Prediksi Dunia Persilatan MLBB Pasca MPL ID S2, JessNoLimit: Saya Ingin Liburan

Gelaran kompetitif Mobile Legends: Bang Bang (MLBB) paling bergengsi di Indonesia, MPL Indonesia Season 2, sudah selesai dengan Rex Regum Qeon (RRQ) O2 yang keluar sebagai juaranya.

Sebelum kita membahas perkiraan bursa transfer yang terjadi pasca gelaran ini, mari kita lihat sejenak urutan juara di turnamen ini.

  1. Juara 1: Rex Regum Qeon (RRQ)
  2. Juara 2: EVOS Esports
  3. Juara 3: ONIC Esports
  4. Peringkat 4: Louvre
  5. Peringkat 5: Saints Indo
  6. Peringkat 6: Aerowolf Roxy
  7. Peringkat 7: Bigetron Esports
  8. Peringkat 8: SFI Esports

Pasca turnamen-turnamen besar, kebanyakan tim memang akan melakukan evaluasi performanya masing-masing dan bisa jadi merombak formasinya – seperti yang terjadi pasca MPL ID S1.

RRQ dan EVOS Esports

Sumber: MLBB
Sumber: MLBB

Jika melihat performa tim dan individu di MPL ID S2, boleh dibilang hanya RRQ yang meraih hasil memuaskan; bukan hanya karena mereka juara tapi juga karena performa masing-masing pemainnya yang stabil di atas.

Baik Tuturu, Lemon, AyamJGO, AmpunOM (Instinct), dan Liam bermain cantik sepanjang musim dan di fase Grand Final. Formasi ini bahkan boleh dibilang yang terbaik dari RRQ.O2 sejak terbentuk. Jadi, kemungkinan besar, pihak manajemen RRQ tak perlu pusing merombak formasi. Para pemainnya pun juga seharusnya tak perlu mencari tempat berlabuh baru.

Dokumentasi: MPL Indonesia / Muhammad Thirafi Sidha
Dokumentasi: MPL Indonesia / Muhammad Thirafi Sidha

Aerowolf Roxy (yang dulu menggunakan nama TEAMnxl>) juga tak mengubah formasi pemainnya pasca kemenangan mereka di Season 1.

Di posisi juara 2, EVOS Esports bisa jadi berubah formasinya pasca MPL ini. Mereka mengalami jungkir balik performanya sepanjang musim, meski memang berujung cukup positif. Di pekan-pekan awal Regular Season MPL ID S2, EVOS Esports memang boleh dibilang mengecewakan namun mereka berhasil memutarbalik kondisi dan berakhir jadi Runner Up.

Di media session EVOS Esports yang digelar saat MPL ID S2 berjalan, tim ini bercerita bahwa mereka berhasil bangkit performanya setelah fokus latihan dan mengesampingkan kesibukan mereka lainnya sebagai content creator.

Sumber: MLBB
Sumber: MLBB

Meski berhasil jadi juara 2, capaian tersebut bisa jadi tak memuaskan buat manajemen ataupun para pemainnya. Apalagi jika kita melihat Eko “Oura” Julianto yang tetap tampil memukau meski saat rekan-rekan satu timnya terpuruk saat awal-awal musim, pemain ini tentunya sangat menggoda untuk dipinang oleh banyak klub esports lainnya.

JessNoLimit sendiri juga sebenarnya berhasil mematahkan anggapan para haters-nya yang mengatakan dia cuma menang populer. Performanya sepanjang musim terakhir juga memuaskan, meski bagi saya pribadi, masih sedikit di bawah Oura tadi. Hasil performanya ini tentunya membuat banyak tim MLBB lain kebelet membawanya keluar dari EVOS Esports. Apalagi, organisasi esports mana yang akan menolak gamer paling populer di Indonesia (setidaknya sampai artikel ini ditulis) yang punya lebih dari 3 juta subscribers YouTube jika ia ingin keluar?

Dokumentasi: MPL Indonesia / Muhammad Thirafi Sidha
Dokumentasi: MPL Indonesia / Muhammad Thirafi Sidha

Saat media session kedua bersama EVOS Esports setelah mereka berhasil jadi juara 2, JessNoLimit mengatakan ingin liburan dulu saat saya tanyakan rencananya pasca MPL ID S2. Oura, Emperor, Marsha, dan IOS juga mengutarakan hal yang serupa. Mereka ingin liburan melepas penat. Namun IOS juga menambahkan, “saya akan stay di EVOS jika masih dibutuhkan.”

Melihat sejarah pasca MPL ID S1 yang kala itu EVOS juga juara 2, mereka merombak formasinya cukup drastis. Ada Donkey yang pindah ke Louvre. Sedangkan KneEr dan Oreo juga dilepas dari EVOS. Mereka pun memasukkan Marsha (dari RRQ) dan Emperor (dari Bigetron PK) pasca MPL ID S1.

Bagaimana formasi EVOS pasca MPL ID S2? Kita tunggu saja bersama-sama.

Aerowolf Roxy dan ONIC Esports

Sumber: MLBB
Sumber: MLBB

Berbicara mengenai dunia persilatan Mobile Legends, tentunya tidak sah juga jika kita tidak berbicara soal Aerowolf Roxy dan ONIC Esports. Kedua tim ini masuk ke daftar tim papan atas meski memang tak sepopuler RRQ dan EVOS.

Ada yang menarik antara interaksi Aerowolf Roxy dan ONIC Esports pasca Regular Season namun sebelum fase Grand Final. Pasalnya, mereka bertukar pemain saat itu. Supriadi “Watt” Dwi Putra dari Aerowolf pindah ke ONIC. Sedangkan Muhammad “Ichsan” Ichsan dari ONIC pindah ke Aerowolf.

Sumber: MPL
Afrindo “Lucky” Valentino. Sumber: MPL

Afrindo “Lucky” Valentino mengaku performa formasi baru mereka di Regular Season melebihi ekspektasinya. “Saat tim-tim besar lainnya naik turun, performa kita malah lebih stabil dengan bergabungnya Ichsan dan Lian.” Katanya saat media session untuk Aerowolf Roxy di gelaran MPL ID S2.

Sayangnya, performa baik mereka di Regular Season tak dapat dilanjutkan di babak selanjutnya. Karena itulah, Aerowolf Roxy bisa jadi juga akan mengubah formasi mengingat performa mereka yang mungkin boleh dibilang mengecewakan di babak Grand Final kemarin. Muasalnya, mereka menempati peringkat 2 di akhir babak Regular Season namun harus gugur cukup awal di Grand Final dan berakhir di posisi 6.

Sumber: MLBB
Sumber: MLBB

Di sisi lainnya, Watt yang berganti-ganti peran (role) di ONIC mengaku lebih suka memainkan role tetap seperti saat ia bermain untuk Aerowolf. Namun ia terpaksa berganti-ganti peran di ONIC karena memang harus menutupi keterbatasan penguasaan hero (hero pool) dari rekan-rekan satu timnya.

Watt memang menarik untuk diboyong keluar dari ONIC mengingat ia boleh dibilang paling mencolok skill individunya dibanding rekan-rekan satu timnya. Ia bisa berganti peran dengan mudah, menutupi keterbatasan rekan satu tim, namun tetap menunjukkan kualitas papan atas.

Spade. Sumber: MLBB
Spade. Sumber: MLBB

Satu lagi pemain dari ONIC yang menarik untuk dibahas adalah Hansen “Spade” Meyerson. Spade merupakan MVP Regular Season di MPL ID Season 1. Performanya memang tak sefantastis di Season 1 namun ia tetap saja termasuk salah satu dari 3 pemain Marksman terbaik se-Indonesia, bersama Tuturu dari RRQ dan Rekt dari Louvre. Kemungkinan besar, Spade juga sudah masuk ke dalam daftar pemain incaran bagi tim-tim yang mencari pemain Marksman.

Tim-Tim Lainnya

Selain dari 4 tim besar tadi, ada beberapa nama yang menarik untuk dibahas di sini kali ini. 2 nama pertama yang ada di kepala saya adalah Haji Kakap dan Hinelle dari Saints Indo yang mungkin bisa dirayu untuk pindah. Kedua pemain ini berhasil mencuri perhatian dengan menampilkan performa yang menawan sepanjang musim bersama Saints Indo.

Ditambah lagi, secara organisasi dan manajemen, Saints Indo boleh dibilang belum sematang organisasi esports lainnya seperti 4 organisasi besar yang saya bahas di atas. Menarik saja membayangkan Haji Kakap atau Hinelle berbaju kuning bersama ONIC atau berbaju biru di bawah naungan EVOS Esports.

Sumber: MLBB
Sumber: MLBB

Setiap pemain Louvre, Rmitchi, Donkey, Rekt, Kiddo, dan Yor, juga punya keistimewaan di perannya masing-masing. Mengingat Louvre juga tak mampu meraih hasil yang memuaskan kali ini meski berisikan pemain-pemain hebat, ada kemungkinan, baik dari sisi pemain ataupun manajemen; mereka mencoba formasi baru.

Fabiens dan Jeel dari Bigetron juga layak disebutkan sebagai pemain yang wajib dilirik, meski Fabiens memang lebih mencolok performanya di musim kedua ini. Fabiens adalah pemain lama yang muncul namanya sejak MSC 2017. Ia pun cukup piawai dalam memainkan peran (role) sebagai Assassin ataupun Marksman.

Sumber: MLBB
Sumber: MLBB

Jeel juga pemain yang cukup lama di dunia persilatan MLBB meski memang baru di Season 2 inilah ia merasakan ketatnya persaingan di MPL. Ia mengaku MPL memang beda prestige-nya dibanding kompetisi-kompetisi tingkat nasional lainnya, saat saya tanyakan di sesi media untuk Bigetron di acara yang sama.

Oh iya, nama terakhir yang mungkin layak untuk dipertimbangkan adalah Doyok dari SFI Esports. Doyok bisa jadi adalah pemain Mobile Legends terbaik asal Pontianak. Ia memang sedikit tenggelam namanya di MPL ID S2 karena timnya, SFI, sepertinya benar-benar belum menemukan gaya bermain yang tepat. Namun skill individu Doyok sendiri sebenarnya setingkat atau bahkan lebih tinggi dari pemain-pemain lainnya yang lebih populer namanya.

Sebenarnya ada satu pemain yang sudah mengutarakan keinginannya ke saya untuk keluar dari timnya. Namun karena off-the-record, saya tidak dapat menyebutkan nama ataupun timnya sekarang. Pemain itu juga sangat istimewa dari sisi skill individu ataupun tim dan mulai dikenal sejak MPL ID Season 1. Dia biasanya juga bermain sebagai Mage. Siapa dia ya? Apakah ia benar akan keluar dalam waktu dekat?

Sumber: MLBB
Sumber: MLBB

Itu tadi hanya ‘penerawangan’ saya atas beberapa tim dan pemain pasca MPL ID Season 2. Seharusnya, para pemain dan orang-orang manajemen sudah mulai bergerilya di balik layar untuk bursa transfer yang mungkin akan mewarnai beberapa pekan ke depan.

Seperti apakah peta dunia persilatan MPL Indonesia di Season 3 nantinya? Menarik untuk terus diikuti.

Umpan Lambung dari Liga1PES Menggarap Esports PES di Indonesia

Setelah beberapa waktu lalu kami membahas soal dunia persilatan fighting game di Indonesia bersama dengan Advance Guard, kali ini kita kembali membahas tentang satu lagi esports yang juga boleh dibilang minoritas, yaitu Pro Evolution Soccer.

Karena itulah, saya menghubungi Valentinus Sanusi, Founder Liga1PES, untuk berbincang. Liga1PES sendiri merupakan komunitas PES terbesar di Indonesia yang menjadi tempat berkumpulnya para gamer bola besutan KONAMI.

Kondisi Esports PES di Indonesia

Sumber: Liga1PES
Sumber: Liga1PES

Untuk memulai perbincangan, saya pun menanyakan seperti apa kondisi ekosistem esports PES di Indonesia. “Untuk PES atau yang dulu dikenal dengan nama Winning Eleven itu bisa dibilang hampir tiap minggu ada lomba yang diadakan di rental PS (PlayStation) oleh komunitas ataupun pemilik rental.” Jawab Valentinus.

“Kita dari Liga1PES melihat apa yang dilakukan komunitas tadi tidak terwadahi dan terkelola dengan baik. Makanya, sejak tahun 2016, kita di Liga1PES mencoba untuk mengembangkan sistem kompetisi yang sifatnya nasional dan terstruktur bersama dengan rental-rental PS dan komunitas tadi,” tambahnya.

Seperti biasanya, sejak dahulu kala, seri PES selalu dibanding-bandingkan dengan FIFA rilisan EA. Keduanya, sekarang memang boleh dibilang minoritas karena platform mobile yang jadi mayoritas dari segi platform dan MOBA dari sisi genre (yang dibuntuti ketat oleh Battle Royale).

Bagaimana perbandingan kondisi esports antara FIFA dan PES di Indonesia? Sebelum Anda yang fans FIFA protes, lain kali kita akan ambil jawaban dari perwakilan FIFA Indonesia ya.

Valentinus pun bercerita cukup panjang soal ini. Kompetisi Liga1PES sudah memasukin tahunnya yang keempat. Lewat kompetisi ini, komunitas tidak hanya mencari pemain PES terbaik di level nasional namun mereka juga mencoba menyalurkan atau memberikan kesempatan bagi para pemain nasional untuk bertanding lagi di tingkat yang lebih tinggi, seperti di tingkat SEA (Asia Tenggara) ataupun internasional.

Muasalnya, Liga1PES akan membawa pemain terbaik Indonesia untuk bersaing lagi dengan pemain PES terbaik di ajang SEA melawan pemain-pemain dari negara tetangga, seperti Malaysia, Vietnam, Thailand, Singapura, ataupun Myanmar.

“Jadi secara esports, saya bisa bilang PES jauh lebih unggul dibanding FIFA karena kita sudah memiliki sistem kompetisi skala nasional yang berjalan rutin, terkoneksi dengan kompetisi tingkat regional, dan saat ini juga kita sedang menjajaki kompetisi level internasional bekerja sama dengan komunitas di Eropa dan Amerika.”

Tantangan Esports PES di Indonesia

Satu hal yang menarik dari PES di Indonesia adalah game ini mungkin bisa dibilang game paling laris di jamannya, saat era PS1 dan PS2. Muasalnya, kemungkinan besar, PES merupakan game terlaris di setiap rental yang ada di Indonesia. Sebagian besar gamer, baik PC ataupun console, juga setidaknya pernah memainkan PES atau WE saat itu.

Namun demikian, seiring waktu dan perkembangan teknologi, PES pun meredup popularitasnya digantikan oleh MOBA (Multiplayer Online Battle Arena) yang sekarang masih menjadi esports terlaris. PC dan console pun juga tergerus popularitasnya gara-gara platform Android.

Bagaimananakah Valentinus melihat hal tersebut?

Sumber: Liga1PES
Sumber: Liga1PES

“Saya rasa hal ini tidak berlaku di PES saja sih. Esports sendiri memang industri baru yang pertumbuhannya sangat luar biasa yang sayangnya masih didominasi oleh platform PC dan mobile.

Ia juga menambahkan banyak faktor yang berpengaruh terhadap popularitas PES yang menurun. Namun satu hal yang tak dapat dipungkiri, menurut Valentinus, adalah pasar mobile yang lebih besar ketimbang console. 

“Mayoritas penduduk Indonesia punya ponsel dan bisa akses game-nya tanpa ribet bawa-bawa TV seperti kita di konsol. Faktor ini yang saya rasa buat MOBA lebih cepat dan bahkan sangat cepat pertumbuhannya karena aksesnya yang sangat mudah.”

Lebih jauh menjelaskan, Valentinus juga percaya bahwa ada faktor pembajakan yang begitu kental di Indonesia yang membuat pihak publisher atau developer game console seolah ogah melirik dan mengeluarkan dana untuk pasar Indonesia.

Itu tadi kondisi yang spesifik dengan kondisi di Indonesia, bagaimana dengan di luar sana? Apakah PES juga bisa dibilang kurang laris di luar sana?

Valentinus pun mengatakan, “kalau di luar sendiri bukan dibilang kurang laris sih, hehehe… Namun memang kalah exposure saja.” Ia juga kembali mengatakan bahwa pasar console memang lebih segmented ketimbang PC ataupun mobile.

“Ibaratnya penggemar RPG sedunia juga lebih besar dari penggemar MOBA tapi perbandingan ini bukan apple-to-apple, seperti halnya membandingkan MOBA dengan PES.”

Valentinus juga percaya bahwa PES sebenarnya punya potensi pasar yang lebih besar dibandingkan genre lainnya. Pasalnya, PES merupakan genre olahraga dan sepak bola juga merupakan cabang olahraga favorit di Indonesia dan dunia.

Maka dari itu, ia pun berargumen bahwa lebih mudah untuk mengajak masyarakat awam untuk nonton esports bola dari genre lainnya. Hal ini juga terbukti dengan perkembangan pesat esports PES di dunia olahraga di negara-negara Eropa dan Asia. Klub-klub bola besar sudah mulai merekrut para pemain PES untuk menjadi wakil klubnya.

“Kancah esports PES di Thailand bahkan juga sudah didukung pemerintah dan KONAMI juga akan menggelar liga esports untuk klub-klub sepak bola Thailand. Dengan perkembangan ini, saya rasa exposure gabungan antara sepak bola dan esports game bola bakal jadi kombinasi yang luar biasa banget di tahun-tahun mendatang.”

Sumber: Liga1PES
Sumber: Liga1PES

Dukungan Berbagai Pihak ke Komunitas PES

Meski memang nyatanya bisa dibilang kurang exposure di Indonesia, komunitas PES di Indonesia sudah mendapatkan banyak dukungan dari berbagai pihak.

Liga1PES yang memiliki visi untuk menjadikan gamer PES sebagai teladan masyarakat dan komunitas gamer sendiri dengan menjadi wadah bagi komunitas untuk bermain PES secara positif dan meraih prestasi baik di dalam ataupun luar negeri ini, menurut pengakuan Valentinus, telah mendapatkan dukungan dari True Digital Plus Indonesia, Telkom Group dan sejumlah partner lokal.

Sumber: Liga1PES
Sumber: Liga1PES

Mereka juga punya hubungan dekat langsung dengan KONAMI. Liga1PES juga mengantongi lisensi (endorsement dan validasi) resmi dari KONAMI untuk turnamen mereka. Misalnya saja salah satunya adalah PES League Asia 2v2 di awal tahun ini (2018). Liga1PES bersama-sama dengan KONAMI menyelenggarakan kualifikasi di 7 kota dan juga online. Mereka juga berhasil membawa pemain-pemain Indonesia untuk bertanding di Bangkok, Thailand. Saat itu, Indonesia berhasil meraih posisi Runner-Up karena kalah dari Jepang di partai final.

Menyoal Asian Games 2018, Liga1PES juga turut andil di sana. Mereka didukung KONAMI untuk menyelenggarakan PES Party menjelang Asian Games kemarin. Liga1PES sendiri juga menjadi organizer untuk kualifikasi mencari wakil Indonesia di Asian Games 2018.

Valentinus juga mengatakan bahwa mereka bisa memberikan feedback langsung ke pihak KONAMI, baik dalam aspek game itu sendiri ataupun untuk urusan komunitas, esports, ataupun pemasaran mereka. Sebaliknya, KONAMI juga bisa mengakses perkembangan komunitas PES Indonesia melalui Liga1PES.

“Tentunya, dengan hubungan ini, kita sangat mengharapkan ada aksi konkrit yang bisa kita realisasikan di komunitas. Hanya saja, untuk setiap kebijakan atau program yang berhubungan dengan KONAMI selalu membutuhkan proses yang panjang dan tidak mudah.” Tutupnya.

Itu tadi obrolan singkat saya dengan Valentinus tentang komunitas PES Indonesia dan Liga1PES.

Valentinus Sanusi. Dokumentasi: Valentinus
Valentinus Sanusi. Dokumentasi: Valentinus

Di satu sisi, mungkin memang benar apa yang dikatakannya tadi soal sepak bola yang mudah diterima banyak orang. Namun demikian, di sisi lainnya, game bola juga sebenarnya tidak hanya PES. FIFA besutan EA selalu menjadi rival beratnya.

Lain kali, saya akan mengajak perwakilan dari komunitas FIFA untuk mendengarkan pendapatnya. Namun satu hal yang pasti, pertarungannya sebenarnya bukan hanya pada komunitasnya. Andil KONAMI dan EA sendiri juga nantinya akan sangat berpengaruh besar atas perkembangan esports-nya, termasuk di Indonesia.

Saya pribadi inginnya dua-duanya sama besarnya dan sama populernya, bahkan dibanding MOBA sekalipun. Makanya, saya sengaja bawa-bawa nama FIFA di sini karena harapannya KONAMI seharusnya tambah panas jika EA yang lebih dulu investasi besar-besaran di Indonesia – demikian juga sebaliknya. Hahaha…

Terima kasih buat Valentinus yang sudah menuangkan waktu dan ceritanya di sini. Semoga komunitas PES dan Liga1PES semakin kuat ke depannya ya!

Bentuk Liga Esports Sendiri Bisa Perkuat Ekosistem di Indonesia

Salah satu topik menarik yang dibawakan di sesi World Conference of Creative Economy (WCCE) di Nusa Dua Bali, beberapa waktu lalu adalah soal pentingnya pengembangan ekosistem esports bagi pasar Indonesia.

Dalam paparannya Chief Marketing Officer GDP Ventures Danny Oei Wirianto menyebutkan bahwa Indonesia merupakan pasar potensial bagi pertumbuhan esports. Pasalnya Indonesia memiliki 34 juta gamer dan esports sendiri telah menjamur di Tanah Air.

Indonesia berpeluang untuk menciptakan ekosistem yang kuat mengingat nilai bisnis esports di dunia mencapai $1,1 miliar di 2018 dan diperkirakan naik menjadi $1,3 miliar di 2019.

Ini belum termasuk nilai industri game secara keseluruhan yang nilainya mencapai $10 miliar. Salah satunya disumbang dari penjualan aksesori game, seperti mouse dan headset. Apabila digarap dengan serius, ekosistem akan tercipta karena ada perputaran rantai bisnis dari game publisher, player, brand, hingga audiensi.

“Esports dapat bantu membangun ekosistem game development. Ini adalah multi billion business, tidak cuma game saja ada aksesoris game, komputer, gadget. Sayang, belum banyak perusahaan involve di Indonesia karena masih menganggap Esports sebelah mata,” ujar Danny.

Danny, yang juga menjadi Penasihat Indonesia E-Sports Premier League (IESPL), menilai Indonesia perlu membentuk liga esports sendiri untuk memperkuat ekosistem dan membangun bisnis yang sustainable. Liga nasional juga penting untuk menghindari ketergantungan dengan game publisher.

“Kita mau buat our agent league sendiri, that’s our goal. Tapi ini step by step karena beberapa negara belum punya their own league yet. They don’t have league, we’re the first one. Lagipula, saat ini yang ada kan hanya tim yang main di turnamen kecil, semua dikontrol sama game publisher, tapi tidak ada yang obyektif,” jelas Danny.

Ditemui pada kesempatan sama, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara sejak awal menegaskan bahwa pemerintah di era digital mulai menyesuaikan diri menghadapi perubahan, yakni menjadi fasilitator dan akselerator. Dalam hal ini, ia menilai esports tidak perlu punya aturan khusus.

“Bukan regulasi, yang harus dilakukan adalah [menjadi] self-regulatory organization. Jadi pemain esports ini bikin kebijakan sendiri, bicara dengan saya, nanti saya fasilitas. Pemerintah memberikan koridor saja, jangan terlalu detail,” papar Rudiantara kepada DailySocial.

Menjadi self-regulatory organization, menurutnya menjelaskan bahwa industri digital memiliki dinamika yang sangat cepat. Apabila esports diatur, pemerintah dinilai akan repot dalam menetapkan sebuah kebijakan.

“Pemerintah ingin menjadi less regulator, dan menjadi fasilitator. Di dunia digital itu, hari ini ada apa, besoknya bisa berubah. Tidak mudah itu menetapkan aturan.” tambahnya.

Mendorong daya saing game lokal untuk ajang esports

Danny mengungkapkan bagaimana cara agar game lokal dapat dipertandingkan di ajang esports, yakni meningkatkan kualitas dari berbagai aspek, termasuk dalam hal pemasaran.

“Kita bisa bikin game tetapi tidak jago dalam memasarkannya,” ungkap Danny.

Ia menilai bahwa pengembang game lokal belum serius dalam merancang business plan yang baik. “[Mengembangkan game] itu requires a lot of money untuk marketing, hire script writer, story liner, story board yang bagus. Jadi tidak menggampangkan, saya lihat banyak game yang asal jadi,” lanjutnya.

Selain itu, menurutnya Indonesia minim game publisher yang bagus, dan kalaupun ada masih bisa dihitung dengan jari. Ia menilai Indonesia membutuhkan lebih dari sepuluh game publisher agar dapat saling berkompetisi.

Ia berharap misinya mengembangkan ekosistem esports dapat membantu nurture game publisher di Indonesia lebih baik. Dengan audiens yang lebih luas, ini akan mendorong game publisher untuk mengambil pangsa pasar lebih besar.

Pelajaran Penting yang Didapat EVOS Esports dari ESL Hamburg

Di akhir bulan Oktober 2018 kemarin EVOS Esports mendapatkan kesempatan untuk bertanding di salah satu ajang esports internasional, ESL One Hamburg, menggantikan TNC yang jadwalnya bertabrakan.

Mereka memang akhirnya harus pulang hanya dengan 1 kemenangan melawan compLexity Gaming di hari pertama. Namun demikian, tentunya pengalaman mereka bertanding di turnamen ini sangat berharga karena EVOS bisa bertemu dengan tim-tim tier 1 dunia.

Maka dari itu, saya pun menghubungi EVOS Esports untuk berbincang tentang pelajaran apa saja yang mereka dapatkan di Jerman. Saya memang menghubungi Aldean Tegar Gemilang, Team Manager untuk EVOS Esports, namun semua pertanyaan yang saya lontarkan dijawab semua oleh sang kapten tim, Adit “Aville” Rosenda.

Sumber: ESL
Sumber: ESL

Hybrid (H): Kemarin kan sempat menang sekali ya melawan compLexity Gaming. Menurut EVOS sendiri, kenapa bisa menang? Apa yang membedakan antara game pertama dan kedua?

EVOS (E): “Sebenarnya di game lawan compLexity, harusnya kita menang 2-0. Tapi di game 1, kita salah mengambil keputusan yang membuat kita sedikit lengah dan mereka mampu memanfaatkan hal tersebut dengan baik. Di game kedua, kita tidak memberikan celah sedikit pun jadi kita menang.”

H: Apa saja yang dipelajari dari pengalamannya bertanding di Hamburg?

E: “Banyak sekali yang kami pelajari, baik di dalam ataupun di luar game.

Kami banyak belajar tentang detail Dota 2 dari tim-tim Tiongkok. Mulai dari laning stage yang kuat dan juga pergerakan yang cepat dan terarah.

Kami juga banyak belajar soal improvisasi di game dari tim-tim barat, hal-hal unik yang tidak biasa untuk mengacaukan rencana lawan.

Sumber: ESL
Sumber: ESL

Di luar game, kami juga belajar tentang hal yang tak kalah penting yaitu cuaca dan jetlag. Hal ini tidak terlalu kami pertimbangkan pada awalnya namun malah menjadi faktor penghalang yang cukup mengganggu. Cuaca di sana sangat dingin sehingga membuat kondisi pemain jadi tidak fit.

Kami juga harus merasakan jetlag selama 6 jam sehingga menambah kondisi tambah parah. Kondisi seperti itu sangat tidak ideal apalagi ketika kalian lagi sakit dan harus bertanding sampai jam 1-3 pagi.”

H: Turnamen terakhir yang skalanya sebesar ini kan WESG 2017 ya. Apa sih bedanya menurut EVOS?

E: “Hal yang paling terasa beda adalah atmosfernya sih. Atmosfer turnamen yang bisa dibilang setara Major (untuk ESL Hamburg). Tim-tim papan atas dunia benar-benar menunjukkan kemampuan yang sesungguhnya untuk bisa jadi juara.

Hal-hal lain seperti persiapan turnamennya, pelayanannya, fasilitas yang diberikan, semuanya terasa lebih profesional karena memang ditangani oleh salah satu organiser terbaik di dunia Dota 2.

Kalau WESG lebih terasa nasionalismenya.”

H: Menurut EVOS sendiri, apa sih yang kurang dari tim Dota 2 nya sekarang? Apalagi sekarang EVOS kan sudah merasakan melawan tim-tim tier 1 dunia.  E: “Pasti banyak kurangnya… Tapi kita tidak bisa menyebutkan karena esports kan dunia kompetitif. Satu hal yang pasti semua pengalaman yang kita dapat pasti jadi pelajaran kita ke depannya untuk jadi tim yang lebih baik.” H: Untuk turnamen internasional setelah ini apa targetnya? Apakah yakin hasilnya akan lebih baik? E: “Turnamen internasional selanjutnya yang jadi target kita pasti Major dan Minor kuartal 2, kualifikasinya mulai akhir November. Sangat yakin (jadi lebih baik).”

Itu tadi perbincangan singkat kami tentang pengalaman EVOS di ESL Hamburg. Benarkah mereka akan jadi lebih baik lagi di turnamen internasional berikutnya? Sangat kita nantikan.

VR Arena Adalah Semacam Arcade Khusus untuk VR Esports

Secara umum, VR dan esports bukanlah suatu kombinasi yang ideal. Kendati demikian, sebuah perusahaan bernama Virtuix mengaku telah menyeriusi bidang ini sejak tahun 2016. Virtuix, bagi yang tidak tahu, adalah produsen omnidirectional treadmill bernama Omni yang sukses meraup pendanaan lebih dari $1 juta di Kickstarter pada tahun 2013.

Guna semakin membuktikan keseriusannya, baru-baru ini Virtuix memutuskan untuk bekerja sama dengan developer atraksi Funovation. Buah kemitraan mereka adalah VR Arena, semacam arcade khusus VR esports.

Virtuix VR Arena

Jangan bayangkan VR Arena sebagai venue megah untuk puluhan atau bahkan ratusan orang. Dengan luas sekitar 35 m² (setara apartemen studio di Indonesia), VR Arena hanya bisa menampung empat pemain dalam satu kesempatan. Tentu saja keempatnya memiliki akses ke semua perlengkapan yang dibutuhkan, mulai dari VR headset sampai omnidirectional treadmill itu tadi.

Total ada 18 game VR yang secara spesifik dirancang untuk memaksimalkan kapabilitas Virtuix Omni, yang memungkinkan pemain untuk bergerak dan pivot 360 derajat selagi berdiri di satu titik. Omni bisa dibilang kurang begitu sukses di kalangan konsumen umum, sehingga implementasinya di segmen komersial seperti ini terdengar jauh lebih masuk akal.

Virtuix Omni

Untuk bisa menghelat event VR esports dengan VR Arena, penyelenggara harus menebusnya dengan harga $1.790 per bulan. Kedengarannya sangat mahal, tapi tidak demikian ketika sudah ada sejumlah pihak yang tertarik menjadi sponsor.

Sumber: VentureBeat.

Sistem Pertandingan Dota 2 dan PUBG di Asia Pacific Predator League 2019

Kompetisi esports Predator League level Asia Pacific yang kedua dari Acer segera dimulai. Apa yang berbeda dengan Predator League pertama?

Sebelumnya, Predator League 2018 hanya mempertandingkan satu game saja yakni Dota 2 dengan total hadial US$150.000 atau sekitar Rp2 miliar.

Sementara, di tahun kedua Asia Pasific Predator League 2019 menghadirkan dua game yakni game MOBA Dota 2 dan game battle royale Player Unknowns Battlegrounds (PUBG) dengan total hadial lebih besar yakni US$400.000 atau sekitar Rp6 miliar.

detail-tentang-kompetisi-esports-asia-pacific-predator-league-2019-5

Jumlah negara yang ikut serta juga bertambah banyak, dari sebelumnya 8 menjadi 14 negara – termasuk negara top dengan esports maju seperti Tiongkok dan Korea.

Selain itu, jika Grand Final tahun pertama berlangsung di Jakarta, tahun kedua ini akan diselenggarakan di Bangkok, Thailand pada tanggal 15 – 17 Februari 2019.

Pendaftaran Asia Pacific Predator League 2019 telah dibuka, Anda bisa mengisi formulir pendaftarannya di tautan ini. Periode registrasi akan ditutup pada tanggal 10 November 2018.

Acer juga menyediakan hadiah sebesar Rp260 juta untuk para pemenang di babak kualifikasi lokal. Lalu, bagaimana format pertandingan di fase kualifikasi dan rules untuk para peserta, baik game Dota 2 dan PUBG?

Dota 2 dan PUBG Rules

detail-tentang-kompetisi-esports-asia-pacific-predator-league-2019-5

Tim-tim Dota 2 di Indonesia dapat melakukan pertandingan kualifikasi di 16 iCafe yang tersebar di 14 kota berbeda. Peserta terdiri dari maksimal 7 pemain (5 pemain inti dan 2 pemain cadangan).

Kemudian, 16 pemenang dari masing-masing iCafe akan bertanding lagi untuk menemukan 4 tim Dota 2 terbaik. Lalu, mereka akan bertemu dengan tim esports profesional divisi Dota 2.

detail-tentang-kompetisi-esports-asia-pacific-predator-league-2019-5

Ya, untuk game Dota 2, Acer juga mengundang 8 tim esports profesional secara langsung untuk bertanding yaitu dari PG.Barracx, The Prime, EVOS, BOOM ID, Capcorn, Alter Ego, Juggernaut, dan Rex Regum Qeon.

Untuk 8 tim yang diundang menggunakan sistem double elimination. Di ronde yang pertama menggunakan sistem best of 1, di mana akan ada dua tim yang tereliminasi. Kemudian di ronde yang kedua menggunakan sistem best of 3.

detail-tentang-kompetisi-esports-asia-pacific-predator-league-2019-6

Sementara untuk game PUBG, Acer menganggap belum banyak tim esports profesional divisi PUBG. Maka dari itu, semua tim memiliki kesempatan yang sama dan memulainya dari nol dengan format 4 kali main.

Squad PUBG sendiri terdiri dari maksimal 5 pemain (4 pemain inti dan 1 pemain cadangan). Per iCafe terdiri dari 16 squad, setelah mereka bertanding dua kali FPP dan TPP – poin tertinggi dari iCafe masing-masing akan diterbangkan ke Jakarta. Setidaknya pastikan chicken dinner 3 kali untuk mengamankan slot.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner Asia Pacific Predator League 2019

Fighting League 2018, Kompetisi PUBG Mobile Indonesia Berhadiah Rp290 Juta

RevivalTV bersama dengan Fighting Esports Group (FEG) berkolaborasi untuk mengadakan turnamen PUBG Mobile dengan nama Fighting League 2018 PUBG Mobile Indonesia. Kompetisi ini berlangsung mulai tanggal 29 Oktober 2018 hingga 2 Desember 2018, dengan empat babak kualifikasi setiap minggunya dan satu babak Grand Final di minggu kelima.

Pelaksanaan kualifikasi Fighting League 2018 terbagi ke dalam tiga tahapan, yaitu:

  • Pendaftaran online: Senin – Rabu
  • Fase kualifikasi: Kamis – Jumat
  • Weekly Final: Sabtu – Minggu

Setiap minggu kompetisi ini menerima hingga 100 tim peserta. Kemudian, dari empat minggu pertandingan, akan ditentukan 20 tim terbaik untuk maju ke babak Grand Final nantinya. Penentuan tim terbaik menggunakan sistem poin yang dihitung dari peringkat pertandingan dan jumlah kill yang berhasil didapatkan peserta.

Fighting League 2018 PUBG Mobile Indonesia - Poster

Hadiah yang ditawarkan dalam Fighting League 2018 tergolong besar, yaitu mencapai US$19.410 atau sekitar Rp295,5 juta. Pembagian hadiah tidak hanya diserahkan pada peraih prestasi di babak Grand Final saja. Tim-tim peraih 10 besar di Weekly Final pun berhak mendapat hadiah, dengan jumlah US$1.390 (Rp21,1 juta) setiap minggunya. Sementara total hadiah di babak Grand Final sendiri adalah US$13.850, atau Rp210 juta.

Berikut ini adalah penjelasan detail tentang sistem kompetisi Fighting League 2018 PUBG Mobile Indonesia:

  • Pertandingan diikuti tim dengan 4 orang anggota.
  • Fase kualifikasi: 100 tim dibagi menjadi 5 grup. Sistem pertandingan menggunakan best-of-two (Bo2), yaitu 1 map mode Third Person Perspective (TPP) dan 1 map mode First Person Perspective (FPP). Map yang digunakan adalah Erangel. Pertandingan grup A/B/C berlangsung di hari kamis, sementara grup D/E di hari jumat. Total skor di kedua pertandingan menentukan tim yang akan masuk Weekly Final.
  • Weekly Final: 20 tim berkumpul dalam 1 grup. Weekly Final terdiri dari 6 pertandingan yang terbagi ke dalam dua hari (Sabtu dan Minggu). Setiap harinya, digunakan sistem best-of-three (Bo3) dengan rincian 2 pertandingan map Erangel dan 1 map Miramar. Total skor dari keenam pertandingan menentukan tim yang masuk Grand Final.
  • Grand Final: 20 tim tergabung dalam 1 grup. Grand Final berlangsung selama 2 hari, dengan sistem best-of-four (Bo4) setiap harinya. Pertandingan hari pertama menggunakan mode Third Person Perspective (TPP) di 3 map Erangel dan 1 map Miramar. Hari kedua menggunakan mode First Person Perspective (FPP) di 3 map Erangel dan 1 map Miramar.

PUBG Mobile

Seluruh peserta diwajibkan untuk hanya menggunakan ponsel, tidak boleh memakai simulator, emulator, atau alat bantu lainnya. Selain itu panitia juga mengizinkan peserta untuk melakukan live streaming saat pertandingan, namun apa pun dampak dari live streaming itu (misalnya koneksi lag) harus ditanggung sendiri oleh si peserta.

Untuk pendaftaran dan informasi lebih lanjut seputar Fighting League 2018 PUBG Mobile Indonesia, Anda dapat mengunjungi situs resminya langsung di sini.

Indonesia’s Fighting Game Esports: Excluded yet Refused to Die

We can say that 2018 is a year of esports awakening in our homeland, and esports itself actually has a lot of game genres from MOBA (Multiplayer Online Battle Arena), FPS (First Person Shooter), Battle Royale, Sports, Fighting, CCG/TCG (Collectible Card Game / Trading Card Game), Racing, and many more.

In the unfortunate fact, this awakening is spreading uneven between all genres. MOBA is the most played games thanks to Mobile Legends and Dota 2. Fighting game is one of esports genres that one could say is still marginalized.

We’ll discuss about other genres some other time, as for this time I’ve invited Co-Founder Advance Guard Bramanto Arman, a figure of fighting games, to share his story.

Bram Arman (left). Source: Advance Guard
Bram Arman (left). Source: Advance Guard

For those who are unaware of the esports world, Advance Guard is an icon of fighting game esports in Indonesia. When many are doing MOBA, Bram with the Advance Guard are raising this genre keenly since this icon was established in 2012.

According to Bram, Advance Guard is a place for fighting game community to gather. Tekken community, for example, which is mostly from IndoTekken, and Street Fighter which is mostly from IndoSF.

Thanks to their hard work and persistence, several tournaments conducted by Advance Guard have successfully claimed an official certificate from CAPCOM (for Street Fighter series) and Bandai Namco (for Tekken series) as a qualification tournament at international level.

Indonesia representations who would like to compete in CAPCOM Pro Tour and Tekken World Tour have to participate in the tournament conducted by Advance Guard first.

Of course, those achievements cannot be taken lightly anymore, in fact, there’s no any other higher authority than them in the world of Indonesia’s fighting game esports.

Let’s take a look at our talks.

Source: Advance Guard
Source: Advance Guard

Esports fighting game popularity in Indonesia

As I said before, esports fighting game in Indonesia is lack of an exposure, and Bram knew it.

“The exposure is lower than any other popular games with a huge number of player base in Indonesia,” said Bram. He added that this happened because of the game’s factor.

Bram explained that esports games enthused among Indonesian players are the addictive freemium games so that players might forget oneself and shop at the in-app purchase.

“Eventually, they saw many Indonesian players playing those games and created a big event from that. The games are Mobile Legends, AoV and PUBG Mobile.”

Meanwhile, for PUBG (PC), Bram sees a place that possibly can accommodate the gamers, like various types of iCafe. Therefore, many gamers can try the game without having to buy it; they only need to pay the bill at the iCafe. It has also happened to Dota 2.

Source: Advance Guard
Source: Advance Guard

Esports fighting game popularity outside the country

If esports figthing gamepopularity in Indonesia is low, how about in the other countries?

Bram said that people in another country were also showing low interest in fighting game esports, compared to any other popular games and one of the biggest esports fighting game events in the world, EVO, also began from the same story.

They initially conducted an event for the community full of passion. As the development of esports, however, now EVO is on the same level as most esports events having their match in a stadium with festive production, and get a lot of sponsors.

Thanks to EVO’s struggles, many big EOs that didn’t even go near fighting games before began to take interest in it.

Bram then added that fighting game esports should actually be popular as people would be easier to enjoy the games even if they’re newcomers, and I personally agree. As if we compare it to a MOBA match, we wouldn’t really enjoy watching the match if we didn’t even play and understand the game itself, while fighting game is an easily watchable game even for newcomers.

Source: VG274
Source: VG274

Outside the country, fighting game esports are way bigger than here, despite its lack of popularity. Bram told us about his experience visiting REV Major, the biggest fighting game tournament in Philippines, and he saw great enthusiasm not only from players but also from audiences willing to come even if the tickets were quite pricy.

Even fighting game esports has gotten some supports from several celebrities like the wrestlers Kenny Omega and Saviour Woods, as well as the American rapper Lupe Fiasco.

Advance Guard’s struggle on keeping Indonesia’s fighting game esports alive

The question is with the lack of popularity, why Bram and Advance Guard are willing to stay and fight for this esports? Why they just don’t shift to another popular game like most Event Organizers (EOs)?

“Because our approach is different,” Bram answered straightforwardly.

“It’s a fact that other EOs are mostly commercial, so they’re looking for mature markets, while I come from and for the community. So, I’m fighting for the community to keep them alive. It’s indeed hard and difficult as we’re lacking support compared to other popular game.

Most people think that watering barren land is useless; it’s better to harvest fruit that’s there,” he said figuratively. Bram chose to keep on watering the barren land until a leaf is finally growing, and so he does because of his love to fighting games.

Source: Polygon
Source: Polygon

The result shows now how Advance Guard has its own identity and stand as the icon of fighting game esports. They started from a small scale of a community and now become the international benchmark.

That said, from the business side, Bram admitted that Advance Guard’s journey was far from other EOs who were prefer working on popular games to get more profit.

According to him, big EOs from other countries usually collaborate with those used to the field concerned and it happens in Malaysia, Philippines, and Thailand.

“That is the ideal way of working on an esports. Meanwhile here, sometimes we don’t really get along and fight over some sweets instead… Hahaha,” said Bram joking.

The things esports fighting game in Indonesia needs

What are the things that Indonesia’s fighting game esports needs?

First of all, in terms of exposure, there are still so many games and esports media that don’t cover fighting game esports events. “It tends to be covered only by some media that have their interest in fighting games. Most media would write about fighting game esports if it is a huge event. As I know, IGX (Indonesia Game Xperience) is one with the most writings about it.”

IEC Kratingdaeng 2018. Source: Advance Guard
IEC Kratingdaeng 2018. Source: Advance Guard

According to Bram, the readers of fighting game news are still segmented compared to the popular games. Whereas, on the other hand, many things can be brought up from fighting games, like national and international professional players.

Moreover, the players of fighting games from Indonesia are actually able to compete at the level of Southeast Asia. Bram told us that several times ago, Indonesia representation was taking home the trophy of BlazBlue Cross Tag Battle and BlazBlue Central Fiction competition in Philippines.

That said, to be able to successfully get achievement in Asia or even the world, Indonesia players still need a lot more practice. This achievement is yet worth a praise considering fighting game esports lacking of exposure and support.

Then how about the support for local esports organizations? Can it help develop fighting game esports? Given fighting game division of some esports organizations has not yet been much established.

Source: Advance Guard
Source: Advance Guard

“In my personal opinion, it might happen to be a boost of help; as long as there’s potential and passion from the players. Sponsors can give them a chance to compete abroad for some experience,” explained Bram.

He added, “Unavoidably, they need to compete abroad to raise their own standard.”

Recently, a fighting game player was invited to join Alter Ego and we might see the result from their teamwork later.

I then asked, what would happen if the players of fighting games also get monthly salary just as Dota 2 or Mobile Legends players? Would it help them achieve more?


Bram stated that now fighting game players had gotten their salary but just from a stream and it’s not much. “It’s a business after all. So I think we need to find a win-win solution for all.”

This condition is more suitable for those who’re still studying / a fresh graduate and have their passion in fighting games, and it won’t be as much suitable for those adult, as the career path might not be worth the pain.

The biggest problem of having a career in esports is parents’ concern and permission, as the prizes are not as high as MOBA games yet to make sure that their children would not live in despair in the future.

It is true that in the end it goes back to respective players to decide. If they are successful and can be on their own financially, they may be able to convince their parents to have a career in the esports world.

AMD Esports Fight! Championship 2018. Source: AMD
AMD Esports Fight! Championship 2018. Source: AMD

More to that, sponsors’ support for fighting game esports is indeed very valuable as well; a fighting game competition which was held by AMD (AMD eSports FIGHT! Championship 2018) is for an example.

“If all game tournaments can have similar prize pool as MOBA game tournaments, both business matter and a gap between esports stakeholders and players can be maintained. The point is that esports ecosystem needs to be in a stable condition first.”

The last thing Bram said was that fighting games need to be introduced properly for the sake of its esports’ upturn.

“I realize that Indonesia is far from that, compared to other Southeast Asia countries, like Malaysia, Thailand, or Philippines, they always have a spot for fighting games in an esports event.

For that matter as well, I would like to thank AMD who lets me and believes in me to manage their event.

Hopefully, fighting game esports’ ecosystem will gradually develop its various aspects. After all, fighting game esports is one of esports that people can enjoy because of its entertainment factor that is the most intriguing one, and has many outstanding local players,” said Bram.

That was our brief talk with Bram about fighting game esports’ ins and outs. Hopefully, the barren land managed wholeheartedly by Bram and Advance Guard as well as the community can turn into a wonderful garden where everyone can feel comfortable.

Don’t forget to like Facebook Fanpage Advance Guard for the newest information of fighting game esports.

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian.

Esports Fighting Indonesia: Yang Terkucilkan Namun Menolak untuk Tergeletak

Tahun 2018 mungkin boleh dibilang sebagai tahun kebangkitan gairah esports di ibu pertiwi. Namun esports sendiri sebenarnya mencakup banyak sekali cabang game dari mulai MOBA (Multiplayer Online Battle Arena), FPS (First Person Shooter), Battle Royale, Sports, Fighting, CCG/TCG (Collectible Card Game / Trading Card Game), Racing, dan yang lainnya.

Sayangnya, faktanya, kebangkitan gairah esports ini tidak merata di semua game. MOBA adalah yang paling laris berkat jumlah pemain yang masif dari Mobile Legends dan Dota 2. Game Fighting adalah salah satu genre esports yang boleh dibilang masih dimarginalkan.

Lain kali, kita akan berbincang untuk genre lainnya namun kali ini saya telah mengundang salah seorang dedengkot dari cabang game fighting untuk berbagi ceritanya. Ia bernama Bramanto Arman yang merupakan Co-Founder Advance Guard.

Bram Arman (kiri). Sumber: Advance Guard
Bram Arman (kiri). Sumber: Advance Guard

Buat yang tidak terlalu familiar dengan dunia persilatan esports, ijinkan saya mengenalkannya terlebih dahulu. Advance Guard merupakan icon dari esports fighting di Indonesia. Di kala kebanyakan event organizer di Indonesia ramai-ramai menggarap MOBA, Bram bersama Advance Guard nya memang setia membesarkan genre tersebut sejak didirikan dari 2012.

Menurut cerita Bram, Advance Guard sendiri juga sebenarnya merupakan tempat berkumpulnya beberapa komunitas game fighting. Misalnya, untuk komunitas Tekken, mayoritas berasal dari IndoTekken. Sedangkan untuk Street Fighter, kebanyakan dari IndoSF.

Berkat ketekunan dan jerih payah mereka di sini, beberapa turnamen garapan Advance Guard bahkan mendapatkan sertifikasi resmi dari CAPCOM (untuk Street Fighter series) dan Bandai Namco (untuk seri Tekken) sebagai turnamen kualifikasi di tingkat internasional.

Jadi, perwakilan Indonesia yang ingin bertanding untuk CAPCOM Pro Tour dan Tekken World Tour harus melalui turnamen besutan Advance Guard.

Tentu saja, prestasi Advance Guard tersebut sudah tak dapat dipandang remeh lagi. Plus, kenyataannya, memang tidak ada lagi ‘otoritas’ yang lebih tinggi selain mereka di dunia persilatan esports fighting Indonesia.

Mari kita masuk ke obrolannya.

Sumber: Advance Guard
Sumber: Advance Guard

Popularitas esports fighting di Indonesia

Seperti yang saya tuliskan di atas tadi, exposure esports fighting di Indonesia memang masih kurang. Hal ini juga dirasakan oleh Bram.

“Minim sekali dibandingkan dengan game-game mainstream yang punya player base sangat besar di Indonesia.” Ungkapnya. Menurutnya, hal ini terjadi juga berkat ada faktor game-nya itu sendiri.

Bram pun menjelaskan bahwa game-game esports yang laris di Indonesia itu memang nyatanya game freemium yang adiktif sehingga bisa membuat banyak orang ‘khilaf’ dengan in-app purchase-nya. 

“Dari situ, akhirnya mereka melihat banyak pemain Indonesia yang memainkan game tersebut dan membuat event berskala besar. Itu untuk game Mobile Legends, AoV, dan PUBG Mobile.”

Sedangkan untuk PUBG (PC), Bram melihat ada wadah yang menaungi para gamer itu, seperti berbagai jenis iCafe. Karena itulah, banyak gamer bisa mencoba game tersebut tanpa membeli; cukup perlu membayar billing di warnet (bahasa kerennya iCafe). Hal ini dirasakan sama seperti yang terjadi di Dota 2.

Sumber: Advance Guard
Sumber: Advance Guard

Popularitas esports figthing di luar Indonesia

Jika popularitas esports fighting di dalam negeri memang masih minim, bagaimana dengan di luar sana?

Bram pun mengatakan bahwa popularitas esports fighting juga masih kalah dengan game-game mainstream di sana. Ia bahkan bercerita bahwa salah satu ajang esports fighting terbesar di dunia, EVO, juga berawal dari cerita yang sama dengan Bram.

Mereka juga awalnya membuat acara untuk komunitas dan penuh dengan passion. Namun seiring berkembangnya esports, EVO sekarang sudah bisa sebanding dengan ajang esports kebanyakan yang bertanding di stadium dengan production yang hingar bingar, dan dapat dukungan banyak sponsor.

Berkat perjuangan EVO itu tadi, EO-EO besar yang sebelumnya tidak menjamah fighting pun akhirnya ikut tergoda.

Bram pun menambahkan esports fighting sebenarnya juga seharusnya bisa populer karena lebih mudah dinikmati oleh orang-orang yang tidak memainkan game tersebut. Saya pribadi setuju sekali. Pasalnya, menonton pertandingan MOBA sebenarnya juga tidak menarik jika kita sendiri tidak memainkannya.

Meski masih kalah populer, di luar sana esports fighting sudah jauh lebih besar. Ia pun bercerita pengalamannya berkunjung ke REV Major, turnamen game fighting terbesar di Filipina. Di sana, ia melihat antusiasme yang begitu tinggi tidak hanya dari para pemainnya namun juga para penonton yang rela datang meski harus membayar tiket yang harganya tidak murah.

Sumber: VG247
Sumber: VG247

Di luar sana, esports fighting juga bahkan sudah didukung oleh beberapa selebriti seperti atlit wrestling Kenny Omega dan Saviour Woods. Ada juga rapper Amerika, Lupe Fiasco.

Perjuangan Advance Guard menggarap esports fighting Indonesia

Lalu, pertanyaannya, dengan popularitas yang masih minimal, kenapa Bram dan Advance Guard masih setia dengan esports fighting? Kenapa tidak bergeser ke game-game lain yang populer seperti kebanyakan Event Organizer (EO) lainnya?

“Karena approach kita memang berbeda.” Jawab Bram lugas.

Lanjutnya, “tak bisa dipungkiri, EO lain kan umumnya komersil jadi mereka melihat pasar yang sudah matang. Kalau saya kan dari komunitas. Jadi, saya berjuang agar komunitas ini bisa survive. Memang berat sih karena bisa dibilang minim support, jika dibanding dengan game mainstream pada umumnya.”

Ia pun memberikan pengandaian seperti ini, kebanyakan orang merasa menyirami tanaman tandus itu sia-sia; lebih baik memetik buah yang sudah ada. Sedangkan Bram memilih untuk terus menyirami tanah tandus, sampai akhirnya muncul satu helai daun. Hal ini ia lakukan karena kecintaannya terhadap game-game fighting.

Sumber: Polygon
Sumber: Polygon

Hasilnya pun sekarang Advance Guard punya jati diri dan ikonik di esports fighting. Mereka yang tadinya hanya mengerjakan skala kecil dari komunitas, sekarang mereka ‘kiblat’nya standar internasional.

Meski demikian, dari sisi bisnis, Bram mengaku perjalanan Advance Guard masih jauh jika berbicara soal profit (dibanding dengan  sejumlah EO yang menggarap game-game populer tadi).

Menurut ceritanya, untuk esports fighting di luar negeri, EO-EO besar biasanya kolaborasi dengan mereka yang sudah biasa di ranah itu. Hal ini terjadi di Malaysia, Filipina, dan Thailand.

“Jadi, idealnya, inginnya seperti itu ya. Tapi kadang-kadang di sini malah jadinya rebutan kue… Hahaha,” ujar Bram sembari berseloroh.

Apa saja yang dibutuhkan oleh esports fighting di Indonesia

Lalu apa saja yang sebenarnya dibutuhkan oleh esports fighting Indonesia saat ini?

Pertama, dari sisi exposure, masih banyak media game dan esports yang minim sekali memberitakan dari ranah esports fighting. “Hanya media yang memang memiliki ketertarikan terhadap game fighting yang cenderung lebih banyak membahas. Media umumnya menuliskan berita esports fighting jika cukup besar skalanya. Sepengetahuan saya, IGX (Indonesia Game Xperience) termasuk yang banyak tulisannya dari media.”

IEC Kratingdaeng 2018. Sumber: Advance Guard
IEC Kratingdaeng 2018. Sumber: Advance Guard

Menurut Bram faktor pembaca game fighting sendiri juga masih segmented dibanding dengan game lain yang lebih populer. Padahal, di satu sisi, banyak hal yang sebenarnya bisa dibahas dari game fighting. Para pemain profesional nasional ataupun luar bisa jadi bahan artikel.

Apalagi, menurut Bram, para pemain game fighting dari Indonesia sebenarnya sudah bisa bertarung di tingkat Asia Tenggara. Bram pun bercerita bahwa beberapa waktu lalu, di Filipina, perwakilan Indonesia sempat meraih juara 1 untuk kompetisi BlazBlue Cross Tag Battle dan BlazBlue Central Fiction.

Meski demikian, Bram pun menambahkan bahwa untuk mengejar prestasi di tingkat Asia atau dunia, para pemain Indonesia masih perlu banyak belajar. Prestasi ini perlu diacungi jempol mengingat esports fighting memang masih minim exposure dan dukungan.

Lalu bagaimana dengan dukungan organisasi esports dalam negeri? Apakah hal tersebut dapat membantu perkembangan esports fighting? Apalagi mengingat belum banyak organisasi esports Indonesia yang punya divisi game fighting.

Sumber: Advance Guard
Sumber: Advance Guard

“Kalau menurut saya pribadi, bisa saja; selama ada potensi dan passion dari pemainnya. Sponsor bisa memberikan kesempatan bagi para pemain untuk bertanding di luar negeri untuk menambah pengalaman.” Jelas Bram.

Ditambah lagi, “mau tidak mau, mereka harus bertanding di luar negeri untuk menaikkan standar.”

Kebetulan, belakangan ini salah satu pemain game fighting diajak bergabung dengan Alter Ego. Jadi, hasilnya mungkin bisa dilihat dari hasil kerja sama tersebut.

Selain mendapatkan sponsor, bagaimana jika para pemain game fighting juga mendapatkan gaji bulanan layaknya para pemain Dota 2 ataupun Mobile Legends? Apakah hal tersebut bisa membantu prestasi? Saya pun bertanya.


Menurut cerita Bram, para pemain game fighting saat ini sudah mendapatkan semacam gaji namun dari streaming yang jumlahnya relatif kecil. “Tapi ini bisnis ya, saya rasa mungkin yang win-win saja buat kedua belah pihak.”

Bram pun menambahkan bahwa kondisi yang ada sekarang lebih cocok untuk mereka yang masih kuliah / fresh graduate dan sangat passion di sini. Sedangkan untuk yang sudah berumur, mereka harus berpikir matang apakah sebanding kerja keras dengan jenjang karir ke depannya jika dibandingkan dengan kerja kantoran pada umumnya.

Menurutnya, masalah terberat berkarir di esports itu dari kekhawatiran orang tua yang pasti dibandingkan dengan pekerjaan kantoran. Baru game-game MOBA yang hadiahnya ratusan juta yang bisa membuat sejumlah orang tua terbuka dengan industri esports.

Meski begitu, Bram pun mengatakan, akhirnya memang kembali lagi ke masing-masing pemainnya. Jika dia bisa sukses dan tak bergantung orang tua, mereka bisa menyakinkan keluarga untuk bisa berkarir di sini.

AMD Esports Fight! Sumber: AMD
AMD Esports Fight! Championship 2018. Sumber: AMD

Selain 2 hal tadi, dukungan sponsor ke esports fighting tentu juga sangat berharga; misalnya seperti AMD yang sempat menggelar kompetisi untuk game fighting (AMD eSports FIGHT! Championship 2018).

“Kalau semua turnamen game bisa menyamai prize pool yang ditawarkan oleh turnamen game MOBA, tentunya dari sisi bisnis dan kesenjangan antara para pelaku esports bisa terjaga. Jadi, ekosistem esports itu perlu stabil dulu.”

Terakhir, menurut Bram, yang dibutuhkan juga oleh esports fighting adalah pengenalan game fighting itu sendiri.

“Saya melihat Indonesia masih jauh dari itu jika dibanding dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, seperti Malaysia, Thailand, ataupun Filipina. Setidaknya, di sana, event esports selalu ada spot untuk game fighting.

Karena itu juga, saya ingin berterima kasih pada AMD yang telah memberikan kepercayaannya kepada saya untuk menjalankan event mereka.

Harapannya, ekosistem esports fighting terus pelan-pelan berkembang dari berbagai aspek. Toh, esports fighting itu adalah salah satu esports yang punya faktor entertainment yang paling menarik dan punya banyak pemain nasional yang berprestasi di luar sana.” Tutup Bram.

Itu tadi obrolan singkat kami bersama Bram tentang seluk beluk esports fighting. Semoga saja tanah tandus yang sepenuh hati digarap Bram dan kawan-kawannya dari Advance Guard dan komunitas game fighting bisa berubah jadi taman indah yang bisa dinikmati semua orang ya!

Oh iya, jangan lupa like Facebook Fanpage Advance Guard ya untuk info-info terbaru seputar esports fighting.

Bigetron Esports Sah jadi Jawara PUGB Mobile Pertama di Indonesia

PUBG Mobile Indonesia National Championship (PINC) 2018 adalah gelaran esports pertama yang berskala nasional di Indonesia untuk PUBG Mobile. Kompetisi ini langsung disuguhkan oleh Tencent sebagai developer dan publisher PUBG Mobile.

Ada 16 tim peserta yang mengikuti gelaran babak final ini. 12 tim di antaranya datang dari jalur kualifikasi yang diadakan di 12 kota berbeda yang telah digelar mulai tanggal 12 Agustus sampai 29 September 2018.

Sumber: PUBG Mobile Esports
Sumber: PUBG Mobile Esports

Kedua belas tim tersebut adalah:

  1. Bigetron Esports – Kualifikasi Jakarta
  2. PG Barracx – Kualifikasi Bekasi
  3. BOOM ID – Kualifikasi Tangerang
  4. RRQ – Kualifikasi Bogor
  5. (Lafamilia Nostra) Capcorn – Kualifikasi Semarang
  6. Juggernut Noxi – Kualifikasi Yogyakarta
  7. SFI 45 – Kualifikasi Surabaya
  8. (Kuma) The Prime – Kualifikasi Bali
  9. Gragas – Kualifikasi Medan
  10. ONIC Esports – Kualifikasi Palembang
  11. DK – Kualifikasi Pekanbaru
  12. AXOV Esports – Kualifikasi Bandung

Selain 12 tim tadi, ada 3 tim yang turut bertanding dari jalur direct invite dan 1 dari jalur wildcard. 3 tim yang mendapatkan undangan khusus adalah:

  • EVOS Esports
  • Rahmat Zone
  • Recca Esports

Sedangkan dari jalur wildcard, ada tim Reborn.

Sumber: PUBG Mobile Esports
Sumber: PUBG Mobile Esports

Babak grand final yang berjalan selama 2 hari (dengan total 9 game), 20-21 Oktober 2018, di Britama Arena (Mahaka Square) Kelapa Gading ini berjalan cukup dramatis.

Muasalnya, di akhir hari pertama, Bigetron Esports memang telah memimpin klasemen dengan skor yang cukup jauh berkat 3 kali Chicken Dinner. Berikut adalah klasemen sementara di akhir hari pertama.

Sumber: PUBG Mobile Esports
Sumber: PUBG Mobile Esports

Bigetron telah memimpin perolehan skor 2565, selisih lebih dari 1000 poin dari posisi kedua; RRQ. Namun, di hari kedua, Bigetron beberapa kali tak berhasil finis di posisi 10 besar.

Sumber: PUBG Mobile Esports
Sumber: PUBG Mobile Esports

Untungnya, bagi Bigetron, selisih 1000 poin lebih di hari pertama tadi berbuah manis. Mereka pun tetap bisa bertengger di puncak klasemen dan diikuti oleh EVOS Esports dan RRQ.

Sumber: PUBG Mobile Esports
Sumber: PUBG Mobile Esports

Dengan hasil tersebut, Bigetron Esports pun berhak membawa pulang ‘santunan’ sebesar Rp.188.500.000 dan tiket untuk bertanding lagi di Dubai untuk bertanding lagi melawan tim-tim dari seluruh penjuru dunia. Kira-kira bagaimana peluang mereka ya di Dubai nanti?