OJK Akan Undang Kominfo Terkait Sertifikat Elektronik Sebelum Keluarkan “Surat Bukti Telah Mendaftar” untuk P2P Lending

Dua hari setelah Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH Indonesia) mengadakan konferensi pers terkait lambannya pergerakan OJK pasca menerbitkan aturan p2p lending, OJK pun akhirnya memberikan respons. Rupanya akar permasalahan yang menjadi perhatian regulator adalah pemberian sertifikat sistem elektronik (teknologi informasi/IT) yang seharusnya diterbitkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), mereka dinilai memiliki keahlian untuk menilainya.

Dalam Pasal 8 ayat e di POJK Nomor 77/2016 disebutkan bahwa penyelenggara perlu menyertakan bukti kesiapan operasional kegiatan usaha berupa dokumen terkait sistem elektronik yang digunakan dan data kegiatan operasional. Hanya saja, dalam pasal tersebut tidak disebutkan siapa pihak yang memiliki kapabilitas untuk mengukur sistem elektronik.

“Kami ingin berhati-hati sebelum terjadi masalah di depannya, untuk pihak yang mengeluarkan sertifikat sistem elektronik kami menilai bahwa Kominfo punya kapabilitas untuk mengukur itu. Untuk itu kami akan segera undang Kominfo,” ucap Deputi Komisioner Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) I Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Edy Setiadi, Jumat (24/3).

Edi menilai, sikap OJK yang sangat hati-hati memperlihatkan keinginan regulator untuk mengurangi seluruh potensi kejahatan yang bakal terjadi di kemudian harinya. Pasalnya, Kominfo dinilai lebih paham dari OJK mengenai batas sistem IT yang dibutuhkan untuk platform p2p lending, teknologi yang digunakan, bagaimana pengamanannya dan lainnya.

Setelah koordinasi dengan Kominfo selesai, Edi memastikan bahwa pemberian surat bukti telah mendaftar akan sesuai dengan tenggat waktu yang telah ditentukan sebelumnya yakni enam bulan setelah POJK diberlakukan.

“Karena sekarang kami sudah tahu permasalahannya, pemberian surat bukti tidak akan melewati batas yang telah ditentukan. Kami ingin memastikan koordinasi dengan Kominfo membuat hubungan antar kelembagaan tetap diutamakan, jangan sampai terlangkahi sebab ini yang bisa membuat suatu usaha jadi tidak sustain seperti halnya terjadi antara Go-Jek dengan Blue Bird.”

OJK pun meminta kepada AFTECH Indonesia untuk bekerja sama dalam hal menyaring perusahaan p2p lending yang berminat untuk mendaftarkan diri. Diharapkan asosiasi dapat mengidentifikasi setiap intensi yang ditujukan setiap perusahaan sebelum mengajukan pendaftaran, apakah benar-benar ingin membantu inklusi keuangan atau lainnya.

Edi menerangkan, saat ini sudah ada 23 perusahaan p2p lending yang sedang melakukan proses pendaftaran. Semuanya bergerak di bisnis p2p lending off balance sheet. Di luar itu, ada satu perusahaan yang sudah resmi terdaftar. Hanya saja perusahaan tersebut belum mengantongi sertifikat IT dari Kominfo. Edi pun enggan menyebut identitas perusahaan tersebut.

Pendaftaran melalui sistem satu pintu

Di sisi lain, Wakil Ketua AFTECH Indonesia Adrian A Gunadi meminta regulator untuk menyediakan sistem satu pintu agar pelaku usaha tidak kebingungan saat mendaftar. Menurutnya dengan adanya sistem satu pintu, akan memudahkan pelaku usaha, OJK, maupun Kominfo.

“Dengan adanya satu pintu akan memudahkan kami sebagai pelaku usaha, prosesnya jadi lebih efisien jika sertifikat IT nantinya diberikan dari Kominfo melalui OJK. Pelaku hanya berkoordinasi saja dengan OJK, tanpa harus menghubungi sendiri Kominfo,” katanya.

Asosiasi Fintech Desak OJK Keluarkan “Surat Pernyataan Telah Mendaftar”

Pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH Indonesia) mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) untuk lebih serius menunjukkan komitmennya dalam membangun industri fintech, khususnya usaha p2p lending. Tiga bulan sejak dikeluarkannya POJK Nomor 77/2016 belum ada perkembangan signifikan dalam hal jumlah perusahaan fintech yang mendapat izin usaha dari OJK.

Hingga Maret 2017, baru tercatat 27 perusahaan fintech dengan skema p2p lending dan crowdfunding yang telah mendaftarkan diri untuk menjadi badan usaha. Dari jumlah tersebut, hampir seluruhnya baru menerima tanda bukti terima dokumen pendaftaran saja tapi belum menerima surat keterangan telah mendaftar. Belum adanya respon dari OJK menjadi penghambat bagi proses pengajuan perizinan usaha selanjutnya.

Berdasarkan salah satu poin POJK Nomor 77/2016, disebutkan bahwa dalam waktu enam bulan setelah POJK diberlakukan, perusahaan diwajibkan mengajukan pendaftaran dengan syarat memiliki modal disetor minimal Rp1 miliar untuk perusahaan fintech yang sudah berbentuk PT atau koperasi.

Setelah itu, modal disetor dinaikkan jadi Rp2,5 miliar untuk mengajukan perizinan saat perusahaan telah mengantongi surat pernyataan telah mendaftar maksimal satu tahun setelah penyelenggara terdaftar di OJK.

“OJK memberikan batas waktu enam bulan sejak dikeluarkannya POJK No.77/2016 bagi perusahaan P2P lending untuk melakukan pendaftaran. Pelaku usaha tinggal memiliki waktu sebentar lagi untuk memenuhi aturan ini. Untuk itu diharapkan OJK bisa segera memberi kejelasan terkait aturan ini,” ucap Direktur Eksekutif Kebijakan Publik AFTECH Indonesia Ajisatria Suleiman, Rabu (22/3).

Ketidakjelasan ini berdampak pada kinerja perusahaan. Pasalnya, membuat gerak bisnis perusahaan fintech p2p lending jadi sedikit terbatas ketika ingin ekspansi ke luar Jakarta. Contohnya, terjadi dalam rencana ekspansi yang ingin dilakukan Investree ke Jawa Tengah.

CEO Investree Adrian A Gunadi mengatakan karena perusahaan belum mengantongi surat keterangan telah mendaftar, membuat pihaknya harus mengundur rencana ekspansinya tersebut.

“Saat kami ingin ekspansi ke Jawa Tengah, kami melakukan koordinasi dengan OJK setempat. Namun rupanya koordinasi belum dengan OJK pusat belum selesai, akhirnya Investree harus hold rencana ekspansi sampai ada arahan yang jelas. Kami sebenarnya bisa saja ekspansi, namun spirit awalnya adalah comply dengan regulasi,” terang Adrian yang juga merupakan Wakil Ketua AFTECH Indonesia.

Solusi yang ditawarkan AFTECH Indonesia kepada OJK terkait hal ini adalah menerbitkan Surat Edaran OJK (SE OJK) untuk memperjelas alur pendaftaran dan perizinan.

Ajisatria menegaskan bahwa pelaku usaha p2p lending memiliki komitmen yang penuh untuk mematuhi peraturan dari OJK, termasuk mematuhi iuran tahunan sebagaimana yang berlaku di sektor jasa keuangan lainnya.

Secara industri, Adrian diperkirakan total outstanding dari seluruh pemain bisnis p2p lending dari 2016 hingga Maret 2017 kisaran Rp300 miliar. Sementara itu, secara year-to-date (ytd) dari Januari-Maret 2017 sekitar Rp100 miliar. Adrian menargetkan sepanjang tahun ini, total pinjaman yang disalurkan dapat mencapai kisaran Rp400 miliar.

Investree: Tingkat Kepercayaan Konsumen terhadap Bisnis “P2P Lending” Mulai Meningkat

Konsep bisnis peer-to-peer (P2P) lending di Indonesia terbilang masih sangat baru, apalagi sampai saat ini belum ada regulasi yang menjadi payung hukumnya. Berbeda kondisinya di Amerika Serikat, konsep bisnis ini sudah dikenal sejak 2009 silam. Kendati demikian, dari hasil pantauan kinerja yang dijabarkan oleh Investree, penyedia layanan P2P lending marketplace, tercatat jumlah penyaluran pinjaman sudah mencapai angka 22,2 miliar Rupiah per 28 September 2016.

Lebih dalam dijabarkan, dari total penyaluran sekitar 16,1 miliar Rupiah diantaranya adalah pinjaman lunas terbayarkan. Dari portofolio penyaluran, didominasi oleh industri kreatif sekitar 38%, outsource 25,3%, katering 20%, dan sisanya industri lainnya. Adapun untuk gagal bayar (default) 0% dan rata-rata tingkat pengembalian sebesar 19,1%.

Adrian A Gunadi, Co-Founder dan Chairman Investree, menjelaskan dari pencapaian tersebut menjadi indikasi bahwa respons masyarakat terhadap model bisnis P2P sangat membantu mereka untuk mendapatkan pinjaman. Sebab, banyak pengusaha yang sebenarnya bankable namun belum tersentuh oleh perbankan karena bisnisnya yang tidak memiliki fixed asset untuk dijadikan jaminan (collateral).

Saat awal Investree berdiri, lanjutnya, untuk mendapatkan pendana (lender) butuh waktu berhari-hari. Kini hanya dalam hitungan menit, peminjam (borrower) sudah bisa mendapatkan dana pinjaman. Selain itu, untuk meningkatkan kepercayaan konsumen, Investree mengadopsi azas transparansi. Artinya, seluruh transaksi akan terlihat dan bisa dipantau secara real time.

“Dengan transparansi, seluruh lender dan borrower dapat memantau secara real time dan online. Ini bisa meningkatkan kepercayaan, meski saat ini belum ada payung hukum untuk bisnis P2P belum ada,” ujarnya, Rabu (28/9).

Untuk meningkatkan kepercayaan lender, Investree juga menerapkan proses analisis credit scoring untuk mitigasi bisnis borrower dalam mencegah terjadinya default. Ada banyak variabel pengukuran yang dilakukan, salah satunya scoring lewat media sosial. Setelah itu, Investree akan menetapkan berapa besar bunga yang diberikan untuk borrower sesuai dengan grade-nya.

Adapun besaran bunga di kisaran 1,2%-2,5%. Sementara, imbal hasil (return) yang ditawarkan untuk lender sekitar 14%-20% per tahunnya. “Selain itu, kami juga memiliki skema pinjaman bisnis lewat invoice financing untuk produk business loan. Meski borrower adalah perusahaan skala kecil, apabila sudah memiliki invoice dari perusahaan skala besar mereka bisa mendapat pinjaman dari kami. Skema ini juga menjadi salah satu cara mitigasi kami.”

Menurut Adrian, kinerja yang sudah dicapai Investree terhitung cukup memuaskan. Pasalnya, perusahaan baru resmi beroperasi pada Mei 2016. Untuk itu, pihaknya optimis memasang target lebih tinggi, sampai Juni 2017 jumlah penyaluran pinjaman diharapkan dapat menembus angka 100 miliar Rupiah.

Untuk bisa menembus target, pihaknya memerlukan jumlah borrower hingga 3x lipatnya dari total sekarang. Sebab secara rerata per lender biasanya meminjamkan uangnya sebesar 10 juta Rupiah. Agar angka lender terus bertambah, pihaknya akan gencar melakukan edukasi ke berbagai komunitas di industri dan banyak menggaet perusahaan skala besar.

Investree juga mengadakan program reward berbentuk komisi untuk lender atau borrower aktif yang aktif mengajak teman, saudara, atau koleganya bergabung sebagai anggota.