Sphero Indi Ajarkan Dasar-Dasar Coding ke Anak-Anak Tanpa Melibatkan Screen Time

Anak-anak zaman sekarang tidak kekurangan permainan edukatif untuk melatih dasar-dasar robotik dan pemrograman. Masalahnya adalah, sering kali permainan-permainan tersebut masih mengharuskan anak-anak untuk menatap layar, dan di luar sana ada banyak orang tua yang berusaha sekeras mungkin untuk mengurangi screen time masing-masing anaknya.

Alternatifnya, mereka bisa melirik robot bernama Sphero Indi berikut ini. Sphero bukanlah nama yang asing di bidang robotik maupun permainan STEAM, dan mereka merancang Indi untuk melatih kemampuan problem solving anak-anak tanpa harus menambah waktu mereka menatap layar smartphone atau tablet.

Begitu dikeluarkan dari boksnya, Indi bisa langsung dipakai untuk bermain dan belajar. Robot berbentuk mobil ini dapat diprogram untuk bergerak menggunakan 20 kartu berwarna yang termasuk dalam paket penjualannya. Masing-masing warna yang dilewati akan diterjemahkan secara berbeda oleh Indi; misalnya warna biru berarti ia harus belok ke kanan 90°, sedangkan warna oranye berarti saatnya untuk belok ke kiri 45°. Kartu-kartunya sendiri terbuat dari bahan silikon yang tahan lama.

Indi menjanjikan sesi bermain secara fisik yang sangat interaktif, bahkan sejak awal anak-anak mempelajari bagaimana Indi bereaksi terhadap masing-masing warna. Meski begitu, Indi juga tetap bisa mengakomodasi anak-anak berusia lebih tua yang mungkin memerlukan tantangan ekstra, asalkan orang tuanya tidak keberatan dengan sedikit porsi screen time.

Menggunakan aplikasi pendamping bernama Sphero Edu Jr, mereka dapat memprogram Indi lebih jauh lagi, mulai dari mengirimkan instruksi secara langsung, atau dengan cara memprogram ulang reaksi Indi terhadap masing-masing kartu berwarna tadi. Andai semuanya sudah terasa membosankan, Indi pun dapat diperlakukan layaknya mobil R/C dengan kontrol yang intuitif menggunakan aplikasi yang sama.

Indi menggunakan baterai rechargeable, dan ia dapat diisi ulang menggunakan kabel USB. Sayang sekali Sphero tidak merincikan seberapa lama baterainya bisa bertahan dalam sekali pengisian.

Rencananya, Sphero Indi akan dijual dengan harga $125. Pemasarannya dijadwalkan berlangsung di bulan September, akan tetapi Sphero sudah menerima pre-order mulai sekarang.

Sumber: Gizmodo dan Sphero.

Lewat Koov Trial Kit, Sony Ingin Lebih Banyak Anak Bisa Bermain Sekaligus Belajar Coding

Dua tahun lalu, Sony merilis Koov, permainan mirip Lego yang bisa diprogram sehingga dapat dijadikan sebagai medium untuk belajar coding. Koov bukanlah permainan yang murah; bundel standarnya dihargai $520. Ini cukup wajar mengingat Koov diciptakan sebagai solusi komprehensif untuk memupuk keahlian anak-anak di bidang STEAM (science, technology, engineering, art, math).

Kabar baiknya, Sony baru saja meluncurkan bundel Koov yang lebih terjangkau. Dinamai Koov Trial Kit, bundel ini dihargai $250 saja, jauh lebih murah selagi masih cukup untuk mengajarkan konsep-konsep dasar pemrograman maupun desain kalau menurut Sony, sehingga cocok untuk sesi belajar di sekolah maupun di rumah.

Sony Koov Trial Kit

Isinya tentu lebih sedikit daripada bundel standarnya. Selain mengemas komponen elektronik yang lebih sedikit, Koov Trial Kit juga cuma memiliki 86 blok saja yang bisa dirakit (standarnya 322 blok). Kendati demikian, Sony yakin bundel ini sudah cukup untuk dipakai bermain dan belajar oleh dua anak sekaligus.

Seperti bundel standarnya, Koov Trial Kit juga datang bersama sejumlah ‘resep’ robot dan modul pembelajaran. Namun tentu saja lagi-lagi jumlahnya lebih sedikit, cuma 12 resep dan 6 modul saja, bandingkan dengan bundel standarnya yang dilengkapi 35 resep dan 23 modul.

Selebihnya, Koov Trial Kit identik dengan bundel standarnya. Aplikasi pendamping untuk menginput kode-kode pemrogramannya tetap bisa diakses lewat perangkat Windows, Chrome OS, Mac ataupun iOS (iPad). Khusus untuk perangkat Windows, robot Koov yang sudah dirakit dapat disambungkan via USB, sedangkan platform lainnya bisa dengan mengandalkan koneksi Bluetooth.

Sumber: PR Newswire.

Ubisoft Luncurkan Rabbids Coding, Game Gratis untuk Belajar Dasar-Dasar Pemrograman

Dewasa ini, ada banyak sekali cara untuk belajar ilmu pemrograman alias coding. Salah satunya adalah melalui video game, seperti yang ditawarkan oleh game terbaru bikinan Ubisoft yang berjudul Rabbids Coding.

Rabbids, bagi yang tidak tahu, merupakan karakter kelinci berwajah konyol yang pertama kali diperkenalkan sebagai antagonis lewat salah satu seri Rayman 12 tahun silam. Di game ini, koloni mamalia menyebalkan itu kembali berulah, kali ini menyerbu International Space Station dan mengacak-acak isinya.

Tugas para pemain adalah mengusir koloni Rabbids tersebut, entah dengan cara mengirimkan instruksi melalui perangkat pengendali pikiran, atau dengan memancing mereka menggunakan sosis. Kurang lebih demikian narasi yang dihadirkan oleh game ini.

Total ada 32 level yang harus diselesaikan, masing-masing dengan menyusun modul coding yang tepat dan sesimpel mungkin. Game ini mengandalkan interface building block yang mudah sekali dipahami. Selesai menyusun instruksi-instruksinya, anak-anak bisa mengujinya selagi mengamati apakah ada langkah yang salah.

Rabbids Coding

Ubisoft bilang bahwa Rabbids Coding dirancang untuk mengajarkan konsep-konsep dasar coding tanpa memerlukan instruksi maupun supervisi dari guru secara konstan. Anak-anak dibebaskan belajar sesuai kapabilitasnya masing-masing. Selama mereka sudah bisa membaca, mereka sudah cukup umur untuk memainkan game ini.

Ubisoft berharap game ini bisa dipakai sebagai salah satu bahan belajar di lingkungan sekolah. Sebagai perusahaan besar yang mempekerjakan kaum developer, Ubisoft punya komitmen untuk membantu menyiapkan generasi mendatang dari game developer, dan itulah yang akhirnya mendorong mereka untuk menciptakan game semacam Rabbids Coding ini.

Kabar terbaiknya, Rabbids Coding saat ini sudah bisa diunduh di PC secara cuma-cuma melalui Uplay. Anda akan diminta masuk menggunakan akun Uplay, jadi bagi yang belum punya, Anda bisa mendaftar terlebih dulu.

Sumber: Ubisoft.

Kano Computer Kit Touch Ajak Anak-Anak Belajar Merakit Komputer Sekaligus Coding

Maraknya tren STEM toy (Science, Technology, Engineering, Math) memicu kemunculan berbagai jenis permainan edukatif dari sejumlah startup. Jenis permainan seperti ini umumnya dirancang untuk merangsang ketertarikan anak-anak, membuka pintu gerbang pembelajaran yang berkaitan dengan ilmu komputer bagi mereka.

Salah satu permainan STEM baru yang cukup menarik datang dari Kano, startup yang sudah cukup lama menggeluti bidang ini, dan yang sempat memperoleh pendanaan dari pemodal ventura (VC) grup Sesame Street. Produk terbaru mereka adalah Computer Kit Touch, set komputer DIY (do-it-yourself) yang ditujukan untuk anak-anak berusia 6 tahun ke atas.

Kano Computer Kit Touch

Computer Kit Touch sejatinya merupakan penyempurnaan dari Computer Kit Complete yang dirilis tahun lalu. Embel-embel “Touch” menandakan bahwa ia datang bersama sebuah layar sentuh, dan karena konsepnya DIY, komputernya harus dirakit terlebih dulu sebelum bisa digunakan.

Dipandu oleh buku manual yang penuh gambar, anak-anak bisa mulai merakit komponen-komponennya, yang mencakup sebuah komputer papan tunggal Raspberry Pi. Kabel warna-warni diperlukan untuk menghubungkan satu komponen dengan yang lain, dan warnanya sengaja disamakan dengan tiap-tiap komponen; contohnya, kabel biru adalah untuk menyambungkan modul speaker yang juga berwarna sama.

Kano Computer Kit Touch

Yang tidak perlu dirakit hanyalah layar sentuh dan keyboard beserta touchpad-nya. Begitu jeroannya selesai dirakit, anak-anak tinggal menambatkan layar beserta rangka plastik transparannya ke atasnya, dan komputer pun siap digunakan. Layarnya sendiri memiliki bentang diagonal 10,1 inci dengan resolusi HD.

Usai komputer dinyalakan, anak-anak akan langsung disambut oleh sistem operasi Kano OS. Sejumlah aplikasi seperti YouTube, Google Maps atau Wikipedia bisa mereka akses, tapi bukan itu yang dicari dari permainan ini. Yang dicari adalah sederet tantangan coding yang memadukan bahasa pemrograman berbasis teks sekaligus blok.

Kano Computer Kit Touch

Anak-anak akan diajari cara membuat game sederhana macam Pong atau Snake – game jadul yang kita kenal lewat ponsel-ponsel Nokia lawas – serta cara menciptakan mod untuk Minecraft. Eksperimen dengan seni juga dapat mereka lakukan lewat program seperti Chrome Music Lab, dan masih banyak lagi tantangan interaktif lainnya.

Singkat cerita, Kano Computer Kit Touch menawarkan pengalaman bermain dan belajar dasar-dasar ilmu komputer yang cukup menyeluruh, mulai dari proses perakitan hardware sampai ke proses pembuatan software-nya (coding). Di Amerika Serikat, perangkat ini sudah dipasarkan seharga $280.

Sumber: VentureBeat dan Kano.

Robot Sphero Bolt Dirancang untuk Memberikan Pengalaman Belajar dan Bermain yang Amat Bervariasi

Produsen robot mainan Sphero kembali membuktikan bahwa fokus utama mereka adalah menciptakan produk yang mendidik, bukan sebatas untuk keren-kerenan saja seperti miniatur BB–8 maupun Spider-Man. Usai meluncurkan Sphero Mini tahun lalu, tahun ini mereka memperkenalkan Sphero Bolt yang bahkan mengemas filosofi STEM (science, technology, engineering, math) yang lebih mendalam lagi.

Bolt masih berwujud bola, sama seperti Sphero orisinil. Perbedaan yang langsung kelihatan adalah sebuah LED matrix dengan layout 8 x 8 yang dapat diprogram untuk beragam kebutuhan, mulai dari sesederhana menampilkan emoticon senyum, sampai menampilkan data secara real-time.

Sphero Bolt

Komponen baru lain yang diusung Bolt adalah empat buah sensor infra-merah, yang memungkinkannya untuk berinteraksi dengan unit Bolt lain. Sphero bilang bahwa hingga lima unit Bolt sekaligus dapat berbicara satu sama lain dalam radius lima meter, dan ini merupakan pertama kalinya ada robot Sphero yang dapat saling berkomunikasi.

Sensor ambient light turut disematkan agar Bolt bisa diprogram berdasarkan kondisi pencahayaan di sekitarnya. Semua tahap coding ini berlangsung melalui aplikasi Sphero Edu yang memadukan bahasa pemrograman JavaScript dengan Scratch Blocks yang lebih visual.

Sphero Bolt

Ekosistem Apple turut didukung melalui kompatibilitas dengan Swift Playgrounds, dan kalau memang sudah bosan coding, Bolt tetap bisa dipakai untuk sekadar bersenang-senang dengan bantuan aplikasi Sphero Play. Juga telah disempurnakan adalah baterainya, yang kini bisa tahan sampai sekitar dua jam pemakaian.

Saat ini Sphero Bolt sudah dipasarkan dengan harga $150. Ia memang tidak seekonomis Sphero Mini (yang memang dirancang untuk menjangkau lebih banyak kalangan konsumen), akan tetapi kapabilitasnya memang jauh lebih banyak berkat kehadiran sederet sensor barunya.

Sumber: TechCrunch dan The Verge.

Lewat Coding Express, Lego Ingin Ajarkan Konsep Dasar Coding ke Anak-Anak Sedini Mungkin

Sedini apa anak-anak bisa diajari coding? Untuk anak yang masih duduk di bangku preschool misalnya, rasanya terlalu berat kalau mereka dituntut untuk memahami barisan kode. Yang lebih masuk akal adalah mengajari mereka konsepnya terlebih dulu, mulai dari konsep urutan, pengulangan sampai sebab-akibat.

Anggapan ini diamini oleh Lego. Melalui divisi pendidikannya, mereka memperkenalkan Lego Coding Express, set permainan STEM (Science, Technology, Engineering, Math) yang dirancang untuk mengajarkan dasar-dasar pemrograman kepada anak-anak sedini mungkin. Biji Lego yang digunakan pun berasal dari seri Duplo yang lebih besar ukurannya dari Lego standar.

Coding Express dapat dimainkan tanpa bantuan komputer ataupun tablet, melainkan lewat sesi hands-on secara fisik. Usai dirakit, keretanya bisa berjalan di atas rel berkat sebuah motor kecilnya, dan dari situ anak-anak diminta untuk menentukan gerak-gerik sang kereta menggunakan biji oval warna-warni khusus yang dapat diselipkan ke tengah-tengah rel.

Lego Coding Express

Setiap warna mewakili aksi kereta yang berbeda: merah untuk berhenti, biru untuk membunyikan klakson, dan lain seterusnya. Total ada lima warna yang tersedia, dan sang kereta dapat mengenalinya menggunakan kamera yang tersemat pada bagian bawah motor kecilnya itu tadi. Anak-anak pun dituntut untuk memikirkan pergerakan kereta sebelum keretanya bergerak, dan ini kurang lebih sama saja seperti membuat program sederhana.

Satu hal yang disayangkan, Coding Express rupanya hanya akan ditawarkan ke sekolah-sekolah melalui portal Lego Education. Itulah mengapa paket penjualannya yang dihargai $200 turut mencakup sejumlah lesson plan yang bisa dimanfaatkan tenaga pengajar. Pemasarannya sendiri akan dimulai pada bulan Oktober untuk wilayah AS dan Tiongkok, lalu menyusul di musim semi untuk pasar global.

Sumber: Engadget dan Business Wire.

LittleBits Avengers Hero Inventor Kit Ajak Anak-Anak Belajar Sekaligus Bermain Menjadi Superhero

LittleBits, produsen permainan STEM (Science, Technology, Engineering, Math) asal New York yang sempat mencuat namanya beberapa waktu lalu lewat produk bernama Droid Inventor Kit, kini kembali mencuri perhatian seiring peluncuran film Avengers: Infinity War versi digital dan Blu-ray. Mereka baru saja memperkenalkan STEM toy istimewa bernama Avengers Hero Inventor Kit.

Kalau di Droid Inventor Kit anak-anak diajak untuk merakit dan memprogram robot R2-D2, di sini mereka diajak untuk menjadi ‘superhero’ penuh trik canggih ala Iron Man maupun Shuri. Caranya adalah dengan merakit dan memprogram superhero gauntlet (sarung tangan) miliknya masing-masing.

LittleBits Avengers Hero Inventor Kit

Seperti yang bisa kita lihat, sarung tangannya banyak terinspirasi Iron Man saat selesai dirakit. Namun kalau Anda perhatikan di bagian lengannya yang transparan, Anda bisa melihat komponen-komponen kecil berwarna-warni. Itulah yang disebut Bits, semacam modul atau papan sirkuit yang masing-masing memiliki fungsi berbeda dan dapat menyambung secara magnetik.

Total ada sembilan Bits yang didapat dalam Avengers Hero Inventor Kit ini, dan tiga di antaranya baru kali ini dipakai oleh LittleBits: accelerometer, LED matrix, dan Bit untuk sound effect. Seperti yang saya bilang, masing-masing punya fungsi tersendiri, akan tetapi anak-anak tak perlu khawatir sebab mereka bisa mempelajari semuanya lewat aplikasi ponsel yang LittleBits sediakan.

LittleBits Avengers Hero Inventor Kit

Elemen belajar ini dibuat semenarik mungkin oleh LittleBits, dan mereka telah membagi kontennya secara tematik berdasarkan tiap-tiap superhero dari film Avengers. Di segmen pembuka misalnya, ada Iron Man yang menjelaskan konsep dasar Bits, serta membantu anak-anak memahami tentang koneksi Bluetooth Low Energy (BLE).

Selanjutnya, giliran Ant Man & The Wasp yang menjelaskan soal accelerometer dan LED matrix, serta mengajari anak-anak cara menggunakan gesture untuk mengontrolnya. Untuk Bit sound effect, giliran Hulk yang ditugaskan menjadi mentor, sebab mungkin ia memang anggota Avengers yang paling berisik. Secara total ada 18 aktivitas yang bisa diselesaikan pada aplikasinya.

Sesi coding-nya sendiri juga dilakukan di aplikasi lewat block interface yang mudah sekali dioperasikan dengan fungsi drag-and-drop. Di sini anak-anak juga akan belajar mengeksekusi fungsi-fungsi programming yang lebih kompleks.

LittleBits Avengers Hero Inventor Kit

Semua Bits-nya menerima suplai daya dari baterai 9 volt, yang diestimasikan bisa bertahan sampai sekitar 16 jam. Komponen non-elektroniknya terbagi menjadi 7 bagian, dan bebas dihias usai dirakit guna menciptakan kesan yang lebih unik, atau dengan kata lain, mewakili identitas superhero masing-masing anak yang bermain.

LittleBits Avengers Hero Inventor Kit ditujukan untuk anak-anak berusia 8 tahun ke atas, namun saya kira konsumen dewasa pun pasti juga banyak yang tertarik. Harganya memang cukup mahal, $150, tapi toh masih banyak action figure yang dihargai jauh lebih mahal, padahal elemen belajar yang disajikan termasuk minim atau nyaris tidak ada.

Sumber: VentureBeat dan LittleBits.

Pengalaman Belajar Dasar-Dasar Coding dengan Aplikasi Grasshopper Selama Seminggu Penuh

Bulan April lalu, divisi inkubator Google meluncurkan aplikasi Android dan iOS yang cukup menarik. Namanya Grasshopper, dan fungsinya untuk belajar dasar-dasar coding, dengan pendekatan kurang lebih seperti yang Duolingo terapkan dalam mengajarkan bahasa asing.

Sebagai seseorang yang sama sekali belum pernah mengenyam pendidikan seputar pemrograman, saya merupakan kandidat pengguna yang sangat cocok untuk aplikasi ini. Jangankan JavaScript (bahasa pemrograman yang dipakai Grasshopper), HTML saja saya cuma hafal segelintir command-nya, dan itu saya pelajari dengan terpaksa karena tuntutan pekerjaan sebagai salah satu penulis media online.

Berkaca pada fakta-fakta ini, saya memutuskan untuk menghabiskan satu minggu penuh bersama Grasshopper. Selama tujuh hari terakhir, saya meluangkan waktu sekitar 30 – 60 menit setiap harinya untuk belajar coding menggunakan Grasshopper, dan saya bakal menceritakan pengalamannya lewat artikel ini.

Hari pertama

Grasshopper

Pada awalnya, aplikasi terlebih dulu menanyakan apakah saya pernah punya pengalaman belajar coding atau tidak. Jelas saya pilih tidak, dan aplikasi pun langsung menyuguhkan ‘mata pelajaran’ pertama yang bertajuk “What Is Code?”

Di sini saya harus menjawab sejumlah kuis dengan pertanyaan-pertanyaan yang amat sederhana seperti “apa yang dimaksud dengan coding” dan “apa yang bisa dilakukan dengan JavaScript”. Setiap kali saya selesai menjawab, aplikasi akan memberikan penjelasan singkatnya, tergantung jawabannya benar atau salah.

Grasshopper

Karena sangat mendasar, bagian pertama ini bisa saya lalui dengan cepat, dan kemudian lanjutlah saya memulai mata pelajaran yang kedua, yakni “Fundamentals”. Di sini aplikasi langsung menyambut dengan tantangan yang pertama, yakni membuat bendera negara Perancis menggunakan code.

Instruksi-instruksi yang diberikan cukup jelas. Sekadar catatan, semuanya dalam bahasa Inggris. Di bawah instruksi juga ada contoh hasil penyelesaian dari tantangan tersebut, lalu di bawahnya lagi ada hasil dari code yang kita buat beserta ‘kanvas’ putih untuk mengetikkan deretan code-nya.

Di Grasshopper kita tidak diminta untuk mengetik satu demi satu huruf hingga membentuk code yang fungsional. Tampilan keyboard-nya mengemas sejumlah tombol function macam “drawBox()” dan “newLine()” yang hanya perlu disentuh untuk dicantumkan. drawBox() ini adalah function JavaScript pertama yang saya pelajari di Grasshopper. Masih basic dan tidak membingungkan sama sekali buat saya.

Grasshopper

Setiap tantangan biasanya diikuti oleh kuis mengenai yang baru saja kita pelajari. Pertanyaan-pertanyaannya simpel, tapi cukup banyak yang menjebak, dan saya pun beberapa kali menjadi korban, terutama saat mulai masuk topik yang lebih kompleks seperti “Array”.

Jujur saya mulai pusing ketika berhadapan dengan array. Instruksi yang diberikan memang masih jelas, tapi berhubung saya tidak punya dasar sama sekali, saya pun harus membacanya berulang-ulang agar bisa paham. Andai kata benar-benar stuck, ada tombol untuk membuka tautan solusinya di browser.

Di browser ini kita bisa membaca penjelasan yang lebih lengkap seputar tantangannya. Bahkan kalau sudah benar-benar mentok dan harus mencontek demi lanjut ke bagian berikutnya, kita bisa melihat sample code-nya. Namun sepanjang hari pertama, rupanya teknik mencontek masih belum saya perlukan.

Hari kedua

 

Grasshopper

Hari pertama saya akhiri di topik “If Statements”, dan di hari kedua saya langsung melanjutkan ke topik “Operators” yang membahas mengenai function seputar matematika. Bukannya sombong, tapi ini masih mudah buat saya, hingga akhirnya saya tiba di topik “For Loop”.

For Loop ini sangat memusingkan bagi saya, sebab ia berfungsi untuk mengulang beberapa string atau array, dan array sendiri sempat membuat saya kelimpungan sehari sebelumnya. Namun untungnya, sakit kepala sedikit terobati berkat kuis-kuis yang menarik.

Ada pula tantangan yang cukup menarik, yakni “Band Names Generator”, yang memadukan for loop dan array untuk menciptakan deretan nama band. Code yang perlu ditulis cukup panjang, dan instruksinya pun juga tidak kalah panjang, sehingga agak mengesalkan harus beberapa kali scroll layar ke atas untuk membaca instruksinya selama mengerjakan.

Grasshopper

Namun yang paling seru adalah bagian terakhir yang disampaikan dalam bentuk cerita. Ceritanya kita bakal mendaki gunung dan harus melakukan sejumlah persiapan. Persiapan-persiapan inilah yang dijadikan tantangan coding. Total ada enam tantangan yang harus diselesaikan, dan mayoritas harus ditulis code-nya dari nol.

Tantangan yang kedua misalnya, meminta kita untuk mempersiapkan barang bawaan lewat code. Jadi saya harus membuat variable bernama “myBackpack”, dan di dalamnya ada benda-benda yang masih disortir lagi berdasarkan kategori seperti makanan, peralatan dan pakaian.

Grasshopper

Sudah susah-susah menyiapkan barang bawaan menggunakan code, ternyata di tantangan berikutnya kita membawa tas yang salah, dan di sini kita diminta untuk mengecek isi tas milik orang lain itu, lagi-lagi via coding.

Pada tantangan yang terakhir, ceritanya kita sudah hampir mencapai puncak gunung, dan untuk melanjutkan kita harus memanjat dengan bantuan tali. Berhubung tas yang kita bawa tadi salah, kita belum tahu apakah ada tali di dalamnya. Lagi-lagi coding yang menjadi penyelamat demi memastikan keberadaan tali tersebut, dengan memadukan function yang cukup kompleks seperti for loop dan if-else.

Hari ketiga

 

Grasshopper

Mata pelajaran Fundamentals tamat di hari kedua. Selanjutnya, mulailah saya dengan mata pelajaran ketiga, yakni “Animations I”. Sepintas kedengarannya sulit untuk membuat animasi lewat deretan code, tapi saya ternyata lebih mudah mengikutinya ketimbang topik for loop sebelumnya.

Awal-awal tantangannya sedikit membosankan karena mayoritas hanya mengubah bentuk gambar vektor, tapi kemudian kuis-kuis menjebak muncul lagi. Lalu seperti di hari kedua, saya mulai merasa tertantang karena puzzlepuzzle yang harus diselesaikan selanjutnya masing-masing memiliki ceritanya tersendiri.

Grasshopper

Mulai dari mereparasi pesawat luar angkasa, mereparasi robot, memperbaiki saklar lampu, sampai membasmi bakteri penyebab infeksi. Semuanya tentu harus diselesaikan dengan code, dan di sini saya juga belajar function baru yaitu “on click”.

Berkat on click, gambar vektor yang tadinya statis bisa dijadikan interaktif. Tanpa harus terkejut, code yang harus ditulis memang cukup panjang, tapi ternyata fungsinya bisa dipahami secara jelas hanya dengan membaca code-nya, hanya saja membacanya harus dibalik dari belakang ke depan.

Hari keempat

Grasshopper

Masih di Animations I, saya mendapati ada tantangan cukup lucu yang terinspirasi game Crossy Road, di mana saya harus menyeberangkan seekor ayam tanpa menabrak objek yang melintas. Solusinya sendiri cukup mudah, yakni dengan menyesuaikan kecepatan pergerakan sang ayam.

Selain belajar dasar-dasar coding, saya sebenarnya juga belajar banyak pengetahuan umum lewat Grasshopper. Salah satu contohnya adalah ketika menghadapi puzzle berjudul “Makahiya”, di mana tujuannya adalah membuat animasi interaktif untuk menghilangkan objek.

Dijelaskan pada instruksinya, Makahiya merupakan nama lain dari tanaman yang umum kita kenal sebagai putri malu. Jujur saya baru tahu soal ini, dan insting pun langsung menginstruksikan saya untuk membuka Wikipedia guna mempelajarinya lebih lanjut.

Grasshopper

Pada hari keempat ini saya juga sempat menemukan adanya typo pada salah satu clue yang diberikan, yang semestinya “quad” tapi malah tertulis “cubic”. Sebenarnya ada tombol “Send Feedback” di aplikasi, tapi saya terlalu malas dikarenakan dampak typo-nya tidak terlalu besar.

Dan lagi saya benar-benar kesulitan menghadapi tiga tantangan terakhir di Animations I. Tantangan yang berjudul Rainbow Hopper misalnya, mengharuskan saya untuk mencontek sample code pada panduan lengkapnya.

Begitu pusingnya saya pun merasa tidak sanggup untuk lanjut ke Animations II dan memutuskan untuk menyimpannya buat hari kelima. Kendati demikian, setidaknya saya masih bisa berbangga karena berhasil menyelesaikan tantangan final di Animations I tanpa harus mencontek sample code-nya (Rainbow Hopper tadi malah bukan yang terakhir).

Hari kelima

Grasshopper

Tidak lama setelah memulai mata pelajaran terakhir, yakni Animations II, saya langsung jadi korban kuis yang menjebak, di mana saya lupa kalau dalam konsep array, angka 0 itu merujuk pada objek yang pertama, sedangkan angka 1 malah objek yang kedua. Lesson learned.

Konten pada Animations II ternyata sangat pendek jika dibandingkan dengan Animations I, dan saya juga tidak sampai sakit kepala akibat satu tantangan yang benar-benar menyulitkan. Tantangan yang terakhir cukup keren, di mana kita diminta untuk membuat mini game yang terinspirasi Flappy Bird.

Grasshopper

Instruksinya cukup panjang dan rumit, dan code yang harus dituliskan pun tak kalah rumit. Saya sempat stuck beberapa kali, tapi hanya karena salah urutan function-nya, yang menandakan saya lumayan paham dengan konsepnya, cuma salah perhitungan saja.

Namun ternyata saya baru bisa berhasil menyelesaikan tantangan finalnya setelah membaca penjelasan lengkap di support page. Menariknya, karena ini finale, tidak ada sample code yang tersedia, sehingga kita sama sekali tidak bisa mencontek.

Hari keenam & ketujuh

Grasshopper

Berhubung saya sudah menyelesaikan semua topik pembelajaran yang disajikan Grasshopper, dua hari terakhir saya pakai untuk mengulang beberapa puzzle yang sebelumnya membuat saya kesulitan.

Saat membuka topik Array kembali, ternyata yang kesulitan adalah saya versi sebelum kenal dasar-dasar JavaScript. Pasalnya, konsepnya ternyata mudah dimengerti, dan kuncinya ada pada simbol “[ ]” yang selalu menjadi awal dan akhir suatu array.

Rupanya di awal saya belum bisa menyadari akan hal ini, dan itulah yang membuat saya kesulitan sebelumnya. Juga penting untuk dicatat adalah perihal array indexing, yang dimulai dari angka 0, bukan angka 1, dan ini yang sempat menjebak saya di salah satu kuis Animations II pada hari sebelumnya.

For Loop masih terasa menyulitkan bagi saya, bahkan setelah mengulangi topiknya secara menyeluruh. Lanjut ke tantangan maksiat “Rainbow Hopper”, lagi-lagi saya dibuat menyerah. Entah kenapa saya sulit sekali menyelesaikan yang satu ini, padahal bukan tantangan final.

Kesimpulan

Salah satu topik pembelajaran di Coursera yang direkomendasikan oleh Grasshopper bagi para 'alumnus' / Screenshot
Salah satu topik pembelajaran di Coursera yang direkomendasikan oleh Grasshopper bagi para ‘alumnus’ / Screenshot

Google sendiri mengakui bahwa Grasshopper bukan bermaksud untuk menggantikan kursus coding. Setelah menyelesaikan semuanya, saya sendiri sama sekali belum bisa disebut sebagai coder, tapi setidaknya saya sudah punya pengetahuan dasarnya, yang akan mempermudah seandainya saya memutuskan untuk mengikuti kursus coding JavaScript yang sebenarnya.

Pada kenyataannya, Grasshopper juga menyarankan kita untuk mengikuti sejumlah kursus online dari Coursera setiap kali kita menyelesaikan mata pelajaran di dalamnya. Sekali lagi, ‘lulus’ dari Grasshopper bukan berarti kita jadi langsung jago coding, melainkan jadi termotivasi untuk lanjut mendalami ilmu ini.

Lalu apakah saya sendiri tertarik lanjut belajar coding di kursus-kursus online yang ada? Sepertinya tidak untuk saat ini. Alasannya klise: saya harus bekerja sambil mengurus anak, dan tidak lama lagi hadir anak kedua, jadi membagi waktu akan terasa sulit. Namun alasan yang lain adalah trauma dengan tantangan seperti Rainbow Hopper, yang sebenarnya simpel tapi saya tetap kesulitan dalam mengulanginya.

Kendati demikian, saya sepenuhnya merekomendasikan aplikasi ini untuk dicoba bagi Anda yang punya rasa penasaran seputar coding. Meski tidak lanjut mendalami, setidaknya saya sekarang punya gambaran lebih jelas mengenai konsep coding, dan pada akhirnya bisa lebih menghargai karya-karya para developer.

Lego Powered Up Adalah Lini Connected Toy Baru untuk Belajar Ilmu Dasar Coding

Tren connected toy memicu kemudahan belajar coding bagi anak-anak. Dibanding sepuluh tahun lalu misalnya, mempelajari ilmu dasar programming jauh lebih mudah diakses oleh banyak kalangan saat ini. Lego sebagai salah satu pemain besar di bidang ini pun terus menyempurnakan penawaran-penawarannya.

Pabrikan asal Denmark itu belum lama ini memperkenalkan lini connected toy baru bertajuk Lego Powered Up. Sebelum ini, mereka sebenarnya sudah punya lini Lego Boost, dan Powered Up sejatinya dimaksudkan untuk menjadi alternatif yang lebih sederhana selagi masih dibubuhi elemen edukasi.

Lego Powered Up Batmobile

Sederhananya, Lego Boost jauh lebih fleksibel, sedangkan Powered Up lebih terbatas. Salah satu produk pertama di lini Powered Up adalah sebuah Batmobile yang bisa dirakit lalu dikendalikan menggunakan aplikasi smartphone. Mainan ini rencananya akan dirilis pada bulan Agustus mendatang seharga $160.

Setelahnya, Lego berencana merilis update pada aplikasi pendampingnya yang memungkinkan anak-anak untuk melakukan coding sederhana, semisal mengubah kecepatan pergerakan maupun suaranya guna menciptakan manuver yang lebih bervariasi. Agar semua kalangan bisa dijangkau, termasuk anak-anak yang benar-benar antusias soal coding dan butuh tantangan lebih, Lego juga bakal merilis Batmobile yang sama, namun dalam versi Lego Boost yang lebih fleksibel.

Lego Powered Up

Menyusul Batmobile di masa yang akan datang adalah Lego City Passenger dan Lego City Cargo Train, yang pada dasarnya menyisipkan elemen pengendalian berbasis remote control pada versi klasiknya. Seri Lego Duplo untuk batita pun juga akan tersedia versi Powered Up-nya, yakni Lego Duplo Steam Train dan Lego Duplo Cargo Train, yang dilengkapi sejumlah sensor untuk mendeteksi rel kereta yang warna-warni.

Sumber: The Verge dan Engadget.

LittleBits Droid Inventor Kit Tawarkan Keseruan Merakit dan Memprogram Robot R2-D2 Milik Sendiri

Pertama kali menonton Star Wars: Episode IV – A New Hope, saya ingat pada saat itu langsung muncul keinginan untuk memiliki robot R2-D2 sendiri. Setahun yang lalu, sebuah perusahaan inovatif bernama LittleBits mencoba mewujudkan fantasi banyak penggemar Star Wars itu melalui Droid Inventor Kit, yang mempersilakan kita untuk merakit robot kesayangannya sendiri-sendiri.

Produk tersebut terbukti sukses dan menerima banyak penghargaan. Namun yang lebih penting, ada banyak elemen edukatif yang tersemat di dalamnya. Sekarang, LittleBits malah ingin memperdalam aspek tersebut dengan mengintegrasikan fungsi coding.

LittleBits Droid Inventor Kit

Jadi usai merakit robotnya, anak-anak (orang dewasa juga boleh sebenarnya) dapat lanjut melakukan kustomisasi melalui software. Jangan bayangkan tahap coding-nya rumit, sebab yang dipakai adalah proyek Scratch Blocks hasil kolaborasi MIT dan Google, di mana coding bisa dilakukan melalui interface drag-and-drop di smartphone.

Aspek coding ini pada dasarnya bakal mengajarkan kepada anak-anak cara kerja komponen-komponen elektronik di dalam robotnya masing-masing. Mereka pun bebas membubuhkan ‘kepribadian’ ekstra dengan menambahkan motif pencahayaan atau efek suara baru.

Menyisipkan aspek coding ke dalam sebuah permainan belakangan memang sudah menjadi tren yang cukup populer. Akan tetapi bagian terbaiknya, fungsi coding ini tetap bisa dinikmati oleh mereka yang sudah terlanjur membeli Droid Inventor Kit sebelum ini. Bagi yang belum, silakan siapkan dana $100.

Sumber: Engadget.