaan game ternama lainnya.

Namun, karena Garena fokus pada Asia Tenggara, persaingan yang mereka hadapi tidak terlalu ketat. Selain Asia Tenggara, Garena juga fokus pada pasar kawasan negara berkembang, seperti Amerika Latin dan India. Sama seperti Indonesia, India dan Amerika Latin juga merupakan kawasan mobile first. Dan keputusan Garena untuk fokus pada kawasan negara berkembang berbuah manis.

Menurut data dari Sensor Tower soal penghasilan Garena pada Q1-Q3 2020, Asia Tenggara masih menjadi kawasan yang memberikan kontribusi terbesar pada total pemasukan Garena. Negara-negara ASEAN menyumbangkan 34,6% dari total pemasukan Garena pada 3 kuartal di 2020. Amerika Latin menjadi kawasan dengan kontribusi terbesar kedua. Mereka menyumbangkan sebesar 24,5%. Posisi ketiga diduduki oleh Amerika Utara, dengan kontribusi 20,4%. Terakhir, Asia Selatan dan Asia Timur memberikan kontribusi sebesar 13%.

Pemasukan Garena selama Q1-Q3 2020.

Pemasukan Garena selama Q1-Q3 2020.

Sejak diluncurkan pada 2017, total pemasukan Garena dari Free Fire mencapai US$1,5 miliar. Sementara dari segi download, game battle royale tersebut telah diunduh sebanyak lebih dari 500 juta kali. Pada 2020, Free Fire juga diuntungkan oleh pandemi covid-19. Game itu mencetak dua rekor baru. Pada Q2 2020, jumlah pemain harian Free Fire mencapai 100 juta orang. Dan pada Juli 2020, jumlah pemain berbayar Free Fire juga mencapai rekor baru. Jumlah pemain berbayar Free Fire ketika itu mencapai lebih dari dua kali lipat dari tahun lalu.

Keuntungan yang didapatkan oleh Garena dari Free Fire tak melulu berbentuk uang. Dengan Free Fire, Garena sukses untuk menciptakan reputasi sebagai perusahaan game yang mumpuni. Karena itu, jangan heran jika mereka juga mencoba untuk masuk ke pasar game kasual. Salah satu game buatan mereka adalah Garena Fantasy Town, sebuah game simulasi bercocok tanam.

 

Bagaimana Esports Membantu Garena Sukses

Di Asia Tenggara, para gamer tidak hanya senang untuk bermain game, tapi juga menonton kompetisi esports. Menurut Niko Partners, pada 2019, 60% dari total gamer di Asia Tenggara menonton konten esports. Selain itu, Asia Tenggara juga menjadi kawasan yang industri esports-nya tumbuh paling pesat. Jadi, tidak heran jika Garena lalu memutuskan untuk mengadakan kompetisi esports dari Free Fire.

Penonton esports di Asia Tenggara.
Penonton esports di Asia Tenggara.

Turnamen esports Free Fire ternyata diminati banyak orang. Buktinya, Garena World 2018 berhasil menarik 240 ribu pengunjung offline. Pada 2019, jumlah pengunjung Garena World naik menjadi 300 ribu orang. Sementara itu, Free Fire World Series 2019, yang diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasil, berhasil mendapatkan 2 juta concurrent viewers pada puncaknya. Menurut laporan Esports Charts, viewership itu menjadi rekor concurrent viewership untuk mobile game esports.

Secara keseluruhan, kompetisi Free Fire yang diadakan sepanjang Q1 2020 berhasil mendapatkan total view sebanyak 90 juta views. Pada kuartal berikutnya, angka itu naik menjadi 120 juta views. Turnamen Free Fire Asia All-Stars 2020 saja berhasil mendapatkan 20 juta views.

Keberhasilan turnamen Free Fire untuk mendapatkan banyak penonton merupakan bukti bahwa banyak orang tertarik untuk menonton kompetisi Free Fire. Dan hal ini akan memudahkan Garena untuk mencari sponsor. Tak hanya itu, esports juga dapat meningkatkan tingkat engagement dari para pemain, yang berujung pada naiknya jumlah uang yang dihabiskan oleh para gamer. Garena mengaku, usaha mereka untuk mengembangkan esports dan komunitas berbuah manis. Pada Q3 2019, penghasilan mereka naik berkat ekosistem esports dan komunitas yang solid.

 

Penutup

Garena dapat membuat Free Fire sukses di dunia karena mereka bisa melihat tren pasar dan mengambil kesempatan yang ada. Daripada membuat game battle royale untuk PC, mereka lebih memilhi membuat game untuk mobile. Dan daripada berusaha masuk ke pasar-pasar besar yang sudah jenuh, mereka lebih memilih untuk fokus ke negara-negara berkembang. Setelah itu, mereka foksu pada pelokalan, memastikan bahwa game mereka bisa diterima dengan baik.

Free Fire mungkin sering dianggap remeh karena spesifikasinya yang memang enteng, grafik yang B saja dan gameplay yang cenderung sederhana. Namun, tak bisa dipungkiri bahwa Garena berhasil membuat game itu sukses. Hal ini menunjukkan bahwa dalam dunia game, “sukses” itu tak melulu berupa game AAA eksklusif untuk konsol terbaru.

Sumber: Niko Partners

Kenapa Orang-Orang Menonton Esports dan Dampaknya Terhadap Konsumsi Game

Esports sedang menjadi industri yang terlihat menjanjikan belakangan ini. Newzoo salah satu perusahaan riset pasar esports dan gaming terkemuka meramalkan esports akan menjadi industri senilai US$1,1 miliar pada tahun 2020. Melihat hal tersebut, agaknya jadi tidak heran apabila banyak orang memutuskan untuk berbisnis di esports setelah melihat proyeksi nilai industri yang fantastis tersebut. Ditambah lagi keadaan pandemi juga membuat kegiatan gaming cenderung jadi pilihan aktivitas pengisi waktu luang utama karena banyaknya aktivitas luar ruangan yang tidak bisa dilakukan.

Walaupun demikian, satu yang patut disadari mungkin adalah posisi esports yang terbilang sebagai perkembangan vertikal dari industri game. Walaupun esports diramalkan akan menjadi industri raksasa, tapi kenyataannya adalah tidak semua pemain game mengikuti, mengerti, atau bahkan mengetahui soal esports. Menyadari keadaan tersebut, saya pun jadi melontarkan satu pertanyaan. Kenapa orang-orang menonton esports? Jika memang esports diramalkan akan menjadi sebegitu besar, apa yang membuat esports menjadi begitu menggugah bagi orang-orang? Jika memang esports digunakan developer sebagai sarana marketing, seberapa efektif hasilnya?

 

Membahas Singkat Sejarah Kompetisi Game Sebagai Sarana Pemasaran

Sebelum menuju pembahasan utama, mari kita sedikit mundur ke belakang untuk melihat fenomena kompetisi di dalam ranah video game. Walaupun esports terlihat sangat baru dan segar, tapi kompetisi video game adalah sebuah fenomena yang sudah terjadi bahkan sejak dari tahun 1990an. Jika ingin tahu lebih lanjut Anda bisa membaca artikel saya yang membahas soal sejarah esports secara internasional atau sejarah perkembangan esports Counter-Strike di Indonesia.

Saya merasa satu perubahan esensial dari kompetisi video game di era 90an dengan esports di zaman modern adalah fungsi dan tujuan dari pembuatan kompetisi tersebut. Pada masanya, kompetisi video game dilakukan sebagai sarana marketing bagi developer/publisher game. Jika Anda ingin tahu sejarahnya dari sudut pandang budaya barat, saya menyarankan Anda untuk menonton film dokumenter berjudul High Score.

Sedikit spoiler, dari dokumenter tersebut Anda bisa melihat bagaimana kompetisi video game sudah ada sejak dari tahun 1990an di Amerika Serikat. Pada tahun 1990, perusahaan konsol game Nintendo membuat turnamen bertajuk Nintendo World Championship di Amerika Serikat. Beberapa tahun setelahnya, SEGA yang merupakan perusahaan konsol game lain asal Jepang juga tak mau kalah. SEGA pun akhirnya membuat kompetisi serupa dengan tajuk SEGA World Championship di tahun 1994.

Lompat beberapa tahun ke depan, kompetisi game masa kini berubah jadi esports. Esensi esports sebagai kompetisi video game masih tidak berubah. Namun sedikit demi sedikit, esports mengalami pergeseran fungsi. Dari awalnya yang hanya berfungsi sebagai sarana marketing developer game saja, menjadi sebuah industri yang bisa berdiri sendiri. Buktinya mungkin bisa kita lihat dari Riot Games yang menjadikan esports sebagai salah satu pilar bisnis mereka.

Karena perubahan fungsi dan tujuan, tidak heran apabila esports kini tidak lagi jadi monopoli developer game semata. Banyak pihak terlibat dan ingin terus memupuk sisi kompetitif sebuah game agar esports bisa terus bertahan hidup sebagai industri. Maka dari itu saya merasa menjawab alasan orang-orang menonton tayangan esports menjadi suatu pembahasan yang perlu, agar bisa mencapai tujuan tersebut.

Apa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut? Apakah esports masih bisa menjadi sarana marketing yang efektif? Mari kita berlanjut ke pembahasan berikutnya.

 

Alasan Kenapa Orang Orang Menonton Esports

Untuk menjawab pertanyaan tersebut saya mengutip salah satu jurnal ilmiah berjudul Does esports spectating influence game consumption (Tyrväinen, Pirkkalainen, dan Hamari 2020). Seperti apa yang tertera pada judul, inti pembahasan jurnal tersebut adalah untuk menemukan jawaban atas pertanyaan apakah menonton esports mempengaruhi konsumsi video game.

Lebih lengkap, jurnal ilmiah tersebut juga mencoba untuk mencari tahu hubungan antara tingkat konsumsi esports dengan tingkat pembelian konten in-game serta hubungan antara tingkat konsumsi video game terhadap tingkat pembelian konten in-game. Lalu untuk melengkapi pembahasan, jurnal tersebut juga membahas apa-apa saja yang menjadi alasan orang menonton esports.

Menurut sang peneliti, ada 9 faktor yang mungkin menjadi alasan orang jadi mengkonsumsi tayangan esports. 9 faktor tersebut diadaptasi dari teori bernama Motivation Scale for Sport Consumption yang kerap kali digunakan dalam ranah olahraga tradisional.

Penjelasan singkat dari 9 faktor tersebut adalah sebagai berikut: Faktor pertama adalah achievement yang menghubungkan keinginan menonton esports dengan pencapaian yang didapat oleh sebuah tim. Faktor ke-2 adalah acquisition of knowledge yang menghubungkan keinginan menonton esports dengan mengambil informasi seputar teknik permainan dari sang profesional. Faktor ke-3 adalah aesthetic appreciation yang menghubungkan keinginan menonton esports dengan keindahan estetik dari suatu pertandingan.

Sumber: Official Riot Games
Sumber: Official Riot Games

Faktor ke-4 adalah drama yang menghubungkan keinginan menonton esports dengan dinamika relasi antar para profesional. Faktor ke-5 adalah escape yang menghubungkan keinginan menonton esports dengan keinginan untuk melepas penat dari rutinitas. Faktor ke-6 adalah friends and family yang menghubungkan keinginan menonton esports karena pengaruh teman atau keluarga. Faktor ke-7 adalah physical attraction yang menghubungkan keinginan menonton esports dengan daya tarik fisik dari sang profesional. Faktor ke-8 adalah player skills yang menghubungkan keinginan menonton esports dengan keinginan melihat kemampuan main dari sang profesional. Faktor ke-9 adalah social interaction yang menghubungkan keinginan menonton esports dengan kebutuhan terhadap interaksi sosial.

Riset tersebut menggunakan 222 responden yang merupakan pemain game bersifat F2P dan dikumpulkan melalui media sosial serta forum online. Riset berhasil menemukan beberapa pengaruh positif dari indikator-indikator yang digunakan. Riset menemukan bahwa menonton esports ternyata berdampak positif kepada keinginan untuk memainkan game yang ditonton. Namun demikian, riset tidak berhasil menemukan dampak positif antara menonton esports dengan keinginan untuk membeli konten digital dari game yang ditonton. Pada sisi lain, pemain dengan keinginan bermain game yang tinggi memiliki pengaruh positif terhadap keinginan membeli konten game yang dimainkan.

Maka dari itu, riset tersebut kurang lebih berhasil menjawab pertanyaan kita di awal artikel. Esports ternyata terbilang masih cukup efektif jika digunakan sebagai sarana marketing sang developer. Walaupun demikian, esports butuh jalan sedikit berputar untuk bisa memberi dampak terhadap penjualan barang digital di dalam game (in-app purchase). Hal tersebut terjadi karena riset mengatakan bahwa esports tidak memberi dampak positif terhadap pembelian konten digital, melainkan intensitas main game yang memberi dampak positif tersebut.

Lalu, apa saja yang membuat seseorang jadi menonton esports. Riset hanya menemukan 3 faktor yang memberi pengaruh positif terhadap keinginan menonton esports. Tiga faktor tersebut adalah acquisition of knowledge, family and friends, dan escape.

Maksud temuan acquisition of knowledge dalam riset tersebut adalah bahwa salah satu alasan responden menonton esports adalah untuk mengumpulkan informasi. Dalam riset, tujuan acquisition of knowledge bermaksud dua hal yaitu mengambil informasi untuk mempelajari cara main para profesional atau mengambil informasi untuk dibagi ke dalam perbincangan antar kawan.

Dalam hal faktor family and friends, riset menemukan bahwa salah satu alasan menonton esports adalah untuk memperkuat hubungan sosial antar pertemanan. Temuan tersebut jadi menarik karena pada sisi lain, menonton esports ternyata tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap faktor social interaction. Temuan tersebut sedikit banyak bisa diartikan bahwa salah satu tujuan menonton esports adalah untuk memperkuat relasi yang sudah ada dengan orang yang dikenal (keluarga/teman) dibanding membuat relasi baru dengan orang baru. Faktor terakhir adalah temuan positif antara menonton esports dengan faktor escape. Temuan tersebut berarti bahwa salah satu alasan responden menonton esports adalah karena sekadar ingin melepas penat dari rutinitas yang mereka lakukan.

Sumber: DSResearch
Sumber: DSResearch

Memang ada banyak faktor yang menjadi alasan orang-orang menonton esports. Hybrid.co.id bersama dengan Dailysocial.id juga sempat melakukan riset terkait dalam Esports Market Trend 2019. Dari riset tersebut, kami menemukan 3 alasan terbesar orang menonton esports adalah karena untuk hiburan, ada tim favorit, atau ada pemain favorit. Dari 1.445 responden, sebanyak 57,2 persen menonton karena menggunakan tayangan esports sebagai sarana hiburan, 43,1 persen mengaku menonton esports karena ada tim favorit mereka, dan 42,1 persen mengaku menonton esports karena ada pemain favorit mereka.

Sumber: Battlefy
Sumber: Battlefy

Selain itu, Battlefy yang merupakan salah satu platform esports berbasis di Kanada juga sempat melakukan riset serupa. Dari riset tersebut ditemukan 3 alasan terbesar orang menonton tayangan esports. Faktor terbesar pertama yaitu sebesar 89 persen dari 345 responden mengaku menonton esports karena ia ingin bisa bermain lebih baik pada game esports yang ia tonton. Faktor terbesar kedua yaitu sebanyak 83 persen mengaku menonton tayangan esports karena ia turut berpartisipasi secara aktif (bermain dan berkompetisi) terhadap game esports yang ia tonton. Faktor terbesar ketiga yaitu sebanyak 58% dari total responden mengaku menonton esports karena menyukai komunitas serta budaya interaksi di dalam esports.

 

Antara Esports dan Gaming

Melihat dari temuan-temuan di atas, sepertinya kita bisa mengerucutkan alasan orang menonton esports ke dalam tiga hal. Pertama karena ingin belajar cara para profesional game terkait bermain, kedua menonton esports sebagai sarana hiburan, ketiga menonton esports sebagai sarana berinteraksi sosial.

Apabila Anda adalah seorang praktisi industri esports, Tiga alasan tersebut mungkin bisa jadi hal-hal yang Anda tanyakan kepada diri sendiri sebelum berencana membuat sebuah tayangan esports. Apakah tayangan esports Anda menghibur? Apakah tayangan esports Anda bisa dijadikan sarana belajar bagi pemain lainnya? Apakah tayangan esports Anda mendorong interaksi sosial di dalamnya?

Saya sendiri tidak bisa bilang bahwa tiga alasan tersebut akan menjadi resep jitu dalam menciptakan tayangan esports yang sukses. Namun setidaknya tiga faktor tersebut bisa menjadi landasan awal sebelum membuat sebuah tayangan esports.

Jika berkaca ke diri sendiri, saya juga merasa bahwa salah satu dari faktor tersebut biasanya juga menjadi alasan kenapa saya menonton suatu tayangan esports. Misalnya alasan saya dalam menonton tayangan Worlds 2020. Walaupun League of Legends mungkin tidak seterkenal itu di Indonesia namun saya tetap mengikuti gelaran Worlds 2020 kemarin. Salah satu alasannya adalah karena beberapa kawan saya juga mengikuti esports League of Legends. Jadi supaya bisa membicarakan hal tersebut dan tidak merasa FOMO (Fear of Missing Out) , saya pun sedikit-sedikit ikut menonton tayangan esports tersebut. Juga mengingat pekerjaan saya, menonton tayangan Worlds 2020 ternyata juga memberi inspirasi untuk membahas alasan kenapa anak muda Korea Selatan begitu mahir bermain League of Legends.

Lalu bagaimana hubungan antara esports dengan tingkat konsumsi game? Dari riset yang dilakukan kita bisa melihat bagaimana esports mempengaruhi keinginan responden dalam bermain game. Contoh kasus atas hal tersebut mungkin bisa kita lihat sendiri dari skena PUBG Mobile.

PUBG Mobile Global Championship
PUBG Mobile dan esports seakan menjadi satu kesatuan yang membuat game tersebut jadi semakin kokoh di pasar gaming dunia.

Dari data tayangan esports terpopuler bulan Agustus 2020, PUBG Mobile berhasil mengisi peringkat pertama dengan catatan 1,1 juta peak viewers. Sementara pada sisi lain, kita juga melihat bahwa jumlah pemain game PUBG Mobile terus berkembang seiring dengan usaha Tencent terus memupuk sisi kompetitif dari game tersebut. Data menunjukkan PUBG Mobile sudah diunduh sebanyak 400 juta kali dengan jumlah pemain aktif harian sebanyak 50 juta orang pada Juni 2019 ketika Tencent sudah memulai inisiatif esports game tersebut.

Data tersebut tidak bisa memastikan bahwa tayangan esports akan membuat orang jadi main game tertentu. Malah bisa jadi penonton esports PUBG Mobile adalah orang-orang yang sudah memainkan game-nya terlebih dahulu. Namun demikian, riset tersebut setidaknya memberi gambaran bagaimana esports bisa membantu developer untuk membuat para pemainnya tetap bertahan memainkan game yang mereka mainkan.

Terakhir dalam hal dampaknya terhadap tingkat konsumsi barang digital di dalam game, riset menunjukkan bahwa keinginan memainkan suatu game yang memberi pengaruh positif terhadap hal tersebut. Kembali menggunakan PUBG Mobile sebagai contoh, kita bisa melihat bagaimana game tersebut sudah mengumpulkan US$3 milllar setelah beroperasi selama sekitar 2 tahun lamanya. Esports mungkin tidak memberikan dampak langsung, namun bisa jadi punya perannya tersendiri dalam membuat PUBG Mobile jadi sukses seperti sekarang.

Pada kenyataannya ada banyak faktor yang membuat seseorang jadi bermain game/membeli konten game. Esports bisa jadi faktor besar atau malah tidak jadi faktor penting apapun. Pada satu sisi kita mungkin bisa melihat Ubisoft yang berhasil membuat Rainbow Six: Siege jadi lebih diminati para pemain gara-gara esports. Tapi pada sisi lain ada juga Mihoyo yang sukses meraup US$100 juta lewat Genshin Impact, tanpa melakukan inisiatif esports apapun.

Genre game bisa jadi variabel tambahan lain yang mungkin akan membuat pembahasan artikel ini jadi lebih panjang lagi. Pada akhirnya, kehadiran esports tetap saja berhasil menciptakan peluang tersendiri di zaman modern ini. Perkembangan teknologi mungkin bisa dibilang jadi pendorong dari perubahan yang membuat esports tak lagi sekadar menjadi sarana marketing, tetapi juga menjadi industri dengan banyak potensi yang kini bisa berdiri sendiri.

Antara Cinta dan Benci Para Fans Esports

Industri esports tengah berkembang pesat beberapa tahun belakangan. Ke depan, esports juga diperkirakan masih akan tumbuh. Salah satu alasan mengapa esports diduga akan menjadi industri besar — dengan nilai hampir US$1 miliar — adalah karena competitive gaming dipercaya akan menjadi bentuk hiburan baru di masa depan. Sama seperti bagian dari dunia hiburan lain, fans juga punya peran penting di dunia esports.

Bagi organisasi esports, sekadar memenangkan turnamen tak lagi cukup. Mereka juga harus mampu memenangkan hati fans dan mempertahankan agar fans tetap loyal dengan mereka. Jadi, jangan heran jika ada organisasi esports yang punya divisi khusus hiburan, seperti EVOS Esports dan FaZe Clan.

 

Apa yang Membuat Seseorang Menjadi Fan Organisasi Esports?

Esports kini memang sering disandingkan dengan olahraga tradisional, seperti sepak bola. Namun, alasan seseorang memilih tim esports favorit biasanya berbeda dengan alasan mereka mendukung tim sepak bola kesayangan mereka. Fans sepak bola biasanya akan memilih tim lokal untuk didukung.

Saat saya tinggal di Jakarta, The Jakmania-lah yang sering saya lihat berarak ke Gelora Bung Karno ketika Persija akan bertanding. Sementara ketika saya masih tinggal di Yogyakarta, saya kerap melihat Slemania. Memang, PSS Sleman bukanlah tim papan atas di Liga Indonesia, tapi hal itu tidak menghentikan warga Sleman dan sekitarnya untuk mendukung tim tersebut.

Ekosistem esports berbeda dengan dunia olahraga tradisional, seperti sepak bola. Di esports, hampir semua tim profesional bermarkas dari Jakarta. Namun, hal ini tidak menghentikan orang-orang di luar Jakarta atau bahkan di luar Pulau Jawa untuk menjadi fans dari RRQ atau EVOS Esports.

Fans RRQ berasal dari berbagai kota. | Sumber: Indosport
Fans RRQ berasal dari berbagai kota. | Sumber: Indosport

Namun, berdasarkan penelitian pada fans sepak bola yang dilakukan oleh John Williams, Associate Professor of Sociology di University of Leicester, diketahui bahwa para fans sepak bola sekarang tidak selalu mendukung tim lokal. Alasannya, keberadaan televisi dan internet memudahkan orang-orang untuk melihat dan mencari tahu tentang tim sepak bola manapun. Williams mengatakan, sekarang, masyarakat punya kecenderungan untuk memilih klub sepak bola yang kuat.

Di esports, ketangguhan tim jelas jadi salah satu faktor yang diperhitungkan sebelum seseorang memutuskan untuk mendukung tim itu. Tim yang sering menang biasanya akan punya fans yang lebih banyak. Selain kekuatan tim, hal lain yang mendorong seseorang untuk menjadi fan dari tim esports adalah identitas atau image yang ditampilkan oleh tim itu.

Alex Aune, fan Cloud9 yang juga menjadi moderator dari subreddit Cloud9, mengatakan bahwa dia menyukai organisasi esports tersebut karena kerendahan sikap mereka. Alasan lainnya adalah karena dia juga menyukai bagaimana Jack Etienne, pemilik Cloud 9, memperlakukan para atlet esports di bawah naungannya.

Tim League of Legends Cloud9 pada 2018. | Sumber: The Esports Observer
Tim League of Legends Cloud9 pada 2018. | Sumber: The Esports Observer

Sementara itu, menurut pemilik OpTic Gaming, Hector “H3CZ” Rodriguez, cara paling efektif untuk mendapatkan fans adalah dengan membuat audiens merasa dekat dengan roster dan bahkan staf organisasi esports. Untuk itu, dia mengunggah video setiap hari, sehingga para penonton mengetahui kehidupannya, mulai dari anak dan istrinya hingga binatang peliharaannya. Menurutnya, hal ini akan membuat para penonton merasa familier dengannya dan akhirnya, bersedia untuk mendukung dia dan timnya.

Selain itu, Rodriguez menyebutkan, organisasi esports juga bisa mendapatkan fans dengan merekrut sosok ternama dan membuat konten tentang sosok tersebut, mulai dari wawancara sampai kegiatan live streaming. Setelah sebuah tim sukses membangun fanbase, mereka lalu akan bisa fokus untuk memperkuat roster mereka.

Memang, dalam penelitiannya, Williams menemukan bahwa seseorang punya kecenderungan untuk mendukung tim yang menaungi idolanya. Misalnya, seseorang bisa setia dengan FC Barcelona karena dia menyukai Lionel Messi. Di dunia esports, seseorang bisa saja menjadi fan dari RRQ karena mengagumi Muhammad “Lemon” Ikhsan. Apalagi, di esports, seseorang fan bisa dengan mudah berkomunikasi dengan idolanya melalui media sosial.

Sayangnya, kemudahan berkomunikasi yang ditawarkan oleh media sosial dan internet ini layaknya pedang bermata dua bagi organisasi esports. Di satu sisi, tim esports profesional bisa membangun fanbase dengan lebih mudah. Di sisi lain, para fans juga bisa menggunakan media sosial untuk mencecar tim yang kalah.

 

Karakteristik Fans Esports di Indonesia

Di Indonesia, RRQ merupakan salah satu organisasi esports yang mengutamakan kemenangan. Sesuai dengan namanya, RRQ ingin menjadi “raja” di dunia esports Indonesia. Strategi ini berhasil membuat RRQ mendapatkan banyak fans. Tak hanya itu, CEO RRQ, Andraline Pauline alias AP mengatakan, fans RRQ di Indonesia cukup setia. Namun, ada harga yang harus RRQ bayar. Mereka harus bisa memenuhi ekspektasi para fans mereka.

“Risiko tim besar dengan fanbase yang juga besar ya itu, pressure-nya tinggi,” ujar AP melalui pesan singkat. “Jika kita tidak bagus, mereka juga tidak segan-segan untuk kritik. Tapi semua fans pasti ingin tim favoritnya menang.”

CEO BOOM Esports, Gary Ongko mengatakan hal yang sama: fans esports di Indonesia cukup setia. “Fans Mobile Legends pasti fans mati RRQ, fans Dota 2, juga pasti fans mati BOOM,” ujarnya pada Hybrid.co.id. “Aura di Free Fire, mau menang atau kalah, fansnya juga banyak.

Lebih lanjut, Gary mengungkap, “Ada juga fans yang loyal ke player, seperti olahraga tradisional. Paling gampang kelihatan, ya seperti InYourDream, kan fans-nya banyak. Atau fans Khezcute. Di mana Khezcute bermain, pasti organisasinya didukung. Misalnya, kalau besok Khezcute pindah ke EVOS, ya mereka ikut pindah.”

Alfi Syahrin Nelphyana alias Khezcute. | Sumber: Liquipedia
Alfi Syahrin Nelphyana alias Khezcute. | Sumber: Liquipedia

Namun, Gary tidak memungkiri, juga ada fans “karbitan” di esports, yaitu orang-orang yang hanya mendukung sebuah tim ketika tim tersebut sedang di atas angin. “Sama seperti di olahraga tradisional, ketika Anda menang, orang-orang akan mendukung atau pura-pura mendukung tim Anda,” kata Gary sambil tertawa.

Meskipun setia, fans esports Indonesia cukup menuntut, aku Gary. Jika sebuah tim kalah, tidak jarang para fans mendadak merasa lebih tahu apa yang harus dilakukan. Namun, Gary merasa, hal itu bukanlah hal yang aneh, mengingat hal serupa juga terjadi di dunia olahraga tradisional. “Ketika tim kalah, pada sok jadi manager. Padahal, ya semua give their best. Dan di kompetisi profesional, semua memang jago. Perbedaan antara menang dan kalah sangat tipis,” ujarnya.

Tak berhenti sampai di situ, jika tim unggulannya kalah, para fans juga bisa berbalik menyerang mereka. Gary bercerita, BOOM cukup sering mendapatkan ancaman, terutama ketika sedang kalah.

Gary menjelaskan, para pemain diminta untuk mengacuhkan makian dari para netizen. Selain itu, para pemain BOOM juga akan diingatkan akan “siapa yang penting dan filter outside noises,” ujar Gary. “Kalau sukses, haters banyak itu normal. Kalau lo nggak ada haters, lo nggak sukses.”

Dia menambahkan, biasanya, BOOM juga akan mengingatkan para pemainnya bahwa mereka bangga dengan pencapaian mereka. “Kita yang manajemen, keluarga lo, teman-teman lo, 100% pasti bangga sama lo. Jadi nggak usah dengarkan para hater.” Pada akhirnya, dia mengungkap, para pemain akan diingatkan, “Netizen is just netizen.”

Gary mengaku, dia tidak terlalu memedulikan ancaman itu. Memang, sayangnya, ancaman atau makian pada tim yang kalah adalah hal yang lumrah di dunia esports atau di dunia olahraga.

 

Contoh Kasus: T1

T1, organisasi esports asal Korea Selatan, belum lama ini mengalami masalah berupa harassment dari para fans. Pasalnya, mereka gagal masuk ke League of Legends World Championship. Padahal, T1 mereka baru menjuarai League of Legends Champions Korea (LCK) Spring 2020. Tak hanya itu, mereka juga memiliki Lee “Faker” Sang-hyeok, yang dianggap sebagai salah satu pemain League of Legends terbaik sepanjang masa. T1 juga menjadi organisasi esports dengan trofi Worlds terbanyak setelah memenangkan Worlds tiga kali.

Tim League of Legends dari T1. | Sumber: InvenGlobal
Tim League of Legends dari T1. | Sumber: InvenGlobal

Namun, sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya akan jatuh juga. T1 kalah dari Afreeca Freecs di LCK Summer Playoff pada awal September 2020. Hal itu berarti, mereka harus memenangkan Regional Qualifiers untuk bisa mendapatkan tiket ke Worlds 2020. Sayangnya, mereka harus bertekuk lutut di hadapan Gen.G. Dengan begitu, T1 tak bisa ikut serta Worlds 2020.

Menurut laporan Dexerto, para fans sudah mulai meradang pada Agustus 2020 karena T1 tidak memainkan Faker. Kekalahan T1 di Regional Qualifiers membuat fans semakin marah. Sebagian fans melampiaskan kemarahan mereka dengan mengirimkan ancaman pada pemain, staf, dan bahkan pemain T1. Pihak T1 lalu membahas tentang masalah ini di Twitter.

“T1 tidak bisa membiarkan segala bentuk harassment pada pemain, pelatih, staf, dan fans. Kami menghargai keberadaan fandom di komunitas kami dan menyadari bahwa kritik adalah hal yang wajar di dunia gaming profesional,” ujar CEO T1, Joe Marsh di Twitter. “Namun, kejadian belum lama ini sudah masuk ke ranah ujaran kebencian dan merupakan ancaman bagi kesehatan dan keselamatan anggota tim kami.”

Lebih lanjut, Marsh mengungkap, jika para fans terus menyerang tim dan staf T1, mereka akan membawa masalah ini ke ranah hukum. “Kesehatan dan keselamatan para pemain kami tetap menjadi prioritas utama kami,” kata Marsh. “Tidak ada ruang untuk kebencian di esports.”

 

Kenapa Fans Bisa Sangat Setia Pada Tim Favorit Mereka?

Sadar atau tidak, jati diri kita biasanya terikat dengan beberapa faktor eksternal, seperti kewarganegaraan, etnis, dan juga gender. Menariknya, menurut berbagai riset, ketika seseorang mengaku sebagai fan dari sebuah tim olahraga, maka status itu juga akan menjadi bagian dari jati dirinya. Daniel Wann, Professor of Psychology, Murray State University menjelaskan, fans sebuah tim olahraga biasanya merasa bahwa mereka punya keterikatan psikologis dengan tim kesayangan mereka. Tak hanya itu, mereka percaya, performa tim merupakan cerminan dari diri mereka.

“Jati diri seseorang terikat dengan statusnya sebagai fan dari tim X,” ujar Edward Hirt, Associate Professor of Psychological and Brain Sciences, Indiana University- Bloomington, seperti dikutip dary Psychological Science. “Dan mereka akan merasakan dampak positif dan negatif, tergantung pada bagaimana performa tim favorit mereka.” Karena itu, tidak heran jika orang-orang punya kecenderungan untuk mendukung tim yang kuat.

Hanya saja, sekuat apapun sebuah tim, pada akhirnya mereka akan kalah juga. Baik di dunia olahraga maupun di dunia esports, saya pernah melihat tim yang dielu-elukan akan juara justru tumbang di babak final atau semifinal. Pertanyaannya, kenapa para fans bisa tetap setia walau timnya kalah?

Berdasarkan riset yang Wann lakukan pada fans olahraga, salah satu alasan mengapa seseorang menjadi fan dari sebuah tim adalah karena mereka ingin mendapatkan terafiliasi dengan tim tersebut. Ketika seseorang mendukung tim olahraga lokal, mereka akan bisa dengan mudah bertemu dan bersosialisasi dengan orang lain yang juga fans dari tim tersebut. Dan hal ini memberikan dampak positif pada kesehatan psikologis seseorang.

Para fans sepak bola di Indonesia. | Sumber: Kompas
Para fans sepak bola di Indonesia. | Sumber: Kompas

Wann juga melakukan berbagai studi untuk mengetahui korelasi antara kebanggaan seseorang sebagai fan dengan kesehatan mental mereka. Dia menemukan, semakin bangga seseorang sebagai fan dari tim tertentu, semakin kecil kemungkinan dia akan merasa kesepian.

Tak hanya itu, ketika seseorang merasa bangga sebagai fan, hal ini juga memengaruhi kepercayaan dirinya. Ada penjelasan di balik fenomena ini. Berdasarkan studi yang dirilis di Journal of Personality and Social Psychology pada awal tahun 1990-an, diketahui bahwa jika jati diri seseorang terikat erat dengan statusnya sebagai fan, maka dia akan melihat kesuksesan tim favoritnya layaknya kesuksesan pribadi.

Sementara itu, Robert J. Fisher, Professor of Marketing, University of Western Ontario menjelaskan, jati diri memiliki kaitan erat dengan persepsi kita akan diri sendiri. Mengingat status sebagai fan juga berpengaruh pada jati diri seseorang, maka itu berarti, kebanggaan sebagai fan akan memengaruhi bagaimana seseorang memandang diri mereka sendiri. Tak berhenti sampai di situ, mendukung sebuah tim olahraga juga bisa menjadi cara bagi seseorang untuk menunjukkan jati diri mereka pada orang lain.

“Kita selalu berusaha untuk mencari orang atau organisasi yang menunjukkan jati diri kita pada orang lain,” kata Fisher. “kita ingin agar kita terlihat sebagai orang yang bisa membuat pilihan cerdas dan bangga akan keputusan itu.”

Jadi, jangan heran jika Anda melihat fans sepak bola membanggakan pencapaian timnya ketika mereka baru menang. Pasalnya, hal ini dapat meningkatkan rasa bangga dari para fans. Lalu, bagaimana ketika tim kesayangan mereka kalah?

Menariknya, fans tim olahraga juga punya cara tersendiri untuk tetap setia ketika performa timnya memburuk. Salah satu hal yang biasa terjadi adalah fans menyalahkan pihak ketiga, seperti wasit. Hal lain yang biasa terjadi adalah fans akan membanggakan prestasi lama dari tim kesayangan mereka. Namun, juga ada fans yang beralih mendukung tim lain ketika tim favorit mereka kalah.

 

Kesimpulan

Anda pasti pernah dengar ungkapan ini: cinta dan benci itu beda tipis. Memang, secara ilmiah, baik cinta dan benci memicu bagian yang sama pada otak manusia, yaitu insula dan pitamen. Dan hal inilah yang menjadi alasan mengapa rasa cinta seseorang bisa berubah menjadi benci atau sebaliknya.

Kecintaan seseorang sebagai fan tentu berbeda dengan cinta romantis. Namun, tidak bisa dipungkiri, rasa cinta fans pada tim kesayangannya juga merupakan perasaan yang kuat. Dan, sama seperti cinta romantis yang bisa berubah menjadi kebencian, begitu juga dengan rasa cinta fans pada tim kesayangannya.

Sumber: theScore esportsPsychological Science

Statistik Industri Game dan Esports Selama Pandemi

Banyak perusahaan yang gulung tikar akibat pandemi COVID-19. Memang, pandemi tidak hanya berdampak pada kesehatan dunia, tapi juga pada ekonomi. Akibat pandemi, Indonesia kini dinyatakan memasuki resesi. Namun, tidak semua industri mengalami masalah karena pandemi. Industri game justru tumbuh di tengah pandemi. Memang, pandemi membuat developer kesulitan untuk membuat game karena para pekerjanya harus bekerja dari rumah. Meskipun begitu, mereka diuntungkan karena semakin banyak orang yang bermain game.

 

Industri Game Selama Pandemi

Pada 2020, Newzoo memperkirakan, industri game akan bernilai US$174,9 miliar, naik 19,6% jika dibandingkan dengan tahun lalu. Angka ini lebih tinggi dari perkiraan Newzoo pada Mei 2020. Ketika itu, mereka menduga, valuasi industri game hanya akan mencapai US$159,3 miliar, dengan tingkat pertumbuhan sebesar 9,3% dari tahun 2019. Hal ini menunjukkan bagaimana industri game justru diuntungkan oleh pandemi. Memang, selama lockdown akibat pandemi, semakin banyak orang yang menghabiskan waktunya dengan bermain game.

Di dunia, Asia Pasifik masih menjadi region dengan kontribusi paling besar pada total pemasukan industri game. Kawasan Asia Pasifik menyumbangkan US$84,3 miliar atau sekitar 48% dari total pemasukan industri game global. Amerika Utara memberikan kontribusi terbesar kedua dengan kontribusi sebesar US$44,7 miliar (26% dari total nilai industri game) dan Eropa di posisi ketiga dengan kontribusi US$32,9 mliiar (19% dari total nilai industri game).

Pemasukan industri game global pada 2020, berdasarkan region. | Sumber: Newzoo
Pemasukan industri game global pada 2020, berdasarkan region. | Sumber: Newzoo

Namun, kawasan yang memiliki pertumbuhan paling tinggi adalah Timur Tengah & Afrika. Pada 2020, nilai industri game di Timur Tengah & Afrika naik 30,2% dari tahun lalu. Sebagai perbandingan, pertumbuhan industri game di Asia Pasifik hanya mencapai 17,5%, Eropa 19,9%, Amerika Utara 21,4%, dan Amerika Latin 25,2%.

Tiongkok masih menjadi negara dengan pasar game paling besar di dunia. Di Tiongkok, nilai industri game mencapai US$44 miliar. Posisi kedua diisi oleh Amerika Serikat, yang memiliki nilai pasar game sebesar US$41,3 miliar. Kedua negara ini menyumbangkan 49% dari total industri game di dunia.

Sementara itu, dari segi platform industri game terbagi menjadi tiga segmen: PC, konsol, dan mobile. Sepanjang pandemi, pemasukan untuk tiga segmen itu lebih tinggi dari perkiraan awal Newzoo. Total pemasukan dari game PC mencapai US$37,4 miliar, naik dari US$36,9 miliar. Sementara pemasukan segmen konsol naik dari US$45,2 miliar menjadi US$51,2 miliar. Mobile mendapatkan pemasukan paling tinggi, dengan total pemasukan US$86,3 miliar, naik dari perkiraan awal US$77,2 miliar.

Saat ini, mobile menjadi kontributor terbesar pada total pemasukan industri game di dunia. Dengan pemasukan US$86,2 miliar, mobile game memberikan kontribusi sebesar 49%. Sementara segmen konsol memberikan kontribusi sebesar 29% dengan pemasukan US$51,2 miliar dan PC memberikan kontribusi 22% atau sekitar US$37,4 miliar.

Pemasukan industri game di dunia, berdasarkan segmentasi platform. | Sumber:
Pemasukan industri game di dunia, berdasarkan segmentasi platform. | Sumber: Newzoo

Salah satu alasan mengapa mobile game bisa menyumbangkan 49% dari total pemasukan industri game adalah karena rendahnya barrier to entry untuk mobile game. Anda bisa menemukan banyak smartphone dengan harga yang lebih murah dari konsol, walau tentu saja, smartphone itu tidak se-powerful konsol atau PC. Selain itu, banyak mobile game yang bisa dimainkan gratis. Hal ini membuat mobile menjadi platform yang ideal bagi orang yang ingin mencoba untuk bermain game tanpa harus mengeluarkan banyak modal.

Menariknya, konsol menjadi segmen gaming yang mengalami pertumbuhan paling besar. Jika dibandingkan dengan tahun lalu, pemasukan game konsol tahun ini naik 21%. Padahal, tahun ini, Sony dan Microsoft meluncurkan konsol baru mereka, PlayStation 5 dan Xbox Series X. Biasanya, pemasukan dari game konsol akan turun menjelang peluncuran konsol baru karena gamer lebih memilih untuk menabung agar bisa membeli konsol next-gen daripada membeli game atau konsol current-gen.

 

Jumlah Download dan Pemasukan Mobile Game Selama Q3 2020

Seperti yang sudah disebutkan di atas, industri mobile game terus tumbuh sepanjang 2020. Pada Q1 2020, pemasukan mobile game naik 10,3 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun lalu. Sementara pada Q2 2020, angka pertumbuhan itu naik menjadi 27%, menurut data dari Sensor Tower. Tren ini berlanjut sampai Q3 2020.

Pada Q3 2020, pemasukan industri mobile game naik 26,7%, menjadi US$20,9 miliar. Pengguna iPhone memberikan kontribusi sebesar US$12,4 miliar atau sekitar 59,3% dari total pemasukan industri mobile game sepanjang Q3 2020. Sementara 40,7% sisanya (sekitar US$8,5 miliar) berasal dari pengguna Android. Namun, jika Anda melihat pertumbuhan pendapatan, maka Android masih lebih unggul dengan angka pertumbuhan per tahun mencapai 30,8%. Sebagai perbandingan, angka pertumbuhan pemasukan industri mobile game untuk iOS pada Q3 2020 hanya mencapai 24%.

10 game dengan pemasukan terbesar pada Q3 2020. | Sumber: Sensor Tower
10 game dengan pemasukan terbesar pada Q3 2020. | Sumber: Sensor Tower

Pada Q3 2020, mobile game yang memiliki pemasukan paling besar adalah Honor of Kings, diikuti oleh PUBG Mobile. Keduanya merupakan game di bawah Tencent. Menariknya, pada Q2 2020, kedua game ini juga menjadi dua mobile game dengan pemasukan tertingggi. Hanya saja, pada Q2 2020, PUBG Mobile duduk di nomor satu, sementara Honor of Kings ada di peringkat dua. Pada Q3 2020, pemasukan Honor of Kings dan versi internasionl dari game itu, Arena of Valor, tumbuh 65% jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu. Sementara pemasukan PUBG Mobile naik 28%.

Tak hanya pemasukan, total download mobile game pada Q3 2020 juga mengalami kenaikan. Sepanjang Q3 2020, total download mobile game mencapai 14,2 miliar, naik 28% dari Q3 2019. Android menjadi pendorong naiknya total download mobile game. Sistem operasi buatan mobile itu menyumbangkan 11,9 miliar download pada Q3 2020. Angka itu naik 36,8% jika dibandingkan dengan Q3 2019. Sebaliknya, total download mobile game di iOS justru turun 4,2%, dari 2,4 miliar pada Q3 2019 menjadi 2,3 miliar pada Q3 2020.

 

Kenapa Industri Game Justru Tumbuh Selama Pandemi?

Selama pandemi, masyarakat diminta untuk tetap di rumah. Sekolah-sekolah pun mengadakan kelas online. Sementara itu, tidak sedikit perusahaan yang menetapkan work-from-home (WFH) untuk para karyawannya. Di satu sisi, hal ini berarti orang-orang punya lebih banyak waktu luang karena tidak harus menghabiskan banyak waktunya di perjalanan. Di sisi lain, jenis hiburan yang bisa didapatkan orang-orang menjadi sangat terbatas karena mereka harus diam di rumah. Alhasil, bermain game menjadi salah satu hiburan utama bagi orang-orang selama lockdown.

Alasan lain mengapa banyak orang yang menghabiskan waktunya untuk bermain game selama pandemi adalah karena bermain game bisa menjadi cara bagi mereka untuk berkomunikasi dengan teman dan keluarga. Memang, bagi orang-orang yang sedang merantau atau tinggal jauh dari keluarga, dunia maya menjadi tempat yang aman untuk melepas rindu di tengah pandemi corona. Memang, dalam laporannya, Newzoo menyebutkan, sosialisasi merupakan salah satu alasan utama mengapa banyak orang bermain game selama pandemi.

Among Us jadi salah satu game yang populer di tengah pandemi. | Sumber: Steam
Among Us jadi salah satu game yang populer di tengah pandemi. | Sumber: Steam

Karena itu, jangan heran jika game-game yang populer di tengah pandemi adalah game online yang memungkinkan pemainnya untuk bermain bersama teman dan keluarga mereka. Sebut saja Animal Crossing: New Horizons, Fall Guys, sampai Among Us. Ketiga game itu memang menawarkan gameplay yang berbeda-beda. Namun, ketiganya punya satu kesamaan, yaitu gameplay yang memungkinkan para pemainnya untuk terhubung dengan pemain lain.

Terakhir, alasan mengapa game mendadak menjadi sangat populer adalah karena game dapat mengalihkan perhatian para pemainnya dari dunia nyata. Ketika Anda sedang bermain game, Anda tidak harus memikirkan tugas sekolah atau kuliah yang menumpuk atau pekerjaan yang harus Anda selesaikan. Di dunia game, Anda tidak perlu khawatir akan pandemi virus corona — kecuali kalau Anda sedang memainkan game Pandemic.

 

Industri Esports di Tengah Pandemi

Sama seperti industri game, industri esports juga sempat mendulang untung selama pandemi. Pasalnya, banyak kompetisi olahraga yang harus ditunda atau dibatalkan karena lockdown dan digantikan oleh turnamen esports, mulai dari basket, sepak bola, hingga bakapan. Hal ini tidak hanya membuat jumlah penonton esports naik, tapi juga membuat esports menjadi semakin dikenal masyarakat luas.

Jumlah penonton esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo
Jumlah penonton esports dari tahun ke tahun. | Sumber: Newzoo

Pada 2020, Newzoo memperkirakan, jumlah penonton esports akan mencapai 495 juta orang, naik 11,7% dari tahun lalu. Sekitar 223 juta orang merupakan esports enthusiasts sementara 272 juta orang lainnya merupakan occasional viewers. Dalam beberapa tahun ke depan, jumlah penonton esports tampaknya masih akan naik. Pada 2023, jumlah penonton esports diproyeksikan akan menembus 646 juta orang dengan pembagian 295 juta esports enthusiasts dan 351 juta occasional viewers.

Sayangnya, pandemi juga memberikan dampak buruk pada industri esports. Memang, turnamen esports masih bisa diadakan secara online. Namun, akibat pandemi, sejumlah turnamen esports besar harus ditunda atau bahkan dibatalkan. Salah satunya adalah The International. Valve memutuskan untuk menunda turnamen Dota 2 terbesar tahunan itu ke tahun depan.

Ketiadaan turnamen esports offline memengaruhi beberapa sumber pemasukan industri esports, seperti penjualan tiket dan merchandise. Dan hal ini membuat valuasi industri esports secara keseluruhan anjlok. Pada Mei 2020, industri esports diperkirakan akan memiliki valuasi US$1,1 miliar. Namun, Newzoo merevisi perkiraan tersebut menjadi US$950 juta akibat pandemi.

Beberapa sumber pemasukan industri esports pada 2020. | Sumber: Newzoo
Beberapa sumber pemasukan industri esports pada 2020. | Sumber: Newzoo

Seperti yang bisa Anda lihat pada tabel di atas, sponsorship masih menjadi sumber pemasukan nomor satu di industri esports. Dengan pemasukan US$584,1 juta, sponsorship menyumbangkan 61,5% dari total pendapaatn industri esports tahun ini. Kontributor terbesar kedua adalah hak siar media dengan kontribusi US$163,3 juta atau sekitar 17,2% dari total pemasukan industri esports.

 

Penutup

Selama pandemi, industri game justru berkembang. Tidak hanya angka penjualan game naik, begitu juga dengan tingkat engagement para gamer. Namun, belum diketahui apakah para gamer akan tetap seaktif ini setelah pandemi berakhir. Menurut Newzoo, pandemi tidak mengubah kebiasaan para gamer. Pandemi hanya membuat tren yang telah terlihat di era Sebelum Corona terealisasi dengan lebih cepat.

Satu hal yang pasti, industri game masih akan tumbuh di masa depan. Dalam waktu 3 tahun, Newzoo memperkirakan, nilai industri game akan menembus angka US$200 miliar. Pada 2023, pemasukan industri game akan mencapai US$217,9 miliar. Meskipun begitu, ada kemungkinan, industri game akan mengalami masalah jika terjadi resesi di berbagai negara akibat pandemi.

Sementara bagi industri esports, pandemi layaknya pisau bermata dua. Di satu sisi, pandemi membuat jumlah penonton turnamen esports online naik. Di sisi lain, industri esports juga dirugikan karena turnamen esports offline tak bisa diadakan. Alhasil, ada sejumlah organisasi esports yang tumbang selama pandemi.

Sumber: Newzoo, Sensor Tower,