Misi Platform Edtech “Edukita” Dorong Pembelajaran Daring Interaktif

Edtech merupakan sektor yang berkembang pesat selama beberapa tahun terakhir. Model pembelajaran daring memungkinkan orang untuk dapat belajar di mana dan kapan saja. Hal ini menjadi salah satu alasan edtech masih banyak diminati. 

Edukita, platform edtech yang berdiri sejak dua tahun terakhir ini, memiliki misi sederhana untuk memberikan pengalaman belajar internasional yang dapat dijangkau secara luas di Indonesia. Pihaknya menilai akses terhadap informasi, konten, dan pengetahuan sangat berkembang, tetapi tidak diikuti dengan motivasi belajar.

Maka itu, Edukita hadir sebagai platform pembelajaran daring yang interaktif dengan metode pengajaran yang dapat meningkatkan motivasi belajar anak. Platform ini mengklaim punya konsep kelas yang berbeda dari kelas pada umumnya. Kurikulumnya terbagi antara 80% praktik dan 20% teori, yang mana bertujuan untuk mengajarkan para siswa untuk berpikir kritis.

“Bukan dengan cara tradisional, seperti membaca jurnal riset, tetapi dengan kelas menyenangkan seperti ‘Detective Club’. Kami mengajak siswa mencari petunjuk, menyimpulkan, dan mempresentasikan kasus ini di kelas. Metode ini dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam berpikir kritis hingga menyelesaikan masalah,” tutur Co-Founder & CEO Edukita Peter Gumulia dihubungi oleh DailySocial.id.

Peter berpendapat, kebanyakan pembelajaran daring saat ini cenderung membosankan. Hal ini membuat banyak siswa dan orang tua menganggap online learning tidak lebih efektif dari pembelajaran tatap muka. Padahal, salah satu fondasi penting dari online learning adalah peningkatan motivasi belajar anak.

“Kami percaya pentingnya mendorong motivasi belajar anak dari usia dini dengan mendesain program belajar yang menginspirasi siswa untuk cinta proses belajar, agar mereka bisa tumbuh menjadi lifelong learner. For us in Edukita, we aim to make learning fun,” tambahnya. 

Di era revolusi 4.0 yang serba digital ini, anak-anak Indonesia dinilai perlu mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan global di masa depan. Kurikulum Edukita sejalan dengan semangat Kurikulum Merdeka yang diinisiasi oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, dengan mengedepankan relevansi dan lebih interaktif, yang melibatkan partisipasi aktif antara siswa dan guru.

Program Edukita

Berawal dari 5 siswa, berkembang menjadi 50 siswa dan ke 100 siswa, Edukita menyebut kini telah membantu ribuan keluarga di Indonesia. Adapun, program Edukita menerima murid dari usia 4 sampai dengan 18 tahun.

Saat ini, Edukita baru menawarkan program belajar Bahasa Inggris. Menurut Peter, materi bahasa Inggris adalah langkah awal dari Edukita. “Kami mulai dari bahasa Inggris karena kami percaya skill ini tak hanya penting, tapi wajib dimiliki oleh generasi penerus di Indonesia. Ke depannya, kami bertujuan untuk terus menyediakan produk pengembangan keterampilan holistik yang erat selaras dengan misi kami,” ujar Peter.

Edukita mendesain program belajar yang menginspirasi siswa untuk menyukai proses belajar. Tenaga pendidik dituntut fokus mengajarkan the ‘How’, tidak hanya the ‘What’. Di kelas, siswa tidak hanya menerima materi secara terus menerus, melainkan siswa didorong untuk menyampaikan pendapat dengan topik-topik pembicaraan yang relevan dengan keseharian.

Terdapat dua program utama untuk kelas bersama native speaker, program regular yang berisi 10-15 murid dan small group yang berisi 4-6 murid. Di samping itu ada juga program bridging dengan guru lokal yang berpengalaman dari tempat kursus ternama. Edukita juga menawarkan kelas gratis sebelum para murid mengambil program penuh.

Program utama di Edukita melatih keterampilan praktik verbal (conversation) dan menulis (writing), bukan hanya teori dan hafalan pada umumnya. Selain program tersebut, Edukita menyediakan program-program pilihan berbasis internasional lainnya seperti Public Speaking, Book Club, dan Debate.

Kurikulum di Edukita berbasis internasional: ACTFL dari Amerika Serikat dan CEFR dari Eropa. Materi kelas mencakup topik-topik menarik, menyenangkan, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. Metode pengajaran didesain untuk membangun kepercayaan diri dan kemampuan berpikir kritis agar murid-murid siap untuk menghadapi tantangan di dunia modern.

Tenaga pendidik di Edukita sendiri sudah melalui proses kurasi yang ketat. Kunci Edukita dalam merekrut adalah keberagaman. “Guru-guru kami tinggal di berbagai belahan dunia, mayoritas berasal dari Amerika Serikat dan Inggris. Kami memiliki guru dengan pengalaman di special education, bahkan ada juga yang bekerja di Disneyland,” tambah Peter.

Sumber: DSResearch

Di Indonesia sendiri, sektor edtech masih terus berkembang meski beberapa pemain besar sempat diterpa badai layoff. Berdasarkan data dari laporan DSResearch bertajuk “Edtech Report 2020: Transforming Education” terdapat sekitar 50 pemain edtech yang dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kategori.

Zenius Kembali Rumahkan Puluhan Karyawan

Startup edtech Zenius kembali menempuh langkah PHK terhadap puluhan karyawannya. Perusahaan berdalih iklim ekonomi telah menciptakan tantangan yang belum pernah ada sebelumnya sehingga manajemen harus menyelaraskan dan memprioritaskan kembali organisasinya demi memastikan pertumbuhan jangka panjang.

“Untuk mencapai tujuan menjadi arus kas yang positif dan memastikan keberlanjutan perusahaan kami, Zenius harus membuat beberapa keputusan sulit yang secara langsung akan memengaruhi karyawan kami. Semua aspek bisnis sedang dioptimalkan untuk meningkatkan efisiensi, termasuk pengurangan tenaga kerja,” ucap manajemen Zenius dalam keterangan resmi yang diterima DailySocial.id.

Perusahaan tidak merinci berapa banyak karyawan yang terdampak atas keputusan tersebut. Namun, dari kabar yang beredar di media sosial, sebanyak 36 orang dari 120 karyawan terkena PHK. Tim yang terdampak adalah engineer dan produk. Apabila kabar ini benar, saat ini karyawan Zenius tinggal 84 orang.

Sejak 2022, Zenius telah mengumumkan PHK sebanyak dua kali. Pengumuman pertama diumumkan pada Mei, mereka merumahkan sekitar 200 orang. Kemudian pengumuman kedua, pada awal Agustus, dikabarkan ada 600 orang yang dirumahkan dari berbagai divisi.

Perusahaan melanjutkan, “[..] Zenius memahami saat ini adalah masa yang sulit bagi masyarakat yang terkena dampak, sehingga perusahaan akan melanjutkan manfaat asuransi kesehatan mereka hingga 30 Maret 2023 termasuk anggota keluarga mereka. Selain itu, Zenius juga memperpanjang layanan konseling kesehatan dengan konsultan pihak ketiga kami hingga 30 Maret 2023.”

Sempat tumbuh subur sejak pandemi, Zenius melakukan perekrutan besar-besaran. Tercatat, menurut data RevoU, Zenius menempati peringkat ke-8 dengan penambahan 599 orang dari 606 menjadi 1.205 karyawan. Data ini tercatat dalam rentang waktu Mei 2021-2022.

Industri edtech

DSResearch pernah mengulas industri edtech di Indonesia bertajuk “Edtech Report 2020: Transforming Education”. Mengutip hasil riset Holon IQ, mereka memetakan layanan edtech ke dalam beberapa kategori: pembelajaran bahasa, steam dan coding, pembiayaan pendidikan, keterampilan dan pekerjaan, pendidikan tinggi, verifikasi, manajemen dan lingkungan belajar, pendidikan tinggi, dan dukungan pembelajar. Mereka juga memetakan 50 pemain edtech yang signifikan di setiap kategori.

Dari survei terhadap 500 responden, jenis layanan edtech populer yang pernah dan paling banyak digunakan orang adalah online tutor. Sedangkan kurang dari 20% orang yang pernah menggunakan MOOC (Massive Open Online Course). Berdasarkan jenis kelamin, 71,3% laki-laki pernah menggunakan tutor online, sedangkan 74,1% perempuan pernah menggunakan e-learning.

Hanya saja, di balik potensi menggiurkan ini, layanan edtech tidak dapat diakses oleh semua pelajar lantaran sistem pendidikan Indonesia tidak dilengkapi dengan baik untuk meningkatkan pembelajaran online dengan cepat. Banyak siswa di daerah pedesaan kekurangan konektivitas, dan banyak siswa berpenghasilan rendah tidak memiliki akses ke perangkat yang diperlukan untuk menggunakan layanan edtech.

Laporan ini juga menekankan sektor edtech Indonesia menghadapi hambatan besar yang mencegahnya untuk meniru tingkat keberhasilan dibandingkan sektor teknologi lainnya dan di negara lain.

Berikut kendala dari sisi penawaran:

  • Akses pendanaan yang sulit,
  • Biaya akuisisi tinggi, terutama untuk mendapatkan dan mempertahankan pelanggan baru,
  • Kurangnya talenta berkualitas untuk mengembangkan dan memelihara produk.

Kemudian kendala dari sisi permintaan, termasuk:

  • Kemauan yang rendah untuk membayar dari sekolah dan orang tua,
  • Kurangnya literasi digital, terutama di pihak penyedia pendidikan,
  • Infrastruktur digital yang buruk, yang membatasi konektivitas di wilayah terpencil dan kecepatan unduh di seluruh negeri.

Kondisi di atas diperumit lagi dengan tanggung jawab yang tumpang tindih antara pemerintah daerah dan pusat pada alat pendidikan baru, bersama dengan terbatasnya sistem pendidikan publik, kapasitas dan insentif terbatas untuk menilai potensi produk edtech.

Edtech Report 2020: Transforming Education / DSResearch

Terlebih itu, pertumbuhan sektor edtech Indonesia sejalan dengan investasi yang dikucurkan untuk sektor ini. Mayoritas perusahaan edtech didirikan dalam enam tahun terakhir.

Startup Edtech Cakap Paparkan Kinerja Positif, Miliki Tiga Juta Pengguna

Startup edtech Cakap memaparkan kinerja positif sepanjang tahun lalu. Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (21/2), Co-founder dan CEO Cakap Tomy Yunus mengapresiasi konsistensi seluruh timnya dengan mencatat kinerja keuangan yang baik.

“Fokus perusahaan terletak pada fundamental dan performa unit ekonomi yang positif. Ekspansi ke pendidikan vokasi (TVET) dan layanan pembelajaran bauran (blended learning) sebagai bagian dari komitmen kami membangun bangsa juga merupakan kunci keberhasilan di tahun 2022,” ujar Tomy.

Berikut pencapaian bisnis perusahaan:

  • Tiga tahun berturut-turut membukukan laba dengan margin EBITDA positif
  • Pendapatan tumbuh 10x lipat sepanjang 2020-2022
  • Memiliki lebih dari tiga juta pengguna, dari kalangan usia produktif 20-39 tahun tersebar di 96 dari total 98 kota di Indonesia
  • Kontributor pendapatan perusahaan: Bahasa menyumbang 50%, kemudian sisanya Upskill dan Bisnis
  • Memiliki lebih dari 1.800 pengajar datang dari Indonesia, serta negara-negara di Asia Pasifik dan Eropa
  • Menjalin lebih dari 600 kemitraan dengan institusi pendidikan, perusahaan, instansi pemerintahan, hingga yayasan. Salah satunya, kerja sama dengan provider Telkomcel asal Timor-Leste untuk penyediaan program pembelajaran dari Bahasa Portugis hingga keterampilan di luar bahasa.

Chief of Business Cakap Jonathan Dharmasoeka merinci, dari segmen Bahasa, tercatat kursus Bahasa Inggris masih menjadi primadona bagi para penggunanya. Kemudian, disusul Mandarin, Korea, Jepang, dan Bahasa Indonesia. Ditambah, saat pembelajarannya kini sudah dikembangkan dari daring menuju bauran (blended learning) sehingga makin menarik minat para pengguna. Sementara itu, untuk kursus di luar bahasa, materi di bidang pertanian, pemasaran, dan yang terkait dengan pariwisata masih menjadi top three courses.

“Cakap yang telah terdaftar sebagai Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP) Kemendikbud serta Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) Kemenaker ini, memiliki rating stabil di 4,9 pada Google Play Store dan telah memberikan impact satu juta kegiatan pembelajaran melalui 487 materi yang terbagi ke dalam 17.000 modul pelatihan bahasa hingga vokasi,” kata Jonathan.

Tomy pun menutup, “Agar bisnis ini terus memberikan manfaat, Cakap senantiasa menjalankan prinsip berkesinambungan dengan menerapkan tiga prinsip Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs), terutama untuk poin 4 (Pendidikan berkualitas), 8 (Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi), dan 10 (Berkurangnya kesenjangan). Kami yakin ini juga menjadi kunci bagi Cakap untuk menjadi terus berinovasi dan menjadi solusi pengembangan diri bagi anak bangsa.”

Lanskap bisnis edutech

Di Indonesia, vertikal bisnis seperti Cakap juga dijalankan oleh Ruangguru yang menyediakan English Academy, dan pemain konvensional seperti English First dan Wall Street English. Sementara untuk kursus peningkatan skill juga diramaikan oleh sejumlah pemain, seperti RevoU, Coursera, Kuncie, Udemy, Binar Academy, dan masih banyak lagi.

DSResearch pernah mengulas industri edtech di Indonesia bertajuk “Edtech Report 2020: Transforming Education”. Mengutip dari hasil riset Holon IQ, mereka memetakan layanan edtech ke dalam beberapa kategori: pembelajaran bahasa, steam dan coding, pembiayaan pendidikan, keterampilan dan pekerjaan, pendidikan tinggi, verifikasi, manajemen dan lingkungan belajar, pendidikan tinggi, dan dukungan pembelajar. Mereka juga memetakan 50 pemain edtech yang signifikan di setiap kategori.

Sumber: DSResearch

Dari laporan ini, dari survei terhadap 500 responden, terungkap bahwa jenis layanan edtech populer yang pernah dan paling banyak digunakan orang adalah Online Tutor. Sedangkan kurang dari 20% orang yang pernah menggunakan MOOC (Massive Open Online Course). Berdasarkan jenis kelamin, 71,3% laki-laki pernah menggunakan tutor online, sedangkan 74,1% perempuan pernah menggunakan e-learning.

Setengah responden di bawah usia 20 tahun kebanyakan menggunakan tutor online, sementara kelompok usia lain pernah menggunakan e-learning. Sekitar 50% orang sebagian besar setuju bahwa layanan edtech yang pernah digunakan mudah diakses, materi disampaikan dengan baik, sesuai dengan kebutuhan & anggaran mereka, dan kontennya relevan.

Sumber: DSResearch
Sumber: DSResearch
Application Information Will Show Up Here

Cakap Gandeng Telkomcel untuk Tingkatkan Mutu SDM di Timor Leste

Platform edtech Cakap menjalin kerja sama dengan PT Telkom Indonesia Internasional (Telin) melalui Telkomcel untuk meningkatkan mutu Sumber Daya Manusia (SDM). Telkomcel merupakan operator telekomunikasi yang beroperasi di Timor Leste.

Co-Founder & CEO Cakap Tomy Yunus mengungkapkan, “kerja sama ini merupakan langkah ekspansi luar negeri pertama di 2023. Cakap berusaha akan menghadirkan konten yang relevan sesuai kebutuhan pasar di Timor-Leste.”

Saat ini, program yang akan dilayani para guru/ahli dari Cakap mencakup kemampuan bahasa asing dan skill teknis. Namun, tidak menutup kemungkinan akan ada scope lain seiring program ini berjalan. Beberapa program yang ditawarkan antara lain Bahasa asing Portugis, literasi keuangan, strategi pemasaran digital, hingga layanan pelanggan.

CEO Telkomcel Benedictus Ardiyanto Priyo mengungkap kerja sama ini bertujuan untuk menjawab tantangan pasar saat ini terhadap SDM berkualitas. Pihaknya merasa perlu ambil bagian untuk meningkatkan literasi bahasa, baik untuk internal, mitra bisnis, serta masyarakat Timor-Leste secara keseluruhan.

Selama sepuluh tahun terakhir, Telkomcel berupaya untuk berkontribusi pada pembangunan bangsa melalui capacity building melalui program beasiswa untuk talenta lokal, sertifikasi, hingga pelatihan dalam dan luar negeri. “Kami tidak bisa sendiri untuk menjawab tantangan yang ada, terutama dalam peningkatan kemampuan, pemecahan persoalan bisnis, hingga konsumen,” ujarnya.

Bicara penyerapan tenaga kerja, ini juga merupakan salah satu isu fundamental di Indonesia. Dari sisi supply, jumlah tenaga kerja mencapai ribuan sampai jutaan lulusan yang dihasilkan sekolah kejuruan atau perguruan tinggi setiap tahunnya. Demand dari industri juga cukup besar. Namun, banyak pelaku industri yang kesulitan untuk menemukan talenta yang berkualifikasi.

Studi J.P. Morgan dan Singapore Management University menemukan bahwa salah satu penyebab rendahnya jumlah tenaga kerja berkualitas di Indonesia dikarenakan kesenjangan antara dunia akademik dan industri. Situasi tersebut diperparah oleh pandemi yang akibatnya dirasakan oleh lebih dari 29 juta pekerja di Indonesia menurut data Badan Pusat Statistik (BPS).

Perkembangan Cakap

Didirikan pada tahun 2014, Cakap telah berkembang menjadi salah satu platform edtech terbesar di Indonesia yang mengembangkan aplikasi pembelajaran online dengan interaksi dua arah antara siswa dan guru melalui panggilan video dan percakapan teks. Konsep ini memungkinkan interaksi pembelajaran dua arah untuk pembelajaran life skill di seluruh Asia Pasifik. ​

Di akhir 2021, Cakap meluncurkan Teacher Academy yang merupakan program pelatihan mengajar melalui platform online, dimulai untuk guru bahasa Inggris. Di dalamnya merangkum teknik mengajar komunikatif dan pemanfaatan teknologi. Cakap mengklaim telah memimpin kursus bahasa online untuk segmen dewasa dan anak-anak di Indonesia. Cakap juga telah memberdayakan lebih dari 1.000 guru di seluruh daerah.

Selain layanan pembelajaran yang sudah ada, Cakap UpSkill juga diklaim mendapatkan respons baik dari masyarakat untuk mengurangi gap of competency di angkatan kerja Indonesia. Tercatat sudah lebih dari 100 ribu alumni dihasilkan dari program pelatihan yang menyasar beragam profesi mulai dari digital marketer, engineers, SMEs owner, sampai tenaga pariwisata.

Primeskills Hadirkan Platform Edtech Berbasis “Extended Reality” dan Gamifikasi

Perkembangan teknologi telah menciptakan transformasi di berbagai sektor, salah satunya pendidikan. Proses belajar-mengajar yang semula tradisional kini semakin melibatkan teknologi, seperti yang tengah dikembangkan oleh Primeskills, startup edtech berbasis extended reality (XR) dan gamifikasi.

Startup ini didirikan di 2020 oleh William Irawan dengan misi menciptakan masa depan di mana masyarakat bisa mendapat pendidikan merata dan terdistribusi. Indonesia diprediksi mengalami bonus demografi pada 2030 mendatang. Populasi penduduk usia kerja diperkirakan melebihi 208 juta jiwa dengan sekitar 69% masuk dalam angkatan kerja.

Meski begitu, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka pengangguran di Indonesia telah mencapai 5,83% dari total penduduk usia kerja. Dari jumlah tersebut, hampir 14% di antaranya merupakan lulusan jenjang pendidikan diploma dan sarjana (S1). Primeskills melihat skill gap sebagai salah satu penyumbang tingginya angka pengangguran di Indonesia.

Dalam keterangan resminya, William mengungkapkan, “berangkat dari masalah tersebut, kami mengembangkan inovasi training berbasis XR dan gamifikasi untuk mempersempit jarak keterampilan antara lulusan dan industri saat ini, seperti pembuatan modul dan konten menggunakan teknologi virtual reality (VR) demi meningkatkan kualitas pembelajaran.

Hal ini didukung oleh riset global Price Waterhouse Cooper (PwC) di mana para peserta pelatihan dengan menggunakan AR dan VR mengaku empat kali lebih cepat dan fokus berlatih dibanding di dalam kelas, 275% lebih percaya diri untuk mengaplikasikan pembelajaran keterampilan setelah training, dan 3,75 kali lebih terkoneksi secara emosional dengan materi yang diajarkan. Hal ini membuktikan AR dan VR dapat meningkatkan inovasi dan produktivitas.

Primeskills memosisikan diri sebagai enabler modul pembelajaran menggunakan teknologi terkini, yaitu Virtual Reality (VR), Augmented Reality (AR), dan Learning Experience Platform, menjadikan pelatihan menjadi lebih imersif, lebih mudah dipahami, dan lebih efisien dalam proses pembelajarannya.

Melalui model bisnis B2B, Primeskills menyediakan kebutuhan mitra bisnisnya, mulai dari penyediaan perangkat VR Headset, pengembangan modul pembelajaran interaktif yang terkostumisasi dengan kebutuhan mitra bisnis, hingga layanan purna jual secara berkala, serta beberapa sistem pendukung pembelajaran yang memungkinkan mitra bisnis menggabungkan pembelajaran yang sudah ada dan modul yang dihasilkan oleh Primeskills dengan mudah.

Perusahaan membentuk ekosistem teknologi VR, dari proses menyediakan kurikulum, development, penyediaan hardware, hingga after sales. Primeskills telah merampungkan modul untuk beberapa industri, di antaranya industri perbankan, pendidikan, hospitality, dan healthcare.

Teknologi XR yang dikembangkan Primeskills merupakan gabungan dari seluruh immersive technology, seperti AR, VR, dan mixed reality (MR). Primeskills percaya dengan tidak hanya berfokus pada satu atau dua gaya belajar, melainkan menggabungkan dari auditori, visual, serta kinestetik sehingga diharapkan delivery pembelajaran jauh lebih efektif dan lebih mudah dipahami.

Target bisnis

Sepanjang 2022, Primeskills telah bekerja sama dengan beberapa institusi perbankan. Salah satunya, bersama CIMB Niaga telah menyelesaikan total lebih dari 1.500 jam pelatihan modul VR Training dan mendistribusikan total 325 unit VR Headsets ke 95 kota di seluruh Indonesia. Kerja sama ini merupakan salah satu penerapan VR training business-to-business (B2B) terbesar di Asia Tenggara.

Perusahaan juga telah bermitra dengan Universitas Kristen Petra untuk mengembangkan platform pembelajaran dan modul-modul XR interaktif untuk menjangkau pasar B2C. Salah satunya membuat metode pembelajaran berbasis digital yang mengombinasikan visual novel dan XR agar semakin menarik.

Di samping itu, termasuk dalam portofolio Primeskills, salah satu perusahaan retail terbesar Kawan Lama Group. Primeskills berperan menyediakan public showcase pada offline store mereka yang menggabungkan teknologi imersif khususnya VR yang dibuat, seperti situasi kehidupan asli untuk mempromosikan produk-produk unggulan mereka.

Di pemerintahan, Primeskills memenuhi kebutuhan VR Assessment untuk Kemendagri guna kebutuhan penilaian karyawan. Selain itu, pada awal tahun 2022 Primeskills telah menjalin kerjasama lanjutan dengan Kemenag RI untuk mendukung acara tahunan Hari Santri Nasional.

Secara spesifik, di tahun 2023 Primeskills akan terus mendorong peningkatan kualitas keterampilan lulusan universitas agar relevan dengan kebutuhan industri demi menekan angka skill gap di Indonesia, melalui pengalaman praktik dan soft skill training menggunakan teknologi XR dan gamifikasi.

Dalam wawancara terpisah, perusahaan mengungkapkan tengah fokus  adalah pada industri yang membutuhkan banyak pelatihan soft skills karena beberapa produk dan para ahli yang bekerja sama dengan kami bergerak pada bidang pelatihan tersebut seperti pelatihan leadership, coaching, customer services, sales, manners, public speaking, dsb.

“Sasaran target kami dimulai dari industri pendidikan hingga industri yang berfokus pada pengembangan SDM. Harapannya, kami dapat berperan aktif untuk meminimalisasi skill gap dan mendukung lulusan dari industri pendidikan untuk siap kerja,” tambah William.

Pihaknya meyakini teknologi teknologi imersif mampu menjadi solusi untuk tantangan skill gap di masa mendatang. Oleh karena itu, Primeskills akan terus meningkatkan performa kualitas teknologi dan berfokus dengan industri yang relevan, juga disesuaikan dengan tujuan di atas, yakni peningkatan kualitas SDM dengan menyasar human resources dan universitas.

“Sesuai visi kami, untuk memberikan edukasi immersive yang juga menyenangkan bagi masyarakat, kami akan terus berupaya menghadirkan teknologi imersif dan support system-nya menjadi solusi yang dapat dijangkau oleh masyarakat luas. Dan dapat dinikmati bagi mitra bisnis kami saat ini maupun untuk calon mitra kami kedepannya baik dari sisi B2B maupun B2C,” tutup William.

Primeskills merupakan salah satu portofolio dari UMG Idealab Indonesia. Berdiri sebagai venture capital, UMG Idealab menyebutkan telah bertransformasi menjadi venture builder pada 2020. Saat ini perusahaan fokus mengembangkan tiga hal krusial, yaitu mengatasi perubahan iklim, mengatasi kesenjangan pendapatan, dan membantu UMKM bersaing secara global.

Fokus Startup Edtech “SekolahPro” Jembatani Integrasi antara Pemerintah dan Sekolah

Berawal dari penyediaan teknologi Learning Management System (LMS), SekolahPro startup edtech yang berbasis di Pontianak kini telah berkembang menjadi one-stop solution untuk ekosistem sekolah. Founder & CEO SekolahPro Firman Cahyadi mengungkapkan, tidak hanya pada sekolah SMA dan SMK, SekolahPro juga mengembangkan inovasi pada sekolah berkebutuhan khusus dan inklusi.

“Pada awalnya, SekolahPro dirancang sebagai LMS yang fokus pada upscaling kualitas manajemen sekolah dan pembelajaran. Lalu terjadi pandemi, membuat kami menyikapi tantangan pendidikan di masa Covid-19 di wilayah provinsi Kalimantan Barat dengan berinovasi menyediakan platform edutech yang menyasar komunikasi terintegrasi antara layanan publik milik pemerintah dengan sekolah,” kata Firman.

SekolahPro juga membantu pihak sekolah menghadapi kurikulum merdeka yang disesuaikan dengan tujuannya, yaitu menciptakan pendidikan yang menyenangkan, mengejar ketertinggalan pembelajaran, dan mengembangkan potensi peserta didik.  Hingga saat ini SekolahPro telah terintegrasi di 35 sekolah, digunakan 288 guru dan 13.224 peserta didik yang tersebar di 14 kabupaten di  Kalimantan Barat.

Hingga saat ini SekolahPro juga belum memiliki rencana untuk melakukan ekspansi ke wilayah lainnya di luar Kalimantan Barat. Namun demikian tidak menutup kemungkinan daerah yang akan disasar oleh perusahaan selanjutnya adalah Papua, yang saat ini masih dalam tahap penjajakan.

“Tujuan kami memang nasional namun kami ingin memastikan ketika ingin melakukan ekspansi ke wilayah lain, dari sisi hukum dan kebijakan sudah tepat sehingga dengan mudah bisa melakukan hal yang sama. Hal ini terkait kemitraan yang terjalin dengan pemerintah setempat,” kata Firman.

Tahun ini SekolahPro memiliki rencana untuk menambah jumlah siswa dan sekolah hingga institusi pendidikan dalam ekosistem SekolahPro. Kerja sama dengan pemerintah juga akan makin digencarkan oleh SekolahPro.

Strategi monetisasi SekolahPro

Karena mitra strategis SekolahPro adalah pemerintah yang telah memiliki alokasi dana untuk pendidikan dan perluasan ekosistem yang menjadi tanggung jawab pemerintah, mereka belum pernah melakukan penggalangan dana. Strategi monetisasi lainnya yang diterapkan oleh SekolahPro adalah dengan mengenakan biaya yang sangat terjangkau kepada siswa hingga institusi pendidikan seperti yayasan hingga universitas.

“Untuk bisa memperluas layanan ke wilayah lainnya, tidak menutup kemungkinan perusahaan ke depannya akan melakukan penggalangan dana, agar proses scale-up bisa dilakukan,” kata Firman.

Mengklaim sebagai teknologi LMS yang berbeda dengan platform lainnya, SekolahPro juga terintegrasi dengan universitas untuk pendaftaran calon mahasiswa baru dan penyajian data dari sekolah secara real time yang dapat dipantau oleh pihak yang berkepentingan seperti kepala sekolah, ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), hingga Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Integrasi serupa juga telah dilakukan oleh SekolahPro dengan SMK dan industri terkait yang selama ini membutuhkan tenaga magang atau PKL langsung dari SMK. Bukan hanya pihak sekolah yang dapat memantau jalannya proses PKL, namun industri pun dapat melihat proses PKL siswa SMK yang tergabung dalam ekosistem SekolahPro.

SekolahPro berkomitmen untuk berkontribusi aktif dalam menyediakan layanan solusi pendidikan dan manajemen sekolah agar menjadi profesional dengan membantu sekolah menyajikan data analytic yang terkoneksi dengan pemerintah daerah. Sehingga, pemerintah setempat mudah dalam melihat dan mengambil kebijakan berbasis data di setiap sekolah sekolah dibawah pengawasannya.

“Kami melihat urgensi masalah dalam sektor pendidikan publik antara pemerintah daerah dengan sekolah, seperti ekosistem sekolah yang tidak terintegrasi, manajemen sekolah yang masih manual, dan data yang tidak up-to-date. Belum lagi layanan informasi pendidikan, layanan informasi sekolah dan kampus, dan informasi dunia industri yang tidak terintegrasi di lingkungan warga Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Padahal, integrasi manajemen dan informasi sangat krusial jika kita berbicara tentang peningkatan kualitas manajemen sekolah dan pembelajaran,” kata Firman.

Flying Cape Akuisisi Kiddo untuk Melancarkan Ekspansi Regional

Platform edtech yang fokus menyediakan aktivitas belajar dan hiburan anak Kiddo mengumumkan telah diakuisisi Flying Cape untuk mendukung ekspansi regionalnya. Flying Cape adalah platform edtech yang menyediakan layanan pemesanan dan konsultasi  pendidikan, baik untuk kelas formal maupun nonformal. Layanan ini ditujukan bagi calon peserta didik usia dini hingga setara sekolah menengah atas.

Akuisisi ini ditempuh melalui penerbitan saham baru di Flying Cape kepada pemegang saham Kiddo, termasuk melibatkan OCBC NISP Ventura yang merupakan investor awal Kiddo. Komitmen ini menunjukkan bahwa setelah akuisisi ini, OCBC NISP Ventura dan pemegang saham lainnya akan terus mendukung Flying Cape Group dalam pertumbuhan bisnisnya.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO Kiddo Analia Tan mengungkapkan, Flying Cape dam Kiddo memiliki visi yang sama untuk membangun ekosistem edukasi global. Dengan bersatu dirinya optimis  dapat merealisasikan visi tersebut secara lebih cepat.

Disampaikan juga, Kiddo tetap berjalan secara independen, namun akan banyak sinergi yang akan dilakukan bersama dengan Flying Cape.

“Bersama dengan Flying Cape, kami akan menjadi jembatan bagi mitra edukasi di negara masing-masing untuk saling terhubung dan berkolaborasi, sehingga mitra kami bisa menjajaki peluang bisnis ke wilayah pasar yang lebih besar. Di sisi lain, pelajar juga bisa memiliki akses edukasi yang lebih bervariasi, baik dari dalam  maupun luar negeri.”

Meluncur tahun 2018 lalu, Kiddo menyasar kalangan orang tua yang membutuhkan pilihan baru untuk menghabiskan waktu yang berkualitas bersama anak. Varian produk Kiddo dilengkapi dengan berbagai aktivitas seperti program belajar, paket liburan, hingga kelas pelatihan.

“Kami sangat senang menyambut Kiddo sebagai anggota baru grup perusahaan. Dengan lebih dari 60 juta siswa, Indonesia memiliki sistem pendidikan terbesar di Asia Tenggara dan terbesar keempat di dunia setelah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat. Dengan kehadiran di Indonesia, kami ingin  menyediakan jaringan regional yang terintegrasi, memungkinkan pelajar dan penyelenggara pendidikan di Singapura dan Indonesia dapat terhubung  tanpa memandang lokasi geografis,” kata Founder & CEO Flying Cape Jamie Tan.

Pendanaan awal hingga kerja sama strategis

Sebelum diakuisisi Flying Cape, Kiddo termasuk startup edtech lokal yang cukup agresif menjalankan bisnisnya. Mereka telah mendapatkan pendanaan awal dari OCBC NISP Ventura.

Pada bulan Mei 2020 lalu, Kiddo juga telah menjalin kerja sama strategis dengan GogoKids dari Malaysia. Melalui kerja sama ini, pengguna dapat mengikuti kelas online yang berasal dari kedua negara. Penyedia layanan aktivitas anak asal Indonesia juga dapat memasarkan kelasnya lebih luas ke pelanggan di Malaysia.

Sementara itu tahun 2021 lalu, Kiddo juga menjalin kerja sama strategis dengan Kyna English yang merupakan penyedia layanan kursus berbahasa Inggris berstandar Cambridge asal Vietnam.

Kiddo juga telah meluncurkan fitur yang bernama “Milestone Tracker” yang memberikan kemudahan untuk orang tua dalam mengetahui potensi si kecil melalui tes tumbuh kembang dan potensi gratis dengan hasil real-time. Setelah mengetahui kecenderungan potensi anak, orang tua dapat mengakses ribuan panduan aktivitas yang sudah disesuaikan dengan hasil tes, untuk menstimulasi tumbuh kembang si kecil.

“Saat ini pengguna Kiddo tersebar di seluruh Indonesia dengan proporsi terbesar masih di Pulau Jawa. Kami juga mulai bekerja sama dengan sekolah dan perusahaan untuk menjangkau jutaan pelajar Indonesia untuk pemenuhan kebutuhan konten edukasi yang berkualitas,” kata Analia.

Startup Edtech “Kiddu” Fokus pada Pengembangan Diri dan EQ Anak di Usia Emas

Startup edtech Kiddu meresmikan kehadirannya ke publik pada Kamis (1/12). Startup ini berupaya menjembatani orang tua dengan anaknya dalam memenuhi pengembangan skill EQ (emotional intelligence) dan pengembangan diri (personal development) yang sangat berguna dari kehidupan dini hingga dewasa.

“Kebanyakan edtech fokus pada IQ yang erat kaitannya dengan peringkat dan sebagainya. Bukan berarti ini salah, tapi kadang yang terpenting begitu anak beranjak dewasa adalah EQ dan personal development. Saat ini, hal itu masih jomplang dan belum diajarkan di sekolah,” ucap Co-founder dan CEO Kiddu Mel Bj saat konferensi pers virtual.

Menurut Mel, kepintaran akademis semata (IQ) tidak menjamin kebahagiaan dan kesuksesan dalam kehidupan, karier, dan hubungan dengan antarmanusia. Kondisi ini dialami oleh orang dewasa saat ini di tengah kesibukannya bekerja, seperti kurang dalam mengelola emosi, menjaga kesehatan mental, percaya diri, mencintai diri sendiri, manner, dan kemampuan komunikasi yang baik.

“Terutama di era digital saat ini, banyak anak-anak yang sudah biasa bermain dengan internet dan gadget dan terekspos banyak informasi setiap harinya. Sangat penting membekali mereka dengan mindset positif dan critical thinking untuk melindungi mereka dari informasi yang tidak baik dan membuat keputusan yang tepat untuk hidup mereka sendiri sejak kecil,” ujarnya.

Oleh karenanya, EQ adalah penentu karakter dan perilaku anak yang sebenarnya punya dampak sangat penting dalam kehidupan sehari-hari, tetapi masih terlupakan. Selain itu, belum ada buku panduan atau sekolah yang mengajarkan bagaimana cara menjadi orang tua yang luar biasa. Biasanya orang tua berusaha melakukan yang terbaik dari pengalaman mereka dibesarkan oleh orang tua mereka sejak kecil. Bagi orang tua, mungkin saja itu cukup.

Namun, tidak sedikit juga dari orang tua yang merasa mereka hanya menggunakan insting, tanpa benar-benar tahu bagaimana cara yang tepat untuk mengajarkan anak-anak mereka skill kehidupan, seperti cara mengontrol emosi, berkomunikasi yang tepat, menghadapi konflik, dan lebih percaya diri.

“Maka perlu diajarkan dari masa anak-anak, ketika watak dan perilaku mereka masih dalam masa pembentukan, yaitu pada usia emas (0-7 tahun). Ini adalah saat yang tepat untuk mengajarkan moral, etika, emosi, kepercayaan diri, disiplin, dan skill EQ lainnya,” kata Mel.

Co-founder dan CMO Kiddu Fanny Lara Ambadar menambahkan, “EQ dan personal development itu penting karena di masa golden age, otaknya baru terbentuk dari sisi mindset. Jadi secara alam sadar atau di bawah sadar, ini akan jadi inner child sampai dia besar, yang mana self-esteem, dan manner itu misalnya, sangat penting untuk ditanamkan sejak dini.”

Solusi Kiddu

Menurut Mel, Kiddu ingin menjadi bagian dalam aksi perbaikan dan pengembangan EQ di masyarakat Indonesia, dimulai sejak dini. Solusi yang ditawarkan Kiddu adalah web app yang dapat diakses melalui browser di smartphone atau PC.

Karakter KidduSaurus / Kiddu

Aplikasi tersebut dirancang khusus menggunakan metode NLP, Neuroscience & Cognitive Behavior Psychology, dan didesain berbentuk gamifikasi yang menyenangkan untuk anak berusia 4-8 tahun. Konten-kontennya berisi video animasi, kuis, menggambar dan mewarnai, dan metode bermain sambil belajar lainnya. Seluruh konten ini masih berbahasa Indonesia, tetapi rencananya akan dikembangkan dengan terjemahan bahasa Inggris.

Proses belajarnya dimulai dari menonton video yang seru dan dapat dipilih orang tua. Setelah itu, akan ada kuis yang perlu diselesaikan, dan terakhir, mendapat tantangan seru yang bisa diunduh dan dikerjakan di rumah. Orang tua akan mendapat ulasan dari setiap pelajaran yang telah diambil terkait perkembangan anak.

“Kiddu bukan menggeser klinik anak yang ada, tapi sebagai penambah aktivitas anak di rumah yang sehari-harinya sudah terpapar dengan gadget. Kalau klinik itu tidak setiap hari belajarnya. Tapi di Kiddu mereka bisa belajar setiap hari dengan dibatasi maksimal dua pelajaran sehari,” lanjut Fanny.

Saat ini model bisnis yang digunakan Kiddu adalah berlangganan dengan memilih berbagai opsi durasi, mulai dari tiga bulan hingga paling lama setahun. Biayanya mulai dari Rp495 ribu untuk berlangganan selama tiga bulan hingga Rp1,18 juta untuk berlangganan selama setahun.

Mel berencana mempermudah akses para orang tua untuk memperkenalkan Kiddu dengan mode trial selama 7 hari atau 14 hari sebelum memutuskan untuk berlangganan penuh. Aplikasi Kiddu sendiri sudah dirilis untuk publik per (28/11), setelah melakukan berbagai testing selama tiga bulan dengan mewawancarai para orang tua sebagai responden untuk meminta masukan.

“Perkembangan awalnya kami memang masuk ke web app, bukan mobile app. Tapi memang ada agenda di 2023 bakal improve supaya user experience-nya bisa ditingkatkan. Kita juga mau tambah fitur yang lebih advanced untuk gamifikasi dan ada komunitas agar app ini bisa lebih fun.”

Tidak hanya meningkatkan awareness orang tua melalui aplikasi, ke depannya Kiddu berencana untuk melakukan kerja sama dengan ratusan sekolah di Jakarta dan Kemendikbud Ristek, menggaet psikolog influencer, dan melakukan aktivitas offline dengan menggelar Kiddu Offline Center untuk mempertemukan komunitas dan melakukan aktivitas bersama yang berkaitan dengan peningkatan kemampuan EQ anak.

Menurut Mel, sejauh ini perusahaan masih dalam tahap product-market fit, mencari solusi yang tepat di pasar sembari melihat model bisnis yang dipakai sudah tepat atau belum, sehingga belum aktif mencari penggalangan dari investor luar. “Kami open tapi tidak actively looking, kemarin sudah ada investor yang sudah menghubungi. Kemungkinan kebutuhan baru ada sekitar pertengahan atau akhir tahun depan.”

Ruangguru Lakukan Efisiensi Bisnis, Fokus Perdalam Model “Hybrid Learning”

Ruangguru telah melakukan layoff terhadap ratusan karyawannya. Tanpa menyebut angka pasti, pihak perusahaan telah mengonfirmasi kabar ini pada akhir pekan lalu. Tentu ini menambah daftar panjang startup teknologi lokal yang melakukan PHK dengan dalih efisiensi bisnis (menuju profitabilitas).

Sebagai platform edtech dengan layanan terlengkap, Ruangguru menjadi startup yang cukup disorot selama pandemi. Layanannya dinilai efektif untuk pembelajaran daring, terbukti mereka berhasil membukukan 22 juta pengguna pada tahun 2020 lalu.

Perusahaan juga mengatakan, tahun 2021 mereka mencapai Net Promoter Score (NPS) tertinggi di semua kategori produk dan pertumbuhan pendapatan berlipat ganda, menandai tahun pertamanya di titik profitabilitas. Anak usaha Ruangguru, yakni Skill Academy juga menjadi platform yang paling laris memfasilitasi program peningkatan kompetensi dari pemerintah dalam Kartu Pra-Kerja.

Dari tren pertumbuhan tersebut, akhirnya Ruangguru melakukan perekrutan besar-besaran, dengan harapan tetap bisa mempertahankan dan meningkatkan growth. Namun kondisi sosial dan ekonomi yang sangat dinamis pasca-pandemi, justru memberikan dampak yang kurang baik untuk “kesehatan” perusahaan.

Dua co-founder Ruangguru (Belva dan Iman) dalam keterangan resminya mengatakan:

“Di awal pandemi, layanan Ruangguru mengalami peningkatan permintaan yang besar yang berujung pada rekrutmen yang terlalu banyak dan terlalu cepat dalam dua tahun terakhir. Ditambah lagi, situasi ekonomi global belakangan ini memburuk secara drastis dan berada pada titik terendah dalam puluhan tahun terakhir, terlihat dari tingginya angka inflasi dan kenaikan suku bunga yang membuat iklim investasi dunia memburuk secara signifikan. Hal ini berdampak luas kepada komunitas startup teknologi global, termasuk kami di Ruangguru.”

“Teman-teman yang terdampak memperoleh pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak sesuai UU, perpanjangan asuransi dan gaji bulan terakhir bekerja dibayarkan penuh. Kami pun mengalokasikan tim rekruter Ruangguru khusus untuk memberikan dukungan pencarian perkerjaan, konsultasi psikologis, dan akses kelas pengembangan karier jika dibutuhkan.”

Baru peroleh pendanaan 800 miliar Rupiah

Menyusul pertumbuhan positif yang didapat satu tahun sebelumnya, pada pertengahan tahun 2021 lalu Ruangguru mengantongi pendanaan senilai $55 juta (lebih dari 800 miliar Rupiah) dipimpin Tiger Global Management. Putaran ini adalah lanjutan dari seri C yang diumumkan pada 2019 lalu, dipimpin oleh General Atlantic dan GGV Capital.

Secara valuasi, menurut sumber data yang kami dapat, saat ini kisarannya sudah mendekati status “unicorn”. Menjadikan Ruangguru startup pendidikan paling bernilai di negara ini.

Disampaikan lebih jauh dalam rilis pendanaan yang kami terima, dengan dengan peningkatan adopsi pembelajaran online yang dipercepat oleh pandemi Covid-19 global, Ruangguru telah mendorong pertumbuhan volume pengguna yang signifikan sepanjang tahun 2020.

Gerak lincah Ruangguru juga dimaksimalkan dengan ekspansi. Mereka masuk ke Thailand dengan memakai brand StartDee pada 2020, setelah hadir di Vietnam dengan brand KienGuru pada setahun sebelumnya.

Sesuaikan layanan

Turut disampaikan, langkah selanjutnya yang akan dilakukan Ruangguru adalah menggencarkan inovasi produk yang sesuai dengan kebutuhan konsumen pasca-pandemi. Salah satunya dengan fokus menyajikan hybrid learning memanfaatkan layanan aplikasi dan ruang belajar offline di Ruangguru Learning Centers. Saat ini tempat pembelajaran tersebut sudah memiliki 100+ cabang d berbagai kota.

Strategi serupa juga diterapkan rival Ruangguru, yakni Zenius. Setelah sempat melakukan layoff yang cukup masih pada Mei 2022 lalu, perusahaan mengatakan komitmennya untuk menghadirkan pembelajaran yang lebih sesuai dengan tren masyarakat saat ini. Salah satunya dengan mengoptimalkan jaringan Primagama yang tersebar di berbagai lapis kota.

Edtech memang cukup terakselerasi akibat pandemi. Namun adaptasi cepat yang dilakukan masyarakat kadang masih bersifat “prematur”. Transformasi yang harusnya dilakukan secara bertahap, dipaksa untuk diadopsi secara penuh. Akibatnya ada pengalaman belajar yang dirasa kurang, akibat gap yang belum bisa dijembatani — misalnya terkait kebiasaan belajar sampai terkait hal-hal teknis.

Di titik ini bukan berarti edtech dianggap tidak relevan lagi, melainkan harus mencari cara baru untuk menghadirkan pengalaman belajar yang lebih menyenangkan. Persis apa yang diyakini Belva dan Iman:

“Kami tetap sangat optimis dengan prospek dan posisi unik yang dimiliki oleh Ruangguru di sektor teknologi pendidikan di Indonesia […] Kami yakin dengan terus bekerja secara efektif dan efisien, kita akan keluar dari tantangan ekonomi global ini lebih kuat dan tangguh dari sebelumnya.”

Platform Edtech “KOCO” Ingin Bantu Kelas Menengah Akses Pendidikan Berkualitas

Sebagai platform edtech, KOCO menawarkan layanan dan teknologi untuk meningkatkan kualitas guru dan performa murid di Indonesia. Didirikan di Singapura tahun 2020 lalu, saat ini Indonesia telah menjadi pasar terbesar mereka.

Kepada DailySocial.id, Co-Founder & COO KOCO Faizal Abdullah menyampaikan rencana bisnisnya untuk memberikan layanan dan fitur yang relevan, sekaligus menghadirkan edukasi berkualitas untuk kalangan kelas menengah di tanah air.

Sasar kalangan underserved

Setelah melakukan survei dan riset, KOCO saat awal kehadirannya meluncurkan KOCO School dan Learning Management System (LMS) untuk para guru dan sekolah. Mereka menilai, untuk bisa meningkatkan kualitas pendidikan yang menjadi prioritas utama adalah dengan membantu para guru meningkatkan kompetensi atau kemampuan mereka.

Melalui KOCO School para guru bisa memanfaatkan fitur dan pelajaran untuk meningkatkan kemampuan mereka. Sementara untuk LMS, didesain untuk membantu produktivitas guru. Hingga saat ini KOCO mengklaim telah memiliki sekitar 20 ribu siswa, 3500 mitra guru, dan 300 sekolah yang bergabung ke dalam platform.

Melihat masih belum adanya layanan atau platform yang memberikan pilihan belajar untuk kalangan menegah, menjadi salah satu alasan kuat pada akhirnya KOCO meluncur di Indonesia. Menurut mereka, saat ini kebanyakan platform edtech yang sudah ada hingga fasilitas bimbingan belajar, masih terlalu mahal untuk bisa diakses oleh kalangan menegah yang juga ingin memberikan edukasi berkualitas kepada anak-anak mereka.

“Strategi kami adalah menyediakan akses pendidikan berkualitas bagi kelas menengah yang sedang naik daun. Di KOCO kami mengklasifikasikan kelas menengah sebagai mereka yang memiliki pendapatan rumah tangga per bulan Rp4juta – Rp19juta,” kata Faizal.

Kembangkan fitur untuk guru dan siswa

Untuk bisa memberikan layanan menyeluruh untuk guru dan siswa, KOCO meluncurkan KOCO Star. Layanan ini memberikan akses untuk self-learning bagi siswa yang membutuhkan konten pembelajaran tambahan. Dengan begitu, siswa hanya perlu mempelajari apa yang memang dibutuhkan, sehingga bisa lebih efisien dan efektif. Saat ini KOCO memfokuskan kepada pendidikan formal untuk siswa SD hingga SMA.

Melalui KOCO Star siswa bisa mengajukan pertanyaan melalui beberapa fitur yang mereka miliki. Di antaranya adalah fitur Tanya KOCO dan Live Guru.  Tidak perlu melakukan pemesanan dengan waktu yang lama, dengan durasi singkat juga bisa diakses edukasi berkualitas dari guru di KOCO Star.

Guru yang direkrut oleh mereka kebanyakan pengajar yang sudah memiliki pengalaman dan bekerja di sekolah umum. Untuk membantu guru honorer, KOCO juga menyediakan kesempatan terbuka bagi mereka yang ingin memiliki penghasilan tambahan dengan memanfaatkan KOCO Star.

“Pandemi telah membuat para guru terbiasa melakukan kegiatan belajar online. Sangat mudah bagi mereka untuk bergabung dengan KOCO, apalagi jika sebelumnya sudah familiar menggunakan Google Classroom, bisa secara langsung menggunakan KOCO,” kata Faizal.

Tersebar di pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan, persentase guru profesional dan guru honorer yang bergabung di KOCO adalah 60% untuk guru profesional dan 40% guru honorer. Untuk komisi, KOCO hanya mengambil 15% saja dari para mitra guru, sisanya diberikan kepada mereka. Untuk para guru, ke depannya perusahaan juga ingin membangun sebuah framework yang bisa membantu para guru meningkatkan jenjang karier hingga gaji mereka.

“Strategi kami adalah mengembangkan ekosistem bagi siswa dan guru untuk kebutuhan pendidikan dan pengembangan diri mereka. Kami akan meluncurkan 2 produk baru yang akan membantu siswa termotivasi untuk belajar, meningkatkan kompetensi dan guru juga para stakeholder yaitu orang tua, siswa, sekolah, dan guru,” kata Faizal.

Sebagai pasar terbesar mereka, ada beberapa target yang ingin dicapai oleh KOCO untuk Indonesia. Salah satunya adalah memiliki 1 juta siswa tahun 2023 mendatang sekaligus lebih banyak menjangkau kelas menengah untuk mengakses pendidikan berkualitas dengan harga terjangkau.

Rencana galang dana Pra-Seri A

Setelah menerima pendanaan dari angel investor dari Singapura senilai SG$700 ribu tahun 2021 lalu, para pendiri KOCO kemudian memutuskan untuk tidak melakukan penggalangan dana tahapan lanjutan di tahun ini. Salah satu alasannya adalah, tech winter yang bakal terjadi usai pandemi dan ketika kondisi sudah mulai berangsur pulih.

Namun demikian perusahaan mengklaim dengan menjalankan bisnis secara bootstrap dan memanfaatkan revenue yang telah diperoleh, perusahaan mampu untuk mendapatkan pertumbuhan pengguna yang positif demikian juga revenue.

Awal tahun depan perusahaan memutuskan untuk melakukan penggalangan dana putaran Pra-Seri A. Jika sesuai dengan rencana, bulan Juni tahun 2023 mendatang diharapkan sudah bisa diperoleh dana segar tersebut. Nilai investasi yang ingin di galang oleh KOCO adalah sekitar $3-5 juta.

“Idealnya kami ingin mendapatkan venture capital Indonesia yang mengerti benar lanskap edtech saat ini. Kami juga berharap bisa menemukan investor yang memiliki koneksi dengan sekolah, guna menambah jumlah mitra guru sekaligus murid dalam platform,” kata Faizal.

Berbeda dengan konsep yang ditawarkan oleh platform edtech pada umumnya saat ini, KOCO tetap fokus untuk membantu guru meningkatkan kompetensi sekaligus meningkatkan kemampuan para siswa. Di sisi lain perusahaan juga ingin membantu lebih banyak kelas menengah mendapatkan akses edukasi yang berkualitas dengan harga terjangkau.

“Menurut saya platform yang menawarkan edukasi dan keterampilan kognitif dan STEM akan banyak bermunculan. Namun kebanyakan platform tersebut tidak menyasar ke kelas menengah. Platform edtech lain mungkin mau menggarap pasar tersebut, tapi fokus kami adalah kelas menengah Indonesia, saat ini belum banyak platform edtech yang menyasar mereka,” kata Faizal.