Dalam Bisnis Kuliner, Perubahan adalah Keniscayaan

Bisnis kuliner merupakan jenis bisnis yang benar-benar mewakili semangat “beradaptasi atau mati”. Beruntung bagi Kulina, Andy Fajar Handika merupakan sosok yang cepat beradaptasi. Founder & CEO Kulina itu sudah beberapa kali melakukan perubahan dalam bisnis kuliner.

Dalam reality show Kitchen Nightmare, masalah yang dihadapi oleh chef kondang Gordon Ramsay paling sering berpangkal pada pemilik restoran yang sama sekali enggan menyesuaikan diri dengan tren dan perilaku konsumen terbaru. Cara mereka mengasingkan diri dengan kenyataan baru menempatkan mereka di ambang kebangkrutan.

#SelasaStartup edisi kali ini menyoroti bisnis Kulina dan upaya Andy yang mengakrabkan diri dengan segala bentuk perubahan yang diperlukan untuk bertahan di industri kuliner.

Akrab dengan perubahan

Andy yang sudah berbisnis kuliner sejak 2007 punya sejarah panjang dalam beradaptasi di bisnis kuliner. Bisnis kuliner bukan hanya soal cita rasa, tapi juga soal lokasi, harga, hingga cara berjualan. Andy bercerita pertama kalinya ia menggeser bisnisnya ke arah online karena kenaikan harga sewa tanah tempatnya berdagang lebih cepat ketimbang pertumbuhan bisnis mereka sendiri.

Growth bisnis restoran paling hanya 10% per tahun, sedangkan growth tanah bisa 50-80% setahun. Tempat yang strategis harganya jadi sangat-sangat mahal. Akhirnya yang bisa jualan di tempat strategis memang orang yang sangat kaya dengan modal sangat kuat,” kenang Andy.

Kulina berdiri pada 2015 dengan motivasi semua orang bisa yang bisa memasak, bisa menjual masakannya. Namun ide itu terbukti gagal. Andy menyebut di bulan pertama hanya ada satu-dua pelanggan yang notabene kawannya sendiri.

Paham ada banyak yang salah di bisnisnya, Andy langsung berbenah. Hanya dalam hitungan beberapa bulan Kulina melakukan pivot. Mereka akhirnya memilih pekerja kantoran yang minim opsi makan siang di Jakarta sebagai target produk Kulina. Pivot ini berhasil dan mengantarkan Kulina seperti yang kita kenal sekarang.

Situasi khusus

Wabah Covid-19 memukul industri kuliner. Kewajiban swakarantina dan beraktivitas dari rumah menyebabkan restoran terancam gulung tikar karena minim pemasukan. Keadaan ini tentu turut memengaruhi bisnis startup kuliner termasuk Kulina.

Andy mengatakan, saat ini ada perubahan komposisi produk yang dipesan oleh pelanggan mereka. Sebelumnya paket makan per orang mendominasi, tapi saat ini paket makan porsi keluarga justru lebih banyak dipesan. Ia mengklaim secara Kulina mengalami penurunan jumlah pemesanan, namun sebaliknya volume makanan yang dipesan justru meningkat.

Perubahan jenis pesanan itu menurut Andi disebabkan oleh banyaknya besarnya waktu masyarakat untuk mengakses peralatan masak atau kebutuhan pokok. Alhasil pelanggan mereka saat ini lebih melirik produk yang berisi lauk-pauk saja.

“Kita juga besok akan ada launch produk-produk frozen food yang siap dimasak atau dihangatkan.”

Andy mengaku, hingga saat ini Kulina selalu mengalami perubahan rutin dalam skala mikro. Ia bahkan tak bisa menjawab berapa lama waktu yang ia butuhkan sampai menemukan model bisnis yang paling tepat untuk Kulina. “Kalau ditanya apakah sudah ketemu model bisnis yang paling tepat, selalu ada penyesuaian di sana-sini,” pungkas Andy.

Racikan Teknologi Bawa Kelezatan untuk Bisnis Makanan

Kita sekarang hidup di masa jaya layanan pesan antar makanan. Tidak hanya di kota-kota besar, layanan pesan antar makanan yang diprakarsai dua super app, Grab dan Gojek sudah masuk ke daerah-daerah. Layanan ini mampu mendongkrak pertumbuhan pengusaha makanan. Pengguna dimanjakan dengan kemudahan dan tentunya diskon, di sisi lain banyak yang bergabung sebagai merchant atau mitra penyedia makanan.

Di Indonesia gelombang ini dimulai ketika Gojek memperkenalkan GoFood. Gayung bersambut, ternyata banyak masyarakat yang tak hanya membutuhkan tumpangan yang mudah dan murah tetapi juga butuh mendapatkan makanan yang gampang dan terukur. Grab menyusul hadir dengan GrabFood.

Keduanya kemudian tak terbendung. Meluas setiap tahunnya hingga menjangkau banyak kota di Indonesia. GoFood bahkan tercatat berhasil memiliki 500.000 merchant kuliner, 12 juta menu dengan 96% di antaranya adalah UKM.

“Berkat kepercayaan dan loyalitas konsumen dan mitra merchant terhadap inovasi teknologi yang terus dihadirkan GoFood selama empat tahun terakhir, kami terus menjadi pemimpin pasar di layanan food delivery dan menjadi nomor satu di Asia Tenggara. Transaksi GoFood meningkat sebanyak 2,5 kali lipat dibandingkan dengan kuartal yang sama tahun lalu dan membukukan 50 juta transaksi di Asia Tenggara setiap bulannya,” klaim VP Corporate Affairs for Food Ecosystem Gojek Rosel Lavina.

Teknologi di Indonesia pernah beberapa kali hadir dalam bentuk inovasi untuk bisnis makanan. Sebelum maraknya layanan pesan antar makanan ada inovasi katering online. Sebuah layanan yang memungkinkan pengguna memesan menu di tempat katering, secara online. Bedanya, layanan ini menyediakan fitur berlangganan dengan menu yang disesuaikan, seperti menu makanan sehat dan lain sebagainya.

Katering online

Sebelum ramai dengan layanan pengantaran makanan, di Indonesia lebih dulu hadir layanan katering online. Penyedia layanan katering online ini kemudian banyak berinovasi, baik menghadirkan makanan dengan menu terntu hingga bumbu masakan siap masak.

Beberapa layanan penyedia katering online sudah tinggal nama. Black Garlic sudah tak lagi beroperasi sejak tahun 2017 dan Berrykitchen diakusisi Yummy Corp.  Beberapa nama yang masih bertahan di antaranya Kulina, Mealbox, dan Gorry Gourmet. Mereka yang masih bertahan berusaha memberikan inovasi untuk menjaga dan menumbuhkan jumlah penggunanya. Inovasi hadir tak hanya dalam bentuk kecanggihan teknologi tetapi juga pilihan menu atau bentuk berlangganan.

Layanan katering online juga banyak hadir sebagai pelengkap layanan utama. Contohnya Doogether, startup yang fokus pada gaya hidup sehat ini memperkenalkan Doogether Food. Ada juga Lemonilo yang memang dari awal memposisikan diri sebagai penyedia produk sehat yang memiliki marketplace katering online.

Gojek dan Grab sendiri sudah menghadirkan inovasi lanjutan setelah layanan pesan antar yang mereka miliki mendapatkan popularitas dan terbukti bisa menarik banyak pengguna. Cloud Kitchen. Sederhananya, mereka mengumpulkan banyak “dapur” ke dalam satu tempat. Tujuannya jelas, memudahkan pengguna mendapatkan makanannya.

GO-FOOD Kurangi Penggunaan Plastik Sekali Pakai

Ramainya jasa pesan antara bukan tanpa hal negatif. Founder Kulina Andy Fajar Handika menceritakan keresehan yang dialaminya, terutama perkara hal plastik. Menurutnya tren pesan antar makanan meningkatkan konsumsi plastik di masyarakat. Kulina sendiri saat ini mulai memanfaatkan kemasan ramah lingkungan bagi para vendor, sebuah langkah kecil yang diharapkan bisa memberikan pengaruh. Hal yang juga mulai juga dilakukan Grab dan Gojek untuk layanan pesan antar mereka.

“Saya kira ini adalah masalah bersama yang perlu dibicarakan dan dipecahkan. Kita tidak bisa diam saja mengenai hal ini. Bayangkan ratusan ribu, bahkan jutaan tambahan kemasan makanan yang terbuang dan mengotori bumi setiap harinya karena behavior kita bergeser dari makan di warung [pake piring yang dicuci kembali] atau memasak di rumah atau bekal menjadi sesederhana memesan online?,” cerita Andy.

Andy juga menyoroti jika seandainya cloud kitchen hanya menyediakan makanan yang sering dipesan. Kondisi ini menurutnya hanya akan menyempitkan menu-menu yang ada. Bisa jadi pasar akan merespon negatif jika pilihan menu yang disajikan cloud kitchen ini “hanya itu-itu saja”.

Inovasi lainnya

Di sisi lain keberhasilan layanan pesan antar makanan menginspirasi banyak orang menghadirkan beragam solusi melalui teknologi untuk bidang makanan. Salah satunya Madhang, startup asal Semarang ini ingin mengangkat masakan lokal. Mereka memungkinkan mereka yang tidak punya warung sekalipun untuk bisa berjualan makanan melalui aplikasi. Mereka bekerja sama dengan Grab untuk pengantaran makanannya. Yang jadi fokus, semua orang yang bisa masak bisa berjualan, tentunya menu rumahan jadi andalannya.

Bentuk lain dari sinergi dari teknologi dan bisnis makanan hadir dalam bentuk platform direktori makanan dan/atau reservasi makanan. Beberapa di antaranya adalah Zomato, Qraved, dan Eatigo. Ketiganya menghadirkan layanan yang menampilkan informasi mengenai makanan dan restoran di suatu tempat. Tentunya dengan fitur pemesanan dan juga berbagi pengalaman.

Cerita Kulina Usai Mengikuti Google Launchpad Accelerator Batch Kelima

Sebagai satu-satunya startup yang mengikuti program Google Launchpad Accelerator batch kelima, CEO Kulina Andy Fajar Handika menjabarkan pengalaman dan rencananya usai merasakan langsung inkubasi di kantor Google San Fransisco akhir tahun 2017 lalu kepada media (06/03).

Head of Communications Google Indonesia Jason Tedjasukmana mengungkapkan, salah satu alasan hanya Kulina yang dikirim untuk mengikuti program akselerasi Google adalah semakin banyaknya jumlah negara yang mengikuti program ini.

“Waktu awal hanya tiga negara yang mengikuti Google Launchpad Accelerator, namun di batch kelima ini kami mencatat ada sekitar 24 negara yang mengikuti. Melihat kondisi tersebut Google Indonesia pun harus menyesuaikan perubahan ini.”

Kegiatan Google Launchpad Accelerator merupakan program rutin yang digelar Google. Selain fokus kepada pengembangan teknologi startup, program ini juga fokus kepada skalabilitas dan tahapan scale-up yang relevan untuk masing-masing startup dan ditujukan bagi emerging market.

“Bukan hanya sesi mentoring, kami juga diberi kesempatan untuk berbagi pengalaman dengan startup dari negara lain. Secara keseluruhan program ini memberikan motivasi baru bagi Kulina untuk menjalankan bisnis yang relevan ke depannya,” kata Andy.

Bertemu Eric Schmidt

Kulina berfoto di depan Markas Google dalam Program Class 5 Launchpad Accelerator
Kulina berfoto di depan Markas Google dalam Program Class 5 Launchpad Accelerator

Salah satu keuntungan menjadi partisipan kegiatan akselerasi Google adalah kesempatan bertemu secara langsung dengan para pakar dan tokoh terkemuka raksasa teknologi ini. Salah satunya adalah dengan Eric Schmidt, mantan CEO Google yang rencananya akan mundur dari jabatan sebagai Chairman Alphabet (induk perusahaan Google) tahun ini.

Meskipun tidak dijadwalkan sebelumnya, sesi diskusi dan mentoring yang menjadi rutinitas kegiatan menjadi lebih istimewa ketika Eric memutuskan bertemu langsung dengan para penggiat startup dari berbagai negara ini.

“Banyak informasi penting yang disampaikan Eric, bukan hanya pengalaman sukses namun kegagalan yang sempat dialaminya selama bekerja di Google. Salah satunya adalah kegagalan Google+,” kata Andy.

Andy menambahkan nasihat penting yang disampaikan Eric adalah pentingnya mengelola budget perolehan pendanaan supaya tidak kehabisan uang.

Rencana Kulina pasca program

Setelah menjalankan program akselerasi dari Google, banyak pekerjaan rumah yang bakal diselesaikan Kulina, di antaranya fokus mengembangkan situs dan menunda dulu peluncuran aplikasi.

“Karena sifat pelanggan Kulina bukanlah on-demand, sehingga menjadi sulit bagi kami untuk segera meluncurkan aplikasi. Meskipun masih dalam pipeline kami, untuk aplikasi sementara waktu kami tunda dulu pengembangannya,” kata Andy.

Disinggung apakah program Google Launchpad Accelerator hanya fokus kepada integrasi berbagai produk Google di teknologi yang dimiliki Kulina, Andy mengungkapkan banyak pengetahuan penting yang dibagikan dalam program tersebut. Termasuk di dalamnya soal pengelolaan finansial, manajemen, dan hal pendukung lainnya.

“Meskipun program akselerasi namun kami memiliki kesempatan untuk bertemu langsung dengan startup unicorn dari negara lain. Menjadikan kami cukup humble dan bersemangat untuk mendengarkan cerita sukses mereka,” kata Andy.

Kulina Becomes The Only Indonesian Startup in The Fifth Batch of Google Launchpad Accelerator

Google announces startups to attend Google Launchpad Accelerator program. In the fifth batch, Indonesia is represented by Kulina, a startup engaging in lunch catering. This will be Kulina’s chance to study from selected mentors.

Google Launchpad Accelerator is a six-month event held by Google. The two-week bootcamp program will provide participants with opportunity to get mentoring by Google team or experts from Silicon Valley’s venture capital and technology company. The fifth batch program is planned to begin on January 29, 2018.

Previously, Google Launchpad Accelerator has invited some startups from Indonesia. Such name as PicMix, Ruma, Qlue, Snapchat, Jurnal, iGrow, Kurio, Jojonomic and Sirclo are listed as startups to join the program and get some essential learning.

Besides Kulina, there are other startups attending this program from other developing countries in Asia, Africa and South America.

Kulina is Yogyakarta’s startup that serves Jakarta’s market. They claim to develop services to help Jakartans get a low-cost but proper meal.

“Lunch plays important role in burning employee’s money. With Kulina, lunch budget can be controlled and consumer can use their money for other things such as traveling or savings,” Casper Sermsuksan, Kulina’s Chief Operating Officer, explained.

Kulina is said to have developed algorithm technology to help consumer choosing the closest route and save cost-delivery.

“Our algorithm produce a very significant cost-logistic efficiency, the consumer no longer need to worry about additional cost-delivery,” said Andy Fajar Handika, Kulina’s CEO, about the service.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Kulina Jadi Satu-satunya Startup Indonesia di Google Launchpad Accelerator Batch Kelima

Google kembali mengumumkan nama-nama startup yang berhak mengikuti program Google Launchpad Accelerator. Di edisi kelima ini, Indonesia diwakili oleh Kulina, sebuah startup yang bergerak di bidang langganan katering untuk makan siang. Ini akan menjadi kesempatan Kulina mendapatkan sejumlah pembelajaran dari mentor-mentor terpilih.

Google Launchpad Accelerator adalah acara enam bulan sekali yang diadakan oleh Google. Program bootcamp yang diselenggarakan selama dua minggu akan memberikan kesempatan bagi para pesertanya untuk mendapatkan mentoring dari tim Google maupun mentor ahli dari perusahaan teknologi dan venture capital di Silicon Valley. Rencananya program batch kelima ini akan dimulai pada 29 Januari 2018 mendatang.

Sebelumnya Google Launchpad Accelerator telah meluluskan sejumlah startup asal Indonesia. Nama-nama seperti PicMix, Ruma, Qlue, Snapcart, Jurnal, iGrow, Kurio, Jojonomic, dan Sirclo tercatat sebagai startup yang memiliki kesempatan bergabung dengan program yang sama dan mendapatkan sejumlah pembelajaran penting.

Selain Kulina dari Indonesia, ada sejumlah startup lain yang mengikuti program ini dari negara-negara berkembang di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.

Kulina adalah startup Yogyakarta namun melayani pasar Jakarta. Mereka mengklaim mengembangkan layanan untuk membantu masyarakat Jakarta mendapatkan makan siang yang hemat namun berkualitas.

“Konsumsi makan siang adalah salah satu elemen terbesar yang menguras dompet karyawan di Jakarta. Dengan Kulina, anggaran makan siang bisa terkontrol dan konsumen bisa menggunakan penghematan tersebut untuk hal-hal lain yang tak kalah penting seperti travelling, menabung dan lain-lain,” terang Chief Operating Officer Kulina Casper Sermsuksan.

Kulina disebut mengembangkan teknologi berupa algoritma untuk membantu memilihkan rute terdekat dengan konsumen untuk menghemat biaya pengiriman sehingga biaya yang harus dikeluarkan konsumen Kulina bisa diminimalisir.

“Algoritma kami menghasilkan efisiensi biaya logistik yang sangat signifikan, sehingga kami tidak perlu membebani konsumen dengan tambahan ongkos kirim,” CEO Kulina Andy Fajar Handika menjelaskan layanannya.

Tentang Startup yang Bakar Duit dan yang Disebut “Bisnis Beneran”

Startup scene di Indonesia semakin intense beberapa tahun terakhir ini. Berbagai jenis perusahaan digital bermunculan dengan bermacam model bisnis, dibarengi dengan berseliweran Venture Capital yang nongol, entah dari luar negeri maupun lokal.

Bisnis dan kegiatan yang berputar di perusahaan-perusahaan startups ini, juga semakin berkembang. Ada media yang khusus meliput tentang startup, perusahaan pembuat software khusus startup, hingga juga bisnis coworking space yang klien-kliennya adalah perusahaan startup.

Masih teringat jelas kehebohan ketika Tokopedia mendapatkan pendanaan 100 juta dollar di tahun 2014? Barusan juga MatahariMall dapet segitu, tapi sekarang ngga heboh-heboh amat 🙂

Well, belakangan ini — Ada Gojek yang barusan dapet 550 juta dollar, kemudian FoodPanda yang stop beroperasi karena disinyalir kehabisan uang. Semakin hari semakin banyak berita tentang startup A yang dapet pendanaan sekian juta dolar, dan startup B yang tiba-tiba harus tutup karena berbagai alasan; kehabisan dana, atau berencana untuk pivot ke bisnis yang lain.

Dan beberapa hari lalu; saya tergelitik membaca sebuah status facebook yang entah kenapa nongol di linimasa saya; yang kira-kira begini:

“Semakin banyak bisnis startup yang terbukti kayak judi, mendingan bisnis riil saja”

— otomatis membuat saya berpikir keras; errrrr…

Lalu saya ingat lagi sih tentang teman yang mengomentari tentang startup dengan membandingkan bisnis dia sendiri; “Ya kalau aku bisnis riil gini beda sih itungannya, harus untung beneran..”

Hmm. Sepertinya cukup banyak miskonsepsi di masyarakat — yang menganggap bahwa bisnis startup itu lawan kata dari bisnis riil atau beneran. Artinya, bisnis startup ya bukan bisnis beneran, alias bisnis palsu a.k.a abal-abal.

Kalau dilihat dari asal-katanya, startup bisa diartikan sebagai “baru mulai”. Artinya ya semua bisnis yang barusan saja mulai (walaupun ini relatif, tapi cukup banyak yang sepakat bahwa sebelum 3 tahun bisa jadi patokan).

Nah saya mau mencoba menjelaskan tentang perbandingan antara startup dengan “bisnis beneran”. Agar memudahkan, mari kita bayangkan sebuah analogi perbandingan antara sebuah situs e-commerce atau virtual mall, dengan mall “beneran”, dengan tokoh fiktif Amir dan Umar — dalam perspektif valuasi perusahaan.

Cerita Amir

Amir adalah anak seorang konglomerat. Bapaknya mempunyai bisnis properti sukses dan terbiasa membangun perumahan, perkantoran serta pusat perbelanjaan. Setiap hari jumat, Bapak Amir selalu mengajak Amir untuk pergi main golf. Berikut pembicaraan mereka:

Bapak: “Amir, sudah saatnya kamu mengikuti jejak Bapak di bisnis properti. Cobalah kamu beli salah satu tanah dari perusahaan keluarga kita dengan harga dan kamu bangun sesuatu di atasnya. Nanti Bapak kasih modalnya.”

Jadilah Amir bikin mall.

Ideation & Building Stage

Karena Bapaknya kaya raya, maka Amir bisa mengalokasikan dana Rp 125M buat bikin mall tersebut. Hal yang pertama dilakukan Amir adalah membeli tanah untuk membangun Mall tersebut. Dibutuhkan 10,000 m2 (1 hektar) bidang tanah yang terletak di area strategis. Harga pasarannya sebenarnya per m2 adalah Rp 4jt/m2 — akan tetapi karena Amir membeli tanah dari perusahaan Bapaknya, maka dia mendapat harga murah, cuman Rp 2.5jt/m2.

Dengan 2.5jt/m2, maka cukup Rp 25M saja untuk membeli tanah yang dibutuhkan. Sampai disini, uang Amir masih tersisa Rp 100M di bank, dan valuasi perusahaan sudah seketika naik menjadi Rp 140M (cash 100M + nilai aset tanah 40M).

Dengan 100M tersisa, Amir mulai membangun Mall yang dia rencanakan. Berbagai kanal alokasi dana terkucur — dari konsultan bangunan, kontraktor, hingga tim manajemen dan marketing yang dia sewa. Butuh waktu 1 tahun kira-kira hingga Mall tersebut mulai dibangun, dengan biaya total Rp 75M.
Selama pembangunan, tim marketing Amir juga sudah beroperasi, mereka telah mulai menawarkan kepada pemilik bisnis — pemilik restoran, pemilik merek fesyen, optik, coffee shop, dan department store. Oh ya, tidak ketinggalan bioskop. Beberapa merek dan kategori bisnis seperti department store, bioskop dan brand yang sangat kuat dan ada di mana-mana disebut sebagai Anchor tenants.

Product/Market Fit & Growth Hack

Satu tahun kemudian, ketika sudah siap beroperasi, belum banyak penyewa, tetapi sudah ada beberapa anchor tentant. Mereka mau masuk ke dalam Amir Mall dan membuka gerai, karena ditawarkan harga yang sangat murah — bahkan hingga gratis sama sekali. Kenapa? Karena dengan mereka masuk, Mall sudah mulai beroperasi dan bisa menarik pengunjung. Bagi bisnis Mall, anchor tenants ibarat MVP (Minimum Viable Products).

Seminggu sebelum hari pembukaan, dipasang iklan di semua media hingga seluruh penduduk kota tahu tentang Amir Mall. It’s the talk of the town. Semua orang tertarik untuk datang mengunjungi Mall baru tersebut. Para pemilik bisnis yang sebelumnya sudah ditawari space, baik yang sudah menyewa maupun belum — oleh tim marketing diundang kembali sebagai tamu VIP.

Pada hari pembukaan, pengunjung berjubel, dan para tamu VIP a.k.a calon penyewa sebagian besar langsung menandatangani kontrak untuk menyewa space di Amir Mall. Launchingnya sukses besar!

Seminggu setelah Mall beroperasi, Amir mengajak meeting para manajemen dan mengundang konsultan untuk menghitung valuasi bisnis dia sekarang. Ternyata space yang disewakan di Mall tersebut sudah terisi sebesar 80% pada minggu pertama; 20% untuk anchor tenant, dan 60% oleh tenant baru yang baru saja mendaftar.

Monetization

Pada tahun pertama, Amir hanya menarik sewa sebesar Rp 8jt /m2 per tahun saja (belum termasuk service charge, listrik, dsb) — sedangkan space yang ditawarkan sebesar 10,000 m2 (ada 4 lantai dengan tiap lantainya seluas 2,500m2). Artinya, pada tahun pertama, pendapatan sewa bersih Amir Mall tercatat sebesar Rp 48M.

Konsultan kemudian menghitung dengan detil semua aset yang dimiliki Amir Mall sekarang. Nilai tanah bangunan ternyata sudah naik drastis karena begitu Amir Mall dibangun, maka tanah-tanah disekitarnya naik harga. Sekarang nilai tanah sudah mencapai Rp 6jt /m. Artinya, tanah Amir senilai Rp 60M. Kemudian nilai bangunan ditaksir senilai Rp 60M juga. Rugi sih, karena pembangunannya mencapai Rp 75M, tetapi nilai taksiran memang tidak akan sama dengan nilai riilnya.

Valuation

Untuk valuasi bisnis Mall sendiri ternyata pihak konsultan menyarankan metode sederhana = total nett revenue x 5 tahun, karena diprediksi dalam 5 tahun bisnis ini akan berjalan lancar. Untuk gaji karyawan dan pengeluaran lain dihitung Rp 1M per bulan, atau Rp 12M per tahun. Karena patokan yang ada adalah gross revenue sebesar Rp 48M / tahun, maka total per tahun dihitung laba bersih adalah sebesar Rp 36M.

Sampai disini, valuasi bisnis Amir Mall adalah sebesar:
Tanah Bangunan (10,000m2) = Rp 120M
Dana tunai di Bank = Rp 25M
Valuasi bisnis (5 tahun x Rp 36M) = Rp 180M
Total = Rp 325M.

Wow, fantastik! Dalam 2 tahun, modal (bapaknya) Amir sebesar Rp 125M telah berkembang sebesar 2.6 x lipat! Amir hari itu pulang dengan bangga. Malam itu dia punya jadwal untuk makan malam bersama Bapaknya, dan situlah dia menceritakan pada sang Bapak bahwa dia telah sukses membangun bisnisnya.

Sang Bapak mendengarkan dengan seksama, sambil menepuk bahu Amir;
“Hebat nak, teruskan ya..”
..tapi Amir merasa bahwa respon dari Bapak sungguh datar..

Cerita Umar

Sore sebelum Amir pulang, sang Bapak sebenarnya nongkrong di salah satu anchor tenant, sebuah coffeeshop berlogo warna hijau di Amir Mall. Dia ingin melihat bagaimana hasil kerja anaknya. Bapak Amir duduk sendirian sambil melihat orang ramai lalu lalang. Karena coffeeshop ini berada di dekat pintu masuk, dia juga bisa melihat di seberang jalan; sebuah pembangunan sebuah gedung bertingkat yang sepertinya baru saja dimulai.

Umar, baru saja mendarat dari Singapore — dia datang untuk menghadiri acara pernikahan teman lama, tetapi karena belum jam check-in maka dia mampir di Mall tersebut. Dia masuk ke coffeeshop pertama paling dekat dengan pintu masuk, dan mencari tempat duduk.

“Boleh ikut duduk di sini Pak? Kebetulan meja semua penuh dan sepertinya Bapak sendirian..”

Bapak Amir sedikit kaget, lalu mendongak sambil melihat pemilik suara serta menjawab: “Oh, silahkan..”

“Luar biasa ya Pak, perkembangan kota ini. Ini mall masih baru ya? Ramai banget ya?” sembari Umar menarik kursi dan menghempaskan badannya.

“Iya, baru saja dibuka seminggu lalu.” jawab Bapak Amir, sembari memperhatikan penampilan anak muda ini. Sepertinya seumuran anaknya, tapi berpenampilan lebih kasual. Kaos oblong, jeans dan sepatu kets; tidak seperti anaknya si Amir, yang berkemeja rapi kemana-mana.

“Oh, kalau di seberang sana, Mall juga ya pak? Kayaknya baru dibangun juga dan tadi sempat lihat ada papan namanya — sepertinya bakal jadi pusat perbelanjaan juga tuh.” kata Umar.

“Sepertinya sih begitu. Dan di ujung jalan di sebelah sana juga bakal ada Mall baru. Sepertinya jalan ini bakal dipenuhi dengan pusat perbelanjaan nantinya.” jawab Bapak Amir.

“Wah, kalau sepanjang jalan Mall semua, trus persaingan jadi ketat sekali dong pak? Kalau ngga salah pertumbuhan penduduk kota ini hanya 5% per tahunnya padahal. Kuenya ngga nambah yang mau makan tambah banyak dong ?” kata Umar.

“Hehehe maaf pak, saya sok tahu nih kayaknya. Kenalkan dulu Pak, nama saya Umar. Kebetulan dulu juga kecil di kota ini.” lanjut Umar, merasa lancang.

“Nama saya Kamirun mas, biasa dipanggil Pak Amir. Kebetulan saya juga punya anak seumuran dengan Anda, namanya Amir juga. Cuman, kalau saya dipanggil Amir — ejaan Indonesia, kalau anak saya, huruf vokalnya A & I nya itu diucapkan kayak mirip film seri jaman saya dulu it — The A-Team.”

Mereka lalu berjabat tangan.

Bapak Amir lalu meneruskan; “Oh, memang — persaingan semakin ketat, tetapi target pasar dari pusat perbelanjaan-pusat perbelanjaan ini bukan hanya dari penduduk kota lho. Semakin ramai jalan ini, maka akan semakin menarik orang dari kota-kota lain juga. Nah, karena semakin ramai, maka harga tanah juga naik. Artinya selain dari business profit, juga ada capital gain yang signifikan setiap tahunnya karena pertumbuhan nilai properti.”.

Lalu dia menjelaskan panjang lebar tentang model bisnis bikin pusat perbelanjaan, dan bagaimana ketika bisnis rugi, aset properti nilainya tetap naik dan secara keseluruhan bisnis ini ngga akan rugi. Bapak Amir juga dengan bersemangat menceritakan bagaimana Ciputra dan taipan bisnis lain yang bergerak di properti, dan masuk sebagai orang-orang terkaya di Indonesia.

Walau tidak secara langsung berkata tentang apa bisnis dia, Umar bisa menangkap bahwa bisnis Bapak Amir ini juga properti karena dia tahu sekali luar dalam tentang bisnis tersebut. Karena Bapak Amir juga bisa menyebutkan dengan detil mengenai Mall ini, Umar juga menebak bahwa mall tempat mereka berada sekarang juga milik dia, atau paling tidak milik anggota keluarganya.

“Wah, nantinya jadi kayak Orchard Rd gitu dong ya Pak jalan ini? isinya mall semua.” tukas Umar.

“Nah, betul itu, Anda pernah ke sana?” tanya Bapak Amir.

“Lumayan sering sih pak, paling tidak sebulan sekali. Kebetulan baru saja mendarat dari sana ini, ada meeting berturut-turut selama beberapa hari di Singapur minggu ini.”

“Wah, hebat juga Anda. Kerja atau bisnis?” tanya Bapak Amir penasaran.

“Kebetulan saya bisnis juga pak, yaa masih baru jalan sekitar 3 tahun ini. Kalau orang bilang, masih startup,” jawab Umar.

“Bisnis bidang apa mas? Kok sampai meeting-meeting di Singapur? Ekspor impor?” pak Amir semakin penasaran.

“Bukan Pak. Saya sekarang ini mengelola marketplace digital. Mungkin mirip dengan Mall sih, tapi tidak ada wujud fisiknya sama sekali. Semuanya digital, dan hanya transaksi ya hanya bisa dilakukan di internet. Ada orang yang jual barang disitu, lalu ada yang berminat beli. Nah, bisnis saya ini mempertemukan kedua pihak tersebut. Misal ada orang yang mau jual buku langka karangan Enid Blyton yang ditandatangani penulis langsung — padahal dia tidak punya toko buku; maka orang ini jualan di marketplace saya, dan ketemu oleh peminat yang mau beli.”

Ideation & Building Stage

Gantian kini Umar bercerita panjang lebar tentang marketplace yang dia kelola. Bermula dari meninggalnya Ayah Umar 3 tahun yang lalu yang tidak mewariskan banyak uang, tapi satu ruangan penuh dengan buku-buku koleksi almarhum.

“Saya masih ingat sekali isi surat warisan Ayah saya pak. Ini saya bahkan punya copy digitalnya” ujar Umar, sambil menunjukkan layar tabletnya, setelah beberapa kali klik untuk membuka sebuah file.

Umar, anakku satu-satunya.
Maafkan ayahmu yang tidak bisa meninggalkan warisan berupa harta maupun tanah yang berharga, karena Ayah yakin kamu bisa mendapatkan harta atau membeli tanah sendiri dengan hasil keringat dan otakmu yang encer itu.
Tapi yang Ayah tinggalkan jauh lebih berharga; ilmu pengetahuan dan kebajikan. Jendela-jendela menuju pelosok dunia. Lorong-lorong menuju balik ruang otak para cendekiawan.
Untukmu, Ayah wariskan perpustakaan pribadiku. Didalamnya terdapat ratusan, mungkin ribuan buku-buku pilihan, yang bahkan banyak ditandatangani langsung penulisnya.
Pergunakanlah warisanku ini dengan caramu sendiri, agar kamu bisa menguasai duniamu.

“Setelah pemakaman, 3 hari berikutnya saya habiskan untuk mulai menyortir koleksi buku Ayah saya. Saya masih belum tahu mau diapakan dengan seluruh buku ini. Ya memang sih, ini sumber ilmu pengetahuan dan jendela dunia. tapi setelah saya cek, hampir seluruh bukunya ada dijual di Amazon, dan kalau yang buku-buku lama, sudah ada copy digitalnya di internet dan bisa di unduh gratis. Pusing saya pak, bingung mau diapain.” Umar meneruskan.

“Lalu Anda apakan semua warisan buku-bukunya mas?” Bapak Amir bertanya sambil dia menerawang — dia sendiri belum terpikir tentang warisan yang ingin dia tinggalkan. Terbayang wajah keluarganya; anaknya, Amir, lalu orang-orang yang bakal benar-benar kehilangan kalau dia tidak ada, kemudian tak lupa juga wajah-wajah para pecundang yang dalam hati akan kegirangan kalau dia meninggal.

“Saya jual pak..” Umar menjawab dengan singkat dengan intonasi datar.
“Pertimbangan saya; yang pertama — saya tidak punya kemampuan mengelola perpustakaan. Saya jarang di rumah, dan perpustakaan pribadi Ayah saya adalah ruangan yang paling jarang saya masuki. Dan walaupun hobi saya membaca, tapi saya juga suka bepergian sehingga membawa-bawa buku-buku berat dalam ransel saya sepertinya bukan pilihan bagus.” kata Umar, sambil menunjuk ke tas ransel dia.

“Pertimbangan berikutnya, karena seluruh isi buku yang ada di perpustakaan Ayah, sekarang bisa saya dapatkan di gawai saya. Saya bisa membacanya kapan saja. Jadi buku-buku koleksi Ayah sebenarnya ngga ada gunanya kalau saya pakai sendiri.” Umar menjelaskan.

“Anda jual ke mana itu mas?” Bapak Amir bertanya, setengah penasaran setengah jengah — dia membayangkan kalau suatu hari nanti warisan yang dia berikan ke keluarga tidak dirawat, tapi dijual begitu saja.

“Tadinya saya iklankan di koran, tapi tidak laku. Saya coba tawarkan ke toko-toko buku, malah saya diketawain karena mereka juga mati-matian jualan buku. Trus saya coba tawarkan ke forum-forum online, itu lumayan pak — laku karena ternyata banyak juga kolektor buku yang berminat. Saya waktu itu sudah jual belasan buku koleksi dengan nilai jutaan rupiah. Sampai akhirnya kena kasus buku sudah saya kirim, duitnya ngga sampai ke saya.” ujar Umar.

“Kok bisa? Bukannya kalau jualan gitu nunggu duitnya dikirim dulu baru barangnya dikirim ya?”

“Nggak pak. Orang juga ngga mau metode gitu, makanya ada bisnis namanya rekening bersama atau rekber. Semacam escrow gitu sih kalau istilah bank. Cuman ini ternyata rekbernya bermasalah, pembeli udah transfer ke rekber, saya udah kirim bukunya, eh duitnya ngga ditransfer ke saya.” jelas Umar

“Lho kok gitu? Ngga dilaporin ke polisi?”

“Udah sih. Kasusnya udah rame tuh Pak, coba cari saja di Google tentang kasus itu pak. Udah ketangkep sih, dan mau nyicil mengganti rugi. Tapi ya gitu kan trus ribet ngurusnya, jadi kapok saya pake rekber dan jualan di forum lagi.”

“Trus, dijual kemana?” Bapak Amir mulai sudah mulai hilang jengahnya. Dia mulai memahami isi surat wasiat Bapak Umar — bahwa beliau mempercayakan warisannya untuk dipergunakan sesuai cara Umar sendiri. Jadi tidak ada kewajiban Umar juga buat terus menyimpan buku-buku berharga itu.

Product/Market Fit & Growth Hack

“Saya akhirnya coba bikin situs sendiri pak, khusus buat jualan buku-buku edisi kolektor. Namanya BukuLapuk.com. Semua buku saya foto dan saya kasih resensi singkat, juga saya kasih profil penulis serta link langsung ke penulisnya. Nah, setiap penulis itu saya kontak, mention atau tag di media sosial mereka. Karena deskripsi tentang mereka itu saya bikin unik dan lucu, dan buku yang dijual sudah tidak terbit lagi, maka rata-rata penulis itu akan share di akun mereka sendiri. Jadilah banyak orang yang datang berkunjung, dan akhirnya beli buku di situs saya.” lanjut cerita Umar.

“Bentar-bentar mas, katanya tadi bisnisnya marketplace? Kok ini jualan buku? Bedanya sama buku toko buku online kayak Garukmedia itu apa ya?” potong Bapak Amir.

“Iya pak, tadinya kan emang toko buku lama dan yang saya jual sendiri. Tapi di situ saya juga mengelola forum khusus buat peminat buku-buku antik. Nah, lama-lama ternyata terbentuk forum jual beli barang-barang antik antar sesama anggota. Akhirnya saya fasilitasi untuk memudahkan orang buat jualan barang antik, dan juga memudahkan orang-orang untuk melihat-lihat jualannya, sekalian pembayarannya juga saya urusi Pak. Jadilah BukuLapuk.com itu marketplace khusus buku langka dan barang-barang antik yang pertama,” jelas Umar.

“Kalau yang jualan buku saya sih paham mas. Tapi kalau marketplace itu, dapat untungnya darimana ya? Apa anda mengenakan komisi dari setiap barang yang dijual?” Bapak Amir penasaran bertanya.

Scale

“Nggak pak. Selama 3 tahun terakhir semuanya gratis. Transaksi jual beli kita fasilitasi tanpa bayar sedikitpun. Yang penting jumlah anggotanya semakin banyak, dan terbentuk ekosistem. Kalau dari awal dikenakan komisi, mana ada yang mau jual barang di tempat saya Pak. Dengan cara begini, 3 tahun berdiri kami sudah mencatat terjadi lebih dari 1 juta penjual Pak,” Umar menjelaskan.

“Lho, mana bisa begitu? Pasti kan banyak biaya yang dikeluarkan juga — apalagi dengan 1jt+ anggota, saya yakin butuh banyak SDM untuk mengelolanya kan?” tanya Bapak Amir.

“Sebenarnya beberapa bulan pertama, itu relatif sedikit sekali biaya yang saya keluarkan sih Pak, itu nutup dari biaya penjualan buku-buku Ayah saya. Sampai kemudian total penjual jumlahnya hingga seribuan lebih, saya mulai kewalahan menangani komplain pembeli yang nakal, atau penjual yang rewel. Yang jualan siapa, barangnya dikirim ke mana, komplainnya ke saya. Pusing saya Pak waktu itu..”

“Dan Anda tidak mengenakan komisi sedikitpun? Ngga juga penjual dikenakan biaya perbulan? Lalu bagaimana untungnya?”

“Nah, Pak. Memang jika dibandingkan dengan bisnis konvensional seperti Mall yang Bapak ceritakan ini misalnya — ada beberapa perbedaan, tetapi sebenarnya juga banyak benang merah yang sama juga. Kalau Bapak tadi cerita kalau buat bikin Mall itu butuh investasi besar diawal, untuk membeli tanah dan bangunan dengan arsitektur yang bagus, itu tujuannya buat apa Pak?”

“Lho ya biar orang-orang pada datang dong. Kalau banyak pengunjung, nanti dia kan lihat-lihat barang yang ada di Mall ini, atau datang ke restoran, atau ke coffeeshop kayak kita ini. Orang belanja, nanti pemilik toko dapat untung, dan kita kenakan biaya sewa. Kan jelas tuh bisnisnya, duitnya darimana — ngga kayak bisnis Anda ini..”

Monetization

“Saya jelas tidak berencana membuat yayasan non-profit pak, tapi dengan banyaknya transaksi yang terjadi sekarang, BukuLapuk.com sekarang mendapatkan keuntungan dari orang yang ingin produknya tertampil di depan calon pembeli. Dengan cara ini, penjual memiliki kemungkinan lebih besar produknya laku. Kami menyebutnya sebagai premium user. Mereka ini bisa memilih metode komisinya ke BukuLapuk.com — mau bayar setiap kata kunci yang di cari oleh calon pembeli, atau memberikan komisi setiap produknya laku.”

“Wah, bisa begitu ya? Sekarang berapa transaksi itu tiap bulannya mas? Hmmm.. kalau 1 juta penjual, rata2 jualan 2x barang saja perbulan, berarti udah ada 2 juta transaksi ya tiap-tiap bulannya? Kalau kira-kira harga barang antik pasti lebih dari Rp 200 ribu kan, misal ini rata-rata Rp 250,000 berarti total transaksi sebulannya Rp 500,000 x 1 juta; jadi 500 miliar sebulan mas?”

“Kira-kira segitu bener pak. Lebih dikit sih, tapi angkanya ngga meleset-meleset banget kok.”

“Lalu berapa penjual yang menjadi premium user? Pastinya orang lebih suka barangnya laku, jadi lebih banyak orang yang jadi premium user ya? Separonya lebih gitu?”

“Ngga Pak. Lebih banyak penjual yang masih merasa sayang harus memberikan komisi atau bayar tiap kata kunci. Jadi, cuman 5% saja kira-kira yang jadi premium user. Nah tapi, karena dari 5% ini otomatis bisa jualan lebih laris, maka kira-kira 20% transaksi itu adalah dari premium user yang memberikan komisi ke kita.”

“Jadi ada Rp 100M transaksi yang kasih komisi ya? Itu komisinya berapa persen?” sembari Bapak Amir memakai kacamatanya dan dia mulai membuka situs BukuLapuk.com, langsung klik menuju bagian “FAQ Penjual”.

Walaupun sudah berumur, tetapi untuk masalah teknologi, Bapak Amir tidak pernah mau ketinggalan. Beliau langsung bisa menemukan bagian ketentuan dan syarat menjadi premium user di BukuLapuk.com — dan sejenak kemudian, setelah mulutnya komat-kamit membaca beberapa paragraf yang ada, dia menggebrak meja!

“Gila! 5% komisi, berarti Anda bisa dapat 5M perbulan lebih ya? Berarti lebih besar dari bisnis Mall punya anak saya ini dong!”

Beberapa pengunjung meja sebelah sontak kaget dan menengok ke arah mereka. Umar juga setengah kaget, apalagi Bapak Amir — yang barusan menyadari kalau dia berkata terlalu kencang.

“Eh maaf, maaf..” sambil tangannya membentuk isyarat permintaan maaf kepada orang-orang disekitarnya.

“Tapi beneran Mas, saya ngga ngira kalau bisnis digital atau startup bisa untung sebanyak itu. Pantesan kok saya baca di situs-situs kayak TengsinAsia gitu, ada aja berita pendanaan sampai ratusan juta dolar — itu sebenernya duitnya itu buat apa dan ngapain gitu lho. Lha wong sudah jalan sendiri, berprofit gitu kenapa kok harus ada investor? Mending dikelola sendiri kan Mas..” lanjut Bapak Amir

“Analoginya begini sih pak; tadi kan Bapak cerita tentang Capital Gain dari bisnis properti atau pusat perbelanjaan. Kan naiknya nilai tanah tergantung dari ramainya lokasi tersebut — atau lebih tepatnya lagi, lembaga appraisal resmi yang menilai sebuah properti akan menggunakan referensi dari transaksi jual-beli tanah di dekat lokasi tersebut. Kalau misalnya kita beli tanah di sebuah lokasi dengan harganya Rp 3 juta/m2, tapi tahun depan ternyata tanah di sebelahnya persis nilainya sudah jadi Rp 6 juta/m2, otomatis kan nilai tanah kita kan juga dinilai naik..”

“Iya itu benar, tapi hubungannya apa ya?” Bapak Amir tidak sabar memotong.

“Kalau di startup; ketika terjadi pendanaan, artinya ada saham yang diperjualbelikan. Dana yang masuk ditukar dengan sebagian dari saham perusahaan tersebut. Nah, katakanlah misalnya yang dijual pada saat seed funding adalah 10% saham dan dibeli dengan harga 1 juta dolar, berarti kan nilai keseluruhan perusahaan atau valuasinya adalah 10 juta dolar kan.. Padahal bisa saja awalnya startup itu dibangun dengan modal dengkul dan otak saja.”

“Wah, itu perusahaan Anda dihargai segitu mas?”

“Bukan Pak, ini contoh saja kok..” Umar merendah.

“Lho itu terus uangnya buat apa? Bukannya perusahaannya sudah untung ya?”

“Belum Pak, itu kan dibuat untung baru-baru saja. Tiga tahun pertama kan seperti saya bilang tadi, semua gratis tis buat seluruh pengguna.”

“Maksudnya dibuat untung gimana? Ya kan niatnya memang cari untung kan? Saya kok ngga paham ya..”

Valuation

“Begini pak.. Memang mungkin saja sejak baru ribuan saja anggota, kita sudah bisa memungut komisi atau biaya per bulan. Tapi dengan begitu, pertumbuhan anggotanya pasti melambat. Udah gitu, bisa saja ada orang dengan ide yang sama bisa meniru dan kemudian membuat layanan yang sama persis walau beda nama — dan digratiskan. Kalau begitu kan berarti nyari untung kecepetan sama saja dengan bunuh diri Pak,“ jelas Umar.

“Nah, pendanaan dari Venture Capital itu untuk biaya marketing dan operasional untuk terus menambah lagi jumlah anggota dan transaksi yang ada, sampai pada titik dimana terbentuk ekosistem dimana setiap anggota ini benar-benar membutuhkan BukuLapuk.com sebagai media jualan dan mencari barang mereka. Kalau sudah begitu — baru deh bisa mulai cari duit dari situ.” sambung Umar.

“Kemudian, pada saat pendanaan berikutnya, atau biasa disebut series A, B dan seterusnya, disini founder sudah mulai jual sebagian dari saham ditukar dengan cash. Atau, paling tidak mendapatkan gaji atau bonus yang nilainya signifikan. Ngga ada aturan baku dalam pendanaan, tapi kebanyakan setiap pendanaan itu akan membuat nilai perusahaan naik 10x lipat atau lebih — dimana Founder kehilangan 10–20% tetapi total nilai dari saham yang dia pegang naik berkali-kali lipat,” Umar kembali menjelaskan.

“Hmmm.. jadi sebenernya mirip ya dengan bisnis Mall ya. Kalau bikin Mall kan modal gede dulu buat bikin gedungnya biar orang pada datang, begitu buka langsung ramai — langsung dapet duit. Kalau startup digital; mulai dari kecil dulu, modal gedenya dibutuhkan ketika semakin banyak orang yang datang, biar terus tambah ramai. Sama-sama nilai perusahaannya bertambah kalau pengunjung, pembeli dan penjualnya semakin banyak..,” kata Bapak Amir.

“Nah, bedanya Pak, bisa dikatakan bahwa marketplace kayak BukuLapuk.com punya saya ini, atau saingan saya TukuPidio.com — dulunya ini emang cuma forum tempat orang jual beli DVD film, trus berkembang jadi marketplace juga — itu potensi pertumbuhannya hampir tidak terbatas, atau istilahnya scalable,“ sambung Umar.

“Maksudnya scalable gimana ya?”

“Gini Pak. Misalnya Amir Mall ini, kalau sudah penuh seluruh space-nya, trus gimana? Atau ketika libur panjang dan parkiran di bawah penuh, apa yang bisa dilakukan?”

“Ya sudah memang kapasitasnya segitu. Pasti ada limitasinya lah. Trus misalnya memang sudah full capacity, ya rencananya bikin Mall lagi dong..” jawab Bapak Amir.

“Itu namanya repeatable, tapi ngga scalable. Kalau marketplace digital, tidak ada limitasinya Pak. Saya bisa punya jutaan penjual dan pembeli. Tidak dibatasi oleh besarnya gedung atau lebarnya tempat parkir. Nah kalau idealnya, memang bisnis startup digital itu harus punya 3 sifat — 2 yang tadi itu yaitu scalable dan repeatable, terus satu lagi: profitable.”

“Hmm ya, paham sekarang. Wah sekarang nilai perusahaan dan saham Anda di BukuLapuk sudah jutaan dolar ya mas?” Bapak Amir mengangguk-angguk kagum, sembari memperhatikan Umar yang sudah beberapa kali melirik jam tangannya.

“Baik Pak, senang sekali berkenalan dengan Bapak. Saya harus pergi sekarang tampaknya. Kapan-kapan kita ketemu lagi ya Pak..” Umar pamit kepada Bapak Amir.

“Wah, saya yang harus berterim kasih. Bisa saya minta no telpnya untuk kapan-kapan saya ajak ngobrol lagi?”

Mereka kemudian bertukar nomor telepon, dan Umar berlalu. Bapak Amir kemudian pulang ke rumah, karena dia juga sudah berjanji untuk bertemu anaknya.

Epilog

Ada beberapa tahap yang sebenarnya sama-sama ditempuh pada cerita Amir dan Umar, yaitu Ideation, Building Stage, Product/Market Fit, Growth Hack, dan Monetization. Bedanya, pada bisnis konvensional seperti bikin Mall, tidak ada tahap Scale.

Tidak ada bisnis yang tidak berisiko. Dan tidak semua orang cocok terjun dalam bisnis; baik “bisnis beneran” atau “bisnis startup” (iya, dikasih tanda petik maksudnya nyindir orang-orang yang bikin dikotomi antara keduanya).
Dan tidak pernah ada jalan yang mudah untuk berhasil di bisnis. Realitasnya, hanya sebagian kecil bisnis yang berhasil. Apalagi bisnis startup digital. Contoh cerita sukses diatas ya karena memang yang dipilih yang bagian suksesnya. Yang gagal lebih banyak.

Angkat topi, dan angkat jempol buat seluruh founder startup yang sudah mulai menjalankan bisnisnya. Bagi yang belum dan baru akan — hitung bener-bener segala aspek; dan jangan percaya-percaya banget sama motivator. Ambil yang masuk akal dan logis saja — karena belum tentu yang ngasih nasehat motivasi juga pernah mengalaminya.

Buatlah startup dengan memecahkan masalah yang benar-benar ada.

The real entrepreneur is a problem solver, not a money hunter.

If you already found your problems big enough to be solved, then go, do it, build your startup with everything you got. With all your heart, tears and blood. It’s gonna be worth it. Been there, done that.


Disclosure: Tulisan tamu ini dibuat oleh Andy Fajar Handika dan dipublikasi ulang melalui penyuntingan atas izin penulisnya. Sumber aslinya bisa diakses di sini.

Andy adalah CEO Kulina, situs pesan katering online. Kulina memecahkan masalah makan sehari-hari yang mahal di kota besar karena tingginya harga sewa space bagi restoran, dengan menawarkan langganan katering makan siang terjangkau di Jakarta mulai dari Rp 20.000/porsi.

Targetkan Kalangan Millenial, Kulina Terus Berekspansi Sampai Akhir Tahun

Platfom marketplace untuk mempertemukan antara catering dan home chef dengan pelanggan melalui medium situs dan aplikasi mobile Kulina, kembali mengumumkan inovasi terkini. Kali ini adalah paket makan siang dengan harga istimewa untuk pelanggan di Jakarta. Berdiri pada akhir tahun 2015 lalu, Kulina sendiri basis operasinya adalah di Jakarta dengan development office yang berada di Yogyakarta, berkomitmen untuk menjadi startup terdepan dalam hal penyediaan kuliner dengan pilihan menu beragam di Indonesia.

Sejak diluncurkan, Kulina mengklaim telah memiliki 50 dapur katering yang telah bergabung dan lebih dari 10 ribu pelanggan yang mengakses Kulina melalui desktop dan aplikasi. Aplikasi Kulina saat ini hanya tersedia di Android dan belum diluncurkan dalam versi iOS.

By the end of 2016 kami akan launch untuk iOS, tetapi sebenarnya saat ini biggest user adalah melalui web / mobile web. Apps kami fokuskan pada engagement dan memberikan kontrol yang lebih mudah bagi users kami saat berlangganan (fitur untuk melewati makanan, memperpanjang langganan),” kata CEO Kulina Andy Fajar Handika kepada DailySocial.

Ditambahkan oleh Andy, saat ini, pelanggan Kulina terbesar (sekitar 70%) adalah pekerja kantoran untuk makan siang. Sisanya adalah dari kalangan pengguna yang tinggal di apartemen/perumahan. Sementara untuk layanan yang tersedia di Kulina di antaranya meliputi kebutuhan untuk katering diet, Indian food, Chinese food, Japanese food sesuai dengan keunggulan masing-masing dapur yang tergabung dalam Kulina.

“Kulina saat ini mengirimkan ribuan porsi setiap harinya ke seluruh Jakarta. Selain pelanggan individu, kami juga melayani cukup banyak pelanggan korporat, seperti Sale Stock, aCommerce, dan lainnya,” kata Andy.

Targetkan kalangan millenial

Dengan mengedepankan konsep marketplace, Kulina menawarkan kesempatan kepada pelaku UKM yang memiliki usaha katering rumahan untuk ditawarkan kepada pasar yang lebih luas. Konsep ini berbeda dengan layanan yang sebelumnya telah hadir di industri kuliner seperti Berrykitchen dan Gorry Gourmet.

“Konsep Kulina adalah curated marketplace, artinya pelanggan tidak akan kuatir dengan variasi makanan yang tersedia, karena makanan akan diproduksi dari berbagai dapur. Di sisi lain, kami aware juga bahwa kualitas sangat penting, sehingga untuk tergabung di Kulina, kitchen partner kami harus melalui beberapa tahapan verifikasi,” kata Andy.

Selain proses penyaringan partner, Kulina menghadirkan Kulina Box sebagai produk Kulina yang terbaru yang diluncurkan untuk menargetkan kalangan millenial sebagai pelanggan Kulina.

“Fokus kami adalah affordability pada segment market kami, yaitu Gen-Y dan millennial. Dengan rata-rata spend untuk makan siang di Jakarta berkisar 40-50rb/porsi, Kulina Box menawarkan hanya Rp 20,000 /box untuk makan siang komplit. Artinya konsumen kami bisa melakukan penghematan ratusan ribu rupiah dari gaji mereka per bulan, dan tentunya tidak perlu kehilangan waktu berharga untuk makan siang ke restoran/warung,” kata Andy.

Target lainnya yang diharapkan bisa segera terealisasi akhir tahun 2016 ini adalah memperluas jangkauan layanan Kulina. Saat ini Kulina masih terbatas melayani hanya di Jakarta saja, dengan memanfaatkan layanan pengiriman dari pihak ketiga. Kulina tidak memiliki tim pengiriman secara internal.

“Tentunya ekspansi wilayah untuk akhir tahun 2016. Target kami akan membuka seluruh wilayah Jabodetabek dan menyusul kota-kota besar lain di Indonesia,” tutup Andy.

Application Information Will Show Up Here

Kulina dan Transformasi Bisnis Kuliner ala Andy Fajar Handika

Andy Fajar Handika, CEO dan Founder Kulina / Dok. Pribadi Andy Fajar

Di Yogyakarta, sosok Andy Fajar Handika cukup dikenal sebagai seorang pebisnis di bidang kuliner. Beberapa gerai fisik kuliner, mulai dari restoran dan foodcourt pernah didirikannya dan sampai saat ini beberapa gerai masih beroperasi. Cukup mencengangkan ketika Andy memilih menutup food court di salah satu wilayah ramai di Yogyakarta beberapa waktu lalu. Andy kepada DailySocial menjelaskan, “Everything goes online dan satu demi satu bisnis brick-and-mortar yang saya miliki akan diakhiri.”

Insanity is doing the same thing over and over again, but expecting different results.

Quote dari Albert Einstein tersebut yang mewakili ambisi Andy untuk terus berbisnis dengan cara yang lebih modern. Internet menjadi bagian terpenting dalam kehidupan bermasyarakat, terutama jika berbicara dalam cakupan kota besar seperti Yogyakarta, Jakarta, Bandung atau Makassar. Bagi Andy, bisnis pun harus menyesuaikan.

Tren positif pertumbuhan layanan pesan makan online

Makandiantar merupakan salah satu pionir layanan pesan makan online di Yogyakarta. Menggandeng mitra (cafe, restoran dan tempat makan lainnya) di bawah naungan PT Fajar Montana Internasional, portal tersebut memenuhi kebutuhan pesan makan masyarakat di Yogyakarta. Layanan ini menjadi inovasi yang coba dibangun Andy (saat ini sebagai Advisor) untuk memasukkan konsep digital ke dalam bisnis kuliner.

Portal pesan makanan ini hadir ketika belum banyak pemain lain (ala Go-Food dari Go-Jek) di Yogyakarta dan hingga saat ini layanan tersebut masih beroperasi. Di kalangan masyarakat, Makandiantar memang menjadi alternatif yang menarik di tengah kemacetan yang melanda berbagai kota besar, termasuk Yogyakarta. Plus layanan tersebut cukup mobile-friendly.

Survei Jakpat tentang layanan pesan antar makanan

Konsep pesan makanan online terlihat berkembang juga di kota-kota besar. Selain Makandiantar, baru-baru ini juga sudah beroperasi Owl-kitchen dengan konsep yang sama di Yogyakarta. Sedikit berbeda, Owl-kitchen “mendeklarasikan diri” sebagai layanan pesan makan online spesialis midnight (tengah malam) dengan jam operasi pemesanan sampai pukul 2 dini hari.

Berbicara tentang industri kuliner secara umum, kontribusinya terhadap GDP (mengacu pada data tahun 2014) mencapai 29,34 persen di Indonesia. Pertumbuhan bisnis tersebut rata-rata adalah 10 persen setahun, atau setara dengan Rp 11,3 triliun.

Mengakomodir catering dan home chef untuk mudah mencapai konsumen

Inovasi tak berhenti sampai ke realisasi layanan kuliner on-demand saja. Andy bersama rekannya yang kebetulan memiliki nama panggilan yang sama, Andy Hidayat, kini tengah mengembangkan sebuah platfom marketplace untuk mempertemukan antara catering dan home chef dengan pelanggan melalui medium aplikasi mobile.

Kulina adalah nama aplikasinya.

Berbeda dengan layanan yang populer saat ini, Kulina tidak menyentuh pasar on-demand. Kulina fokus pada pre-order dan subscription meals, Andy menyebutnya dengan istilah meal plans. Artinya pelanggan memesan makanan paling cepat satu hari sebelumnya untuk beberapa hari sekaligus.

Ilsutrasi proses bisnis Kulina

Menggunakan Kulina, nantinya kitchen partner bisa merencanakan dengan lebih baik makanan apa yang akan dimasak, tanpa harus khawatir dengan risiko bahan baku sisa yang tidak terpakai. Harga makanan tentunya jadi relatif lebih terjangkau bagi pelanggan, karena inventory management yang mendekati zero loss.

Saat ini Kulina sudah dirilis dalam versi beta untuk platform Android dan baru melayani wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan. Tim pengembang Kulina yang berbasis di Yogyakarta terus mengembangkan fitur yang ada di dalamnya.

Selain Andy Fajar dan Andy Hidayat, Kulina telah memiliki 12 orang di tim teknis dan 8 orang tim operasional untuk menggenjot kehadiran Kulina di berbagai kota di Indonesia dan bahkan pasar internasional. Selain di Yogyakarta, tahun depan kantor Kulina juga akan berdiri di Jakarta, tepatnya di BITS co-working space.

Dengan sistem seperti ini, Kulina akan memberikan keleluasaan bagi penggunanya dalam mendapatkan berbagai jenis makanan yang mungkin tidak ada di restoran dan dimasak oleh kalangan rumahan. Skema marketplace dinilai efektif untuk model pemesanan makanan, baik untuk kebutuhan personal maupun di kantor.

Fokus mengembangkan kerja sama dengan dapur online

Kulina memfokuskan bisnis pada kerja sama dengan dapur online, bukan secara spesifik restoran atau tempat makan sejenisnya. Andy mengatakan bahwa Kulina ingin merespon fenomena yang ada di masyarakat bahwa tidak semua orang yang jago masak punya akses ke modal yang besar untuk membuat restoran atau rumah makan. Kulina ingin memberikan akses pada caterer/home chefs ini agar produk mereka bisa dipesan oleh banyak orang dengan mudah.

“Kami ingin kitchen partner kami fokus pada satu hal saja, yaitu memasak makanan enak, tanpa ribet masalah pembayaran, manajemen order, hingga pengantaran ke foodies,” ungkap Andy dengan mantap.

Terkait proses bergabung, kitchen partner dapat mendaftarkan diri melalui formulir yang terdapat di aplikasi. Selanjutnya Kulina akan melakukan kurasi atas kitchen partner yang telah mendaftar, untuk memastikan hanya yang kredibel saja bisa masuk ke dalam Kulina. Kulina sendiri mengenakan komisi 15% atas nilai transaksi yang terjadi antara kitchen partner dengan pelanggan.

Terkait visi Kulina, Andy mengatakan:

“Ada ratusan, bahkan ribuan jenis makanan yang ada di Indonesia ini, dengan berbagai macam juga selera tiap orang yang berbeda-beda. Visi Kulina adalah agar setiap orang bisa memesan makanan dengan mudah dan terjangkau, sesuai dengan selera ataupun purpose-nya.”

Andy melanjutkan, “Dari ratusan kitchen partner yang telah mendaftar di Kulina saat ini (bahkan sebelum kami launch), tugas kami tentunya adalah memastikan kualitas dan mencocokkan karakter makanan yang ditawarkan kitchen partner tersebut dengan selera pelanggan yang akan memesan.”

Untuk melakukan pencocokan selera pelanggan dengan makanan yang ada, Kulina bertekad menanamkan teknologi Big Data dan Artificial Intelligence ke dalam sistem. Teknologi tersebut akan mengurai setiap variabel setiap makanan lalu mempertemukannya. Tujuannya menjadi sebuah aplikasi yang menyajikan hanya makanan yang disukai dari dapur yang ada di sekitar lingkungan pelanggan dengan harga terjangkau.

Perjalanan ke WebSummit di Dublin bulan lalu

Kulina terpilih sebagai Alpha Startup dan Exhibit di WebSummit di Dublin beberapa bulan lalu. Bagi Andy, tujuan Kulina mengikuti ajang ini tak lain untuk memvalidasi konsep Kulina di global market dan bertemu potential partner untuk meluncur di negara lain.

Pranowo Putro (COO), Andy Hidayat (Co-Founder/Advisor), Murtiono Widi (Lead UI/UX Designer), Andy Fajar Handika (Founder/CEO) / Dok. Pribadi Andy Fajar

“Tentunya ini menjadi pengalaman sangat menarik, di mana kami bisa bertemu beberapa calon partner yang berniat untuk bekerja sama untuk meluncurkan Kulina di beberapa negara lain,” pungkas Andy.