Platform Pekerja Lepas “Sribu” Diakuisisi Perusahaan SDM Asal Jepang

Platform marketplace pekerja lepas Sribu mengumumkan telah diakuisisi oleh Mynavi Corporation Japan, perusahaan SDM dengan pengalaman lebih dari 40 tahun, dengan nominal dirahasiakan. Akuisisi ini menandai debut Mynavi dalam memperluas portofolio bisnisnya di Indonesia.

Dalam konferensi pers virtual yang digelar hari ini (30/3), Founder dan CEO Sribu Ryan Gondokusumo menyampaikan aksi korporasi ini telah tuntas sejak awal 2022, menjadikan Mynavi sebagai pemegang saham terbesar di perusahaan. Ia pun memastikan bahwa tidak ada perubahan di sisi manajemen dan operasional Sribu.

Alasan perusahaan mau diakuisisi karena melihat kesamaan dari visi dan misi Mynavi yang kuat di bidang sumber daya manusia. Sribu dapat memanfaatkan seluruh keahlian dan pengalaman Mynavi untuk membantu pengembangan bisnisnya. “Mynavi mau masuk karena manajemen kami yang kuat, semakin fokus semakin tajam kami bisa tumbuh. Ini enggak akan berubah, makanya kepercayaan dan dukungan yang diberikan Mynavi kepada kami akan membuat kami naik ke level berikutnya,” ucapnya.

Pendapat Ryan turut didukung oleh perwakilan Mynavi Kazuyoshi Miyamoto yang turut hadir dalam kesempatan tersebut. Ia mengatakan, Sribu merupakan perusahaan dengan pengalaman yang mendalam di bidang pekerja lepas di pasar Indonesia, berkat dukungan tim yang solid. Dilihat dari segi potensinya, juga besar. Kondisi ini juga turut tercermin di Jepang yang memiliki potensi pekerja lepas muda.

“Melalui pengalaman, rekam jejak dan keahlian kami di bidang sumber daya manusia, kami berharap dapat turut mengembangkan sektor HR di Indonesia melalui penyediaan sumber daya manusia yang berkualitas dan membangun infrastruktur yang menghadirkan berbagai alternatif cara bekerja bagi tenaga kerja di Indonesia.”

Ryan menambahkan, dukungan dari Mynavi akan menjadi fondasi yang kuat sebelum Sribu memastikan diri untuk ekspansi ke tingkat regional pada tiga sampai empat tahun mendatang. “Organisasi kami akan lebih teratur, tapi di saat yang bersama tetap fokus membuat kami sebagai perusahaan yang profitable. Langkah ini akan kami lakukan step by step, dengan tetap menjadikan Indonesia sebagai target utama. Harus kuatkan local market [sebelum ke regional].”

Perjalanan Sribu

Sribu sendiri sudah berdiri sejak 2011 dengan tim manajemen, Ryan Gondokusumo (CEO), Dermawan Lobion (CTO), Wei Leen (CMO), dan Sanjay Kischand (COO). Timnya sebanyak 42 orang. Hingga kini perusahaan telah menjaring pekerja lepas terkurasi sebanyak 26 ribu orang dan melayani lebih dari 15 ribu perusahaan, tidak hanya perusahaan lokal tapi juga multinasional. Para pekerja ini memiliki keahlian yang berkaitan dengan pembuatan konten, seperti desain, penulisan, pembuatan situs, fotografi, videografi, dan social media marketing.

Dalam rekam jejak perusahaan selama satu dekade, perusahaan telah menerima pendanaan tahap awal dari East Ventures pada 2012. Pada dua tahun kemudian, menerima pendanaan dari Asteria. Pada 2018, CrowdWorks turut menyuntik Sribu. Kedua investor tersebut berasal dari Jepang.

Dari segi inovasi produk, Sribu meluncurkan Sribulancer pada 2015. Sribulancer adalah situs yang mempertemukan bisnis dengan pekerja lepas untuk mengerjakan proyek dengan scope lebih singkat, seperti freelance programmer, website desainer, desainer grafis, voice over, pembuat video, penulis artikel, dan lainnya. Berikutnya, pada 2017 merilis Sribu Solution yang menjadikan Sribu sebagai agensi untuk perusahaan besar yang ingin masuk ke ranah digital dan membutuhkan solusi jasa pemasaran digital yang terintegrasi.

Di Indonesia, potensi pasar pekerja lepas ini begitu gurih. Jumlah pekerjanya ditaksir mencapai 4,14 juta orang. Mereka mampu mengeksekusi pekerjaan yang berkaitan dengan konten digital senilai Rp29 triliun. Adapun perusahaan yang membutuhkan jasa-jasa pekerja lepas ini diestimasi sebanyak 683 ribu, yang bergerak di berbagai skala usaha.

“Kami melihat perkembangan yang sangat baik di bidang freelancing ini. Pelaku usaha sudah semakin terbuka dengan konsep freelance. Begitu juga para tenaga kerja semakin melihat freelancing sebagai pekerjaan yang berprospek cerah. Di masa pandemi bahkan kami melihat bertumbuhnya jumlah calon freelancer yang mendaftar di Sribu. Artinya, pekerjaan freelance semakin dilirik dan dapat menjadi langkah awal dalam memupuk jiwa kewirausahaan,” pungkas Ryan.

GetCraft Strengthen Its Position as Southeast Asia’s Creative Hub

Recently, SOSV Chinaccelerator global VC officially announced the seed funding with an undisclosed amount to GetCraft marketing platform. According to SOSV representatives, GetCraft is the only investment portfolio from Indonesia in this batch.

Chinaccelerator’s  Partner & Managing Director, Oscar Ramos said that his team saw the potential of local creative economy growing in Indonesia and began to strengthen its position in the Southeast Asian market. “GetCraft was founded in Indonesia but has a strong position as a creative space in the region,” Ramos said.

With additional funding from SOSV Chinaccelerator in December 2020, GetCraft has now recorded four funding rounds. Previously, this Jakarta-based platform has received investment from Convergence Ventures and 500 Startups.

GetCraft was founded in 2014 by Patrick Searle and Anthony Reza. Based on company data, it has posted revenue of more than $8 million in 2020 and has organized creative and marketing products by more than 1,500 brands and agencies.

In 2018, GetCraft launched a marketplace platform that connects creative business people with marketers in marketing activities. This marketplace allows marketers to estimate costs and potential audiences based on their chosen content creator or sponsored content partner. This capability makes it easier for marketers to plan their content marketing campaigns.

Expansion and strenghtening position in Southeast Asia

In separate interview with DailySocial, GetCraft avoids to reveal its plans and strategies in Indonesia as it is focusing on closing a new funding round.

However, GetCraft has the opportunity to expand its business scale. Especially during the Covid-19 pandemic where marketers began to shift marketing campaigns along with changes in consumer behavior. Currently, GetCraft is available in Indonesia, the Philippines, Kuala Lumpur and Singapore. The pandemic could have create opportunities for expansion into other markets.

Based on data from the Focus Economy Outlook 2020, the creative economy contributed IDR 1,100 trillion to Indonesia’s Gross Domestic Product (GDP) throughout 2020. This is strong evidence that this sector can survive during the pandemic.

In addition, the need for digital marketing content, influencers, and native ads is quite high. This is highlighted by the increasing number of active internet and social media users in Indonesia. We Are Social’s data as of January 2021 recorded that mobile and internet users in Indonesia has reached 345.3 million and 202.6 million, respectively.

Meanwhile, the number of active social media users reached 170 million. Some of the social media most accessed by the Indonesian people include YouTube (93.8%), WhatsApp (87.7%), Instagram (86.6%), Facebook (85.5%), and Twitter (63. 6%).

In terms of competition, GetCraft already has a strong position in the regional market as mentioned by Ramos. For the Indonesian market alone, GetCraft seems to be superior to similar platforms whose numbers may not be as many and the services offered are limited to certain categories.

Meanwhile, GetCraft enters through a wider scope of creative marketing content services, not only writing, but also videos, animations, and illustrations. Outside the marketplace, GetCraft has even entered the community segment through its paid services Crafters and MarketingCraft.

Crafters is a premium service that provides a variety of content to improve creator’s skills, such as pitching tips, creating entertainment content, and business monetization. The difference with MarketingCraft, this content is intended to sharpen the skills of marketers.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

GetCraft Memperkuat Posisi Sebagai “Creative Hub” Asia Tenggara

Beberapa waktu lalu, VC global SOSV Chinaccelerator mengumumkan secara resmi pendanaan tahap awal dengan nominal yang dirahasiakan kepada platform marketing GetCraft. Menurut perwakilan SOSV, GetCraft menjadi satu-satunya portofolio investasi asal Indonesia pada angkatan ini.

Kepada DailySocial, Partner & Managing Director Chinaccelerator Oscar Ramos mengatakan, pihaknya melihat potensi ekonomi kreatif lokal semakin berkembang di Indonesia dan mulai memperkuat posisinya di pasar Asia Tenggara. “GetCraft didirikan di Indonesia tetapi telah memiliki posisi kuat sebagai creative space di kawasan ini,” ungkap Ramos.

Dengan tambahan pendanaan dari SOSV Chinaccelerator pada Desember 2020, GetCraft kini tercatat telah memperoleh empat kali putaran pendanaan. Sebelumnya, platform yang bermarkas di Jakarta ini telah menerima investasi dari Convergence Ventures dan 500 Startups.

GetCraft didirikan pada 2014 oleh Patrick Searle dan Anthony Reza. Berdasarkan data perusahaan, pihaknya telah membukukan pendapatan sebesar lebih dari $8 juta di 2020 dan telah mengorganisir produk kreatif dan pemasaran oleh lebih dari 1.500 brand dan agensi.

Pada 2018, GetCraft meluncurkan platform marketplace yang menghubungkan para pelaku bisnis kreatif dengan marketer dalam kegiatan pemasaran. Marketplace ini memungkinkan marketer untuk dapat mengestimasi biaya dan potensi audiens berdasarkan kreator konten atau mitra konten bersponsor yang mereka pilih. Kapabilitas tersebut mempermudah marketer untuk merencanakan kampanye pemasaran kontennya.

Ekspansi dan memperkuat posisi di Asia Tenggara

Dihubungi DailySocial secara terpisah, pihak GetCraft masih enggan mengungkap rencana dan strategi GetCraft di Indonesia karena tengah fokus menutup putaran pendanaan baru.

Namun, GetCraft memiliki peluang untuk memperluas skala bisnisnya. Terlebih di masa pandemi Covid-19 di mana marketer mulai mengalihkan kampanye pemasaran seiring dengan perubahan perilaku konsumen. Saat ini, GetCraft beroperasi di Indonesia, Filipina, Kuala Lumpur, dan Singapura. Pandemi bisa saja membuka pintu untuk ekspansi ke pasar lain.

Berdasarkan data Focus Economy Outlook 2020, ekonomi kreatif berkontribusi sebesar Rp1.100 triliun terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia di sepanjang 2020. Ini menjadi bukti kuat sektor ini dapat bertahan di masa pandemi.

Di samping itu, kebutuhan konten digital marketing, influencer, hingga native ads juga masih cukup tinggi. Hal ini turut diperkuat dengan semakin bertambahnya jumlah pengguna internet dan media sosial aktif di Indonesia. Data We Are Social per Januari 2021 mencatat pengguna mobile dan internet di Indonesia masing-masing mencapai 345,3 juta dan 202,6 juta.

Sementara, jumlah pengguna media sosial aktif mencapai sebesar 170 juta. Sejumlah media sosial yang paling banyak diakses oleh masyarakat Indonesia antara lain, Youtube (93,8%), WhatsApp (87,7%), Instagram (86,6%), Facebok (85,5%), dan Twitter (63,6%).

Dari sisi persaingan, GetCraft sudah memiliki posisi kuat di pasar regional sebagaimana disebutkan Ramos. Untuk pasar Indonesia saja, GetCraft tampaknya masih lebih unggul dibandingkan platform sejenis yang jumlahnya mungkin tidak bayak dan jasa yang ditawarkan terbatas pada kategori tertentu.

Sementara, GetCraft masuk lewat sekop jasa konten pemasaran kreatif yang lebih luas, tak hanya penulisan, tetapi juga video, animasi, hingga ilustrasi. Di luar marketplace, GetCraft bahkan masuk ke segmen komunitas melalui layanan berbayar Crafters dan MarketingCraft.

Crafters merupakan layanan premium yang menyediakan beragam konten untuk mengasah kemampuan kreator, seperti tips melakukan pitching, membuat konten hiburan, dan monetisasi bisnis. Bedanya dengan MarketingCraft, konten ini ditujukan untuk mempertajam kemampuan para marketer.