Ikea Siapkan Aplikasi Augmented Reality Baru untuk iOS 11

Salah satu fitur paling menarik yang iOS 11 tawarkan adalah dukungan teknologi augmented reality (AR) secara native. Berkat API baru bernama ARKit, developer jadi bisa mengembangkan konten AR yang lebih bagus lagi ketimbang sebelumnya dengan memaksimalkan hardware yang dimiliki perangkat iOS.

Salah satu developer yang sudah tancap gas dan berkomitmen untuk memaksimalkan potensi ARKit di iOS 11 adalah Ikea. Ya, produsen furniture asal Swedia itu maksud saya. AR sejatinya bukan benda asing buat Ikea. Mereka sudah mengadopsi teknologi tersebut sejak tahun 2013 pada aplikasi katalognya untuk iOS, seperti yang bisa Anda lihat pada video di bawah ini.

Namun berkat ARKit, Ikea yakin bahwa konten AR yang mereka ciptakan bisa lebih matang lagi daripada sebelumnya. Berbicara kepada Digital.di, Michael Valdsgaard selaku Digital Transformation Manager di Ikea bilang kalau teknologi AR milik Apple amatlah canggih, dengan tingkat presisi mencapai level milimeter dan efek pencahayaan yang sangat akurat.

Memangnya sebagus apa? Apple sempat mendemonstrasikannya pada ajang WWDC 2017 lalu, dan Anda bisa menilainya sendiri dengan menonton video di bawah ini. Di situ Anda bisa melihat betapa sinergi antara hardware dan software bisa menyuguhkan pengalaman AR yang tampak nyata.

Rencana Ikea dengan aplikasi AR-nya ini adalah untuk memberikan pengalaman berbelanja baru kepada konsumen. Melalui aplikasinya, konsumen dapat menempatkan sofa di ruang tamunya, lalu lanjut membelinya langsung lewat situs e-commerce Ikea.

Ikea rencananya bakal menyiapkan sekitar 500 – 600 produk yang bisa ditinjau lewat aplikasi AR-nya. Ke depannya, setiap kali Ikea meluncurkan produk baru, produk tersebut bakal muncul lebih dulu di aplikasi AR-nya, menunjukkan komitmen besar Ikea terhadap implementasi AR pada bisnisnya.

ARKit di iOS 11 memungkinkan developer untuk memaksimalkan hardware perangkat iOS guna menyajikan konten AR yang lebih baik / Apple
ARKit di iOS 11 memungkinkan developer untuk memaksimalkan hardware perangkat iOS guna menyajikan konten AR yang lebih baik / Apple

AR sejatinya memang punya peran besar dalam tren baru yang boleh kita sebut dengan istilah virtual shopping. Melihat foto produk di situs Ikea saja tidak cukup untuk meyakinkan konsumen. Sebaliknya, terkadang konsumen kesulitan untuk langsung datang ke toko fisik Ikea. Aplikasi AR inilah yang akan menjadi jalan tengah yang ideal.

Ikea rencananya akan merilis aplikasi AR ini bersamaan dengan peluncuran iOS 11 di musim semi mendatang. Akan tetapi saya tidak kaget kalau Ikea memutuskan untuk menundanya demi menghadirkan pengalaman yang benar-benar matang.

Sumber: 9to5Mac.

Andalkan Augmented Reality, VarDragons Ubah Pesawat di Udara Menjadi Seekor Naga

Siapa yang pernah menyangka kalau kita bisa menangkap Pokemon di halaman depan rumah? Berkat augmented reality, imajinasi kita tersebut akhirnya bisa terwujud. Namun Pokemon Go hanyalah langkah awal AR untuk memukau dunia.

Imajinasi liar lain sejatinya juga dapat terealisasi berkat AR. Salah satu contohnya, pernahkah Anda membayangkan kalau yang terbang melintas tepat di atas kita bukanlah sebuah pesawat, melainkan seekor naga besar yang bisa kita tangkap?

Hal itu bukan lagi angan-angan belaka, sebab sebuah startup tengah mengembangkan sebuah aplikasi smartphone bernama VarDragons. Berbekal kecanggihan AR, VarDragons akan menyulap pesawat-pesawat yang sedang mengudara menjadi seekor naga yang bisa kita tangkap dan rawat layaknya seekor Pokemon.

VarDragons

Naganya pun bukan sembarang naga, melainkan yang memiliki karakteristik sesuai dengan pesawat yang melintas. Contohnya, pesawat dari maskapai Lufthansa akan tampil sebagai naga bergaya Eropa dengan balutan warna biru dan kuning.

Contoh lain, pesawat dari maskapai Norwegian Air akan tampil sebagai naga bergaya Nordic dengan kepala berwarna merah. Dari mana VarDragons mengetahui informasi-informasi ini? Dari lokasi pemain dan informasi penerbangan real-time yang didapat dari layanan macam FlightAware.

VarDragons

 

Usai menangkap seekor naga, Anda hanya bisa merawat dan melatihnya selama berada di ‘sarangnya’, atau dengan kata lain ketika pesawatnya mendarat di bandara. Tentunya hal ini membuat kesempatan Anda untuk merawat sang naga jadi kecil, namun ini sejatinya merupakan cara developer untuk mendorong Anda menangkap lebih banyak.

Untuk bisa memiliki naga dalam jumlah sangat besar, pemain dipersilakan membeli sebuah perangkat pelengkap yang dijuluki Magic Talons seharga sekitar $85. Ya, ini memang cara sang developer mencari uang, tapi Anda juga harus tahu maksud mereka sebenarnya yang bisa dikatakan sangat mulia.

 

Magic Talons, antena ADS-B yang disamarkan sebagai aksesori pelengkap game / VarDragons
Magic Talons, antena ADS-B yang disamarkan sebagai aksesori pelengkap game / VarDragons

Magic Talons sejatinya merupakan antena ADS-B, sejenis receiver yang dirancang untuk menangkap sinyal yang dipancarkan oleh pesawat selagi berada di udara. Antena ADS-B yang tersebar di banyak lokasi sejatinya dapat membantu memantau lokasi pesawat secara real-time, dan di saat yang sama mendeteksi masalah sebelum insiden terjadi.

Di bawah bendera startup lain bernama ALuLa, developer VarDragons sebenarnya sudah mulai mengembangkan teknologi berbasis antena ADS-B sejak tahun 2014, tepatnya setelah tragedi hilangnya pesawat Malaysian Airlines MH370.

Barulah di tahun 2016 mereka mendapat ide bahwa antena ADS-B yang dikemas sebagai bagian dari sebuah game bisa menjadi insentif menarik untuk mengajak orang-orang ikut berpartisipasi, yang pada akhirnya dapat mendongkrak penyebaran antena ADS-B.

VarDragons sejauh ini masih dalam tahap pengembangan, namun saya pribadi cukup tertarik dengan ide yang ditawarkan. Rencananya VarDragons bakal menempuh jalur crowdfunding melalui Kickstarter, tapi itu pun belum bisa dipastikan kapan.

Sumber: CNBC.

Octagon Studio Resmi Luncurkan Lini Pakaian AR Mereka, Wear 4D+

Masih ingat dengan Octagon Studio, startup asal Bandung yang kreasi di bidang AR dan VR-nya berhasil mencuri perhatian publik internasional? Mereka kini kembali dengan produk yang cukup menarik sekaligus inovatif, yang mencoba mempertemukan kemajuan teknologi dengan fashion.

Produk yang dimaksud adalah lini pakaian berbasis augmented reality (AR). Produk ini sempat Octagon pamerkan saat menjadi salah satu exhibitor di ajang Wearable Technology Show tahun lalu. Di sana, dengan berbekal aplikasi ponsel Wear 4D+, pengunjung dapat menyaksikan gambar seekor orang utan pada sebuah kaus yang tiba-tiba ‘hidup’ dan bergerak.

Ya, Anda boleh saja mengganggapnya Pokemon Go yang disematkan ke dalam pakaian. Octagon sendiri memang punya misi untuk menginkorporasikan inovasi AR ke dalam kehidupan sehari-hari, dan pakaian pun merupakan pilihan yang tepat kalau melihat perannya sebagai salah satu kebutuhan primer.

Octagon Studio Wear 4D+

Octagon membidik kalangan anak-anak sebagai target pasar T-Shirt AR Wear 4D+ – dengan variasi ukuran untuk usia 1 sampai 6 tahun – tapi saya tidak kaget andai ke depannya ada versi untuk orang dewasa. Di awal peluncurannya ini, sudah ada dua desain orisinil yang disiapkan: Polar Bear dan Baby Dino.

Untuk Polar Bear, yang akan anak-anak lihat di layar smartphone atau tablet-nya adalah seekor beruang kutub yang tengah bereksplorasi, sedangkan pada Baby Dino anak-anak akan dikejutkan oleh seekor dinosaurus yang baru saja keluar dari cangkang telurnya.

Octagon Studio Wear 4D+

Ke depannya saya yakin bakal hadir desain-desain baru yang lebih segar. Pun begitu, berdasarkan informasi yang tercantum pada laman aplikasi Wear 4D+, pengguna rupanya juga bisa memanfaatkan sejumlah desain yang ada di sini dan menyablonnya sendiri, atau bahkan meracik AR marker-nya sendiri menggunakan app yang sama.

Untuk sekarang, Anda yang tertarik membelikan anak-anak, keponakan atau cucu Anda bisa langsung mengunjungi situs resmi Octagon Studio. Baik Polar Bear maupun Baby Dino sama-sama dibanderol Rp 175 ribu, sedangkan aplikasinya gratis di Google Play ataupun App Store.

Smartphone Project Tango Kedua, Asus ZenFone AR Bakal Meluncur 14 Juni

Asus pertama kali memperkenalkan ZenFone AR pada bulan Januari lalu di ajang Consumer Electronic Show (CES) sebagai smartphone pertama yang mengemas RAM sebesar 8GB. Memang mengagumkan, tapi RAM bukan satu-satunya tambahan menyenangkan yang ada di dalam ZenFone AR, ada satu hal lain yang juga istimewa.

Yap, smartphone papan atas kreasi Asus ini bakal menjadi perangkat seluler berikutnya yang mengusung Project Tango. Untuk itulah Asus membenamkan tiga buah kamera yang memungkin perangkat membuat pemetaan tiga dimensi dalam ruangan. Salah satunya adalah lensa Sony IMX318 sebesar 23MP yang juga mampu mendeteksi gerak dan depth sensing. Perangkat juga bakal mendukung Daydream.

Undangan Asus ZenFone AR

Kabar baiknya – walau harus menunggu hampir 6 bulan – Asus sudah mulai menyebarkan undangan ke media untuk sebuah acara yang akan digelar pada tanggal 14 Juni di Taiwan. Acara ini disebut akan menjadi momen peluncuran ZenFone AR, smartphone augmented reality pertama milik Asus.

Di industri mobile, Asus ZenFone AR adalah smartphone kedua yang menginisiasi Project Tango-nya Google. Sebelumnya sudah ada Lenovo PHAB 2 Pro yang meluncur tahun lalu. Tetapi sebagai catatan penting, Asus ZenFone AR adalah smartphone pertama yang menyuguhkan dukungan Google Tango AR dan DayDream VR secara bersamaan dalam satu perangkat.

Asus ZenFone AR

Ponsel pintar ini mengemas layar 5,7 inci AMOLED yang menyajikan kualitas quad HD sebagai resolusi terbaik saat ini. Di bawah tenda, berdiam chipset Snapdragon 821 yang akan ditemani oleh RAM sebesar 8GB. Asus juga bakal menawarkan varian RAM 6GB dan pilihan memori 64GB dan 128GB. Di belakang itu semua akan ada sokongan daya dari baterai sebesar 3.300mAh yang sudah barang tentu mendukung teknologi pengisian daya cepat.

Sumber berita Mobilexpose.

Asus, Dell dan Lenovo Pamerkan Headset Windows Mixed Reality Mereka

Dalam konferensi developer Microsoft Build beberapa pekan lalu, kita sudah melihat penampakan dari headset Windows Mixed Reality besutan Acer dan HP. Namun ternyata dua pabrikan itu tidak sendirian; Asus, Dell dan Lenovo juga sudah menyiapkan headset mixed reality-nya masing-masing yang sempat dipamerkan pada ajang Computex 2017.

Microsoft sepertinya telah menetapkan sejumlah standar terkait desain. Hal ini terbukti dari desain strap yang mirip pada semua headset yang telah diumumkan, yang mengitari bagian dahi sampai ke belakang kepala, dengan distribusi berat yang seimbang.

Dell Windows Mixed Reality Headset / Microsoft
Dell Windows Mixed Reality Headset / Microsoft

Headset buatan Asus menurut saya adalah yang paling keren penampilannya, dengan motif poligon pada panel depannya. Di saat yang sama, Dell justru mengambil pendekatan yang lebih minimalis, seperti terlihat pada headset-nya yang serba putih dan simpel.

Lenovo di sisi lain mengikuti jalur yang lebih generik. Desain headset-nya kelihatan paling mirip seperti milik Acer dan HP. Microsoft tidak merincikan spesifikasi ketiganya seperti apa, akan tetapi saya kira tidak jauh berbeda dari punya Acer dan HP.

Lenovo Windows Mixed Reality Headset / Microsoft
Lenovo Windows Mixed Reality Headset / Microsoft

Satu hal yang bisa dipastikan, kelima headset ini sama-sama menawarkan kapabilitas tracking luar-dalam yang terintegrasi. Jadi tanpa bantuan perangkat eksternal, headset sudah bisa melakukan tracking six degrees of freedom (6DOF), dan beberapa model bahkan datang bersama sepasang motion controller.

Sejauh ini belum ada keterangan mengenai harga dari ketiga headset mixed reality ini. Microsoft sebenarnya baru menarget kalangan developer sebelum melepasnya ke publik dengan ekosistem konten yang sudah cukup luas.

Sumber: Microsoft via Engadget.

Laporan DailySocial: Pemahaman VR dan AR di Indonesia 2017

Beberapa perusahaan/Startups di bidang Virtual Reality (VR) dan Augmented Reality (AR) telah didirikan di Indonesia. Bidang kegiatan dari iklan promosi di lapangan hingga eksperimentasi. Sejumlah bisnis dan merek pun sudah mulai mengaplikasikan VR dan AR, namun sudah sampai manakah sebenarnya pemahaman kegiatan VR dan AR di Indonesia?

DailySocial.id bekerja sama dengan JakPat mobile survey platform mengadakan survei yang ditanyakan kepada 1013 responden dari seluruh Indonesia.

Beberapa temuan survei antara lain:

  • 46.59% responden mengetahui bahwa VR dan AR adalah dua hal yang berbeda
  • 55.38% responden belum pernah mencoba satupun perangkat VR glasses apapun (termasuk Oculus Rift, Samsung Gear VR, dan lainnya)
  • 70.48% responden setuju bahwa VR/AR baik untuk digunakan untuk kepentingan promosi & iklan

Untuk laporan selengkapnya, silahkan unduh “Virtual Reality & Augmented Reality in Indonesia report 2017” secara gratis.

Inilah Headset Windows Mixed Reality Besutan Acer dan HP

Windows 10 Fall Creators Update yang akan dirilis pada musim semi mendatang bakal menjadi ‘pembuka jalan’ bagi konsumen untuk mulai menikmati pengalaman mixed reality. Namun yang paling penting, HoloLens sekarang bukan satu-satunya headset yang mendukung mixed reality, Acer dan HP (plus sejumlah brand lainnya) juga sedang menyiapkan perangkat serupa tapi dengan harga yang masuk akal.

Keunggulan utama headset Windows Mixed Reality besutan Acer dan HP ini adalah sistem tracking luar-dalam yang terintegrasi, yang berarti sama sekali tidak dibutuhkan perangkat eksternal untuk mendeteksi pergerakan pengguna, seperti yang konsumen jumpai pada Oculus Rift maupun HTC Vive selama ini.

Kedua headset ini sama-sama dibekali sepasang LCD beresolusi 1440 x 1440 pixel, dengan refresh rate 90 Hz dan field of view seluas 95 derajat. Perangkat menyambung ke PC via kabel HDMI 2.0 untuk display-nya, sedangkan USB 3.0 untuk datanya.

Akan tetapi seperti yang saya bilang di awal, harga adalah faktor penting lain dari kedua headset ini. Microsoft telah membuka pre-order seharga $299 untuk headset Acer, dan $329 untuk headset HP. Keduanya jauh lebih murah ketimbang development kit HoloLens yang harganya mencapai $3.000.

Acer Windows Mixed Reality headset bakal dibundel bersama sepasang motion controller / Microsoft
Acer Windows Mixed Reality headset bakal dibundel bersama sepasang motion controller / Microsoft

Untuk sekarang Microsoft memang menarget pihak developer supaya mereka bisa segera mengembangkan konten mixed reality selama musim panas ini. Buat konsumen, kita masih harus menunggu paling tidak sampai musim liburan akhir tahun tiba.

Kabar baiknya, pada masa itu Acer bakal membundel headset Windows Mixed Reality-nya ini bersama dengan sepasang motion controller canggih. Wujudnya sepintas mirip seperti Oculus Touch maupun controller bawaan Vive, dimana terdapat panel membulat berisikan sederet LED yang bakal di-track oleh sistem bawaan headset itu tadi.

Total ada empat tombol yang tersebar pada controller ini: trigger di belakang, kemudian satu lagi di bagian belakang gagangnya, tombol menu, dan tombol Windows di sisi depan gagang. Di sebelah analog stick-nya tampak trackpad berwujud membulat untuk menavigasikan menu.

Masih penasaran bagaimana cara kerjanya? Tonton saja video di bawah ini.

Sumber: 1, 2, 3, 4.

Jakarta XR Meetup 9.0, Menatap Bisnis bersama VR/AR

Bagi Anda yang sudah langganan mampir di acara Jakarta XR Meetup—atau paling tidak sempat beberapa kali membaca ulasan acaranya di DailySocial—tentu sudah tidak asing lagi dengan ‘ritual-ritual’ umum dari meetup rutin gelaran OmniVR ini, di antaranya ialah mendengarkan insight soal VR/AR di sesi presentasi dan diskusi panel, menjajal VR/AR device, dan bincang-bincang santai. Namun, suasana berbeda dihadirkan di Jakarta XR Meetup 9.0.

Episode ke sembilan dari Jakarta XR Meetup yang diselenggarakan tanggal 5 Mei kemarin ini termasuk sederhana dan minimalis jika dibandingkan episode-episode sebelumnya. Tidak ada device yang bisa dicoba, tidak banyak slide presentasi yang tersaji, dan durasinya pun terhitung pendek (hanya satu jam).

Jakarta XR Meetup 9.0 adalah bagian dari gelaran akbar dari MarkPlus Inc., Jakarta Marketing Week 2017. Bertempat di mini stage Kota Kasablanka, Jakarta XR Meetup 9.0 malam itu didominasi oleh audiens dari kalangan umum—bahkan beberapa dari mereka mungkin baru menyadari keberadaan teknologi VR/AR di Indonesia. Maka, dengan demografi audiens semacam ini, adalah wajar bila Jakarta XR Meetup 9.0 tampil simpel. “Ya, bisa dibilang, ini XR Meetup yang paling ‘ringan’ yang pernah kami selenggarakan,” ujar Nico Alyus, CEO OmniVR selaku pihak penyelenggara, menyinggung soal konten kepada DailySocial dalam sebuah perbincangan santai.

Topik yang disebut-sebut ‘ringan’ itu rasanya menarik untuk disimak oleh orang-orang yang masih awam dengan dunia VR/AR, khususnya mereka yang menggemari atau tengah bergelut di dunia bisnis dan marketing. Selain Nico selaku moderator dalam diskusi panel, meetup bertajuk VR for Marketing and Business menghadirkan dua pembicara lainnya yang telah menggumuli dunia VR/AR: COO Shinta VR Andes Rizky dan Founder dan CEO Papilion Group (Popular Magazine) Vicky G. Saputra.

Berhubung lokasi meetup yang berada di tengah mall dan memungkinkan untuk disimak orang umum, Nico membuka acara dengan penjelasan singkat seputar dasar-dasar virtual reality dan augmented reality. “Pada dasarnya, virtual reality itu adalah sebuah realitas baru yang dibuat manusia,” terang Nico.

Realitas ini kemudian dikembangkan untuk berbagai kebutuhan. Gaming adalah salah satu yang paling dikenal, dan industri seperti perbengkelan dan kesehatan adalah bidang-bidang lainnya yang juga telah merambah dunia VR/AR. Banyaknya ragam bidang industri tersebut adalah peluang yang besar bagi pengembang VR/AR di Indonesia.

“Pasar Indonesia ini dibagi ke dalam dua area. Area pertama adalah untuk mereka yang memang menginginkan immersivity. Mereka memang ingin membeli device VR/AR, dan mereka diarahkan untuk membeli,” jelas Andes menggambarkan tipe konsumen VR/AR di Tanah Air. “Area kedua adalah mereka-mereka yang ingin experience saja. Biasanya mereka hanya menggunakan smartphone-nya, dan mereka cuma sekadar ingin extraordinary experience seperti video 360.”

Lalu, dengan lanskap pasar VR/AR yang sudah tergambar ini, kira-kira tantangan apa yang akan menghadapi para pelaku?

Dari sudut pandang pebisnis yang telah mengadopsi VR/AR, Vicky bersama Popular Magazine-nya merasa hanya berupaya untuk tetap mengikuti tren teknologi yang ada. “Ada yang bilang, digital technology itu tidak bisa dikuasai dalam semalam. Makanya, kami berusaha keep up. Karena kemungkinan majunya (teknologi) ke arah sana (VR/AR). Dari sisi produksi sih enggak ada masalah, karena udah canggih device-nya. Cuma lebih ke bagaimana mengarahkan talent saja sih,” tutur Vicky.

“Secara umum, potensinya oke, dari content production kami siap dan tetap butuh dukungan developer.”

Dari perspektif bidang pemasaran, Vicky melihat VR/AR hari ini masih belum efektif—kendati 360 video Popular Magazine di YouTube telah mencapai angka lebih dari dua juta views. “Masalahnya ada pada distribusi. Masih banyak klien yang merasa pembuatan konten VR/AR ini mahal, dan pada ujungnya berakhir cuma ingin bikin video saja,” jelas Vicky.

Disclosure: DailySocial adalah exclusive media partner dari Jakarta XR Meetup.

Andalkan Teknologi Projection Mapping, Lightform Ingin Suguhkan Augmented Reality Tanpa Headset

Virtual reality dan augmented reality adalah medium konten masa depan. Namun sampai sekarang kendalanya masih seputar keterbatasan akses. Terbatas bukan dalam artian harga perangkat yang masih mahal, tapi lebih ke bagaimana cara menikmati konten itu bersama-sama.

Ambil contoh Microsoft HoloLens. Fungsi utama headset ini adalah melebur objek virtual dengan dunia nyata secara interaktif, akan tetapi cuma pengguna headset-nya saja yang bisa melihat sekaligus berinteraksi. Mungkinkah hal ini terwujud tanpa melibatkan headset? Mungkin saja.

Pada kenyataannya, Microsoft sendiri punya proyek riset bernama Illumiroom. Illumiroom menerapkan teknologi projection mapping, atau yang juga dikenal dengan istilah projection augmented reality, dimana sederhananya kita jadi bisa melihat konten AR tanpa perlu memakai headset.

Illumiroom melibatkan Kinect yang berperan memetakan bentuk ruangan beserta objek di dalamnya, sehingga akhirnya proyektor dapat memproyeksikan cahaya tidak cuma ke layar saja, dan konten digital bisa langsung kita nikmati.

Contoh penggunaan Lightform pada suatu kafe / Lightform
Contoh penggunaan Lightform pada suatu kafe / Lightform

Teknologi serupa juga sedang dimatangkan oleh sebuah startup bernama Lightform. Selama tiga tahun terakhir, mereka beroperasi tanpa sedikit pun ada publikasi tentangnya. Dan ternyata, CEO sekaligus pendirinya adalah salah satu peniliti senior dalam proyek Illumiroom tadi.

Apa yang hendak Lightform capai sejatinya adalah projection mapping untuk berbagai keperluan, tidak cuma dalam konteks gaming saja seperti Illumiroom. Mereka ingin menyederhanakan prosesnya sehingga satu orang saja bisa melewati proses mapping, kreasi konten sekaligus instalasi tanpa bantuan teknisi berpengalaman.

Contoh pengguna Lightform untuk display produk di toko retail / Lightform
Contoh pengguna Lightform untuk display produk di toko retail / Lightform

Secara fisik Lightform sendiri berbentuk balok kecil yang bisa disambungkan dengan proyektor apapun. Berbekal computer vision, Lighform dapat memindai kondisi di sekitarnya secara 3D, lalu meneruskan datanya ke aplikasi pendampingnya di komputer secara wireless.

Lightform rencananya akan membuka pre-order pada musim panas, namun sejauh ini belum ada informasi mengenai harga maupun estimasi perilisannya. Secara garis besar, produk ini memang bukan untuk konsumen secara umum, tapi nantinya kita juga dapat menikmati hasilnya di kafe-kafe, museum, resepsi pernikahan atau bahkan institusi pendidikan.

Sumber: UploadVR dan Lightform.

Bos Disney Pilih AR Ketimbang VR untuk Digunakan di Taman Hiburan

Kita sudah melihat bagaimana VR mampu menyuguhkan pengalaman menaiki roller coaster yang cukup immersive. Alhasil, muncul ide akan sebuah taman hiburan berbasis VR. Dan pada kenyataannya, sejumlah taman hiburan sudah memanfaatkan VR sebagai pelengkap wahana dan atraksi yang dimilikinya.

Kendati demikian, CEO Walt Disney, Bob Iger, berpendapat berbeda. Menurut beliau, VR justru menawarkan pengalaman yang lebih inferior ketimbang wahana yang sudah ada di suatu taman hiburan. Sebaliknya, yang justru bisa menyempurnakan pengalaman pengunjung adalah augmented reality alias AR.

Wahana berbasis AR ini masih akan mengandalkan sebuah headset khusus, namun tujuannya adalah untuk meleburkan objek-objek virtual ke dunia nyata. Ini juga bukan sekadar konsep belaka, melainkan sudah didemonstrasikan oleh Iger sendiri setiap minggunya di laboratorium penelitian Disney.

Di situ, menurut pengakuannya, Iger mengenakan sebuah headset yang kemudian memungkinkannya untuk menggenggam sebuah Lightsaber, lalu berduel dengan Stormtrooper. Untuk sekarang headset-nya masih berukuran cukup besar, tapi ke depannya ia berharap timnya bisa membuatnya jadi lebih ringan dan nyaman.

Di titik itu, sangat mungkin Disney akan meluncurkan atraksi atau wahana baru berbasis AR di salah satu taman hiburannya. Namun sejauh ini detail lebih lengkapnya baru sebatas spekulasi.

Satu hal yang bisa dipastikan berdasarkan pernyataan Bob Iger tersebut, Disney sama sekali tidak tertarik untuk mengaplikasikan VR di taman hiburannya. Pun begitu, ini tak bisa diartikan Disney tidak tertarik dengan VR karena konteksnya berbeda.

Sumber: LA Times.