[Tekno] Ramaikan CES 2022, Samsung Luncurkan Metaverse di Platform Decentraland

Sebagai salah satu brand teknologi terbesar, Samsung tentu tidak mau melewatkan kesempatan untuk mendemonstrasikan inovasi-inovasi terbarunya di event tahunan CES. Namun di samping mengumumkan sejumlah produk baru, Samsung rupanya juga mencoba bereksperimen dengan salah satu tren terkini, yaitu metaverse.

Di CES 2022, Samsung secara resmi membuka Samsung 837X, sebuah metaverse yang berjalan di platform Decentraland. Lokasi virtual ini diadaptasikan dari Samsung 837, gerai flagship Samsung yang berlokasi di kota New York. Di 837X, pengunjung bisa menjelajahi tiga area virtual dengan tema yang berbeda-beda.

Area utamanya dinamai Connectivity Theater, dan di sini Samsung bakal menampilkan pengumuman-pengumuman terbaru yang dibuatnya selama gelaran CES 2022 berlangsung. Selanjutnya, ada area bernama Sustainability Forest yang dibuat untuk mengilustrasikan program penanaman dua juta pohon yang Samsung gagaskan bersama Veritree belum lama ini. Ketiga, Samsung juga menyiapkan area bernama Customization Stage yang akan dipakai untuk sesi after-party bersama seorang DJ tamu.

Untuk menjelajahi metaverse Samsung 837X, kita perlu membuka tautan berikut menggunakan perangkat desktop. Dari situ, kita bisa memilih untuk masuk sebagai tamu (guest) atau dengan menghubungkan akun MetaMask masing-masing. Tamu atau bukan, sesi Anda bakal diwakili oleh sebuah avatar yang dapat dikustomisasi. Namun kalau memilih opsi yang kedua (login), pengunjung juga punya kesempatan untuk mendapatkan badge NFT.

Total ada empat badge NFT yang akan diterima setelah pengunjung menyelesaikan tiga quest interaktif di ketiga area tadi (Connectivity, Sustainability, dan Customization). Anda juga perlu bergerak cepat karena quest-nya akan segera berakhir pada 8 Januari pukul 07.00 WIB.

Setelahnya, pada pukul 08.37 WIB, akan diadakan sesi undian berhadiah NFT eksklusif, yakni koleksi item yang bisa dipakaikan ke avatar di platform Decentraland, dengan tiga tingkat rarity yang berbeda. Di tingkat terbawah, ada koleksi Epic untuk 727 pengunjung beruntung yang mengumpulkan setidaknya satu badge NFT tadi.

Berikutnya, koleksi Legendary dihadirkan untuk 100 pengunjung beruntung yang mengumpulkan dua badge. Terakhir, koleksi Mythic bisa didapatkan oleh mereka yang cukup beruntung dan sempat menggaet keempat badge NFT secara lengkap.

Sepintas, inisiatif ini mungkin hanya terkesan sebagai program asyik-asyikan belaka. Namun Samsung bilang bahwa di sepanjang 2022, mereka sudah berencana untuk menghadirkan Samsung 837X di lebih banyak platform selain Decentraland. Multiverse kalau kata Samsung, tapi tentu saja tanpa melibatkan Dr. Strange di dalamnya.

Sumber: Samsung.

Kolektibel Gaet Musikus Lokal Masuk ke NFT, Segera Rilis Maret 2022

Platform marketplace NFT Kolektibel mengumumkan kreator berikutnya, kali ini datang dari industri musik, yang digandeng untuk terjun ke NFT, bernama Laleilmanino. Saat ini waitlist sudah dibuka dan rencananya akan meluncur pada Maret 2022 mendatang.

Laleilmanino merupakan trio produser rekaman yang beranggotakan Nino RAN, serta gitaris dan kibordis Maliq & D’Essentials, Lale dan Ilman. Pada awal kemunculan Kolektibel bersama mitra pertamanya, berhasil menjual lebih dari 525 NFT yang dibuat bersama Liga Basket Indonesia (IBL).

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, CEO Kolektibel Pungkas Riandika menceritakan anggota Laleilmanino memiliki passion sebagai pencipta lagu (composer) yang ingin aktif berkarya menciptakan lagu. Sebelumnya, passion tersebut belum bisa terakomodasi dengan maksimal ketika mereka berkarir di grup musik masing-masing.

“Di Laleilmanino mereka enggak perform, tapi sebagai penulis lagu. Artinya, IP-nya mereka yang pegang. Semangat itu pas dengan Kolektibel dan akhirnya sepakat untuk kerja sama,” kata Pungkas.

Dalam keterangan resmi, Nino RAN menyampaikan antusiasmenya terhadap kerja sama ini. Ia percaya bahwa NFT adalah bentuk pengembangan paling mutakhir di industri hiburan saat ini. “Kami menyadari bahwa dunia musik terus berinovasi. Kami melihat NFT bukanlah sebuah tren sesaat, melainkan era baru bagi industri musik masa depan,” ujarnya.

Sebagai pemilik IP, Laleilamino akan mengutilisasi aset-asetnya, mulai dari dokumentasi penciptaan lagu, mulai dari penggalan lirik, voice note, foto, workshop, dan lain-lainnya untuk dijadikan sebagai NFT. Untuk menciptakan unsur rarity (kelangkaan), sebagai komponen penting di fundamental NFT, Laleilmanino akan memberikan penawaran eksklusif kepada para kolektornya dengan berbagai macam bentuk engagement, hingga berkesempatan mendapat royalti.

“Laleilmanino ini ingin bentuk komunitas karena mereka tahu pendengarnya itu cukup die hard [terhadap karya-karyanya]. Untuk itu, mereka mau lebih dekat dengan komunitasnya dengan memberikan penawaran eksklusif,” tambah Pungkas.

Saat ini, Laleilmanino telah membuka daftar tunggu (waitlist) untuk para penggemarnya melalui laman ini. Rencananya akan dirilis dalam dua bulan mendatang, sekitar Maret 2022.

Sedikit berbeda dengan NFT marketplace lain di Indonesia, Kolektibel tidak menggunakan mata uang kripto sebagai metode pembayaran NFT. Untuk membeli, orang-orang bisa menggunakan fiat alias mata uang yang berlaku di Indonesia, yakni Rupiah di berbagai instrumen pembayaran digital yang populer, seperti GoPay, OVO, dan Virtual Account.

Model bisnis Kolektibel

Sebagai catatan, Kolektibel menerapkan dua skema model bisnis dalam menjalankan kemitraannya dengan brand pemilik IP, yakni B2B dan B2C. Untuk B2B, Kolektibel menyediakan domain khusus untuk brand dalam mengakomodasi transaksi jual-beli NFT dan domain utama Kolektibel di kolom kategori. Sementara B2C, disediakan domain (contoh: kolektibel.com/customername) untuk para kolektor dengan kategori top spender dan VIP.

Setiap NFT yang terjual, baik itu di primary market atau pun di secondary market, para pemilik IP akan tetap mendapat revenue sharing dengan persentase yang sudah disepakati bersama.

Model bisnis seperti ini, menurut Pungkas, merupakan rangkaian untuk menciptakan efek Trifecta Synergy, yang melibatkan IP, Kolektibel, dan kolektor. Tujuan dari Trifecta Synergy tersebut adalah mendapatkan perluasan pasar dan memperkuat loyalitas merek dengan membidik transformasi dari pelanggan menjadi kolektor, menciptakan sebuah bisnis yang digerakkan oleh komunitas (community driven business).

Setelah industri musik, salah satu IP berikutnya yang akan digandeng Kolektibel datang dari stasiun televisi lokal. Karya seni digital, yang menjadi salah satu karya yang paling banyak di NFT-kan di pasar global, justru belum menjadi incaran Kolektibel berikutnya.

“Kami enggak akan buru-buru masuk ke sana [karya seni]. Kami ini unik dari yang lain [marketplace NFT] karena bisa dibeli pakai Rupiah dan setiap NFT selalu punya utilitasnya,” tutup dia.

Bos Square Enix Beri Sinyal Perusahaannya Bakal Seriusi Tren NFT dan Blockchain Gaming

Desember kemarin, Ubisoft meluncurkan platform NFT bernama Quartz sekaligus koleksi aset NFT untuk game Ghost Recon Breakpoint. Langkah tersebut menuai cukup banyak kritik, akan tetapi itu rupanya tidak mencegah nama besar lain di industri video game untuk menunjukkan ketertarikannya terhadap tren NFT dan metaverse.

Adalah Square Enix yang baru-baru ini memberi sinyal bahwa mereka bakal mendalami tren blockchain gaming. Lewat sebuah surat terbuka untuk karyawan, Yosuke Matsuda selaku bos besar Square Enix mengatakan bahwa salah satu langkah strategis yang bakal mereka jalankan mulai tahun ini adalah “menambahkan decentralized game ke portofolionya.”

Menurutnya, fondasi teknologi yang memungkinkan game blockchain sudah eksis, dan aset crypto juga semakin dikenal dan semakin diterima dalam beberapa tahun terakhir. Tidak menutup kemungkinan ke depannya Square Enix bakal memiliki mata uang crypto-nya sendiri, sebab menurut Yosuke ini punya potensi untuk mewujudkan pertumbuhan game yang bisa berjalan dengan sendirinya (self-sustaining).

Square Enix sejauh ini memang belum punya rencana yang betul-betul spesifik, dan Yosuke pun sama sekali belum bicara soal bagaimana mereka bakal mengimplementasikan teknologi blockchain ke portofolionya. Mereka mungkin tidak akan merilis aset NFT buat Final Fantasy XIV dalam waktu dekat, tapi kita juga tidak bisa bilang itu mustahil bakal terjadi.

Yosuke pun menyadari bahwa tidak semua gamer setuju dengan pergeseran tren ini, khususnya mereka yang “bermain game untuk bersenang-senang”. Kendati demikian, ia percaya ke depannya bakal ada banyak orang yang motivasi bermainnya adalah untuk berkontribusi dan membuat game yang dimainkannya jadi lebih menyenangkan lagi, dengan NFT dan cryptocurrency sebagai insentifnya.

Pasar NFT dan game blockchain memang terlalu besar untuk diabaikan, terutama oleh perusahaan sebesar Square Enix. Namun seperti halnya banyak tren baru lain, NFT dan game blockchain juga punya tantangan-tantangannya sendiri, dan Square Enix pun akan terus memantau perkembangan di ranah ini sebelum mengambil langkah konkret.

Via: Video Games Chronicle.

Menyambut Metaverse: Peluang Inovasi dan Kekhawatiran yang Membuntuti

Secara sederhana, metaverse didefinisikan sebagai sebuah dunia baru yang sepenuhnya virtual. Berbagai hal yang ada dalam dunia nyata akan ada versi virtualnya, termasuk barang-barang fisik seperti bangunan, karya seni, televisi dll; maupun yang bersifat sistem, seperti pembayaran, telekomunikasi, asuransi, dan mungkin regulasi. Representasinya juga mungkin akan lebih bagus dibandingkan konten digital yang sudah kita nikmati sejauh ini, karena mengandalkan teknologi Virtual Reality (VR).

Realisasinya bisa saja lebih cepat dari yang kita bayangkan. Perusahaan teknologi seperti Facebook, Microsoft, dan yang lain telah berinvestasi besar-besaran dengan harapan bisa menjadi penyedia dari platform yang melandasi metaverse tersebut – untuk tidak menyebutnya sebagai penguasa dunia virtual tersebut nantinya. Banyak yang sudah bersiap-siap untuk turut andil dalam dunia baru tersebut, namun tidak sedikit yang belum paham, bahkan belum tahu sama sekali tentang metaverse ini.

Gambaran aktivitas di metaverse

Sama seperti di kehidupan yang kita jalani sekarang, di metaverse semua aset virtual di dalamnya dapat dimiliki seseorang. Jika di dunia nyata orang membeli tanah untuk ditempati sebagai rumah, di metaverse orang juga akan bisa membeli lahan virtual untuk dijadikan tempat singgahnya. Pun demikian lukisan yang dipajang di rumah kita, di metaverse kita bisa membeli lukisan virtual yang dapat kita pajang di aset yang kita miliki.

Infrastruktur proses ekonomi tersebut dilandasi teknologi blockchain, dengan salah satu sistem yang sudah mulai tenar akhir-akhir ini, yakni Non-Fungible Token (NFT). NFT memungkinkan sebuah aset virtual untuk diikat kepemilikannya oleh seseorang – yang sebenarnya konsepnya sama dengan sertifikat tanah. Tanah itu mungkin bisa ditempati siapa saja, tapi pemiliknya adalah orang yang ada di sertifikat tersebut. Pun gambar-gambar virtual yang mungkin bisa disimpan dan digunakan banyak orang. Pemiliknya adalah yang tercatat di sistem kontrak NFT.

Kegiatan lainnya pun bisa saja terjadi, seperti bisnis, hiburan, dan sebagainya. Digadang-gadang metaverse akan menawarkan berjuta kesempatan aktivitas baru [termasuk ekonomi] yang mungkin sebelumnya tidak pernah ada. Contoh sederhananya, ketika ada yang membangun rumah di metaverse, tentu ada yang butuh jasa orang lain untuk mempercantik rumah tersebut – mungkin nanti akan ada desainer interior khusus mendesain rumah virtual di metaverse.

Diyakini banyak orang akan bergabung di metaverse, layaknya orang yang kini berbondong-bondong memasuki “kehidupan di media sosial”. Populasi yang besar, akan menciptakan cara-cara baru dalam berkehidupan. Mirip dengan yang disajikan ekosistem digital sekarang ini, misalnya sistem pendidikan berubah menjadi e-learning, jual-beli menjadi e-commerce, kesehatan jadi e-health, dan sebagainya. Nantinya akan ada versi metaverse untuk kegiatan-kegiatan seperti itu.

Pada intinya, metaverse akan menawarkan cara-cara baru bagi seseorang untuk melakoni kehidupannya. Bukan tidak mungkin hal yang ada di film “Ready Player One” akan kita rasakan, saat orang-orang lebih banyak menghabiskan waktu di dunia virtualnya. Apa yang ada sekarang ini memang masih sebatas konsep belaka, karena memang metaverse tersebut belum benar-benar ada. Meskipun demikian, beberapa infrastruktur penyangganya mulai bisa diakses pengembang dan semua orang.

Siapa cepat, dia dapat

Yang diupayakan para inovator teknologi saat ini adalah berlomba-lomba untuk terlebih dulu menghadirkan “planet baru” tersebut. Dengan harapan tempat itu yang akan dihuni oleh orang-orang, bersama dengan ekosistem aset metaverse yang ada. Tentu, dengan menyediakan platform, perusahaan tersebut menjadi yang paling diuntungkan. Untuk itu tidak heran jika puluhan triliun Rupiah dana digelontorkan untuk melakukan R&D tentang metaverse.

Kita, sebagai konsumen, mungkin juga termotivasi untuk menjadi early adopter NFT. Mereka berinvestasi untuk menyiapkan kehidupan barunya di metaverse, yang diyakini aset-aset tersebut akan lebih bernilai di sana. Mereka belajar dari harga Bitcoin, yang sangat rendah di fase awal kemunculannya sampai bertahun-tahun, namun melambung sangat tinggi di beberapa tahun terakhir seiring dengan fungsinya sebagai alat transaksi yang mulai diakui. Namun apa daya, tidak semua orang telah memiliki pemahaman, akses, kemampuan untuk turut andil di fase awal metaverse ini.

Sayangnya, belum ada satu negara pun yang memiliki regulasi tentang metaverse. Hal ini sebenarnya juga sudah terjadi sejak awal media sosial muncul. Kala itu semua yang ada di sana bebas, tidak ada regulasi secara khusus yang mengatur. Seiring berjalannya waktu, baru ada regulasi yang mengatur, misalnya terkait batasan ketika berpendapat. Yang lebih menyeramkan, dunia baru ini seperti tidak akan memiliki batasan, karena pada dasarnya metaverse memiliki banyak universe.

Kekhawatiran terbesar

Mungkin akan ada yang bilang, “dengan kondisi tersebut, metaverse tidak untuk semua orang”. Pernyataan tersebut mungkin juga relevan pada awal tahun 2010-an, ketika saat itu penetrasi ponsel pintar dan internet belum sebesar sekarang, media sosial dikatakan bukan untuk semua orang. Berbeda dengan saat ini, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, orang tua semua berbaur dalam media sosial untuk saling berinteraksi, berbagi, dan berkomunikasi.

Jika hambatan penetrasi metaverse adalah perangkat VR, tidak menutup kemungkinan akan ada inovasi produk yang memungkinkan perangkat tersebut menjadi sangat terjangkau dan menjadi kebutuhan yang lebih mendesak, seperti ponsel pintar.

Jika metaverse datang lebih cepat, ia akan hadir di tengah proses edukasi literasi digital yang belum tuntas, di tengah literasi finansial yang belum menyeluruh. Bukan tidak mungkin jika gap yang ada saat ini justru menjadi lebih lebar, memberikan peluang kepada orang-orang yang sudah berkecukupan, namun melahirkan tantangan baru bagi mereka-mereka yang seharusnya membutuhkan bantuan. Toh keberhasilan di dalam dunia teknologi selalu didasari dengan kesigapan dalam mengadopsi.

Saya pribadi jadi merasa khawatir. Di sisi lain, belum rampung dengan urusan kehidupan nyata yang sedang dijalani saat ini. Lantas, apakah sudah harus memaksakan diri masuk ke hiruk-pikuk adopsi metaverse, bahkan saat saya sendiri belum memahami manfaatnya. Sebuah kegamangan untuk menyambut masa depan. Memang, investasi selalu punya risiko, pun investasi untuk masuk ke metaverse lebih awal. Perasaan takut tertinggal [dalam artian tidak bisa beradaptasi secara cepat] di dunia baru tersebut kini menjadi kekhawatiran tersendiri bagi orang-orang yang memikirkan, memikirkan bagaimana cara hidup di metaverse.

Peluang inovasi

Teknologi selalu menghadirkan sebuah disrupsi, dari skala yang sangat kecil sampai ke sesuatu yang mempengaruhi masyarakat luas. Disrupsi sendiri erat kaitannya dengan inovasi, yakni proses melahirkan cara-cara baru yang jauh lebih efisien dari mekanisme yang ada sebelumnya. Tentu kita ingat mengapa produk payment gateway dilahirkan; karena ada kebutuhan akses ke sistem pembayaran yang ringkas untuk memfasilitasi transaksi di sistem e-commerce.

Menawarkan dunia baru, cara-cara baru, metaverse diyakini akan melahirkan peluang baru untuk berinovasi. Para pengembang akan ditantang, bagaimana melahirkan pengalaman berbisnis yang baik di dunia virtual 3D, bagaimana membangun sistem pengajaran dan pendidikan yang nyaman dengan keterbatasan aktivitas fisik, bagaimana sistem perdagangan dikonsep ulang dengan pengalaman pelanggan yang baru, dan lain-lain. Istilah “startup digital” yang trendi saat ini bisa jadi menjadi “startup metaverse” di kemudian hari.

Epilog

Sebagai orang yang mengikuti perkembangan teknologi, saya pribadi selalu tertarik untuk melihat kejutan-kejutan inovasi berikutnya. Setiap tahun saya menyimak konferensi yang diadakan raksasa teknologi, seperti Google, Apple, atau Microsoft; mengagumi produk-produk teknologi yang akan makan digandrungi masyarakat. Karena saya sendiri merasakan betul manfaat dari alat-alat teknologi tersebut.

Entah mengapa metaverse ini memberikan kesan yang beda. Sebuah perasaan yang menyiratkan ketidaksiapan menyambut era baru teknologi tersebut. Bisa jadi saya yang terlalu berburuk sangka dengan kompleksitas yang ditimbulkan oleh dunia virtual tersebut; atau saya yang terlalu mencari-cari tahu sesuatu yang sebenarnya belum memiliki bentuk pasti lalu “overthinking”. Namun layaknya inovasi teknologi yang bisa mengubah kehidupan banyak orang menjadi lebih baik, saya punya pengharapan besar metaverse tidak membuat kekhawatiran –mungkin dirasakan banyak orang juga di luar sana—tersebut terjadi.

[Seri NFT] Memahami Alasan NFT Lahir dan Kenapa Ia Dibutuhkan

Memahami suatu teknologi baru tidak selalu membutuhkan penjelasan yang rumit, termasuk saat ingin mengerti apa itu NFT (non-fungible token). Dari sekian banyak literatur yang mencoba untuk menjelaskan NFT, mungkin pendekatan secara filsafat ini bisa dimengerti: NFT punya korelasi kuat dengan sifat alamiah seorang manusia, yaitu keinginan untuk memiliki sesuatu.

Kelahiran NFT awal mulanya karena pengembangan dari inovasi teknologi blockchain. Namun, bila ditarik mundur jauh sebelum itu, bahkan saat manusia purba, cara untuk bertahan selain mencari makan ada prioritas lainnya, yakni memiliki teritori dengan melabelinya sebagai tanda bahwa itu adalah miliknya.

Dalam evolusi manusia berikutnya, di masa modern, banyak inovasi yang bisa menemukan mana sesuatu yang dimiliki oleh tiap manusia. Sampai-sampai muncul kepemerintahan di suatu teritori yang menciptakan mata uang untuk bertransaksi, demi menentukan barang apa milik siapa.

“Kenapa NFT exist karena manusia pada dasarnya ingin memiliki sesuatu. Ini memang sifat dasar manusia yang ingin memiliki, itu paling fundamental. Jadi ini bukan soal teknologi, tapi lebih ke sosial. Sehingga sudah sewajarnya NFT itu exist dan jauh ke depannya akan jadi bagian dari setiap lini kehidupan manusia,” terang CEO Kolektibel Pungkas Riandika.

Dengan pemahaman mendasar seperti ini, artinya tidak perlu repot mendalami teknologi blockchain dan turunannya. Bila dicontohkan lagi, di kelas ekonomi ke atas misalnya, mayoritas orang-orangnya memiliki sesuatu yang bersifat non-fungible, alias berharga yang memiliki nilai emosi yang tidak bisa dihargai dengan uang. Itu adalah NFT.

Berikutnya, untuk strategi pemasaran yang ingin melekatkan unsur non-fungible juga bisa diterapkan. Seperti yang dilakukan oleh IKEA saat menjual perabotan rumah tangga yang sebenarnya itu adalah barang fungible. Mereka memanfaatkan kursi yang dibuat oleh desainer dari Swedia sebagai strategi branding untuk membuatnya lebih berharga dan langka daripada kursi yang dibuat oleh orang lain.

“Strategi branding mereka sukses membuat para pembeli harus segera memilikinya. Jadi strategi [dengan konsep NFT] itu sudah ada sejak dulu. Sampai akhirnya, muncul dalam teknologi blockchain, melahirkan OpenSea dan sebagainya. Kami percaya dan memfokuskan diri mengembangkan Kolektibel sebagai e-commerce NFT untuk kehidupan sehari-hari.”

Oleh karena itu, dalam praktek Kolektibel yang ingin meramahkan NFT, perusahaan menganut konsep decentralized finance (DeFi) yang menggunakan mata uang fiat untuk bertransaksi NFT. Dengan kata lain, dengan mata uang yang berlaku di negara tersebut, para pengguna dapat bertransaksi NFT. Bahkan, perusahaan terintegrasi dengan instrumen pembayaran digital yang populer, sebut saja Gopay, OVO, Virtual Account, kartu debit/kredit, hingga dapat bayar melalui Alfamart, dan Indomaret.

NFT sebagai status diri

Perlahan tapi pasti NFT akan dibuat menjadi lebih mainstream, ditandai dengan beragamnya perusahaan dari berbagai vertikal, termasuk ritel barang mewah, terjun ke sana. Tujuannya bukan untuk memperkenalkan NFT, tapi karena sudah menganggap NFT sebagai status diri, sebuah identitas diri digital.

NFT-NFT yang dibeli, lalu dikumpulkan, itulah yang membuatnya menjadi status diri siapa pemiliknya. Orang-orang bisa mengidentifikasi seseorang saat melihat koleksi NFT, hal ini sebenarnya sudah terjadi di dunia fisik. Menilai pribadi orang dari koleksi dan kesukaannya terhadap sesuatu karena unik dan punya memori yang tidak bisa dinilai dengan uang.

“NFT itu bukan mata uang. Sama seperti di dunia sebenarnya. Orang yang punya uang apa iya dipamerkan uangnya? Pasti yang diperlihatkan adalah tasnya merek apa, sepatunya merek apa, itulah fungsi NFT nantinya. Bisakah hidup tanpa brand? Sepertinya susah karena manusia itu butuh pamer. Itu sudah jadi sifat dasar.”

Maka dari itu, NFT berkaitan erat dengan metaverse. Di dalam dunia metaverse akan menjadi dunia tersendiri yang memiliki koleksi digital sendiri, dari ujung kaki hingga rambut yang melekat di avatar tersebut. Di dalam dunia tersebut, avatar dapat memiliki dunia bertemu dengan orang dari belahan manapun dan melakukan berbagai aktivitas.

Bahkan dalam pemahaman yang lebih futuristik, mengutip dari Dr. Michio Kaku, seorang fisikawan teoritis dan penulis buku, dia mencoba berspekulasi tentang apa yang akan terjadi di 2050. Dalam salah satu kutipannya, ia mengatakan bahwa pada masa depan setiap manusia akan memiliki digital immortality. Artinya, manusia dapat tetap hidup selamanya dengan adanya identitas digitalnya, meski jiwa dan raganya sudah tiada.

Dia menjelaskan, meskipun seseorang sudah meninggal secara fisik, tapi orang tetap bisa merasakan kehadirannya secara digital, yang didukung oleh melesatnya inovasi di bidang neuroscience dan kecerdasan buatan. Bahkan dalam pandangan ia untuk jangka waktu yang lebih jauh lagi, 10 ribu tahun lagi warga bumi akan pindah ke planet lain.

“Itulah mengapa Jeff Bezos, Elon Musk berlomba-lomba ke luar negeri dalam rangka menyiapkan sekoci penyelamat pada saat perubahan iklim tidak bisa dibendung lagi. Jawabannya dengan memindahkan ke planet terdekat, ini ada hubungannya dengan digital immortality,” tutup Pungkas.

Disclosure: Rubrik “Seri NFT” ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan Kolektibel

Fractal Adalah Marketplace NFT Khusus Gaming Ciptaan Pendiri Twitch

Dengan total volume transaksi melebihi $10 miliar, OpenSea pantas mendapat gelar sebagai marketplace NFT terbesar di dunia saat ini. Namun hal itu rupanya tidak mencegah lahirnya sejumlah marketplace baru, termasuk yang spesifik menyasar vertikal gaming. Salah satunya adalah Fractal, sebuah marketplace NFT khusus gaming besutan Justin Kan.

Nama tersebut terdengar familier? Wajar, mengingat Justin adalah salah satu pendiri Twitch. Justin sudah mendalami dunia crypto sejak tahun 2013, bahkan semenjak Twitch belum menjadi milik Amazon, dan sekarang ia ingin mewujudkan obsesinya terkait crypto sekaligus gaming melalui Fractal.

Eksistensi Fractal dipicu oleh meningkatnya popularitas game play-to-earn (P2E) belakangan ini. NFT memang merupakan komponen kunci yang menjadi fondasi utama ekonomi dalam game P2E, dan Fractal ingin ikut ambil bagian dengan bekerja sama langsung dengan pihak developer/publisher game.

Nantinya, NFT yang ada di Fractal bisa dibagi menjadi dua kategori: yang dijual langsung oleh developer/publisher (primary market), dan yang diperjualbelikan antar pengguna (secondary market). Lebih jauh lagi ke depannya, Fractal juga tertarik menciptakan infrastruktur untuk mengakomodasi skenario-skenario penggunaan NFT lainnya, seperti misalnya untuk sistem scholarship yang ada dalam game P2E macam Axie Infinity.

Untuk sekarang, Fractal sepenuhnya menggunakan blockchain Solana, namun sudah ada rencana mengenai integrasi blockchain lain ke depannya. Solana sendiri dipilih berkat ongkosnya yang rendah dan kecepatan transaksinya, yang menurut Justin krusial buat developer/publisher game yang ingin menawarkan aset in-game dalam jumlah besar.

Justin melihat game P2E dan NFT sebagai evolusi alami dari tren jual-beli item dalam game online di era 90-an. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kita sudah semakin terbiasa membeli skin atau berbagai macam item lain di game seperti Fortnite atau PUBG. Justin percaya NFT dan prinsip kepemilikan yang diterapkan pada dasarnya bisa semakin meningkatkan nilai dari benda-benda digital tersebut secara signifikan.

Rencananya, Fractal akan resmi meluncur pada 30 Desember 2021, bersamaan dengan koleksi NFT-nya sendiri.

Sumber: VentureBeat.

NFT Collectors: An Ancient Dream to Directly Support Creators

Before NFT happens, the appreciation form for an artist’s or collector’s work was usually transactional or one-way. For example, purchasing art through a gallery. Collectors rarely have direct access to the artists. In fact, it is often the galleries that try to cut-off on possibilities like this for one reason or another.

NFT offers the two-way connection. Everyone connected to the internet can access NFT collection on various global marketplace platforms. One example, in SuperRare, an ID @colborn is the collector with the largest transaction. He purchased 204 NFT works produced by 17 creators for $166,264, his biggest purchase was worth of $44,226.

In an interview with DailySocial, NFT collectors agreed that ownership and direct support for creators by purchasing their works are NFT’s superior value, which previously did not exist in the physical world. Thus, it is not just any form of investment.

For creators, the NFT also benefits them due to a fair royalty system applies when the work is sold on the secondary market. This had never happened before.

“NFT brings out ownership. In the physical world, every purchase will get a certificate. If it’s lost, it’ll be hard to prove that we are the owner. With NFT, everything is traceable. The future idea for artists and creators in general is the creation of ideal conditions as there has been inequality in the traditional system, where the gallery is bigger than the artist. NFT will set it on the same level, hopefully that’s the case,” Detty Wulandari, a local art and NFT collector said.

Detty herself was a fan of art, long before NFT exist. Various works of art, paintings and sculptures by artists have adorned all the walls of her house. She started learning about NFT autodidactically since April this year, considering that there were not many Indonesian-friendly literatures at that time. The rooms created by users of the Clubhouse social audio platform also help her understanding NFT better.

Due to her high curiosity, she tried various global NFT marketplace platforms. To date, she has used more than 10 platforms to buy NFT. Those include Nifty Gateway, Rarible, SuperRare, OpenSea, KnownOrigin, Mirror, Kalamint, also objkt has captured her attention.

“The UI and display are very influential, especially for new collectors. I’ve tried everything, and personally like OpenSea, it’s easy to use also for purchasing and reselling. It is like an aggregator, all my NFT collections under Ethereum–even the ones outside of OpenSea can be displayed. Unfortunately, it’s not otherwise.”

Detty is not alone, Irzan Raditya, Kata.ai’s Co-founder and CEO, has been very invested in NFT since August 2021. He personally is a collector of real goods, such as superhero comics published by Marvel & DC Comics, and action figures. He said, there are lots of things about NFT he need to learn, considering the fast pace of innovation in the web3 world.

“Currently I am still learning and exploring several NFT collections with various utilities on the roadmap, ranging from pure PFP (Profile Picture), P2E Game (Play2Earn), DeFi (Decentralized Finance), and several collections that guarantees IRL (In Real Life) utility.”

Moselo’s Co-founder and Commissioner, Richard Fang shared the same reason. As the form of fondness of a creator, purchasing the works is part of the support. Moreover, he believes that NFT will be used as membership access and associated with physical goods as well in the future. “So, the potential is quite extensive,” he said.

Market education is necessary

Irzan also mentioned, the local NFT platform has blown a fresh air to mainstream the NFT in Indonesia. He also emphasized that the platform can help educate the wider community about NFT, both by paving the way for creators and IP owners to trade their work. Also, making it easier for collectors to buy a collection using local payment methods, such as bank transfers and e-wallet.

“Hopefully, the adoption will be broad. Also, the price will be more competitive i order to reduce entry barrier,” Feng added.

KaryaKarsa’s Co-Founder and CTO, Aria Rajasa spoken as an NFT collector. He said, the NFT development in Indonesia is still premature, it’s not really different with the global market.

Therefore, even though there are local platforms, he encourages creators not to limit themselves to the scope of their target market because there are many local creators who are successful in the global market. “Maybe in the next 5-10 years it will be more mainstream,” he said.

Aria uses the OpenSea platform to buy NFT that he considered “speaks to me”.

“Some of my favorite creators have their own style of work that I like and that is the reason why I collect their works. It’s fun being a part of the creator’s tribe.”

Meanwhile, Detty mentioned about the essential of market education. In fact, she still finds many people who misunderstood the jargons used by NFT players using the phrase “auto cuan” and other similar words. “It’s a misunderstanding, it doesn’t mean that people who buy it are definitely rich, or the creators can automatically sell out. Education is very important.”

Detty also expects the current local platform will always prioritize decentralization spirit as promoted by NFT. This means that everyhing is at the same level, unlike the previous concept that suppressed artists/creators. In other words, the rules for commissions and so on need to be as fair as possible and not for one-party only benefit.

“If the marketplace is new but the orientation is purely business-oriented, it will eventually put pressure on artists. It’s such a bummer because it’s not going to be okay in the long run.”

Detty’s statement is true about investing in NFT. An interesting report by Chainalysis shows that there is no guarantee on NFT investment.

OpenSea’s transaction data shows that only 28.5% of NFT bought during minting and then sold on the platform makes a profit. Moreover, buying NFT on the secondary market from other users and reselling it, however, makes a profit 65.1% of the time.

The advantage of selling NFT basically depends on the existence of the community and word of mouth strategy. Almost all successful NFT projects are fully supported by fans who make reviews on Discord and Twitter as a form of promotion. It occurs because it has been designed that way.

Creators typically start promoting a new project long before the first asset is released, gathering  a dedicated fanbase that helps promote the project from the beginning. Furthermore, he will reward those dedicated followers by adding them to a whitelist which allows them to buy new NFTs at significant lower price than other users during the minting period.

Whitelisting isn’t just a nominal reward — it’s a guarantee of a much better investment return. OpenSea data shows that users who whitelist and then sell their newly minted NFTs earn 75.7% profit, compared to only 20.8% for users who do so without being whitelisted.

In addition, data shows that it is nearly impossible to achieve huge returns for scoring purchases without being whitelisted. The chart below categorizes newly minted NFT sales into buckets based on the ROI achieved by collectors, expressed in multiples of initial investment, with whitelisted collectors buying during printing compared to those who did not whitelist.

NFT Outlook

Detty continued, as she explained previously, in the physical world, the gallery seldom provide communication between collectors and creators. There are even those who cut off the relationship between the collector and the creator, no direct contact. All processes are carried out in secret, some are even anonymous.

However, NFT creates a new habit as collectors and creators can open up and directly communicate with each other, considering the collectors directly purchased from wallets that are connected to creators. “This is very different, NFT collectors are happy to announce the work they’ve bought. This is good for the artist too as it provides communication. For example, when a collector wants to sell it again on the secondary market. Usually, if it is an only piece, there will be a discussion about the selling price. We can ask their opinion to make it more equal.”

Irzan also said that the relationship between the collector or the community of an NFT collection is more than just a buyer, but can be considered as a believer of the creator. For creators who have an eternal royalty system, NFT allows them to have passive income along with selling their collections on the secondary market.

“In a way, NFT is “community-first business.” Everything will be based on the community because they are the creators’ key to success, not just another customer, but also a believer. How creators can work and create value for them. The key is one: make the lives of your community better. Because when a creator can help improve the standard of living of his community, then success will be easier to achieve.”

Irzan said an example, a real example can be seen through the Play-to-Earn (P2E) game Axie Infinity which is based on blockchain and NFT. They help residents in the Philippines earn an income by playing games. As a result, their monthly income is higher than the minimum wage in their country.

The second example, one of the Bored Ape Yacht Club (BAYC) blue chip NFT collections offer an initial price of one NFT with only 0.08 ETH or around $300 when they launched 10,000 collection in April 2021. To date, the asset’s lowest price has skyrocketed to 45 ETH, or about $190,000, increased by 300 times in seven months.

“Eventually, in my opinion, through the rise of NFT, we are arriving at a tectonic shift how blockchain and cryptocurrency technology can reach the wider community, and NFT is not only present as a collection, but also provides opportunities for equitable distribution of people’s living standards in the era of decentralized economy both for creators as well as collectors/communities,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Lippo Group dan Luno Bangun JV Garap Aset Kripto

MPC (dulu bernama Multipolar), perusahaan investasi milik Lippo Group, mengumumkan pendirian perusahaan patungan (joint venture) dengan Luno untuk menggarap potensi aset kripto di Indonesia. Belum disebutkan identitas dari JV tersebut, mengingat sedang berusaha memperoleh izin operasional dari Bappebti.

Country Manager Luno Indonesia Jay Jayawijayaningtiyas menuturkan, pihaknya antusias dengan kemitraan ini, mengingat pesatnya pertumbuhan pasar aset kripto di Indonesia pada tahun ini. Luno akan terus melanjutkan program-program edukasi kripto, agar semakin banyak masyarakat awam bisa mengenal dengan lebih baik.

“Kami percaya bahwa pengalaman panjang MPC di segmen ritel dan pasar Indonesia akan menjadi aset besar dalam kolaborasi ini,” ujar Jay dalam keterangan resmi, Rabu (15/12).

Menggabungkan kekuatan dari masing-masing entitas, Luno di bidang pengetahuan dan keahlian di bidang industri kripto global dan MPC dengan wawasan dan pemahaman yang luas terhadap karakter pasar Indonesia, diharapkan menghasilkan kolaborasi yang efektif, serta mampu mendongkrak kepercayaan investor baru.

Menurut survei yang dilakukan Luno dan YouGov menunjukkan, bahwa alasan utama masyarakat Indonesia belum berinvestasi di kripto karena kurangnya pemahaman atau informasi yang komprehensif (62%). Kendati begitu, sebanyak 30% orang Indonesia mengaku familiar dengan kripto, jauh melebih aset investasi yang lain, seperti obligasi negara (20%) dan P2P (18%).

Luno sendiri merupakan salah satu portofolio dari Venturra, CVC dari Lippo Group. Venturra memimpin putaran pendanaan Seri A pada 2015 dengan nominal dirahasiakan. Setelah Luno diakuisisi oleh Digital Currency Group pada 2020, dukungan dari Venturra terus diberikan untuk Luno.

CEO MPC Adrian Suherman mengatakan, sejak 2015 MPC terus mendukung Luno karena memiliki kesamaan visi dalam hal kripto, sama-sama ingin menggencarkan literasi finansial terkait aset kripto dan menghapuskan stigma bahwa aset kripto bukanlah bisnis yang rill.

“Industri ini memiliki potensi yang sangat besar hingga bertahun-tahun yang akan datang. Karena itu, kami ingin masyarakat Indonesia, termasuk yang masih awam, bisa melakukan investasi serta jual beli aset digital dengan mudah, aman, dan percaya diri,” kata Adrian.

Potensi pasar kripto di Indonesia diperkirakan akan terus bertumbuh. Berdasarkan data dari Bappebti, jumlah pengguna kripto di Indonesia per Juli 2021 mencapai angka 7,4 juta orang. Angka tersebut meningkat dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Tak hanya jumlah investor, volume perdagangan kripto pun melonjak tajam hingga enam kali lipat, dari Rp60 triliun di tahun 2020 menjadi Rp370 triliun per Mei 2021.

Sejauh ini di 2021, Luno sendiri telah mencatatkan total volume transaksi dengan pertumbuhan sebesar empat kali lipat di Indonesia dibandingkan dengan total volume transaksinya di sepanjang 2020. Secara global, Luno juga telah memiliki lebih dari 9 juta pelanggan, dan menjadi platform keenam perdagangan kripto terbaik di dunia versi CryptoCompare. Luno menjadi satu-satunya platform perdagangan kripto di Indonesia yang berhasil masuk ke ranking Top 10 dan mendapatkan skor Grade A.

“Ke depannya, untuk meningkatkan literasi kripto di Indonesia, kami akan terus menjalankan program edukasi melalui Luno Academy, yang dapat diakses dengan mudah oleh semua orang melalui website dan aplikasi. Dengan pengalaman dan keahlian nama besar seperti MPC, kami percaya bahwa kemitraan ini dapat menciptakan pengalaman jual-beli aset kripto yang terbaik di Indonesia,” tutup Jay.

Selain bersama Luno, MPC juga telah mendirikan JV lainnya yang bergerak di p2p lending bersama Ping An bernama Ringan. Ringan fokus menyediakan pinjaman dana cepat (cash loan) dan belakangan mulai merambah segmen kredit produktif.

Kongsi Binance-Telkom

Selang sehari sebelumnya, kerja sama startup dengan korporasi pelat merah telah dilaksanakan oleh Binance dan Telkom melalui MDI Ventures. Bentuknya tidak sekadar membentuk platform jual beli aset kripto saja, namun mengembangkan ekosistem blockchain dan turunannya ke tahap lebih lanjut. Bagi Telkom, semua hal ini akan memainkan peran penting dalam keuangan dan infrastruktur digital lainnya di masa depan.

Hal menarik yang patut dilihat adalah bagaimana bila dilihat dari kacamata regulasi pemerintah Indonesia. Di kancah global, Binance ramai-ramai di blokir banyak negara karena dikhawatirkan tidak memiliki upaya yang cukup dalam mencegah pencucian uang dan kejahatan keuangan lainnya di plaformnya sebagai bentuk kepatuhan dalam memenuhi aturan di tiap negara.

Singapura, Jerman, Amerika Serikat, Inggris, India, Jepang, Hong Kong, Italia, Malaysia, Thailand, dan Belanda adalah negara-negara yang sudah menutup akses Binance di negara masing-masing. Akibatnya, pengguna Binance Hong Kong misalnya, tidak bisa membuka produk derivatif di Binance dan diberikan waktu tenggang (grace period) sampai 90 hari untuk menutup akunnya.

Hal yang sama juga terjadi di Indonesia. Satgas Waspada Investasi sudah memasukkan Binance ke dalam daftar investasi ilegal sejak Oktober 2020. Alasannya karena melakukan perdagangan kripto tanpa izin. Sementara itu, portofolio Binance di Indonesia, Tokocrypto adalah pedagang aset kripto yang sah dan telah memiliki tanda terdaftar di Bappebti.

Application Information Will Show Up Here

Kolektor NFT: Impian Lama Mendukung Kreator Secara Langsung

Sebelum NFT hadir, bentuk menghargai suatu karya seniman atau kolektor biasanya berbentuk transaksional alias satu arah. Bila membeli karya seni lewat suatu galeri misalnya, kolektor jarang sekali mendapat akses untuk berkomunikasi langsung dengan seniman. Bahkan tak jarang galeri berusaha untuk memutus kemungkinan-kemungkinan seperti ini karena satu lain hal.

Koneksi dua arah inilah yang ditawarkan NFT. Seluruh orang yang terhubung dengan internet dapat mengakses koleksi NFT milik kolektor siapapun di berbagai platform marketplace global. Ambil contoh, di SuperRare, saat ini ID bernama @colborn menjadi kolektor dengan transaksi terbesar. Ia membeli 204 karya NFT yang dihasilkan oleh 17 kreator senilai $166,264, pembelian terbesarnya adalah membeli karya seharga $44,226.

Dalam wawancara bersama DailySocial, para kolektor NFT sepakat bahwa kepemilikan dan memberi dukungan secara langsung kepada kreator dengan membeli karyanya adalah nilai unggul dari NFT, yang sebelumnya tidak hadir di dunia fisik. Jadi, bukan sekadar bentuk investasi semata saja.

Pun bagi kreator, kehadiran NFT juga menguntungkan mereka karena berlaku sistem royalti yang adil ketika karya mereka dijual di pasar sekunder. Penawaran tersebut sebelumnya nihil terjadi.

“Di NFT itu bicara mengenai ownership. Di dunia fisik, setiap beli karya seni dapat sertifikat. Kalau itu sudah hilang, susah carinya untuk sekadar membuktikan bahwa kita ini pemiliknya. Tapi di NFT itu bisa dilacak. Ke depannya yang terbayang buat seniman dan kreator pada umumnya adalah terciptanya kondisi ideal karena selama ini terjadi ketidaksetaraan di sistem tradisional, di mana galeri itu di atas seniman. Tapi di NFT jadi satu level yang sama, mudah-mudahan bisa begitu,” ucap Detty Wulandari, kolektor lokal karya seni dan NFT.

Detty sendiri termasuk penggemar karya seni, jauh sebelum NFT hadir. Berbagai karya seni lukisan dan patung karya seniman telah menghiasi seluruh dinding rumahnya. Ia mulai mempelajari tentang NFT sejak April tahun ini secara autodidak, mengingat saat itu belum banyak literasi yang ramah berbahasa Indonesia. Rooms yang dibuat oleh pengguna platform audio social Clubhouse juga turut membantunya lebih mudah memahami NFT.

Berkat rasa keingintahuannya yang tinggi, berbagai platform marketplace NFT global ia jajal. Terhitung ada lebih dari 10 platform telah ia gunakan untuk membeli NFT. Nama-nama seperti Nifty Gateway, Rarible, SuperRare, OpenSea, KnownOrigin, Mirror, Kalamint, hingga objkt tak luput dari perhatiannya.

“Tampilan dan UI sangat berpengaruh, apalagi buat kolektor baru. Karena semua sudah coba, secara personal suka dan mudah dipakai untuk dibeli dan dijual kembali itu OpenSea. Karena di sana seperti agregator, bisa menampilkan semua NFT koleksi saya yang di bawah Ethereum–di luar OpenSea sekalipun. Tapi kalau sebaliknya tidak bisa.”

Tak hanya Detty, Irzan Raditya, Co-founder dan CEO Kata.ai, juga turut menaruh minatnya terhadap NFT sejak Agustus 2021. Secara personal, ia adalah kolektor barang-barang riil seperti komik-komik superhero terbitan Marvel & DC Comics, hingga action figures. Menurutnya, masih banyak ilmu yang perlu ia pelajari di NFT, mengingat laju inovasi di dunia web3 ini begitu pesat.

“Saat ini saya masih belajar dan sedang mengeksplor beberapa koleksi NFT dengan berbagai macam utility pada roadmap mereka, mulai dari pure PFP (Profile Picture), P2E Game (Play2Earn), DeFi (Decentralized Finance), sampai beberapa koleksi yang menjanjikan IRL (In Real Life) utility.”

Alasan yang sama diutarakan Richard Fang, Co-founder dan Komisaris Moselo. Sebagai bentuk kegemarannya terhadap karya suatu kreator, membeli karyanya adalah bagian dari bentuk dukungan yang ia berikan. Terlebih itu, di masa depan ia meyakini bahwa NFT akan digunakan sebagai akses membership dan dihubungkan dengan barang fisik juga. “Jadi potensinya masih sangat banyak,” katanya.

Edukasi perlu digalakkan

Irzan melanjutkan, kehadiran platform NFT lokal sebenarnya membawa angin segar untuk meng-mainstream-kan NFT di Indonesia. Satu hal yang ia tekankan adalah platform tersebut bisa bantu mengedukasi masyarakat lebih luas mengenai NFT, baik membuka jalan bagi para kreator dan pemilik IP untuk memperjual-belikan karyanya. Serta, mempermudah aksesibilitas bagi para kolektor untuk membeli suatu koleksi dengan metode pembayaran lokal, seperti bank transfer dan e-wallet.

“Harapannya agar adopsinya lebih banyak lagi ya. Dan mungkin secara harga juga akan lebih murah sehingga entry barrier nya tidak terlalu tinggi,” tambah Richard.

Aria Rajasa, Co-Founder dan CTO KaryaKarsa turut memberikan pendapatnya sebagai kolektor NFT. Menurutnya, perkembangan NFT di Indonesia masih terlalu dini, bahkan kondisi yang sama juga di pasar global.

Oleh karenanya, meski sudah ada platform lokal, ia mendorong kepada kreator agar tidak perlu membatasi diri dengan cakupan target pasarnya karena ada banyak kreator lokal yang sukses berkarya di kancah internasional. “Mungkin dalam 5-10 tahun ke depan bisa lebih mainstream,” ujarnya.

Aria menggunakan platform OpenSea untuk membeli karya NFT yang dianggap “speaks to me”.

“Beberapa kreator yang saya suka punya gaya berkarya tersendiri yang saya suka dan itu menjadi alasan saya untuk mengoleksi karya-karyanya. Serunya adalah menjadi bagian dari tribe kreator tersebut.”

Sementara itu, Detty berujar mengenai pentingnya edukasi pasar. Lantaran, ia masih melihat masih banyak orang yang salah kaprah dengan jargon-jargon yang digunakan pemain NFT dengan frasa “auto cuan” dan kata-kata senada lainnya. “Itu salah kaprah, bukan berarti orang beli sudah pasti kaya, atau kreator jual karyanya langsung laku. Edukasi itu penting banget.”

Detty juga berharap pada platform lokal yang ada saat ini untuk selalu mengedepankan spirit desentralisasi seperti yang diusung oleh NFT. Artinya, semua berada di level yang sama, bukan seperti kondisi dulu yang menekan seniman/kreator. Dengan kata lain, peraturan pembagian komisi dan sebagainya perlu dibuat seadil mungkin dan tidak menguntungkan satu pihak saja.

“Kalau marketplace baru tapi orientasinya pure ke bisnis, itu akhirnya akan menekan seniman. Itu enggak banget karena in the long run enggak bakal oke.”

Pernyataan Detty ini ada benarnya soal investasi di NFT. Laporan yang menarik diungkap oleh Chainalysis menunjukkan bahwa investasi NFT jauh dari kata pasti.

Data transaksi dari OpenSea menunjukkan hanya 28,5% dari NFT yang dibeli selama minting dan kemudian dijual di platform menghasilkan keuntungan. Kemudian, membeli NFT di pasar sekunder dari pengguna lain dan menjualnya kembali, bagaimanapun, menghasilkan keuntungan 65,1% dari waktu.

Keuntungan menjual NFT ini pada dasarnya bergantung pada keberadaan komunitas dan strategi word of mouth. Hampir semua proyek NFT yang sukses didukung penuh penggemar yang membuat ulasan di Discord dan Twitter sebagai bentuk promosinya. Kondisi ini terjadi karena sudah didesain seperti demikian.

Kreator biasanya mulai mempromosikan proyek baru jauh sebelum aset pertama dirilis, mengumpulkan penggemarnya yang berdedikasi yang membantu mempromosikan proyek sejak awal. Kemudian, dia akan memberi penghargaan kepada pengikut yang berdedikasi itu dengan menambahkan mereka ke daftar putih (whitelist) yang memungkinkan mereka untuk membeli NFT baru dengan harga yang jauh lebih rendah daripada pengguna lain selama masa minting.

Daftar putih bukan hanya hadiah nominal — namun menjadi jaminan hasil investasi yang jauh lebih baik. Data OpenSea menunjukkan bahwa pengguna yang membuat daftar putih dan kemudian menjual NFT yang baru dicetak memperoleh keuntungan 75,7%, dibandingkan hanya 20,8% untuk pengguna yang melakukannya tanpa masuk daftar putih.

Tidak hanya itu, data menunjukkan bahwa hampir tidak mungkin untuk mencapai pengembalian yang terlalu besar untuk mencetak pembelian tanpa masuk daftar putih. Bagan di bawah ini mengelompokkan penjualan NFT yang baru dicetak ke dalam ember berdasarkan ROI yang dicapai kolektor, yang dinyatakan dalam kelipatan investasi awal, dengan kolektor yang masuk daftar putih yang membeli selama pencetakan dibandingkan dengan mereka yang melakukannya tanpa masuk daftar putih.

Outlook NFT

Detty melanjutkan, seperti yang ia ceritakan di bagian awal, di dunia fisik seringkali hubungan antara kolektor dengan kreator tidak disediakan oleh galeri. Bahkan ada yang sampai memutus hubungan antara kolektor dengan kreator jangan sampai ada kontak langsung. Semua proses dilakukan secara sembunyi, bahkan ada yang sampai anonim.

Akan tetapi, dengan kehadiran NFT menimbulkan kebiasaan baru karena kolektor dan kreator dapat saling terbuka dan berhubungan langsung, mengingat kolektor membeli langsung ke wallet yang terhubung dengan kreator. “Ini beda banget, kolektor NFT senang mengumumkan karya yang mereka beli. Ini baik buat senimannya juga karena ada komunikasi. Contoh saat kolektor mau jual lagi di secondary market, kalau karyanya hanya satu piece, biasanya suka ada diskusi soal harga jualnya. Kita bisa minta pendapat ke mereka biar lebih setara.”

Irzan turut menambahkan, hubungan kolektor atau komunitas dari suatu koleksi NFT lebih dari sekadar sebagai pembeli, tapi bisa dianggap sebagai believer dari kreator tersebut. Bagi para kreator yang memiliki sistem royalti yang bersifat kekal, NFT memungkinkan mereka memiliki passive income seiring dengan penjualan koleksi mereka di pasar sekunder.

“Di satu sisi, NFT adalah “community-first business.” Semuanya akan berpijak pada komunitas karena mereka adalah kunci kesuksesan bagi para kreator, tidak hanya memandang komunitas sebagai pelanggan, namun juga believer. Bagaimana para kreator bisa berkarya dan menciptakan value untuk mereka. Kuncinya hanya satu: make the lives of your community better. Karena ketika seorang kreator dapat membantu meningkatkan taraf hidup komunitasnya, maka kesuksesan pun akan lebih mudah dicapai.”

Irzan pun mencontohkan, contoh nyatanya bisa dilihat lewat Play-to-Earn (P2E) game Axie Infinity yang berbasis blockchain dan NFT. Mereka membantu penduduk di Filipina mendapatkan penghasilan dengan cara bermain game. Hasilnya pendapatan mereka dalam sebulan lebih tinggi dari UMR di negaranya.

Contoh kedua, pada salah koleksi NFT blue chip Bored Ape Yacht Club (BAYC) awalnya harga satu NFT nya hanya 0.08 ETH atau berkisar $300 ketika 10.000 koleksi mereka diluncurkan pada bulan April 2021 lalu. Sekarang harga aset terendah sudah meroket menjadi 45 ETH, atau sekitar $190,000 naik 300 kali lipat dalam kurun waktu tujuh bulan.

“Pada akhirnya menurut saya, melalui maraknya tren NFT ini kita sedang tiba di dalam suatu tectonic shift bagaimana teknologi blockchain dan cryptocurrency bisa menyentuh masyarakat luas, dan NFT tidak hanya hadir sebagai koleksi, namun juga memberikan kesempatan pemerataan taraf hidup masyarakat di era decentralized economy baik bagi para kreator dan juga para kolektor/komunitas,” pungkasnya.

TKNZ Bermisi Menjadi Museum Digital untuk Esports dan Gaming Lewat NFT

Segala sesuatu yang bersifat digital pada dasarnya dapat diubah menjadi NFT (non-fungible token). Mulai dari gambar, GIF, audio, sampai video, semuanya bisa dikemas ulang menjadi aset NFT yang tercatat di blockchain secara permanen. Ini berarti NFT juga bisa dijadikan medium arsip yang ideal di samping sebatas instrumen investasi.

Menurut startup asal London yang menamai dirinya TKNZ (dibaca tokenz), NFT merupakan medium yang tepat untuk mengabadikan momen-momen paling berkenang di dunia esports dan gaming. Konsepnya kurang lebih mirip seperti yang ditawarkan NBA Top Shot, akan tetapi yang khusus diperuntukkan esports dan gaming ketimbang olahraga basket.

Kalau di NBA Top Shot kita bisa memiliki momen slam dunk dahsyat LeBron James, di TKNZ kita dapat memiliki momen fountain hook Dendi ataupun momen-momen clutch lain yang tak kalah legendaris di sepanjang sejarah esports dan gaming. Begitu kira-kira perbandingan sederhananya.

TKNZ sejauh ini memang belum merilis kartu-kartu memorabilia esports dan gaming ini — rencananya baru di tahun 2022 — namun yang pasti nantinya kartu-kartu tersebut bakal dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan kelangkaannya: Rare (warna biru), Epic (warna ungu), dan Legendary (warna emas). Semakin langka, otomatis jumlah kartu yang tersedia semakin sedikit.

Kartu-kartu ini nantinya akan TKNZ jual dalam bingkisan acak (pack), dan setiap pengguna hanya diperbolehkan membeli hingga 3 pack dari setiap edisi (drop) guna menghindari monopoli. Kartu-kartu di dalamnya kemudian bebas kita perjual-belikan di marketplace.

Selain informasi tingkat rarity-nya, setiap NFT di TKNZ juga akan dibekali informasi-informasi tambahan yang berbeda-beda untuk setiap esports/game. TKNZ juga berencana memperkaya setiap NFT dengan metadata esports, semisal informasi event yang diambil dari database Liquipedia, demi memberikan konteks pada masing-masing NFT.

Secara teknis, TKNZ menggunakan blockchain Flow (sama seperti NBA Top Shot), akan tetapi pengembangnya sudah punya rencana untuk mengintegrasikan TKNZ dengan Solana, Binance Smart Chain, Polygon, Polkadot, Enjin’s Efinity, dan WAX ke depannya.

Selagi menanti kehadirannya, Anda bisa mengklaim NFT gratis dari TKNZ dengan mendaftarkan email dan membagikan cuitan di Twitter.