ACV dan Bain: Tahun 2023 Volume Pendanaan Awal Masih Baik, Tahap Lanjut Alami Penurunan

Iklim pendanaan Venture Capital (VC) Indonesia mengalami naik-turun dalam beberapa tahun terakhir akibat ketidakpastian ekonomi makro global. Dalam laporan “Indonesia Venture Capital Report 2023” oleh AC Ventures dan Bain & Company, ketidakpastian ini dipicu kehati-hatian investor.

Situasi tersebut berdampak terhadap penurunan jumlah kesepakatan investasi pada paruh kedua 2022 sebanyak 344 menjadi 110 kesepakatan di paruh pertama 2023. Adapun, total pendanaan VC tercatat tumbuh flat (YoY) sebesar $3,6 miliar pada 2023. Jika dibandingkan, tren investasi di global (termasuk AS, Tiongkok, dan India) justru turun 20%-40%.

Indonesia Venture Capital Report 2023 / Sumber: Crunchbase

Pada investasi dengan ticket size di atas $50 juta, volumenya turun pada paruh kedua 2022 hingga 2023 (year-to-date), 72% putaran pendanaannya justru ditutup pada paruh pertama 2022 untuk menghindari situasi ekonomi makro yang dapat berdampak terhadap capital deployment.

Sebaliknya, pendanaan dengan ticket size tak sampai $10 juta (tahap awal) menunjukkan pertumbuhan sehat sejak tahun 2021, menunjukkan ketangguhan startup tahap awal. Terlihat pada, jumlah transaksi kurang dari $10 juta mendominasi pendanaan pada 2023 (year-to-date)–meski turun drastis dari 165 di 2022.

Pendanaan seri B tercatat menurun, baik jumlah transaksi maupun ticket size. Lalu, pendanaan seri C dan D+ menunjukkan tren kenaikan pada jumlah transaksi dan nilai. Beberapa notable funding dengan nilai signifikan pada 2022 mengalir ke sektor fintech, yaitu Xendit ($300 juta) dan DANA ($250 juta).

Sumber:

Terlepas dengan dinamika ini, Indonesia disebut tetap menjadi target kunci bagi VC. Sejumlah startup generasi awal yang telah berkembang signifikan menjadi bukti komitmen dan optimisme investor hingga saat ini.

“Riset kami dengan AC Ventures menyoroti optimisme dan daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi jangka panjang. Tantangan makro dan situasi sulitnya pendanaan akan membentuk ekosistem yang lebih solid dan tahan lama. Pertumbuhan di masa depan dapat terwujud lewat peluang di sektor baru yang tengah berkembang, juga didukung investor yang semakin matang dan siap dengan modalnya,” ujar Partner Bain & Company Tom Kidd.

Tiga fase perkembangan VC

Dalam temuannya, laporan mengungkap lanskap investasi VC di Indonesia telah berkembang dalam tiga fase. Pertama, fase sebelum tahun 2020, investor banyak menyuntik pendanaan ke bisnis yang memiliki network effect, alias fenomena layanan menjadi berguna saat banyak orang yang memakainya. Sektor kunci bisnis ini antara lain e-commerce, fintech, hingga logistik.

Fase kedua (2020-2022) ditandai lewat tren pergeseran prioritas investasi sebagai dampak dari pandemi Covid-19. Pada periode ini, investor membidik sektor yang dapat dampak positif dari pembatasan mobilitas. Sejumlah sektor yang populer digunakan selama masa pandemi, misalnya e-commerce dan fintech (khususnya paylater, pinjaman, dan investasi), serta teknologi web3.

Sementara, fase selanjutnya (2023-seterusnya) kembali bergeser ke sektor ESG dan teknologi yang berkaitan dengan lingkungan/iklim. Contohnya, kendaraan listrik (EV) dan baterai. Sektor lain, seperti healthtech tetap memiliki posisi kuat di tengah iklim investasi yang sulit. Demikian pula, sektor D2C yang memanfaatkan media sosial dan ecommerce untuk memaksimalkan bisnisnya.

Berikut sorotan beberapa sektor kunci:

  • Total pendanaan ke consumer tech merosot ke $81 juta pada paruh pertama 2023, dibandingkan pendanaan pada paruh pertama 2022 yang sebesar $580 juta. Namun, sentimen investor tetap positif sejalan dengan meningkatnya segmen kelas menengah dan populasi pekerja di Indonesia.
  • Total pendanaan ke jasa keuangan anjlok dari $1 miliar pada paruh pertama 2022 menjadi $25 juta pada paruh pertama 2023. Adapun, pendanaan ke sektor ini sebagian besar mengalir ke insurtech, banking untuk rural, dan hipotek.
Indonesia Venture Capital Report 2023 / Sumber: Crunchbase, S&P Capital IQ, Preqin, AVCJ, literature search
  • Sebaliknya, pendanaan ke kendaraan listrik dan energi naik signifikan dari $3 juta pada paruh pertama 2022 menjadi $18 juta pada paruh pertama 2023. Peningkatan ini ikut didorong oleh dukungan kebijakan pemerintah terkait subsidi untuk pelanggan ritel dan opsi pembiayaan yang lebih terjangkau.
  • Agritech juga mendapat kucuran dana yang cukup signifikan pada 2023 di mana ikut terdorong dari perolehan investasi eFishery sebesar $200 juta. Adapun, sektor budidaya perairan mengalami pertumbuhan 1,2 kali lipat di 2022 hingga paruh pertama 2023.

Dalam laporan tersebut, Managing Director Northstar Group Carlson Lau menjelaskan bahwa sektor consumer di Indonesia siap menghadapi fase pertumbuhan signifikan selanjutnya. Potensi pertumbuhan ini ikut didorong oleh kenaikan pendapatan dan ketertarikan konsumen untuk menjajal produk baru. Infrastruktur logistik dan sistem pembayaran online yang semakin matang menjadi katalis kemunculan merek-merek baru dalam negeri.

Ia juga menyoroti bagaimana kisah sukses eFishery dapat menjadi bukti bagaimana pemanfaatan teknologi ke dalam model kerja tradisional dapat membantu bisnis berkembang secara signifikan. Kesuksesan eFishery dapat menjadi pedoman bagi startup sejenis di Indonesia.

“Terakhir, sektor UMKM masih sangat luas dan belum banyak dimasuki. Para founder tengah membangun solusi yang inovatif untuk membantu UMKM mencapai efisiensi operasional. Kami melihat ada peluang digitalisasi rantai pasokan, pemanfaatan agen berbasis AI ke dalam alur kerja internal dan eksternal, serta AI untuk memfasilitasi pengambilan keputusan dan perencanaan bisnis yang lebih baik.”

Startup Kurangi Bakar Duit, GMV Ekonomi Digital Indonesia Ditaksir Hanya Naik 8%

Nilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan hanya naik 8% menjadi senilai $82 miliar (sekitar Rp1.307 triliun) pada tahun ini dari sebelumnya yang tumbuh 20%. Pertumbuhan transaksi GMV dari sektor perjalanan online tumbuh paling tinggi, disusul e-commerce dan online media, sementara ride-hailing dan makanan diestimasi minus.

Menurut laporan tahunan “e-Conomy SEA 2023” yang disusun Google, Bain & Company, dan Temasek, disampaikan setelah pembatasan mobilitas akibat pandemi dicabut pada akhir 2022, terjadi peningkatan kembali aktivitas offline. Terlihat dari layanan perjalanan online juga mengalami kenaikan yang menjanjikan, baik dari perspektif permintaan domestik maupun perjalanan bisnis.

Sektor ekonomi digital yang sebelumnya mengalami pertumbuhan, seperti pengantaran makanan dan e-commerce akan tumbuh melambat, walau transportasi online diprediksi tumbuh pesat. Di satu sisi, ketiganya telah mengurangi jumlah promosi dan insentif yang mereka tawarkan demi menyeimbangkan pertumbuhan dan profitabilitas.

Dampaknya terlihat dari pertumbuhannya yang melambat setelah konsumen yang sensitif terhadap harga memilih opsi lain. “Namun, jumlah pengguna yang setia masih cukup banyak, sehingga mengimbangi penurunan pertumbuhan pasar dengan kenaikan pertumbuhan pendapatan bersih,” tulis laporan tersebut.

Berikut perkiraan GMV masing-masing sektor menurut laporan tersebut:

e-Conomy SEA 2023

Laporan ini juga menyoroti arah kebijakan pemerintah, salah satunya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 yang terbit pada 27 September 2023. Regulasi ini melarang fitur e-commerce dan media sosial dalam satu aplikasi. TikTok pun menghapus TikTok Shop di Indonesia pada 4 Oktober. Juga, melarang impor e-commerce di bawah $100 per unit.

“Regulator sangat memengaruhi arah pertumbuhan sektor utama ekonomi digital. [..] impor e-commerce di bawah $100 untuk mendukung pedagang lokal dapat berdampak negatif pada keseluruhan pasar.”

Hal lain yang turut disoroti adalah pertumbuhan PDB dan inflasi di Indonesia yang diperkirakan akan berangsur normal. Dengan normalisasi, pertumbuhan PDB akan cenderung kembali ke level yang sedang setelah tingginya inflasi pada 2022. Untungnya inflasi mereda lebih cepat daripada perkiraan dengan turunnya harga input dan terasanya dampak intervensi pemerintah.

“Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih diprediksi akan naik lebih tinggi disbanding rata-rata regional dan akan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi digital.”

Secara keseluruhan, ekonomi digital di Asia Tenggara diperkirakan mencapai $218 miliar pada tahun ini. Nilai ekonomi digital Indonesia merupakan tertinggi, namun dilihat berdasarkan pertumbuhannya adalah terendah setelah Malaysia. Berikut rinciannya:

  • Filipina tumbuh 13% menjadi $24 miliar
  • Thailand tumbuh 16% menjadi $36 miliar
  • Malaysia tumbuh 7% menjadi $23 miliar
  • Singapura tumbuh 12% menjadi $22 miliar
  • Vietnam tumbuh 19% menjadi $30 miliar

Soroti monetisasi

Lebih jauh dipaparkan mengenai strategi monetisasi yang kini dilakukan startup di Asia Tenggara yang makin kencang dalam upaya mencapai target profitabilitas, dan mulai menunjukkan keberhasilan. Mereka mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan efisiensinya, mengeksplorasi pendorong produktivitas baru (seperti AI) untuk mencapai pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan dan menguntungkan.

Ada dua model bisnis yang umum dipakai di bisnis digital: direct revenue model dan third party platform model. Berikut rinciannya:

e-Conomy SEA 2023

“Pendapatan telah tumbuh lebih cepat dibandingkan GMV karena para pemain meningkatkan take rate dan memperluas ke aliran pendapatan yang berdekatan (misalnya logistik, periklanan, dll.). Diperkirakan tren ini akan terus berlanjut dalam jangka menengah.”

Dilanjutkan lagi, “Meskipun fokus pada monetisasi, GMV akan terus tumbuh bahkan ketika para pelaku pasar mengurangi diskon dan promosi untuk meningkatkan tingkat pengambilan bersih. Para pemimpin pasar telah menyatakan kesediaannya untuk mulai menginvestasikan kembali keuntungannya guna mempertahankan pangsa pasar mereka.”

Satu per satu dirinci bagaimana strategi monetisasi dari keempat sektor ini:

  • Pendapatan platform marketplace meningkat karena komisi yang lebih tinggi, penjualan iklan, dan biaya logistik, dalam upaya sebagai mesin pertumbuhan jangka panjang. Penjualan layanan tambahan (misalnya periklanan, layanan pengiriman, asuransi, dll.) telah menjadi cara yang semakin umum untuk meningkatkan pendapatan per pesanan dan pertumbuhan pendapatan secara keseluruhan.
  • Pendapatan OTA terbesar didorong oleh komisi hotel karena komisi dari tiket perjalanan itu kecil (2%-5%), dilatarbelakangi oleh pasar maskapai penerbangan yang terkonsolidasi, persaingan antar OTA, saluran penjualan langsung dari maskapai. Komisi hotel bisa tinggi karena sekarang OTA beralih dari model gaya broker (menyerahkan reservasi) ke model pedagang (mengelola transaksi) untuk meningkatkan komisi.
  • Sektor transportasi dan makanan mulai stabil model monetisasinya. Setelah bertahun-tahun berfokus pada akuisisi pengguna, para pemain telah beralih ke peningkatan ekonomi unit, dan kini menghasilkan pendapatan bersih yang positif dengan mengoptimalkan komisi dan belanja promosi – sebuah langkah pertama menuju profitabilitas jangka panjang yang berkelanjutan. Konsolidasi juga sedang berlangsung, menguntungkan pemain-pemain terbesar yang memiliki jalur paling jelas menuju profitabilitas.
  • Pendapatan media masih didominasi dari kontribusi iklan, sementara layanan streaming mendorong pertumbuhan pasar dalam jangka panjang. Iklan terus tumbuh, bahkan ketika merek lebih hati-hati belanja iklan karena sembari melakukan optimalisasi profitabilitas. Sedangkan, video berdurasi pendek dan marketplace pasar adalah pendorong pertumbuhan utama. AI terus membantu meningkatkan penargetan dan personalisasi.

Ulasan Pertumbuhan Ekonomi Digital Asia Tenggara 2022

Dalam laporan bertajuk e-Conomy Southeast Asia 2022: Through the Waves, Towards a Sea of Opportunity yang dirilis oleh Google, Temasek, dan Bain & Company terungkap, dalam waktu 24 bulan terakhir pandemi telah mengganggu bisnis di berbagai sektor. Namun telah mengakselerasi adopsi digital di berbagai sektor.

Hal menarik lain yang juga diungkap oleh Associate Partner Bain & Company Singapura Willy Chang dalam acara Switch 2022 adalah, saat ini kondisi sudah kembali berjalan normal, meskipun pandemi belum bisa dikatakan usai. Ke depannya juga akan mulai terlihat moderasi consumer consumption.

Sementara untuk kegiatan investasi, pemodal akan lebih ketat memberikan pendanaan dan penentuan valuasi. Imbasnya adalah bagaimana perusahaan harus segera memikirkan lajur yang tepat menuju profitabilitas.

Peningkatan layanan digital

Dalam laporan tersebut juga terungkap dalam waktu tiga tahun terakhir di Asia Tenggara pengguna internet berjumlah 460 juta orang, bertambah 100 juta dibandingkan tahun 2019 lalu. Kemudian terkait bisnis digital, beberapa sektor mengalami pertumbuhan selama pandemi, di antaranya adalah e-commerce, food delivery, transportasi, online grocery, online travel, dan video on-demand.

Untuk layanan e-commerce, tercatat menjadi yang mendapat keuntungan lebih selama pandemi bahkan hingga saat ini. Ke depannya di prediksi akan terus mengalami peningkatan. Untuk transportasi (ride hailing) justru sebaliknya, saat ini agak sedikit sulit bagi untuk kembali pulih. Salah satu alasannya adalah konsep bekerja hybrid di perusahaan masih terus diterapkan. Sehingga hanya sedikit yang melakukan pemesanan.

Persoalan naiknya harga bahan bakar juga menyulitkan sebagian besar mitra pengemudi untuk kemudian beroperasi, menjadikan sebagian dari mereka beralih profesi. Namun demikian untuk layanan food delivery tercatat terus mengalami peningkatan. Dilihat dari masifnya jumlah permintaan saat awal pandemi bahkan hingga saat ini.

Sektor lain yang akan mengalami perubahan bisnis selama pandemi adalah online media, dalam hal ini video on-demand dan online gaming. Untuk streaming musik berlangganan tercatat sempat mengalami penurunan pelanggan saat pandemi karena kurangnya kegiatan commute oleh sebagian besar pekerja kantoran.

Khusus untuk online travel sudah mulai banyak permintaan pembelian tiket pesawat terbang dengan makin banyaknya negara yang membuka kembali kegiatan wisata. Namun di sisi lain masih belum banyaknya penyediaan penerbangan di beberapa perusahaan penerbangan. Di tambah lagi dengan masih tingginya harga tiket pesawat saat ini.

Layanan finansial dan peluang investasi

Gopay, ShopeePay, hingga GrabPay juga mengalami pertumbuhan yang masif, bahkan masing-masing juga telah merilis layanan paylater. Karena di sisi lain produk finansial digital seperti fintech lending hingga paylater terus mengalami pertumbuhan yang positif dan diprediksi bakal terus meningkat.

Dalam laporan tersebut juga terungkap, dalam waktu tiga tahun terakhir ada beberapa model bisnis yang masuk dalam kategori memiliki peluang untuk sukses di sektor fintech. Di antaranya adalah pure-play fintech, consumer tech platform, establish financial services playerestablish consumer player, dan digital bank.

Di Indonesia sendiri untuk layanan bank digital sudah mulai marak bermunculan. Layanan ini memiliki peluang untuk sukses dilihat dari masih banyaknya masyarakat Indonesia yang masuk dalam kategori unbanked/underbanked sekitar 81%. Negara lain di Asia Tenggara yang juga memiliki potensi untuk layanan bank digital adalah Filipina dan Vietnam.

Untuk investasi, meskipun mengalami momen yang cukup kuat pada H1 2022, namun kebanyakan investor lebih berhati-hati dalam hal pemberian investasi. Fokus mereka saat ini lebih kepada bagaimana startup atau perusahaan yang mereka investasikan bisa mencapai profitabilitas.

Dalam laporan tersebut juga terungkap bahwa investasi untuk perusahaan tahap awal mengalami peningkatan.

Sementara untuk perusahaan yang masuk dalam kategori pendanaan tahapan lanjutan, cukup terkena imbas. Salah satu alasannya karena perusahaan pra-IPO berjuang untuk membangun rekam jejak pertumbuhan yang menguntungkan. Di sisi lain untuk growth stage mulai dari H12021-H12022 mengalami peningkatan investasi yang cukup tinggi.

Pendanaan dengan nominal yang besar banyak dikucurkan di regional, bahkan beberapa investor bersedia untuk terlibat dalam pendanaan berikutnya terutama untuk perusahaan yang terakselerasi selama pandemi. Terkait dengan valuasi, kebanyakan pemodal ventura berharap valuasi akan terus berkurang; hanya sebagian kecil yang melihat pemulihan dalam waktu dekat.

Dalam laporan tersebut juga dirilis beberapa perusahaan yang akan mencapai target kepada financial sustainability. Di antaranya adalah Grab pada H12023, GoTo pada Q12024, Bukalapak pada H22024, dan Shopee pada tahun 2023.

Indonesia’s Digital Economy Growth in 2020

Google, Temasek, and Bain & Company released their annual report “e-Conomy SEA 2020” to review the development of digital or internet business in Southeast Asia. The headline for this is “At full velocity: Resilient and racing ahead” – indicating how the ambitions of digital players survive and try to maintain growth amid the global economic downturn.

There are 7 highlighted digital sectors. Apart from the existing ones, e-commerce, transport & food, online travel, online media, and financial services; This year the research added two new business landscapes, healthtech and edtech – because both are experiencing significant growth amid the Covid-19 pandemic.

The pandemic has drove internet penetration in the region, with an estimated 40 million new users in 2020. Therefore, there are around 400 million internet users in total in Southeast Asia – equivalent to 70% of the total population. The existence of social restrictions forms a new culture, such as work/school activities from home, resulting in a drastic increase in consumption of digital services.

One quite interesting issue is that in Indonesia has 56% of total digital service consumers this year come from outside the metro area, while the remaining 44% are still from around the urban area. It is said, digital development is currently still Jabodetabek-centric; and this cannot be denied because there is a significant gap between metro and non-metro areas in terms of accessibility to infrastructure.

Gross Merchandise Value (GMV) is the matrix used to measure economic units in this report; that is, indicating the value of transactions/sales that occur within a certain period of time by the user. The GMV for the internet economy in Southeast Asia (accumulating value from the 7 highlighted sectors) is projected to exceed $100 billion. Indonesia will contribute $44 billion or the equivalent of 621 trillion Rupiah.

In Indonesia, most of  our GMV comes from e-commerce services, amounting to $32 billion, followed by transportation & food platforms worth $5 billion, online media $4.4 billion, and online travel $3 billion.

Validation for digital economy direction

Recently, APJII has released the latest report regarding internet user statistics in Indonesia. Specifically in 2020, there are approximately 25 million new internet users in the country (increasing by 8.9% compared to last year). Indonesia’s domination in many of the Google-Temasek-Bain & Company reports has also validated that Indonesia is on the right track in building its digital economy.

Although quite a few also say that Indonesia’s digital economy phase is still in “early stage”, at least the foundations are well formed. Looking back over the past decade, e-commerce and ride-hailing businesses have been able to become good industrial engines, they have expanded the scope of digital savvy in Indonesia – both from consumers and SMEs. The implication is that new (digital) business models are getting quickly accepted.

Covid-19 has also had a very visible impact. Some business sectors have been hit hard, for example online travel, but from there we can see how digital service providers are able to adapt quickly. Take, for example, the fast action of OTA to save businesses by aggressively promoting domestic transportation services or the “staycation” vacation model. So it is not surprising that in the statistics of the e-Conomy, the OTA platform still has a significant position.

On the other hand, the pandemic is actually ripening the level of digital adoption in society. The benefits for digital players may be seen at a later time. When the community lockdown starts to get used to shopping, studying, consulting health online, this will become new permanent habits. Especially when the platform is able to accommodate these needs, therefore, it brings a more pleasant impression.

In our internal records, funding to digital startups have also continued to pour during this pandemic. This indicates a good trend regarding investor trust in Indonesia’s  business players – amidst a recession and increased risk of failure due to economic dynamics. This momentum certainly needs to be maintained to ensure that the Indonesian startup ecosystem continues to grow, and realize the nation’s vision to lead the Asian digital economy.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Gambar Header: Depositphotos.com

Perkembangan Ekonomi Digital Indonesia Tahun 2020

Google, Temasek, dan Bain & Company kembali merilis laporan tahunan mereka “e-Conomy SEA 2020” yang mengulas tentang perkembangan bisnis digital atau internet di Asia Tenggara. Kali ini, judul yang diambil adalah “At full velocity: Resilient and racing ahead” — mengindikasikan bagaimana ambisi pemain digital bertahan dan mencoba menjaga pertumbuhan di tengah keterpurukan ekonomi global.

Ada 7 sektor digital yang disorot. Selain yang sudah ada sebelumnya, yakni e-commerce, transport & food, online travel, online media, dan financial services; tahun ini riset menambahkan dua lanskap bisnis baru yakni healthtech dan edtech — karena keduanya mengalami pertumbuhan signifikan di tengah pandemi Covid-19.

Pandemi juga mendorong penetrasi pengguna internet di regional, tercatat ada sekitar 40 juta pengguna baru di tahun 2020. Sehingga secara total di Asia Tenggara ada sekitar 400 juta pengguna internet — setara dengan 70% dari total populasi. Adanya pembatasan sosial membentuk kultur baru seperti kegiatan bekerja/sekolah dari rumah, memberikan dampak pada konsumsi layanan digital meningkat derastis.

Satu hal yang cukup menarik, di Indonesia 56% dari total konsumen layanan digital tahun ini datang dari luar area metro, sementara sisanya yakni 44% masih dari seputaran area metro. Sehingga bisa dikatakan, sampai saat ini perkembangan digital memang masih Jabodetabek-sentris; dan itu tidak dimungkiri karena ditinjau dari aksesibilitas sampai infrastruktur memang ada jenjang yang cukup signifikan antara area metro dan non-metro.

Gross Merchandise Value (GMV) jadi matriks yang digunakan untuk mengukur unit ekonomi dalam laporan ini; yakni mengisyaratkan pada nilai transaksi/penjualan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu oleh pengguna. GMV untuk ekonomi internet di Asia Tenggara (mengakumulasi dari nilai yang didapat dari 7 sektor yang disorot) diproyeksikan akan melebihi $100 miliar. Indonesia akan memberikan sumbangsih $44 miliar atau setara 621 triliun Rupiah.

Di Indonesia, mayoritas GMV masih disokong oleh layanan e-commerce, yakni sebesar $32 miliar, disusul platform trasport & food senilai $5 miliar, online media $4,4 miliar, dan online travel $3 miliar.

Validasi baik untuk arah pertumbuhan ekonomi digital

Belum lama ini, APJII juga baru merilis laporan terbarunya terkait statistik pengguna internet di Indonesia. Spesifik di tahun 2020, kurang lebih ada 25 juta pengguna internet baru di tanah air (naik 8,9% dibanding tahun lalu). Berbagai dominasi Indonesia di banyak bahasan laporan Google-Temasek-Bain & Company turut memvalidasi Indonesia sudah berada di jalur yang benar dalam membangun ekonomi digitalnya.

Kendati tidak sedikit juga yang mengatakan bahwa fase ekonomi digital Indonesia masih “early stage”, setidaknya fondasinya sudah terbentuk dengan baik. Mengamati kembali pada satu dekade ke belakang, bisnis e-commerce dan ride-hailing mampu menjadi lokomotif industri yang baik, mereka memperluas cakupan digital savvy di Indonesia – baik dari kalangan konsumer maupun UKM. Implikasinya berbagai model bisnis (digital) baru lebih cepat diterima.

Covid-19 juga memberikan dampak yang sangat kasat mata. Beberapa sektor bisnis memang sangat terpukul, misalnya online travel, namun dari sana pula kita bisa melihat bagaimana penyelenggara layanan digital mampu beradaptasi cepat. Ambil contoh, gerak cepat OTA menyelamatkan bisnis dengan gencar mempromosikan layanan transportasi domestik atau model liburan “staycation”. Sehingga tidak mengherankan dalam statistik e-Conomy platform OTA masih punya posisi signifikan.

Di sisi lain, pandemi sebenarnya tengah mematangkan tingkat adopsi digital masyarakat. Keuntungannya bagi pemain digital mungkin bisa terlihat di kemudian hari. Saat lockdown masyarakat mulai membiasakan berbelanja, belajar, berkonsultasi kesehatan secara online, bisa jadi ini akan menjadi kebiasaan-kebiasaan baru yang bersifat seterusnya. Apalagi jika platform mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut dengan baik, sehingga membawakan kesan yang lebih menyenangkan.

Dalam catatan internal kami, sepanjang pandemi ini transaksi pendanaan ke startup digital juga masih terus mengalir tanpa adanya perlambatan. Mengindikasikan tren baik terkait kepercayaan investor terhadap pelaku bisnis di Indonesia – di tengah resesi dan risiko kegagalan yang meningkat akibat dinamika ekonomi. Momentum ini tentu perlu dijaga untuk memastikan ekosistem startup Indonesia terus bertumbuh, dan merealisasikan visi bangsa untuk memimpin ekonomi digital Asia.

Gambar Header: Depositphotos.com

Indonesia’s Digital Economy is Now at $40 Billion, E-commerce as the Biggest Participant

Google and Temasek have published another annual report on Southeast Asia’s digital economy. Titled as e-Conomy SEA 2019, there are some issues worth highlighting. Since 2015, the internet user has exceeded 100 thousand people-increased by 10% in the past year. In 2019, SEA’s total internet user has reached 360 million. New users are mostly at the age of 15-19 years old.

The increasing number has an impact on the internet/digital economy. The number has reached $100 billion in 2019, projected to reach $300 by the year 2025. The estimated number increased after last year’s report prediction at $240 – in 2018 the value reached out to $72 billion.

As seen from the internet industry’s sub-sector, most of the internet users are in the online game category (180 million active users), followed by e-commerce and ride-hailing. The number is getting higher as esports trend arises in the region – still exploring the true identity with business models that keeps changing, more than just a game.

Indonesian digital economy 1

The ride-hailing demand also gives quite an impact. Since 2015, the report shows increasing internet users five times up. In terms of industry players, Grab and Gojek are still competing for the regional market. Both are consistently raise funding for expansion.

Indonesia is leading

Indonesia’s digital economy is predicted to reach $130 billion by 2025, it’s already at $40 billion this year49% growth in average per year. E-commerce and ride-hailing become the main industry; as the digital payment dominating all the app-based services. The related growth is supported by endless investment. It includes funding for Indonesian unicorns, the value is at $4 billion in 2018.

Indonesian digital economy 2

Indonesia, compared to six other countries with the rapid-growing internet economy, is more significant in terms of value. Based on its geographical condition and total population, it’s far indeed. Vietnam is projected as the second biggest market after Indonesia. The digital players start eyeing the region to settle. Some of Indonesian giant digital companies – such as Gojek and Traveloka – has its debut there.

In its report, Google-Temasek always highlighting e-commerce, online travel, online media, and ride-hailing. The four main sectors are playing great roles for business transformation in Southeast Asia – as the locomotive and gate to the digital economy. In fact, the e-commerce and ride-hailing sectors in Indonesia has opened new opportunities, particularly to encourage SMEs to level-up and create more job offers.

Indonesian digital economy 3

Indonesia is getting momentum, for at least 152 million internet users, has exceeded the total population. The online travel sector leads the last year achievement, this year is for e-commerce to rise. The growth has reached 88% since 2015, the number (GMV – Gross Merchandise Value) this year has reached $21 billion. While online travel is still at $10 billion. Ride-hailing on the other side is at $6 billion.

Centralized area

One of the highlighted issues in the report is the internet economy distribution in the region. Research has compared the economic cycle that occurs in the metro or urban areas, has outperformed the other regions. Take Indonesia for example, the GMV per capita for the internet economy in Jabodetabek is $555 while the other region is at $103.

Indonesian digital economy 3

Meanwhile, only 15% of the total Southeast Asia population living in the urban area. Some digital startups have a “holy mission” to reach the rurals. As in Indonesia, the digital payment app penetration aims for the unbankable. It includes some e-commerce trying to accommodate SMEs from the rural area.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Ekonomi Digital Indonesia Capai $40 Miliar, Bisnis E-commerce Beri Sumbangsih Terbesar

Google dan Temasek kembali merilis laporan tahunannya menyorot perkembangan ekonomi digital di Asia Tenggara. Bertajuk e-Conomy SEA 2019, ada beberapa hal menarik disorot dalam laporan. Sejak tahun 2015 tercatat pertumbuhan jumlah pengguna internet mencapai 100 juta orang –penambahan satu tahun terakhir mencapai 10 juta. Untuk tahun 2019 jumlah pengguna internet di Asia Tenggara mencapai 360 juta orang. Pengguna baru hadir sebagian besar dari demografi usia 15-19 tahun.

Pertumbuhan tersebut turut memberikan sumbangsih pada pertumbuhan ekonomi internet/digital. Tahun 2019 tercatat nilainya mencapai $100 miliar, diproyeksikan akan mencapai $300 miliar pada tahun 2025 mendatang. Prakiraan tersebut meningkat, setelah laporan tahun lalu memprediksi angkanya akan sampai $240 miliar saja – tahun 2018 nilainya $72 miliar.

Ditinjau dari sub-sektor industri internet, alokasi jumlah pengguna paling banyak masuk ke kategori online game (180 juta pengguna aktif), dilanjutkan e-commerce dan ride-hailing. Angka tersebut diperkuat dengan tren esports yang memang terus berkembang di kawasan ini – secara bisnis masih terus mencari jati diri dengan model bisnis yang terus berevolusi, dari sekadar permainan game biasa.

e-Conomy SEA 2019

Permintaan layanan ride-hailing juga memberikan dampak berarti. Sejak tahun 2015, laporan mencatat pertumbuhan jumlah pengguna mencapai 5x lipat. Ditinjau dari pemain industri, Grab dan Gojek yang tengah mencoba untuk terus memenangkan pasar regional. Keduanya secara konsisten menggalang pendanaan baru untuk menguatkan ekspansi di tiap negara.

Indonesia masih mendominasi

Ekonomi digital Indonesia diperkirakan mencapai $130 miliar pada tahun 2025 mendatang, tahun ini angkanya sudah mencapai $40 miliar – rata-rata pertumbuhannya 49% per tahun. E-commerce dan ride-hailing menjadi pendorong utama di kawasan ini; ditambah adopsi pembayaran digital yang mendominasi semua layanan berbasis aplikasi. Pertumbuhan bisnis terkait didukung investasi yang terus mengalir. Termasuk dukungan yang diberikan pada unicorn Indonesia, nilainya mencapai $4 miliar pada tahun 2018 lalu.

e-Conomy SEA 2019

Dibandingkan enam negara lain yang turut mendapat lonjakan tinggi dari ekonomi internet, Indonesia memang memiliki signifikansi lebih dari sisi nilai. Ditinjau dari luas geografis dan total populasi perbandingannya memang sangat jauh. Vietnam digadang-gadang sebagai pangsa pasar terbesar kedua setelah Indonesia. Pebisnis digital mulai memperhatikan wilayah tersebut untuk memantapkan bisnis. Beberapa perusahaan digital besar di Indonesia –sebut saja Gojek dan Traveloka—juga telah debut di sana.

Dalam laporannya, Google-Temasek selalu menyoroti e-commerce, online travel, online media, dan ride-hailing. Empat sektor utama tersebut dianggap memiliki peran besar dalam mentransformasi bisnis di wilayah Asia Tenggara –sebagai lokomotif sekaligus gerbang ekonomi digital. Di Indonesia sendiri, platform e-commerce dan ride-hailing telah mampu menghadirkan banyak kesempatan baru, khususnya dalam rangka mendorong UKM untuk naik kelas dan membuka kesempatan kerja lebih luas.

e-Conomy SEA 2019

Indonesia mendapatkan momentum, sekurangnya jumlah pengguna internet tahun ini mencapai 152 juta pengguna, telah melebihi dari total populasi. Tahun lalu sektor online travel masih memimpin perolehan, tahun ini giliran e-commerce. Peningkatan e-commerce dari tahun 2015 mencapai 88%, tahun ini angkanya (GMV – Gross Merchandise Volume) sudah mencapai $21 miliar. Sementara untuk online travel masih berada di $10 miliar. Ride-hailing mendapatkan porsi $6 miliar.

Terpusat di area metro

Sorotan lain yang turut disampaikan dalam laporan mengenai sebaran ekonomi internet di kawasan tersebut. Riset membandingkan antara putaran ekonomi yang terjadi di area metro atau pusat perkotaan, sebagian besar mengungguli berkali-kali lipat daerah lain. Di Indonesia misalnya, GMV per kapita untuk ekonomi internet yang terjadi di Jabodetabek mencapai $555 sementara di luar kawasan itu hanya di angka $103.

e-Conomy SEA 2019

Sementara secara keseluruhan populasi di Asia Tenggara yang berada di kawasan metro hanya 15% dari total. Namun beberapa startup digital memiliki “misi mulia” untuk menjangkau kawasan rural. Seperti di Indonesia, penetrasi aplikasi pembayaran digital banyak ditargetkan untuk menjangkau pengguna unbankable. Termasuk beberapa e-commerce yang mencoba mengakomodasi produk-produk dari UKM di daerah.

Laporan Bain & Company: Indonesia dan Vietnam Makin Diminati Investor Startup

Dalam laporan yang dirilis Bain & Company tercatat pertumbuhan investasi startup di Asia Tenggara yang cukup masif. Di tahun 2017, investasi yang digelontorkan kepada startup sebanyak 524 transaksi. Sementara itu di tahun yang sama private equity (dana ekuitas swasta) nilainya mengalami peningkatan 75% hingga $15 miliar.

Salah satu alasan mengapa banyak investor asing dan lokal yang mulai aktif memberikan dana segar kepada startup di Asia Tenggara adalah stabilitas dan kelancaran dari venture capital dan private equity.

Banyak investor baru yang tertarik dengan fundamental ekonomi makro yang kuat. Selain itu mulai banyak kesempatan untuk berinvestasi di negara-negara berkembang dan pendalaman pasar sekunder untuk transaksi di semua ukuran bisnis.

Laporan riset juga mengemukakan bahwa ekosistem investasi di Asia Tenggara telah melewati masa kritis dan memasuki fase pertumbuhan. Diprediksikan nilai transaksi selama lima tahun ke depan akan mencapai $70 miliar, dua kali lipat dari lima tahun sebelumnya. Diharapkan bisa menghasilkan sedikitnya 10 unicorn baru pada tahun 2024.

Perusahaan teknologi hingga layanan kesehatan

Perusahaan rintisan yang berbasis teknologi memiliki daya tarik tersendiri bagi venture capital asing dan lokal. Jumlah investasi meningkat banyak sekitar 40% di tahun 2017, dibandingkan tahun 2014 yang hanya sekitar 20% saja. Asia Tenggara juga menjadi kawasan yang mampu melahirkan startup unicorn, yang telah menghasilkan valuasi startup hingga $1 miliar atau lebih.

Sejak tahun 2012, 10 unicorn termasuk Grab, Go-Jek, dan Traveloka telah menciptakan nilai pasar gabungan sebesar $34 miliar, peringkat Asia Tenggara saat ini berada di posisi ketiga di kawasan Asia-Pasifik, setelah Tiongkok dan India.

Salah satu kategori yang saat ini mulai marak hadir dan telah menjadi favorit adalah layanan kesehatan berbasis teknologi (healthtech). Fullerton Health, misalnya, sekarang telah mengoperasikan lebih dari 500 klinik di delapan negara Asia-Pasifik, setelah didirikan pada tahun 2011 dengan mengakuisisi dua perusahaan penyedia layanan kesehatan di Singapura.

BookDoc, anak perusahaan Malaysia berumur tiga tahun dengan pendanaan venture capital, menghubungkan pasien dengan penyedia layanan kesehatan dan telah membangun platform online yang mencakup di lima negara. Kelompok rumah sakit Indonesia, Siloam, adalah salah satu mitra strategisnya.

Kebangkitan startup Indonesia

Meskipun Singapura tetap menjadi pusat investasi di Asia Tenggara, ekosistem startup yang dinamis mulai bermunculan di seluruh wilayah. Jumlah perusahaan di Indonesia yang meningkatkan pendanaan tahap pertama pada tahun 2017 meningkat lebih dari 300% dari tahun 2012.

Indonesia dan Vietnam telah menghasilkan 20% dari nilai kesepakatan private equity dalam waktu lima tahun terakhir dan persentase tersebut kemungkinan akan mengalami pertumbuhan. Laporan juga mencatat, hampir 90% dari investor menyebutkan pasar Asia Tenggara menjadi yang ‘terpanas’ di luar Singapura. Dan di tahun 2019 mendatang, Indonesia dan Vietnam akan menjadi pilihan.

Meskipun saat ini Investasi di Asia Tenggara mulai menunjukkan peningkatan, di sisi lain tantangan baru mewajibkan para investor untuk melakukan navigasi dan melancarkan strategi dengan cerdas. Bagi bisnis regional, mengamankan talenta terbaik, meningkatkan keunggulan komersial, dan memanfaatkan teknologi digital akan menjadi strategi terbaik untuk menghasilkan keuntungan yang solid yang ingin dicapai.

Bain & Company: Kontribusi E-Commerce Terhadap Penjualan Ritel di ASEAN Masih Tahap Awal

Pemanfaatan platform e-commerce di ASEAN dinilai masih dalam tahap awal untuk mendongkrak kontribusi ekonomi dari sektor UKM ritel. Untuk itu, ruang untuk menyamai Tiongkok dan Amerika Serikat terbuka sangat lebar.

Hasil riset perusahaan konsultan manajemen Bain & Company yang didukung oleh Sea Group, Google, dan Tan Sri Rebecca, bertajuk “Advancing Towards ASEAN Digital Integration: Empowering SMEs to Build ASEAN’s Digital Future” menunjukkan sektor layanan e-commerce (B2B dan B2B2C) tumbuh 25% tiap tahunnya selama lima tahun belakangan. Diestimasi penjualan lewat sektor tersebut mencapai US$10 miliar pada tahun lalu atau baru 2% dari total penjualan ritel.

“Kondisi tersebut kalah jauh dibandingkan Amerika Serikat sebesar 12% dan Tiongkok 20%,” tulis laporan tersebut.

Bila dijabarkan lebih detil, Singapura memimpin dibandingkan negara tetangga lainnya sebesar 5%, diikuti Brunei Darussalam 4%, Malaysia 3%, Indonesia dan Thailand 2%. Kendati demikian, ASEAN berpeluang besar untuk menyamai kedua negara maju tersebut.

Faktor pendukungnya terletak pada makin kuatnya gelombang permintaan secara makroekonomi. Lebih dari 50% penduduk ASEAN berusia di bawah 30 tahun dan PDB riil per kapita ASEAN telah tumbuh sebesar 3,8% dalam lima tahun terakhir, dibandingkan dengan rata-rata global 2,3%. Sementara itu, proporsi pengguna internet telah meningkat 2,8 kali dari 2012 hingga 2017.

Tantangan integrasi digital

Bain & Company melakukan survei terhadap 2.342 responden pelaku UKM di sektor agro, manufaktur, ritel, transportasi, dan logistik di 10 negara ASEAN. Survei berlangsung selama Maret-April 2018. Salah satu hasilnya menunjukkan bahwa UKM di seluruh sektor mendapatkan manfaat langsung dan berkelanjutan ketika terintegrasi dengan ekonomi digital.

Responden dari UKM ritel menyebut, mereka yang menggunakan kanal e-commerce mengalami peningkatan penjualan rata-rata 15%, UKM logistik rata-rata produktivitas naik 10%-20%. Sementara, UKM agro yang mengadopsi aplikasi pertanian produktivitasnya naik 5%-10%.

Dari 80% responsen UKM ritel yang disurvei, mereka setuju ada potensi yang bisa digali lebih dalam untuk meningkatkan bisnis lewat pemanfaatan platform e-commerce. Meskipun demikian, secara umum UKM ritel masih menghadapi hambatan yang membatasi mereka dari pertumbuhan online lebih lanjut baik dalam penjualan domestik dan lintas batas.

Sejumlah hambatan tersebut di antaranya kurangnya pemahaman teknologi digital, karyawan kurang memiliki keterampilan untuk menjual produk secara online, dan lemahnya koneksi internet.

Hambatan lainnya saat UKM ritel mau melakukan ekspor, misalnya infrastruktur logistik yang masih buruk, kompleksitas lintas batas karena banyak non tarif, dan minim opsi pembayaran.

Berbicara soal tingkat adopsi internet di kalangan UKM ritel, secara rata-rata di ASEAN mencapai 34%. Singapura kembali menempati posisi pertama dengan persentase 50%, Malaysia 49%, Filipina 41%. Namun Thailand (32%), Indonesia (30%)dan negara sisanya masih dibawah rata-rata tersebut.

“Penelitian ini menunjukkan peran kunci yang dapat dimainkan e-commerce dalam mewujudkan ekonomi yang lebih inklusif di Indonesia -apakah dengan memberdayakan UKM pedesaan atau membantu pengusaha perempuan meningkatkan pendapatan dan mata pencarian mereka,” ujar Ekonom Sea Group Santitarn Sathirathai.

“Kami melihat momentum besar dalam e-commerce sebagaimana UKM memasuki pasar baru yang berkembang pesat secara online ke depan.”

Observing E-Commerce Dynamic in Southeast Asia

In the report written by Bain & Company, e-commerce consumer growth in Southeast Asia has reached 50% of total 200 million consumers in last 2016. The huge market interest in buying and doing e-commerce transaction is mentioned in the report as “hyperactive” market for Southeast Asia.

In Indonesia, there are 5.1 people in average using e-commerce platform per year. Meanwhile, the most used payment method is Cash on Delivery (CoD).

The increasing number of low cost smartphone users in Southeast Asia (including Indonesia) becomes one of the supporting factors on why e-commerce, on-demand platform and others are the most favorites. In Indonesia, known as mobile first country where smartphone becomes daily gadget used for work, shopping and entertainment.

OTA services growth in Southeast Asia

Another fascinating facts are mentioned in the report, the biggest and most used
service in Southeast Asia’s consumers is, travel and tourism ($22 billion),
followed by e-commerce ($15 billion), media and entertainment ($3 billion),
advertising ($2 billion), transport ($2 billion), gaming ($2 billion) and lastly
there is social/messaging ($0.2 billion).

Regarding the fast-growing travel and tourism service, during 2017 in Indonesia is dominated by Traveloka which rumored to have valued more than $2 billion and make it the first startup unicorn in Indonesia’s online travel industry. Previously in July 2017, Expedia announced an investment in Southeast Asia, Indonesia in particular, by taking minor stake in Traveloka worth $350 million (over 4.6 trillion Rupiah). In Indonesia, the value lose to Go-Jek which rumored to have reached $3 billion after receiving funding from Tencent.

Not only selling hotel rooms, flight, train tickets and more, Traveloka is now
selling tour packages. The service known as Activity & Recreation giving
opportunity for travellers to buy tourism site tickets, on website or through app.

In Indonesia, Traveloka’s competitor is Tiket, which after acquired by Blibli is
increasingly aggressive in marketing, user acquisition, sales, and making other
interesting features and offers.

The rise of social commerce

On the other hand, purchases made by social media is getting consumer attention in Southeast Asia even though in relatively small amount. According to the current data, countries such as Thailand and Indonesia have used social media (Facebook, Instagram) frequently. Besides for communicating with friends and family, social media is now widely used to sell goods to service, making use of “Shop” feature applied in each platform.

The platform is claimed to have data which can be used by brand in observing
consumer behaviour from the transaction started till the payment made. Furthermore, the next marketing act can be targeted for more relevant promo and latest information. Chat and Messenger apps are currently used to do business.

“Agile” approach for successful business in Southeast Asia

The interesting fact revealed in the report, the Southeast Asia’s e-commerce
industry keeps shifting and must be able to adopt new innovation quickly. An
“agile” approach or ability to move faster is a startup’s must-have mindset.

In fact, investment on technology is also a key to succes for startup in running a
sustainable business in Southeast Asia. Another thing to be noticed is a strategy
to get ahead of competitor and evolve in the digital landscape.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian