Bizzy Adapts to Consumer’s Behavior, Introducing Tokosmart Agent

With Large-Scale Social Restrictions (PSBB) appeal, several startups have begun to adapt to changes in consumer behavior. Some have to close the service and some are forced to develop new features to adjust to consumer needs.

Bizzy Group, engaged in the logistics (Bizzy Logistics) and distribution (Bizzy Distribution), is also affected by this pandemic situation. This particularly affects the distribution business which is the main pillar of Bizzy’s overall business.

Bizzy Group’s CEO Andrew Mawikere said, stores outside the area currently don’t accept stock orders from salesmen. It is a good opportunity for Tokosmart because the shop owner has switched into application to order inventories. Andrew revealed that Tokosmart’s basket size increased from Rp2 million to Rp3 million from this situation.

Since January 2019, Tokosmart has launched to support the digitalization of micro, small and medium enterprises (MSMEs). This application makes it easy and increases the efficiency of store owners to place orders, receive inventory, and payment process. Recently, Andrew said Tokosmart has acquired 54,600 stores and more than 27,000 distribution companies in Indonesia.

“The current situation makes it impossible for us to meet with principals, this disrupts the effectiveness of our business development activities. However, this encourages new opportunities because consumers still need to buy necessities,” he told DailySocial.

In order to facilitate Tokosmart service effectiveness, his team has developed a new beta version that was launched last week, namely Tokosmart Agent. The service is similar to Tokosmart, it’s just that users and selling prices are different.

Meanwhile, Tokosmart Agent directly targets end-user and community leader segments, such as RT or RW leaders in the local area. They can order large quantities of supplies to be distributed to residents in their homes.

“In terms of impact, our [business] platform is quite minimal with this change in behavior, even though the distribution business is negative. It means the offline distribution business shifts to online. The overall distribution is down by 20 percent, but overall GMV is increasing. The decline revenue was blocked by the shifting [distribution companies] that use our platform,” he explained.

Bizzy’s commitment to enter the logistics and distribution sphere, as well as targeting MSMEs, has begun to be seen with efforts to strengthen the digital supply chain ecosystem. After Tokosmart, Bizzy who is now a holding company also launched the Truckway, Bizzy Field Force, and Smart Warehouse applications.

All of these services are built to optimize the operational performance of users in a supply chain, such as distributors, grocery stores, owners and truck drivers.

No longer engaged in the e-procurement sector

Furthermore, Andrew gave a signal that the company will not resume B2B marketplace business. In fact, previously the business that provided e-procurement was targeted to reopen in the fourth quarter of 2020.

In fact, Bizzy decided to close the B2B marketplace service since January. At that time, the company said the closure was only for the time being.

“We are no longer e-procurement service. We don’t plan to open e-procurement anymore, and we don’t know when,” Andrew said.

B2B Marketplace is Bizzy’s first business that was also a pioneer since 2015. Then since January 2019, Bizzy expanded its business scope to SMEs through the launch of Tokosmart. Both the B2B marketplace and Tokosmart have the same procurement activity. It’s just that the market segment and nature of the procurement are different.

B2B Marketplace is for large-scale corporate segments where the products will be consumed by themselves. Meanwhile, Tokosmart serves the purchase of stock inventory which will be distributed back to the grocery stores in the market.

Andrew said, there are several things that create the decision to quit the B2B marketplace. First, procurement activities basically consist of a long series of processes. In other words, he sees that large-scale corporate consumers have a long sell cycle process as well.

“There are many stakeholders involved in decision making. For example, the administration side, it is necessary to submit POs to finance. Because there are many stakeholders, it took a long sell cycle process,” he said.

In addition, he also assessed that the corporate segment in Indonesia is yet to fully adapted to digital because its infrastructure is not ready. The simplest example is the administrative activity that wants to be digitally finally not achieved because there are still many companies that use paper.

It answers that B2B marketplace business people are faced with the same challenges. Market awareness of B2B marketplace services is still low given that companies are not yet aware of the importance of digitizing business processes. This can also mean that there is no full commitment from C-Levels.

On the other hand, the B2B marketplace is considered promising because its business model will be able to guarantee measurable revenue and profit growth in the next 1-2 years.

In addition, the B2B marketplace business is more efficient because businesses do not need to “burn money” to acquire a customer. Unlike the retail segment, B2B’s business nature does not depend on strong competitive discounts or price promos, but on the rationality of needs.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Bizzy Beradaptasi pada Perubahan Perilaku Konsumen, Luncurkan Tokosmart Agent

Dengan pemberlakuan Pembatasan Sosial Bersakal Besar (PSBB), sejumlah startup mulai beradaptasi terhadap perubahan perilaku konsumen. Ada yang harus menutup layanan dan ada yang terpaksa mengembangkan fitur baru untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan konsumen.

Bizzy Group yang kini menaungi bisnis pengadaan, logistik (Bizzy Logistics), dan distribusi (Bizzy Distribution) turut terdampak dari situasi pandemi ini. Hal ini terutama pada bisnis distribusi yang dipatok menjadi penopang utama keseluruhan bisnis Bizzy.

CEO Bizzy Group Andrew Mawikere menyebutkan, kini toko-toko di luar daerah tak mau menerima pesanan stok dari salesman. Kondisi ini menjadi peluang baik bagi Tokosmart karena pemilik toko beralih ke aplikasi untuk memesan stok persediaan. Andrew mengungkap basket size Tokosmart mengalami kenaikan rerata dari Rp2 juta menjadi Rp3 juta dari situasi ini.

Sejak Januari 2019, Tokosmart meluncur untuk mendukung digitalisasi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Aplikasi ini memudahkan dan meningkatkan efisiensi pemilik toko untuk melakukan pemesanan, penerimaan inventori, dan pembayaran. Terkini, Andrew menyebut Tokosmart telah menjaring 54.600 toko dan lebih dari 27.000 perusahaan distribusi di Indonesia.

“Situasi sekarang tidak memungkinkan bagi kami untuk bertemu prinsipal, ini mengganggu efektivitas diskusi business development kami. Tetapi, ini mendorong opportunity baru karena konsumen tetap perlu membeli kebutuhan,” paparnya saat dihubungi DailySocial.

Untuk memudahkan efektivitas layanan Tokosmart, ujar Andrew, pihaknya mengembangkan aplikasi baru versi beta yang meluncur pekan lalu, yakni Tokosmart Agent. Layanannya mirip dengan Tokosmart, hanya saja pengguna dan harga jualnya berbeda.

Adapun, Tokosmart Agent membidik langsung segmen end-user dan community leader, seperti ketua RT atau RW di daerah setempat. Mereka dapat memesan persediaan dalam jumlah besar yang akan didistribusikan ke penghuni di tempat tinggalnya.

“Secara impact, [bisnis] platform kami minimal dengan perubahan behaviour ini, meskipun bisnis distribusi negatif. Artinya, bisnis distribusi yang terdampak offline, bergerak ke online. Omzet keseluruhan distribusi turun 20 persen, tapi overall GMV naik. Penurunan omset tertutupi peralihan ke [perusahaan distribusi] yang menggunakan platform kami,” paparnya.

Komitmen Bizzy untuk masuk ke ranah logistik dan distribusi, serta menyasar UMKM, mulai terlihat dengan upaya penguatan ekosistem digital supply chain. Setelah Tokosmart, Bizzy yang kini menjadi holding juga meluncurkan aplikasi Truckway, Bizzy Field Force, dan Smart Warehouse.

Seluruh layanan ini dibangun untuk mengoptimalkan kinerja operasional pengguna dalam sebuah rantai pasokan, seperti distributor, toko grosir, pemilik, dan sopir truk.

Tak lagi bermain di e-procurement

Lebih lanjut, Andrew memberikan sinyal bahwa perusahaan tidak akan melanjutkan kembali bisnis marketplace B2B. Padahal, sebelumnya bisnis yang menyediakan e-procurement tersebut ditarget buka kembali di kuartal IV 2020.

Sebagaimana diketahui, Bizzy memutuskan menutup layanan marketplace B2B ini sejak Januari lalu. Saat itu, perusahaan menyebut penutupan tersebut hanya untuk sementara waktu.

“Sekarang kita sudah tidak di e-procurement lagi. Kami belum berencana lagi buka e-procurement, dan belum tahu kapan,” ungkap Andrew.

Marketplace B2B merupakan bisnis pertama Bizzy yang dirintis sejak 2015. Kemudian sejak Januari 2019, Bizzy memperluas cakupan bisnisnya ke UMKM melalui peluncuran Tokosmart. Baik marketplace B2B dan Tokosmart memiliki procurement activity yang sama. Hanya saja segmen pasar dan nature dari procurement-nya berbeda.

Marketplace B2B diperuntukkan bagi segmen korporasi berskala besar yang mana produknya akan dikonsumsi sendiri. Sementara, Tokosmart melayani pembelian persediaan stok yang akan didistribusikan kembali ke toko-toko kelontong di pasar.

Menurut Andrew, ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan perusahaan untuk berhenti dari marketplace B2B. Pertama, kegiatan procurement pada dasarnya terdiri dari rangkaian proses yang panjang. Dengan kata lain, ia melihat bahwa konsumen korporat berskala besar memiliki proses sell cycle yang panjang juga.

“Ada banyak stakeholder yang terlibat dalam decision making. Misalnya, sisi administrasi, perlu mengajukan PO sampai ke finance. Karena stakeholder banyak, proses sell cycle juga lama,” tuturnya.

Selain itu, ia juga menilai segmen korporat di Indonesia belum sepenuhnya beradaptasi ke digital karena infrastrukturnya tidak siap. Contoh paling sederhana adalah kegiatan administrasi yang ingin didigitalkan akhirnya tak tercapai karena masih banyak perusahaan yang menggunakan kertas.

Ini menjawab bahwa pelaku bisnis marketplace B2B dihadapkan pada tantangan yang sama. Awareness pasar terhadap layanan marketplace B2B masih rendah mengingat perusahaan yang belum menyadari pentingnya digitalisasi proses bisnis. Ini juga dapat berarti bahwa belum ada komitmen penuh dari para C-Level.

Di sisi lain, marketplace B2B dinilai menjanjikan karena model bisnisnya dinilai dapat menjamin pertumbuhan pendapatan dan keuntungan secara terukur dalam 1-2 tahun ke depan.

Tak hanya itu, bisnis marketplace B2B juga lebih efisien karena pelaku bisnis tidak perlu melakukan “bakar uang” untuk mengakuisisi satu pelanggan. Berbeda dengan segmen ritel, nature bisnis B2B tidak bergantung pada adu kuat diskon atau promo harga, tetapi pada rasionalitas kebutuhan.

Application Information Will Show Up Here

Marketplace E-Procurement Bisa Jadi Vertikal Bisnis Menjanjikan

Digitalisasi menghampiri berbagai macam aspek bisnis, termasuk sistem pengadaan atau procurement. Kini perkembangan teknologi sudah sangat memungkinkan rantai ekosistem terkait untuk melakukan pengadaan secara online atau digital. Istilah umumnya adalah e-procurement. 

Sejumlah decision maker di perusahaan mungkin berpikir akan sulit bagi organisasinya mempelajari bagaimana e-procurement bekerja. Kendati demikian, tak sedikit juga perusahaan yang beralih ke sistem ini karena sejumlah keunggulannya, seperti efisien waktu hingga transparansi yang tinggi.

Di Indonesia, pemanfaatan e-procurement belum umum mengingat belum banyak perusahaan yang aware terhadap konsep ini. Meskipun demikian, sejumlah perusahaan digital berupaya mengenalkan sistem ini dengan konsep yang mudah diadopsi.

Isu usang korporasi dan penyesuaian B2B

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah startup di Indonesia mulai melirik e-procurement sebagai vertikal bisnis yang menjanjikan. Layanan e-procurement dinilai layak dijajal karena model bisnis B2B mudah terukur.

Untuk memudahkan penetrasinya di pasar, startup ini menggabungkan konsep veteran di industri digital, yakni e-commerce/marketplace dengan layanan B2B. Secara global, layanan semacam ini telah mengantongi kesuksesan dari pemain besar, seperti Amazon Business dan Alibaba Business.

Menurut radar kami, sejumlah startup Indonesia yang masuk ke bisnis marketplace B2B antara lain Mbiz, Bizzy, Bhinneka, Ralali, Bukalapak, dan ProcurA.

Mbiz, Bizzy, dan Ralali sejak awal menjadikan marketplace B2B sebagai bisnis utamanya. Meskipun demikian, sejak pertengahan 2019, Bizzy mulai pivot dari lini bisnis markeplace e-procurement demi memperkuat ekosistem bisnis dari hulu ke hilir dan terpusat pada B2B saja.

Sementara itu, Bhinneka dan Bukalapak sejak awal merupakan marketplace B2C dan C2C yang mulai mengembangkan vertikal baru ke B2B. Berbeda dengan yang lainnya, ProcurA tidak memiliki marketplace dan fokus ke pengembangan solusi e-procurement untuk perusahaan.

Bisnis marketplace B2B dianggap menjadi konsep yang tepat untuk menuntaskan beragam masalah usang yang terjadi pada korporasi, yakni rendahnya efisiensi dan transparansi.

Dalam wawancara dengan DailySocial, CEO Mbiz Rizal Paramarta menyebutkan rendahnya efisiensi dan transparansi dapat menimbulkan permasalahan baru, yakni proses procurement yang bertele-tele dan terlalu administratif. Ia mencontohkan bagaimana instansi pemerintah membutuhkan berbulan-bulan untuk melakukan pengadaan laptop.

Proses yang bertele-tele ini, ungkap Rizal, sebetulnya berasal dari deretan kegiatan yang panjang, mulai dari perbandingan harga, perbandingan terbuka dan tertutup, pembukaan surat penawaran bersama-sama, belum lagi pengumuman harganya.

“Kami melihat problem transparansi dan proses yang panjang ini dapat diselesaikan dengan solusi digital karena seluruh aktivitas terekam. Jadi tidak ada ruang manipulasi data. Memang proses bertele-tele ini sebetulnya berkaitan dengan hal administratif. Nah, ini cocoknya diotomasi dengan digital,” paparnya.

Sementara Direktur BukaPengadaan Hita Supranjaya menyebutkan, inovasi e-commerce, pembayaran digital, dan logistik mengubah pola perilaku konsumsi secara signifikan. Nah, perubahan ini akhirnya mendorong untuk melakukan penyesuaian dalam hal meningkatkan daya saing dan meningkatkan kecepatan dalam melayani kebutuhan pelanggan.

“Di satu sisi, tantangan perusahaan B2B di sini dalam menghadapi kompetisi pasar global adalah dibutuhkan pengembangan teknologi yang membutuhkan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Wajah baru industri pengadaan

Secara umum, e-procurement mencakup berbagai rangkaian kegiatan, seperti e-tendering, e-auctioning, manajemen vendor, hingga manajemen kontrak. Di sejumlah model bisnis yang menggabungkan marketplace dan e-procurement, alur pemesanannya tidak serupa dengan layanan e-commerce pada umumnya.

Sebagai gambaran, layanan Mbiz terdapat sejumlah fitur terkait, seperti modul tendering dan contract management yang terintegrasi ke sistem finance accounting. Artinya, tetap ada proses procurement hingga negosiasi yang berlanjut ke tahapan purchase order.

Marketplace B2B menawarkan banyak hal yang dipermudah dengan dukungan teknologi. Dengan “memindahkan” kegiatan pengadaan ke ruang digital, marketplace B2B memudahkan ekosistem terkait untuk dapat bertemu secara seamless, mulai dari klien perusahaan atau pemerintah, prinsipal, vendor, dan logistik.

Selain itu, marketplace B2B dianggap menjadi solusi tepat untuk melakukan kegiatan pengadaan karena efisien secara proses dan lebih transparan. Solusi e-procurement tidak dapat memberikan ruang manipulasi karena seluruh prosesnya berbasis digital. Hal ini dapat menghindari adanya peluang korupsi.

Tak hanya itu, efisiensi dan transparansi akan mendorong efek positif lainnya, seperti meningkatkan produktivitas dengan mengalihkan SDM kepada pekerjaan lain, mempercepat proses transaksi, hingga mengeleminasi kegiatan paperwork berlapis-lapis.

Ekosistem menjadi kunci

Secara model bisnis, marketplace untuk e-procurement dinilai menjanjikan karena umumnya bisnis B2B dapat menjamin pertumbuhan pendapatan dan keuntungan secara terukur. Namun, keberhasilannya tergantung dari bagaimana startup menyiapkan strategi.

Salah satu strategi yang dilakukan Mbiz adalah berkolaborasi dengan Investree sebagai jalan pembuka akses terhadap pembayaran dan pinjaman digital. Masuknya Investree ke dalam lingkaran ekosistem marketplace Mbiz dapat menarik calon pengguna layanan baru tanpa perlu melakukan bakar uang.

Menurut Rizal, startup tidak perlu repot menghabiskan dana untuk mengakuisisi satu pelanggan. Berbeda dengan segmen ritel, nature bisnis B2B tidak bergantung pada adu kuat diskon atau promo harga, namun pada rasionalitas kebutuhan.

Kendati demikian, ia menilai sulit untuk mendorong awareness pasar terhadap layanan marketplace B2B maupun e-procurement. Ia menganggap sektor korporasi belum sadar terhadap pentingnya digitasi proses bisnis. Ini dapat berarti bahwa belum ada komitmen penuh dari para C-Level.

Awareness rendah sehingga adopsi juga rendah. Apalagi, kompetitor kami setop beroperasi. Semakin banyak pemain di sini, justru semakin bagus. It’s an obvious business practice. Lagipula, tidak relevan untuk meningkatkan awareness dengan strategi bakar uang. Target pasar kami rasional dan awareness ini harus di-create dengan cara yang sensible dan smart,” ujarnya.

Salah satu kunci keberhasilan bisnis ini adalah penguatan rantai ekosistem. Sama halnya dengan konsep marketplace B2C yang selama ini kita lihat. “Jika hanya menyediakan solusi e-procurement atau modul saja tanpa marketplace, tidak ada ekosistemnya,” tambah Rizal.

Hal yang sama diungkapkan CEO Bhinneka Hendrik Tio. Menurutnya, pasar Indonesia masih membutuhkan market education terhadap marketplace B2B. Maka itu, membangun ekosistem sesuai karakter dan target pasar menjadi penting untuk dapat meng-enablee supplier dan demand. Adapun, Bhinneka kini telah melayani lebih dari 20.000 korporasi.

“Bisnis ini punya karateristik yang berbeda dengan marketplace biasa, di mana B2B punya tingkat stickiness yang lebih baik dan basket size belanja yang lebih besar. Katakan platform yang lebih mengerti mereka, ekosistem yang lebih menyeluruh hingga value, seperti fulfilment dan after sales pasti membuat pelanggan semakin sticky,” ujarnya.

Peluang terhadap ekonomi digital

Dalam sebuah kesempatan, Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) mengungkapkan bahwa solusi e-procurement dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi digital. Caranya adalah membidik sektor pemerintahan dan korporasi di Indonesia yang selama ini masih rendah dalam mengadopsi solusi digital.

Menurut ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adinegara, peluang bisnis ini dapat mendorong realisasi belanja pemerintah lebih cepat terserap tanpa adanya kegiatan administratif yang tidak berujung. Demikian juga, sektor industri yang selama ini belum menganggap pentingnya adopsi digital.

“Dari temuan INDEF dan Google, efek paling besar dapat terasa di sektor manufaktur. Peluang kebutuhan e-procurement besar karena didukung dengan sistem transparan dan efisien. Manfaat ini sebetulnya dapat menstimulus sektor manufaktur untuk mau menggunakan e-procurement,” ujar Bhima beberapa waktu lalu.

Benang merah dari solusi e-procurement adalah biaya yang bisa semakin murah sejalan dengan semakin banyak pemerintahan atau pebisnis yang memakai. Sektor logistik adalah salah satu contoh sektor dengan biaya operasional mahal yang dapat diefisiensikan.

Mbiz Galang Pendanaan Seri B 278 Miliar Rupiah

Platform e-procurement untuk B2B, Mbiz, tengah menggalang pendanaan seri B senilai $20 juta atau setara 278 miliar Rupiah. Ini kali pertama Mbiz mencari pendanaan baru setelah terakhir memperoleh investasi seri A dari Tokyo Century Corporation di 2017.

Menurut CEO Mbiz Rizal Paramarta, pihaknya saat ini masih melakukan penjajakan dengan sejumlah investor. “Kami dapat mandat dari shareholder untuk membuka peluang terhadap investor-investor baru. Jadi investor lama nanti hanya ‘top up‘ saja,” katanya.

Dari penjajakan tersebut, ia mengaku juga mengincar strategic partnership yang beneficial bagi kedua belah pihak. Misalnya, bersinergi dengan pihak yang memiliki ekosistem e-commerce lain.

“Ini useful buat kami karena dapat bersinergi dan mengangkat valuasi kedua belah pihak. Kalau venture fund itu terbatas di capital saja,” papar Rizal ditemui usai Media Briefing di Jakarta.

Skema lain yang diincar Mbiz adalah co-branding. Dengan bersinergi dengan pihak yang sudah memiliki brand awareness lebih besar, ini akan mengakselerasi bisnis ke depannya.

Sementara itu, Co-founder dan COO Mbiz Ryn Hermawan mengungkap bahwa sudah ada beberapa investor lokal yang secara spesifik berminat investasi di pasar B2B.

“Sudah ada advisor yang engage dengan kami untuk bawa investor yang interested ke B2B. Intinya kami masih penjajakan, mudah-mudahan finalisasinya bisa di kuartal kedua tahun ini,” ujarnya kepada DailySocial.

Di segmen serupa, Mbiz saat ini berkompetisi dengan beberapa pemain lokal seperti Bhinneka Bisnis dan Bizzy. Pemain marketplace C2C Bukalapak juga mulai menjajaki segmen B2B dengan meluncurkan layanan e-procurement BukaPengadaan.

Salah satu keunggulan layanan B2B Commerce seperti yang disajikan Mbiz adalah digitalisasi sistem pengadaan untuk bisnis (e-procurement). Seperti diketahui, dalam perusahaan skala besar, pembelian atau pengadaan barang harus dilakukan melalui serangkaian proses, bahkan harus melakukan tender terlebih dulu. Belum lagi saat berbicara soal pelaporan terkait potongan pajak, pembukuan dan lain-lain. Hal-hal seperti itu yang coba diselesaikan para pemain di B2B Commerce.

Menurut laporan dari McKinsey & Co, potensi e-procurement di Indonesia mencapai $125 miliar pada 2025. Estimasi ini gabungan dari global corporate services ($18 miliar), b2b marketplace ($76 miliar) dan b2b services ($36 miliar).

Tingkat brand awareness pemain di segmen ini, memang tidak sekencang dengan produk konsumer. Kendati begitu, menurut riset DSResearch pada 2018, mengungkapkan beberapa pemain yang sering didengar responden adalah Bhinneka Bisnis, Bizzy dan Mbiz.

Pertimbangan ekspansi ke pasar regional

Lebih lanjut, Rizal mengungkap bahwa pihaknya mendapat tawaran dari investor untuk ekspansi ke pasar regional. Menurutnya, investor tersebut sudah memiliki jaringan B2B yang kuat meskipun bukan di bidang e-procurement.

Akan tetapi, ekspansi di Asia Tenggara belum menjadi prioritas perusahaan saat ini karena ruang pertumbuhan di Indonesia masih sangat besar. Terutama jika melihat masih rendahnya awareness terhadap solusi e-procurement.

“Nah, [rencana] pendanaan baru ini untuk dua tahun ke depan karena saat ini kami masih fokus di Indonesia. Tapi, dalam tiga tahun ke depan, kami bisa fokus ke mancanegara mengingat potensi pasarnya sangat besar,” tuturnya.

Sementara itu, Ryn menyebutkan sejumlah tantangan yang dihadapi di bisnis e-procurement. Selain awareness dan engagement yang masih rendah, ia menyebut pasar marketplace B2B di Indonesia juga belum siap dalam melihat e-procurement sebagai solusi untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi.

“B2C itu distimulus oleh promo atau diskon. Artinya startup harus bakar uang untuk akuisisi pelanggan. B2B tidak demikian, pendekatannya berbeda. Kita tidak punya benchmark untuk [model bisnis] ini. Untuk akuisisi pembeli juga tidak mudah. Ada perusahaan yang, misalnya, ketergantungan dengan vendor lama. Ini jadi challenge juga bagi kami untuk engage dengan mereka,” jelasnya.

Menuju profitabilitas dan pengembangan super ecosystem

Dari sisi bisnis, Rizal mengungkap pendanaan baru akan digunakan untuk mengembangkan platform dan timnya. Rencana pengembangan ini untuk menuju target pertumbuhan sebesar empat kali lipat di 2020.

Di samping itu, perusahaan telah memprediksi dapat mengantongi keuntungan hingga 2021 karena konsisten untuk tidak melakukan strategi ‘bakar uang’ untuk mengakuisisi pelanggan.

“Selama tiga tahun terakhir, kami tidak raising dana baru karena bisnis kami efisien. Kami tidak ‘bakar uang’ atau subsidi. Profitabilitas kami jelas makanya kami optimistis di 2021 positif. Kemungkinan ini equity terakhir sampai 2021 untuk mencapai profitabilitas positif,” papar Rizal.

Adapun pengembangan platform ini, ujar Rizal, adalah bagian dari strategi Mbiz untuk menjadi super ecosystem di masa depan. Dalam hal ini, Mbiz berupaya memperkuat ekosistem platform dengan mengajak pihak-pihak terkait ke dalam transaksi e-procurement.

“Ke depan kami tidak ingin hanya buyer dan seller saja yang terlibat dalam transaksi, tetapi juga pihak-pihak lainnya, seperti fintech, asuransi, dan logistik,” tambahnya.

Berdasarkan data perusahaan, kategori jasa dan solusi berkontribusi lebih dari 50 persen dibandingkan kategori layanan. Dari segmen pembeli, kontributor transaksi terbesar berasal dari FMCG dan retail (50%), property and real estate (25%), pharmaceutical (15%), dan startup atau perusahaan teknologi (5%).

Kemudian, Gross Merchandise Value (GMV) pada 2019 tercatat tumbuh empat kali lipat (Year-on-Year/YoY). Jumlah mitra vendor yang tergabung sebesar 4.000 dengan 100.000 SKU produk.

Bukalapak Aims to Dominate E-Procurement Market through BukaPengadaan

Bukalapak shared an ambition to dominate the e-procurement market through his vertical Open ProcurementD because it has a market share that is not inferior to the consumer business (b2c). Seen from the success of overseas b2b players such as Alibaba Business and Amazon Business, both grew bigger from the b2c platform.

BukaPengadaan’s Director, Hita Supranjaya said the optimism backed by the changing of Indonesian consumers’ behavior in terms of digital. Innovations, such as e-commerce, digital payment, and logistics has shifted b2c behavior significantly.

He thought the change encouraged B2B companies to make adjustments by increasing competitiveness and speed in serving customer needs. On the other side, the challenge for B2B companies in facing global market competition is that it takes a long time to develop technology and costs a lot too.

“Bukalapak through BukaPengadaan seeks opportunities to answer the challenge, backed by the proven experience in developing tech-based e-commerce c2c/b2c for ten years,” Supranjaya told DailySocial.

In order to be the leading e-procurement, BukaPengadaan is quite lucky to be integrated with Bukalapak marketplace and Quasi Retail. It connects the platform with five million sellers offering more than 80 million products.

As a result, BukaPengadaan is capable to fulfill all procurement from corporations, both business and government, quickly and at competitive prices. In terms of ecosystem, it’s comprehensive for companies and vendors, including closed ecosystems for registered users, provision of goods and services, online approval systems, monitoring of goods orders, payment and e-invoicing.

“It gives our customers an advantage in procurement, faster and closest to the sellers, resulting in competitive price. We also help managing lists of vendors and SKUs, therefore, customers can focus on things that are more important than just administrative matters.”

Since it was founded in 2016, BukaPengadaan has acquired more than 1500 users, around 80% are companies, and the rest are SMEs and government institutions. On a monthly average, 150 companies actively transact through BukaPengadaan.

Last year, there are 500 users registered, 5 thousand purchase orders, with an average transaction of Rp150 million. Within seven months, BukaPengadaan has recorded a 30% transaction growth. Also, in the last three months, the average income growth has increased by three times per month.

It is said there are new categories and vendors joined every month. Not only retails and supply chain, but also virtual products managed into a one-stop platform. “It allows us to reach almost the whole categories of small, middle to large-scale b2b company essentials,” he added.

Large business-coverage, b2b players are solving specific issues

Based on McKinsey & Co report, Indonesian e-procurement has potential worth of $125 billion by 2025. It was estimated from global corporate services ($18 billion), b2b marketplace (76 billion), and b2b services ($36 billion).

Meanwhile, Indonesia’s leading players still the b2c marketplace (Lazada, Tokopedia, Shopee, Bukalapak), transportation, travel, and hospitality (Traveloka), and mobility (Gojek and Grab).

The brand awareness rate in this segment might not as tight as the consumer products. However, according to 2018’s DSResearch, some players are familiar to the respondents, including Bhinneka Bisnis, Bizzy, and Mbiz.

bukalapak b2b

In terms of growth, the players are not limited, there is also Ralali, Ekosis, TaniHub, and Zilingo. Each platform has its own market share. Ralali, for example, entering the agency segment to target b2b consumers.

Ekosis has its way with connecting businessmen to get various agribusiness, livestock, and mining products. As for TaniHub, plays role as a supplier for b2b consumers come from supermarket, horeca, F&B, retailers, and startup players.

Zilingo, on the other hand, provides cloud-based fashion manufacture products from all over the world for all brands and businessmen can take benefit from it.

The various kinds of b2b e-commerce have shown potential market share to be further explored in order to solve the issues within the b2b players. Moreover, Indonesian SMEs digital transformation has only reached 8% or 3.92 million of the total 59.2 million existed players.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Ambisi Bukalapak Pimpin Pasar E-procurement Lewat BukaPengadaan

Bukalapak mengungkapkan ambisinya untuk menguasai pasar e-procurement melalui vertikalnya BukaPengadaan, sebab punya pangsa pasar yang tidak kalah besar dengan bisnis konsumen (b2c). Terlihat dari kesuksesan pemain b2b luar negeri seperti Alibaba Business dan Amazon Business, keduanya tumbuh lebih tinggi dari platform b2c.

Direktur BukaPengadaan Hita Supranjaya menjelaskan, optimisme ini didukung oleh perubahan perilaku konsumen Indonesia dalam hal digital. Inovasi seperti layanan e-commerce, pembayaran digital dan logistik mengubah pola perilaku b2c secara signifikan.

Menurutnya, perubahan tersebut mendorong perusahaan b2b melakukan penyesuaian dengan meningkatkan daya saing dan meningkatkan kecepatan dalam melayani kebutuhan pelanggan. Namun di satu sisi, tantangan perusahaan b2b di sini dalam menghadapi kompetisi pasar global adalah dibutuhkan pengembangan teknologi yang membutuhkan waktu lama dan biaya yang tidak sedikit.

“Bukalapak melalui BukaPengadaan melihat peluang untuk dapat menjawab tantangan tersebut, berbekal pengalaman yang sudah terbukti mengembangkan e-commerce c2c/b2c berbasis teknologi selama 10 tahun,” ucap Hita kepada DailySocial.

Demi menjadi pemain e-procurement terdepan, BukaPengadaan cukup beruntung karena terintegrasi dengan platform marketplace Bukalapak dan Quasi Retail. Kondisi ini membuat platform ini terhubung dengan lima juta pelapak menawarkan lebih dari 80 juta produk.

Alhasil, BukaPengadaan mampu memenuhi seluruh pengadaan dari korporasi, baik pelaku bisnis maupun pemerintah dengan cepat dan harga bersaing. Secara ekosistem pun menyeluruh untuk perusahaan dan vendor, meliputi ekosistem tertutup bagi pengguna yang terdaftar, penyediaan barang dan jasa, sistem persetujuan online, pemantauan pesanan barang, pembayaran dan e-invoicing.

“Keuntungannya bagi pelanggan kami adalah pemenuhan kebutuhan yang lebih cepat dan terdekat dengan adanya jaringan pelapak, sehingga harga kompetitif. Kami juga membantu mengelola daftar vendor dan SKU yang berkembang terus menerus, sehingga pelanggan fokus terhadap hal-hal yang lebih penting daripada hanya hal administratif.”

Sejak BukaPengadaan dirilis pada 2016, kini telah merangkul lebih dari 1500 pengguna, sekitar 80% adalah perusahaan dan sisanya adalah UKM dan instansi pemerintah. Dalam sebulan, rata-rata 150 perusahaan aktif bertransaksi melalui BukaPengadaan.

Pada tahun lalu, tercatat ada 500 pembeli, 5 ribu purchase order, dengan rata-rata nilai per transaksi Rp150 juta. Selama tujuh bulan terakhir, BukaPengadaan mencatat pertumbuhan transaksi 30%. Serta, dalam tiga bulan terakhir, pertumbuhan pendapatan rata-rata tiga kali lipat setiap bulannya.

Diklaim setiap bulannya ada kategori produk dan vendor baru yang bergabung. Tidak hanya produk ritel dan bahan baku saja, tapi sudah menyentuh produk virtual yang dikelola menggunakan satu pintu platform. “Ini memungkinkan kami menjangkau hampir seluruh kategori kebutuhan perusahaan b2b Indonesia skala kecil, menengah hingga besar,” sambungnya.

Cakupan bisnis besar, pemain b2b ramai selesaikan isu spesifik

Menurut laporan dari McKinsey & Co, potensi e-procurement di Indonesia mencapai $125 miliar pada 2025. Estimasi ini gabungan dari global corporate services ($18 miliar), b2b marketplace ($76 miliar), dan b2b services ($36 miliar).

Sementara itu, pemain terdepan di Indonesia masih dikuasai oleh perusahaan yang bergerak di segmen b2c marketplace (Lazada, Tokopedia, Shopee, Bukapalak), transportation, travel, and hospitality (Traveloka), dan mobilitas (Gojek dan Grab).

Tingkat brand awareness pemain di segmen ini, memang tidak sekencang dengan produk konsumer. Kendati begitu, menurut riset DSResearch pada 2018, mengungkapkan beberapa pemain yang sering didengar responden adalah Bhinneka Bisnis, Bizzy dan Mbiz.

Secara perkembangan, pemainnya tidak hanya itu saja, ada Ralali, Ekosis, TaniHub dan Zilingo. Semuanya punya pangsa pasar masing-masing sesuai target pasarnya. Ralali misalnya bermain ke ranah keagenan untuk menyasar konsumen b2b sebagai pembeli.

Ekosis berusaha untuk menghubungkan pebisnis untuk mendapatkan berbagai produk agribisnis, peternakan, hingga pertambangan. Pun juga untuk TaniHub, bertindak sebagai penyuplai untuk konsumen b2b yang datang dari pemain supermarket, horeca, F&B, peritel hingga startup.

Sementara Zilingo, menyediakan pasokan manufaktur fesyen berbasis cloud dari seluruh dunia agar setiap merek, pengusaha, dapat memanfaatkannya.

Beragamnya layanan e-commerce b2b yang disediakan memperlihatkan bahwa ada ceruk bisnis yang bisa gali lebih dalam untuk menyelesaikan masalah di pemain b2b. Terlebih, transformasi digital UKM di Indonesia baru 8% atau 3,92 juta dari total 59,2 juta pelaku yang hadir di Indonesia.

Application Information Will Show Up Here

Lengkapi Ekosistem, Bizzy Segera Rilis Tiga Layanan Baru Tahun Depan

Bizzy menyeriusi ranah barunya sebagai holding untuk logistik dan distribusi dengan memperkenalkan tiga produk baru yang akan dirilis pada tahun depan. Ketiga produk tersebut adalah Truckway, Bizzy Field Force, dan Smart Warehouse.

Seluruh produk ini berbasis aplikasi, untuk mengoptimalkan kinerja operasional pengguna dalam sebuah rantai pasokan, seperti distributor, toko grosir, pemilik, dan supir truk.

CEO Bizzy Group Andrew Mawikere menjelaskan, peluncuran ini sejalan dengan misi perusahaan yang ingin mendukung ekonomi yang bersih dengan menggerakkan ekosistem bisnis digital yang inklusif, sehingga memungkinkan perdagangan yang transparan, efisien, dan dapat dipertanggungjawabkan.

“Kami membangun platform digital terintegrasi untuk logistik dan distribusi, menyediakan layanan rantai pasok menyeluruh di Indonesia, untuk meningkatkan efisiensi dalam logistik dan distribusi,” ucapnya dalam keterangan resmi, Jumat (20/12).

Sejalan dengan misi tersebut, pada Mei 2019 perusahaan meluncurkan aplikasi Tokosmart dan beroperasi secara penuh untuk mendukung digitalisasi usaha mikro, kecil, dan menengah.

Andrew menjelaskan, aplikasi ini memudahkan dan meningkatkan efisiensi secara digital bagi toko dalam proses pemesanan, penerimaan inventori, dan pembayaran. Diklaim Tokosmart telah menjaring lebih dari 48 ribu toko untuk isi stok produk di toko mereka setiap hari.

“Tokosmart telah memproses lebih dari 164 ribu pesanan dan telah mengirimkan lebih dari 392 ribu karton kepada pelanggan kami. Tokosmart memiliki kurang lebih 3.100 produk dan akan terus bertambah di tahun 2020.”

Untuk mendukung pemanfaatan Tokosmart, perusahaan mengembangkan mesin POS sendiri bernama Bizzy POS. Andrew menyebut, saat ini masih dalam tahap percobaan di beberapa daerah. “Langkah ini memudahkan pelanggan untuk mengelola toko dengan cara yang paling efisien,” pungkasnya.

Sebelumnya, Bizzy adalah startup yang bergerak di bisnis procurement untuk b2b, akhirnya pivot menjadi holding pasca masuk dalam afiliasi Sinarmas pasca menerima pendanaan seri B yang dipimpin SMDV.

Perusahaan memasang target yang sangat ambisius pada tahun ini sebesar Rp5 triliun, naik 30%-40% dari tahun sebelumnya sebesar Rp3,8 triliun. Lini bisnis distribusi akan menjadi penopang utama dalam bisnis Bizzy Group.

Application Information Will Show Up Here

Tees.co.id Luncurkan OfficeBee Enterprise, Solusi E-procurement dan E-catalog untuk Korporasi

OfficeBee Enterprise mencoba peruntungan di bisnis layanan e-procurement dan e-catalog berbasis cloud dengan menargetkan segmen korporasi. Berada di bawah naungan PT Tees Pratama Indonesia (atau lebih dikenal dengan merek Tees.co.id) mereka ingin memberikan solusi pengadaan yang efisien, transparan, dan akuntabel; khususnya bagi perusahaan yang sudah memiliki banyak cabang.

OfficeBee Enterprise mulai dijajakan sejak awal 2018. Ide awalnya sudah tercetus sejak tahun 2015 silam. Kala itu Tees.co.id melakukan hubungan kerja dengan beberapa perusahaan multinasional, korporasi, dan BUMN. Dari sana ditemukan banyak inefisiensi pada proses pengadaan, sourcing, dan distribusi.

“Kami menawarkan OfficeBee Enterprise sebagai Software as a Services (SaaS). Dengan sistem berlangganan, kami menghadirkan skema pembayaran bulanan yang fleksibel. Pelanggan kami pun dapat memilih opsi self-hosted (on premise) atau cloud-hosted untuk menggunakan layanan tersebut,” terang Co-Founder Tees.co.id Gary Lilardi.

Beberapa fitur yang di tawarkan antara lain e-procurment, e-catalog, supplier management, spend analytics, dan beberapa lainnya.

Pengembangan Officebee Enterprise didukung oleh beberapa venture capital, baik dalam maupun luar negeri. Salah satunya adalah MDI Ventures dan program akselerator Indigo milik Telkom.

Gary lebih jauh menjelaskan bahwa ada dua fokus utama mereka dalam satu-dua tahun mendatang. Pertama akuisisi pengguna, mereka ingin meningkatkan sales cycle yang dimiliki.

“Karena solusi yang ditawarkan OfficeBee Enterprise adalah bagian dari proses bisnis pelanggan, dibutuhkan sales cycle yang cukup panjang. Secara umum, proses sales kami terdiri dari beberapa tahap: melakukan identifikasi proses pengadaan, menawarkan solusi, dan implementasi,” jelas Gary.

Fokus selanjutnya ditempatkan pada pengembangan produk berkelanjutan. Untuk hal ini Gary menceritakan beberapa module yang sedang disiapkan antara lain live bidding, spend analytics, dan modul integrasi ke penyedia logistik pihak ketiga.

Di Indonesia sudah ada beberapa platform yang menawarkan proses e-procurement. Beberapa layanan yang tercatat memiliki solusi e-procurement antara lain platform B2B Commerce seperti Bizzy dan Mbiz.

Mbiz Collaborates with Investree to Provide Financial Service

After previously reported in a strategic partnership with fintech lending, Mbiz officially announced Investree as the new associate to support financing for suppliers. Mbiz’ CEO, Rizal Paramarta said the company will be focused on supplier financing of SMEs in order to finalize the project through Mbiz platform and Mbizmarket.

“There are currently many SMEs having difficulty in meeting the client’s standard, [..] for being corporate and enterprise supplier, payment should be done after the project finished. In order to manage the financial system, they need a big amount of cash.”

He also mentioned the payment terms can affect business productivity in related companies, especially when the time does not meet the expectation or the current financial management terms. The issue might occur not only in SME-level but also suppliers with bigger management.

Adrian Gunadi, Investree’s CEO said the partnership with Mbiz considered as a strategic step on channel acquisition. The main objective is to reach broader coverage of SMEs in an efficient way.

“All borrowers will experience seamless lending process using integrated technology of Investree and Mbiz. They offer loans of Invoice Financing, Pre-Invoice Financing, and Buyer Financing. Those products are included in Investree‘s supply chain,” he said.

Although Mbiz has recently introduced its marketplace platform targeting SMEs called Mbizmarket, it can also be utilized by companies within the Mbiz ecosystem.

In terms of partnership extension with other financial institutions or fintech lending, Paramarta emphasized on its current focus to observe the strategic partnership with Investree. However, we keep the door open for those who want to collaborate with Mbiz.

Earlier, Mbiz has launched a leasing service with Tokyo Century Corporation, the biggest financing company in Japan.

Overall, the number of e-procurement players using Mbiz and Mbizmarket platform is increasing. It also involves companies of various scale, from giant corporates to SMEs. Since 2018, Mbiz has recorded an increasing number in service and product procurement company (60%), and service and product purchasing company (40%).


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Gandeng Investree, Mbiz Hadirkan Akses Layanan Finansial

Setelah sebelumnya diberitakan telah menjalin kerja sama strategis dengan layanan fintech lending, Mbiz mengumumkan secara resmi kemitraan dengan Investree untuk membantu supplier mendapatkan pembiayaan. CEO Mbiz Rizal Paramarta menyebutkan, fokus Mbiz adalah memberikan pembiayaan ke supplier dari kalangan UKM guna menyelesaikan proyek melalui platform Mbiz dan Mbizmarket.

“Saat ini masih banyak supplier kalangan UKM yang kesulitan untuk memenuhi permintaan dari klien, [..] untuk menjadi supplier korporasi dan enterprise pembayaran dilakukan setelah proyek selesai. Untuk bisa mengatur keuangan mereka, diperlukan dana besar dari para supplier.”

Rizal menambahkan, termin pembayaran dapat mempengaruhi akselerasi produktivitas bisnis perusahaan-perusahaan yang terlibat, terutama jika waktu yang ditentukan tidak sesuai dengan ekspektasi atau kebijakan manajemen keuangan yang berlaku. Situasi ini bisa terjadi tidak hanya di bisnis UKM tetapi juga penyedia maupun pembeli berskala besar.

Menurut CEO Investree Adrian Gunadi, kerja sama antara Investree dan Mbiz ini merupakan salah satu langkah strategis penjualan perusahaan dalam bentuk acquisition channel. Tujuan utamanya mendukung target pertumbuhan Investree tahun 2020 mendatang. Hal ini merupakan salah satu strategi perusahaan untuk menjangkau pengusaha UKM di daerah-daerah lain seluruh Indonesia dengan lebih efisien.

“Nantinya semua borrower akan menikmati proses pengajuan pinjaman yang seamless dengan memanfaatkan integrasi teknologi antara Investree dan Mbiz. Jenis pinjaman yang ditawarkan dalam kerja sama ini adalah Invoice Financing, Pre-Invoice Financing, dan Buyer Financing. Ketiga produk tersebut termasuk dalam produk pembiayaan supply chain di Investree,” kata Adrian.

 

Meskipun saat ini Mbiz telah memperkenalkan platform marketplace yang menyasar konsumen UKM bernama Mbizmarket, pembiayaan  ini juga bisa dimanfaatkan perusahaan-perusahaan yang ada di ekosistem Mbiz.

Disinggung apakah nantinya Mbiz berencana untuk memperluas kemitraan dengan institusi keuangan atau layanan fintech lending lainnya, Rizal menegaskan fokus mereka saat ini melihat perkembangan kerja sama strategis dengan Investree terlebih dahulu. Namun jika ada pihak-pihak terkait yang ingin menjalin kolaborasi dengan Mbiz, tidak menutup kemungkinan adanya kerja sama strategis lainnya.

Sebelumnya Mbiz juga telah menghadirkan layanan leasing menggandeng Tokyo Century Corporation, perusahaan pembiayaan terbesar di Jepang.

Secara keseluruhan, pelaku e-procurement yang memanfaatkan platform Mbiz dan Mbizmarket saat ini diklaim terus mengalami peningkatan. Skala perusahaan yang memanfaatkan platform mereka juga beragam, mulai dari perusahaan besar hingga UKM. Dibandingkan dengan tahun 2018 lalu, tahun ini Mbiz mencatat jumlah perusahaan penyedia barang dan jasa meningkat 60%, sedangkan perusahaan pembeli barang dan jasa meningkat hingga 40%.