Evercade VS Adalah Console Retro untuk Semua Kalangan Konsumen

Ada banyak cara untuk bisa memainkan deretan video game lawas. Namun bagaimanapun juga, kesan nostalgia yang terbaik baru bisa didapat apabila kita memainkannya menggunakan hardware aslinya, atau setidaknya menggunakan hardware baru yang secara spesifik diciptakan untuk retro gaming.

Kira-kira seperti itulah premis yang ditawarkan Evercade VS, game console baru buatan sebuah perusahaan bernama Blaze Entertainment. Sepintas, konsepnya mungkin terdengar mirip seperti Analogue Nt Mini, akan tetapi cara kerja kedua console benar-benar berbeda. Kalau Nt Mini punya slot untuk ditancapi kaset NES orisinal, VS justru menggunakan jenis kaset proprietary rancangan pengembangnya sendiri.

Alhasil, konsumen yang tidak pernah mencicipi permainan NES pun bisa ikut menikmati produk ini. Anda tidak perlu punya koleksi kaset game lawas untuk bisa menjadi konsumen Evercade VS, sebab semua kaset kompilasinya dapat dibeli langsung dari pengembangnya. Sejauh ini, pengembangnya sudah mengamankan lisensi dari 260 judul game agar dapat mereka kemas menjadi kaset untuk VS.

Bentuk kasetnya kecil dan langsung mengingatkan saya pada kaset GameBoy. VS dapat menampung hingga dua kaset sekaligus, dan tampilan antarmuka software-nya telah dioptimalkan supaya mudah untuk dinavigasikan. VS mengandalkan teknologi emulasi berkualitas tinggi, dan output 1080p yang dikirimkan ke TV via HDMI dipastikan akan selalu “pixel perfect“.

Pada kenyataannya, teknologi emulasinya sudah sangat terbukti karena VS bukanlah console retro pertama besutan Blaze. Sebelumnya, Blaze sudah lebih dulu merilis Evercade Handheld, yang pada dasarnya mengusung konsep retro gaming yang serupa dan dengan jenis kaset yang sama pula, hanya saja dalam kemasan yang portabel. Menurut analisis yang dilakukan Digital Foundry, kualitas emulasi yang ditawarkan Evercade Handheld sangatlah tinggi, dan itu semestinya bisa menjadi jaminan atas kinerja Evercade VS.

Teknologi emulasi dan jenis kaset yang digunakan Evercade VS sama persis dengan yang dipakai Evercade Handheld / Blaze Entertainment

Di bawah kompartemen kaset VS, ada empat colokan USB untuk controller. Selain menggunakan controller bawaannya yang juga kelihatan sangat retro, pengguna juga bisa menyambungkan beragam controller lain yang memang memanfaatkan sambungan USB. Bagi para pemilik Evercade Handheld, mereka bahkan juga bisa menggunakan console handheld tersebut sebagai controller untuk VS dengan bantuan sebuah kabel tambahan.

Rencananya, Evercade VS akan mulai dipasarkan pada bulan November 2021. Di Amerika Serikat, harganya dipatok $100, sedangkan kasetnya dijual seharga $20 per unit (satu kaset bisa berisikan beberapa judul game lawas sekaligus).

Sumber: The Verge.

Plex Arcade Adalah Layanan Streaming Khusus Game Retro

Berawal dari sebatas aplikasi media streamer untuk keperluan hiburan di rumah, Plex telah berkembang menjadi platform digital dengan banyak produk. Setelah meluncurkan layanan streaming film gratis di akhir 2019 lalu, yang terbaru mereka baru saja layanan streaming game bernama Plex Arcade.

Namun jangan bayangkan layanannya ini bakal seperti Google Stadia atau Microsoft xCloud. Yang ditawarkan justru sangatlah niche, yakni koleksi game retro, persisnya game yang dirilis untuk console Atari 2600 puluhan tahun silam.

Sejauh ini total ada sekitar 30 game yang lisensinya didapat langsung dari Atari, termasuk judul-judul legendaris seperti Adventure, Asteroids, maupun Centipede. Selain game Atari 2600, ada juga game Atari 7800 seperti Missile Command dan Ninja Golf. Daftar lengkapnya bisa Anda lihat sendiri di situs Plex, tapi kalau semua itu terdengar asing di telinga Anda, kemungkinan besar Anda memang masih terlalu muda atau bahkan belum lahir di masa kejayaan Atari dulu.

Plex Arcade

Ketimbang menggarap teknologi streaming-nya sendiri, Plex lebih memilih menggunakan platform yang sudah matang, yakni Parsec. Sayangnya Parsec sendiri memiliki satu kelemahan: sebelum bisa memainkan koleksi game-nya di TV atau perangkat mobile, Anda harus lebih dulu menyiapkan server Plex Arcade di perangkat yang menjalankan sistem operasi Windows atau macOS.

Tentu saja ini bukan solusi yang ideal bagi pengguna yang selama ini meng-install Plex Media Server-nya di perangkat NAS, tapi sekali lagi ini bukan salah Plex, melainkan limitasi Parsec itu sendiri. Kalau urusan server-nya sudah beres, Anda tinggal bermain menggunakan controller USB atau Bluetooth, atau dengan memanfaatkan on-screen control jika memakai smartphone atau tablet.

Plex Arcade

Kabar buruknya, Plex Arcade bukan layanan gratisan (meski ada free trial selama 7 hari). Plex mematok tarif berlangganan sebesar $5 per bulan, atau $3 per bulan jika Anda sudah berlangganan Plex Pass sebelumnya. Menariknya, Plex secara terang-terangan menyebutkan bahwa layanan ini bersifat eksperimental, dan mereka akan melihat respon konsumen ke depannya sebelum memutuskan apakah layanan ini bakal dilanjutkan atau tidak.

Plex sendiri sudah sejak lama rajin bereksperimen dengan fitur atau produk baru, dan mereka tidak segan memensiunkan proyek yang memang terbukti tidak solutif. Contohnya adalah layanan Plex Cloud, yang ditutup di tahun 2018 setelah beroperasi selama sekitar dua tahun.

Sumber: TechCrunch dan Plex.

Pengembang Playdate Pamerkan Sejumlah Game Bikinan Developer Pihak Ketiga

Mei tahun lalu, developer software kawakan Panic mengumumkan bahwa mereka sedang mengerjakan handheld console unik bernama Playdate. Playdate unik karena selain bernuansa retro, ia juga dilengkapi tuas semacam pedal sepeda yang dapat diputar, dan yang berfungsi sebagai salah satu input kontrol di samping sejumlah tombolnya.

Sejauh ini, Playdate baru bisa dinikmati oleh kalangan developer saja. Mereka dipersilakan untuk mengembangkan imajinasinya masing-masing menjadi game yang pantas dimainkan di Playdate, dan Panic sepertinya sudah tidak sabar untuk memamerkan teaser dari beberapa karya mereka.

Beberapa di antaranya tidak kalah unik dari hardware-nya itu sendiri. Salah satunya adalah sebuah game puzzle yang hanya bisa dikendalikan dengan memiring-miringkan Playdate, memanfaatkan komponen accelerometer yang terdapat di dalamnya.

Contoh lainnya, ada aplikasi kaligrafi yang memanfaatkan tuas putar Playdate untuk mengatur arah gerakan kuas, atau game balap mobil di mana pemain harus memakai tuas putarnya seandainya hendak nge-drift. Game sejenis Tetris pun semestinya juga bisa jadi lebih menarik apabila dikendalikan dengan tuas putarnya.

Demonstrasi yang lebih ekstrem turut dipamerkan oleh seorang developer yang berhasil mem-porting Doom ke Playdate, lalu memfungsikan tuas putarnya sebagai tuas pelatuk senjata chain gun yang selalu menjadi ciri khas dedengkot game FPS tersebut.

Namun tidak semua game diharuskan memakai tuas putarnya sebagai salah satu input kendali. Beberapa game ada yang tidak menggunakannya sekali pun, dan Panic tidak lupa menegaskan bahwa semua demo yang mereka pamerkan kali ini belum tentu nantinya bakal dirilis pada versi final Playdate.

Memangnya kapan versi final itu tersedia buat konsumen? Panic belum berani memberikan tanggal yang pasti, tapi mereka menjanjikan update besar dalam beberapa bulan ke depan, termasuk halnya detail program pre-order, serta judul dari 12 game yang sudah mereka siapkan untuk periode awal peluncuran Playdate.

Seperti yang sudah diberitakan sebelumnya, 12 game ini akan didistribusikan secara digital. Namun ketimbang merilis semuanya secara serentak, Panic akan mengirimnya satu per satu setiap minggu sebagai bagian dari pengalaman unik yang ditawarkan Playdate.

Seandainya tidak ada perubahan, Playdate akan dijajakan seharga $149, masih lebih terjangkau dibanding Analogue Pocket, reinkarnasi modern Game Boy yang akan dirilis tahun depan.

Sumber: Engadget.

Sejarah Esports: Evolusi Laga Adu Skor Jadi Ajang Kompetisi Global

Esports jadi satu fenomena besar yang menarik mata banyak pihak. Investor dan pelaku bisnis berlomba-lomba menjajaki industri baru yang menggiurkan ini. Para gamers jelas tidak mau ketinggalan, menjadi yang terhebat demi mendapat hadiah ratusan juta dolar.

Mendapat uang dari bermain game memang adalah fenomena baru. Jika kita melihat beberapa dekade ke belakang, boro-boro mendapat uang, yang ada kita dimarahi orang tua jika bermain game terlalu banyak. Bahkan saat Counter-Strike mulai populer dan menjadi kompetisi di awal tahun 2000an saja, belum ada karir untuk bermain game, istilah esports pun masih jarang terdengar.

Lalu dari mana mulainya esports? Sejak kapan ini menjadi suatu peluang ekonomi yang menjanjikan? berikut sejarah perkembangan esports.

Dimulai dari Spacewar dan Space Invader

Jika ingin menelusuri secara lebih jauh, budaya berkompetisi di video game sudah dimulai sejak tahun 1970, masa yang bisa disebut awal dekade industri video game. Jangankan teknologi internet, komputer pada zaman itu saja masih sangat purba yang punya kemampuan komputasi yang sangat lemah.

Pada zaman itu komputer masih menjadi barang mewah, tidak semua orang punya akses terhadap teknologi tersebut. Sementara itu video game biasanya menjadi pengisi waktu luang para pegawai korporat, ataupun akademisi, karena komputer biasanya hanya ada di perkantoran atau laboratorium belajar universitas.

Semua dimulai pada Oktober 1972. Mengutip dari Kotaku, 19 Oktober 1972 disebut sebagai turnamen video game pertama di dunia. Universitas Stanford menjadi saksi bisu atas kejadian bersejarah ini, ketika para mahasiswa ilmu komputer bertanding video game Spacewar. Tidak ada hadiah ratusan juta dolar AS, para mahasiswa bertanding dalam kompetisi bertajuk Intergalatic Spacewar Olympic, hanya untuk mendapatkan paket langganan majalah Rolling Stone selama satu tahun.

Sumber: Reddit
Potret turnamen space Invader yang diadakan oleh Atari pada tahun 80an. Sumber: Reddit

Game yang dibuat oleh Steve Russel dan 5 kolega dari Massachusetts Institute of Technology, ini memang favorit di masa itu. Spacewar sudah dimainkan seantero laboratorium komputer Universitas di Amerika Serikat dan Kanada selama 11 tahun lamanya. Seorang lulusan Stanford menceritakan kepada Kotaku, bahwa pada masa itu para teknisi komputer bisa terpaku ke layar Cathode Ray Tube (CRT) selama berjam-jam, memainkan game ini di malam hari usai mereka kerja.

Setelah dari itu, 8 tahun kemudian, Atari melaksanakan turnamen Space Invaders. Spacewar tercatat sebagai turnamen video game pertama di dunia, sementara Space Invaders Championship tercatat sebagai turnamen video game skala besar pertama di dunia. Rilis tahun 1978, Space Invader merupakan salah satu game terpopuler di masa itu, ketika game hanya bisa dimainkan di mesin Arcade atau tempat yang kita kenal sebagai ‘ding-dong’. Turnamen ini berhasil menarik perhatian banyak gamers, diikuti oleh 10 ribu lebih peserta, dan membuat bermain video game jadi hobi arus utama.

Kendati turnamen game sudah mulai marak pada masa itu, tapi jangan bayangkan ini sebagai pertandingan satu lawan satu. Kebanyakan game di zaman itu bersifat Single-Player. Lalu bagaimana game single-player bisa dipertandingkan? Jawabannya tentu saja dengan membandingkan skor yang bisa didapatkan antar pemain.

Ini mungkin terdengar tidak masuk akal di zaman sekarang, ketika game multiplayer (baik online atau offline) sudah menjadi budaya yang umum. Namun demikian perebutan skor tertinggi menjadi satu ajang unjuk gigi terbaik pada masa itu.

Satu bukti popularitas turnamen video game di Amerika Serikat zaman itu adalah terciptanya Twin Galaxies, organisasi yang bekerja mencatat rekor skor tertinggi dari para pemain, yang dibentuk oleh seorang pengusaha bernama Walter Day.

Sumber: VentureBeat
Billy Mitchell, pencetak skor tertinggi untuk jajaran game Nintendo terpopuler pada tahun 80an. Sumber: VentureBeat

Satu yang membuat usaha Walter Day begitu terasa ketika itu adalah usahanya untuk menyetor catatan tersebut kepada Guinness World Records. Karena Guinness World Records mencatat semua rekor yang bisa dicapai oleh manusia, kehadiran Twin Galaxies berperan membawa budaya gaming menjadi mainstream di Amerika Serikat.

Berkat Twin Galaxies, masyarakat awam jadi bisa kenal Billy Mitchell, gamers yang mencatatkan rekor skor tertinggi pada game Pac-Man, Ms. Pac-Man, Donkey Kong, Donkey Kong, Jr., Centipede, dan Burger Time, yang membuatnya masuk dalam buku Guinness World Records di tahun 1985.

Pada tahun 80an, fenomena turnamen video game tidak hanya jadi monopoli Amerika Serikat saja. Pasalnya pada tahun itu Indonesia juga sudah kenal turnamen video game. Bukti akan hal tersebut mencuat lewat sebuah foto yang diunggah seorang pengguna media sosial.

Foto itu menggambarkan suasana keramaian di tangga suatu bangunan, dengan spanduk bertuliskan “Selamat datang para peserta lomba Nintendo tingkat Jatim 1989, di THR Surabaya Mall.”

Memang pada tahun itu, Nintendo sedang melakukan promosi lewat kompetisi. Tahun itu ada Nintendo Challenge Championship, dan satu tahun setelahnya ada Nintendo World Championship di tahun 1990. Tetapi, dua helatan akbar konsol asal Jepang itu diadakan di Amerika Serikat.

Sampai saat ini belum ada satu media pun yang membahas lebih lanjut soal foto lomba Nintendo tingkat Jatim tadi ataupun dokumentasi yang lebih detail. Akhir tahun 80an menutup satu lembar sejarah esports dan melanjutkan kita ke era berikutnya di tahun 90an.

Kemunculan Street Fighter II dan Munculnya Laga Digital 1 lawan 1

Awal tahun 1990 membuka babak baru dari perkembangan esports. Setelah kurang lebih satu dekade adu kemampuan main game hanya bisa ditakar dari skor, tahun 90an memberikan gamers cara baru dalam menentukan siapa yang terbaik, yaitu lewat laga digital satu lawan satu. Ini terjadi berkat Capcom, yang merilis mesin Arcade berjudul Street Fighter II: The World Warrior pada tahun 1991.

Dalam artikel Hybrid yang ditulis oleh Ayyub Mustofa membahas soal sejarah fighting games, dikatakan bahwa fighting games pada masa itu biasanya hanya melawan komputer saja. Tapi Street Fighter II merevolusi semua itu dengan menciptakan sistem permainan player vs player. Sontak Street Fighter II menjadi favorit pemain Arcade.

Menurut catatan dari Gamerevolution, Street Fighter II diperkirakan mendatangkan pemasukan hingga kurang lebih 10 miliar dolar AS (sekitar Rp153 triliun), dengan total 200.000 mesin arcade, dan 15 juta unit software terjual di seluruh dunia.

Banyaknya jumlah pemain Street Fighter II menciptakan budaya kompetitif di kalangan para pemain. Orang jadi berlomba-lomba untuk jadi yang terbaik, karena ada harga diri, uang, dan waktu yang dipertaruhkan oleh pemainnya ketika bermain Street Fighter II di tempat Arcade. Walhasil budaya kompetitif ini menyebar dengan liar namun belum ada tempat yang mewadahi hasrat kompetitif ini pada masa itu.

Sampai pada akhirnya terciptalah cikal bakal kompetisi fighting games terakbar di dunia, Evolution Championship Series. Kompetisi ini digagas oleh empat sekawan dengan nama awal Battle by the Bay, yang diciptakan tahun 1996. Empat sekawan itu adalah Tom Cannon (inkblot) dan Tonny Cannon (Ponder) yang dikenal sebagai Cannon bersaudara, Joey Cuellar (MrWizard), dan Seth Killian (S-Kill).

Battle by the Bay tercipta sebagai cara bagi para pemain untuk menentukan siapa yang terbaik. Di Amerika Serikat pada zaman tersebut, ketika internet baru mulai ada, pusat dari persaingan Street Fighter berada di daerah California. Tom Cannon sendiri berkuliah di North California (NorCal), yang menjadi tempat kompetisi Street Fighter paling panas pada masanya.

Sumber: Kotaku.com
Potret keseruan turnamen fighting game pada awal-awal perkembangannya. Sumber: Kotaku.com

Belum lagi ketika itu juga ada rivalitas antar kelompok, terutama antara pemain NorCal dengan pemain SoCal (South California). Masing-masing pemain ini bisa saja asal klaim bahwa dirinya yang terbaik, karena belum ada satu kompetisi yang menjadi penentu hal tersebut. Sampai akhirnya Battle by the Bay tercipta, untuk menjadi penentu, siapa pemain Street Fighter terbaik seantero pantai California.

Selain kelahiran ajang adu kemampuan satu lawan satu, periode ini juga menandai penggunaan internet dan komputer yang semakin umum di masyarakat. Ini kembali mengevolusi cara orang berkompetisi dalam video game. Selain Street Fighter, game lain yang juga jadi ikon awal tahun 90an adalah Doom.

Game ini segera menuai kesuksesan, yang dikabarkan berhasil mendapatkan penjualan sebesar US$100.000 setiap harinya. Namun game ini menjadi kontroversi karena kekerasan yang dihadirkan. Kehadiran Doom jadi pembuka bagi genre FPS yang membombardir pecinta game di periode ini.

Doom menginspirasi kehadiran Quake, dan Half-Life. Pada akhir 90an, tepatnya pada 1999. Half-Life 2 juga menjadi basis custom-game FPS yang masih eksis hingga saat ini, Counter-Strike. Di Amerika Serikat, Quake menjadi fenomena kompetisi game komputer, karena mode multiplayer yang variatif.

QuakeCon pertama yang digelar Agustus 1996 menjadi penanda munculnya Quake sebagai satu pertandingan game yang digandrungi oleh banyak gamers. Acara tersebut berawal sebagai gathering komunitas, namun berkembang menjadi satu ajang kompetisi Quake paling bergengsi pada masanya.

Setelah laga adu skor, Street Fighter, dan Quake terjadi di Amerika Serikat, perkembangan esports berikutnya membawa kita ke Timur, ke negeri ginseng, Korea Selatan.

Cikal Bakal Esports Menjadi Fenomena Global Dari Korea Selatan

Selain Amerika Serikat, Korea Selatan bisa dibilang menjadi kiblat perkembangan esports lainnya. Bagi Korea Selatan, awal mula semua itu adalah ketika terjadi krisis finansial di Asia pada tahun 1997. Menanggapi keadaan itu, pemerintah Korea Selatan fokus melakukan pengembangan infrastruktur telekomunikasi dan internet.

Dampak hal tersebut adalah komunitas gamers yang berkembang pesat, karena PC bang (sebutan untuk warnet di Korsel) menggunakan koneksi internet baru yang lebih cepat sehingga menyedot perhatian para gamers untuk main game online. PC bang akhirnya bertindak seperti lapangan kosong yang digunakan oleh anak-anak untuk bermain bola, entah untuk sekadar bersenang-senang, atau uji kemampuan.

StarCraft, game besutan Blizzard jadi sangat populer di Korea Selatan sana. Ditambah lagi, pemerintah juga mendukung dan berinvestasi terhadap industri baru ini. Pemerintah Korea Selatan menciptakan Korea E-Sports Association (KeSPA) pada tahun 2000, semakin mendorong perkembangan esports di sana.

Sumber: DotEsports
Sumber: DotEsports

“14 tahun lalu, dengan dukungan pemerintah, turnamen diselenggarakan secara profesional, dan gelaran ditayangkan di televisi, wajar jika esports menjadi mainstream di sana. Layaknya sepak bola jadi olahraga yang diterima masyarakat secara umum.” Ucap Jonathan Beales, seorang komentator esports kepada New York Times pada artikel terbitan tahun 2014 lalu.

Tak hanya game komputer saja, Street Fighter 2 dan komunitas fighting game juga terus berkembang di masa awal 2000an, walau tren mesin Arcade sudah mulai tergantikan konsol. Periode awal 2000an menjadi momen besar bagi komunitas fighting game, ketika kompetisi mereka tak lagi lokal, tapi menjadi ajang unjuk kemampuan internasional.

Turnamen besutan Capcom yang mempertemukan jagoan barat, Alex Valle, dengan jagoan timur, Daigo Umehara, berhasil menjadi katalis perkembangan esports fighting game. Alhasil Battle by the Bay tahun 2001 kedatangan banyak pemain dari Jepang. Perkembangan ini membuat Battle by the Bay berubah nama menjadi EVO di tahun 2002.

Lalu, awal tahun 2000 juga menjadi momen saat Counter-Strike hadir dan menjadi fenomena global. Pada masa ini Indonesia juga turut mencicipi perkembangan tersebut, dan menjadi salah satu yang berpengaruh di dalam perjalanan sejarah esports.

Ini semua karena World Cyber Games. Kompetisi yang digagas oleh pengusaha Korea bernama Yoseeop Oh, dan didukung secara finansial oleh Samsung itu, berhasil menjadi ikon esports sebagai kompetisi global karena diikuti peserta dari 55 negara.

Kualifikasi menuju panggung dunia WCG mulai hadir di Indonesia pada tahun 2002. Puncak prestasi Indonesia dalam gelaran ini adalah pada tahun 2003, ketika tim XCN berhasil mencapai babak Semi-Final. Walau akhirnya terhenti oleh tim asal Denmark, namun mencapai peringkat top 8 dalam turnamen internasional adalah pencapaian besar bagi Indonesia.

Lompat beberapa tahun ke depan, periode awal 2010 menjadi cikal bakal dari dua turnamen yang jadi fenomena besar dalam perkembangan esports. Riot Games mengadakan turnamen bertajuk Season One Championship pada 2011, yang menjadi cikal bakal LoL Worlds, ajang esports terbesar di dunia yang ditonton oleh 21,8 juta orang pada tahun 2019 lalu.

Pada tahun yang sama, Valve juga mengadakan The International. Ini merupakan turnamen tingkat dunia pertama bagi Dota 2, versi standalone dari custom-game Warcraft terpopuler, Defense of the Ancient. The International juga menjadi fenomena besar bagi dunia esports. Dengan total hadiah sebesar 10,9 juta dolar Amerika Serikat (sekitar Rp154 miliar), gelaran ini berhasil mencetak rekor sebagai turnamen game dengan hadiah terbesar di tahun 2013.

Berkat sistem crowdfunding yang diterapkan, The International terus memecahkan rekor total hadiah di skena esports setiap tahunnya sejak tahun 2013. Terakhir kali, The International 2019 bahkan memiliki total hadiah sebesar 34 juta dolar Amerika Serikat (sekitar Rp523 miliar).

Mobile Games Sebagai Tren Baru dan Dominasi Indonesia di Peta Persaingan Esports Global

Ketika kita mengira bahwa perkembangan esports akan stagnan, ternyata esports memasuki babak baru lagi pada tahun 2014. Perkembangan ini didorong oleh sekelompok pengembang berpengalaman yang ingin mendorong teknologi mobile lebih jauh lagi. Di bawah perusahaan bernama Super Evil Megacorp (SEMC), Vainglory diluncurkan pada November tahun 2014 lewat sesi presentasi teknologi API grafis bernama Metal untuk iPhone 6.

Pada masa itu, Vainglory bisa dibilang menjadi pionir MOBA untuk mobile. Walau mereka bukan yang pertama, namun SEMC menjadi pengembang pertama yang berhasil menciptakan MOBA di mobile secara sempurna, dan punya konsep 3v3 yang unik. Setelah melalui fase beta, game ini ternyata diterima dengan sangat baik, dan berhasil mencatatkan 1,5 juta pemain aktif bulanan.

Vainglory pada masa itu juga menjadi pionir esports mobile game tingkat global. Tahun 2015 mereka menyelenggarakan Vainglory World Invitational yang cuma diikuti oleh 8 tim saja. Sukses di tahun pertama, gelaran ini berlanjut untuk kedua kalinya pada tahun 2016 dengan jumlah tim peserta dan perwakilan negara yang lebih banyak.

Do SEMC capable to repeat the victory in Vainglory Worlds 2017 that breaks the record of Twitch spectators. Source: redbull.com
Vainglory Worlds 2017, menjadi gelaran dunia terakhir dari Vainglory. Source: redbull.com

Sayang Vainglory malah meredup di tahun-tahun setelahnya. Pada tahun 2017, Indonesia diwakili oleh Elite8 mengikuti Vainglory World Championship 2017. Berbarengan dengan itu, Vainglory merilis mode 5v5, namun perkembangan Vainglory setelah itu malah terhambat yang diikuti dengan berbagai masalah yang membuat skena esports game ini jadi menurun.

Tahun 2017, kompetisi menjadi MOBA di mobile paling populer kedatangan pendatang baru. Dibesut pengembang asal Tiongkok, Moonton, Mobile Legends menjadi fenomena baru di Indonesia. Berbarengan dengan panasnya esports Vainglory lewat gelaran Indonesia Games Championship, Mobile Legends juga menunjukkan taringnya lewat gelaran Mobile Legends SEA Cup 2017.

MSC ketika itu bisa dibilang menjadi salah satu gelaran esports dengan jumlah penonton terbanyak. Berhasil membuat venue gelaran Grand Final, Mall Taman Anggrek, jadi penuh sesak sembari menunjukkan potensi skena esports bagi Mobile Legends: Bang-Bang.

Pada tahun berikutnya PUBG Mobile rilis. Game ini juga mendapat penerimaan yang baik secara global, dengan total pemain lebih dari 200 juta orang dan jumlah pemain aktif mencapai 30 juta orang per bulan di tahun yang sama dengan tahun perilisan. Dibesut oleh Tencent, PUBG Mobile segera mendapat kompetisinya tersendiri di skena lokal lewat PUBG Mobile Indonesia National Championship (PINC 2018).

Bigetron saat juara PMCO 2019. Sumber: Twitter PUBG Esports
Bigetron saat juara PMCO 2019. Sumber: Twitter PUBG Esports

Masih di tahun 2018, Mobile Legends memulai liga profesionalnya di Indonesia yang bertajuk Mobile Legends Professional League (MPL ID Season 1). Kompetisi tersebut segera mendapatkan penerimaan yang sangat baik sampai akhirnya sistem kompetisi diubah jadi franchise model pada tahun 2019.

Tahun 2019 saat esports mobile games menjadi semakin umum, membuat Indonesia banyak memetik buah prestasi dari hal ini. Pada tahun itu Bigetron RA menjadi juara dunia kancah PUBG Mobile lewat gelaran PUBG Mobile Club Open Global Finals 2019. ONIC Esports menjadi tim terkuat di Asia Tenggara lewat gelaran Mobile Legends Southeast Asia Cup 2019, dan terakhir ada EVOS Esports yang menjadi juara dunia Mobile Legends pertama lewat gelaran M1 World Championship.

Esports berhasil menjadi industri yang berkembang berbarengan dengan perkembangan teknologi. Ini belum menjadi akhir dari perkembangan esports. Bahkan untuk saat ini saja, esports mobile games masih belum menemukan bentuk terbaiknya, karena popularitasnya yang masih terpusat di daerah Asia saja.

Di masa depan, mungkin akan muncul evolusi baru lagi dari esports, yang hadir lewat teknologi terbaru. Mungkin bisa saja teknologi virtual reality dan augmented reality mungkin akan menjadi evolusi berikutnya dari esports. Satu hal yang pasti, di dunia digital yang terus berkembang ini, kita dituntut harus cepat beradaptasi dengan zaman agar tidak tertinggal dengan perkembangan teknologi.

PC Classic Ialah Gaming PC Retro ala SNES Mini

Dengan terbatasnya pilihan hardware dan ketiadaan fungsi backward compatibility yang ‘terlalu jauh’, bernostalgia menikmati game-game tua kadang hanya bisa dilakukan melalui metode-metode yang kurang legal. Mengetahui tingginya animo di kalangan pengguna, sejumlah produsen meresponsnya melalui perilisan versi modern dari console legendaris mereka.

Penjelmaannya tak asing lagi buat kita. Nintendo belum lama melepas NES dan SNES Classic Edition, lalu gagasan serupa diikuti oleh Sony melalui PlayStation Classic. Dan masih di tahun ini, Sega sempat memamerkan Mega Drive Mini dan menunjuk perusahaan third-party AtGames untuk memproduksinya. Kali ini, satu perusahaan bernama Unit-e mencoba menerapkan pendekatan serupa pada PC.

Seperti SNES Classic atau produk-produk sejenis, perangkat yang Unit-e namai PC Classic ini merupakan versi miniatur dari komputer personal di tahun 80- hingga awal 90-an. PC Classic mempunyai tubuh mungil berwarna beige (putih gading), bertubuh boks menyerupai casing PC lawas, dan jika teliti, Anda dapat melihat bagaimana produsen betul-betul memerhatikan detail  dengan mencantumkan slot floppy disk serta membubuhkan lubang-lubang ventilasi bergaya tua.

Namun tak seperti console PlayStation Classic ataupun NES mini, aspek paling menarik dari PC Classic adalah ‘floppy disk‘ di sana bukan sekadar pemanis penampilan. Bagian tersebut benar-benar bisa bekerja untuk memasukkan ‘kartu game‘.

Perangkat dibekali kurang lebih 30 permainan, dan Unit-e bilang semua software tersebut resmi dan berlisensi. Produsen belum menyingkap daftar game-nya secara lengkap, tapi beberapa yang sudah dikonfirmasi meliputi Doom, Jill of the Jungle, Commander Keen 4 dan Quake II). Saya pribadi mengharapkan kehadiran franchise besar di era DOS, misalnya kreasi-kreasi LucasArts hingga seri Kings Quest, serta game-game action kasual seperti Alley Cat sampai Prehistoric.

PC Classic 2

Untuk konektivitas PC Classic, Unit-e mengombinasikan teknologi modern dan ‘legacy‘. Di sisi depan, Anda akan menemukan sepasang port USB dan tombol power. Lalu di bagian belakangnya, terdapat satu lagi port USB, sebuah HDMI, serta trio port AV. Itu artinya, PC Classic bisa disambungkan ke televisi modern ataupun TV tabung tua buat memaksimalkan efek nostalgia.

Kabarnya, PC Classic akan dibundel bersama unit controller. Meski demikian, Anda tetap dipersilakan untuk menggunakan produk third-party, termasuk keyboard dan mouse. Aksesori bahkan bisa disambungkan ke PC Classic secara wireless karena ia turut dibekali Bluetooth.

Unit-e berencana memulai kampanye penggalangan dana via platform crowdfunding pada akhir bulan November atau awal Desember besok. Produsen mematok harga yang masuk akal buat produk bertema nostalgia ini, yaitu US$ 100.

Via PC Gamer.

Antstream Adalah Layanan Streaming Game Khusus Game Retro

Dibandingkan layanan streaming musik atau film, layanan streaming game masih tergolong sangat niche. Berbagai upaya telah dilakukan untuk menjadikannya lebih mainstream, salah satunya seperti yang dilakukan oleh LiquidSky. Namun sebuah startup asal Inggris bernama Antstream berpendapat berbeda.

Mereka menilai ada hikmah yang dapat diambil apabila layanan streaming game tetap berada di jalur niche. Layanan yang mereka tawarkan pun sangat berbeda: ketimbang menawarkan koleksi game kelas AAA, katalog Antstream justru berisikan lebih dari 1.000 game retro yang berlisensi resmi.

Judul-judul seperti Fatal Fury, Joe & Mac dan Speedball adalah sebagian dari konten unggulan Antstream, dan ini semua memang tak bisa lagi kita mainkan kecuali kita punya akses ke cartridge dan console orisinilnya, atau dengan bantuan emulator, yang mungkin masih memicu perdebatan terkait legalitasnya.

Antstream

Kelebihan lain Antstream adalah performa streaming-nya yang secara teori bisa lebih baik dibanding layanan lain. Ini dikarenakan konten yang kita stream adalah game lawas dengan ukuran teramat kecil jika dibandingkan standar sekarang, sehingga semestinya jaringan 4G pun sudah cukup untuk mewujudkan sesi streaming game yang mulus.

4G? Ya, Antstream berencana merilis layanannya di banyak platform. Sejauh ini mereka baru mendukung Windows dan Android, meski anehnya, yang dimaksud Android baru mencakup tablet saja. Sayang hingga sekarang masih belum ada informasi mengenai jadwal peluncuran resmi dan tarif subscription yang bakal dipatok Antstream.

Sumber: SlashGear.

198X Ialah Perpaduan Unik dari 5 Game ‘Retro’ 80-an

Meski kita telah sampai di sebuah era di mana game bergrafis cantik dengan gameplay adiktif bisa ditemukan di tiap tikungan, pesona permainan-permainan lawas tetap tidak tergantikan. Bagi gamer veteran, grafis pixelated serta musik 8-bit punya daya tarik tersendiri dan merupakan alasan mengapa ada banyak konsumen memburu NES Classic Edition serta mencintai retrogaming.

Tingginya minat gamer terhadap permainan retro direspons oleh para produsen hardware dan developer dengan sigap. Saat ini tidak sulit menemukan game indie populer bergaya ‘jadul’, misalnya Terraria, Stardew Valley, Hotline Miami, hingga Into the Breach. Tim Hi-Bit Studios Stockholm juga punya ketertarikan tinggi buat menggarap permainan bergaya retro, tetapi mereka memanfaatkan arahan desain yang sangat tidak biasa.

Tim developer asal Stockholm itu memperkenalkan 198X, yaitu game yang menjanjikan satu pengalaman retrogaming lengkap. Di sana, Hi-Bit Studios mencoba menghidangkan lima game arcade dengan genre berbeda: beat ’em up, shoot ’em up, balapan, action side-scrolling, dan role-playing. Semua itu dikemas dalam sebuah kisah yang boleh jadi pernah Anda alami.

198X 1

Sesuai judulnya, 198X mengambil latar belakang tahun 80-an. Permainan ini mengisahkan tentang remaja bernama Kid. Ia hidup di daerah pinggir kota, hidupnya berjalan monoton, hingga suatu saat Kid menemukan dunia baru lewat permainan video di arena arcade. Dan di sanalah developer membubuhkan twist menarik.

198X 2

Lewat tiap game yang dimainkan, gerakan baru yang dipelajari, serta musuh yang dikalahkan, sang protagonis menjadi lebih kuat dan batasan antara realita serta video game jadi kian mengabur. Kelima game arcade 198X terinspirasi dari tema klasik. Saya melihat sensasi Streets of Rage di beat ’em up, R-Type di shoot ’em up, Out Run di permainan racing, Shinobi di ‘ninja game‘, serta Phantasy Star di JRPG.

198X 3

Proyek pengembangan 198X dimulai di musim semi 2017. Statusnya saat ini masih dikerjakan, dibangun menggunakan engine Unity. Hi-Bit Studios berencana untuk melepas 198X di bulan Maret 2019 di empat platform game populer – yakni PC, PlayStation 4, Xbox One dan Nintendo Switch.

Developer juga tengah melangsungkan kampanye pengumpulan dana di Kickstarter. Mereka membutuhkan modal sebesar US$ 56 ribuan agar proses pengerjaan game berjalan lancar.

198X 4

Saya mungkin bisa membayangkan cara Hi-Bit Studios menyajikan kelima ‘permainan’ di 198X, namun saya sangat penasaran pada bagaimana developer menyatukan semua itu menjadi satu tema dan narasi.

198X 5

Lewat Sega Forever, Sega Hadirkan Game-Game Klasik Mereka di Perangkat Mobile

Walaupun mayoritas gamer sudah beralih ke platform baru, tidak berarti game-game lawas kehilangan peminatnya. Komunitas retrogaming kini semakin subur berkat semakin banyaknya cara buat menikmati hobi tersebut. Solusi berupa emulasi atau koleksi console game klasik memang masih jadi andalan, tapi beberapa produsen juga telah merilis ulang console tua mereka.

Lewat NES Classic Edition dan Atari Box, Nintendo serta Atari mengambil arahan tradisional buat memikat retro gamer. Tapi sebagai rival besar Nintendo di era console 16-bit, Sega memutuskan untuk menggunakan strategi berbeda. Tahun lalu, sang publisher memperkenalkan Sega Mega Drive Classic Hub, yaitu sebuah ‘bundel’ di Steam yang memungkinkan Anda bisa menikmati puluhan permainan klasik. Kali ini, Sega mencoba melebarkan sayapnya ke segmen mobile lewat Sega Forever.

Sega Forever adalah layanan penyajian permainan lawas, disiapkan untuk Android dan iOS. Servis ini baru saja dirilis, tepatnya pada tanggal 22 Juni 2017, dengan lima game sebagai hidangan pembuka: Sonic the Hedgehog, Altered Beast, Phantasy Star II, Kid Chameleon dan Comix Zone. Sega tentu saja punya agenda buat memperluas koleksinya tiap bulan, dan Anda bisa memberi masukan cukup lewat komentar di Facebook.

Layanan ini bisa dinikmati gratis, dan akan didukung game-game dari era console berbeda. Selain Mega Drive (Genesis), nantinya Anda dapat memainkan judul-judul Master System hingga Dreamcast. Sega Forever juga ditunjang oleh sejumlah fitur modern, contohnya kemampuan save, leaderboard, fitur bermain offline, serta kompatibilitas ke unit controller wireless.

Sejumlah judul seperti Altered Beast, Phantasy Star 2, serta Sonic The Hedgehog memang sudah tersedia di mobile. Dan jika Anda telah memilikinya, versi Sega Forever dapat dinikmati tanpa iklan.

Sayangnya ada sejumlah masalah menodai momen peluncuran Sega Forever. Beberapa orang mengeluh, fitur-fitur di sana tidak bekerja sempurna, misalnya pada opsi ‘recover purchase‘. Kemudian saat game dijalankan, performanya lebih buruk dari versi sebelumnya. Berdasarkan analisis Eurogamer, kendala ini disebabkan karena prosedur porting ke engine Unity.

Game-game tersebut didesain untuk berjalan di 60 frame rate per detik. Emulator mencoba menyuguhkan konten di tingkatan itu namun gagal, dan hanya dapat mencapai kisaran 45fps.

Akibatnya, pengalaman bermain jadi buruk. Gerakan jadi sering tersentak, tidak lancar, dan sering kali frame rate-nya anjlok. Lucunya, permainan-permainan Sega Forever malah tersaji lebih mulus di handset tua (seperti iPhone 3GS) karena emulasinya lebih optimal.

Sumber: Sega.

Console IndieGo Dirancang Untuk Jalankan Semua Game Retro

Berkat dorongan faktor nostalgia dan kesuksesan bundel kompilasi permainan di era console generasi keenam dan ketujuh, retrogaming kembali memperoleh perhatian. Sejumlah developer mencoba meramu karya digital dengan gaya klasik, sedangkan tim lain malah fokus pada penciptaan hardware pendukungnya. Ares Computer masuk dalam kategori kedua.

Kita sudah melihat beberapa mesin gaming retro dengan penyajian unik contohnya The Polycade dan Tiny Arcade, namun developer dari Jerman itu mengambil pendekatan lebih praktis, layaknya penyuguhan console modern. Lewat Kickstarter, Ares memperkenalkan IndieGo, sebuah platform permainan all-in-one buat menjalankan judul-judul lawas. Produk diklaim memberikan kita akses ke ribuan game tua, ditenagai penerus OS Commodore Amiga.

IndieGo 03

IndieGo hadir dalam wujud balok, hampir menyerupai komputer mungil apalagi dengan case mini-ITX-nya. Komponen terpenting IndieGo ialah DVD-RW build-in, digunakan untuk mengoperasikan game-game Amiga CD32, Sony PlayStation, Sega Saturn, Sega CD, TurboGrafx, SNES (Super Famicom), dan Sega Genesis (Mega Drive). Sejumlah permainan memerlukan file ROM tambahan, tetapi proses instalasinya sangat mudah.

Console spesialis game klasik ini memanfaatkan board Raspberry Pi 2 (atau Ordroid C1/XU4) sebagai jantungnya, ditopang RAM 1/2GB dan flash memory 32GB. Ia dilengkapi reader SD card, sepasang port USB, dan kompatibilitas USB joypad. DVD-RW ditugaskan buat menangani permainan-permainan PC, PlayStation dan Amiga CD32. Ares Computer menegaskan, IndieGo mereka tidak sama seperti console retro sejenis, yang pada dasarnya hanya menyodorkan Raspberry dengan RetroPie.

IndieGo 02

Elemen andalan yang tidak kalah krusial dari IndieGo adalah IndieGo OS. Ia diracik berbasis EmulationStation, Kodi, Aeros, AMC, EmuLA dan IndieGo Marketplace. Platform dirancang secara terbuka sehingga Anda bebas melakukan modifikasi. Di sana, Ares turut menyertakan game-game shareware pre-installed, antara lain Doom, Quake, Duke Nukem, dan Whacky Wheels, serta versi full Jim Power. Sisanya bisa diakses lewat app store.

Tentu retrogaming tidak akan lengkap tanpa dukungan aksesori kendali, dan Ares tidak lupa membundel IndieGo bersama gamepad mirip DualShock dan Super Nintendo (tanpa merek). Developer juga menyediakan adapter tambahan, jika Anda kebetulan mempunyai gamepad SNES atau Mega Drive yang masih berfungsi.

Ares Computer kabarnya hanya memproduksi IndieGo dalam skala kecil, dan tidak mempunyai rencana untuk melangsungkan kampanye kedua. Jadi jika Anda tertarik, sebaiknya segera pesan Indie Go sekarang di Kickstarter. Bundel console-OS dijajakan mulai dari ‎€ 150 atau sekitar US$ 163.