Airbus Ingin Kecerdasan Buatan Bisa Menggantikan Pilot Pesawat di Masa Depan

Sejak idenya diajukan beberapa tahun silam, konsep mobil tanpa pengemudi terus digodok terlepas dari sejumlah rintangan dan insiden. Driverless car kembali mendapatkan sorotan di CES 2019 awal Januari kemarin, dan perkembangannya berpotensi jadi lebih pesat dengan kehadiran 5G. Konektivitas seluler generasi baru ini dipercaya dapat membuat pengalaman berkendara lebih aman dan nyaman.

Namun apa jadinya jika teknologi otonom diimplementasikan pada jenis transportasi umum yang mampu menampung lebih banyak penumpang dan mengangkut mereka melewati jarak lebih jauh? Di konferensi Digital Life and Design yang dilangsungkan di kota Munich hari Minggu kemarin, Grazia Vittadini selaku chief technology officer Airbus mengungkapkan harapannya pada Bloomberg agar kecerdasan buatan bisa bertambah pintar lagi sehingga pesawat terbang komersial tak lagi membutuhkan pilot.

Di ranah penerbangan, sistem autopilot memang bukan sesuatu yang baru. Namun sepenuhnya mengandalkan artificial intelligence bisa merevolusi industri ini, terutama jika teknologinya sudah benar-benar aman dan konsumen dengan lapang dada mau menerimanya. Sebagai langkah awal, Vittadini menyampaikan bahwa kehadiran AI canggih di pesawat dapat membebaskan pilot dari rutinitas membosankan.

Mayoritas pesawat terbang komersial saat ini dioperasikan oleh dua pilot. Matangnya kecerdasan buatan memungkinkan perusahaan maskapai mengganti seorang pilot dengan komputer, sehingga prosedur penerbangan jadi lebih efisien.

Bagi maskapai, eksistensi dari dukungan kecerdasan buatan tentu saja sangat berdampak pada ongkos operasional. Berdasarkan laporan dari bank investasi UBS di tahun 2017, industri aviasi mengeluarkan modal lebih dari US$ 30 miliar per tahun untuk menghidupi pilot-pilot mereka. AI juga berpeluang meningkatkan efisiensi pemakaian mesin dan menghemat konsumsi bahan bakar.

Pesawat-pesawat bersistem otonom juga memberikan jawaban atas masalah kurangnya suplai pilot. Ada banyak maskapai merasakan sulitnya merekrut penerbang baru, sedangkan pilot-pilot mereka sendiri mulai menua. Beberapa perusahaan kadang menginginkan penerbang bekas anggota militer, padahal secara keseluruhan, ada penurunan minat terhadap dunia aviasi.

Teknologi penerbangan otonom sebetulnya sudah lama dimanfaatkan di ranah militer, dan berkat kehadiran drone fotografi/videografi, secara teknis ia telah tersedia buat publik. Yang sulit adalah jika skalanya diperbesar ke segmen transportasi umum. Pertama, kecerdasan buatan untuk pesawat terbang harus melewati banyak sekali proses uji coba dan sertifikasi. Kedua, maskapai harus bisa meyakinkan calon penumpangnya bahwa pesawat tanpa pilot tetaplah aman.

Dari hasil survei UBS, hanya 17 persen dari total 8.000 responden yang berkenan naik ke pesawat tanpa pilot.

Via Digital Trends.

Compact Luggage Strategy App, Inovasi untuk Dunia Penerbangan dari Mahasiswa Indonesia di Perancis

Perusahaan pesawat Airbus beberapa waktu lalu mengumumkan pemenang dari ajang kompetisi global yang diadakannya bertajuk “Fly Your Ideas”. Hal yang menarik dari kompetisi ini salah satu dari finalis adalah tim mahasiswa asal Indonesia. Dalam perlombaan yang diadakan dua tahunan ini, 350 karya dari seluruh dunia diadu.

Tim yang berisi mahasiswa Indonesia bernama PassEx mewakili Institut d’Administration des Enterprises IAE Toulouse, Perancis. Tim tersebut diketuai oleh Raisa Rico, seorang mahasiswi pascasarjana jurusan manajemen di kampus tersebut. Raisa ditemani dua rekannya dalam kompetisi ini, yakni Mukhtar Amin seorang mahasiswa pendidikan pascasarjana Teknik Penerbangan di ISAE Supaero dan Dicky Adhitya Dwiantoro seorang mahasiswa Global Navigation Satellite System di Ecole Nationale de l’Aviation Civile (ENAC).

“Tim PassEx ingin memperkenalkan kemampuan mahasiswa Indonesia di bidang teknologi kepada pelaku industri di Eropa agar Indonesia tidak hanya dikenal dengan budayanya tapi juga SDM yang unggul di bidang teknologi,” ujar Raisa.

Solusi yang dikembangkan Raisa dan tim adalah Compact Luggage Strategy (CLS) Mobile App. Karyanya merupakan sistem boarding revolusioner yang menggunakan aplikasi ponsel real-time untuk menentukan status boarding masing-masing penumpang, termasuk menyesuaikan dengan ukuran barang bawaannya. CLS mencoba membantu mengatasi masalah penyimpanan di kompartemen atas kepala dengan mendistribusikan posisi penumpang di pesawat sesuai dengan ukuran barang bawaan masing-masing.

Raisa tertarik dengan bidang penerbangan karena dia percaya bahwa industri penerbangan dapat membantu menghubungkan pulau-pulau di Indonesia dan memajukan daerah-daerah yang belum terjangkau oleh pemerintah. Begitu juga dengan Dicky dan Mukhtar. Keduanya menyukai bidang penerbangan karena mereka memiliki passion yang kuat di bidang satelit navigasi dan juga penerbangan. Di samping itu, Dicky menambahkan bahwa pasar industri satelit navigasi sedang meningkat drastis sehingga memungkinkan peluang karier di Eropa ke depannya.

Kompetisi yang juga diinisiasi berkat kerja sama dengan UNESCO ini menantang para finalis untuk menjawab salah satu dari tantangan yang dilombakan, yakni mengajukan solusi berkelanjutan seputar model bisnis alternatif, pengalaman terbang penumpang, dan operasional penerbangan. Para peserta berebut untuk meraih hadiah utama uang tunai senilai 30.000 euro atau senilai 435 juta rupiah.

Tim mahasiswa asal Indonesia tersebut akan bertanding pada laga final yang akan diadakan di Perancis berhadapan dengan finalis lain dari Australia, Perancis, Hong Kong, Nigeria, dan Inggris. Sesi final akan menghabiskan satu minggu di fasilitas Airbus ProtoSpace untuk mengembangkan purwarupa, menguji, serta memvisualisasikan ide mereka menggunakan perlengkapan canggih dengan dipandu oleh Airbus secara personal.

Pada akhir minggu mereka di Toulouse, para mahasiswa ini akan mempresentasikan proyek inovatif dan purwarupa mereka di depan sebuah panel yang terdiri atas sejumlah ahli Airbus dan tokoh-tokoh dunia penerbangan maupun akademisi.

Airbus Pop.Up Adalah Konsep Mobil Terbang Bersifat Modular

Berkat pengaruh film-film Hollywood, kita dapat mengimajinasikan kota utopia di masa depan yang lalu lintasnya diisi oleh mobil terbang. Khayalan kita ini tidak cuma didasari oleh faktor keren saja, tetapi mobil terbang pada prinsipnya juga bisa menjadi salah satu solusi kemacetan.

Berangkat dari pola pemikiran semacam itu, produsen pesawat Airbus mengungkap konsep mobil terbang hasil kolaborasinya dengan Italdesign. Dijuluki Pop.Up, ia merupakan kendaraan bermotor elektrik yang modular, alias bisa digunakan di darat maupun di udara.

Komponen dasar Airbus Pop.Up bersama modul darat dan modul udaranya / Italdesign
Komponen dasar Airbus Pop.Up bersama modul darat dan modul udaranya / Italdesign

Komponen dasar Pop.Up sendiri adalah bodi monocoque berbentuk seperti kapsul yang terbuat dari bahan serat karbon. Dengan panjang 2,6 meter, lebar 1,5 meter dan tinggi 1,4 meter, Pop.Up dapat mengakomodasi dua penumpang dewasa tanpa kesulitan. Dari situ penumpangnya tinggal memilih ingin menggunakan modul darat atau udara.

Modul daratnya pada dasarnya merupakan sasis beroda empat yang ditenagai oleh baterai. Modul udaranya di sisi lain terlihat seperti drone raksasa, dengan total 8 baling-baling yang diposisikan sepasang demi sepasang di keempat lengannya.

Tidak hanya itu, aspek modular Pop.Up juga membuka potensi penggunaan yang lain, misalnya dengan modul kereta di atas rel. Italdesign bahkan telah merancang Pop.Up supaya bisa diintegrasikan dengan sistem Hyperloop.

Airbus Pop.Up diproyeksikan sebagai salah satu solusi kemacetan lalu lintas di masa depan / Italdesign
Airbus Pop.Up diproyeksikan sebagai salah satu solusi kemacetan lalu lintas di masa depan / Italdesign

Sebagai kendaraan masa depan, tentu saja sistem kemudi otomatis berbasis AI menjadi salah satu senjata andalan. Tidak cuma memahami beragam rute beserta alternatifnya, platform AI ini juga mampu mengenali penumpang beserta keinginannya masing-masing, dengan interaksi yang mengandalkan dialog dalam lingkungan virtual.

Tentu saja Anda tidak boleh berharap Airbus Pop.Up bisa jadi kenyataan dalam waktu dekat. Ini semua baru sebatas konsep, namun sekali lagi setidaknya bisa menjadi gambaran akan masa depan dunia otomotif.

Sumber: TechCrunch dan Italdesign.

Airbus Manfaatkan Drone untuk Mempercepat Proses Inspeksi Pesawat

Satu lagi bukti bahwa tren drone tidak hanya populer di kalangan penghobi saja, tetapi juga di bidang profesional. Produsen pesawat asal Perancis, Airbus, belum lama ini mendemonstrasikan bagaimana mereka melakukan inspeksi visual terhadap pesawat tipe A350 menggunakan drone.

Apa yang salah dari metode inspeksi tradisional sampai-sampai Airbus berpikiran untuk memakai drone? Jawabannya adalah efisiensi waktu. Metode inspeksi tradisional yang dilakukan oleh petugas ahli biasanya memakan waktu sekitar dua jam, sedangkan dengan menggunakan drone waktu inspeksi bisa dipangkas hingga menjadi 10 – 15 menit saja.

Lebih lanjut, metode inspeksi menggunakan drone ini otomatis juga menghapuskan resiko cedera petugas yang sebelumnya harus naik ke bagian atas pesawat. Lalu apakah ini berarti petugas inspeksi bakal kehilangan pekerjaannya? Tidak, mereka dan drone akan saling melengkapi.

Dalam proses inspeksi, drone akan menangkap sekitar 150 foto untuk memberikan gambaran yang merinci terkait kondisi fisik pesawat. Foto-foto ini kemudian digabungkan menjadi model tiga dimensi untuk dianalisa oleh petugas inspeksi. Inilah yang dimaksud dengan saling melengkapi itu tadi.

Meski drone-nya memiliki fitur semi-autopilot, Airbus masih menugaskan seorang pilot drone untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana / Airbus
Meski drone-nya memiliki fitur semi-autopilot, Airbus masih menugaskan seorang pilot drone untuk memastikan semuanya berjalan sesuai rencana / Airbus

Drone yang dipakai oleh Airbus sendiri merupakan AscTec Falcon 8 buatan Ascending Technologies. Ia dapat mengudara dan mengambil gambar dengan sendirinya berkat teknologi Intel RealSense 3D, namun Airbus masih menugaskan seorang pilot drone untuk memastikan tidak ada kesalahan.

Menancap pada drone tersebut adalah kamera mirrorless Sony A7R dengan lensa 35 mm f/2.8. Sensor full-frame beresolusi 36,4 megapixel-nya sanggup menghasilkan gambar yang mendetail untuk kemudian diolah menjadi model 3D.

Sejauh ini Airbus masih dalam proses menyempurnakan metode inspeksi menggunakan drone sampai paling tidak akhir tahun 2016. Setelahnya, Airbus berencana mengimplementasikan metode ini pada tipe pesawat lainnya seandainya semua berjalan lancar.

Sumber: Digital Trends dan Airbus.