Peliknya Industri Telekomunikasi di Masa Pandemi

Ketika pemerintah memberlakukan pembatasan sosial pada pertengahan Maret lalu, sebagian besar kegiatan hingga lalu lintas informasi terpaksa dilakukan secara online. Yang terjadi adalah tren konsumsi data berubah. Kawasan residensial kini bergeser menjadi pusat segala aktivitas di masa pandemi.

Fenomena tersebut tercermin dari riset yang dirilis MarkPlus Inc beberapa waktu lalu. Riset ini diikuti oleh sebanyak 111 responden yang terbagi atas wilayah Jabodetabek (57%) dan non-Jabodetabek (43%).

Dalam webinarnya, MarkPlus Inc melaporkan sebanyak 31,7 persen pengguna internet di Jabodetabek menghabiskan kuota internet seluler 5-10GB sebelum pandemi. Sementara pemakaian internet seluler di non-Jabodetabek lebih besar sebelum pandemi, dengan 22,9 persen responden menghabiskan kuota di atas 30GB.

Saat pandemi, sebanyak 63,5 persen pengguna di Jabodetabek mengaku tidak menambah/mengurangi kuota internet selama WFH dan SFH. Hal ini karena penetrasi fixed broadband (personal WiFi) di wilayah ini cukup besar dibandingkan non-Jabodetabek. Kebalikannya, 52,1 persen pengguna non-Jabodetabek harus menambah kuota karena 68,8 persen di antaranya belum memasang fixed broadband dan bergantung pada kuota seluler.

Dari jenis pemakaian, kegiatan telepon/video konferensi online menghabiskan kuota internet paling besar (36%). Tak heran mengingat pemerintah memberlakukan kebijakan WFH dan SFH yang mengharuskan interaksi online selama bekerja dan sekolah.

Lebih lanjut, sebanyak 57,1 persen pengguna fixed broadband dari kelas ekonomi atas memiliki tingkat ketidakpuasan tertinggi selama pandemi. Kebutuhan akan bandwith internet yang lebih besar membuat ekspektasi mereka juga menjadi cukup tinggi.

Apa artinya tren pergeseran ini terhadap industri telekomunikasi?

Imbas terhadap industri telekomunikasi

Operator telekomunikasi panen trafik pada masa awal pemberlakuan WFH dan SFH. Beberapa di antaranya melaporkan kenaikan trafik yang didominasi pada pemakaian platform online learning. Misalnya, Telkomsel mencatat kenaikan sebesar 16 persen. Kemudian, Tri Indonesia mengalami kenaikan trafik pada platform Zenius (73%), Ruangguru (78%), dan Quipper (196%).

Sekjen Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Marwan O. Baasir mengakui ada pergeseran trafik data dari kawasan bisnis ke residensial sebesar 12-30 persen secara industri.

“Karena semua sekarang serba online, kami meyakini rumah bakal jadi sentral aktivitas. Maka itu, operator perlu menambah produk terjangkau dan memperkuat jaringan, terutama di area residensial dan pedesaan,” ujarnya saat webinar MarkPlus Inc awal September ini.

Data ATSI mencatat trafik mobile industri naik 12,5 persen pada periode Februari-Maret. Kemudian, naik 7,5 persen (Maret-April) dan 5,7 persen (April-Mei). Pada periode Mei-Juni, trafik turun 0,5 persen.

Namun, ia mengungkap kenaikan trafik selama pandemi tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan. Pemberlakuan WFH dan SFH juga berdampak terhadap penurunan layanan dasar operator, yakni voice dan SMS.

Sumber: ATSI Internal Analysis / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: ATSI Internal Analysis / Diolah kembali oleh DailySocial

Sebetulnya, industri telekomunikasi sempat mengecap kenaikan pendapatan sebesar 9,9 persen pada periode Februari-Maret. Namun, pertumbuhan pendapatan sejak Maret terus menurun. Pendapatan industri minus pada periode Maret sampai April (-1,9%), diikuti periode April-mei (-4,9%), dan Mei-Juni (-5%).

Menurut Marwan, operator mengakomodasi pergeseran konsumsi internet dengan memindahkan dan menambah kapasitas jaringan. Namun, upaya ini berujung pada peningkatan biaya. Bahkan ia menilai biaya ini terus bertambah seiring dengan meningkatnya kebutuhan terhadap kegiatan kerja dan sekolah di rumah dan kualitas layanan.

Dalam kesempatan sama, menurut Ketua Umum Masyarakat Telekomunikasi (Mastel) Kristiono, paparan di atas menjadi momentum refleksi betapa tidak seimbangnya penetrasi fixed broadband dan mobile broadband di Indonesia.

Ketidakseimbangan penetrasi jaringan ini salah satunya tercermin pada perilaku pemakaian internet di Jabodetabek dan non-Jabodetabek, sebagaimana dilaporkan pada riset MarkPlus di atas. Sementara, data di bawah ini menampilkan rendahnya penetrasi pasar fixed broadband di Indonesia.

Sumber: Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL) / Diolah kembali oleh DailySocial

Karena ketimpangan ini, ada banyak kasus di mana penyelenggaraan kegiatan sekolah dan kerja menjadi tidak efektif. Padahal, ujar Kristiono, akselerasi digital sangat diperlukan di situasi sekarang. Dengan kata lain, konektivitas menjadi ujung tombak yang perlu dibenahi untuk mengakomodasi hal tersebut.

Momentum dan urgensi untuk merealisasikan kebijakan yang tertunda

Melihat tren dan data di atas, Marwan menilai akan sulit bagi industri telekomunikasi untuk bertumbuh ke depan. Operator bahkan tidak dapat berekspektasi untuk memulihkan kinerjanya dalam waktu dekat. Ditambah lagi, ujarnya, persaingan industri telekomunikasi bakal menguat sejalan dengan prediksi melemahnya daya beli masyarakat di semester II 2020.

Di sisi lain, pandemi dinilai menjadi waktu yang tepat bagi stakeholder terkait untuk merealisasikan wacana usang. Wacana yang dimaksud adalah sejumlah kebijakan yang telah diusulkan dan dibahas selama bertahun-tahun, tetapi tidak ada lampu terangnya. Misalnya, kebijakan OTT, infrastructure sharing, dan M&A.

Menurut Marwan, kebijakan-kebijakan ini dapat mengakomodasi gaya hidup dan pola orang bekerja dan sekolah ke depannya, yakni “The Post Normal” di mana rumah sebagai sentral aktivitas dan konektivitas. Maka itu, ia berharap pemerintah dapat melihat urgensi untuk merealisasikan kebijakan-kebijakan yang diusulkan dan dibahas sejak dulu.

“Ini sebetulnya isu lama, tetapi tidak ada bargain position yang bisa diambil. Tapi, agenda ini harus diselesaikan, sudah tidak bisa ditunda. Rencana kebijakan soal OTT saja sudah empat tahun dibahas, tapi tidak ada ada penyelesaian berujung. Begitu juga kebijakan soal M&A. Semua inisiatif ini kan untuk mengurangi opex,” ujar Marwan.

Sumber: ATSI / Diolah kembali oleh DailySocial
Sumber: ATSI / Diolah kembali oleh DailySocial

Kristiono menilai pemerintah juga perlu menurunkan ekspektasi terhadap industri telekomunikasi di situasi sekarang. Dengan perubahan perilaku konsumen yang semakin demanding, apalagi harus tinggal di rumah, kondisi ini memunculkan perubahan pada supply chain. Namun, Indonesia dinilai belum siap mengakselerasi digital karena konektivitasnya tidak merata.

Hal ini diamini CEO Biznet Adi Kusuma. Menurutnya, pandemi mengubah jauh ekspektasi pelanggan terhadap koneksi internet. “Apabila dulu orang berpikir broadband hanya untuk kebutuhan besar, sekarang semua perlu karena aktivitas kerja dan sekolah dirumahkan,” ujarnya.

Mempersiapkan Kehadiran Teknologi 5G di Indonesia

Sebagai kegiatan sosialisasi implementasi teknologi konektivitas telekomunikasi 5G tahun 2019 mendatang, Masyarakat Telematika Indonesia (MASTEL), 5G Forum, dan beberapa perusahaan teknologi internasional, menggelar kegiatan diskusi di Jakarta. Banyak hal yang menarik dijabarkan dalam diskusi tersebut, mulai dari peluang teknologi 5G mendukung industri Internet of Things (IoT) di Indonesia hingga membuka kesempatan pekerjaan baru untuk generasi muda di tanah air.

Teknologi 5G yang bersifat advance tidak hanya menawarkan tingkat latensi yang sangat rendah dan kecepatan akses data yang tinggi dan konsisten di berbagai cakupan area, namun juga menciptakan peluang bisnis bagi berbagai industri baru. Beberapa teknologi yang saat ini sudah hadir dan berpotensi untuk berkembang lebih baik lagi memanfaatkan teknologi 5G adalah Virtual Reality (VR), IoT dan layanan mission-critical.

“Melihat potensi yang besar dari implementasi 5G baik bagi konsumen maupun ekonomi global penting bagi Indonesia untuk sedini mungkin mempersiapkan diri menyambut era 5G ini,” kata Ketua Umum MASTEL Kristiono.

Saat ini beberapa negara yang telah mengumumkan untuk melakukan uji coba 5G adalah Jepang, Korea, Tiongkok, negara-negara Eropa, dan Amerika Serikat.

Persoalan spektrum dan evolusi teknologi 4G

Dalam diskusi yang dihadiri Dr. Sigit P. W. Jarot (Mastel Institute), Colin Jiang (ZTE), Thomas Jul (Ericsson Indonesia), dan Julie G. Welch (Qualcomm) dibahas potensi kendala dan tantangan di Indonesia mendukung perkembangan teknologi 5G ke depannya.

Dari sekian banyak pilihan teknologi 5G yang tersedia, menurut Julie Welch, semua bisa diimplementasikan dengan baik di Indonesia. Teknologi tersebut memiliki kemampuan untuk memberikan kemudahan dan keuntungan lebih yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat di Indonesia.

“Yang menjadi fokus utama adalah kita juga harus melihat range spectrum band, apakah low band, mid band dan high band. Bukan hanya range spectrum band tapi cara baru untuk memanfaatkan spektrum yang ada,” kata Julie.

Pada dasarnya teknologi 5G dapat menggunakan berbagai band spektrum, mulai dari band yang rendah seperti 1GHz, band sedang sekitar 1GHz hingga 6GHz hingga band tinggi di atas 24GHz yang juga dikenal sebagai milimeter wave. Selain itu teknologi ini juga mampu bekerja di seluruh spektrum, baik yang berbayar (unlicensed), berbagi (shared), maupun tidak berbayar (unlicensed).

“Idealnya perjanjian untuk spektrum tersebut adalah exclusive licensed spectrum, tapi faktanya hal tersebut sulit untuk diterapkan. Untuk itu kita menciptakan kebijakan masing-masing,” kata Julie.

Teknologi 5G disebutkan harus memiliki dasar teknologi 4G yang baik agar bisa menghasilkan teknologi 5G yang sempurna.

“Untuk bisa mengembangkan teknologi 5G, teknologi 4G harus terus dikembangkan secara menyeluruh dan sempurna. Selama 2 tahun terakhir 4G sudah mulai dikembangkan dan selanjutnya akan menjadi dasar yang kokoh bagi 5G untuk bisa berkembang. Pengembangan 4G akan terintegrasi dengan teknologi 5G, kedua teknologi tersebut akan berjalan beriringan,” kata Thomas Jul.

Hal senada juga diutarakan Colin Jiang. Menurut Jiang, saat ini persoalan spektrum masih menjadi kendala di Indonesia. Untuk itu menjadi penting bagi pihak terkait untuk fokus kepada pengembangan teknologi 4G terlebih dahulu.

“Diharapkan dari pengembangan tersebut sektor IoT di Indonesia bisa meningkat lebih baik lagi dari sisi inovasi dan tentunya dukungan teknologi yang ada dari 5G,” kata Jiang.

Merekrut pakar dan ahli teknologi

Untuk mempercepat inovasi dan pengembangan teknologi 5G ke depannya, Thomas Jul menganjurkan pemerintah dan pihak terkait merekrut lebih banyak tenaga ahli dan engineer untuk membangun teknologi untuk mempercepat perkembangan teknologi 4G saat ini dan 5G ke depannya. Dengan demikian infrastruktur dan inovasi terkini bisa tercipta dan memudahkan startup, operator, dan industri terkait untuk berkolaborasi.

“Untuk membangun teknologi yang advance saya menyarankan untuk menempatkan atau merekrut tenaga ahli, engineer dan pakar lainnya yang mampu menciptakan inovasi dan teknologi yang bisa bermanfaat untuk orang banyak,” tutup Jul.

Wacana Whitelist Mengemuka, Dalih Menghindari Konten Negatif dan Ancaman Siber

Pemerintah masih berperang melawan konten negatif di ranah internet. Belum usai perjuangan Indonesia kembali dihadapkan dengan serangan cyber, yang terbaru serangan ransomware yang sempat menghebohkan dunia digital Indonesia. Pemerintah tampak serius menghadapi permasalahan-permasalahan tersebut. Terbaru, Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono mengutarakan akan ada rencana pemerintah mengadopsi whitelist untuk mengatur internet di Indonesia. Hal ini disampaikan Kristiono setelah Jajaran Mastel bertemu dengan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Rudiantara.

Sampai berita ini tertulis belum ada informasi lebih lanjut mengenai rencana penerapan whitelist untuk mengaturan internet di Indonesia. Konsep whitelist merupakan kebalikan dari blacklist. Jadi nantinya sistem akan mendaftar alamat situs atau domain yang diperbolehkan diakses, selebihnya akan diblokir. Jauh lebih “kejam” dalam hal membatasi akses penggunaan internet di Indonesia.

“Mastel melihat bisnis OTT (Over The Top) telah menyentuh berbagai sektor dan aspek kehidupan. Peluang dan ancaman yang ada pada OTT tidak terbatas pada aspek industri dan bisnis, namun juga dapat mencakup aspek IPOLEKSOSBUD-HANKAM (ideologi, politik, ekonomi sosial, budaya, pertahanan dan keamanan). Menjalankan kebijakan whitelist lebih efektif menangkal berbagai potensi ancaman sesuai amanah UU,” ungkap Kristiono seperti dikutip IndoTelko.

Rencana penerapan whitelist ini mengemuka lantaran mengantisipasi dua permasalahan utama dunia digital Indonesia, konten negatif dan ancaman ransomware. Ancaman terakhir yang disebut sebenarnya bukan hanya menyerang Indonesia, salah satu tindak kejahatan digital yang populer belakangan ini mengancam hampir seluruh pengguna di Indonesia. Kehadiran ancaman-ancaman ini dikhawatirkan mengganggu pengguna dan bisnis digital Indonesia.

“Tadi fokusnya soal keamanan, itu lebih penting. Beberapa bulan kemarin kan banyak kasus hacker, malware, dan yang terbaru Telegram. Itu yang paling mendesak,” ucap Kristanto.

Dalam sebuah pemberitaan, para periset Google, Chainalysis, UC San Diego, dan NYU Tandon School of Engineering menyebutkan korban ransomware telah membayar $25 juta (330 miliar Rupiah) uang tebusan dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Jumlah yang cukup besar mengingat para korban tidak hanya korporasi tetapi juga UMKM dan pengguna biasa.

Solusi yang lebih baik

Solusi whitelist lebih mengkhawatirkan dibanding blacklist karena premis awal yang digunakan adalah semua konten di internet adalah buruk, selain yang masuk ke dalam daftar.

Sebenarnya hal wajib yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah memberikan edukasi tentang tata cara menggunakan, berkomunikasi, atau berinteraksi di Internet dengan baik. Terutama meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap pengamanan data.

Konsumen pengguna layanan internet di Indonesia harus disadarkan tentang bahaya membagikan informasi pribadi, membuat password yang kuat, hingga bagaimana cara mengantisipasi atau mencegah software berbahaya masuk ke jaringan atau komputer mereka. Pembelajaran seperti itu akan lebih bertahan lama dibandingkan dengan cara-cara instan, seperti blokir dan semacamnya.

APJII dan Mastel Bentuk Koperasi Digital Pertama di Indonesia

Pemerintah Indonesia baru saja meresmikan koperasi digital pertama di Indonesia. Koperasi dengan nama Koperasi Digital Indonesia Mandiri (KDIM) tersebut telah disahkan oleh Kementrian Koperasi dan UKM. Koperasi tersebut merupakan gagasan bersama Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) dan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dengan tujuan untuk mewujudkan kedaulatan digital Indonesia dengan pelayanan penggunaan teknologi digital oleh para anggotanya.

Dalam sambutannya Menteri Koperasi AAGN Puspayoga mengungkapkan harapannya agar setelah ini Koperasi Digital untuk menyusun strategi bisnis yang efektif yang dapat memenuhi kebutuhan ekonomi anggotanya melalui layanan digital tersebut. Sehingga visi yang telah dibangun dapat tercapai.

“Koperasi adalah organisasi ekonomi yang berwatak sosial dan budaya yang memiliki sifat self-help (menolong dirinya sendiri), sehingga adanya kepentingan ekonomi yang sama dari para anggotanya menjadi dasar kemandirian sebuah koperasi,” ujar Pusayoga.

Ketua Umum Mastel Kristiono seperti dikutip dari laman resmi Mastel mengungkapkan bahwa latar belakang dibentuknya Koperasi Digital ini mendorong kebangkitan kedaulatan ekonomi digital Indonesia.

Menurutnya ada tiga pilar yang menjadi alasan dibentuknya koperasi ini. Yaitu pasar, telenta dan entreprenuership. Untuk pasar, Indonesia dinilai memiliki potensi yang bisa menjadi sebuah kekuatan, sedangkan untuk talenta, Indonesia masih kekurangan untuk merealisasikannya. Semua itu diharapkan turut membantu pertumbuhan entrepreneurship di Indonesia. .

Beberapa waktu lalu  dalam gelaran Public Expose Koperasi Digital Indonesia Mandiri yang diselenggarakan di Jakarta Sekretaris Jenderal APJII  Henri Kasyafi mengungkapkan saat ini Koperasi Digital akan memfokuskan diri pada tiga bidang, yakni perangkat, jaringan, dan aplikasi. Khusus untuk bidang perangkat Henri mengungkapkan Koperasi Digital berencana memiliki brand perangkat smartphone sendiri yang memprioritaskan aplikasi-aplikasi lokal.

Selain itu Koperasi Digital ini akan mengadakan program akses internet dengan kemudahan bayar 1 kali gratis 17 tahun atau  yang akan disebut B1IG-17. Program ini memungkinkan Koperasi untuk meluncurkan satelit sendiri dengan pengelolaan dan pelayanan pelanggan tetap dilakukan oleh para ISP sehingga program ini tidak akan mengganggu bisnis ISP yang sebagian besar adalah UKM.

“Dengan skema ini, kami berharap akan menguasai  30% pangsa pasar ponsel pintar, 70% pangsa pasar aplikasi, dan 50% pangsa pasar satelit sepuluh tahun ke depan,” ujar Henry berharap.

Saat ini, meski sudah diresmikan, Koperasi Digital masih belum menerima anggota karena masih menyelesaikan beberapa kemitraan dengan berbagai pihak. Rencananya Koperasi digital baru akan menerima anggota baru baik secara online maupun offline pada tanggal 1 Juli mendatang. Masyarakat yang ingin menjadi anggota nantinya akan dibebankan membayar simpanan pokok sebesar Rp.100.000 dan simpanan wajib Rp.100.000 per bulan.

Riuhnya Sambutan Kehadiran Netflix di Indonesia

Keputusan ekspansi layanan streaming video global Netflix di 130 negara pada 7 Januari silam telah menimbulkan beragam reaksi, terutama di Indonesia. Meski sempat mendapat sambutan positif, nyatanya Netflix tak dapat begitu saja melenggang mulus di sini. Sudah ada banyak batu sandungan yang mulai menyambut, mulai dari sisi legalitas, sensor konten hingga ketentuan pembentukan Badan Usaha Tetap (BUT).

Masuknya Netflix di Indonesia sebenarnya cukup mengejutkan, mengingat Netflix pernah menyebutkan bahwa kehadirannya di Asia Tenggara akan fokus di Singapura saja. Di Indonesia, Netflix hadir dengan tiga paket yang dapat dibayar hanya melalui kartu kredit. Untuk konten, meski belum selengkap versi Amerika, konsumen sudah dapat berlangganan melalui tiga kanal, yakni di situs resmi Netflix, iTunes dan GooglePlay.

Suara bising legalitas dari industri terkait

Isu pertama datang berkaitan dengan urusan sensor film. Dilansir oleh Detik, Kepala Humas dan Pusat Informasi Kemenkominfo Ismail Cawidu menyebutkan bahwa perangkat hukum dan pelaksana Lembaga Sensor Film (LSF) masih belum siap untuk menyortir serbuan film di Internet.  Pun begitu LSF sendiri telah menyuarakan untuk meminta Netflix memenuhi aturan sensor di Indonesia.

Isu kedua datang dari pemerintah. Menkominfo Rudiantara yang awalnya terkesan terbuka dengan kehadiran Netflix, belakangan juga mulai terlihat berubah haluan. Dikutip dari Kompas, Rudiantara mengatakan:

“Netflix akan diwadahi dari sisi regulasi, karena ada kepentingan masyarakat yang harus diproteksi, terutama dari sisi konten.”

Meski tidak sampai pada keputusan untuk memblokir layanan, namun Rudiantara berharap Netflix dapat membuka BUT bila ingin beroperasi di Indonesia. Ini adalah keputusan sama yang dijatuhkan pada layanan OTT asing lain seperti Google, Facebook dan Uber. Dengan menjadi BUT artinya Netflix harus tunduk dengan UU yang berlaku dan setiap transaksi akan dikenakan pajak.

Terakhir datang dari Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel). Sandungan ini cukup keras, karena Mastel dengan tegas menyatakan bahwa Netflix layak dihentikan operasinya di Indonesia. Alasannya, Netflix dianggap telah melanggar sejumlah aturan penyiaran dan perfilman di Indonesia.

Berdasarkan ketentuan Perpres No. 39 tahun 2014, Mastel beranggapan bahwa Netflix seharusnya juga dikenakan ketentuan yang sama dengan penyelenggara jasa perfilman dan TV berbayar lainnya. Sementara itu pasal 25 ayat (1) & (2) UU No.32 tahun 2002 tentang penyiaran mengindikasikan keinginan Mastel agar Netflix membentuk badan hukum terlebih dahulu.

Sedangkan pada UU 33 tahun 2009 tentang perfilman, pada pasal 29 dan 30 juga mengindikasikan tentang kewajiban memiliki badan hukum untuk pelaku usaha pertunjukkan film. Pada pasal 41 dijelaskan bahwa pemerintah seharusnya melarang masuk film impor yang bertentangan dengan nilai-nilai kesusilaan.

Ketua Umum Mastel Kristiono menyebutkan, “Netflix menjadi salah satu contoh pelaku perdagangan global yang turut memperpanjang daftar OTT asing yang menyingkat berbagai aspek ketaatan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.”

“Padahal selama ini pemerintah sangat tegas menegakkan aturan-aturan tersebut kepada pelaku industri perfilman, telekomunikasi, penyelenggara penyiran ataupun TV berbayar,” lanjutnya.

Angin segar untuk melawan aktivitas pembajakan

Inilah Indonesia. Ketika datang suatu layanan yang dinilai “mengganggu” industri yang sudah mapan, maka sudah bisa dipastikan akan terjadi kebisingan, selain sambutan meriah dari pengguna akhir. Netflix hanya salah satu contohnya.

Sebenarnya kalau mau dilihat lebih jauh, Netflix dapat menjadi salah satu senjata edukasi melawan aktivitas pembajakan yang sudah mendarah-daging di Indonesia. Seperti yang diketahui, pembajakan di Indonesia sudah sampai pada titik tidak bisa lagi dihapus langsung. Solusi yang tersisa adalah memperluas alternatif untuk akses konten secara legal.

Teknologi yang melaju cepat dengan inovasinya saat ini memang telah menipiskan batas aturan konvensional yang tertata. Indonesia sebagai negara berkembang adalah salah satu yang terkena imbasnya akibat aturan yang belum siap.

Tapi seharusnya ini juga jangan dijadikan alasan untuk tidak menghormati tatanan yang sudah ada. Aturan yang nantinya diciptakan pun jangan sampai menjadi “rem” untuk inovasi sudah atau akan hadir.

Selain tekait dengan regulasi, ke depannya, Netflix yang sudah mampir ke Indonesia ini juga harus siap dengan hambatan-hambatan lain. Mulai dari belum meratanya adopsi Internet berkecepatan tinggi, belum tingginya penggunaan kartu kredit, dan rendahnya pemahaman untuk mengadopsi konten legal.

Mastel Encourages Local Operators to Collaborate and Challenge Internet.org

Kristiono, Head of Indonesian Telematics Society (Mastel), gave his comment regarding the recently-launched Facebook’s Internet.org. He said that local operators shouldn’t ‘provide’ themselves to be the program’s partner in serving free internet access in Indonesia. He rather suggested them to collaborate and present Internet Nusantara. Continue reading Mastel Encourages Local Operators to Collaborate and Challenge Internet.org

Tantang Internet.org, Mastel Sarankan Operator Bekerja Sama Hadirkan Internet Nusantara

Mastel sarankan operator untuk saling bekerja sama hadirkan Internet Nusantara / Shutterstock

Ketua Umum Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel) Kristiono memberikan tanggapan tentang program Internet.org milik Facebook yang baru-baru ini diluncurkan di Indonesia. Ia menyayangkan sikap operator Indonesia yang seakan berebut untuk bekerja sama dengan internet.org untuk menyuguhkan internet gratis. Ia menyarankan operator untuk saling bekerja sama dengan menghadirkan Internet Nusantara. Continue reading Tantang Internet.org, Mastel Sarankan Operator Bekerja Sama Hadirkan Internet Nusantara