Perusahaan Esports di Amerika Bertahan Selama Pandemi Berkat Bantuan Pemerintah

Selama masa pandemi ini, dampak ekonomi mungkin bisa dibilang menjadi salah satu yang cukup berat. Esports juga terdampak terhadap hal ini. Walaupun IDC melaporkan bahwa penonton esports meningkat dua kali lipat selama pandemi, namun esports tetap mengalami kerugian-kerugian tertentu dari segi bisnis.

Salah satunya sempat diceritakan oleh CEO NRG Esports, Joe Miller, bagaimana pandemi membuat organisasi mereka kehilangan pendapatan dari gelaran offline Call of Duty League dan Overwatch League, yang dibatalkan karena situasi pandemi. Namun ekosistem esports di AS cukup beruntung, karena pihak pemerintah memiliki sebuah inisiatif untuk ini. Inisiatif tersebut berupa uang pinjaman dalam program yang bernama Paycheck Protection Program (PPP).

Sumber: Call of Duty League Official
Liga skala besar seperti Call of Duty League mungkin jadi salah satu yang paling terdampak karena situasi pandemi ini. Sumber: Call of Duty League Official

Seperti namanya, program tersebut berfungsi sebagai insentif untuk para perusahaan agar tetap dapat membayar gaji pegawainya selama masa resesi ekonomi yang disebabkan oleh pandemi. Uang pinjaman yang diberikan pemerintah AS sendiri bisa mencapai 10 juta dollar AS. Mengutip dari Esports Observer, beberapa tim tersebut adalah Envy Gaming, FaZe Clan, NRG Esports, Complexity Gaming, Sentinels, Misfits Gaming, eUnited, dan Rogue.

Dana dan inisiatif ini sendiri diatur oleh US Small Business Administration (SBA), sebuah badan pemerintahan yang tugasnya membantu agar bisnis kecil (seperti UMKM di Indonesia) dapat berkembang. Esports Observer mengutip dari data SBA, mengatakan bahwa pinjaman PPP berhasil mempertahankan 600 pekerja di ekosistem esports.

Namun, pinjaman terhadap beberapa perusahaan esports tersebut juga sempat menuai kritik. Ini karena ada yang menganggap esports mendapat untung karena situasi pandemi COVID-19. Opini tersebut mungkin tidak sepenuhnya salah, karena beberapa waktu belakangan, kita melihat bagaimana ekosistem Sim Racing jadi tumbuh pesat selama pandemi.

Sumber: Autoweek
Ekosistem esports memang luas dan beragam, walau di satu sisi ada CDL dan OWL yang tuai banyak kerugian, di sisi lain ada juga ekosistem Sim Racing yang malah tumbuh pesat selama pandemi. Sumber: Autoweek

Tapi bukan berarti esports secara keseluruhan tidak mengalami kerugian. Beberapa waktu lalu kita juga melihat bagaimana pemilik tim Call of Duty League dan Overwatch League kesulitan selama masa pandemi, bahkan membuat Activision Blizzard dikabarkan turun tangan untuk memberi keringanan finansial.

Memang selama pandemi, walau esports tetap bisa terlaksana secara online, namun bukan berarti tanpa tantangan. Tidak bisa menyelenggarakan event secara offline mungkin baru satu sisi masalah saja, pada sisi lain, ekosistem esports juga jadi kesulitan mendapatkan sponsor karena keadaan ekonomi yang secara umum sedang melesu.

FaZe Clan Berikan Pendanaan untuk Startup Nutrisi Esports, CTRL

Organisasi esports FaZe Clan kembali melakukan ekspansi bisnis mereka. Kali ini, FaZe Clan bekerja sama dengan startup yang mengembangkan produk makanan bernutrisi bagi pelaku esports bernama CTRL. Kerja sama antara pelaku esports dan produk makanan akan menjadi sebuah langkah maju bagi ekosistem esports di masa depan.

Mungkin sampai saat ini stigma negatif masih melekat pada gamers ataupun atlet esports. Gambaran yang terlintas di pikiran saat mendengar kata atlet esports dan gamers adalah, seseorang yang menghabiskan banyak waktunya hanya untuk bermain dan nyaris tidak peduli akan kesehatan bahkan kebersihan diri.

via: drinkctrl.com
via: drinkctrl.com

Lebih jauh lagi mengenai pendanaan FaZe Clan, belum ada keterangan resmi terkait jumlah yang pasti dan seberapa besar kepemilikan FaZe Clan atas CTRL. Meskipun begitu, besarnya pengaruh dan eksistensi FaZe Clan akan memberikan dorongan yang signifikan untuk dapat menjangkau pasar esports secara global.

Dengan pesatnya perkembangan industri game dan esports yang masuk ke dalam lifetstyle, lambat laun stigma negatif terhadap gamers dan atlet esports yang tebangun sejak lama bisa dikikis.

CTRL Flavors | via: drinkctrl.com
CTRL Flavors | via: drinkctrl.com

Skyler Johnson, Co-founder  CTRL, berkomentar kepada VentureBeat, “FaZe Clan adalah perwujudan dari esports lifestyle yang merambah hal lain seperti musik hingga pakaian. Sejauh ini, nutrisi untuk gamer belum benar-benar menjadi bagian dari percakapan.”

Adapun inisatif awal berdirinya CTRL dimulai oleh Sundance Digiovanni dan beberapa pelaku esports lainnya. Dengan pengalamannya memiliki 3 orang anak membuatnya memikirkan asupan nutrisi yang tepat untuk menunjang aktivitas gamers, terlebih atlet esports.

Di kesempatan yang lain di bulan maret tahun ini, FaZe Clan juga sudah melakukan kerja sama dengan salah satu brand minuman energi G FUEL. Dalam kerja sama itu dikembangkanlah salah satu varian rasa yang bernama FaZeberry.

Semoga di masa depan gamers secara luas dapat terlepas dari stigma yang buruk di masyarakat. Berbagai macam cemilan, soft drink, energy drink dan fast food seolah menjadi batasan menu yang dikonsumsi gamers. Padahal di sisi lain, untuk dapat tetap memiliki performa terbaik diperlukan latihan fisik, mental, dan ditunjang asupan nutrisi yang perlu diperhatikan secara serius.

 

Manchester City Perpanjang Kerja Sama dengan FaZe Clan

FaZe Clan dan Manchester City mengumumkan bahwa mereka akan memperpanjang kontrak kerja sama mereka hingga 2021. Mereka pertama kali bekerja sama pada September 2019. Ketika itu, keduanya berencana untuk membuat produk kolaborasi seperti jersey.

Setelah memperpanjang kontrak kerja sama, FaZe dan Manchester City akan kembali berkolaborasi untuk membuat berbagai produk, seperti kaos, jaket hoodie, celana pendek, dan syal. Produk tersebut akan dijual di situs resmi FaZe Clan mulai 23 Juni 2020 dalam jumlah terbatas. Selain pakaian, organisasi esports dan klub sepak bola Inggris ini juga akan menggandeng SCUF, perusahaan pembuat game controller, untuk membuat controller khusus bertema FaZe X Manchester City dalam jumlah terbatas.

FaZe Clan Manchester City
Produk hasil kolaborasi antara Manchester City dan FaZe Clan. | Sumber: Manchester City

“Memasuki kerja sama tahun kedua, kami berharap kami akan menemukan kesempatan baru dan dapat memberikan pengalaman seru pada fans serta komunitas kami masing-masing,” kata CEO FaZe Clan, Lee Trink, seperti dikutip dari situs resmi Manchester City.

Selain membuat produk bersama. kerja sama antara FaZe dan Manchester City juga mencakup pembuatan konten, mempertemukan para pemain esports profesional dengan atlet sepak bola. Keduanya juga saling akan saling mengadakan berbagai event di kota asal masing-masing, yaitu Los Angeles dan Manchester.

“Kerja sama kami dengan FaZe Clan memungkinkan kami untuk menjangkau para fans di luar lapangan sepak bola,” kata Nuria Tarre, Chief Marketing Officer, City Football Group. “Fans senang dengan kolaborasi kami karena kerja sama ini memungkinkan mereka untuk menggabungkan dua hal yang mereka sukai, , yaitu bermain game dan sepak bola.”

FaZe Clan adalah organsiasi esports yang didirikan pada 2010. Pada awalnya, FaZe berisi gamer Call of Duty yang senang melakukan trickshot. Mereka lalu membuat channel YouTube dan mengisi channel tersebut dengan video trickshot serta vlog dari kehidupa para gamer yang menjadi bagian dari FaZe. Setelah itu, mereka lalu mencoba untuk masuk ke dunia kompetitif Call of Duty. Selain di Call of Duty, FaZe Clan juga berlaga di scene esports Counter-Strike: Global Offensive, Fortnite, dan PUBG.

FaZe Clan Siap Rilis Cinematic Universe di Akhir Tahun 2020

Dalam beberapa waktu terakhir FaZe Clan selalu memberikan gebrakan melalui ekspansi bisnisnya. Berawal dari sekumpulan gamer yang membentuk clan, FaZe Clan kini menjadi ikon yang memberi pengaruh ke kultur gaming di skala global.

Siapa yang mengira kumpulan video trickshot yang diunggah ke YouTube bisa berkembang begitu pesatnya. Rentetan turnamen game FPS di berbagai belahan dunia seakan sudah menjadi langganan bagi siapapun yang tergabung dalam skuad FaZe Clan.

FaZe recruitment challenge |via: fazeclan instagram
FaZe recruitment challenge |via: fazeclan instagram

Tidak cuma berlaga di level kompetitif, FaZe Clan juga menjadi markas bagi gaming personalities. Sekalipun tidak turun dalam kejuaraan, streamer dari FaZe Clan kerap menyajikan konten yang banyak disukai khalayak muda.

Melihat eksistensi FaZe Clan di dunia gaming, mereka seakan berhasil menghilangkan batasan antara gaming dan lifestyle. Misalnya dengan memproduksi berbagai merchandise eksklusif. Melalui produk-produk apparel edisi terbatas, FaZe Clan melancarkan ekspansi ke ranah fashion dan ingin menjadi sebesar merek apparel Supreme.

via: win.gg
via: win.gg

Seakan tidak berpuas diri, FaZe lanjut melakukan ekspansi melalui pembuatan cinematic universe. Dalam pembuatannya FaZe bekerja sama dengan Adam Goodman, pemimpin dari studio konten digital Invisible Narratives. FaZe Clan juga mengajak Andrew Sugarman, sosok produser eksekutif dari serial TV 13 Reasons Why, yang sudah lebih dulu bergabung untuk pengerjaan serial TV bersama FaZe Clan.

Menurut Lee Trink, CEO dari FaZe Clan dalam keterangannya kepada Deadline, “ketika Adam pertama kali menyampaikan ide uniknya untuk menjembatani content creator dan pembuat film, saya tahu dia berbicara tentang hal yang besar.”

Berbicara lebih jauh tentang pemeran dalam FaZe Clan cinematic universe, nantinya akan dibintangi oleh anggota-anggota dari FaZe Clan sendiri. Dengan masuknya sejumlah besar pendanaan akan memungkinkan FaZe Clan membiayai produksinya secara mandiri.

Sedangkan sebagai elemen pendukungnya, soundtrack dari Epic Records akan disuguhkan dalam proyek cinematic universe milik FaZe Clan. Epic Records adalah perusahaan rekaman yang sudah banyak menggawangi musisi terkenal dari genre Pop, Rock, RnB, Hip Hop, dan juga banyak lainnya.

Rencananya proyek FaZe Clan cinematic universe akan dirilis di penghujung tahun 2020. Berbeda dari pemutaran film pada umumnya, secara perdana FaZe Clan cinematic universe akan ditayangkan di bioskop drive in di Los Angeles.

Antara Prestasi dan Konten Tim Esports, Mana yang Lebih Penting?

Memiliki tim esports papan atas mungkin menjadi salah satu mimpi besar dari para penggemar esports. Aktualisasi diri sebagai gamers terbaik, banyak uang, dan dikagumi banyak orang, jadi beberapa alasan kenapa punya tim esports menjadi hal yang diimpikan. Tetapi membangun organisasi esports bukanlah perkara yang mudah.

Nyatanya butuh modal yang besar untuk mencapai kejayaan tersebut. Misal jika Anda bercita-cita punya tim yang menjadi juara Dota 2 The International, Anda butuh modal pada kisaran ratusan juta rupiah untuk PC High-End, internet, gaji pemain, gaming house, dan berbagai tetek-bengek biaya operasional lainnya.

Namun, selain mengejar prestasi, konten mungkin bisa dibilang menjadi alternatif yang relatif murah-meriah untuk mengumpulkan modal. Kisah sukses ini sempat saya bahas saat menulis profil FaZe Clan, sebuah organisasi esports yang mengawali hidupnya sebagai clan hura-hura dengan channel YouTube berisikan sajian konten trickshot keren.

Pada sisi lain ada juga kisah sukses tim esports lain yang mengawali perkembangannya dari prestasi. Kisah sukses tersebut datang dari Team Liquid, yang sedari awal memang diciptakan sebagai clan gaming kompetitif, dan menuai sukses dari dominasinya di ragam skena esports di dunia.

Prestasi vs Konten, jadi juara atau menjaring exposure, apa sebenarnya resep membangun organisasi esports yang sukses? Berikut pembahasan saya.

Biaya Untuk Mengelola Sebuah Tim Juara

Mengumpulkan prestasi, mungkin jadi satu resep paling umum yang dilakukan organisasi esports untuk menjadi sukses. Contoh saja T1, yang selama tahun 2020 dapat banyak sekali sponsor karena prestasi, mulai dari Nike, Logitech G, sampai monitor Samsung. Memang sih, sepertinya agak muluk-muluk jika kita ingin seperti T1 yang juara dunia 3 kali berturut-turut di salah satu skena esports paling populer di dunia, League of Legends.

Supaya tidak kejauhan, mari kita coba intip dari kacamata lokal saja. Sebagai contoh kasus di skena lokal, saya menggunakan divisi AOV milik EVOS Esports, yang pencapaiannya mirip T1, cuma saja di tingkat nasional… Hehe.

EVOS AOV mencatatkan rekor juara 3 kali berturut-turut di turnamen tingkat nasional lewat gelaran AOV Star League Musim pertama, kedua, dan ketiga.

Kemenangan ini menjadi pundi-pundi pendapatan yang cukup besar bagi manajemen EVOS Esports. Tercatat EVOS AOV menerima Rp500 juta dari ASL Season 1 juga 2, dan Rp355 dari ASL Season 3. Jika hanya menghitung hadiah ASL saja, maka EVOS AOV sudah mengumpulkan pundi-pundi sebesar Rp1,3 miliar. Kami juga pernah menuliskan total pendapatan EVOS dari hadiah kemenangan selama tahun 2019.

Jumlah yang besar?

Sepertinya sih lumayan, tapi coba kita lihat berapa biaya operasional untuk mengelola tim tersebut. Untuk mengetahui hal ini, saya mewawancarai sahabat saya, Hilmy Khairy yang juga dikenal sebagai Hiruma, Deputy of Esports di EVOS Esports. Sebelum menempati jabatannya sekarang, ia merupakan manajer tim EVOS AOV.

Lalu saya bertanya, kira-kira berapa biaya operasional yang dibutuhkan oleh tim EVOS AOV? “Wah ini rahasia sih, tapi setiap bulan kurang lebih ada total puluhan juta rupiah dikeluarkan untuk operasional tim.” Jawabnya.

Lebih lanjut, Hilmy lalu menjelaskan apa saja biaya yang dikeluarkan oleh manajemen EVOS untuk mengelola divisi AOV. “Yang pasti gaji pemain dan staf, biaya gaming house, internet, pemeliharaan rumah, air dan listrik, serta biaya sehari-hari, dan biaya katering.”

Itupun belum semua, masih ada biaya-biaya tak terduga, yang biasanya muncul ketika tim tersebut menjalani pertandingan tatap muka. “Kalau tanding offline biasanya ada biaya tambahan, seperti uang transpor untuk datang ke menuju ke dan pulang dari event, ada juga cemilan untuk mood booster ketika tanding. Kalau hotel dan akomodasi untuk pertandingan di luar kota atau luar negeri biasanya ditanggung oleh penyelenggara acara.” Tambah Hilmy.

Dari apa yang dijelaskan, mari kita kira-kira berapa biaya operasional untuk tim seperti EVOS AOV. Pertama-tama, gaji pemain. Hilmy memang tidak memberikan angkanya, namun ia mengatakan bahwa gaji tim EVOS AOV bervariasi mulai dari lebih dari UMR sampai 2 kali UMR.

UMR Jakarta saat ini adalah Rp4.276.349.906, kita bulatkan jadi Rp4,3 juta. Supaya lebih mudah, anggap saja semua gaji pemain EVOS AOV adalah 2 kali UMR yang berarti Rp8,6 juta dikalikan 5 orang. Baru menghitung gaji saja, kita sudah menyentuh angka pengeluaran sebesar Rp43 juta setiap bulannya.

Ini kita belum menghitung biaya sewa gaming house, internet, listrik dan air, laundry, katering, serta operasional bulanan lainnya. Anggap saja, jika ditotal semua, angka kasarnya bisa mencapai kisaran Rp80 juta setiap bulan. Dengan angka tersebut setiap bulannya, maka biaya operasional dari tim juara seperti EVOS AOV adalah Rp960 juta per tahun.

Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
EVOS AOV saat memenangkan gelarn juara nasionalnya yang ketiga dalam gelaran ASL Indonesia Season 3. Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Angka yang cukup mengejutkan, apalagi pendapatan turnamen EVOS AOV dari turnamen AOV Star League cuma Rp1,3 miliar. Itupun didapatkan selama 3 musim yang berjalan selama satu setengah tahun. ASL Season 1 dan 2 diadakan pada tahun 2018, yang berarti EVOS AOV mendapatkan Rp1 miliar selama seathun dari turnamen.

Manajemen tim tidak mengambil semua hadiah turnamen, mereka hanya mengambil sebagian saja dari hadiah yang didapatkan. Hilmy menceritakan, organisasi esports punya sistem potongan hadiah yang bervariasi mulai dari 20% hingga 40%. Dengan asumsi EVOS menggunakan potongan yang terbesar, ini berarti manajemen hanya mendapat Rp400 juta saja. Jika hanya mengandalkan hadiah turnamen, sudah pasti manajemen tidak dapat menutup biaya operasional tahunan tim tersebut.

Tetapi memang pada kenyataannya pendapatan bagi organisasi esports sebesar seperti EVOS Esports tidak terbatas pada satu tim saja dan juga tidak berasal hanya dari satu muara saja. Pembahasan singkat tadi mungkin bisa menjadi gambaran yang sangat kasar, bahwa biaya operasional tim itu besar dan hadiah turnamen tidak dapat menutupnya.

Namun itu harusnya tidak masalah. Menurut asumsi saya, semua biaya yang dikeluarkan tersebut lebih bersifat investasi, yang timbal baliknya bisa sangat beragam bagi sang organisasi di masa depan nanti.

Mengintip Sumber Pemasukan Tim Esports

Sebelum kita melaju ke pembahasan berikutnya, mari kita bahas dulu, sebenarnya apa saja ladang bisnis dari tim esports. Memang sebenarnya asumsi bahwa organisasi esports hanya mengandalkan hadiah turnamen sebagai satu-satunya sumber pendapatan adalah penyederhanaan yang kelewatan. Mungkin hanya tim amatir atau semi-pro yang melakukan praktik seperti itu.

Organisasi esports sebesar seperti EVOS Esports, Rex Regum Qeon, BOOM Esports, atau Bigetron Esports, biasanya punya lebih dari satu sumber pendapatan. Bahkan, hadiah turnamen mungkin bukan dianggap sebagai sumber pendapatan, melainkan hanya bonus atas kerja keras yang dilakukan manajemen dan pemain saja.

Dalam sebuah artikel blog milik penasihat investasi asal Amerika Serikat, Roundhill Investment, disebutkan bahwa setidaknya ada 6 sumber pemasukan lain dari sebuah organisasi esports. Dalam artikel berjudul “How Esports Teams Make Money”, dikatakan bahwa sumber pemasukan organisasi esports termasuk sponsorship, advertising, merchandise, league revenue sharing, dan ticket sales.

Sponsorship mungkin jadi satu pemasukan terbesar. Anda pembaca setia Hybrid.co.id mungkin sadar akan hal ini. Berita soal sponsorship menjadi salah satu berita yang paling sering berseliweran di portal kami. Dari ekosistem lokal terakhir kali kita melihat EVOS disponsori oleh Lazada pada 15 April 2020 lalu. Dari ekosistem internasional biasanya lebih banyak lagi berita-berita sponsorship terhadap tim esports.

Mengutip data dari Newzoo, sponsorship ternyata memang sumber pemasukan terbesar esports, baik bagi organisasi esports atau penyelenggara turnamen esports. Menurut catatan sponsorship menyumbangkan pemasukan sebesar US$636,9 juta (sekitar Rp9,3 triliun) sampai Februari 2020 kemarin. Jumlah tersebut merupakan jumlah yang terbanyak, dibanding sumber pemasukan lainnya.

Lalu penjualan merchandise. Ini juga menjadi satu sumber pemasukan yang menggiurkan, terutama jika tim esports tersebut punya derajat yang tinggi di dalam skena, dan dilengkapi dengan ragam rancangan busana yang mencerminkan personalita para penggemarnya.

Di luar negeri, FaZe Clan jadi organisasi esports yang giat menjalankan bisnis merchandise. Mereka bahkan dengan berani menyatakan ambisinya untuk menjadi Supreme-nya esports. Di Indonesia, EVOS jadi salah satu organisasi esports yang meraup cukup banyak dari bisnis merchandise. Menurut laporan terakhir, EVOS dikabarkan menerima Rp150 juta hanya dari penjualan merchandise selama M1 dan MPL ID Season 4.

Selanjutnya, bagi hasil kompetisi liga dan penjualan tiket mungkin jadi sumber pemasukan yang masih gelap di kancah lokal. Sejauh ini, belum ada pertandingan esports dalam negeri yang berhasil untung besar dari penjualan tiket. Sehingga kita masih belum bisa membahas penjualan tiket sebagai sumber pemasukan tim esports.

Lalu kalau soal bagi hasil, MPL Indonesia menerapkan sistem liga franchise pada musim keempat yang juga menerapkan sistem bagi hasil antara tim-tim yang berlaga.

Jumlahnya tidak diketahui, namun Senior Editor Hybrid Esports, Yabes Elia sempat berbincang dengan Chandra Wijaya, Managing Director ONIC Esports membahas buah investasi slot MPL ID Season 4. Jika Anda penasaran bagaimana dampak franchise league MPL ID S4 kepada aspek bisnis sebuah tim esports, Anda bisa menyaksikan video interview tersebut di bawah ini.

Dari semua beragam sumber pemasukan tim esports, bagaimana konten berperan dalam perkembangan tim esports? Mari kita bahas pada bagian berikutnya.

Konten Sebagai Sumber Pemasukan Tim Esports

Sebelum membahas lebih jauh, mari kita samakan persepsi terlebih terhadap apa yang dimaksud dengan konten. Dalam pembahasan ini, kita akan membatasi pembahasan konten kepada konten kanal media sosial Instagram, konten video kreatif pada platform YouTube, dan juga konten video live-streaming.

Dari sumber pemasukan tim esports yang kita bahas sebelumnya, pemasukan yang bisa didapatkan oleh konten mungkin bisa dibilang di dalam irisan pemasukan advertising dan juga sponsorship. Mengapa demikian? Karena sponsorship bisa menyertakan kerja sama konten di dalamnya dan konten juga bisa mendapat pemasukan khusus berupa advertising atau iklan brand dalam satu konten milik tim esports.

Jika kita berkaca kepada esports di luar negeri, FaZe Clan mungkin bisa dibilang menjadi contoh paling ideal dari bagaimana sebuah organisasi esports memanfaatkan konten sebagai sumber pemasukan mereka. Jika kita merujuk kepada situs analitik media sosial, Socialblade, kita bisa melihat bahwa channel YouTube milik FaZe Clan merupakan salah satu yang terbesar dalam kategori gaming. Tercatat channel YouTube FaZe Clan sudah di-subscribe oleh 7 juta orang dan bisa menghasilkan sampai dengan US$1,5 juta (sekitar Rp22 juta).

Namun estimasi penghasilan tersebut sebenarnya baru berasal dari Google AdSense saja. Terlebih, walau terlihat sangat besar, jumlah tersebut sebenarnya belum seberapa bagi organisasi esports yang, menurut Forbes, memiliki nilai valuasi sebesar US$240 juta (sekitar Rp3,5 triliun).

Walau secara estimasi pemasukan Google AdSense tidak sebegitu besar, namun sajian konten menghibur yang dinikmati oleh banyak orang dari FaZe Clan membuka peluang bisnis lain. Seperti yang saya sebut di awal, yaitu sponsorship dan advertising. Contoh nyata dari hal ini adalah kolaborasi antara FaZe Clan dengan Manchester City.

Dalam kerja sama Co-Branding tersebut dikatakan bahwa penggunaan jersey Manchester City dengan elemen brand Faze Clan menjadi salah satu hal yang dilakukan dalam kerja sama ini. Namun selain itu, ada juga kerja sama konten yang dilakukan oleh keduanya. Dengan jutaan view dari setiap konten yang diungga oleh FaZe Clan, tak heran jika sponsor berebut ingin dapat kesempatan berkolaborasi dengan organisasi esports yang mengawali perjalanannya dari Call of Duty tersebut.

Melihat industri gaming dan esports yang sedang “panas” belakangan. Tak heran jika berbagai brand, baik endemik dan non-endemik, ingin merebut perhatian sebagian dari seluruh penonton esports yang menurut Newzoo mencapai 495 juta orang di dunia.

Selain konten di YouTube, bidang lain yang tak kalah menjanjikan dari aspek konten bagi organisasi esports adalah live-streaming. Twitch sebagai platform yang paling menonjol dengan total waktu tonton mencapai 3 miliar jam pada Q1 2020 lalu, menjadi wadah terbaik bagi organisasi esports untuk menjangkau para penggemarnya.

Pada ekosistem esports luar negeri, tak heran jika kita melihat organisasi esports memiliki seorang streamer yang melakukan streaming dengan menggunakan nama organisasi tersebut. Team SoloMid misalnya, punya Ali Kabbani (Myth) sebagai kreator konten serta streamer untuk mewakili brand organisasi esports asal Amerika Serikat tersebut. FaZe Clan juga, yang dahulu memiliki Turner Tenney (tfue) sebagai streamer serta konten kreator andalan mereka, walaupun akhirnya ditinggal karena skandal kontrak yang eksploitatif.

Dari contoh kasus di atas, kita melihat bagaimana konten juga menjadi sumber pemasukan yang menjanjikan bagi organisasi esports. Lalu bagaimana dengan organisasi esports di Indonesia? Jika bicara live-streaming, satu perbedaan yang paling terasa adalah posisi Twitch yang tidak relevan bagi pasar gaming Indonesia.

Mengutip laporan Esports Markets Trend yang dirangkum oleh DSResearch pada September 2019 lalu, 84,6 persen dari 1.445 total responden masih memilih YouTube sebagai platform favorit untuk menonton konten gaming.

Untuk melihat peran konten bagi organisasi esports Indonesia, saya mengmbil contoh Rex Regum Qeon, yang punya kanal YouTube dengan 1,49 juta subscriber, salah satu yang terbanyak di Indonesia. Jika mengutip data Socialblade, channel milik salah satu tim esports papan atas Indonesia ini ternyata bisa menghasilkan paling banyak sebesar US$17,4 ribu (sekitar Rp258 juta) per bulan dengan total US$208,5 ribu (sekitar Rp3 miliar) per tahun dari Google AdSense.

Lucunya angka tersebut ternyata bersaing dengan total hadiah kemenangan yang didapat RRQ sepanjang tahun 2019 yang setidaknya mencapai Rp5,7 miliar. Apalagi, seperti yang sudah kita bahas di awal artikel tadi, tim esports biasanya tidak mengambil semua hadiah turnamen, melainkan paling banyak hanya 40% bagian saja.

Jadi, jika dengan asumsi RRQ memotong 40% bagian dari hadiah turnamen yang didapat pemain, manajemen RRQ berarti hanya menerima Rp2,2 miliar, Rp800 juta lebih kecil dibanding dari pendapatan Google AdSense YouTube Channel yang mereka miliki.

Lalu bagaimana soal pengeluaran untuk membuat konten? Gaji untuk seorang streamer bisa jadi lebih mahal atau lebih murah ketimbang gaji yang dibutuhkan untuk satu tim esports. Anggaplah tadi gaji untuk tim AOV untuk EVOS ada di kisaran Rp43 juta sebulan atau gaji minimal untuk tim MPL ID adalah Rp45 juta sebulan (Rp7,5 juta x6), nominal ini juga bisa jadi sama besarnya untuk membayar gaji bulanan streamer beserta tim produksinya (video editor, videografer, dkk.). Belum lagi jika kita berbicara soal alat-alat yang dibutuhkan, seperti kamera, webcam, PC untuk editing video. Modal awal untuk kebutuhan peralatan tadi mungkin saja mencapai Rp50-100 jutaan untuk sebuah kanal konten video. Untungnya, modal untuk peralatan ini mungkin memang tidak rutin — kecuali setiap bulan banting kamera.

Meski pengeluaran untuk tim esports dan tim kreator konten bisa jadi sama besar atau bahkan lebih mahal tim konten-nya (tergantung dari prestasi para pemain tim esports-nya), satu hal yang tak bisa dipungkiri adalah membangun tim juara itu mungkin lebih sulit dilakukan ketimbang membangun tim konten yang populer.

Sumber: PUBG Mobile Esports
Sumber: PUBG Mobile Esports

Kenapa? alasannya ada 2. Pertama, industri konten sudah jauh lebih matang dan tua ketimbang industri esports. Para profesional yang piawai merekam video atau mengedit bisa ditemukan dari industri-industri hiburan di luar esports. Demikian juga peralatannya. Misalnya, Anda bisa saja menemukan setiap komponen untuk merakit desktop PC kelas proletar sampai kelas sultan di Indonesia. Sedangkan di esports, para pemain yang masuk di kategori papan atas masih sangat terbatas. Demikian juga dengan pelatihnya, misalnya. Anda tidak bisa merekrut pelatih sepak bola untuk melatih tim Dota 2 dan berharap ia bisa dengan mudah beradaptasi — tidak seperti videografer atau video editor dari industri hiburan di luar esports.

Alasan kedua kenapa membangun tim juara lebih sulit karena memang caranya cuma satu; yaitu memiliki kemampuan yang hebat agar bisa jadi juara. Kemampuan ini kemungkinan besar tidak akan bisa didapat dengan cara instan. Kekompakan tim saat bertanding juga demikian.

Sedangkan popularitas konten? Ada banyak cara untuk bisa mencari popularitas. Para streamer perempuan bisa saja memanfaatkan eksplorasi tubuh dan wajah. Faktanya, wajah cantik ataupun bodi ciamik bisa didapatkan dengan mudah — jika Anda beruntung dalam undian genetik. Ada juga streamer yang lebih suka memanfaatkan perilaku menyimpang dan kata-kata kasar untuk memancing popularitas. Kenyataannya, popularitas itu memang seringnya tidak berbanding lurus dengan kapabilitas. Anak kecil makan bakso saja bisa jadi populer tanpa perlu ribuan jam berlatih layaknya tim esports. Sebaliknya, Anda tidak bisa jadi juara kompetisi hanya dengan menunjukkan belahan dada — kecuali mungkin memang kompetisinya soal itu…

Batasan etika dari definisi juara itu memang jauh lebih sempit, ketimbang populer. Faktanya, organisasi esports juga memanfaatkan gadis-gadis cantik untuk mendulang popularitas — yang sebelumnya juga pernah kami bahas.

Kesimpulan

Melalui pembahasan yang telah kita lakukan, kita setidaknya bisa mendapat gambaran kasar, apa yang bisa didapatkan organisasi esports atas prestasi yang mereka kejar dan konten-konten kreatif yang mereka produksi.

Jadi, prestasi atau konten? Sepertinya keduanya seperti dua sejoli yang tak terpisahkan dan saling melengkapi dalam proses perkembangan sebuah organisasi esports.

Toh tim yang berat ke konten seperti FaZe Clan, pada akhirnya juga berambisi menjadi juara, sampai-sampai rela keluar US$700.000 pada tahun 2016 hanya untuk membeli roster CS:GO. Team Liquid yang gencar mengejar prestasi juga tetap membuat konten agar mereka tetap eksis di dunia maya.

Bahkan RRQ yang punya orientasi menjadi juara, tetap memanfaatkan popularitas atas kemenangan mereka sebagai konten agar tetap menghasilkan pundi-pundi untuk membantu membawa RRQ kepada kesuksesan.

Apalagi, faktanya, membangun tim juara itu tetap butuh waktu yang panjang — setidaknya tidak sesingkat menemukan gadis-gadis berparas menarik ataupun streamer yang lucu dan kontroversial.

Bagaimana FaZe Clan Menyatukan Gaming, Esports, dan Gaya Hidup Glamor Ala Selebriti

Sebagai sebuah industri baru, tak heran jika banyak entitas di ekosistem esports mencoba ini dan itu agar dapat menemukan formula sukses yang tepat. Kompetisi mungkin jadi satu hal utama jika kita bicara soal esports. Bagaimanapun, industri esports tumbuh besar dari kompetisi, sejak dari zaman laga adu skor di zaman dahulu hingga menjadi sebuah kompetisi global di zaman sekarang.

Seiring berkembangnya zaman, esports lama-lama tidak lagi kaku, jadi bukan soal kompetisi saja. Kompetisi dan segala hal yang terlibat di dalamnya menjadi begitu menarik diperbincangkan menjadi konten, tak lupa suguhan infotainment atau bahkan gosip juga menjadi bumbu penyedap dari kompetisi yang panas.

Selain dua hal tersebut, hal menarik yang mungkin masih belum banyak disentuh oleh entitas bisnis esports adalah nilai jualnya sebagai gaya hidup. Dari banyak organisasi esports di dunia, FaZe Clan menjadi salah satu yang bergeliat cukup kencang dalam menyatukan antara kultur gaming, kompetisi, dan gaya hidup.

Dan semua itu berawal dari komunitas Call of Duty di Amerika Serikat

360 no Scope, Vlogging, dan FaZe Clan

Bagi Anda pemain game FPS, Anda mungkin sudah cukup familiar dengan istilah 360 no scope. 360 no scope diibarat jenis gaya dalam lompatan skateboard. Dalam game FPS, 360 no scope dilakukan dengan cara melompat, memutar badan 360 derajat, lalu menembak musuh dengan menggunakan senapan jenis sniper tanpa menggunakan scope atau kekeran.

Mengutip dari salah satu situs yang mendokumentasikan berbagai budaya populer di internet, asal muasal 360 no Scope adalah dari komunitas Call of Duty 4 lewat pemain bernama zzirGrizz. Trik gerakan tersebut pertama menyeruak pada 11 Oktober 2008, ketika seorang pengguna YouTube bernama Devin LaBrie mengunggah video montage permainan zzirGrizz, dan menamainya sebagai top 10 no scopes of all time.

Setelah itu, istilah ini jadi populer setelah seorang pengguna YouTube bernama nomercysoldier0 mengunggah permainannya di Call of Duty: Modern Warfare 2 yang viral karena berhasil mendapatkan 2,1 juta view dan 7300 komentar dalam 4 tahun pertama.

Lalu apa urusannya 360 no scope dengan FaZe Clan? Setelah trickshot 360 no scope menjadi budaya di komunitas Call of Duty, semua orang akhirnya berusaha melakukan hal tersebut.

Sampai pada akhirnya, 30 Mei 2010, terciptalah FaZe Sniping, sebuah clan Call of Duty yang diciptakan oleh 3 pemain yaitu Eric Rivera (CLipZ), Jeff Emann (House Cat), dan Ben Christenen (Ressistance). Trio pemain tersebut menjadi dikenal banyak orang karena melakukan inovasi dalam melakukan trickshot, apalagi mereka bisa dibilang sebagai salah satu yang pertama dalam melakukan trickshot sebagai satu tim.

Mulai saat itu, FaZe rutin menciptakan montage atau rekaman hasil dari permainan yang mereka lakukan dalam satu seri video YouTube yang mereka beri nama ILLCAMS. Konten demi konten diciptakan sampai akhirnya FaZe Clan menjadi satu kelompok yang banyak dikenal di komunitas Call of Duty. Setelah beberapa saat, FaZe Clan menjadi semakin populer, apalagi ketika mereka mulai merekrut sosok-sosok trickshotter kenamaan di komunitas Call of Duty untuk bergabung ke dalam tim.

Setelah beberapa episode ILLCAMS, muncul sosok Thomas Oliveira atau dikenal dengan nama Temperrr. Tak banyak yang diketahui dari sosok Temperrr sebelum diperkenalkan FaZe. Tapi satu yang pasti, sosok ini seakan menjadi magnet bagi para penggemar FaZe. Ketika diperkenalkan pertama kali pada 2 Agustus 2010 lalu, Temperrr berhasil menyedot 1,5 juta view.

FaZe Temperr sendiri bisa dibilang merupakan salah satu dari founding member dari Faze Clan, sosok ini mungkin bisa dibilang menjadi salah satu yang terpenting dari perkembangan FaZe. Lompat beberapa tahun ke depan, FaZe kembali menghadirkan member baru yang membuatnya menjadi semakin melejit. Dia adalah Richard Bengston, sosok selebriti gaming yang juga dikenal sebagai FaZe Banks.

Banks pertama kali diperkenalkan pada 25 Maret 2013. Ketika itu, ia bergabung sebagai bagian dari pelaku konten trickshot milik FaZe Clan saja. Sampai pada Februari 2014, Temperrr dan Banks melakukan konten face reveal, seraya mengumumkan bahwa Banks akan pindah tinggal bersama Temperrr untuk membuat lebih banyak konten video.

Setelah kurang lebih 4 tahun FaZe Clan menghujani internet dengan konten trickshot super keren, kini mereka mulai berevolusi. “Kami adalah gamers pertama yang benar-benar menunjukkan wajah kami di internet.” ucap Temperrr kepada New York Times. Sejak saat itu, FaZe Clan mulai menyertakan wajah mereka pada konten gameplay. Tak hanya itu, para anggotanya mulai melakukan vlogging dan menunjukkan kehidupan sehari-hari mereka yang tidak ada hubungannya dengan gaming.

“Orang-orang menyukai hal itu (konten vlogging). Orang-orang pasti ingin tahu kegiatan di luar dari sekadar gameplay kami. Mereka main COD setiap hari tapi mereka juga harus melihat bagaimana gaya hidup kami dan bagaimana kami adalah bocah-bocah keren.” Ucap Banks dalam artikel New York Times tulisan Taylor Lorenz yang terbit 17 November 2019 lalu.

Terjun ke Dunia Kompetitif Call of Duty dan Dominasi di Skena CS:GO

Trickshot, vlog, dan tren sudah ada di dalam nadi FaZe Clan sejak lama. Namun esports dan dunia kompetitif jadi hal baru bagi FaZe Clan. Sementara konten trickshot dan vlogging kehidupan gamers masih berlanjut, mereka menjajaki dunia kompetitif Call of Duty dan menciptakan satu rivalitas paling panas di skena tersebut, yaitu antara FaZe Clan dengan Optic Gaming.

Kedua tim ini merintis kehidupannya dengan cara yang kurang lebih sama, membuat konten Call of Duty dan menjadikan konten mereka sebagai ruang menuju popularitas untuk para pemainnya. FaZe dan Optic menjadi nama yang gaungnya paling besar di skena Call of Duty, ibarat EVOS dan RRQ di skena MLBB lokal Indonesia.

FaZe memulai dari turnamen-turnamen kecil. Debut mereka untuk turnamen besar adalah di tahun 2013, lewat game Call of Duty Black Ops II. Mereka beberapa kali ikut kompetisi kasta utama Call of Duty, Major League Gaming (MLG). Sayang pada tahun itu mereka belum mendapat prestasi terbaik.

Mereka harus puas berada di peringkat 5 pada MLG Spring Championship kalah oleh Optic Gaming. Tim ini pun mengalami roster shuffle besar-besaran, yang berujung kepada kegagalan-kegagalan mencapai posisi yang lebih baik di turnamen-turnamen berikutnya.

Perjuangan jatuh-bangun tersebut terus berlanjut hingga pada tahun 2014 mereka mendapatkan pemain bernama ACHES. Pemain ini kerap kali dianggap sebagai musuh besar Optic Gaming, karena ia berkali-kali berhasil membuat Optic tertunduk. Bertanding pada MLG Columbus Open di tahun 2014, mereka berhasil mendapat angin segar dengan melaju mulus di upper-bracket.

Memasuki hari kedua pertandingan, bencana terjadi. Tangan ACHES terluka entah karena apa, membuatnya harus berada di rumah sakit semalaman. Walaupun begitu ACHES memutuskan untuk tetap bertanding. Tentu saja kemalangan ini membuat FaZe kesulitan, sehingga mereka terpaksa turun ke lower-bracket. Namun demikian, mereka berhasil bangkit sampai akhirnya di babak final bertemu dengan Optic Gaming dan memenangkan dua kali pertandingan best-of-5.

Kemenangan ini membuat mereka menjadi tim yang disegani dalam skena Call of Duty. Bahkan sekarang nama FaZe masih menjadi bagian dari skena kompetitif di Call of Duty League, dengan nama Atlanta FaZe.

Sampai saat ini, FaZe Clan masih menjadi nama yang dominan di skena Call of Duty. Sumber: Atlanta Faze Official Media
Sampai saat ini, FaZe Clan masih menjadi nama yang dominan di skena Call of Duty. Sumber: Atlanta Faze Official Media

Sejak saat itu, rivalitas antara FaZe dengan Optic jadi semakin keras karena keduanya sama-sama semakin kuat. Sempat mengalami badai roster shuffle lagi, namun FaZe kembali mendapatkan momentum kemenangan di tahun 2015. Mereka berhasil memenangkan UMG Dalls 2015, Gfinity Summer Championship, dan MLG Season 3 Playoff. Kemenangan ini berhasil membuat nama FaZe Clan semakin gemilang di skena Call of Duty.

Satu tahun setelah menjadi nama yang dominan di skena Call of Duty, FaZe mulai coba mengembangkan sayap ke skena kompetitif lain. Ciri khas mereka tetap sama, yaitu game FPS. 2 Maret 2016, FaZe mengumumkan roster CS:GO mereka, hasil akuissi dari tim G2 Esports yang berisikan Maikel Bill (Maikelele), Havard Nygaard (Rain), Ricardo Pachecho (Fox), Joakim Myrbostad (Jkaem), dan Philip Aistrup (Aizy).

Roster ini dikabarkan dibeli dengan harga US$700.000 (sekitar Rp10 miliar) dari G2 Esports. Akuisisi ini membuat mereka disebut sebagai roster termahal sepanjang sejarah CS:GO menurut Dot Esports. Walau demikian, mereka memulai tahun pertamanya dengan cukup berat.

Mengutip catatan liquidpedia, performa mereka kurang memuaskan untuk sebuah roster termahal sepanjang sejarah CS:GO. Pada debut awal, mereka berkali-kali terhenti di peringkat 12. Malah mereka sempat gugur di fase grup dengan catatan menang-kalah 0-2 dalam gelaran DreamHack Masters Malmo 2016.

Belajar dari pengalaman di skena Call of Duty, FaZe jadi dikenal sebagai tim yang punya tangan dingin. Mengalami rentetan performa kurang memuaskan selama 2016, FaZe menjadi tim yang tidak takut untuk membongkar roster demi mendapat performa yang lebih baik.

Oktober 2016 mereka memasukkan Finn Andersen (Kariggan), mantan in-game leader Astralis, yang telah lama dibangkucadangkan karena rentetan hasil buruk yang ia dapatkan. Perekrutan ini segera memancing polemik, karena terlihat janggal, namun dianggap pergerakan yang mantap karena dirasa bisa memberi leadership ke dalam tim.

Masuk tahun 2017, roster shuffle kembali terjadi, Karrigan bertahan. Sampai satu yang cukup mencengangkan adalah ketika mereka mengambil The Bosnian Beast, Nikola Kovac (Niko). Perekrutan ini menunjukkan intensi FaZe, bahwa mereka ingin menang dan tidak takut untuk bayar mahal.

2017 segera menjadi tahun keemasan bagi CS:GO FaZe Clan. Mereka berhasil memenangkan beberapa turnamen besar seperti ESL One: NewYork 2017, ELEAGUE CS:GO Premier 2017, dan bahkan sempat kalahkan Astralis jadi juara StarLadder Season 3. Dengan resep yang kurang lebih sama seperti mereka mendominasi Call of Duty, zaman keemasan FaZe Clan di 2017 berhasil membawa brand mereka menjadi nama yang vokal di skena CS:GO. Bahkan hingga kini, Rain, Niko, Olofmeister, Coldzera, dan Broky masih menjadi tim yang keras di berbagai kompetisi CS:GO kelas dunia.

Kemunculan Fortnite, Tfue, dan Ekspansi Global FaZe Clan

Masih pada tahun 2017, Fortnite rilis di pasaran. Setelah game utama mereka Fortnite: Save the World rilis di bulan Juli 2017 , Fortnite Battle Royale yang bersifat free-to-play rilis di September 2017. Punya grafis kartun yang keren, game shooter yang mengedepankan kreativitas dalam bermain dan jadi ruang pamer gaya — selain pamer kemampuan — Fortnite seakan menjadi panggilan bagi FaZe Clan.

Game ini mungkin seperti membawa FaZe kembali ke zaman Call of Duty, saat mengalahkan musuh dengan trickshot kembali populer. Apalagi pada zaman itu Twitch semakin populer sebagai poros platform konten streaming bagi gamer, membuat FaZe seperti menemukan rumah barunya; ketika gaming, personality, dan reality television menjadi satu wadah.

Mereka mencoba mengulang formula kesuksesan mereka di Call of Duty, menang di kompetitif, tampil keren di berbagai konten. Maka dari itu, di Fortnite, mereka mengambil sebuah tim yang bisa berkompetisi tetapi tetap menjadi selebriti internet lewat konten streaming yang mereka sajikan.

Turner Tenney atau sosok yang lebih dikenal dengan alias Tfue menjadi ujung tombak bagi FaZe untuk memperkuat brand mereka di Fortnite. Namun FaZe di Fortnite bukan hanya Tfue saja. Mereka juga memiliki segudang streamer yang direkrut membawa nama FaZe termasuk salah satunya adalah seorang perempuan tuna rungu berusia 13 tahun bernama Soleil Wheeler yang juga dikenal sebagai FaZe Ewok.

Sumber: The Verge
FaZe Ewok, perempuan tuna rungu berusia 13 tahun yang menjadi streamer untuk game Fortnite. Sumber: The Verge

Nama FaZe muncul di mana-mana lewat berbagai bagian Fortnite, baik secara kompetitif, streaming, termasuk konten-konten yang mengedepankan personality yang jadi ciri khas FaZe Clan. Segera FaZe menjadi organisasi yang terdepan di Fortnite, kembali mengamankan statusnya sebagai organisasi paling dominan di dalam skena ini, seperti FaZe di Call of Duty dahulu kala.

Tapi tak lengkap rasanya jika FaZe cuma bisa tampil bergaya, tanpa unjuk gigi kemampuan. Hal ini mereka tunjukkan lewat gelaran Fall Skirmish, yang diselenggarakan pada Twitch Con 2018.

Ketika itu FaZe Clan diwakili oleh Tfue dan Dennis Lepore (Cloak), dua pemain yang tidak hanya mahir dalam bergaya, tapi juga dianggap sebagai dua yang terbaik di dalam skena. Bertanding dalam enam ronde, Tfue dan Cloak berhasil tampil dengan sangat dominan, membawa mereka memenangkan hadiah sebesar US$500.000 (sekitar Rp7,5 miliar).

Sumber: Dexerto
Cloak (kiri) bersama Tfue (kanan). Sumber: Dexerto

Kemenangan tersebut semakin memperkuat nama FaZe Clan di Fortnite, sampai akhirnya skandal Tfue mencuat ke permukaan. Mei 2019 Tfue menggugat FaZe Clan dengan tuduhan mengambil 80 persen pendapatan dan memaksa dirinya untuk berjudi dan minum-minuman keras saat usianya masih di bawah batas usia legal.

Dalam skandal tersebut pengacara Tfue mengatakan kepada Holywood Reporter bahwa Tenney beberapa kali dipaksa untuk melakukan stunts yang berbahaya demi konten video. “Pada salah satu video, Tenney menderita cedera berat pada tangannya saat bermain skateboard yang mengakibatkan cacat fisik permanen.” Ucap Bryan Freedman, pengacara Tfue ketika itu.

Tuntutan tersebut akhirnya dituntut balik oleh FaZe Clan, karena mereka merasa tidak pernah mengambil pendapatan milik Tfue. “Kami cuma menerima US$60.000 saja dari kerja sama ini, sementara Tfue bisa menerima sampai jutaan dolar AS sebagai anggota dari FaZe Clan.” Ucap FaZe Clan dalam sebuah pernyataan. Sampai saat ini, kasus tersebut belum diketahui bagaimana akhirnya. Namun satu yang pasti, Tfue meninggalkan FaZe sejak saat itu.

Namun kasus tadi tidak menghentikan FaZe Clan untuk melakukan ekspansi global. Game shooter populer selalu menjadi tempat terbaik bagi FaZe untuk berkembang. Setelah awal 2017 mereka mulai meniti karir di skena PUBG, pada Januari 2020, mereka melakukan ekspansi yang cukup jauh dengan mengambil tim PUBG Mobile asal Thailand bernama Bulshark untuk menjadi bagian dari FaZe.

Ekspansi FaZe tidak berhenti sampai di situ saja, setelah mendapatkan banyak kesuksesan di skena gaming, kini mereka mulai menjajah lahan lainnya.

Petarung di Dunia Gaming Kompetitif, Gaya Hidup Glamor Ala Selebriti

Tampil keren di depan khalayak memang sudah berada dalam nadi FaZe Clan sejak mereka memenuhi YouTube lewat konten trickshot Call of Duty yang penuh gaya. Menjadi raja dunia gaming kompetitif, tampil lewat konten game yang menarik, dan memamerkan personalita gamer keren telah menjadi rumus jitu bagi FaZe Clan untuk bertahan dan menjadi sebesar seperti sekarang.

Memang itu adalah strategi unik, yang tak banyak dilakukan oleh organisasi esports lain. Lee Trink yang menjabat sebagai CEO FaZe Clan bahkan sesumbar kepada New York Times dengan mengatakan bahwa perusahaan seperti FaZe Clan itu memang belum pernah ada sebelumnya. Lebih lanjut, Lee Trink menjelaskan FaZe ibarat gabungan tim olahraga American Football Dallas Cowboys, brand Hypebeast Supreme, dan reality show ala MTV.

Klaim tersebut memang benar adanya. FaZe Clan berkompetisi di berbagai ranah esports dan menjadi juara di beberapa skena layaknya sebuah tim olahraga. Reality show menjadi santapan bagi penggemar setia yang menonton channel YouTube FaZe Clan, termasuk konten vlogging yang memamerkan gaya hidup glamor ala selebriti. Gaya hidup glamor tersebut juga turun ke fashion, lewat merchandise dan kolaborasi brand yang mereka lakukan.

The Verge bahkan mengatakan bahwa FaZe Clan ibarat Supreme nya esports. Satu perbedaannya mungkin hanya soal dari mana kedua brand ini berasal, Supreme tumbuh dari budaya skateboard, sementara FaZe tumbuh dari budaya gaming. Sejak 2018, FaZe terus menggandeng sosok selebriti.

Desember 2018, mereka menggandeng rapper Lil Yachty. Menggunakan alias FaZe Boat, Lil Yachty menjadi bagian dari daftar kreator konten di FaZe Clan. Pada masa itu mereka juga membuka ronde investasi seri A, yang segera menarik berbagai selebriti berinvestasi kepada mereka seperti rapper Ray J dan DJ Paul, pebasket Meyers Leonard, dan Josh Hart.

Salah satu yang terbesar mungkin adalah pada Agustus 2019, saat rapper Offset mengucurkan investasi yang angkanya tidak disebutkan kepada FaZe Clan. Lee Trink CEO Faze ketika itu semakin mempertegas posisi FaZe Clan yang bukan hanya sekadar brand gaming atau esports, tetapi juga ingin memimpin transformasi budaya lewat gaming dan esports.

Sumber: Esports Insider
Sumber: Esports Insider

“FaZe Clan kini berkembang melampaui gaming dan esports, kami memimpin transformasi budaya juga dunia entertainment. Offset melambangkan generasi baru, pemimpin yang mengerti akan pergerakan budaya tersebut. FaZe Clan kini sedang mendefinisikan ulang arti dari menjadi brand ikonik di dunia hiburan. Bekerja sama dengan Offset akan menjadi langkah berikutnya untuk maju di masa depan. Dengan ini kami tidak hanya akan mendominasi ranah gaming kompetitif, tetap kami juga akan menciptakan trend dalam hal konten, merchandise, brand partnership, dan lebih jauh lagi.”

Kolaborasi FaZe Clan begitu agresif di tahun 2019, terutama pada ranah non-gaming. Dari sisi fashion mereka sempat berkolaborasi dengan sportswear Champion, Kappa, dan berbagai brand fashion lainnya. Mereka juga berkolaborasi dengan Manchester City, untuk kolaborasi dalam hal konten dan juga melakukan co-branded untuk menciptakan jersey Manchester City x FaZe Clan.

FaZe Banks menggunakan kolaborasi terbaru antara FaZe Clan dengan NFL. Sumber: PRNewswire
FaZe Banks menggunakan kolaborasi terbaru antara FaZe Clan dengan NFL. Sumber: PRNewswire

Mereka juga berkolaborasi dengan asosiasi American Football, NFL. Kolaborasi ini dilakukan untuk menciptakan merchandise bertemakan NFL x FaZe Clan dan konten seputar putaran pertama dari NFL Draft atau bursa transfer di dalam American Football. Karena kolaborasi agresif ini, mereka juga mendapatkan investasi dari pebisnis industri musik, Jimmy Iovine dan platform merchandising NTWRK. Hal itu tentu akan semakin memperkuat posisi FaZe Clan di ranah merchandising. Sebagaimana dinyatakan Lee Trink bahwa investasi tersebut akan digunakan oleh mereka untuk memperkuat posisinya di bidang bisnis apparel dan merchandising.

Tapi, ternyata ide gila Faze Clan untuk terus berkembang tidak berhenti sampai situ saja. Setelah konten dan merchandising, perkembangan selanjutnya adalah televisi. Pada 29 April lalu mereka mengumumkan kerja sama dengan platform Sugar23 milik sutradara Michael Sugar, untuk membuat FaZe Studios yang akan menjadi pusat produksi film dan serial televisi baru.

Berawal dari konten trickshot, FaZe Clan berkembang ke ranah esports, selebriti internet, dan merchandising. FaZe Clan berkembang begitu besar sampai menjajah berbagai ranah industri hiburan. Perjalanan ini memberikan kita pelajaran bagaimana visi untuk tampil keren di hadapan orang banyak, telah membawa FaZe Clan dari sekadar gamers yang nerd, menjadi brand glamor yang menjadi simbol budaya bagi anak muda.

Tim Call of Duty League, FaZe Clan Mau Buat Studio Film

Dikenal sebagai organisasi esports, FaZe Clan juga memiliki bisnis pembuatan konten. Sama seperti kebanyakan kreator konten di dunia game dan esports, mereka menyiarkan video mereka di platform streaming seperti Twitch dan YouTube. Namun, mereka tampaknya berencana untuk melakukan ekspansi ke televisi. FaZe Clan baru saja mengumumkan kerja samanya dengan platform Sugar23 milik sutradara Michael Sugar. Melalui kerja sama ini, FaZe Clan akan membuat FaZe Studios, yang berfungsi untuk membuat film dan seri TV orisinal.

CEO FaZe Clan, Lee Trink menjelaskan, untuk membuat proyek film atau seri TV sendiri, mereka mungkin membutuhkan waktu bulanan atau bahkan tahunan. Namun, di tengah pandemik virus corona seperti sekarang, mereka memiliki kesempatan untuk mengambil alih proyek dari studio lain yang tidak bisa melanjutkan produksi film atau seri TV mereka. Dia meyakinkan, mereka akan tetap memilih proyek yang sesuai dengan reputasi dan selera audiens FaZe Clan.

“Ini adalah waktu yang tepat bagi kami untuk melakukan ini,” kata Trink, dikutip dari Forbes. “Kami telah menyiapkan hal ini sejak lama. Namun, sejak virus corona merebak, segmen-segmen yang berbeda dari industri hiburan menjadi memiliki kedudukan yang lebih setara.” Trink merasa, keputusan mereka untuk membuat studio film masih sejalan dengan bisnis utama FaZe.

“Menurut saya, ini bukan sesuatu yang baru bagi kami,” ujar Trink. “Kami memang selalu menjadi bagian dari industri pembuatan konten. Saya mencoba untuk melihat keputusan kami dari kacamata para penonton. Audiens, khususnya fans kami, tidak membedakan konten layaknya Hollywood. Mereka tidak mengelompokkan konten berdasarkan hierarkinya.”

Sama seperti beberapa organisasi esports lainnya, FaZe juga memiliki bisnis merchandise dan pakaian. Mereka bahkan telah membuat toko fisik. Pada bulan April 2020, mereka juga mengumumkan kerja sama dengan liga american football nasional di Amerika Serikat, NFL. Selain itu, mereka juga telah bekerja sama dengan Manchester City, klub sepak bola asal Inggris.

Sementara itu, Sugar adalah salah satu dari empat sutradara Spotlight, yang memenangkan kategori Best Picture Awards di Motion Picture Academy dan Independent Spirit Awards. Sugar juga dikenal berkat seri TV 13 Reasons Why yang tayang di netflix atau Rendition di Apple TV+.

FaZe Clan Dapat Pendanaan Seri A Sebesar 40 Juta Dollar AS

Walau keadaan ekonomi global sedang sulit karena pandemi COVID-19, tetapi salah satu organisasi esports asal Amerika Serikat yaitu FaZe Clan, baru-baru ini mendapatkan pendanaan seri A sebesar 40 juta Dollar AS (sekitar Rp626 miliar). Mengutip dari Esports Insider pendanaan ini dipimpin oleh seorang pebisnis asal Amerika Serikat bernama Jimmy Iovine dan salah satu platform lifestyle bernama NTWRK.

Terkenal sebagai platform merchandise lifestyle NTWRK sebelumnya sempat merilis merchandise limited-edition milik LeBron James dan Billie Eilish. Maka dari itu pendanaan ini memberikan NTWRK hak atas penjualan langsung kepada pembeli terhadap produk-produk milik FaZe Clan.

Faze Clan Melrose Avenue Store

Dalam pendanaan ini Jimmy Iovine tidak sendirian. Ia bersama dengan beberapa sosok penyanyi dan rapper seperti Pitbull, Swae Lee, Yo Gotti, DJ Paul, Ray J, Disco Fries, dan sosok bagian dari Offset. Sports seperti Nyjah Huston, Meyers Leonard, Gregory Van der Wiel, Josh art, dan Jamal Murray. Jajaran tersebut bertambah panjang lagi dengan kehadiran sosol seperti Sylvia Rhone, CEO Epic Records, Troy Carter, aktor Chris O’ Donnel, penyiar radio Big Boy, dan Guy Oseary yang juga turut menyumbang dalam investasi ini.

Terkait pendanaan ini Lee Trink CEO FaZe Clan memberikan komentarnya kepada Esports Insider. “Sosok investor berpengaruh ini secara tidak langsung telah melihat pengaruh budaya, serta peluang bisnis di sekitar bidang konten, tim esports dan pakaian yang dimiliki FaZe Clan. Kami memiliki khalayak global yang sangat engaging, dan FaZe Clan merupakan brand gaya hidup paling kuat di dalam komunitas gaming. Seri pendanaan ini tentunya akan memberikan kami untuk membentuk ulang masa depan sport dan entertainment.”

Lebih lanjut Grek Selkoe, President of FaZe Clan juga memberikan komentarnya. “Tanpa ragu, NTWRK akan memberi tambahan bahan bakar kepada FaZe untuk memperkuat brand serta pengaruh budaya kami ke seluruh dunia. Kami sangat bersemangat bisa bekerja sama dengan partner yang punya pemikiran serta passion serupa, yang secara lebih jauh akan berkontribusi kepada masa depan dunia entertainment dan budaya anak muda.”

FaZe Clan x Kappa
FaZe Clan, yang kerap kali menunjukkan diri tak hanya sebagai organisasi esports, tapi juga brand fashion dan lifestyle. Sumber: FaZe Clan

Sejauh ini, branding FaZe Clan memang tak hanya menjadi tim esports juga, tapi juga mengarah ke fashion dan gaya hidup. Tahun 2019 lalu, mereka bahkan meluncurkan toko apparel, dan menyatakan keinginannya untuk punya brand positioning layaknya Supreme. Tak heran jika dari segi investasi, organisasi esports ini kerap kali menggaet sosok-sosok dari dunia rapper ataupun dunia entertainment, salah satu contohnya adalah rapper Offset yang digaet sebagai investor pada Agustus 2019 lalu.

Akankah esports fashion akan menjadi tren gaya hidup baru di masa depan? Tiada yang tahu, karena di kancah lokal, EVOS berhasil raup Rp150 juta hanya dari menjual merchandise selama MPL ID Season 4 lalu. Dipimpin oleh Yansen Wijaya, keseriusan EVOS untuk jadi brand lifestyle juga terlihat dengan peresmian flagship store pertama mereka di Jakarta pada Agustus 2019 lalu.

Bersama FaZe Clan, Offset Mau Kembangkan Komunitas Gaming di Atlanta

Pada Agustus 2019, rapper Kiari Kendrell Cephus yang dikenal dengan nama Offset menanamkan investasi untuk organisasi esports FaZe Clan. Pada 22-23 Februari 2020, mewakili Atlanta di Call of Duty League, FaZe menjadi tuan rumah dan bertanding melawan Florida Mutineers. Offset juga hadir dalam pertandingan tersebut.

Saat kembali ke Atlanta, yang merupakan kampung halamannya, Offset memberikan donasi untuk American Cancer Society. Selain itu, dia juga membawa 200 anak-anak yang dianggap bermasalah untuk menghabiskan waktu di Axis Replay Center. Tujuan Offset melakukan hal ini adalah untuk memperkenalkan anak-anak itu ke komunitas gaming dan esports. Dia ingin agar anak-anak bermasalah tersebut bisa tumbuh dewasa tanpa terjerumus ke jalan yang salah. Dia mengungkap, dia juga berencana untuk mengumpulkan donasi untuk mengirimkan ratusan anak-anak bermasalah ke program summer camp di Axis, yang berlangsung selama satu minggu.

“Di Atlanta, banyak orang yang tidak memiliki uang lebih untuk membeli PlayStation terbaru seharga US$400. Ini membuat anak-anak tumbuh lebih cepat dan terkadang, mereka bisa terjerumus ke hal-hal salah,” kata Offset, menurut laporan Forbes. “Jadi, saya ingin membangun komunitas yang sudah ada di Atlanta. Kita hanya tidak memiliki fasilitas dan tempat bagi anak-anak sehingga mereka bisa bermain game dan melakukan streaming.”

Salah satu hal yang memotivasi Offset untuk mendukung komunitas gaming dan esports di Atlanta adalah masuk ke dunia gaming membuka peluang bagi seseorang untuk mendapatkan uang dengan menjadi streamer. Dia bercerita, dia memiliki teman gamer asal Kanada bernama Royalize yang yang mendapatkan US$3.000 per bulan setelah menjadi streamer.

“Saya menelpon dia jam lima pagi atau pukul dua malam, dan dia sedang bermain. Memang itu gaya hidupnya,” ujar Offset. “Dia bisa membantu ibunya untuk membayar tagihan. Menjadi streamer memberikan kesempatan padanya untuk membantu keluarganya dengan melakukan sesuatu yang dia sukai.” Dia menambahkan, menjadi streamer bisa membantu anak-anak untuk belajar menjadi pengusaha. Jika mereka menjadi streamer, mereka bisa menabung dan pada saat yang sama, terhindar dari gaya hidup yang bermasalah.

Alasan lain Offset berkeras untuk mengembangkan komunitas gaming di Atlanta adalah karena dia menganggap, komunitas gamer adalah komunitas yang positif. “Kami semua adalah teman dan tidak ada orang yang bersikap negatif, bahkan ketika kami saling bersaing dengan satu sama lain,” ujar Offset. “Bahkan para streamer terbaik di dunia, streamer di FaZe, tidak memerhatikan komentar negatif.” Dia bercerita, ketika ada orang yang memberikan komentar negatif ketika dia tengah melakukan streaming, maka penonton yang lain yang akan meminta orang tersebut untuk pergi.

Sumber header: Inven Global

FaZe Clan Luncurkan Toko Apparel, Ingin Seperti Supreme di Dunia Fashion

Sebagai salah satu tim esports populer dunia, FaZe Clan sudah cukup lama melakukan penjualan merchandise. Kaos, hoodie, serta jersey tim adalah beberapa contoh produk yang mereka tawarkan. Selama ini penjualan tersebut dilakukan oleh FaZe Clan secara online saja, tapi sekarang hal itu telah berubah. FaZe Clan telah membuka sebuah toko fisik untuk pertama kalinya.

Toko tersebut berlokasi di Melrose Avenue, sebuah distrik perbelanjaan di Los Angeles yang terkenal sebagai destinasi utama para pecinta fashion. Toko ini dibuka pada tanggal 16 November 2019 kemarin, dalam event yang digelar berkolaborasi dengan perusahaan perlengkapan olahraga Kappa. Menurut laporan The New York Times, FaZe Clan juga telah menjalin kolaborasi dengan beberapa brand fashion lain seperti Champion, New Era, dan 24karats.

FaZe Clan x Kappa
Kolaborasi FaZe Clan dan Kappa | Sumber: FaZe Clan

FaZe Clan dari luar memang terlihat sebagai sebuah organisasi esports, tapi sebetulnya di dalamnya mereka lebih dari itu. Setidaknya demikian pandangan Lee Trink, CEO dan co-owner FaZe Clan. Ia berkata bahwa FaZe Clan ibarat Dallas Cowboys, Supreme, dan MTV digabung jadi satu. “Sesuatu seperti kami belum pernah ada sebelumnya,” kata Trink kepada The New York Times.

Bisnis FaZe Clan meliputi banyak hal, mulai dari bisnis e-commerce direct-to-consumer, penjualan merchandise dan apparel, studio produksi konten, bisnis manajemen talenta, tim agensi periklanan mini yang bertugas mencari kerja sama dengan brand, hingga divisi teknologi yang bertugas mengembangkan software untuk kebutuhan para talenta mereka. Organisasi ini meliputi 34 kreator konten, 15 atlet esports profesional, serta 11 kreator hibrida yang merupakan atlet sekaligus entertainer.


View this post on Instagram

FaZe Arcade popup store @ 7312 Melrose @fazeclan x @kappa #Repost @20ftbear

A post shared by Lee Trink (@leetrink) on

Para anggota FaZe Clan memandang organisasi mereka sangat keren, dan mereka ingin menularkan semangat tersebut kepada masyarakat. Mereka ingin menunjukkan bahwa gaming ada untuk siapa saja, bukan untuk anak-anak atau remaja laki-laki saja. “Semua orang adalah gamer. Anda bermain game di smartphone? Anda adalah gamer. Ibu saya yang bermain Farmville adalah gamer. Olahraga adalah mentalitas gaming. Jika Anda pernah memainkan suatu olahraga, Anda adalah gamer,” demikian ujar FaZe Banks, anggota FaZe Clan yang terkenal sebagai pemain Call of Duty.

Seperti halnya Supreme yang tumbuh besar dari dunia stakeboarding, FaZe Clan ingin bisa menciptakan bisnis apparel yang tumbuh sejalan dengan lingkungan gaming. Mereka belakangan juga aktif mengusung gamer perempuan, salah satunya FaZe Ewok alias Soleil Wheeler yang baru bergabung di bulan Juli lalu. Sejalan dengan pembukaan toko baru ini pun, FaZe Clan akan menawarkan lebih banyak pilihan apparel untuk perempuan. FaZe Banks menyebut momen pembukaan toko ini sebagai “momen legendaris”, kita lihat saja apakah mereka mampu menyaingi Supreme nantinya.

Sumber: Tubefilter, The New York Times, FaZe Clan