Solo Technopark dan SolutionLabs Buat Program untuk Ekosistem Startup dan UMKM

Solo Technopark dan SolutionsLab meluncurkan program bersama untuk mendukung UMKM, startup, dan bakat lokal di Solo, bernama SISTEM. SISTEM merupakan kepanjangan dari Solo Initiative for Science Technology & Entrepreneurship Ecosystem.

Managing Director SolutionLabs Pranowo Sukantyoso Putro menyampaikan, SISTEM didesain untuk menumbuhkan talenta digital, mengakselerasi pertumbuhan startup dan komunitas UMKM di wilayah Solo Raya, serta Jawa Tengah. Program ini menyasar talenta digital, startup, dan UMKM.

“Program yang kami susun, antara lain pelatihan kewirausahaan, bootcamp untuk developer pemula, mentoring, dan business matching bagi startup teknologi,” ucapnya dalam keterangan resmi.

Peluncuran SISTEM ini turut dihadiri oleh Yudit Cahyantoro selaku Pemimpin BLUD UPTD Kawasan Sains dan Teknologi Solo Technopark. Dia menyampaikan, “Kami sangat antusias melihat sinergi antara Solo Technopark dan SolutionLabs. Program ini akan menjadi pendorong signifikan bagi UMKM dan startup lokal, juga memberikan dukungan untuk mengembangkan bakat di Surakarta.”

Dalam peluncuran ini dilanjutkan dengan sesi Capacity Building dipandu oleh praktisi dari lintas industri, seperti Rifal Afandi (Tribe MSIB Solo Technopark), Abednego Danu Setyawan (Kepala Divisi Riset dan Inkubator) dan diskusi panel dengan Aira (Founder Needs), Saga Iqranegara (Ketua Umum Asosiasi Digital Kreatif), dan Totok (praktisi legal).

“Kami mengundang seluruh stakeholder ekosistem digital untuk di Solo Raya dan Jawa Tengah untuk ikut mensukseskan program SISTEM ini,” tambah Saga Iqranegara mewakili Asosiasi Digital Kreatif (ADITIF).

Pihaknya berharap SISTEM dapat menjadi solusi konkret untuk mendukung perkembangan UMKM dan startup, sembari membuka peluang bagi bakat lokal dapat mengambil posisi penting di ekosistem digital. Ke depannya, program SISTEM akan diperluas lewat berbagai kolaborasi yang akan terus digenjot.

Solo Technopark

Sebagai catatan, Solo Technopark dulunya bernama Solo Competency Training Center (SCTC) yang sudah hadir sejak 2009. Program awalnya ingin meningkatkan keterampilan lulusan SMK dengan pelatihan dalam berbagai bidang manufaktur.

Sejak revitalisasi yang diresmikan pada 6 Februari 2023, kini merupakan rumah dari inovasi dan teknologi melalui kolaborasi strategis. Selama setahun terakhir, berbagai fasilitas dihadirkan hasil dari kolaborasi dengan berbagai perusahaan teknologi global, seperti Shopee yang menghadirkan Shopee Solo Creative & Innovation Hub.

Kemudian, Garena dengan Gaming & Community Hub, GoTo yang menghadirkan UMKM Center, ACER yang menghadirkan Game Working Space pertama di Indonesia, Bank Mandiri dengan Digital Box untuk melayani pelanggan secara branchless dan Mandiri Digipreneur Hub, serta dukungan dari SKK Migas dengan KKKS di Indonesia membentuk Oil and Gas Skill Centre of Indonesia (OGSCI).

Di area revitalisasi seluas 8,9 hektar ini, demi menunjang fungsi Kawasan Sains dan Teknologi Solo Technopark, masyarakat umum dapat berkunjung dan menggunakan seluruh fasilitas baru yang tersedia secara gratis, meliputi:

  • Boulevard Air Mancur: area komunal terbuka dengan air mancur yang dapat dimanfaatkan warga Solo untuk berkumpul dan bersosialisasi,
  • Lapangan Futsal dan Basket: fasilitas bersama untuk berolahraga,
  • Gedung Gumarang: beroperasi sebagai gedung kantor perusahaan teknologi Shopee,
  • Gedung Sembrani: sebagai pusat riset dan pengembangan dengan fokus inovasi teknologi (Tech-Hub).

Peran CVC dalam Pengembangan Ekosistem Teknologi Digital

Empat sampai lima tahun yang lalu, corporate venture capital (CVC) adalah satu fenomena yang terhitung baru di kancah startup Indonesia, di mana banyak korporasi dalam negeri yang mulai masuk ke ranah pendanaan bisnis digital. Menilik iklimnya di luar Indonesia kala itu, bentuk venture capital yang satu ini terlihat telah lebih dulu menjadi tren progresif.

Tren tersebut bisa dilihat dari angka pertumbuhan yang positif secara global. Menurut data CB Insights, kontribusi CVC dalam ekosistem investasi venture capital (VC) secara global selalu meningkat; terlihat dari jumlah partisipasi CVC dalam seluruh pendanaan VC sebanyak 16% pada 2013 dan 23% pada 2018. Juga, tren keaktifan pendanaan CVC meningkat 47% dari tahun 2017 ke 2018.

Angka di atas menunjukkan daya dan upaya CVC untuk terus meningkatkan kesehatan ekosistem bisnis teknologi, yang juga tentunya sejalan dengan tujuan CVC untuk menghubungkan inovasi terbaik dengan bisnis dan akses pasar dari perusahaan induk. Dengan demikian, penting untuk menilik lebih lanjut bagaimana profil dan potensi dari perusahaan induk kemudian dapat berkontribusi ke startup melalui CVC, khususnya korporasi besar dengan CVC yang masih terbilang hijau.

Salah satunya adalah PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (Bank BRI) yang di kuartal tiga 2019 ini meluncurkan CVC mereka BRI Ventures. CEO BRI Ventures Nicko Widjaja menyebutkan bahwa meski BRI Ventures terhitung baru dalam penjelajahan di wilayah investasi dunia digital–dengan bekal tim subur pengalaman dan wawasan–namun ia yakin bahwa kecepatan eksekusi adalah cara terbaik untuk dapat memberi dampak pada inovasi terbaik. Lantas, bagaimana langkah taktis BRI Ventures sebagai CVC yang tergolong baru untuk dapat ikut serta mengembangkan ekosistem startup?

Visi CVC pada investasi di bisnis digital

Seperti yang disebutkan di awal artikel, masuknya korporasi dalam bentuk CVC ke dalam kolam bisnis inovasi digital menjadi perbincangan kurang lebih setengah dekade ke belakang. BRI Ventures saat ini jelas tampak masih muda ketika memasuki rimba startup dan teknologi, apalagi dengan perusahaan induk yang termasuk terbesar dan tertua di industri.

Menyambung apa yang disebutkan Nicko terkait keberadaan BRI Ventures di industri, Markus Liman Rahardja, VP Investor Relation and Strategy BRI Ventures, sama sekali tidak keberatan jika harus injak pedal sedalam-dalamnya untuk maju mempercepat pembaruan bagi Bank BRI.

“Karena BRI Ventures ada untuk mengakselerasi inovasi dari luar (Bank BRI) dan mengerjakan hal-hal yang tidak bisa dijalankan di dalam (Bank BRI). BRI Ventures akan mengambil peran sebagai penghubung inovasi, di mana nanti inovasinya bisa dari Bank BRI atau startup terkait, agar kita semua selalu siap menghadapi industri ini yang memang secara alami terus berubah,” tegas Markus.

Secara brand image, BRI Ventures boleh jadi dinilai baru, namun individu-individu di baliknya adalah para veteran di sektor digital, inovasi, dan teknologi. Selain Nicko, Markus, dan VP Investment BRI Ventures William Gozali yang memang sudah lebih banyak mengenyam pengalaman di industri (baik dari perspektif sebagai founder maupun VC), BRI Ventures juga diotaki oleh sang founder Indra Utoyo, Direktur Digital, Teknologi Informasi dan Operasi Bank BRI, yang juga dikenal sudah lama dalam pengambilan keputusan strategis di korporasi dalam fokus inovasi teknologi dan kolaborasi.

Bersama figur-figur tersebut di dalam tim utama, BRI Ventures mengambil peran sebagai CVC yang membangun ekosistem digital secara menyeluruh. Keberadaan Bank BRI sebagai perusahaan induk tentu mengundang asumsi di awal bahwa dukungan BRI Ventures lebih fokus pada industri finansial (secara spesifik fintech).

“Kami akan masuk tidak hanya di industri keuangan, tapi juga ke emerging ecosystem lainnya, tentu dengan melihat inovasi digital yang mempunyai nilai besar. Hanya saja, kami berharap value-nya benar-benar nyata, bukan angka-angka dan cerita-cerita karangan. Real people, real work, real customers, and relevant value propositions,” ujar Markus.

CVC secara umum pasti menginginkan keterhubungan dengan bisnis utama grup. Bank BRI dengan BRI Ventures tentu punya ekspektasi serupa, dengan nilai inovasi tinggi yang mencakup berbagai sektor industri digital. “BRI ‘kan saat ini menjadi solusi finansial yang terintegrasi. BRI Ventures ingin menjadi ekosistem digital yang terintegrasi,” terang William memperkuat penuturan Markus terkait visi BRI Ventures.

CVC untuk ekosistem digital Indonesia

Berjalan bersama raksasa jasa keuangan di Indonesia yang terhitung tua tetap membuat BRI Ventures bergerak leluasa dalam menjalin komitmen dengan ekosistem teknologi, dengan dua fungsi yang menjadi payung utama dalam kolaborasi, yakni fungsi Digital Center of Excellence (DCE) untuk kolaborasi dengan fintech dan fungsi Kerja Sama Teknologi (KJT) untuk kolaborasi dengan non-fintech.

“Jadi kalau ditanya sejauh mana kolaborasinya, paling sedikit kami punya komitmen dengan memiliki tim yang spesifik, yang memang tugasnya untuk melakukan kolaborasi dengan bank. Di era sekarang, tidak semua bisa dijalankan sendiri,” ujar Markus.

Kasus nyata kolaborasi Bank BRI dengan ekosistem teknologi yang dipimpin langsung oleh Markus ialah Indonesia Mall. Kolaborasi yang diluncurkan pada April 2018 ini adalah program kerja sama antara Bank BRI dengan beberapa e-commerce terkemuka di Indonesia (Tokopedia, Bukalapak, Shopee, Blibli, dan Blanja) dalam membuat official online store dari produk UMKM terpilih.

“Kami tidak punya sumber daya berupa keahlian, logistik, dan kapital dari sisi e-commerce. Makanya, dibanding membuat e-commerce sendiri, kami lebih memilih kolaborasi. Kita eksekusi hal-hal yang bisa kita kolaborasikan untuk mengakselerasi inovasi dan akan dipikirkan bentuk kerja samanya,” tutur Markus.

Komitmen Bank BRI terhadap kolaborasi yang direncanakan oleh BRI Ventures terlihat dari pendanaan senilai $250 juta seperti yang pernah disebutkan. Dengan sumber daya setara Rp3,5 triliun tersebut, fokus terdekat BRI Ventures adalah untuk menata portofolio, terutama untuk merangkul ekosistem di luar fintech.

“Ekosistem ini antara lain agriculture, maritim, kesehatan, pendidikan, tourism & travel, transportasi, industri kreatif, dan retail. Kami oportunis secara jumlah, jadi kami tidak mengincar harus berapa deal,” terang William.

Fokus kolaborasi BRI Ventures saat ini adalah di tahap growth stage, di mana startup yang mereka incar adalah mereka yang sudah memiliki produk dan model bisnis. “Kami sudah ada penjajakan dengan sejumlah startup. Cuma pengumumannya tidak bisa langsung. Sampai akhir tahun baru LinkAja yang sudah diumumkan. Sebetulnya ada beberapa startup lagi yang sedang kami evaluasi. Tahun ini, kami dalam tahap akhir di 4-6 startup, untuk detailnya akan kami umumkan di waktu yang lebih tepat,” sambung William.

Disclosure: Artikel ini adalah konten bersponsor yang didukung oleh BRI Ventures.

Laporan DailySocial: Startup Report 2018

Dinamika startup digital Indonesia sangat menarik diikuti. Pasalnya saat ini berbagai layanan yang dihasilkan startup sudah menjadi bagian dari keseharian kiat. Sebut saja aplikasi untuk memesan jasa transportasi, layanan jual-beli, pendidikan, finansial hingga hiburan; semua diakomodasi dengan baik oleh para pemain startup.

Sebagai media yang berkonsentrasi meliput perkembangan startup Indonesia, DailySocial merilis laporan riset bertajuk “Startup Report 2018”, merangkum berbagai hal yang terjadi dalam ekosistem kewirausahaan digital selama setahun terakhir.


Tidak hanya sekadar berbincang tentang para unicorn, laporan ini turut membahas banyak hal lain, di antaranya:

  1. Tren startup di tahun 2018, mengenai kategori apa saja yang paling diminati oleh para pendatang baru.
  2. Catatan pendanaan startup digital sepanjang tahun 2018, mulai dari pendanaan awal hingga tahap lanjutan.
  3. Strategi “exit” melalui IPO atau kegiatan akuisisi & penggabungan perusahaan yang melibatkan startup lokal.
  4. Analisis mengenai isu dan kesempatan yang dapat disiasati untuk ekosistem digital yang lebih berkembang.

Selain empat poin di atas, dibahas juga mengenai kondisi ekonomi digital Indonesia saat ini sebagai bagian dari pangsa pasar utama startup. Selengkapnya unduh gratis Startup Report 2018.