Studi ITB: 5G Diprediksi Meluncur Paling Cepat pada 2021

Studi terbaru dari Institut Teknologi Bandung (ITB) memperkirakan jaringan 5G di Indonesia baru dapat dirilis secara komersial paling cepat pada akhir 2021.

Konsultan PT LAPI ITB Ivan Samuels mengatakan, perkiraan ini berdasarkan dua skenario, yakni (1) skenario dasar dengan asumsi spektrum kunci 5G dapat dirilis dari 2021-2023; dan (2) skenario agresif dengan asumsi seluruh spektrum 5G dapat tersedia di akhir 2021.

Adapun sejumlah spektrum kunci yang ditargetkan untuk 5G antara lain 2,3GHz dapat tersedia pada 2021; spektrum 2,6GHz, 26GHz, dan 28GHz tersedia pada 2022; dan spektrum 3,5GHz dan 700MHz tersedia pada 2023.

Dalam paparannya, Ivan menyebutkan studi ini menawarkan delapan rekomendasi kebijakan utama dalam rangka mempercepat penerapan 5G di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah memasukkan 5G sebagai Agenda Prioritas Nasional serta meluncurkan Rencana Pita Lebar dan Konektivitas Nasional (2021-2025).

Spektrum merupakan salah satu agenda utama yang kerap disoroti oleh pemerintah dan pemangku kepentingan (stakeholder). Pasalnya, beberapa spektrum emas untuk menggelar 5G masih jauh dari ketersediaan.

Misalnya, frekuensi 700MHz (low band) digadang menjadi spektrum ’emas’ untuk menggelar 5G. Saat ini, spektrum tersebut masih dipakai untuk siaran TV analog dan direncanakan migrasi ke TV digital di 2022. Global System for Mobile Communications (GSMA) memprediksi perekonomian Indonesia berpotensi rugi $10,5 miliar atau sekitar Rp142,9 triliun jika tidak menggelar 5G di 700MHz.

Sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara, yakni Malaysia, Filipina, dan Singapura telah menyelesaikan proses untuk mematikan layanan televisi analog mereka. Sehingga frekuensi yang sebelumnya digunakan untuk siaran TV analog, dapat digunakan operator untuk memperkuat layanan 4G-nya dan menguji jaringan percontohan 5G.

Dinamika 5G di Asia Tenggara
Sumber: Axiata Group / Diolah kembali oleh DailySocial

Sementara itu, laporan ITB menyebutkan bahwa implementasi 5G secara agresif di Indonesia dapat menambah Rp2.874 triliun bagi perekonomian negara secara kumulatif dari 2021-2030 atau setara 9,5 persen dari PDB, dan Rp3.549 triliun di 2035 atau setara 9,8 persen dari PDB.

The first step is the hardest step. Ini menjadi tantangan kami untuk menyiapkan perencanaan strategis ke depan. Metode [penggelaran 5G] juga menjadi tantangan lain karena butuh biaya besar untuk deployment dibanding teknologi sebelumnya,” ungkap Ivan pada sesi webinar yang digelar Axiata Group, Qualcomm, dan Asosiasi Penyelanggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI).

Delapan rekomendasi di atas akan dibahas secara paralel oleh 5G Task Force Indonesia yang dibentuk Kominfo pada 2019. Pembentukan Task Force ini terdiri dari beberapa grup yang mana juga melibatkan para pakar untuk memberi masukan.

Kepala 5G Task Force Indonesia Denny Setiawan menargetkan dokumen resmi Task Force ini dapat masuk pada akhir 2021. Pihaknya menargetkan dapat menggelar co-existing trial di spektrum 3,5GHz pada Oktober mendatang.

“Kami sudah menerapkan kebijakan teknologi netral. Nah, jika ekosistem sudah siap ekosistemnya, operator bisa langsung gelar 5G di spektrum existing,” ujar Denny pada kesempatan sama.

Belajar dari kegagalan migrasi 2G, 3G, dan 4G

Lebih lanjut, Dirjen Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika Ismail juga mengungkap empat hal utama yang menjadi agenda prioritas pemerintah untuk mempercepat penggelaran 5G.

Keempat agenda ini antara lain adalah kebijakan strategis, diikuti infrastruktur 5G (jaringan, infrastruktur pasif, dan spektrum), ekosistem 5G, dan kebijakan implementasi 5G (uji coba, regulasi, model bisnis).

“Beberapa merupakan isu lama yang perlu segera diselaraskan mengingat infrastruktur 5G butuh kerapatan BTS yang tinggi. Untuk mendapatkan kualitas maksimal, semua juga bergantung pada ketersediaan spektrum. Baiknya operator punya spektrum [untuk gelar 5G] yang lengkap, dari lower, middle, dan high band,” katanya.

Berkaca dari kesalahan saat Indonesia migrasi teknologi (dari 2G ke 3G, 3G ke 4G), ungkapnya, pemerintah berupaya menghindari kegagalan pasar, baik dari supply maupun demand. “Kami tidak ingin pada akhirnya operator telekomunikasi menghabiskan biaya besar,” ungkap Ismail.

Menurutnya, saat migrasi teknologi tersebut, industri telekomunikasi hanya mempersiapkan infrastruktur di belakang infrastruktur penunjang. Alhasil, kualitas 4G menjadi tidak maksimal. Maka itu. pihaknya berharap infrastruktur 5G dapat dipersiapkan dengan matang, baik jaringan back hole, antar-middle mile, dan antar Base Transceiver Station (BTS) supaya tidak ada bottle necking.

Ekosistem dan perspektif konsumen terhadap 5G

Kemudian, Ismail juga menyoroti pentingnya ekosistem 5G. Dengan prioritas ini, pemerintah berupaya mendorong para maker di Indonesia agar dapat menyiapkan use case aplikasi lokal sebelum infrastruktur 5G dibangun. Berkaca pada migrasi 2G ke 3G dan 3G ke 4G, ekosistem aplikasi di Indonesia tidak kuat sehingga kurang dapat dimonetisasi.

Menurutnya, Indonesia masih kekurangan killer apps yang cocok dengan pasar. Pada akhirnya, jaringan ini justru diisi oleh pemain Over-The-Top (OTT) asing, seperti WhatsApp, Facebook, dan Google. “Jangan sampai nanti kita seolah-olah bangun infrastruktur untuk kasih ‘karpet merah’ ke OTT,” tambahnya.

Lebih lanjut, studi terbaru 5G turut mengungkap perspektif konsumen terhadap 5G. Laporan ini mencatat sebanyak 68,39 persen konsumen di Indonesia tertarik menggunakan 5G begitu dirilis, sedangkan 26,56 persen mengaku akan memakainya setelah melihat experience konsumen, dan 4,35 persen baru akan memakai layanan 5G jika tidak ada alternatif lain.

Layanan yang diprediksi meningkat penggunaannya oleh 5G
Sumber: Studi Institut Teknologi Bandung (ITB) / Diolah kembali oleh DailySocial

Menariknya, responden juga mengungkap dua pertimbangan utama lain terkait hal ini, yakni mahalnya harga perangkat yang sudah bisa menjalankan jaringan 5G dan konsumen masih ragu dengan kualitas 5G yang sebenarnya. Apalagi, jika melihat kualitas jaringan 4G hingga saat ini yang masih belum maksimal.

Adapun, segmen anak muda dan milenial di Indonesia diperkirakan menjadi kontributor konsumsi 5G terbesar sebanyak 80 persen terhadap pengguna potensial dengan rentang usia 19-44 tahun.

Peliknya Industri Telekomunikasi di Masa Pandemi

Ketika pemerintah memberlakukan pembatasan sosial pada pertengahan Maret lalu, sebagian besar kegiatan hingga lalu lintas informasi terpaksa dilakukan secara online. Yang terjadi adalah tren konsumsi data berubah. Kawasan residensial kini bergeser menjadi pusat segala aktivitas di masa pandemi.

Fenomena tersebut tercermin dari riset yang dirilis MarkPlus Inc beberapa waktu lalu. Riset ini diikuti oleh sebanyak 111 responden yang terbagi atas wilayah Jabodetabek (57%) dan non-Jabodetabek (43%).

Dalam webinarnya, MarkPlus Inc melaporkan sebanyak 31,7 persen pengguna internet di Jabodetabek menghabiskan kuota internet seluler 5-10GB sebelum pandemi. Sementara pemakaian internet seluler di non-Jabodetabek lebih besar sebelum pandemi, dengan 22,9 persen responden menghabiskan kuota di atas 30GB.

Saat pandemi, sebanyak 63,5 persen pengguna di Jabodetabek mengaku tidak menambah/mengurangi kuota internet selama WFH dan SFH. Hal ini karena penetrasi fixed broadband (personal WiFi) di wilayah ini cukup besar dibandingkan non-Jabodetabek. Kebalikannya, 52,1 persen pengguna non-Jabodetabek harus menambah kuota karena 68,8 persen di antaranya belum memasang fixed broadband dan bergantung pada kuota seluler.

Dari jenis pemakaian, kegiatan telepon/video konferensi online menghabiskan kuota internet paling besar (36%). Tak heran mengingat pemerintah memberlakukan kebijakan WFH dan SFH yang mengharuskan interaksi online selama bekerja dan sekolah.

Lebih lanjut, sebanyak 57,1 persen pengguna fixed broadband dari kelas ekonomi atas memiliki tingkat ketidakpuasan tertinggi selama pandemi. Kebutuhan akan bandwith internet yang lebih besar membuat ekspektasi mereka juga menjadi cukup tinggi.

Apa artinya tren pergeseran ini terhadap industri telekomunikasi?

Imbas terhadap industri telekomunikasi

Operator telekomunikasi panen trafik pada masa awal pemberlakuan WFH dan SFH. Beberapa di antaranya melaporkan kenaikan trafik yang didominasi pada pemakaian platform online learning. Misalnya, Telkomsel mencatat kenaikan sebesar 16 persen. Kemudian, Tri Indonesia mengalami kenaikan trafik pada platform Zenius (73%), Ruangguru (78%), dan Quipper (196%).

Sekjen Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Marwan O. Baasir mengakui ada pergeseran trafik data dari kawasan bisnis ke residensial sebesar 12-30 persen secara industri.

“Karena semua sekarang serba online, kami meyakini rumah bakal jadi sentral aktivitas. Maka itu, operator perlu menambah produk terjangkau dan memperkuat jaringan, terutama di area residensial dan pedesaan,” ujarnya saat webinar MarkPlus Inc awal September ini.

Data ATSI mencatat trafik mobile industri naik 12,5 persen pada periode Februari-Maret. Kemudian, naik 7,5 persen (Maret-April) dan 5,7 persen (April-Mei). Pada periode Mei-Juni, trafik turun 0,5 persen.

Namun, ia mengungkap kenaikan trafik selama pandemi tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan. Pemberlakuan WFH dan SFH juga berdampak terhadap penurunan layanan dasar operator, yakni voice dan SMS.

Sumber: ATSI Internal Analysis / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: ATSI Internal Analysis / Diolah kembali oleh DailySocial

Sebetulnya, industri telekomunikasi sempat mengecap kenaikan pendapatan sebesar 9,9 persen pada periode Februari-Maret. Namun, pertumbuhan pendapatan sejak Maret terus menurun. Pendapatan industri minus pada periode Maret sampai April (-1,9%), diikuti periode April-mei (-4,9%), dan Mei-Juni (-5%).

Menurut Marwan, operator mengakomodasi pergeseran konsumsi internet dengan memindahkan dan menambah kapasitas jaringan. Namun, upaya ini berujung pada peningkatan biaya. Bahkan ia menilai biaya ini terus bertambah seiring dengan meningkatnya kebutuhan terhadap kegiatan kerja dan sekolah di rumah dan kualitas layanan.

Dalam kesempatan sama, menurut Ketua Umum Masyarakat Telekomunikasi (Mastel) Kristiono, paparan di atas menjadi momentum refleksi betapa tidak seimbangnya penetrasi fixed broadband dan mobile broadband di Indonesia.

Ketidakseimbangan penetrasi jaringan ini salah satunya tercermin pada perilaku pemakaian internet di Jabodetabek dan non-Jabodetabek, sebagaimana dilaporkan pada riset MarkPlus di atas. Sementara, data di bawah ini menampilkan rendahnya penetrasi pasar fixed broadband di Indonesia.

Sumber: Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) / Diolah kembali oleh DailySocial

Karena ketimpangan ini, ada banyak kasus di mana penyelenggaraan kegiatan sekolah dan kerja menjadi tidak efektif. Padahal, ujar Kristiono, akselerasi digital sangat diperlukan di situasi sekarang. Dengan kata lain, konektivitas menjadi ujung tombak yang perlu dibenahi untuk mengakomodasi hal tersebut.

Momentum dan urgensi untuk merealisasikan kebijakan yang tertunda

Melihat tren dan data di atas, Marwan menilai akan sulit bagi industri telekomunikasi untuk bertumbuh ke depan. Operator bahkan tidak dapat berekspektasi untuk memulihkan kinerjanya dalam waktu dekat. Ditambah lagi, ujarnya, persaingan industri telekomunikasi bakal menguat sejalan dengan prediksi melemahnya daya beli masyarakat di semester II 2020.

Di sisi lain, pandemi dinilai menjadi waktu yang tepat bagi stakeholder terkait untuk merealisasikan wacana usang. Wacana yang dimaksud adalah sejumlah kebijakan yang telah diusulkan dan dibahas selama bertahun-tahun, tetapi tidak ada lampu terangnya. Misalnya, kebijakan OTT, infrastructure sharing, dan M&A.

Menurut Marwan, kebijakan-kebijakan ini dapat mengakomodasi gaya hidup dan pola orang bekerja dan sekolah ke depannya, yakni “The Post Normal” di mana rumah sebagai sentral aktivitas dan konektivitas. Maka itu, ia berharap pemerintah dapat melihat urgensi untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan yang diusulkan dan dibahas sejak dulu.

“Ini sebetulnya isu lama, tetapi tidak ada bargain position yang bisa diambil. Tapi, agenda ini harus diselesaikan, sudah tidak bisa ditunda. Rencana kebijakan soal OTT saja sudah empat tahun dibahas, tapi tidak ada ada penyelesaian berujung. Begitu juga kebijakan soal M&A. Semua inisiatif ini kan untuk mengurangi opex,” ujar Marwan.

Sumber: ATSI / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: ATSI / Diolah kembali oleh DailySocial

Kristiono menilai pemerintah juga perlu menurunkan ekspektasi terhadap industri telekomunikasi di situasi sekarang. Dengan perubahan perilaku konsumen yang semakin demanding, apalagi harus tinggal di rumah, kondisi ini memunculkan perubahan pada supply chain. Namun, Indonesia dinilai belum siap mengakselerasi digital karena konektivitasnya tidak merata.

Hal ini diamini CEO Biznet Adi Kusuma. Menurutnya, pandemi mengubah jauh ekspektasi pelanggan terhadap koneksi internet. “Apabila dulu orang berpikir broadband hanya untuk kebutuhan besar, sekarang semua perlu karena aktivitas kerja dan sekolah dirumahkan,” ujarnya.

Dukungan ATSI untuk OTT Nasional di Tahap Awal akan Fokus pada Awareness

Pencarian ATSI untuk menemukan OTT yang akan dibimbing sebagai OTT nasional telah usai. Kemarin (17/3) Qlue, Catfiz, dan Sebangsa dikukuhkan sebagai tiga OTT nasional yang terpilih untuk dibina oleh ATSI. Di tahap awalnya program yang rencananya akan berjalan satu tahun ini, ATSI akan fokus untuk bantu meningkatkan awareness masyarakat terhadap OTT Nasional yang terpilih.

ATSI sebelumnya memang telah berikrar untuk membimbing tiga startup nasional pada tahun 2016 ini. Tujuan utamanya adalah untuk “membesarkan” ketiga startup tersebut agar mampu bersaing di ranah global. Syarat yang harus dipenuhi saat itu adalah bergerak di media sosial, saham atau pendanaannya 100 persen lokal, tidak berafiliasi dengan operator manapun, dan memiliki 100.000-500.000 pengguna. Program ini, direncanakan ATSI untuk berjalan paling lama satu tahun.

Chief Digital Service Officer XL Ongki Kurniawan yang bertanggung jawab dalam proses seleksi mengatakan, “Proses seleksi kami memang ketat. […] Harapannya, para OTT ini memang sustainable, jangan sampai kami support namun dua atau tiga bulan setelahnya malah sudah mati.”

“Kita juga coba gali bentuk dukungan yang dibutuhkan seperti apa. Di tahap awal ini, […] yang paling penting itu lebih ke awareness. […] Bentuknya [dukungan anggota ATSI] dalam SMS blast ke pelanggan, memanfaatkan inventory produk kami, dan juga kanal-kanal komunikasi yang dimiliki operator [dalam materi promosi logo, link, banner sesuai dengan program masing-masing operator ]. […] Kalau sudah siap, kami bantu juga lewat carrier billing,” tambah Ongki.

Sementara itu Menkominfo Rudiantara menyarankan untuk memberikan zero ratting access atau akses gratis layanan data pada OTT nasional yang terpilih karena menurut Rudiantara, faktor kemudahan adalah hal utama yang harus ditonjolkan dari OTT Nasional bila ingin berkompetisi dengan OTT asing.

“Saya lihat dukungan yang diberikan belum nendang. Bisa gak operator berikan akses gratis bagi pelanggan yang mau install tiga aplikasi lokal itu. Hitungan saya, kalau mau dapat 20 juta hingga 30 juta pengguna perlu subsidi Rp 3,2 miliar untuk biaya akses. Tapi dampaknya besar, pelanggan bisa dapatkan kemudahan dan pengalaman. […] Pelan-pelan kita beralih ke lokal, masa asing terus,” ujar Rudiantara.

ATSI Umumkan Tiga Startup yang Diangkat Sebagai “OTT Nasional”

ATSI (Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia) bulan Desember lalu menyatakan niatnya untuk membantu tiga startup Indonesia. Beberapa hari yang lalu, tepatnya tanggal 11 Maret 2016 akhirnya proses seleksi selesai. Terpilihlah tiga startup yang akan dibantu ATSI. Tiga nama tersebut adalah Qlue, Catfiz, dan Sebangsa. Sebangsa menawarkan layanan media sosial, Catfiz menawarkan layanan pesan instan, sementara Qlue merupakan salah satu layanan media sosial/forum/pelaporan warga yang sudah diterapkan di beberapa kota, salah satunya Jakarta dan Bekasi.

Menanggapi pemilihan Qlue dalam daftar pilihan ATSI, CEO Qlue Rama Raditya mengungkapkan kebanggaannya. Ia optimis dengan adanya pembinaan ini Qlue berpeluang untuk digunakan secara nasional oleh kota-kota di seluruh Indonesia, bahkan tidak menutup kemungkinan Qlue bisa menjadi salah satu layanan OTT global.

Pemilihan OTT Nasional binaan ATSI dan Kemenkominfo ini dikatakan merupakan bagian dari komitmen mengembangkan talenta muda Indonesia yang memiliki komitmen dan idealisme untuk mengembangkan industri kreatif di tanah air.

ATSI sendiri terdiri dari Indosat Ooredoo, Telkomsel, XL, Hutchison 3 Indonesia dan Smartfren. Diungkapkan Ketua ATSI Alexander Rusli, OTT Nasional terpilih akan dibantu oleh para anggota ATSI berupa SMS blast ke pelanggan, penyebutan dalam materi promosi sesuai dengan program masing-masing operator, dan mengadakan joint event bersama untuk mendongkrak jumlah pelanggan.

“OTT Nasional tersebut akan benar-benar dilepas pembinaannya kalau jumlah pelanggannya sudah mencapai minimal 20 juta pelanggan,” ujar Alex.

Program OTT Nasional ini juga didukung Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara. Ia menyatakan OTT Nasional harus terus dipromosikan dan diperkuat sebagai bagian dari pembinaan di sektor industri dan ekonomi kreatif.

“Dukungan ATSI diharapkan dapat menjadi katalisator bagi perkembangan OTT Nasional. Perkembangan industri kreatif berbasis digital dalam negeri akan menjadi modal penting bagi bangsa Indonesia untuk bersaing di ranah global,” jelasnya.

OTT asing vs OTT Nasional

Kebetulan atau tidak, OTT Nasional diumumkan mendekati pengumuman regulasi yang memaksa OTT asing untuk mendirikan bentuk usaha tetap di Indonesia agar tetap bisa beroperasi. Regulasi tersebut dikabarkan akan rampung pada akhir Maret. Jika regulasi itu benar-benar disahkan maka layanan seperti WhatsApp, Facebook, Line, Twitter dan lain-lain wajib memiliki izin badan usaha tetap dan turut serta membayar pajak. Jika tidak mereka terancam tidak boleh beroperasi di Indonesia.

Jika boleh menebak, OTT Nasional ini disiapkan sebagai alternatif jika nantinya OTT asing tidak bisa memenuhi regulasi tersebut. Mengingat belum ada tanggapan atau informasi lebih lanjut tentang siapa yang bersedia (dan tidak bersedia) mengurus izin badan usaha tetap di Indonesia kemungkinan semua OTT asing akan diblokir masih terbuka. Kemudian OTT Nasional akan di-push sebagai pengganti.

Menjadi sebuah pertanyaan besar tentunya ketika tiba-tiba operator telekomunikasi bersama-sama membantu startup, lebih spesifik lagi OTT. Pasalnya tempo hari para operator ini sempat mengeluhkan para penyedia OTT asing yang berjalan di infrastruktur mereka tanpa memberikan kontribusi. Jadi apakah ini murni menaikkan industri kreatif Indonesia atau sekedar bisnis? Apakah ATSI bisa bersikap netral, dalam semangat netralitas Internet, untuk urusan OTT nasional vs OTT asing?

ATSI Tunggu Tiga Startup Lokal yang Bisa Dibimbing dan Dibesarkan

Startup Indonesia punya potensi untuk menjadi besar seperti kisah sukses Google, Facebook, dan startup berhasil lainnya. Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) optimis akan hal itu. Saat ini ATSI menunggu startup yang memiliki layanan OTT (Over the top) mendekat kepada mereka untuk selanjutnya akan mendapat pembinaan dan di-push untuk menjadi besar.

Sebelumnya ATSI telah berikrar akan membimbing tiga startup nasional pada 2016 mendatang. Tujuannya adalah untuk “membesarkan” startup nasional agar mampu bersaing di ranah global. Adapun syarat-syarat yang ditetapkan ATSI untuk startup yang ingin mendaftar antara lain layanan yang dimiliki bergerak di bidang media sosial, sahamnya 100 persen dipegang WNI, tidak berafiliasi dengan operator mana pun, dan memiliki 100.000-500.000 pengguna.

ATSI seperti mengungkapkan pihaknya selama enam bulan mendatang akan terus membuka peluang bagi OTT yang ingin mendaftar dan ikut seleksi.

“Tetapi, kalau minggu depan belum ada juga yang mendaftar, kami akan proaktif mencari,” ujar Alexander (Alex) Rusli, Ketua ATSI yang merupakan Presiden Direktur Indosat Ooredoo.

Selain pembinaan, ATSI juga mengupayakan untuk mem-push layanan OTT yang terpilih. Di awal bulan ini, masih dari sumber yang sama, Alex mengungkapkan bahwa ATSI akan membantu mereka (startup OTT terpilih) dengan cara mempromosikan layanan mereka melalui media SMS dan MMS langsung kepada pengguna seluler.

OTT lokal dan pertarungan melawan dominasi global

Sebelum menuju kancah global, go nasional adalah jalan yang harus ditempuh OTT lokal. Sekarang masyarakat Indonesia semakin cerdas. Kampanye karya anak bangsa dirasa kurang menarik masyarakat Indonesia. Satu-satunya yang mungkin dilakukan bagi OTT lokal memenangi persaingan adalah menjadi yang lebih baik dari pesaingnya. Berat, tapi tidak mustahil. Yang jelas perlu kerja keras. LINE, Whatsapp, BBM, dan OTT lain sudah terlanjur membuat nyaman para penggunanya.

Intinya ada pada diferensiasi layanan OTT lokal dengan pemain yang sudah ada. Jika memang OTT lokal berambisi merusak dominasi pemain asing maka buatlah sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang menarik dan bermanfaat. Pemilihan OTT itu harus berdasar kegunaan dan kenyamanan. Kecuali tiba-tiba ada larangan OTT luar masuk Indonesia seperti di Tiongkok. Itu lain lagi ceritanya.