Jack Ma Dimungkinkan Gagal Menjadi Penasihat Ekonomi Urusan E-commerce Indonesia

Awalnya menyetujui, namun kini beredar kabar bahwa Pendiri Alibaba Group Jack Ma sudah digarap lebih dulu oleh Pemerintah Malaysia untuk mendampingi perkembangan e-commerce di negeri tersebut. Berita ini juga telah dikonfirmasikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara seperti yang dilansir dari Kompas.

“Kita sudah ribut-ribut sih, akhirnya kalah kan sama Malaysia. Mereka duluan. Sudah ada foto Jack Ma salaman dengan PM Malaysia,” ujar Rudiantara.

Hal ini sedikit mengejutkan ketika pemerintah Indonesia akhirnya mengeluarkan paket kebijakan ekonomi ke-14 Kamis (10/11). Dalam Perpres tentang Peta Jalan layanan e-commerce yang segera terbit ini, terdapat 8 aspek regulasi yang di antaranya adalah meliputi, pendanaan, perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan dan sumber daya manusia, logistik, infrastruktur, keamanan siber dan yang terakhir Pembentukan Manajemen Pelaksana yang secara sistematis dan terkoordinasi akan melakukan monitoring dan evaluasi implementasi peta jalan layanan e-commerce.

Rudiantara enggan menyebutkan mengapa pada akhirnya Jack Ma gagal menjadi penasihat ekonomi pemerintah, khususnya untuk urusan e-commerce. Namun bisa dipastikan terlambatnya ketegasan dari pemerintah Indonesia berasal dari pro dan kontra yang ada di tanah air usai kunjungan Presiden Joko Widodo pada bulan September 2016 lalu ke kantor pusat Alibaba Group di Hangzhou, Provinsi Zhejiang, Tiongkok.

Penggiat startup mendukung kehadiran Jack Ma

Sebelumnya DailySocial sempat mengadakan survei kecil-kecilan dan menanyakan kepada penggiat startup dan asosiasi tentang rencana pemerintah Indonesia menjadikan Jack Ma penasihat untuk urusan e-commerce di Indonesia. Kebanyakan dari mereka menyambut baik bahkan mengharapkan bakal mendapatkan insight menarik terkait dengan pengalaman dan strategi yang dimiliki oleh Jack Ma.

Namun demikian banyak juga praktisi dan kalangan lainnya yang ternyata kurang menyambut baik kehadiran Jack Ma di Indonesia, dengan berbagai alasan tentunya. Mulai dari bakal mengganggu layanan e-commerce lokal hingga kekhawatiran isu keamanan negara.

Namun demikian pemerintah diwakilkan oleh Kemenkoinfo tetap mendukung 100% kehadiran Jack Ma di Indonesia. Dengan gagalnya Jack Ma meramaikan industri e-commerce di Indonesia hal tersebut cukup menghambat rencana pemerintah untuk mengembangkan layanan e-commerce di tanah air. Untuk itu Rudiantara menegaskan masih berusaha untuk minta bantuan dalam hal insight atau nasehat langsung dari tokoh yang dikenal secara global ini. Rudiantara akan berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution terlebih dahulu terkait hal itu.

“Nanti ada steering committee, anggotanya menteri. Mereka akan mendapatkan masukan, baik dalam maupun luar negeri, internasional. Masukan bisa dari siapa saja, salah satunya Jack Ma,” ujar Rudiantara.

Kuda Trojan Alibaba bagi Asia Tenggara

Sudah enam bulan berlalu sejak Alibaba mengakuisisi Lazada, platform ecommerce paling populer di Asia Tenggara. Sejak terbitnya berita ini, para pengamat dan kritikus mendebatkan baik tidaknya kerja sama ini bagi kedua belah pihak, bagaimana hal ini akan mempengaruhi para rival seperti MatahariMall, Tokopedia dan Orami, dan bagaimana wilayah ini nantinya akan dibanjiri oleh produk murah asal Tiongkok.

Sementara itu, para pendiri startup dan VC saling menepuk pundak masing-masing karena hal ini telah menaruh wilayah Asia Tenggara di peta persaingan global dan diharapkan bisa merangsang lebih banyak pendanaan dan exit perusahaan di masa di depan.

Namun demikian, semua orang sepertinya lupa untuk berpikir lebih jauh dari hanya observasi superfisial semata. Akuisisi Lazada oleh Alibaba lebih dari sekadar menumbuhkan GMV (gross merchandise value) ritel mereka, membuktikan bahwa Jack Ma adalah Jack Ma dan mengapa ia selalu beberapa langkah di depan dalam permainan ini. Mereka yang merayakan berita ini, khususnya yang berada di sektor ritel, mungkin akan berakhir mengigit lidah mereka sendiri.

Peter Thiel, PayPal, dan Pentingnya Distribusi

Peter Thiel mendirikan PayPal pada tahun 1998 dan membangunnya menjadi salah satu platform pembayaran terbesar di dunia dengan 145 juta pengguna aktif bulanan yang memproses hingga 9 juta transaksi per hari. PayPal menjadi perusahaan publik pada tahun 2002 dan kemudian diakuisisi oleh eBay dengan harga $1.4 milyar. Setelah tumbuh lebih besar dari eBay, PayPal kemudian memisahkan diri dari eBay pada tahun 2015 dan melakukan IPO keduanya, menjadikan perusahaan ini bernilai $46.6 milyar dan membuatnya melampaui nilai pasar eBay yang ‘hanya’ $34 milyar.

Namun demikian, tanpa eBay, PayPal mungkin tidak akan eksis hari ini. Dalam bukunya ‘Zero to One’, Peter Thiel bercerita bagaimana PayPal hampir gagal jika bukan karena keberuntungan mereka bertemu dengan apa yang kemudian akan menjadi channel distribusi terbesar mereka, mesin pertumbuhan, dan kemudian pengakuisisi: eBay.

PayPal fokus untuk menargetkan Power Seller yang dimiliki eBay — yang bertanggung jawab akan banyaknya pesanan melalui eBay — dan kemudian menambahkannya dengan membayar mereka untuk setiap pendaftaran pengguna dan undangan ke teman, secara efektif menjadikan PayPal sebagai sebuah platform pembayaran mainstream.

Tidak heran jika Peter Thiel merupakan seorang advokat yang mengutamakan distribusi, di samping membangun produk yang hebat.

“Distribusi yang buruk – bukan produk — adalah penyebab kegagalan nomor satu. Jika Anda bisa membuat satu saja channel distribusi bekerja dengan baik, Anda bisa memiliki bisnis yang hebat. Jika Anda mencoba beberapa namun tidak menguasai satu pun, Anda akan gagal.” tulis Thiel.

eBay mengakselerasi pertumbuhan PayPal karena jangkauan dan kecepatan transaksinya — pemakaian yang tinggi menjadikan perusahaan pembayaran terus berkembang. Distribusi adalah apa yang dibutuhkan Alibaba dari Lazada. Namun untuk apa? Tentu saja bukan untuk produk murah asal Tiongkok.

Di Dalam Perut Sang Raksasa

Dalam waktu yang kurang lebih bersamaan dengan akuisisi PayPal, eBay juga berusaha mendapatkan market share lebih di Tiongkok melalui investasi yang berkembang menjadi akuisisi dari perusahaan EachNet di 2002, yang pada saat itu adalah marketplace C2C terbesar di Tiongkok.

Merespon hal ini, Alibaba meluncurkan Taobao pada May 2003 yang kemudian mengalahkan EachNet dalam menjadi marketplace ecommerce C2C terbesar di Tiongkok. Dalam waktu 3-4 tahun, market share eBay di pasar C2C jatuh dari 72% ke 8% dan menyebabkan mereka kemudian mundur dari kompetisi ini sementara dominasi Taobao terus menanjak hingga mencapai lebih dari 80% pada tahun 2007.

Setelah peluncuran Taobao, Alibaba mengenalkan Alipay pada tahun 2004, sebuah platform pembayaran pihak ketiga untuk membantu memfasilitasi transaksi yang terjadi di Taobao. Saat ini, Alipay adalah platform pembayaran pihak-ketiga terbesar di Tiongkok dengan dominasi pasar sebesar 70%, memiliki lebih dari 400 juta pengguna dan memproses lebih dari 80 juta transaksi per harinya (dibandingkan PayPal yang berjumlah 9 juta).

Jika PayPal fokus kepada platform pembayaran online peer-to-peer (P2P) yang berdasarkan email dan terhubung dengan kartu kredit, Alipay terhubung dengan rekening bank dan memiliki layanan yang disesuaikan dengan pasar di Tiongkok, seperti layanan escrow.

Menurut Jack Ma, budaya Tiongkok, meskipun menghargai nilai kepercayaan dan integritas, tidak memiliki sistem yang menjaga nilai ini. Sebagai hasilnya, fitur escrow dari Alipay merupakan solusi yang tepat untuk menjembatani kurangnya kepercayaan dan menggeser perilaku konsumen ecommerce Cina dari cash-on-delivery (COD) ke mobile payment yang mendominasi 68% dari transaksi saat ini.

Memanfaatkan 400 juta penggunanya dan menjangkau platform-platform ecommerce milik Alibaba, Alipay telah tumbuh lebih dari sekadar platform pembayaran berbasis internet menjadi sebuah raksasa finansial dan banking yang juga mengancam para pemain finansial lama.

Pada tahun 2011, Alipay berpisah dari Alibaba untuk menjadi Ant Financial Services Group, yang melayani mulai dari pembayaran online, peminjaman mikro, hingga perbankan dan skor kredit. Menilai dari putaran pendanaan terakhirnya yang bernilai $4,5 miliar di awal tahun ini, perusahaan ini sekarang dihargai sebesar $60 miliar, menjadikannya perusahaan teknologi non-publik paling berharga setelah Uber.

Dengan perlengkapan perang ini, Ant Financial mencari peluang untuk berekspansi ke pasar baru dan selama beberapa waktu telah mencoba menjejakkan kakinya ke Asia Tenggara. Perusahaan ini sebenernya telah mendirikan entitas di Singapura cukup awal pada tahun 2010 namun tidak memiliki channel distribusi yang layak. Keberuntungan Ant Financial nampaknya muncul pada awal tahun ini.

Mengincar Kesempatan Pembayaran di Asia Tenggara

Dari berbagai sisi, ecommerce di Asia Tenggara sama dengan ecommerce di Tiongkok 8 tahun yang lalu. Pada tahun 2008, cash-on-delivery (COD) masih menjadi metode pembayaran yang dominan di Cina, menguasai hingga lebih dari 70% total pembayaran.

Saat ini, Asia Tenggara sangat bergantung kepada COD ketika berbelanja online, menyumbang hingga 70% dari total transaksi.

Untuk menghilangkan ketergantungan konsumen yang tinggi terhadap COD, banyak startup yang memiliki modal besar atau berasal dari konglomerat yang telah berusaha untuk menyelesaikan masalah pembayaran ini, termasuk Omise (Thailand), Doku (Indonesia), LINE Pay (Thailand), dan True Money (Thailand).

Namun demikian, meski dengan PR dan hype media yang besar, solusi asal dalam negeri ini belum bisa menggeser konsumen dari COD karena banyak dari usaha yang dilakukan ini hanyalah “teknologi demi kepentingan teknologi” semata — membangun mobil yang lebih cepat saat yang dibutuhkan adalah jalanan yang lebih banyak.

Tantangan Produk

  • Platform seperti Omise dan 2C2P hanyalah gerbang pembayaran dan tidak menawarkan solusi yang lebih baik bagi ruang C2C dan P2P yang besar yang diprediksi oleh Google dan Temasek mencapai ‘beberapa milyar dollar’. Para payment gateway ini terutama masih memproses kartu kredit dan, dengan penetrasi kartu kredit di pasar berkembang Asia Tenggara masih bernilai hanya satu digit, tidak terlalu mengatasi masalah utama yang ada. Selain itu, solusi ini juga tidak menawarkan obat dari masalah kepercayaan yang sering menghalangi transaksi C2C dan P2P — terutama escrow.
  • 2C2P dan Omise juga berisiko ditinggalkan pengguna karena tidak adanya ikatan apapun dengan pengguna akhir, yang berarti jika ada alternatif yang lebih murah dan lebih baik muncul tidak ada yang bisa menghentikan para merchant untuk beralih ke produk tersebut. Taobao mengharuskan pengguna untuk mendaftar ke Alipay, sehingga membuatnya lebih mudah untuk meyakinkan platform ecommerce non-Taobao untuk turut mengadopsi Alipay.
  • Rabbit LINE Pay, sebelumnya LINE Pay, tidak pernah menangkap jumlah market share yang dominan meski dengan asosiasinya dengan LINE, platform berkirim pesan populer yang memiliki 33 juta pengguna di Thailand. Layanan ini juga terbatas karena hanya melayani kartu kredit, lagi-lagi tidak memecahkan masalah fundamental kurangnya penetrasi kartu kredit di wilayah ini.

Tantangan Distribusi

  • Meski dengan usaha yang baik untuk memberikan konsumen dengan pilihan metode pembayaran kedua, startup fintech seperti Digio dan Deep Pocket hanya membangun dompet mobile sebelum memecahkan masalah utamanya.
  • Sangat sulit bagi dompet mobile untuk digunakan secara luas saat awareness masih sangat rendah dan pengguna tidak memiliki insentif yang kuat (biasanya finansial) untuk untuk mengadopsinya. Akuisisi pengguna kemudian menjadi mahal tanpa adanya channel distribusi yang terpaut.

Tantangan (Kurangnya) Praktik Penggunaan

  • Salah satu dompet mobile terdepan di Thailand yang dimiliki oleh Ascend, True Money, tersambung dengan bank besar di Thailand dan memiliki akses distribusi ke perusahaan-perusahaan di portfolio konglomerat CP, termasuk lebih dari 19 juta pelanggan mobile.
  • Namun demikian, True Money dilaporkan hanya memiliki 100,000 pengguna aktif bulanan dari 6 juta pengguna yang terdaftar sejak 2014. Praktik penggunaan True Money saat ini hanya terbatas pada top-up telepon seluler, top-up online game, dan pembayaran tagihan dan pembayaran di konter, biasanya di toko 7-11 yang dimiliki oleh CP.

Ecommerce merupakan penggunaan yang lebih jelas dan natural bagi dompet mobile dan karena itu True Money juga digunakan sebagai metode pembayaran di perusahaan ecommerce milik Ascend seperti WeMall dan WeLoveShopping. Namun demikian, dengan total gabungan trafik mereka yang hanya mencapai 26% dari total trafik Lazada, Ascend masih memiliki jalan yang panjang untuk mengikuti jejak Peter Thiel dan mengubah properti ecommerce mereka menjadi tempat bertumbuh bagi solusi pembayaran mereka.

Akuisisi Lazada: Strategi Kuda Trojan?

Langkah Alibaba ke Asia Tenggara tidak pernah hanya tentang menumbuhkan GMV ritel mereka. Dalam jangka panjang, bukan masalah mengalahkan rival Lazada atau mencari pasar baru di luar Tiongkok; semua ini tentang mendapatkan akses ke basis pelanggan besar di pasar yang kekurangan infrastruktur ecommerce-nya sangat mirip dengan Tiongkok pada masa permulaannya. Permainan akhir Jack Ma adalah untuk mengenalkan dan memonetisasi produk dan layanannya yang lain, dimulai dengan Alipay.

Kuda trojan Alibaba
Kuda trojan Alibaba

Mengadopsi Alipay akan berperan besar dalam pertumbuhan ecommerce di skala regional dan Lazada pada khususnya. Adopsi secara luas dari sebuah platform pembayaran nyaman yang menjembatani krisis kepercayaan antara pembeli dan penjual akan berujung kepada kenaikan transaksi secara keseluruhan seperti yang telah terlihat di Tiongkok, pasar ecommerce terbesar si dunia dalam hal penetrasi dan GMV-nya.

Berita tentang pembelian 20% saham Ascend Money, induk perusahaan True Money, oleh Alibaba yang datang hanya beberapa bulan setelah pembelian Lazada, menunjukan master plan Jack Ma bagi Asia Tenggara mulai membuahkan hasil.

Semua ini lebih dari hanya sekadar Alipay dan memfasilitasi pembayaran di marketplace. Seperti yang telah disebutkan di atas, Ant Financial, induk perusahaan Alipay, mengoperasikan seluruh ekosistem finansial digital di Tiongkok yang terdiri, namun tidak terbatas, dari: Yu’e Bao, dana bersama terbesar di Tiongkok dalam rangka investor dengan aset sebesar $108 miliar; Zhaocai Bao, sebuah platform peminjaman P2P dengan transaksi sebesar $32 miliar di tahun pertamanya; dan Sesame Credit, sebuah sistem credit-scoring yang didasarkan dari — bisa Anda tebak — data ecommerce.

Dan sektor finansial hanyalah permulaan. Jack Ma, di dalam surat bagi pemegang sahamnya di tahun 2015, mengisyaratkan banyaknya hal yang masih akan datang:

“Strategi grup Alibaba adalah untuk membangun infrastruktur ecommerce untuk masa depan. Ecommerce hanyalah langkah pertama. […] Sekitar setengah dari tenaga kerja Alibaba Grup dan perusahaan terafiliasinya, termasuk Ant Financial dan Cainiao, bekerja di area-area penting bagi ekosistem kita, termasuk logistik, finansial internet, big data, cloud computing, mobile internet, periklanan dan juga yang disebut Industri double H – Health and Happiness (bisnis kesehatan dan hiburan digital berbasis big data yang akan memerlukan 10 tahun untuk menjadi data-driven)”

Karena itu, seharusnya bukan para peritel seperti MatahariMall atau Central yang khawatir akan meningkatnya kompetisi; namun para bank, penyedia asuransi, rumah sakit dan yang lainnya yang harus bersiap menerima pecutan keras.

Sebagai kilasan apa yang mungkin akan terjadi di Asia Tenggara, kita hanya perlu melihat apa yang terjadi pada Uber baru-baru ini di Tiongkok.

Belajar dari Tiongkok atau Bagaimana Strategi Kuda Trojan Alibaba Membunuh Uber Tiongkok

“Uber tidak kalah dari Tiongkok pada tahun 2016. Mereka kalah di 2014 saat baru masuk, dan menyadarinya 2 tahun kemudian.” — Wang Di, Pengguna Quora

Alibaba, bekerja sama dengan rival lama mereka Tencent, mengadopsi strategi yang mirip di Tiongkok untuk menyingkirkan Uber. Orang luar sudah sering mendengar alasan strategi buku teks klasik “bagaimana-perusahaan-internet-asing-gagal-di-Tiongkok” seperti kurangnya pelokalan (halangan bahasa/budaya), kurangnya koneksi/guanxi, perlindungan pemerintah dan kurangnya pelaksanaan hukum IP.

Meskipun semua hal ini memiliki perannya sendiri, tidak satupun menjelaskan alasan utama mengapa Uber mengalami kegagalan di Cina.

Uber gagal karena mereka mengira bahwa persaingan mereka hanya di ruang transportasi dengan Didi. Yang tidak mereka ketahui, pemegang saham mayoritas Didi, Alibaba dan Tencent, bermain dengan peraturan yang sama sekali berbeda. Bagi Alibaba (dan Tencent), Didi bukanlah hanya aplikasi penyedia jasa transportasi; strategi Didi dan tujuan tersembunyinya adalah untuk berperan sebagai channel akuisisi scalable Alipay Wallet, versi mobile dari Alipay, serta WeChat Wallet milik Tencent, menurut jawaban brilian di situs Quora ini:

Sekitar tahun 2012, kesuksesan besar WeChat membantu banyak perusahaan IT di Tiongkok untuk menggeser fokus mereka ke pasar aplikasi mobile. Sementara itu, meski dengan beberapa suspensi, pemerintah mulai mendukung pembangunan pembayaran mobile. Semuanya telah siap bagi Tencent dan Alibaba untuk meluncurkan aplikasi pembayaran mobile mereka untuk menjadi hal yang besar. Semua, kecuali kebiasaan pengguna di Tiongkok.

Masyarakat di Tiongkok belum terlalu familiar dengan pembayaran mobile pada saat itu. Bahkan, belum ada sama sekali sebuah grup masyarakat di dunia yang secara signifikan lebih baik pada saat itu. Lebih lagi, masyarakat Tiongkok sangat berhati-hati saat melakukan proses pembayaran, dan banyak dari mereka bukanlah penggemar gadget terbaru.

Namun mereka semua menyukai diskon atau pembayaran kembali! Satu dollar yang dihemat adalah satu dollar yang dihasilkan.

Aplikasi pemanggil taksi Didi dan Kuaidi menjadi pengenalan trafik pengguna yang sempurna.

Anda bisa menggunakan Didi untuk memanggil taksi dan membayar 30 yuan secara tunai, namun jika Anda membayar taksi dengan menggunakan Tencent Wallet (diarahkan dari Didi), Anda hanya harus membayar 10 yuan. Apakah Anda bersedia untuk menghemat 20 yuan—$3 atau 4—dengan menggunakan fitur yang sudah tersedia di aplikasi tersebut? Hanya dengan memencet di sini dan di sana? Tentu saja.

Dan sekarang Anda telah tersambung dengan WeChat Wallet. Seperti yang diinginkan oleh Tencent.

Dengan Didi sebagai channel distribusi penting bagi Alipay Wallet, Alibaba berhasil mengakuisisi lebih banyak pengguna ke dalam ekosistem layanannya termasuk Taobao, Tmall, Ant Finance dan lebih banyak lagi, yang memimpin monetisasi ke seluruh produk lainnya. Uber hanya memiliki transportasi.

Tencent dan Alibaba telah menaruh jumlah uang yang sangat banyak untuk membayar subsidi pembayaran kembali ini. Terlalu banyak untuk sebuah aplikasi pemanggil taksi, namun sangat wajar jika Anda ingin menandai wilayah Anda di pasar terbesar dengan sistem pembayaran mobile yang paling terdepan di dunia.

Masa Depan Bagi Asia Tenggara

Dengan didaulatnya Asia Tenggara sebagai pasar ecommerce yang besar dan belum terjamah selanjutnya di dunia, kita akan melihat banyak pemain yang mensubsidi jalan mereka demi mencapai pertumbuhan melalui diskon dan kupon. Tidak mengherankan, kritikus sering melihat cara ini sebagai perlombaan ke bawah bagi semua pihak.

Tidak selamanya benar. Sebagaimana contoh yang telah ditunjukan Uber Cina kepada kita, hal ini hanya akan gagal bagi para perusahaan yang tidak melihat gambar yang lebih besar dan tidak mampu memonetisasi melalui set produk atau layanan yang berbeda, baik saat ini maupun di masa depan.

Dengan mempertimbangkan hal ini, seseorang bisa berargumen bahwa Alibaba mendapatkan penawaran yang baik dengan Lazada, terutama mengingat kesempatan jangka panjang yang ada di Asia Tenggara melebihi ecommerce ritel. Saham Alibaba pun mengkonfirmasi hal ini—Harga saham Alibaba melonjak naik setelah berita akuisisinya diumumkan pada 12 April dan meningkat 35% sejak saat itu (per 3 Oktober 2016).

Akuisisi Alibaba secara luas dianggap kemenangan bagi pertumbuhan ecommerce di Asia Tenggara namun berapa banyak di antara kita yang siap menghadapi fakta bahwa piala apapun yang kita dapatkan tidaklah berbentuk kuda unicorn namun mungkin kuda yang lain?


Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Sheji Ho dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Menyambut Musim Diskon Online: Bagaimana Asia Tenggara Menirukan Fenomena Online Tiongkok

Bagi para pembelanja online, 11.11 telah menjadi fenomena belanja tersendiri. Acara diskon online terbesar di Tiongkok ini diprakarsai oleh raksasa ecommerce Alibaba, di mana besaran diskon dari para penjual yang berpartisipasi berkisar dari 25%-70% dan mencatat rekor $5 miliar produk terjual dalam 90 menit pertama pada tahun lalu.

Alibaba, yang memiliki marketplace online Tmall dan Taobao, berhasil menjual produk seharga $14.3 miliar selama periode diskon tahun lalu, yang ditargetkan kepada 386 juta pengguna aktif tahunan – angka yang lebih besar dari populasi di AS.

Fortune menyebut kampanye ini, cukup akurat, sebagai “Black Friday on steroids”.

Penghasilan gabungan dari Black Friday dan Cyber Monday, periode sale terbesar di Amerika Utara, berjumlah $7.54 miliar pada tahun lalu, yang walaupun mengesankan namun hanya merupakan setengah dari pemasukan Alibaba di periode penjualan yang sama.

Pendapatan Alibaba di Single's Day vs Cyber Monday di Amerika Serikat
Pendapatan Alibaba di Single’s Day vs Cyber Monday di Amerika Serikat

Latar Belakang Budaya 11.11

‘Single’s Day’ awalnya berasal dari Universitas Nanjing pada tahun 1993 di mana sekumpulan grup para orang lajang berkumpul untuk merayakan status ketidak-terikatan mereka dengan cara berbelanja. Pada tahun 2009, Jack Ma, Chairman dari Grup Alibaba, melihat potensi hal ini kemudian menciptakan acara belanja online bagi para kaum muda ini, memposisikan hari ini untuk memanjakan diri sendiri.

‘Single’s Day’ kemudian meraih pamornya dan dimonetisasi oleh Alibaba, menjadikan hari ini sebagai pertunjukan perbelanjaan online di platform marketplace mereka dan mendorong transaksi bisnis selama periode sepi di Tiongkok, antara Golden Week pada bulan Oktober dan Tahun Baru Tiongkok di bulan Januari hingga Februari. Hal ini juga pertama kali diperkenalkan saat ecommerce sedang meledak di Tiongkok, menghasilkan pertumbuhan sebesar 5,470% bagi program diskon “Double 11” selama 2009 dan 2013.

rts6cc7-1024x813

Perusahaan ini sejak saat itu telah menjadikan istilah tersebut sebagai merk dagang mereka pada Desember 2012, yang memungkinkan mereka mengambil aksi hukum terhadap outlet media yang menerima iklan dari kompetitor yang secara spesifik menggunakan istilah ini.

Diskon 11.11 juga telah mencapai ratusan juta pembelanja Tiongkok di luar kota besar seperti Beijing dan Shanghai, yang mengandalkan Taobao dan Tmall karena mereka tidak memiliki mall besar di kota mereka.

Program marketing offline yang mereka lakukan juga berkontribusi kepada kesuksesan 11.11. Dengan menghadirkan selebritas global seperti Daniel Craig dan Kevin Spacey ke acara launching-nya, Alibaba menjadikan fenomena belanja ini sebagai acara yang patut untuk dirayakan.

Untuk pertama kalinya sejak promosi 11.11 diluncurkan, Grup Alibaba telah mengumumkan bahwa acara tahun ini akan berlangsung selama 24 hari dan bukannya 24 jam. Mereka juga akan menandai acara ini dengan memperkenalkan teknologi virtual reality milik Alibaba, Buy+, yang menjanjikan pembelanja sensasi berbelanja langsung ke toko ritel melalui headset VR. Tahun ini juga akan melihat ekspansi 11.11 ke Hong Kong dan Taiwan.

Dengan kesuksesan kampanye 11.11 dari Alibaba, tidak mengherankan jika Asia Tenggara kemudian mengikuti jejak Tiongkok. Meskipun bukan untuk merayakan status-kesendirian, marketplace online besar seperti Lazada dan Moxy (sekarang dikenal sebagai Orami) telah mengadopsi kampanye 11.11 Alibaba dengan versi mereka sendiri.

lazada1111-1024x762

Pemain online berada di bawah tekanan untuk melakukan dan berpartisipasi selama periode ini karena banyak brand besar dan peritel yang mulai menawarkan diskon yang lebih besar dan lebih baik berkat modal yang lebih besar dan jumlah merchant yang lebih banyak.

Di Asia Tenggara, para marketplace menggunakan periode 11.11 sebagai tes lakmus untuk melihat seberapa baik performa mereka dibanding para kompetitor di pasar lokal.

11.11 Versi Asia Tenggara

Mulai dari merekrut tenaga kerja tambahan hingga memastikan para pembelanja mengetahui program diskon ini, marketplace menggunakan strategi media sosial hingga berbulan-bulan sebelum acara tersebut berlangsung dan mengkalkulasi prediksi stok yang ada untuk memastikan acara diskon ini sukses.

Inilah bagaimana pemain-pemain terbesar di Asia Tenggara memanfaatkan momentum 11.11:

Marketing blitz: Personalisasi sosial adalah kunci

Sebagai marketplace ecommerce terbesar di wilayah ini, Lazada telah mengadaptasi 11.11 dan mengekstensikannya dengan acara 12.12 milik mereka pada 12 Desember dan menyebutnya sebagai ‘The Online Revolution’, yang dimulai pada tahun 2012.

Lazada Thailand mencatat pertumbuhan di GMV mereka hingga $40 juta selama 10-12 Desember 2015 dan melihat kenaikan pertumbuhan partisipasi dari konsumen mereka. Lazada Thailand mencatat 300% kenaikan pesanan dibandingkan periode yang sama pada 2014.

“Di Thailand, kami melihat channel marketing yang paling sukses biasanya sangat sosial,” ujar Baptiste Le Gal, CMO Lazada Thailand. “Manajemen hubungan konsumen adalah channel utama untuk memberikan penawaran yang cocok dengan ketertarikan mereka.”

Tren konsumen pun mengalami sedikit berubahan di Thailand. Baptiste melihat bahwa barang elektronik yang biasanya menjadi kategori paling populer, telah digantikan oleh kategori yang lebih mengarah ke segmen gaya hidup seperti kesehatan & kecantikan dan peralatan rumah tangga di platform mereka.

Adopsi mobile yang tinggi di Thailand juga berkontribusi kepada prilaku konsumen saat berbelanja di Lazada.

Dengan pasar yang mengutamakan mobile berarti Lazada harus berfokus dengan aspek mobile di channel mereka dan memastikan bahwa aplikasi mobile Lazada telah optimal untuk memastikan pengalaman pengguna yang baik selama periode kampanya tersebut. Marketplace ini juga telah meluncurkan iklan ‘make your dreams come true’ di Singapura, untuk menyambut acara besar ini.

Zalora, portal fashion milik Rocket Internet, juga mengikuti formula Rocket dengan menawarkan diskon hingga 80% baik untuk 11.11 dan 12.12. Strategi marketing Zalora Indonesia untuk mempromosikan kampanye ini dilakukan dari bulan Oktober hingga ke grand finale di 12.12, dimulai dengan Zalora Great Sale yang tengah berlangsung, yang bisa digunakan para pembelanja untuk mempersiapkan mereka di acara utamanya.

“Pada tahun 2015, keseluruhan penjualan untuk 12.12 naik hingga 30 kali dibanding penjualan rata-rata di hari biasa, dengan brand yang berpartisipasi juga melihat kenaikan penjualan meski masa kampanye telah berakhir,” ujar Priyanto Lim, Head of Marketplace di Zalora Indonesia.

9695706_zalora-1212-online-fever_t82ab5e6d

Namun memberikan diskon besar saja tidaklah cukup. Zalora Indonesia mengadakan kompetisi online, menyediakan hadiah ekstra dan menggunakan endorsement selebritas di media sosial sebagai bagian dari promosi untuk menciptakan hype acara diskon besar ini. Intinya, para konsumen akan dibanjiri dengan insentif dan pemicu untuk melakukan pembelian.

Nampaknya, spekulasi bahwa brand merasa tertekan untuk berpartisipasi dan melakukan potongan biaya untuk bisa berkompetisi dengan merchant yang lain tidak mengurangi pengaruh dari kampanye ini.

“Kontra dari apa yang disebutkan di artikel tersebut, brand sangat bersedia untuk bekerja sama dengan kami karena mereka juga diuntungkan dengan ekstra trafik [yang dihasilkan],” ujar Priyanto.

Marketplace bagi perempuan, Orami fokus dengan menghasilkan konten original bertema ‘Single’s Day’ dan memanfaatkan komunitas mereka untuk menghasilkan trafik ke website dan berinteraksi dengan pembelanja dibanding melakukan kampanye promosi besar-besaran.

“Untuk mendorong interaksi media sosial, Orami juga menggunakan Facebook sebagai cara untuk menciptakan interaksi dengan pengguna melalui permainan online yang bertemakan Single’s Day,” ujar Shannon Kalayanamitr, co-founder dan CMO Orami.

Menargetkan wilayah mobile-centric

Shopee, platform belanja mobile milik Garena, merilis mega sale versi mereka untuk pertama kalinya tahun ini, menyebutnya 9.9 pada 9 September. Diuntungkan dengan pertumbuhan pesat pasar mobile yang berada di wilayah ini, platform ini menyasar para konsumen mobile-first di Thailand dengan cara merilis produk yang sudah didiskon besar-besaran secara berkala sepanjang hari untuk menjaga antisipasi konsumen mereka.

Situs website Shopee bahkan menerbitkan jadwal diskon sebelumnya sehingga pembeli dapat mengatur alarm bagi produk yang mereka incar, menciptakan mentalitas ‘ready-set-go’ bagi pembeli untuk mendorong daya saing dan membuat mereka berbelanja lebih.

Shopee-9.9-Mobile-Shopping-Day_square

Penyedia layanan niche turut berpartisipasi

11.11 juga telah menginspirasi penyedia layanan online di Asia Tenggara untuk mengikuti tren prilaku online ini.

Penyedia bahan makanan on-demand, HappyFresh Indonesia, menawarkan hingga 30% diskon untuk produk yang paling populer dalam kampanye marketing mereka tahun lalu.

489ffa98-be06-4d73-bfea-8f802dfd59ba

Dan pemain baru di sektor yang sama di Thailand, honestbee, saat ini bekerja dengan jaringan supermarket populer di Thailand, Villa Market untuk memasuki sektor ‘barang kebutuhan sehari-hari’ yang termasuk air, makanan segar dan daging. Barang-barang ini semua akan menjadi bagian dari kampanye promosi besar layanan pengiriman ini.

Ketika bahan makanan didiskon, pembeli cenderung menyimpan ‘persediaan’, terutama ketika membeli secara online dengan pilihan yang lebih luas.

“Kami melihat pola pembelian pelanggan kami untuk melihat jenis barang apa yang populer di kalangan pembeli. Sebagai contoh, pelanggan di wilayah pemukiman sering memesan air mineral dan buah segar dengan volume besar, sehingga kami harus mengantisipasi bahwa sektor ini mungkin akan mengalami lonjakan pada kampanye 11.11 kami,” ujar Piyawat Laiphithak, Marketing Manager di honestbee Thailand.

honestbee juga berencana melakukan gimmick bertema ‘Singles Day’ dengan memberikan makanan ringan seperti gummy bears dan popcorn untuk pembeli.

11.11 Logistik: Apa yang terjadi di balik layar?

Ungkapan “dibutuhkan seluruh desa untuk membesarkan seorang anak” cocok untuk diterapkan di sini, jika kita menukar anak dengan kampanye secara online skala besar. Bagaimana perusahaan ecommerce memastikan fungsi optimal selama waktu yang sibuk ini?

Bagi penyedia solusi ecommerce, aCommerce, mereka telah merencanakan sekitar dua bulan sebelumnya untuk mengakomodasi lonjakan pesanan untuk klien yang berpartisipasi dalam acara diskon ini.

“Kami meningkatkan tenaga kerja kami sebesar tiga kali melalui kontrak sementara dan menjalankan operasi 24 jam selama masa lonjakan seperti 11.11 untuk memastikan permintaan pelanggan dapat terpenuhi,” Phensiri Sathianvongnusar, COO di aCommerce Thailand menyampaikan.

Staf sementara dipekerjakan melalui agen dan mendapatkan pelatihan khusus selama 2-3 hari untuk tugas mereka sebelum acara penjualan akbar ini.

Selama periode lonjakan, aCommerce juga menggunakan platform multi-shipping untuk memanfaatkan lebih dari 20 jaringan kurir untuk memastikan bahwa pengiriman dilakukan tepat waktu, demi performa terbaik dan memastikan tidak ada penjualan yang dibatalkan, karena waktu dan kecepatan adalah hal yang paling penting selama masa kampanye.

acom-1024x462

“Inventory planning sangatlah penting untuk kampanye seperti 11.11 dan 12.12, jadi kami menggunakan data historis dari peristiwa di tahun-tahun sebelumnya untuk menentukan jenis produk apa yang cenderung populer selama periode diskon ini dan menghindari kekurangan stok,” tambah Phensiri.

Untuk para brand yang tidak berpartisipasi dalam kampanye 11.11, mereka adalah bagian dari jalur ekspress yang menjamin bahwa produk mereka masih tetap menjadi prioritas selama masa kampanye.

Sebuah liga tersendiri

Menggunakan kampanye 11.11 Tiongkok sebagai latar belakang, pasar online Asia Tenggara mengukir mega sale versi mereka sendiri yang tidak bisa dengan hanya meniru Alibaba untuk meraih kesuksesan.

Asia Tenggara berpotensi dapat melompati Tiongkok dengan ledakan pertumbuhan mobile di kawasan ini dan meningkatnya kelas menengah. Kampanye besar seperti 11.11 akan terus bertumbuh setiap tahunnya seiring dengan semakin banyaknya konsumen yang masuk ke online. Platform mobile-first seperti Shopee sudah bergerak cepat dan menangkap pasar mobile yang tengah berkembang di Asia Tenggara, mencerminkan kenaikan dari belanja mobile di Tiongkok, di mana 72% dari pembelian selama tahun lalu saat 11.11 berasal dari mobile.

Respon positif dan durasi kampanye merupakan bukti tumbuhnya antusiasme kawasan ini dengan ecommerce, mungkin merupakan indikasi positif bahwa kita beringsut menjauh dari bayang-bayang Tiongkok.


Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Anutra Chatikavanij dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.

Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.

Lima Langkah Membuat Akun Alibaba Cloud

Seperti yang pernah diberitakan DailySocial sebelumnya, Alibaba Cloud saat ini tengah berada dalam proses penetrasi pasar di Indonesia. Layanan komputasi awan yang merupakan bagian dari sayap bisnis taipan Jack Ma ini tercatat telah dimanfaatkan oleh 1,8 juta bisnis, yang mana rata-rata digunakan oleh pebisnis startup digital.

Bila diperhatikan dengan jelas, penggunaan layanan Alibaba Cloud yang dilakukan startup tersebut sejalan dengan kemampuan Alibaba Cloud dalam memenuhi kebutuhan bisnis yang masih dinamis, seperti yang terjadi di perusahaan startup pada umumnya.

Di sini, akan dijelaskan bagaimana bisnis startup Anda bisa mulai menggunakan jasa Alibaba Cloud. Caranya mudah, hanya lima langkah dan gratis untuk Anda!

1. Masuk ke situs resmi dari Alibaba Cloud.

Aliyun homepage

2. Klik ‘Login’ di ujung kanan homepage Alibaba Cloud.

Aliyun Step 1

3. Klik ‘Join Free’ untuk membuat akun baru Alibaba Cloud.

Aliyun Step

4. Ikuti langkah-langkah registrasi berikut dengan mengisi nomor telepon dan alamat email Anda yang valid.

  • Tahap 1: Mengisi form awal

Aliyun Step 2

  • Tahap 2: Verifikasi email

Aliyun Step (2)

  • Tahap 3: Verifikasi nomor telepon

Aliyun Step (3)

5. Lengkapi profil Anda dan metode pembayaran yang Anda pilih.

  • Tahap 1: Mengisi “Profile Management” Anda.

Aliyun Step (4)

Step 4

  • Tahap 2: Memperbarui metode pembayaran Anda.

Step 5

Aliyun Payment Method

Bila Anda tidak punya kartu kredit atau akun PayPal untuk pembayaran, tak perlu khawatir! Alibaba Cloud bisa membantumu di sini.

Sedikit banyak, itulah tadi langkah sederhana dalam membuat akun di Alibaba Cloud. Langkah yang mudah, bukan?

Kabar baik bagi Anda, sekarang Alibaba Cloud tidak hanya menyediakan fasilitas free trial. Anda juga bisa mendapatkan kupon Alibaba Cloud senilai USD 50, jika Anda melanjutkan pembayaran setelah masa free trial.

Cara mendapatkan kupon tersebut sangat lah mudah. Cukup dengan masuk ke laman Contact Sales, isi semua informasi dengan benar, dan ketik “USD 50 coupon” di bagian “How can we help?“. Contohnya dapat dilihat di bawah ini.

Keyword untuk USD 50 AliCloud Coupon


Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh Alibaba Cloud.

Bincang-Bincang Soal Startup Scaling dari Aspek Teknis

Ruang bisnis startup Indonesia sepertinya perlu direnovasi atau, lebih tepatnya, diperbesar. Pasalnya, dari hari ke hari ide-ide kreatif yang merupakan embrio dari startup mulai muncul di berbagai komunitas, khususnya komunitas teknologi. Banyak memang yang meledak, beriringan dengan itu, tak sedikit pula yang gugur dimakan seleksi alam. Persoalan kegagalan startup dalam mengembangkan bisnisnya seringkali berujung pada diskusi di kedai kopi soal pendanaan yang kurang atau dompet perusahaan yang kering.

Pembicaraan soal uang tersebut tidak sepenuhnya salah. Fase startup scaling sejatinya memang akan bertemu rintangan, meski tidak melulu soal uang. Seperti sifat alamiahnya, startup hadir di masyarakat dengan daya gedor ide-idenya yang inovatif dan solutif. Hal ini bergulir satu nafas dengan bisnis mereka yang berorientasi pada kebutuhan user/customer.

Gebrakan ide harus terus bergulir bersamaan dengan sifat lainnya dari startup yakni dinamis. Ingatlah, naik-turun dari laju bisnis startup adalah lumrah, dan perlu disiasati dengan pembaruan ide serta sarana teknologi.

Menyoal sarana teknologi, cloud computing ternyata menjadi bagian dari kunci scaling yang dilakukan startup. Bayangkan, sayang sekali bila fitur atau sistem yang ditawarkan startup kepada user, ternyata tidak berujung pada conversion rate yang memuaskan, hanya karena sistem cloud computing yang kendor. Bisa jadi, inilah titik mimpi buruk startup.

Agar para pendiri startup yang sekarang mulai merangkak tidak mengalami hal tersebut, Alibaba Cloud bekerja sama dengan DailySocial menyelenggarakan sebuah talkshow bernama AliLounge, dengan tajuk “How to Scale Your Startup”.

AliLounge, talkshow hasil kolaborasi Alibaba Cloud dan DailySocial. / DailySocial
AliLounge, talkshow hasil kolaborasi Alibaba Cloud dan DailySocial. / DailySocial

AliLounge rencananya akan diselenggarakan di dua kota, yakni Yogyakarta (8 November 2016) dan Bandung (10 November 2016). AliLounge Yogyakarta akan mengambil tempat di Smart Lounge Lippo Jogja. Sedangkan untuk Bandung, AliLounge bertempat di Eduplex Dago.

Dua orang Cloud Architect Alibaba Cloud, Sabith Venkitachalapathy dan Ken Ly, akan menjadi pembicara tetap di AliLounge Yogyakarta dan Bandung. Selain itu, kursi pembicara dari praktisi industri teknologi dan startup akan diisi Randi Eka Yonida (Senior Editor DailySocial) untuk AliLounge Yogyakarta dan Tommy Dian Pratama (Chief Technology Officer DailySocial) untuk AliLounge Bandung.

Nah, apakah startup Anda sudah siap untuk melakukan scaling dari sisi teknis? Cari tahu dan temukan insight menarik di AliLounge Yogyakarta dan Bandung!

Oh iya, Anda juga bisa melakukan networking dengan rekan-rekan startup dan para pakar teknologi serta makan malam bersama lho.

Tak ketinggalan, tim Alibaba Cloud punya hadiah untuk 20 pendaftar pertama AliLounge di masing-masing kota, yang sebelumnya telah membuat akun Alibaba Cloud dan mendaftarkan kartu kredit atau akun PayPal-nya. Hadiah tersebut adalah kupon senilai $200.

Ayo, daftar sekarang juga, gratis! Info lengkap dan pendaftaran dapat Anda akses di tautan berikut untuk AliLounge Yogyakarta dan Bandung.


Disclosure: Artikel ini adalah advertorial hasil kerja sama Alibaba Cloud dan DailySocial untuk rangkaian kegiatan AliLounge.

Pengusung TrueMoney Jalin Kemitraan dengan Ant Financial, Targetkan Pasar Asia Tenggara

Ant Financial Group perusahaan digital payment pengusung Alipay hari ini umumkan cetak biru global untuk inklusi keuangan digital bebarengan dengan kerja sama strategis dengan Ascend Money yang berbasis di Thailand. Nama Ascend Money mungkin jarang didengar, di Indonesia TrueMoney Witami adalah perusahaan yang diusung oleh grup tersebut. Bergabungnya dua pemain digital finance global tersebut memiliki visi untuk mempercepat pertumbuhan mobile lifestyle dan digital financial pltform di Asia Tenggara.

Ant Financial dan Ascend Money akan bermanuver pada penumbuhan sistem pembayaran, baik online ataupun offline, memanfaatkan tren bertumbuhnya ekosistem e-commerce di kawasan Asia Tenggara. Menariknya keduanya memiliki pengalaman yang tidak diragukan lagi. Alipay menjadi salah satu yang melandasi sistem pembayaran raksasa e-commerce Alibaba yang mengakomodir lebih dari 450 juta pengguna. Sedangkan kiprah Ascend Money di Asia Tenggara saat ini juga mulai memuncak.

Apakah ini menjadi strategi Alibaba bawa sistem pembayaran digital ke Indonesia?

Kekuatan Ant Financial seringkali ditunjukkan pada kapabilitas teknologi yang dimiliki, mencakup digital payment, big data analytics, risk control management dan cloud computing (Alibaba Cloud). Kemitraannya bersama Ascend Money bukan kali ini saja, sebelumnya keduanya telah menanamkan investasi $680 juta di startup pengembang mobile payments dan commerce platform asal India, Paytm.

Di Indonesia sendiri layanan TrueMoney tengah menunjukkan taringnya. Baru-baru ini pihaknya mengumumkan rencana ekspansinya ke beberapa negara di seputaran Indonesia. Potensi yang besar untuk pasar uang elektronik di Indonesia juga tengah memberikan banyak dampak di sektor digital-commerce. Artinya menjadi “lahan hijau” bagi kedua perusahaan besar tersebut, Ant Financial dan Ascend Money, untuk menggarap potensi tersebut.

Alibaba sendiri menjadi salah satu kiblat perkembangan e-commerce di tanah air. Sempat santer diberitakan bahwa pemerintah berencana menunjuk pendiri Alibaba Jack Ma sebagai penasihat ekonomi pemerintah, khususnya untuk urusan e-commerce. Kepercayaan tersebut tentu saja bisa menjadi sebuah pintu masuk berbagai layanan Alibaba untuk masuk.

“Imajinasi, inovasi dan informasi merupakan kunci untuk mewujudkan visi Ant Financial untuk mempromosikan akses yang sama ke layanan keuangan pada platform global […] Pasar pembayaran (digital) di Asia Tenggara memiliki potensi yang belum banyak dimanfaatkan dan kami berdedikasi untuk memberikan kontribusi,” sambut CEO Ant Financial Eric Jing.

Sejak tahun 2014, Alipay telah menjalin kerja sama dengan beberapa pemain e-commerce di luar Tiongkok. Per tahun 2016 tercatat lebih dari 80 ribu merchant di 70 negara telah memanfaatkan layanan tersebut. Di Asia Tenggara, layanan Alipay telah singgah di Thailand, Singapura, Malaysia, dan Vietnam. Kuartal ketiga tahun ini pihaknya menerangkan adanya kenaikan hingga empat kali lipat dibanding tahun lalu.

Penggiat E-Commerce Indonesia Antusias Sambut Jack Ma Sebagai Penasihat Ekonomi Pemerintah (UPDATED)

Perbincangan soal Jack Ma, Pendiri Alibaba Group, yang didapuk menjadi penasihat ekonomi pemerintah, khususnya untuk urusan e-commerce, masih belum berakhir. Selain Jack Ma, Menkominfo Rudiantara mengatakan pihaknya terus mencari nama besar di percaturan e-commerce global untuk mendukung upaya pencapaian nilai kapitalisasi pasar e-commerce Indonesia di angka $130 miliar tahun 2020.

Kami sempat menuliskan sejumlah kekhawatiran tentang hal-hal apa yang mungkin terjadi jika Jack Ma memegang posisi strategis ini. Di sisi lain, para penggiat e-commerce Indonesia, yang langsung berkecimpung dan menyumbang kapitalisasi pasar e-commerce ini, cenderung menyambut baik hadirnya Jack Ma di jajaran penasihat pemerintah.

Survei singkat terhadap pembaca DailySocial juga mencerminkan dukungan masyarakat terhadap langkah ini.

Kepada DailySocial, Aulia Marinto, CEO Blanja yang juga merupakan Ketua Umum idEA yang baru, berpendapat:

“Menurut saya ini langkah positif. Selevel Presiden tentu membutuhkan beberapa orang yang mampu memberikan informasi dan perkembangan serta dinamika e-commerce dunia.”

“Berbekal itu, Presiden bersama tokoh-tokoh e-commerce nasional agar mendiskusikan langkah – langkah apa yang harus diambil untuk mempercepat pembangunan industri e-commerce Indonesia.”

Pendahulunya di idEA, Daniel Tumiwa, yang juga adalah CEO OLX Indonesia, setali tiga uang. Yang paling penting, menurut Daniel, adalah bagaimana kita memanfaatkan Jack Ma (untuk mencapai hal yang diharapkan). Daniel mengatakan:

“It’s a great honor that he accepted. He will be one of a few other selected people who we hope will be able to give meaningful input.  I see him as the best reference. So it’s how we use him that only matters. Who else can we see as the most successful e-commerce person aside from [Amazon’s CEO] Jeff Bezos.”

Tentang hal apa yang butuhkan Indonesia dari seorang Jack Ma, Daniel menjawab:

“What [metrics] to measure. What [regulation and action that’s] not to do. For example, how much pressure regulatory is needed. Actually [with] the same way we would use Mark Zuckerberg or Sergei Brin or Jeff Bezos. But most important is that we need this to maintain competitiveness in ASEAN [because of ASEAN Economic Community].”

CEO MatahariMall Hadi Wenas mendukung kehadiran Jack Ma dengan syarat tidak ada keberpihakan dan kemungkinan “conflict of interest”, mengingat Alibaba Group sendiri sudah mengakuisisi Lazada yang merupakan salah satu pemain e-commerce di negeri ini. Hadi mengatakan:

Inisiatif itu bukti bahwa pemerintah percaya bahwa e-commerce dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Jack Ma adalah salah satu tokoh sukses di dunia e-commerce global bersama dengan tokoh lain seperti Jeff Bezos (Founder Amazon), Sophia Amoruso (Founder Nasty Gal), Pierre Omidyar (Founder eBay), dan lain-lain. Penasihat ahli diharapkan dapat membuat pertumbuhan e-commerce makin cepat.

Saya berharap pemerintah, penasihat, dan pelaku industri ekonomi digital dapat membuat keputusan objektif tanpa adanya keberpihakan dan “conflict of interest” yang malah akan “counter-productive” dan memperlambat perkembangan pemain lokal.

Selebihnya kita akan dukung penuh upaya percepatan ekonomi digital di Indonesia.

Hendrik Tio, CEO Bhinneka, mengungkapkan hal yang sedikit berbeda. Meskipun sama antusiasnya dengan pemain e-commerce yang lain, terutama supaya Jack Ma membantu Indonesia berada di jajaran pasar penting e-commerce dunia, Hendrik berharap Jack Ma tetap memberikan kepastian bahwa masuknya ia di jajaran penasihat pemerintah tetap menjamin kelanggengan para pemain lokal dari ancaman raksasa global (termasuk Alibaba Group sendiri).

Hendrik mengatakan:

For me, Ma is no doubt a very visionary entrepreneur. By having him as one of [President] Jokowi partner is a very bold move. I am very exciting to see what Ma can contribute, but at the other side I am also concern how sincere and neutral Ma will act in helping Indonesia become a major player in internet industry. Indonesia also has no such a tight protection policy as China. I will be very happy if he can ensure Jokowi to protect us as a local player from global players while still invite investors to come.

CEO Bukalapak Achmad Zaky dan CEO Tees Aria Rajasa Masna sependapat bahwa masuknya Jack Ma harus dilihat bahwa ia bisa memberikan arahan bagaimana UKM lokal bisa bersaing secara global. Jack Ma yang memiliki kompetensi luar biasa pasti setiap sarannya didengar oleh pemerintah yang selama ini dianggap tidak selalu mendengar dan percaya dengan feedback dari pemain lokal.

CEO Tokopedia William Tanuwijaya, yang kita tahu memang mengidolakan Jack Ma, mengharapkan peranan Jack Ma sebagai mentor dan penasihat bisa membantu pembelajaran bagaimana pengusaha lokal menjadi pemenang di negeri sendiri. Harapannya bakal muncul role model yang bisa diciptakan oleh orang Indonesia sendiri. William mengungkapkan:

Indonesia jelas butuh role model [di dunia e-commerce] dan idealnya tentunya role model [ini] harus bisa ditumbuhkan juga dari dalam negeri, sehingga bisa menjadi aspirasi bahwa mungkin membangun perusahaan sebesar Google atau Alibaba dari dalam negeri. Internet adalah tentang informasi, komunikasi, dan transaksi. Saya yakin di ranah transaksi, sebenarnya sangat mungkin homegrown entrepreneur menjadi pemenang di ranah transaksi.

Namun peran advisor dan mentor pasti dibutuhkan. Jika kita bisa kombinasikan peran advisor dari kalangan internasional dengan nasional, dengan goal untuk melahirkan role model dari dalam negeri, pastinya ini akan menjadi sebuah hal yang positif. Dari Jack Ma harusnya kita bisa belajar bagaimana homegrown company menjadi pemenang di China untuk ranah transaksi.

Pemerintah Jokowi sebenarnya progresif dan sangat mendorong kemajuan industri teknologi. Menurut saya, perlu untuk pemerintah Jokowi tetap fokus pada kebijakan yang mendorong terjadinya level playing field, safe harbor policy, light touch policy, dan aktif meng-endorse bagaimana teknologi bisa menjadi peluang dan bukan ancaman dalam mendorong lahir dan besarnya local business di Indonesia. Juga mendorong efisiensi dan transparansi harga sehingga pemerataan ekonomi secara digital dapat terjadi.

 

Menelaah Misi Jack Ma di Indonesia

Pekan lalu, Jumat (2/9), Presiden RI Joko Widodo beserta rombongannya menyempatkan diri untuk mengunjungi kantor pusat Alibaba Group di Hangzhou, Provinsi Zhejiang, Tiongkok. Kegiatan ini merupakan salah satu rangkaian kegiatan Presiden dalam rangka Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di lokasi yang sama.

Presiden ditemani istri dan sejumlah menteri, seperti Sri Mulyani (Menteri Keuangan), Rudiantara (Menteri Komunikasi dan Informasi), Retrno Marsudi (Menteri Luar Negeri), Luhut Pandjaitan (Menko Maritim), Enggartiasto Lukito (Menteri Perdagangan), Pramono Anung (Sekretaris Kabinet), dan Thomas T Lembong (Kepala BKPM). Misi Jokowi adalah mencari cara memajukan UMKM lokal.

Sebelum membahas kegiatan Jokowi, coba lihat lagi betapa besarnya bisnis Jack Ma. Nama Jack Ma sudah tersohor dan sering muncul dalam pemberitaan, terkait perusahaannya yang kini sudah menggeliat merambah ke berbagai sektor industri, Alibaba.

Alibaba pertama kali didirikan pada 1999. Setelah merangkak dari bawah, kini Alibaba menjadi perusahaan terbuka yang melantai di New York Stock Exchange pada September 2014 dengan ticker BABA.

[Baca juga: Tembus IPO di Angka $ 25 Miliar, Alibaba Ukir Sejarah Baru Dunia]

Alibaba melaporkan pendapatannya pada kuartal II 2016 naik 59% menjadi 32,2 miliar Yuan secara year-on-year (yoy) dibandingkan tahun lalu. Pertumbuhan Alibaba didongkrak oleh performa pengguna mobile naik dua kali lipat menjadi 17,5 miliar Yuan, sementara jumlah pengguna aktif mobile naik 39% per bulannya.

Alibaba kini memiliki 427 juta pengguna aktif bulanan dengan rata-rata intensitas penggunaan membuka aplikasi naik menjadi tujuh kali dalam sehari. Menurut direksi Alibaba, tingkat pengguna mobile dengan aplikasi yang tinggi turut membantu perusahaan dalam memonetisasi basis pengguna.

Alibaba Group memiliki 10 anak usaha yang bergerak di berbagai bidang. Ada AliExpress sebagai e-commerce untuk pasar global, Alipay sebagai sistem pembayaran, Taobao sebagai mobile marketplace, dan lainnya. Mengguritanya bisnis Alibaba turut membuat harta Jack Ma jadi melimpah, tercatat pada 2014 mencapai $23 miliar atau sekitar 297 triliun Rupiah.

Perusahaan raksasa tersebut kini menggiring China ke panggung global setara dengan pemain kelas kakap lainnya seperti eBay dan Amazon. Dengan peluangnya yang begitu besar, Jokowi semakin tertarik untuk menggiring Jack Ma bersama Alibaba-nya untuk membantu UMKM lokal.

Ada kesamaan misi yang dimiliki Jokowi dan Jack Ma, yakni ingin sama-sama memajukan UMKM lewat pemanfaatan teknologi. “Mereka (Jack Ma dan Jokowi) memiliki pandangan yang sama terhadap UMKM yang harus diberdayakan dengan memanfaatkan teknologi,” ujar Rudiantara dalam pemberitaan.

Sebelumnya, sudah ada upaya yang dilakukan antara pemerintah Indonesia dengan Tiongkok. Salah satunya, saat Thomas Lembong masih menjabat sebagai Menteri Perdagangan, telah melakukan kerja sama dengan Alibaba lewat platform Tmall yakni Inamall (sebelumnya bernama Taobao Mall).

[Baca juga: Pantaskah Pemerintah Bersama Alibaba Group Meluncurkan E-Commerce Inamall?]

Namun, sambung Rudiantara, produk yang masuk ke dalam Inamall masih tertentu dari perusahaan skala besar, misalnya Indomie, kopi Kapal Api, kopi Luwak White Coffee, Extra Joss, dan produk lainnya.

Rudiantara berharap kunjungan ini bisa memperluas segmen produk UMKM agar bisa dipasarkan ke pasar Tiongkok. “Pertama masuk pasar Tiongkok lewat Tmall, kemudian UMKM bisa masuk ke Ali Express untuk pasar internasional.”

Perlu langkah antisipasi

Ada hal yang lain yang lebih menarik mencuat dari agenda Jokowi, Jack Ma menyetujui tawaran Jokowi menjadi penasihat ekonomi untuk Pemerintah Indonesia. Posisi Jack Ma saat ini juga sebagai ketua satuan tugas pengembangan usaha kecil dan menengah (UKM) di B20, sebuah badan perumus kebijakan di bawah G20.

Rudiantara meyakini dengan hadirnya Jack Ma diharapkan Indonesia bisa menarik perhatian lebih besar di pasar global. Terlebih, pemerintah kini sedang merampungkan roadmap e-commerce yang dibuat oleh 10 kementerian yang dipimpin Darmin Nasution, Menteri Koordinator Perekonomian.

Kemudian muncul pertanyaan. Dari berbagai nasihat yang nantinya dilontarkan oleh Jack Ma, apakah dapat memicu konflik kepentingan? Saat ini Alibaba sudah resmi mengakuisisi Lazada. Lazada pun kini termasuk salah satu platform e-commerce B2C terbesar di Indonesia. Alibaba pun kini sudah memasuki pasar Indonesia lewat AliExpress.

Dampak lain yang bisa muncul berhubungan dengan peta persaingan pemain e-commerce lokal. Saat ini yang dibutuhkan oleh pelaku e-commerce dan marketplace lokal adalah produk yang dapat dijangkau konsumen dari berbagai pelosok daerah.

Apakah pemerintah bisa menjamin bila Jack Ma benar-benar dianggap bisa membantu Indonesia, bisa mencegah ombak pengusaha Tiongkok yang bakal datang untuk mencoba peruntungan di Indonesia? Jack Ma, sebagai penasihat e-commerce Indonesia, barang tentu memahami kunci dan arahan untuk menguasai pasar Indonesia.

Banyak yang mengatakan Indonesia adalah pasar yang sangat menarik untuk digarap karena jumlah populasinya mencapai 250 juta orang dengan tingkat penetrasi internet yang belum separuhnya.

Bila nantinya Jack Ma memiliki agenda tersendiri, dikhawatirkan bukannya memajukan perusahaan dan pengusaha lokal malah memperkeruh situasi. Seluruh potensi yang bisa merugikan Indonesia, dengan hadirnya Jack Ma di jajaran penasihat, harus segera bisa diantipasi secara dini agar nantinya tidak kebablasan.

Alibaba Mulai Menjajakan Layanan Cloud Computing di Indonesia

Bersaing dengan Amazon, sebagai perusahaan yang awalnya mematangkan diri sebagai perusahaan e-commerce, Alibaba kini mulai melayangkan layanan cloud computing bagi bisnis go-digital. Berakar dari kesuksesannya membawakan bisnis jual beli online, perusahaan rintisan Jack Ma ini sedang mencoba memperluas pangsa pasar layanan Alibaba Cloud ke seluruh dunia, termasuk di Indonesia.

Layanan Alibaba Cloud sendiri, saat ini sudah digunakan lebih dari 1.8 juta bisnis, dan rata-rata adalah startup digital. Didukung lebih dari 2.000 pekerja dan 900 ahli di bidang cloud computing, Alibaba Cloud dipersonalisasi dengan kebutuhan bisnis berkembang yang cukup dinamis. Alibaba Cloud juga berusaha memastikan keandalan layanan dengan selalu menggunakan teknologi, baik hardware server dan jaringan, maupun perangkat lunak teranyar.

Produk cloud yang ditawarkan juga cukup beragam, mulai dari untuk kebutuhan server (berupa virtual private cloud, compute service dan load balancer), layanan basis data, storage dan CDN, hingga layanan manajemen dan keamanan. Sistem keamanan yang ditawarkan termasuk Anti-DDoS, yang siap melindungi bisnis dari serangan siber yang dewasa ini cukup meluas di kalangan pebisnis online. Pun demikian, sistem juga dilengkapi dengan layanan cloud monitor untuk memastikan tim IT bisnis selalu dapat memantau performa sistem dengan baik.

Percobaan gratis dua bulan untuk eksplorasi dan perbandingan

Alibaba Cloud saat ini juga memberikan kesempatan bagi pebisnis digital untuk mencicipi layanannya selama 2 bulan (atau 60 hari). Semua layanan yang ada di Alibaba Cloud dapat dicoba dan dieksplorasi, termasuk mencoba untuk diintegrasikan atau digunakan untuk men-deploy sistem yang telah dikembangkan. Untuk mencoba gratis, pengguna dapat mengikuti langkah singkat berikut ini.

  1. Klik pada tautan ini untuk mulai melakukan pendaftaran: klik di sini.
Mendaftarkan diri di percobaan trial Alibaba Cloud
Mendaftarkan diri di percobaan trial Alibaba Cloud

Selanjutnya pengguna dapat memilih spesifikasi layanan cloud sesuai dengan kebutuhannya, klik “Start your trial now”.

  1. Kemudian pilih register untuk mendapatkan akun baru. Menariknya tidak seperti layanan cloud lain, percobaan gratis di sini tidak memaksa pengguna harus memiliki kartu kredit atau menginputkan mekanisme pembayaran di depan. Semua dapat dilakukan dengan sangat ringkas dan gratis.
  2. Tuliskan detil informasi registrasi berupa email, maka sebuah email konfirmasi akan dilayangkan. Ikuti petunjuk selanjutnya untuk pengisian data diri.
  3. Layanan cloud siap digunakan dan dimanfaatkan.
Panel kontrol layanan Alibaba Cloud
Panel kontrol layanan Alibaba Cloud

Semua layanan yang disajikan Alibaba Cloud dapat dicoba tanpa terkecuali di masa trial selama 2 bulan.

Mencoba layanan menjadi bagian penting untuk mengetahui apakah sistem cloud yang ditawarkan mampu bersinergi dengan baik dengan sistem yang dikembangkan. Dengan demikian bisnis akan lebih percaya diri ketika harus menandatangani kontrak untuk investasi jangka panjang untuk mempercayakan fondasi sistemnya ke penyedia layanan cloud tersebut.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial dari Alibaba Cloud, penyedia layanan cloud computing dari Alibaba, untuk informasi lebih lanjut seputar layanan, produk dan promo klik pada tautan ini. Anda juga dapat mencoba secara gratis.

Alibaba Ungkap OS’Car RX5, Perwujudan Visinya Akan Sebuah Mobil Internet

Selama berpuluh-puluh tahun, mobil kita kenal sebagai salah satu sarana transportasi. Akan tetapi di mata Alibaba, mobil merupakan bagian dari ekosistem Internet of Things. Akhirnya, setelah lebih dari setahun dikembangkan, visi mereka akan sebuah “mobil internet” terwujud lewat SUV bernama OS’Car RX5.

Seperti apa definisi mobil internet yang dicanangkan Alibaba? Apakah sekadar terhubung dengan berbagai layanan internet? Kalau seperti itu, sekarang saja sebenarnya sudah banyak mobil dengan kepintaran yang sama, meski mayoritas masih mengandalkan smartphone yang terkoneksi.

Tidak demikian untuk OS’Car RX5. Kuncinya ada pada sistem operasi YunOS yang didesain secara khusus untuk mobil ini. YunOS sendiri sebelumnya sudah banyak digunakan oleh perangkat smart home, dan kini ekosistemnya diperluas oleh mobil internet ini.

Menurut Dr. Wang Jian selaku direktur divisi Technology Steering Committee milik Alibaba, sistem operasi diibaratkan sebagai mesin kedua mobil, sedangkan data merupakan ‘bahan bakar’ baru di era serba digital ini. Berangkat dari konsep semacam itu, Alibaba telah mengintegrasikan sejumlah layanannya langsung ke dalam mobil.

Salah satunya adalah layanan pembayaran Alipay, dimana pemilik mobil bisa membayar di SPBU maupun kedai kopi tanpa harus turun dari mobil sama sekali. Mereka juga tidak perlu membuka aplikasi di ponsel atau menggesek kartu kredit; pembayaran berlangsung secara menyeluruh lewat Alipay, dan mobil yang dikemudikan bertindak sebagai medium otentikasi.

Sistem multimedia maupun pendingin udara bisa dikontrol via perintah suara, atau secara otomatis berdasarkan "internet ID" pengemudi / Alizila
Sistem multimedia maupun pendingin udara bisa dikontrol via perintah suara, atau secara otomatis berdasarkan “internet ID” pengemudi / Alizila

Fitur pintar lainnya adalah dimana setiap pengemudi akan diberi “internet ID” yang berbeda, sehingga sistem operasi mobil mampu mengenali masing-masing pengemudi sekaligus memberikan rekomendasi musik tertentu, suhu pendingin udara maupun restoran terdekat berdasarkan perjalanan sebelum-sebelumnya.

Fitur perintah suara telah tertanam di dalamnya, demikian pula dengan sistem navigasi pintar yang tidak perlu mengandalkan GPS ataupun Wi-Fi untuk bisa melacak lokasi mobil di peta. Sebanyak tiga layar sentuh terpasang di dalam kabin demi memudahkan pengguna berinteraksi dengan YunOS.

OS’Car RX5 dikembangkan bersama SAIC Motor Corp., yang tidak lain merupakan pabrikan otomotif terbesar di Tiongkok. Alibaba sendiri saat ini sudah membuka pre-order mobil internetnya di kampung halamannya seharga 148.800 yuan, atau sekitar Rp 292 juta.

Sumber: Engadget dan Alizila.