Nasib Buruh di Era Digital

Memasuki tahun 2019, total populasi penduduk dunia sudah mencapai lebih dari 7,6 miliar orang.  5,1 miliar di antaranya adalah pengguna perangkat mobile, sementara 4,4 miliar di antaranya sudah terhubung ke internet. Statistik ini menjadi penting, pasalnya pengguna mobile dan internet tengah membentuk era baru yang disebut dengan ekonomi digital.

Suksesi tersebut bukan tanpa dampak. Banyak penelitian mulai memproyeksikan plus minusnya. Salah satunya laporan yang dirilis World Economic Forum bertajuk masa depan pekerjaan di era digital — bagaimana kecerdasan buatan (artificial intelligence) membentuk porsi kebutuhan tenaga kerja. Ada beberapa jenis pekerjaan yang makin dibutuhkan, sementara beberapa pekerjaan lain mulai tak lagi dibutuhkan.

Slide1

Negara-negara seperti Amerika Serikat, Tiongkok, atau India mulai menyiasati dengan meningkatkan kompetensi kecerdasan buatan. Tujuan tentu agar tetap mampu berada di barisan terdepan persaingan global.

Disrupsi teknologi

Walt Disney didirikan pada tahun 1923. Per tahun 2018 lalu, mereka sudah mempekerjakan sekitar 199 ribu pegawai dan menghasilkan kapitalisasi pasar senilai $245 miliar. Di sisi lain, Facebook mulai hadir pada tahun 2004. Tahun 2018 total karyawan yang dimiliki mencapai 35 ribu orang dan menghasilkan kapitalisasi pasar setara $551 miliar. Kedua perusahaan sama-sama bergerak sektor di media, dengan pendekatan pasar yang berbeda.

Masih banyak perbandingan lain yang bisa disandingkan untuk menunjukkan bagaimana pendekatan berbasis teknologi mampu menghadirkan potensi pasar yang lebih besar dengan cara yang cenderung lebih cepat. Dari situ istilah disrupsi mulai banyak digembor-gemborkan.

Disrupsi adalah sebuah indikasi saat teknologi mulai mengubah proses bisnis secara menyeluruh dan menghadirkan cara-cara baru yang lebih efisien, personal, dan terukur.

Sejak tahun 2015, istilah disrupsi juga sudah menjadi perbincangan para eksekutif di dunia. Dalam sebuah penelitian ditunjukkan mengenai sektor apa saja yang mulai rentan terhadap disrupsi. Di sisi lain, ditunjukkan pula sektor-sektor yang sudah mengantisipasi dan siap menghadapinya. Pada praktiknya, transformasi bukan hanya sekadar menerapkan aplikasi digital, namun juga mengubah kultur bisnis.

Slide2

Hipotesisnya, semua sektor akan terdisrupsi teknologi. Startup digital diyakini menjadi salah satu katalisator utamanya. Pertanyaannya, seberapa siap komponen industri, termasuk di dalamnya pengusaha, proses bisnis, dan pekerja, menghadapi tantangan tersebut?

Indonesia dalam revolusi industri

Kementerian ESDM telah mencanangkan poin-poin yang menjadi fokus pemerintah dalam menyambut revolusi industri 4.0. Di antaranya energi terbarukan untuk kelistrikan, bangunan dan transportasi; kendaraan listrik; dan transaksi online. Beberapa realisasinya sudah terlihat, salah satunya dalam sinergi BUMN untuk menghadirkan platform e-money terintegrasi LinkAja. Termasuk kendaraan listrik yang sudah mulai digenjot inovasinya oleh kalangan industri dan akademisi.

Untuk merealisasikan misi tersebut, dibutuhkan kesiapan di banyak hal. Salah satu yang sekarang menjadi isu adalah mengenai sumber daya manusia dengan kompetensi teknologi yang memadai. Keluhan ini hampir dirasakan oleh seluruh industri yang tengah bergerak ke arah digital. Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung menyebutkan, di lanskap e-commerce saja saat ini kebutuhan engineer mencapai ratusan ribu orang dan baru terpenuhi sekitar 60%. Rata-rata perusahaan seperti e-commerce memiliki porsi pegawai 50-60% dari kalangan engineer.

Dari perspektif industri jawabannya sudah sangat lugas. Mereka sangat haus dengan talenta di bidang teknologi. Lantas bagaimana sektor akademik berpendapat tentang fenomena itu? Beberapa waktu yang lalu DailySocial pernah melakukan wawancara dengan beberapa dosen dari universitas yang menghasilkan lulusan di bidang teknologi. Salah satunya Romi Satrio Wahono, dosen di beberapa universitas TI di Indonesia dan Founder Brainmatics. Ia berpendapat mahasiswa harus diajak untuk menjadi proaktif.

Kurikulum yang dikembangkan universitas dapat menjadi pendorong untuk mengajak para mahasiswa dapat terhubung dengan praktisi, komunitas, atau bahan ajar yang terbuka di internet.

Automasi dan masa depan industri

Saya masih ingat cerita startup e-commerce Sale Stock (kini Sorabel) di tahun 2016. Mereka dikabarkan melakukan layoff terhadap lebih dari 200 karyawan. Salah satu penyebabnya: perusahaan mulai mengganti layanan pelanggan (customer services) dengan sistem berbasis chatbot. Dengan teknologi seperti machine learning dan natural language processing, sebuah mesin robot dapat didesain untuk mampu memahami dan menjawab pesan yang dikirimkan oleh pelanggan.

Jika berbicara tentang penerapan teknologi robotika atau IoT, bukan tidak mungkin jika pekerjaan-pekerjaan yang biasa dilakukan dengan tangan manusia akan digantikan perannya. Jika ditanya siapa korban-korban automasi, manusia (pekerja/buruh) bisa saja menjadi salah satunya.

Sebagai praktisi pengembang teknologi, CEO dan CTO GDP Labs On Lee berpendapat, secara umum digitalisasi memiliki lebih banyak dampak positif untuk menunjang kehidupan dan pekerjaan. Semuanya bertumbuh secara alami layaknya perkembangan yang pernah dirasakan sebelumnya.

“Terobosan dalam kecerdasan buatan mengikuti pola yang mirip dengan penetrasi PC, internet, evolusi ponsel pintar, dan lain-lain; semua dimulai dari tujuan khusus, akhirnya menjadi komoditas yang lebih umum. Khusus untuk kecerdasan buatan, penerapannya telah membuat dampak signifikan di beberapa area, seperti kesehatan, permainan, fintech, pemasaran, media, perdagangan dan lainnya selama 10 tahun terakhir.”

Ia juga memaparkan, “digitalisasi yang ideal dapat meningkatkan taraf kehidupan. Manusia dapat memanfaatkan mesin seperti layaknya sistem transportasi.”

Untuk mencapai titik ideal tersebut, tidak ada cara lain selain harus mempelajari teknologi baru secara kontinu, sehingga bisa memahami, menghargai, dan memanfaatkan untuk melahirkan solusi. Perusahaan perlu berinvestasi pada karyawan dengan memberikan pelatihan. Termasuk pemerintah juga perlu membuat kebijakan yang memungkinkan teknologi baru untuk dielaborasikan di banyak sektor.

Penyelarasan revolusi industri 4.0

Di sektor lain, perbankan misalnya, digitalisasi juga mulai memberikan dampak nyata. Menurut pemaparan Deputi Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Institute Sukarela Batunanggar, pergeseran minat konsumen ke digital banking membuat kurang lebih 1000 cabang bank tutup dalam tiga tahun terakhir. Jumlah kantor cabang bank mengalami penurunan 3%. Tutupnya cabang bank artinya mengurangi jumlah karyawan yang perlu dialokasikan, sementara menurunnya pertumbuhan cabang bank mengurangi potensi penyerapan tenaga kerja.

Tren seperti ini dipastikan akan terus berlanjut di lintas sektor. Sebelum menghasilkan kesenjangan lebih masif, mdiperlukan strategi penyelarasan antara perkembangan digital dengan kapabilitas sumber daya manusia. Secara prinsip, ketika ada jenis pekerjaan yang mulai menghilang, akan ada pekerjaan baru yang muncul. Sebagai contoh, berbicara 10-15 tahun lalu, belum marak pekerjaan seperti data scientist, AI bot trainer, UX researcher, bahkan social media manager.

Perkembangan teknologi tidak bisa direm, sehingga dari sisi penyiapan sumber daya manusianya yang harus lebih adaptif. Institusi akademik harus mampu secara cepat menyesuaikan kurikulum pengajaran sesuai dengan kebutuhan industri. Sekolah kejuruan perlu mulai mengganti konsentrasi baru dari jurusan-jurusan yang ada untuk mengimbangi transformasi digital yang terus digencarkan perusahaan.

Peran pemerintah juga menjadi sangat sentral menjadi “komposer”, yakni memastikan semua komponen turut serta dalam penyelarasan tersebut. Ketika akademisi sudah mulai berbenah, pemerintah perlu mendorong sektor industri untuk membuka peluang selebar-lebarnya untuk terjalinnya kolaborasi, guna memastikan relevansi mengenai materi-materi yang diajarkan dengan berbagai cara, mulai dari peluang magang hingga alokasi dana CSR.

Selain itu investasi dalam riset dan pengembangan perlu menjadi agenda serius. Tidak melulu soal anggaran, lebih kepada bagaimana regulasi mengatur agar semua dapat berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Pusat riset dan teknologi penting untuk dimiliki. Dampaknya memang bukan di jangka pendek, melainkan pada kesiapan dan antisipasi untuk perubahan-perubahan yang akan terjadi di masa mendatang.

Payung regulasi

Seperti layaknya kegiatan ekonomi yang sudah terjadi, ekonomi digital juga terdiri dari aspek mikro, makro, perdagangan dan finansial. Untuk memastikan adanya keseimbangan dan sinergi, maka dibutuhkan perangkat hukum yang tepat. Dari sisi ekonomi, sejauh ini pelaku ekonomi digital berkiblat pada beberapa aturan, mulai dari UU No 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, UU No 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, dan UU No 20 Tahun 2008 tentang UMKM dan Lembaga Pembiayaan.

Slide3

Di sisi teknologi, bisnis mengacu pada UU No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi, UU No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan PP 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.

Masih ada pekerjaan rumah di sisi regulasi, misalnya terkait aspek privasi data, kekayaan intelektual, dan perpajakan yang masih perlu banyak disesuaikan.

Di sisi ketenagakerjaan, pemerintah melalui Menteri Tenaga Kerja tengah mempersiapkan penyempurnaan UU No 13 Tahun 2003. Dari kajian yang sudah dijalankan, salah satu fokus yang akan dirangkum adalah mengenai kompetensi dan produktivitas tenaga kerja. Salah satu realisasinya ada pada program pelatihan menyesuaikan bidang industri yang digeluti.

Tanpa peningkatan skill, mustahil seorang buruh bisa terus menerus bertahan mengerjakan pekerjaan repetitif yang memiliki potensi besar digantikan digitalisasi dan automasi di masa mendatang.

Bagaimana Perbankan Indonesia Melihat Disrupsi Digital

Lembaga riset PwC merilis laporan survei bertajuk “Digital Banking in Indonesia 2018”. Survei tersebut dilakukan pada 43 institusi perbankan di Indonesia melibatkan 52 responden yang terdiri dari kalangan CEO, Vice CEO, C-Level dan pemegang kendali strategis bank lainnya. Secara garis besar, survei ini ingin menangkap tentang kepedulian perbankan di Indonesia dengan strategi digital guna menangkap peluang konsumen dan mengimbangi disrupsi teknologi yang tengah mengguncang dunia.

Umumnya strategi digital dielaborasikan ke dalam lini strategi lain yang sudah ada sebelumnya. Di perbankan Indonesia, kebanyakan dari responden (66%) menjawab bahwa strategi digital ditempatkan ke dalam bagian strategi korporasi. Respons tersebut dinilai menunjukkan arah baik, yakni penerimaan strategi digital sebagai strategi bisnis, bukan semata-mata inisiatif teknologi informasi.

Penempatan strategi digital di dalam perbankan / PwC
Penempatan strategi digital di dalam perbankan / PwC

Indikasinya, bank-bank besar telah memulai perjalanan transformasi digital terlebih dulu. Namun survei juga masih menemukan tantangan dalam mengembangkan pandangan umum tentang strategi digital. Tim produk, tim pelayanan, tim teknologi, dan tim digital khusus menciptakan strategi digital mereka sendiri-sendiri.

Fokus strategi digital

Sektor konsumen (90%) yang selama ini dipandang sebagai benteng stabilitas perbankan justru mendominasi jawaban terkait fokus strategi digital yang akan digulirkan perbankan. Pun demikian dengan segmentasi yang disasar, kalangan umum menjadi prioritas terbesar (70%). Pada responden menyatakan bahwa ada indikasi area tersebut akan mulai terganggu pemain fintech dalam kurun lima waktu mendatang, sehingga strategi digital yang digulirkan harus memastikan layanan bank akan tetap relevan di masa itu.

Fokus implementasi strategi digital dalam perbankan / PwC
Fokus implementasi strategi digital dalam perbankan / PwC

Dalam praktiknya masih banyak kalangan pelanggan yang lebih memilih interaksi langsung (dengan manusia) dengan proses bisnis yang sudah ada tatkala berurusan dengan finansial, namun pendekatan digital memang menjadi layak diprioritaskan untuk memastikan perbankan mampu bersaing di semua segmen konsumen. Melalui teknologi, fintech memberikan akses 24/7 terhadap layanan yang disediakan. Mereka mencoba untuk menjadi layanan yang konsumen-sentris.

Temuan menarik lainnya dari responden survei, penerapan strategi digital yang sudah banyak diusung saat ini ialah untuk memfasilitasi layanan pelanggan (82%). Saat ini perbankan mulai aktif di media sosial menjawab berbagai keluhan atau pertanyaan dari pelanggan. Di lain sisi mulai ada perbankan yang mulai mengembangkan layanan berbasis chatbot sehingga dapat memberikan otomasi selama 24/7 dalam pelayanan pelanggan.

Bentuk layanan yang disasar dengan strategi digital perbankan / PwC
Bentuk layanan yang disasar dengan strategi digital perbankan / PwC

Akuisisi pelanggan juga menjadi hal yang dianggap penting (68%), mereka memanfaatkan inovasi digital untuk menggiring konsumen baru, menghadirkan pembeda dengan layanan dari institusi lain.

Strategi digital dikontrol CIO/CTO

Sekitar 64% responden percaya lingkungan teknologi informasi yang ada di perusahaan saat ini sudah cukup efektif mendukung strategi digital yang ada. Implikasinya persentase paling besar terkait kepemimpinan strategi digital dipikul CIO/CTO (36%), sebagai kepala unit teknologi di perusahaan. Peran mereka dianggap penting, pasalnya transformasi digital dalam perbankan dianggap akan berhasil jika telah diawali dengan transformasi di lingkungan perusahaan itu sendiri.

Tulang punggung strategi digital dalam perbankan / PwC
Tulang punggung strategi digital dalam perbankan / PwC

Kendati demikian ada beberapa hal yang menjadi tantangan organisasi dalam proses pengembangan perangkat lunak untuk mendukung transformasi digital. Beberapa yang umum dikeluhkan misalnya soal “Time to Market” cenderung lama atau terlambat sehingga menghilangkan beberapa fitur penting. Selain itu “Development Agility” juga menjadi hambatan lain, menjadikan perusahaan tidak bisa secara cepat memenuhi permintaan pasar. Faktor “Usability and Interoperabillity” turut masuk ke dalamnya, padahal ini menjadi salah satu landasan penting dalam mengikuti inovasi teknologi.

Beberapa faktor di atas ternyata juga berkorelasi pada kekhawatiran akan risiko yang terjadi dalam transformasi digital perbankan. Persentase terbesar menghawatirkan jaminan keamanan sistem (48%), sebagian besarnya lagi menghawatirkan ketersediaan talenta untuk menopang kebutuhan strategi digital tersebut (38%), dan dinamika teknologi yang sangat cepat turut menimbulkan kekhawatiran (34%) di tengah persaingan antar bisnis yang makin ketat.

Kekhawatiran perbankan dengan pendekatan digital ke depannya / PwC
Kekhawatiran perbankan dengan pendekatan digital ke depannya / PwC

Mendorong strategi digital

Esensi dari layanan bank tidak pernah berubah, digitalisasi layanan mengarahkan agar prosesnya menjadi lebih efektif memanfaatkan perangkat komputasi yang dimiliki pengguna. Pemain fintech dari menawarkan kemudahan dengan aspek digital tersebut, membuat perbankan tidak mau berdiam diri. Dari survei pun dikemukakan, bahwa inovasi platform digital perbankan menjadi yang paling digencarkan (90%). Kemudian yang kedua justru pada analisis big data (78%).

Aset terbesar bank adalah pada basis data pengguna yang sudah sangat besar. Digitalisasi yang sudah dimulai mengonversi pencatatan data manual ke sistem komputer. Data besar tersebut kini disadari dapat menjadi sebuah investasi dalam penyusunan strategi, sehingga platform berbasis analisis dinilai menjadi urgensi bank untuk dikembangkan. Tujuannya untuk menemukan tren yang dihimpun langsung dari basis nasabah perbankan itu sendiri, dikenal dengan istilah “Know Your Customer”.

Produk digital yang menjadi prioritas pengembangan / PwC
Produk digital yang menjadi prioritas pengembangan / PwC

Yang tak kalah menarik justru keterbukaan perusahaan terhadap teknologi baru. Dalam visualisasi persentase di atas, Artificial Intelligence dan Blockchain memiliki porsi cukup, dua pendekatan teknologi dini digadang-gadang akan banyak merevolusi sektor keuangan dalam beberapa waktu ke depan.

Persaingan dengan pemain fintech

Tidak dimungkiri bahwa fintech mulai mendapatkan porsi konsumen yang besar. Sehingga tidak mengherankan perkembangannya cukup memberikan kekhawatiran kepada bisnis perbankan. Dari hasil survei PwC, kebanyakan responden memberikan jawaban terkait pemain mana yang mulai banyak mempengaruhi sektor keuangan. Jawaban terbesar ialah GO-PAY, disusun Alibaba (AliPay), Grab, hingga Tokopedia. Keunggulan masing-masing platform yang disebutkan tadi selain mereka memiliki fitur finansial digital, mereka juga memiliki komoditas layanan dan produk yang sehari-hari dapat dipakai oleh konsumen.

Pemain fintech yang dianggap mulai mengganggu sektor perbankan / PwC
Pemain fintech yang dianggap mulai mengganggu sektor perbankan / PwC

Indonesia tengah mengalami booming e-commerce dan fintech. Memanfaatkan teknologi, mereka dapat berlari kencang melakukan akuisisi pengguna dan mempelajari tren kebutuhan yang ada. GO-JEK misalnya, dari basis data awal konsumen transportasi on-demand kini mulai berkembang dengan pelayanan lain. Belum lagi sektor lain, termasuk ritel, telekomunikasi, hingga perusahaan teknologi yang mulai melirik potensi pemanfaatan teknologi keuangan.

Empat Kesalahan Strategi Akibat Mispersepsi Istilah “Digital Disruption”

“Era digital sudah datang dan bergerak cepat”; “Tidak ada industri yang kebal terhadap gangguan digital”; “Satu hal yang pasti dari transformasi digital adalah ada perubahan besar bagi perusahaan dari semua sisi”; “Era digital akan mengganggu industri Anda.”

Pernyataan di atas acap kali menghiasi judul berita di berbagai media dan buku bisnis, bahwa digital akan mengganggu bisnis sekaligus hidup Anda. Mengenai hal tersebut, seorang profesor dari London Business School, Freek Vermeulen, mengatakan dirinya tidak sepenuhnya setuju.

Menurutnya, sangat naif untuk mengganggap tidak ada bisnis yang perlu berubah, meski ada beberapa pihak yang berkeyakinan perubahan akibat teknologi bakal terjadi, seperti diucapkan oleh pembicara konferensi, guru, dan konsultan. Vermeulen menganggap mereka keliru dalam menerjemahkan istilah ‘digital disruption’.

Dalam kebanyakan “bisnis normal,” dampak dari digital akan berbeda dibandingkan perusahaan digital raksasa seperti Amazon, Google, dan Facebook. Berikut ini menurut Vermeulen empat kesalahan strategi yang harus di waspadai dari mispersepsi istilah ‘digital disruption’:

1. Efek jaringan, pemenang tidak selalu menang dari segala sisi

Kesalahpahaman umum yang terus terjadi dalam dunia digital adalah pemahaman mengenai konsep “the winner takes all.” Banyak model bisnis yang secara ekstensif menggunakan teknologi digital dalam semua jenis jaringan yang dimiliki. Artinya, lebih banyak pengguna dan penyedia konten yang mendaftar di tempat Anda, semakin baik kerja dari model bisnis tersebut.

Ketika orang berduyun-duyun mendaftarkan diri ke Facebook, ini terjadi karena sebagian besar keluarganya sudah melakukan hal yang sama sebelumnya. Dengan demikian memungkinkan Facebook dapat menghimpun banyak data tentang diri Anda, bertujuan untuk menarik pengiklan.

Efek dari jaringan ini, kemudian beralih jadi “the winner takes all properties” bahwa jaringan terbesar akan menang, mengalahkan kompetitornya seperti MySpace dan Google+.

Akan tetapi, jaringan yang besar juga tidak selalu menjamin eksklusif. Saat Anda memesan taksi online di Singapura, paling tidak setiap pengemudi memiliki dua ponsel dengan berbeda jaringan data. Dia akan memilih pemesanan dari aplikasi mana yang paling cepat datang dan akan mematikan ponsel satunya lagi ketika sudah dapat pesanan.

Konsep “the winner takes all” tidak selalu pasti mengarah hanya ke pemenang saja agar dapat menguasai semua pasar. Kadang benar kadang tidak, tapi yang pasti setidaknya ada beberapa jaringan dengan spesifik pasar yang lebih mudah mempertahankan konsumennya.

2. Komplementer bukanlah substitusi

Kesalahpahaman kedua adalah teknologi baru pasti akan menggantikan teknologi lama karena sudah usang. Meski sudah ada fakta terjadi di lapangan mengenai pergantian dari mesin faks menjadi email, disket menggantikan flashdisk, dan Encyclopaedia Britannica menggantikan Wikipedia.

Namun, konsep pemikiran ini tidak berlaku bagi dunia industri terhadap digital. Digital selalu akan menawarkan suatu hal yang bersifat komplementer, bukan sebagai substitusi.

Vermeulen bilang, coba Anda bandingkan penggunaan teknologi di dunia pendidikan. Banyak pihak yang mengklaim pembelajaran secara online akan membuat kuliah tatap muka jadi usang, bahwa perguruan tinggi fisik akan digeser oleh universitas online.

Model bisnis dan keunggulan kompetitif adalah sistem yang kompleks. Ada beberapa elemen yang nyata dan tidak nyata, dapat berinteraksi dengan satu sama lain. Artinya, butuh kombinasi yang bisa membuat kedua hal jadi bekerja. Unsur digital hanya akan menambahkan satu faktor baru ke dalam campuran atau mengganti satu elemen, tidak mengganti semuanya.

Berarti, di dunia bisnis manapun, teknologi digital akan melengkapi dan menambahkan kemampuan dari suatu unsur yang sudah ada sebelumnya. Oleh karena itu, ketika membuat strategi harus fokus pada identifikasi unsur komplementer, bukan berasumsi.

3. Letak geografis masih berpengaruh

Kesalahpahaman umum yang ketiga adalah asumsi mengenai teknologi digital telah menghilangkan relevansi karena secara geografis kini semua orang bisa berkomunikasi secara instan di mana saja di seluruh dunia. Vermeulen berpendapat, kedekatan itu masih penting namun banyak yang tidak menyadarinya karena sekarang orang jadi meremehkan nilai dari berkomunikasi tatap muka.

Dalam dunia konsultasi bisnis, misalnya McKinsey. Bisnis mereka tergolong cukup stabil dan homogen selama beberapa dekade, mencocokkan konsultan dengan klien. Kini di dunia digital, sudah ada platform bisnis konsultan online. Hanya saja, masih belum dapat traksi yang memuaskan karena mereka meremehkan unsur terpenting, yakni komunikasi tatap muka.

Padahal dalam dunia konsultasi, perlu kemampuan untuk membaca emosi klien, niat, dan kepribadian diri. Tujuannya bukan hanya untuk mengukur bagaimana konsultan bekerja dengan klien, tapi juga untuk mencari kecocokan.

Salah satu contoh perusahaan konsultan yang sukses mengadopsi teknologi digital dengan tepat adalah Eden McCallum. Mereka mengembangkan modal bisnis berdasarkan konsultan freelance, tidak mengandalkan big data. Mereka memutuskan untuk tidak terlalu bergantung pada digital, dengan tetap berinvestasi di sekolah konsultan ternama.

Eden McCallum menunjukkan tidak semua gangguan harus digitalisasikan. Teknologi digital lebih memungkinkan untuk membuat kemajuan dalam industri dan bagian dari rantai industri, di mana interaksi tatap muka kurang relevan.

4. Digital tidak harus selalu diadopsi dengan cepat

Salah satu karakteristik dari era digital adalah orang-orang terus mengatakan perubahan yang cepat. Karena dunia berubah begitu cepat, perusahaan juga harus cepat berubah. Pernyataan ini menurut Vermeulen cukup meragukan.

Menurut dia, dalam mengadopsi teknologi digital terkadang lebih baik untuk menghadapi perubahan secara kontekstual dan berubah secara perlahan-lahan. Jika perusahaan Anda berada di lingkungan yang mudah menerima teknologi baru namun cepat berlalu, sebaiknya Anda perlu memperlambat dan lebih selektif. Mengingat selalu terjadinya ketidakpastian di pasar dan mengurangi potensi terjadinya bumerang saat mengadopsi teknologi digital yang baru.

Pada akhirnya, digital mengubah ‘nature‘ keunggulan kompetitif di berbagai lini bisnis. Namun perubahan tidak akan seragam di semua industri. Teknologi digital jadi faktor yang paling mempengaruhi pendekatan bisnis yang berbeda, namun jangan sampai digital jadi bumerang bagi bisnis Anda di masa mendatang.

ASEAN Property Giants Buy Insurance Against Digital Disruption

We live in a digitally disrupted world where the best business ideas coupled with great execution can reorder the existing world order. If you need some convincing, think of what is happening to the hotel industry. It used to have that you have to develop a piece of land before you can rent out your rooms on a daily and large scale basis.

Proven Formula

Today, anyone that has a spare room can form their own boutique hotel with AirBnB. AirBnB disrupted the traditional hotel industry and forced them to lower their rents and improve their services to compete with the sudden supply of short stay hotel rooms.

For the past decade, established companies had been ambushed by technology startups that dared to be different. At the mid point of this decade, we are seeing a reversal of trends. There is a saying, ‘If you can’t beat them, join them.’

The success AirBnBs, Ubers and Lazadas of the world had proven that technology startups provide a strong formula for success. This is provided that you can find the right startup. In Singapore, Temasek linked companies are partnering with Microsoft to find the next startup that would shine in this disruptive environment.

Win-Win Situation

If these technology start-ups can prove themselves to be worthy of creating the next disruption, established companies such as Ascendas and Capitaland would invest in them. So instead of having to raise funds with business loans, these startups can give out equity instead.

Capitaland is the largest listed developer in Southeast Asia with properties in Indonesia, Singapore, Vietnam and Malaysia. It had also developed a significant presence in China. While Capitaland is more focused on malls and residential areas, Ascendas is in the business of developing entire townships, industrial parks and mixed used developments with its Singbridge partnership. It has a presence in 29 Asian cities with private funds focused on ASEAN, Korea, China, and India.

Beside the financing advantage, startups can also access the network and mentorship of these successful competitors. They wouldn’t have to employ SEO consultants to rank them highly on Google to be noticed by their clients or future investors. These companies can be their clients and investors. In addition, they can vouch for the successful startups, which can lend them more clients and investors.

If you think of it, this is a win-win situation where both the startups and established companies. If these startups were to disrupt their industry, they know who to buy over wholesale.

Conclusion

After all, it is relatively easy to engage a web developer to create your web presence. The hard part is to create your product that would attract the critical mass of users to make it a success. The startup would do the heavy lifting and the established companies reap the benefits and insure themselves against digital disruption.


Disclosure: This article is contributed by Ong Kai Kiat. He is a professional freelance writer who enjoys the process of discovering and collating new trends and insights for an article. He adds value to society through his articles especially those related to finance and technology. He is reachable at [email protected]