SteelSeries Arctis 7+ dan Arctis 7P+ Unggulkan Baterai yang Lebih Awet dan USB-C

SteelSeries meluncurkan versi baru dari salah satu headset gaming wireless paling populernya, Arctis 7. Versi anyar ini hadir dalam dua model yang berbeda, yakni Arctis 7+ dan Arctis 7P+.

Perbedaan di antara keduanya tidak banyak. Yang paling utama, 7P+ datang membawa dukungan penuh atas teknologi Tempest 3D Audio milik PlayStation 5. Ia juga tersedia dalam pilihan warna hitam atau putih, sementara 7+ cuma warna hitam saja.

Selebihnya, keduanya merupakan perangkat yang identik, dengan pembaruan yang sama pula. Baik Arctis 7+ maupun Arctis 7P+ sama-sama datang bersama dongle USB-C sebagai pemancar sinyal wireless-nya. Alhasil, keduanya pun kompatibel dengan lebih banyak perangkat; mulai dari PC, PlayStation, Mac, Nintendo Switch, perangkat Android, iPad yang dibekali port USB-C, sampai VR headset Oculus Quest 2.

SteelSeries bilang dongle USB-C ini adalah yang pertama di pasar headset gaming, tapi kita tahu Razer sebelumnya sudah menerapkan hal serupa pada Barracuda X. Meski begitu, daftar perangkat yang kompatibel memang lebih panjang milik duo Arctis 7+ ini.

Selain pada dongle-nya, USB-C juga bisa kita temui pada headset-nya itu sendiri, menggantikan port Micro USB yang sudah termakan zaman. Tak hanya lebih praktis, USB-C turut mendatangkan fitur fast charging ke kedua headset ini; charging selama 15 menit saja sudah cukup untuk menenagai keduanya selama 3 jam pemakaian.

Kalau dalam posisi terisi penuh, baterai milik Arctis 7+ dan 7P+ diyakini mampu bertahan sampai 30 jam nonstop, lebih lama sekitar enam jam dari yang ditawarkan oleh masing-masing pendahulunya.

Di luar baterai dan colokan, kedua headset ini tidak jauh berbeda dari pendahulunya. Desainnya pun tampak identik, dengan karet suspensi pada headband dan mikrofon yang dapat didorong masuk ke dalam ketika sedang tidak diperlukan. SteelSeries sama sekali tidak menyinggung soal kinerja audionya, jadi bisa diasumsikan kualitas suara yang dihasilkan oleh driver 40 mm miliknya sama seperti di generasi sebelumnya.

Di Amerika Serikat, SteelSeries Arctis 7+ dan Arctis 7P+ saat ini telah dipasarkan seharga $170, atau kurang lebih sekitar 2,4 jutaan rupiah.

Sumber: The Verge.

Palm Umumkan Palm Buds Pro, TWS ANC Seharga $129

Tiga tahun lalu, brand Palm resmi bangkit dari kubur di bawah manajemen baru. Produk perdananya sebagai sebuah startup baru adalah ponsel unik bernama Palm Phone. Sekarang, Palm rupanya sudah siap melangkah lebih jauh lagi hingga merambah kategori perangkat lain.

Produk terbarunya adalah Palm Buds Pro, sebuah TWS seharga $129 yang relatif kaya fitur. Meski kelihatan sleek, desain fisiknya yang tahan cipratan air dengan sertifikasi IPX4 sebenarnya tergolong cukup generik, akan tetapi itu tidak mencegah Palm menyematkan sederet fitur yang umumnya cuma bisa konsumen jumpai di TWS premium.

Utamanya adalah fitur active noise cancellation (ANC) yang mengandalkan total enam mikrofon (tiga di masing-masing earpiece). Palm cukup berbangga bahwa TWS-nya mengemas lebih banyak mikrofon ketimbang produk-produk pesaing yang bahkan berharga lebih mahal, dan ini tentu juga bakal berdampak positif pada kualitas suara yang ditangkap selama menelepon.

Tanpa harus terkejut, Palm Buds Pro tentu turut dilengkapi fitur ambient mode yang cara kerjanya bertolak belakang dengan ANC. Untuk mengaktifkan fitur-fitur ini, pengguna bisa memanfaatkan panel sentuh di sisi luar masing-masing earpiece, demikian pula untuk mengatur playback.

Hal lain yang dibanggakan oleh Palm adalah ukuran fisik driver yang tertanam di TWS bikinannya. Palm percaya bahwa driver berdiameter 10 mm milik Buds Pro mampu menghasilkan bass yang lebih mantap ketimbang TWS lain yang cuma mengandalkan driver sebesar 6 mm atau malah 4 mm. Sayang sekali untuk urusan codec, perangkat cuma mendukung AAC dan SBC, tidak ada aptX.

Palm bilang perangkat ini mampu beroperasi sampai 5 jam nonstop dalam sekali pengisian, atau sampai 6 jam kalau ANC-nya dimatikan. Charging case-nya sendiri siap mengisi ulang perangkat sampai sebanyak tiga kali. Layaknya AirPods, Palm Buds Pro diklaim bisa langsung di-pair ke perangkat sesaat setelah casing-nya dibuka.

Belakangan ini ranah TWS memang terus bertambah ramai dan didatangi banyak pemain baru, sebut saja Nothing, Nura, dan Grell Audio. Apple yang memopulerkan kategori ini bahkan juga baru saja menyingkap AirPods generasi ketiga yang desainnya sudah dirombak drastis.

Sumber: The Verge.

Master & Dynamic MG20 Adalah Headset Nirkabel untuk Gamer Sekaligus Audiophile

Pasar gaming merupakan bisnis yang amat menjanjikan. Begitu menjanjikannya, sampai-sampai produsen perangkat audio premium seperti Master & Dynamic (M&D) pun juga tidak ingin ketinggalan. Gambar di atas adalah MG20, headset gaming pertama dari pabrikan yang lebih terbiasa menggarap headphone kelas audiophile tersebut.

Penampilannya sepintas tidak terkesan gaming sama sekali, dan ini sejalan dengan gaya estetika yang M&D adopsi selama ini; industrial sekaligus elegan. Juga dipertahankan adalah sentuhan mewah di sana-sini; mulai dari kerangka yang terbuat dari bahan aluminium dan magnesium, bantalan kepala yang dilapisi Alcantara, sampai bantalan telinga berbalut kulit domba asli. MG20 bahkan punya kenop volume yang juga terbuat dari aluminium.

Satu-satunya penanda kalau ini merupakan headset gaming adalah boom mic-nya. Bagian ini tentu dapat dilepas-pasang dengan mudah. Yang agak berbeda dari biasanya adalah, selagi boom mic-nya kita lepas, MG20 masih bisa menangkap suara pengguna berkat mikrofon yang tertanam langsung di bagian earcup.

Jadi kalau mau, MG20 bisa kita gunakan sebagai headset nirkabel biasa, apalagi mengingat ia turut mengemas konektivitas Bluetooth di samping wireless 2,4 GHz (via dongle USB). Lebih penting lagi, MG20 sepenuhnya mendukung codec aptX HD dan aptX Low Latency. Jadi tidak peduli Anda menggunakannya untuk mendengarkan musik atau bermain game di ponsel, MG20 siap mengerjakan tugasnya tanpa problem seputar transmisi data.

Terkait kinerja audionya, MG20 mengandalkan sepasang driver 50 mm berbahan Beryllium yang sudah menjadi khas M&D selama ini. Bedanya, berhubung perangkatnya ditujukan untuk gaming, driver tersebut sudah dimodifikasi agar dapat mendukung konfigurasi suara surround 7.1.

Dalam sekali charge, MG20 diyakini mampu beroperasi selama 22 jam nonstop. Kalau terpaksa, perangkat tetap bisa digunakan selagi tersambung via kabel USB maupun kabel 3,5 mm standar.

Master & Dynamic MG20 bukan barang murah. Dengan banderol $450, ia bahkan lebih mahal ketimbang headset gaming bikinan Bose yang dilengkapi noise cancelling. Pemasarannya dijadwalkan berlangsung pada pertengahan November, dan perangkat bakal tersedia dalam dua pilihan warna: hitam atau putih.

Sumber: Pocket-lint.

Earphone Premium Astell & Kern AK Zero1 Unggulkan Tiga Jenis Driver yang Berbeda Sekaligus

Astell & Kern (A&K) adalah salah satu nama yang selalu diingat kalangan audiophile saat membicarakan tentang pemutar musik portabel. Namun pabrikan asal Korea Selatan itu sekarang juga resmi menjadi produsen earphone lewat sebuah produk bernama AK Zero1.

Selama ini A&K memang sudah menawarkan sejumlah earphone sekaligus headphone premium, akan tetapi semuanya merupakan hasil kolaborasi A&K bersama perusahaan-perusahaan lain macam JH Audio maupun Beyerdynamic.

AK Zero1 tidak demikian. Earphone ini 100 persen bikinan tim internal A&K sendiri. Penamaannya pun sengaja dibuat demikian untuk menandakan awal baru bagi A&K. Meski merupakan produk debutan, AK Zero1 diproyeksikan untuk menetapkan standar baru di kategori in-ear monitor.

Ambisi tersebut diwujudkan melalui konfigurasi driver AK Zero1 yang tergolong unik. Bukan cuma satu atau dua yang tertanam, melainkan tiga jenis driver yang berbeda sekaligus: micro rectangular planar dynamic driver, dual balanced armature driver, dan dynamic driver berdiameter 5,6 mm.

Masing-masing driver memiliki tugasnya sendiri-sendiri. Planar driver bertugas mereproduksi suara di frekuensi tinggi, lalu balanced armature driver dipercaya menangani suara vokal dan frekuensi midrange dengan tingkat distorsi yang amat minim, dan dynamic driver dibebani tanggung jawab untuk mengendalikan suara di frekuensi rendah.

Supaya tidak bentrok satu sama lain, masing-masing driver ditempatkan dalam sebuah ruang akustik yang dibuat secara presisi menggunakan 3D printing. Tidak kalah penting adalah penggunaan kabel OFC yang dilapisi bahan perak murni. Hasilnya, kalau menurut A&K sendiri, adalah suara yang terdengar begitu natural di telinga.

Secara estetika, AK Zero1 tampak unik dengan bodi angularnya yang terbuat dari bahan aluminium, dan tentu saja bakal kelihatan harmonis disandingkan dengan pemutar musik besutan A&K. Pada paket penjualannya, A&K menyertakan total enam pasang eartip dan sebuah carrying case.

Di Amerika Serikat, Astell & Kern AK Zero1 kabarnya akan dijual mulai November 2021 seharga $699, atau kurang lebih setara 9,9 jutaan rupiah. Kedengarannya mahal memang, tapi ini tidak seberapa jika dibandingkan dengan ‘mainan’ kalangan audiophile kelas sultan pada umumnya.

Sumber: What Hi-Fi.

RazerCon 2021: Razer Luncurkan Masker Zephyr dan Headset Nirkabel Kraken V3 Pro

Melanjutkan tradisi tahunan baru yang dimulai tahun kemarin, Razer resmi menggelar event RazerCon 2021. Seperti biasa, Razer memanfaatkan kesempatan ini untuk merilis sejumlah produk baru. Dua di antaranya yang akan saya bahas di artikel ini adalah Razer Zephyr dan Razer Kraken V3 Pro.

Kita mulai dari Zephyr dulu, yang sebelumnya kita kenal dengan nama Project Hazel. Kalau Anda familier dengan masker elektronik bikinan LG, Anda semestinya bisa langsung paham fungsi yang ditawarkan oleh Razer Zephyr sebagai sebuah “wearable air purifier”.

Dalam sesi presentasi tertutup yang saya ikuti bersama sejumlah awak media lain, Razer menjelaskan bahwa selama mengembangkan Zephyr, mereka menitikberatkan pada tiga aspek berikut: Safe, Social, dan Sustainable.

Aspek yang pertama diwujudkan melalui tiga buah filter N95 grade — dua di sisi kiri dan kanan, satu kecil di tengah — dengan perlindungan dua arah dan tingkat efisiensi penyaringan sebesar 99%. Razer pun tidak lupa menyematkan dua kipas intake dengan dua mode kecepatan (4.200 atau 6.200 RPM) sebagai opsi untuk memperlancar sirkulasi udara.

Razer turut membekali Zephyr dengan sepasang karet silikon yang menyangga bagian hidung dan dagu supaya perangkat benar-benar bisa menutup rapat hidung dan mulut pengguna. Di bagian belakang, kita juga bisa melihat sepasang strap yang adjustable guna menambah kenyamanan sekaligus mencegah masker mudah terlepas.

Terkait aspek yang kedua, Razer sengaja merancang Zephyr dengan cover plastik transparan dan lapisan anti-kabut agar wajah penggunanya bisa terlihat dengan cukup jelas. Bagian dalamnya bahkan dibekali pencahayaan sehingga ekspresi wajah penggunanya tetap bisa terlihat di berbagai kondisi pencahayaan.

Bicara soal pencahayaan, bukan produk Razer namanya kalau tidak ada sistem pencahayaan RGB, dan Zephyr pun rupanya tidak luput dari itu. Ketimbang sebatas tampil berbeda dengan masker non-konvensional, kenapa tidak sekalian saja mengundang perhatian dengan lampu warna-warni yang dapat dikustomisasi via aplikasi?

Ada kipas dan lampu, berarti Zephyr sudah pasti dibekali baterai. Dalam sekali pengisian, daya tahan baterainya diklaim bisa mencapai paling lama hingga 8 jam dengan mode kecepatan kipas rendah dan semua pencahayaan dimatikan. Kalau semuanya menyala dan kipas berputar dalam kecepatan maksimum, maka daya baterainya akan turun menjadi 3,5 jam. Kalaupun baterainya habis, pengguna dijamin masih bisa bernapas dengan baik walau kipasnya mati.

Lanjut ke aspek yang ketiga, Razer ingin memastikan bahwa perangkat ini bisa membantu mengurangi jumlah sampah yang diakibatkan oleh penggunaan masker sekali pakai. Untuk itu, Razer merancang agar filter milik Zephyr bisa tetap efisien sampai tiga hari pemakaian sebelum akhirnya perlu diganti dengan yang baru.

Lalu apakah filter tambahannya cuma bisa dibeli dari Razer? Tentu saja, tapi Razer juga bilang bahwa pengguna bebas menyelipkan filter lain jika mau, dengan catatan ukuran filternya pas dan bisa menutupi lubang di kiri, kanan, dan tengah Zephyr secara menyeluruh.

Rencananya, Razer Zephyr akan dijual seharga $100, sudah termasuk 3 set filter (untuk pemakaian selama 9 hari), atau dalam bundel Zephyr Starter Pack seharga $150 yang mencakup 33 set filter (untuk pemakaian selama 99 hari). Filter ekstranya sendiri bisa dibeli secara terpisah seharga $30 per 10 set. Setiap unit Zephyr di-cover oleh garansi selama satu tahun.

Setidaknya untuk sekarang, Zephyr hanya bisa dibeli secara eksklusif melalui Razer.com, akan tetapi perwakilan Razer sempat bilang bahwa mereka bakal mengusahakan agar produk ini juga bisa tersedia di Indonesia. Kapan pastinya masih belum diketahui.

Razer Kraken V3 Pro

Beralih ke Kraken V3 Pro, ini merupakan headset nirkabel yang mengunggulkan teknologi haptic feedback Razer HyperSense. Teknologi ini memang bukan hal baru, dan Razer sendiri pertama menerapkannya tiga tahun lalu melalui headset bernama Nari Ultimate. Namun tentu sudah ada penyempurnaan yang Razer terapkan di Kraken V3 Pro.

Utamanya, Razer mengklaim bahwa HyperSense mampu bekerja di rentang frekuensi yang lebih luas ketimbang teknologi haptic tradisional. Alhasil, pengguna bakal merasakan sensasi getaran yang lebih natural daripada biasanya.

Haptic di Kraken V3 Pro juga memiliki efek stereo. Artinya, pengguna dapat merasakan getaran di telinga kiri dan kanan secara terpisah, tergantung apa yang sedang tersaji dalam game. Contohnya, kalau pengguna mendengar ada ledakan dari sisi kiri, maka getarannya juga akan terasa di telinga sebelah kiri saja.

Namun yang menurut saya paling istimewa adalah, HyperSense bekerja secara real-time, dengan waktu pemrosesan tidak lebih dari 5 milidetik. Itu berarti HyperSense tidak memerlukan integrasi dengan tiap-tiap game. Selama game atau konten lainnya bisa menghasilkan suara, maka efek getarannya juga akan terasa.

Bukankah aneh seandainya efek haptic tetap muncul selagi pengguna hanya mendengarkan musik? Andai pengguna merasa demikian, matikan saja efek haptic-nya via tombol di earcup sebelah kanan. Tombol yang sama ini juga berfungsi untuk mengatur intensitas getarannya di tiga tingkatan (low, medium, high).

Juga istimewa adalah, HyperSense di Kraken V3 Pro tidak memerlukan driver khusus maupun software Razer Synapse agar bisa bekerja. HyperSense bahkan bisa aktif selagi headset tersambung ke smartphone via kabel 3,5 mm. Sayang perangkat ini tidak punya koneksi Bluetooth.

Terkait kinerja audionya, Kraken V3 Pro mengandalkan driver TriForce Titanium berdiameter 50 mm yang sama seperti di BlackShark V2 Pro, lengkap dengan dukungan terhadap fitur THX Spatial Audio.

Kemudian soal kenyamanan, Razer membekali Kraken V3 Pro dengan pelapis earpad yang terbuat dari kombinasi bahan kain plus kulit sintetis. Jadi yang menempel pada sekitaran telinga adalah kain, sementara sisi samping bantalannya terbuat dari kulit demi memastikan bass yang dihasilkan tetap terasa mantap.

Kenapa tidak memakai bahan Flowknit seperti BlackShark saja? Well, kalau menurut Razer sendiri, Flowknit rupanya tidak kompatibel dengan haptic. Jadi memang material hybrid tadi adalah satu-satunya pilihan untuk Kraken V3 Pro.

Dalam sekali pengisian, baterai Kraken V3 Pro diyakini mampu bertahan selama 11 jam pemakaian (dengan semua pengaturan di level maksimum). Kalau haptic dan pencahayaan RGB-nya dimatikan (jadi headset wireless biasa), maka perangkat bisa beroperasi sampai 40 jam. Charging-nya sendiri sudah mengandalkan USB-C.

Razer Kraken V3 Pro kabarnya akan tersedia pada kuartal ke-4 tahun ini dengan banderol $200. Alternatifnya, Razer juga akan lebih dulu memasarkan Kraken V3 dan Kraken V3 HyperSense di bulan Oktober ini juga, masing-masing seharga $100 dan $130.

Kedua headset ini lebih murah karena sama-sama masih mengandalkan kabel. Meski begitu, keduanya tetap mewarisi beberapa fitur andalan milik Kraken V3 Pro, mulai dari driver TriForce Titanium sampai lapisan earpad berbahan hybrid itu tadi.

Khusus Kraken V3 HyperSense, tentunya ada teknologi haptic yang advanced itu tadi, akan tetapi ia cuma bisa digunakan dengan PC saja via kabel USB (tidak ada jack 3,5 mm seperti di Kraken V3 Pro). Kedua headset ini juga mengandalkan mikrofon cardioid biasa, berbeda dari Kraken V3 Pro yang dibekali mikrofon supercardioid.

Versi Terbaru Bowers & Wilkins Zeppelin Sepenuhnya Siap Menyambut Era Streaming

Bowers & Wilkins meluncurkan generasi terbaru dari salah satu speaker paling ikonisnya, Zeppelin. Desain khasnya yang menyerupai pesawat rancangan inventor Jerman, Ferdinand von Zeppelin, masih dipertahankan, akan tetapi jeroannya sudah diperbarui mengikuti standar 2021.

Sebagai pengingat, Zeppelin orisinal pertama dirilis di tahun 2007, tepatnya ketika iPod dock masih jadi kategori populer di dunia audio. Seiring waktu dan sejalan dengan perkembangan tren teknologi audio, B&W sempat merilis dua model Zeppelin lain, yakni Zeppelin Air di tahun 2011 dan Zeppelin Wireless di tahun 2015.

Ya, tidak terasa sudah enam tahun sejak B&W memperkenalkan Zeppelin Wireless, dan dalam kurun waktu tersebut cara kita menikmati musik sudah berubah drastis. Dibandingkan dua pendahulunya, Zeppelin Wireless memang sudah tidak lagi dilengkapi iPod dock dan sudah berfokus pada konektivitas nirkabel. Meski begitu, kita masih bisa menemukan jack audio 3,5 mm di bagian belakangnya (karena iPhone 7 baru dirilis setahun setelahnya).

Seperti yang kita tahu, headphone jack sekarang bisa dibilang sudah hampir punah, dan B&W pun tidak luput dari pengaruh tren tersebut. Pada bagian belakang Zeppelin edisi 2021 ini, kita hanya bisa menemukan port USB-C saja di samping colokan kabel daya, dan itu pun cuma sebatas untuk keperluan servis. Dengan kata lain, Zeppelin sekarang sudah sepenuhnya siap menghadapi era streaming.

Beruntung opsi wireless-nya itu terbilang lengkap, mulai dari Spotify Connect, AirPlay 2, sampai Bluetooth 5.0 dengan dukungan codec aptX Adaptive. Sayang sekali ia tidak dibekali dukungan terhadap Chromecast maupun integrasi Google Assistant. Untuk pengoperasian via perintah suara, pengguna bisa memanfaatkan Alexa.

Kompatibilitas dengan AirPlay 2 juga berarti Zeppelin mendukung teknologi multi-room di ekosistem Apple. Alternatifnya, tahun depan B&W juga akan menghadirkan update agar Zeppelin juga kompatibel dengan teknologi multi-room milik lini speaker B&W Formation.

Terkait kinerja audionya, Zeppelin anyar ini mengandalkan konfigurasi lima driver: dua Decoupled Double-Dome tweeter berdiameter 1 inci di ujung kiri dan kanan, dua midrange driver 3,5 inci berteknologi Fixed Suspension Transducer (FST), dan satu subwoofer 6 inci di bagian tengah. Total daya amplifikasinya berada di kisaran 240 watt.

Versi terbaru Bowers & Wilkins Zeppelin ini sekarang sudah dijual seharga $799, atau kurang lebih sekitar 11,2 jutaan rupiah. Selain warna hitam, perangkat juga tersedia dalam warna abu-abu cerah. Sejauh ini belum ada informasi mengenai ketersediaannya di pasar tanah air.

Sumber: What Hi-Fi.

AirPods Generasi Ketiga Unggulkan Desain Baru Serta Kinerja Audio yang Lebih Superior

Bersamaan dengan peluncuran MacBook Pro generasi baru, Apple juga memperkenalkan AirPods generasi ketiga. TWS anyar ini membawa sederet pembaruan yang signifikan dibanding pendahulunya, mulai dari desain sampai fitur dan performanya.

Dari segi desain, bisa kita lihat bahwa wujudnya kini jadi sangat mirip seperti AirPods Pro, minus eartip silikon di ujung masing-masing unitnya. Tangkainya memendek jika dibandingkan generasi sebelumnya, dan Apple juga menyematkan force sensor seperti yang terdapat pada AirPods Pro demi menghadirkan mekanisme pengoperasian yang lebih intuitif.

Tidak seperti pendahulunya, AirPods generasi ketiga kini tahan cipratan air dan keringat dengan sertifikasi IPX4. Bobotnya berada di kisaran 4,28 gram per earpiece, cuma sedikit lebih berat daripada AirPods generasi kedua (4 gram).

Meski mirip, AirPods generasi ketiga dan AirPods Pro sebenarnya masih punya sejumlah perbedaan fisik. Yang paling kentara adalah absennya ventilasi udara pada AirPods generasi ketiga, yang berguna untuk memperluas soundstage.

Terkait fitur dan kinerjanya, AirPods generasi ketiga menjanjikan kualitas suara dan mikrofon yang lebih baik dari sebelumnya. Apple turut membekalinya dengan fitur Adaptive EQ, yang diklaim mampu mengoptimalkan suara di frekuensi rendah dan sedang secara real-time berdasarkan fitting perangkat di telinga masing-masing pengguna.

Seperti halnya AirPods Pro dan AirPods Max, AirPods generasi ketiga juga sepenuhnya kompatibel dengan konten Dolby Atmos (spatial audio) sekaligus fitur dynamic head tracking. Perangkat turut dibekali fitur auto-play dan auto-pause berkat sensor yang bertugas mendeteksi apakah ia sedang berada di dalam telinga atau tidak.

Satu hal yang paling membedakan AirPods generasi ketiga dari AirPods Pro adalah active noise cancellation (ANC). Entah kenapa alasannya, Apple enggan menyematkan ANC ke TWS ini. Padahal, Beats Studio Buds yang dijual lebih murah saja punya fitur pemblokir suara aktif tersebut.

Soal daya tahan baterai, AirPods generasi ketiga diklaim sanggup beroperasi hingga 6 jam nonstop dalam sekali charge, sementara charging case-nya dapat mengisi ulang perangkat sampai sebanyak 4 kali, memberikan total daya baterai selama 30 jam.

Fast charging pun turut didukung; pengisian selama 5 menit saja sudah cukup untuk menenagai perangkat selama 1 jam pemakaian. Oh ya, case-nya ini kompatibel dengan charger MagSafe, kabar gembira bagi pengguna iPhone 12 dan iPhone 13.

Di Amerika Serikat, AirPods (3rd Generation) akan segera dipasarkan dengan harga $179. AirPods (2nd Generation) masih akan tetap dijual, tapi kini harganya tinggal $129 saja. Untuk AirPods Pro, batch barunya kini datang bersama charging case MagSafe dengan banderol yang sama, yaitu $249.

Apple Music Voice Plan

Bersamaan dengan peluncuran AirPods generasi ketiga, Apple juga memperkenalkan paket berlangganan baru buat layanan streaming musiknya. Paket bernama Apple Music Voice Plan ini akan tersedia dalam waktu dekat di 17 negara, tapi Indonesia tidak termasuk salah satunya.

Di Amerika Serikat, Apple mematok tarif $4,99 per bulan untuk paket baru ini, alias separuh dari tarif paket standarnya, dan sama persis seperti harga paket pelajar. Andai tidak ada perubahan, Apple Music Voice Plan semestinya bakal dihargai Rp29 ribu per bulan di Indonesia.

Lebih murah, lalu apa yang dipangkas? Sesuai namanya, Apple Music Voice Plan dimaksudkan untuk sepenuhnya diakses via perintah suara. Jadi ketimbang memilih lagu atau playlist via aplikasi, pelanggan paket ini harus meminta bantuan Siri. Dengan kata lain, paket ini jelas tidak cocok buat pelanggan yang menggunakan perangkat Android.

Perintah suaranya kontekstual, tapi tentu terbatas pada bahasa yang didukung oleh Siri (yang sejauh ini belum mencakup bahasa Indonesia). Beberapa contoh yang Apple berikan di antaranya adalah “Play the dinner party playlist,” dan “Play more like this”. Pelanggan Apple Music Voice Plan juga bakal menjumpai tampilan aplikasi yang berbeda dari biasanya.

Dari segi konten, pelanggan paket baru ini bisa mengakses katalog lengkap Apple Music yang mencakup lebih dari 90 juta lagu. Yang tidak tersedia adalah akses ke konten lossless dan Dolby Atmos. Kalau itu yang dicari, maka pengguna sebaiknya berlangganan paket standarnya.

Sumber: Apple 1, 2.

Anker Luncurkan Soundcore Frames, Kacamata Pintar dengan Desain Semi-Modular

Soundcore merupakan sub-brand milik Anker yang secara khusus menggeluti bidang audio. Namun produk mereka kini tak hanya mencakup speaker, earphone dan headphone saja, melainkan juga kacamata.

Gambar di atas adalah Soundcore Frames, kacamata pintar sekaligus perangkat wearable pertama dari Anker. Kata pintar di sini mengacu pada kemampuannya memutar audio, bukan untuk menyajikan konten augmented reality seperti Snap Spectacles.

Dalam mengerjakan tugasnya, Soundcore Frames mengandalkan sepasang driver pada masing-masing tangkainya; satu berdiameter 25 mm, satu lagi 8 mm. Anker tidak lupa menyematkan sejumlah mikrofon sehingga perangkat juga bisa dipakai untuk menelepon maupun menangkap perintah suara.

Selain via perintah suara, pengoperasiannya juga bisa dengan menyentuh dan mengusap sisi luar tangkainya. Secara keseluruhan, perangkat ini tahan cipratan air dengan sertifikasi IPX4.

Soundcore Frames bukanlah kacamata audio pertama yang eksis di pasaran. Jauh sebelum ini sudah ada perangkat serupa dari Bose. Bahkan Razer pun juga punya kacamata dengan fungsi yang sama bernama Anzu.

Namun yang membedakan Soundcore Frames adalah fleksibilitasnya. Ketimbang menawarkan beberapa varian dengan desain yang berbeda, Anker justru menerapkan desain semi-modular pada Soundcore Frames; kedua tangkainya dapat dilepas-pasang dengan mudah dari bingkai kacamata.

Jadi ketimbang membeli unit baru secara lengkap hanya sekadar untuk berganti gaya, konsumen cuma perlu membeli bagian bingkainya saja. Jauh lebih hemat, tapi di saat yang sama masih tetap praktis. Agar dapat menjangkau semua pengguna, perangkat tentu juga kompatibel dengan lensa berukuran.

Soal baterai, Soundcore Frames diklaim bisa tahan sampai 5,5 jam sebelum ia perlu diisi ulang. Pengisiannya sendiri mengandalkan charger magnetis khusus. Saat buru-buru, perangkat bisa di-charge selama 10 menit saja, dan itu sudah cukup untuk menenagainya selama 1,5 jam pemakaian.

Untuk pasar Amerika Serikat, Soundcore Frames kabarnya akan dijual dengan harga $200 (sama seperti Razer Anzu), sementara bingkai tambahannya (yang tersedia dalam 10 variasi desain) dihargai $50 per unit.

Sumber: 9to5Toys dan Anker.

Bose SoundLink Flex Janjikan Suara Terbaik di Kelas Speaker Bluetooth Seukurannya

Usai meluncurkan QuietComfort 45 bulan lalu, Bose kini mengalihkan perhatiannya ke segmen speaker portabel. Karya terbarunya di kategori ini adalah SoundLink Flex, yang diklaim mampu menyajikan kinerja audio terbaik di kelas speaker seukurannya.

Bose percaya perpaduan custom transducer dan sepasang passive radiator yang mereka sematkan pada Flex mampu memaksimalkan clarity selagi menyuguhkan dentuman “bass yang dapat dirasakan di dada”. Sebagai referensi, suara yang dihasilkan Bose SoundLink Micro sudah sangat bagus untuk speaker seukurannya, dan Flex semestinya berada satu level di atasnya berkat volume fisik yang lebih besar.

Spesifiknya, Flex memiliki dimensi 200 x 91 x 53 mm, dengan bobot di kisaran 590 gram. Bodinya terbuat dari bahan silikon lembut, sementara grilnya terbentuk dari baja dengan cat powder coating. Bose bilang catnya ini tidak akan mengelupas, serta tahan terhadap korosi maupun sinar UV. Lebih lanjut, Flex tahan air dan debu dengan sertifikasi IP67. Ia bahkan bisa mengapung di atas air.

Satu keunikan yang Bose yakini tidak bisa ditemui di speaker Bluetooth lain adalah kemampuan perangkat untuk mendeteksi orientasinya, lalu secara otomatis menyesuaikan suara yang dihasilkan. Jadi tidak peduli perangkat sedang berdiri, tidur, atau digantung, suara yang disuguhkan pasti akan selalu optimal.

Fitur positioning semacam ini bukanlah hal baru di industri audio dan sudah bisa kita dapatkan di sejumlah smart speaker. Flex di sisi lain murni mengandalkan koneksi Bluetooth, tidak seperti Sonos Roam yang juga dilengkapi Wi-Fi. Namun entah apa alasannya, Flex masih menggunakan Bluetooth versi lawas (4.2). Beruntung charging-nya sudah mengandalkan USB-C. Baterainya sendiri disebut bisa tahan sampai 12 jam pemakaian dalam sekali charge.

Flex punya sejumlah tombol fisik untuk memudahkan pengoperasian. Ia juga dibekali mikrofon terintegrasi, yang berarti pengguna bisa memakainya sebagai speakerphone ketika menelepon. Menariknya, Flex juga dapat ditandemkan bersama smart speaker atau soundbar besutan Bose. Jadi dengan satu perintah suara ke smart speaker, maka musik juga akan diputar di Flex sekaligus.

Di Amerika Serikat, Bose SoundLink Flex saat ini sudah dijual seharga $149, atau kurang lebih sekitar 2,1 jutaan rupiah. Harganya saat tiba di Indonesia semestinya bakal lebih mahal dari itu, sebab SoundLink Micro yang dibanderol $119 saja dihargai 2,8 jutaan di sini. Untuk pilihan warnanya, Flex tersedia dalam warna hitam, putih, dan biru.

Sumber: CNET dan Bose.

V-MODA Ungkap TWS Perdananya, Hexamove Lite dan Hexamove Pro

V-MODA resmi ikut meramaikan pasar TWS dengan meluncurkan Hexamove. Bukan cuma satu, debut perdana V-MODA di ranah TWS ini hadir dalam dua varian sekaligus, yakni Hexamove Lite dan Hexamove Pro.

Dari namanya sudah tergambarkan bahwa kedua perangkat ini masih mempertahankan bentuk segi enam yang sudah menjadi ciri khas brand V-MODA itu sendiri. Tradisi lain yang juga tetap dipertahankan adalah opsi personalisasi via pelat ekstra yang bisa ditambahkan ke sisi luar masing-masing earpiece.

Awalnya saya mengira ada perbedaan dari segi kinerja audio atau spesifikasi pada kedua perangkat ini, tapi tebakan saya rupanya salah. Keduanya menawarkan kualitas suara yang identik, dengan sepasang driver berdiameter 6 mm dan dukungan codec AAC, SBC, serta aptX Adaptive, serta pengaturan equalizer via aplikasi pendamping.

Spesifikasi keduanya pun sama persis, dengan baterai yang bisa tahan hingga 6 jam dalam sekali charge, dan case yang bisa mengisi ulang perangkat sampai sebanyak tiga kali (total 24 jam). Kedua TWS sayangnya juga sama-sama tidak dilengkapi active noise cancellation (ANC). Padahal, V-MODA baru meluncurkan headphone ANC pertamanya Januari lalu.

Faktor yang membedakan Hexamove Lite dan Hexamove Pro adalah kustomisasi. Di Hexamove Lite, kustomisasinya cuma sebatas eartip dalam tiga ukuran yang berbeda. Di Hexamove Pro, ada tambahan beberapa aksesori modular yang bisa dipasangkan guna semakin menyempurnakan fitting-nya.

Aksesori yang pertama adalah sport fin, semacam sirip kecil untuk membantu menstabilkan posisi perangkat di dalam telinga. Kalau itu masih terasa longgar dan kurang mantap, pengguna bisa menambah aksesori yang kedua, yakni ear hook.

Aksesori yang terakhir mungkin terdengar agak mengherankan dan counterintuitive, yakni sebuah neck strap plus stabilizer yang akan menyulap Hexamove Pro menjadi earphone nirkabel dari zaman AirPods belum eksis, dengan earpiece kiri dan kanan yang tersambung oleh seutas kabel pendek. Buat apa? Supaya ia bisa dikalungkan dan tidak mudah hilang seperti kebanyakan TWS lain.

Di Amerika Serikat, V-MODA Hexamove Lite saat ini sudah dipasarkan seharga $130, dan tersedia dalam pilihan warna hitam, merah, dan sand white. Hexamove Pro di sisi lain dibanderol $170 dan tersedia dalam opsi warna hitam atau putih saja.

Sumber: Engadget.