Bekerja Sama dengan Microsoft, DJI Ingin Terus Mematangkan Lini Drone Komersialnya

Dominasi DJI di segmen consumer drone sudah tidak perlu kita ragukan lagi. Kendati demikian, DJI masih punya sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di segmen komersial, utamanya untuk memberikan opsi kustomisasi yang lebih lengkap bagi para konsumen.

Tantangan tersebut mereka coba selesaikan dengan bekerja sama dengan Microsoft. Kemitraan ini bakal berbuah pada SDK (software development kit) untuk Windows, sehingga komunitas developer bisa mengembangkan aplikasi yang terhubung langsung ke drone DJI.

SDK tersebut menjanjikan sejumlah kapabilitas yang belum eksis sebelumnya, seperti kendali penuh atas pergerakan drone dan kemampuan mentransfer data secara real-time. Sebagai ilustrasi, drone DJI yang digunakan untuk menginspeksi infrastruktur dapat mengirimkan datanya langsung ke laptop Windows 10, di mana operator bisa langsung memonitor dan mengevaluasi hasilnya.

Di samping itu, SDK ini juga bakal menawarkan kemudahan untuk mengintegrasikan hardware ekstra buatan pihak ketiga macam sensor multispektrum maupun komponen-komponen robotik lainnya, yang secara langsung akan menambah fungsionalitas drone di lapangan.

Terakhir, kemitraan ini juga berujung pada ditetapkannya Microsoft Azure sebagai platform cloud computing pilihan DJI. DJI pada dasarnya ingin menghadirkan peningkatan pada fitur-fitur berbasis AI yang dimiliki drone besutannya, dan kiprah Azure yang sudah terbukti selama ini bakal membawa dampak positif pada hal tersebut.

Singkat cerita, seperti yang saya bilang, kemitraan ini pada dasarnya ditujukan untuk kian mematangkan lini drone komersial milik DJI. Meski begitu, tidak menutup kemungkinan bagi hasil kolaborasinya untuk turut dibawa ke segmen consumer drone. Yang paling gampang menurut saya adalah integrasi kapabilitas AI dan machine learning dari Microsoft Azure itu tadi.

Sumber: DJI.

Pakai Kostum FlyJacket, Anda Bisa Kendalikan Drone dengan Gerakan Tubuh

Mengendalikan drone itu bukan pekerjaan mudah. Ada tuas untuk mengatur ketinggiannya, untuk maju-mundur, maupun untuk mengatur arah pandangannya. Paling tidak dibutuhkan sejumlah sesi latihan sebelum kita bisa menjadi pilot drone yang cukup andal.

Itulah yang menjadi motivasi tim peneliti dari institusi asal Swiss, EPFL. Mereka mengembangkan FlyJacket, sejenis kostum yang memungkinkan penggunanya untuk mengendalikan drone hanya dengan gerakan tubuhnya saja, dibantu oleh sebuah VR headset yang meneruskan pandangan (kamera) drone secara real-time.

Cara penggunaan FlyJacket terkesan mudah. Cukup kenakan kostumnya, bentangkan kedua tangan ibarat sepasang sayap, lalu mulai kendalikan drone dengan gerakan badan, yang dimonitor oleh sejumlah sensor di dalam kostum. Miring ke belakang berarti drone akan bergerak naik, sedangkan membungkuk berarti drone bakal turun, atau menukik ke bawah untuk fixed-wing drone.

Yang lucu, penciptanya bilang bahwa penggunanya sebenarnya tidak harus membentangkan kedua tangannya, namun mereka yang mencoba prototipenya secara instingtif melakukannya ketika berpura-pura terbang – saya yakin mayoritas dari kita pun juga begitu. Membentangkan kedua tangan seperti ini memunculkan efek psikologis bahwa kita punya kontrol yang lebih lengkap atas kendali drone.

FlyJacket

Tidak cuma lebih mudah digunakan ketimbang controller drone biasa, FlyJacket juga bisa meminimalkan rasa mual yang muncul ketika memakai VR headset. Ini dikarenakan tubuh pengguna juga ikut bergerak sesuai dengan gerakan yang dilihat oleh kedua matanya, sehingga pada akhirnya semua terkesan lebih sinkron.

Untuk sekarang, EPFL masih belum berencana mengomersialkan FlyJacket. Mereka masih akan terus mematangkan teknologinya, termasuk menambahkan fungsionalitas-fungsionalitas baru. Hingga kini FlyJacket pada dasarnya baru membaca gerakan tubuh saja, belum gerakan tangan. Andai sudah diimplementasikan, gerakan tangan ini bisa diterjemahkan menjadi aspek kontrol lain pada drone, semisal untuk mengatur kecepatannya.

Satu hal yang pasti, FlyJacket dari awal didesain sebagai perangkat yang portable dan berharga terjangkau. Kita tunggu saja realisasinya ke depannya.

Sumber: IEEE.

DJI Zenmuse XT2 Adalah Kamera 4K Sekaligus Kamera Thermal untuk Drone Komersial

Perkembangan drone untuk sektor komersial sering kali luput dari perhatian publik. Padahal, eksistensinya malah lebih lama ketimbang drone untuk konsumen secara umum. Terlepas dari itu, ranah ini masih cukup menarik dibahas demi menggambarkan potensi drone secara lebih komprehensif.

Ambil contoh produk terbaru DJI, yakni Zenmuse XT2. Ia merupakan sebuah kamera thermal untuk drone. Bukan sembarang drone, tapi yang memang didedikasikan untuk kalangan profesional seperti Matrice 200 dan Matrice 600 Pro. Dalam mengerjakan XT2, DJI bekerja sama langsung dengan FLIR, yang memang sudah sangat berpengalaman di bidang thermal imaging.

Secara teknis, XT2 amatlah menjanjikan. DJI telah membekalinya dengan sensor CMOS berukuran 1/1,7 inci yang mampu menjepret foto 12 megapixel atau merekam video 4K. Di sebelahnya, bernaung modul thermal dari FLIR yang bisa mengambil heat signature dalam resolusi 640 x 512 atau 336 x 256 pixel, dengan pilihan lensa 9 mm, 13 mm, 19 mm atau 25 mm.

DJI Zenmuse XT2

Namun yang lebih menarik adalah dua fitur pintar yang telah DJI tanamkan: QuickTrack dan HeatTrack. Keduanya pada dasarnya memungkinkan pengguna untuk berfokus mengendalikan drone selagi kameranya beroperasi secara otomatis, memfokuskan pandangannya ke tengah area yang sudah ditetapkan (QuickTrack), atau ke area dengan suhu paling panas (HeatTrack).

Di saat suatu objek terdeteksi mencapai suhu di atas batas kritis, kamera dan drone juga akan langsung mengirimkan notifikasi ke pengguna. Kombinasi drone dan Zenmuse XT2 ini sangatlah ideal di tangan regu penyelamat, namun juga sangat bermanfaat untuk melakukan inspeksi infrastruktur maupun di bidang pertanian.

DJI sejauh ini belum mengungkapkan banderol harga resmi Zenmuse XT2, tapi bisa dipastikan jauh dari kata murah.

Sumber: DPReview.

Video Tangkapan Drone Parrot Kini Bisa Diedit Secara Otomatis oleh Aplikasi Pendampingnya

Berbeda dengan kondisi beberapa tahun silam, drone masa kini begitu mudah dioperasikan. Mayoritas bahkan dibekali fitur untuk mengikuti subjek secara otomatis, sehingga konsumen pada dasarnya hanya perlu mementingkan aksi atau momen yang hendak diabadikannya.

Selesai merekam, situasinya ternyata berbalik 180 derajat. Proses mengedit video masih sama susah dan sama makan waktunya seperti dulu. Hal ini memotivasi pabrikan drone asal Perancis, Parrot, untuk merancang solusi yang lebih praktis.

Buah pemikiran mereka adalah fitur Flight Director pada aplikasi FreeFlight Pro (yang bisa digunakan untuk mengoperasikan sejumlah model drone buatan Parrot). Flight Director bertugas mengedit hasil tangkapan drone secara otomatis, berbekal algoritma yang mempelajari pergerakan dan rute drone selama mengudara.

Parrot Flight Director

Yang konsumen perlu lakukan hanya sebatas menentukan durasi hasil akhirnya (sampai 3 menit), arahan videonya (kronologis, sinematik, atau yang seperti trailer film), serta memilih tema dan musik latarnya. Cara kerjanya kurang lebih sama seperti fitur QuikStories milik GoPro.

Yang mungkin agak disayangkan, fitur ini ternyata tidak gratis. Anda bisa membuat klip video berdurasi 15 detik, tapi Anda harus membayar in-app purchase terlebih dulu sebelum bisa membuat yang durasinya lebih panjang. Perihal kompatibilitas, fitur ini bisa digunakan bersama drone Parrot Bebop orisinil, Bebop 2 dan Bebop 2 Power.

Sumber: DPReview dan Parrot.

Application Information Will Show Up Here

Borneo SkyCam, Pengembang Drone Asal Pontianak

Kalimantan adalah salah satu pulau terbesar di Indonesia. Demografi wilayahnya cukup unik, selain masih banyak didominasi oleh hutan, pulau ini juga berbatasan langsung dengan negara tetangga. Medan yang menantang membuat pengawasan melalui udara menjadi lebih efektif, khususnya untuk kebutuhan militer (pengawasan perbatasan) dan pertanian (pemetaan lahan). Kondisi tersebut dilihat sebagai peluang oleh tim Borneo SkyCam, sebuah startup pengembang perangkat pengawas berbasis pesawat nirawak (drone).

Peluang selanjutnya juga dilihat dari komoditas produk drone yang ada saat ini untuk kebutuhan di Kalimantan. Jika menggunakan drone biasa, ada beberapa keterbatasan yang menjadikan prosesnya kurang efektif. Salah satunya soal kemampuan baterai yang sangat terbatas, menjadikan jam terbangnya tidak bisa lama. Untuk itu Borneo SkyCam mengembangkan drone dengan kemampuan khusus untuk pengamatan di wilayah yang luas.

Salah satu pendekatan yang dilakukan ialah baterai menggunakan panel surya –cukup menjanjikan, mengingat Kalimantan terletak di garis khatulistiwa, sehingga penyinaran matahari sangat efektif selama 12 jam. Dukungan panel surya membuat drone besutan Borneo SkyCam mampu terbang dengan jangkauan eksplorasi 4000km berkecepatan 200km/jam, dengan daya tahan baterai mencapai 16 jam.

Drone milik Borneo SkyCam

“Teknologi drone bisa dioptimalkan untuk memetakan lahan tanpa harus menelusur dengan jalur darat yang biasanya berdampak pada kerusakan hutan, karena harus membuka jalur yang belum pasti. Sampai saat ini Borneo SkyCam terus fokus kepada riset-riset pesawat nirawak dengan bahan bakar yang ramah lingkungan,” ujar Co-Founder Borneo SkyCam, Hajon Mahdy Mahmudin.

Hajon berpendapat, riset seperti inilah sangat dibutuhkan Indonesia saat ini, mengingat Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau. Dibutuhkan alat yang dapat menembus pelosok-pelosok negeri. Borneo SkyCam memanfaatkan Internet of Things (IoT) sebagai media berbagi informasi hasil penelusuran yang ditangkap.

Terutama untuk pemetaan lahan

Borneo SkyCamp didirikan Tony Eko Kurniawan, Hajon Mahdy Mahmudin, Aprianto Setya Putra, Eko Jatmiko, dan Dede Himandika sejak tahun 2012 di Pontianak. Keempatnya berlatar belakang pendidikan Teknik Elektro. Awalnya Borneo SkyCam dikembangkan karena pada saat itu drone sangat langka di Kalimantan Barat. Debut yang pernah dilakukan Borneo SkyCam ialah kerja samanya dengan program TOPDAM (Topografi Daerah Militer) milik KODAM 12 Tanjungpura dan Badan Pertanahan Nasional wilayah Kalimantan Barat. Sampai saat ini Borneo SkyCam sudah melayani permintaan layanan yang lebih luas hingga terakhir ke Papua.

Drone yang sedang dibuat Borneo SkyCam memiliki lebar 3 meter. Bahan-bahan pembuat drone saat ini 80 persen merupakan bahan lokal Indonesia dan 20 persen sisanya masih impor seperti panel surya dan motor penggerak.  Drone ini dikontrol dengan dua cara, remote control dan laptop, yang disambungkan dengan internet untuk kebutuhan pemantauan real-time. Sedangkan sistem yang dikembangkan ditujukan untuk pemancar sinyal ke pelosok, kebutuhan pemantauan, dan pemetaan.

Drone milik Borneo SkyCam

Menceritakan studi kasus pemanfaatan drone yang pernah dilakukan, Hajon berujar, “Kami dari 2012 melakukan riset dan memang sudah mengembangkan sistem pemetaan. Drone kami sudah digunakan untuk memetakan 4 bandara di NTT, pemetaan wilayah di Papua, dan pemetaan beberapa perkebunan di Kalimantan. Terakhir drone yang kami produksi juga dibeli oleh salah satu kementerian untuk digunakan pemetaan lahan.”

Selain menawarkan perangkat drone yang dikembangkan, Borneo SkyCam juga mengembangkan model bisnis melalui lembaga riset  pesawat nirawak, jasa pemetaan, dan lembaga pendidikan robotika.

Tidak Punya Controller, Drone Skydio R1 Benar-Benar Bisa Terbang dan Merekam Secara Otomatis

Mundurnya GoPro dari bisnis drone adalah bukti kebesaran DJI dalam industri tersebut. Saya yakin di luar sana ada banyak startup drone yang menyerah sebelum berperang setelah melihat kondisinya dalam setahun belakangan, tapi tidak untuk startup bernama Skydio berikut ini.

Didirikan pada tahun 2014 oleh tiga jenius jebolan MIT, dari awal Skydio sudah punya visi yang cukup ambisius. Mereka ingin menciptakan drone yang benar-benar bisa bermanuver selagi merekam video dengan sendirinya. Setelah berkutat dengan computer vision, artificial intelligence dan berbagai teknologi lainnya selama kurang lebih empat tahun, Skydio akhirnya punya satu produk yang siap dipasarkan.

Skydio R1 / Skydio

Produk tersebut adalah sebuah quadcopter bernama Skydio R1. Drone kecil ini benar-benar mengedepankan aspek pengoperasian otonom, sampai-sampai Skydio sengaja tidak merancang unit controller untuknya. Cukup dengan beberapa sentuhan pada aplikasi smartphone-nya, R1 siap mengudara dengan sendirinya sampai secepat 40 km/jam, tanpa ada input secara konstan dari pengguna.

Aplikasi ponsel itu dibutuhkan untuk menentukan mode penerbangan dan perekaman yang diinginkan pengguna, serta untuk memilih subjek yang hendak direkam dan memantau hasil rekamannya secara live. Setelahnya, R1 dapat bermanuver dengan sendirinya, menghindari berbagai rintangan yang ada selagi mengunci fokus kameranya pada subjek yang telah dipilih.

Skydio R1

Rahasianya terletak pada total 13 kamera yang ditanam di seluruh sisi R1. Informasi yang dikumpulkan kemudian diolah oleh chip Nvidia Jetson TX1, yang memang dikembangkan secara khusus untuk memaksimalkan kinerja computer vision dan machine learning. Sebagai pelengkap, Skydio membubuhkan algoritma untuk mengenali beragam objek seperti manusia, pohon atau mobil, termasuk memperhatikan detail kecil seperti warna baju.

Selama mengudara, R1 akan terus memetakan lingkungan di sekitarnya dalam wujud 3D secara real-time. Segudang informasi yang diolah juga dimanfaatkan untuk memprediksi tindakan drone selama empat detik ke depan, dan semua ini berlangsung secara konstan selama sekitar 16 menit, sebelum akhirnya baterai R1 perlu di-charge kembali.

R1 dilengkapi kamera yang dapat merekam dalam resolusi 4K 30 fps, dengan sudut pandang seluas 150 derajat. Kamera tersebut duduk di atas gimbal 2-axis, dan semua hasil rekamannya akan disimpan di dalam storage internal sebesar 64 GB. Sasisnya sendiri terbuat dari perpaduan aluminium dan serat karbon, dengan bobot tak lebih dari 1 kilogram.

Skydio R1

Sejauh ini apa yang ditawarkan Skydio terdengar menarik, akan tetapi yang mungkin bakal menjadi masalah adalah perihal harga jualnya. Meski masih dalam jumlah terbatas, Skydio R1 saat ini sudah dipasarkan seharga $2.499. Sebagai perbandingan, DJI Phantom 4 Pro dan Inspire 2 masing-masing memiliki banderol $1.499 dan $2.999.

Kedua drone DJI tersebut mengemas kamera yang lebih superior, serta juga dilengkapi kemampuan mendeteksi rintangan dan kendali otomatis, meski tidak sekompleks yang Skydio tawarkan, dan masih harus dikendalikan dengan controller yang cukup rumit. Tidak cuma itu, keduanya juga lebih gesit dan bisa mengudara jauh lebih lama.

Selisih $500 dari Inspire 2 adalah harga yang kelewat mahal untuk Skydio R1, akan tetapi ini dikarenakan teknologinya masih baru, bukan semata Skydio ingin mencari untung besar. Mereka berharap ke depannya bisa menghadirkan teknologi otonom sekelas R1 pada produk yang lebih terjangkau, kurang lebih sama seperti “Master Plan” yang berhasil dieksekusi Tesla.

Sumber: The Verge dan Skydio.

DJI Luncurkan Mavic Air, Lebih Kecil dari Spark Saat Terlipat, Tapi Bisa Merekam Video 4K

Saat DJI merilis Mavic Pro di tahun 2016 lalu, dalam hati saya bertanya mengapa harus ada embel-embel “Pro” di belakangnya? Apakah mungkin ke depannya DJI bakal merilis Mavic tipe lain dengan embel-embel yang berbeda lagi? Semuanya akhirnya terjawab hari ini dengan diumumkannya DJI Mavic Air.

Mavic Air boleh dikatakan merupakan hasil kawin silang antara Mavic Pro dan Spark. Dari atas penampilannya terlihat seperti Mavic Pro, tapi dari depan wajahnya begitu mirip seperti Spark. Dimensinya lebih menyerupai Spark, akan tetapi spesifikasinya menjurus ke Mavic Pro.

DJI Mavic Air

Dalam posisi lengan yang terlipat, Mavic Air bahkan lebih kecil lagi dibanding Spark, meski bobotnya sedikit lebih berat di angka 430 gram. Yang cukup mencengangkan adalah bagaimana DJI berhasil menyematkan gimbal 3-axis pada tubuh mungil Mavic Air, mengingat Spark hanya dibekali gimbal 2-axis.

Pada gimbal tersebut bernaung kamera dengan sensor 1/2,3 inci beresolusi 12 megapixel dan lensa 24mm f/2.8. Video dapat ia rekam dalam resolusi 4K 30 fps dan dengan bitrate maksimum 100 Mbps. Mavic Air bahkan siap mengabadikan berbagai aksi dalam video slow-motion 1080p 120 fps.

DJI Mavic Air

Satu keunikan Mavic Air yang tak dimiliki kakak-kakaknya adalah penyimpanan internal sebesar 8 GB, yang tentu saja bisa diperluas lagi dengan bantuan microSD. Memindah file dari Mavic Air ke komputer juga bisa lebih cepat berkat kehadiran port USB-C pada body-nya.

Pengendalian berbasis gesture seperti yang menjadi andalan Spark turut tersedia di sini, dan DJI tak lupa membekali Mavic Air dengan sejumlah mode perekaman kreatif. Salah satu contohnya adalah mode baru bernama Sphere Panorama, yang akan menjepret 25 gambar sebelum menyatukannya menjadi satu gambar panoramik beresolusi 32 megapixel.

DJI Mavic Air

Kemampuan mengudara Mavic Air juga lebih baik ketimbang Spark. Kecepatan maksimumnya mencapai angka 68 km/jam dalam mode Sport, dan kalau boleh, ia juga siap terbang sampai ketinggian 5.000 meter di atas permukaan laut. Transmisi sinyalnya bisa sampai sejauh 4 kilometer selagi meneruskan rekaman video 720p secara real-time, sedangkan baterainya dapat bertahan sampai 21 menit waktu mengudara.

Seperti halnya Mavic Pro dan Spark, Mavic Air juga mampu mendeteksi dan menghindari rintangan dengan sendirinya. ‘Indera penglihatannya’ bahkan telah disempurnakan hingga dapat mendeteksi sejauh 20 meter. Di saat yang sama, fitur ActiveTrack pada Mavic Air juga sudah ikut disempurnakan agar dapat mendeteksi dan mengikuti lebih dari satu subjek secara otomatis.

DJI Mavic Air

Tanpa harus menunggu lama, DJI bakal memasarkan Mavic Air mulai akhir bulan Januari ini juga seharga $799. Bundel “Fly More Combo” yang mengemas lebih banyak baling-baling dan baterai dihargai $999. Soal warna, konsumen bisa memilih antara hitam, putih atau merah.

Kalau melihat harganya, posisi Mavic Air berada tepat di tengah-tengah Spark ($499) dan Mavic Pro ($999). Sekali lagi, ia berhasil mengawinkan segala kebaikan yang ditawarkan Spark (fisik super-ringkas dan pengoperasian berbasis gesture) dan Mavic Pro (kamera 4K + gimbal 3-axis dan daya tahan baterai di atas 20 menit). Bagi yang sebelumnya sudah bingung ketika disuruh memilih antara Spark atau Mavic Pro, siap-siap dibuat lebih pusing lagi.

Sumber: DJI.

Drone Autel Evo Siap Tantang DJI Mavic Pro dengan Kamera 4K 60 Fps

Tidak perlu dipungkiri, DJI sudah menjadi kiblat bagi para pesaingnya di industri drone. Hal itu begitu tersirat pada drone terbaru buatan Autel Robotics berikut ini. Dijuluki Evo, dari penampilannya saja sudah kelihatan kalau ia mengambil inspirasi dari DJI Mavic Pro.

Pada kenyataannya, cukup banyak kesamaan antara Evo dan Mavic. Keduanya dapat dilipat agar bisa disimpan dengan mudah, keduanya dapat mendeteksi sekaligus menghindari rintangan dengan sendirinya, dan keduanya pun dapat dioperasikan dari jarak sejauh 7 kilometer.

Evo bahkan bisa mengudara selama 30 menit nonstop, sama persis seperti varian baru Mavic Pro Platinum. Namun Autel tidak mau hanya sekadar meniru, mereka juga ingin Evo bisa jadi alternatif yang lebih unggul ketimbang Mavic. Pertanyaannya, apa yang bisa disempurnakan lagi dari Mavic?

Autel Evo

Yang pertama adalah kamera yang menggantung pada gimbal 3-axis-nya. Evo sanggup merekam video pada resolusi 4K 60 fps. Di saat yang sama, Mavic hanya terbatas pada resolusi 4K 30 fps. Yang kedua, Evo bisa melaju dalam kecepatan 20 meter per detik, juga sedikit di atas kemampuan Mavic.

Ketiga, Evo datang bersama remote control yang dilengkapi layar OLED 3,3 inci (bisa menerima live stream dari drone dalam resolusi 720p), yang berarti smartphone bisa Anda simpan di saku selama mengoperasikan Evo.

Autel Evo rencananya akan dipasarkan seharga $1.000, sama persis seperti Mavic Pro standar yang lebih inferior baterainya. Sayangnya Autel belum bisa memastikan jadwal perilisannya selain mengucapkan kata “segera”.

Sumber: DPReview.

Bukan Sembarang Toy Drone, Tello Dilengkapi Sistem Flight Stabilization Rancangan DJI

Drone adalah salah satu kategori produk teknologi yang punya peran paling bervariasi dalam kehidupan kita sehari-harinya. Selain menjadi alat bantu dokumentasi, drone juga digunakan untuk keperluan inspeksi di lapangan, mengirim barang – bahkan juga mengirim pizzakebutuhan militer, memudahkan pekerjaan regu penyelamat dan petani, sampai sekadar untuk balapan.

Begitu pesatnya perkembangan drone dan teknologi di baliknya, peran drone sebagai mainan anak-anak perlahan juga mulai terdengar masuk akal. Sebuah startup asal Tiongkok bernama Ryze Tech sedang mencoba untuk mewujudkan ide tersebut. Buah pemikirannya adalah Tello, yang mereka deskripsikan sebagai toy drone berotak cerdas.

Dalam hati Anda mungkin bertanya, apakah tidak bahaya membiarkan anak-anak bermain-main dengan drone? Tello bukan sembarang quadcopter, di balik tubuh mungil seberat 80 gramnya tersimpan teknologi yang amat canggih. Lebih spesifik lagi, secanggih drone ciptaan DJI.

Tello

Merupakan sebuah pencapaian bagi Ryze untuk menanamkan sistem flight stabilization DJI di dalam Tello, belum lagi sebuah VPU (vision processing unit) Intel Movidius Myriad 2 yang memungkinkan Tello untuk ‘melihat’ dunia di sekitarnya. Begitu stabil dan akuratnya kemampuan Tello mengudara, ia bahkan bisa didaratkan di atas telapak tangan.

Menerbangkannya juga semudah melemparnya ke atas, lalu gunakan aplikasi smartphone untuk mengendalikannya. Tello bisa mengudara selama sekitar 13 menit, dan ketika baterainya hampir habis atau saat koneksinya dengan smartphone terputus, Tello bakal mendarat dengan sendirinya.

Tubuh mungilnya turut mengemas sebuah kamera yang dapat mengambil foto 5 megapixel atau video HD. Pengguna pun juga bisa memantau hasil rekamannya secara live, atau menikmatinya dari sudut pandang orang pertama menggunakan FPV goggles yang kompatibel.

Tello

Di sisi lain, Tello juga ingin merealisasikan konsep belajar sambil bermain, utamanya belajar coding. Menggunakan program buatan MIT bernama Scratch, anak-anak bisa dengan mudah memprogram Tello, mulai dari merancang pola terbang tertentu sampai manuver-manuver akrobatik yang lebih kompleks.

Semua ini bisa didapat dengan modal tidak lebih dari $99. Rencananya Tello akan dipasarkan mulai akhir Januari ini di Tiongkok, lalu menyusul di negara-negara lain pada bulan Maret.

Sumber: PR Newswire.

Hard Disk Eksternal LaCie DJI Copilot Ditujukan untuk Pengguna Drone dan Menyimpan Sebuah Layar

Seagate terus melanjutkan kerja samanya dengan DJI dalam menyediakan solusi penyimpanan yang praktis untuk para pengguna drone. Tahun lalu, mereka memperkenalkan DJI Fly Drive, sebuah hard disk ekternal yang dilengkapi slot kartu microSD. Tahun ini, produk serupa dengan fungsionalitas ekstra datang dari anak perusahaannya, LaCie.

Dinamai LaCie DJI Copilot, hard disk eksternal ini cukup istimewa karena bagian atasnya dihuni sebuah layar. Layar ini bukan touchscreen, melainkan berfungsi untuk menampilkan progress transfer data yang berlangsung. Dengan demikian, memindah data ke hard disk bisa dilakukan tanpa PC maupun smartphone.

LaCie DJI Copilot

Kalau Fly Drive mengemas slot microSD, Copilot datang dengan slot SD card standar. Tidak cuma dari memory card, Anda bahkan bisa memindah file langsung dari kamera berkat kehadiran port USB-A dan USB-C pada sisi tubuh hard disk ini. Lebih lanjut, ia juga bisa difungsikan sebagai power bank andai diperlukan.

Selagi ponsel tersambung, pengguna juga dapat melihat foto atau video yang tersimpan dalam Copilot dalam resolusi penuh dengan bantuan aplikasi pendampingnya. Manajemen file, mulai dari mengganti nama sampai menghapus yang tidak dibutuhkan, juga dapat langsung dilakukan dalam skenario ini.

LaCie DJI Copilot

Kapasitasnya sendiri sama seperti Fly Drive, yakni sebesar 2 TB, sanggup menampung video 4K 30 fps dengan durasi total 65 jam dan lebih dari 20.000 foto berformat RAW. Semuanya dikemas dalam rangka yang tahan banting, tahan debu sekaligus tahan cipratan air.

LaCie DJI Copilot rencananya akan dipasarkan mulai musim semi tahun ini. Harganya $349, atau nyaris tiga kali lipat DJI Fly Drive.

Sumber: LaCie.