Samsung Luncurkan Versi Beta PlayGalaxy Link, Layanan Streaming Game ala Steam Link

Layanan cloud gaming macam Google Stadia tentunya terdengar sangat menarik bagi mereka yang tidak memiliki gaming PC yang kapabel. Namun buat yang sudah mempunyai gaming PC atau laptop sendiri, alternatif seperti Steam Link merupakan solusi gratis untuk bisa menikmati berbagai game PC melalui smartphone atau tablet.

Untuk para pengguna smartphone Samsung, mereka malah punya alternatif lain lagi bernama PlayGalaxy Link, yang saat ini tahap pengujian beta-nya telah dibuka untuk publik. Sejauh ini, ponsel yang kompatibel mencakup seri Galaxy S10 dan Galaxy Note 10.

Berbasiskan teknologi rancangan Parsec, PlayGalaxy Link sebenarnya menawarkan konsep yang hampir sama seperti Steam Link. Install client-nya di PC atau laptop, install aplikasinya di ponsel melalui Galaxy Store, lalu setelahnya game di PC dapat di-stream dan dimainkan di ponsel Anda.

Seperti halnya layanan streaming lain, koneksi internet merupakan komponen paling esensial di sini. Skenario yang paling ideal adalah ketika PC tersambung ke internet via kabel, dan ponselnya via Wi-Fi. Namun seandainya koneksi seluler Anda cukup cepat dan stabil (serta kuota data Anda berlebih), PlayGalaxy Link juga siap dinikmati meski Anda sedang berada di luar rumah.

Glap Controller

Lebih ideal lagi adalah ketika pengguna turut menyambungkan controller via Bluetooth, entah controller PS4 atau Xbox, atau controller pihak ketiga lainnya. Alternatifnya, ada snap-on controller Glap yang memiliki rancangan sangat optimal untuk sejumlah ponsel dari seri Samsung Galaxy.

Awal Desember nanti, deretan smartphone yang kompatibel akan bertambah dan mencakup seri Galaxy S9, Galaxy Note 9, Galaxy A90, serta Galaxy Fold. Sayangnya, tahap beta testing ini belum meliputi semua negara. Selagi menunggu, konsumen Samsung di tanah air mungkin bisa memanfaatkan Steam Link lebih dulu.

Sumber: SlashGear dan Samsung.

NODWIN dan Blink Buat AI untuk Mudahkan Pembuatan Konten Esports

Industri esports diperkirakan akan bernilai hampir US$3 miliar pada 2023. Saat ini, sumber pendapatan utama industri esports masih sponsorship. Memang, belakangan, semakin banyak perusahaan yang tak ada kaitannya dengan esports yang mulai tertarik untuk masuk ke ranah competitive gaming, mulai dari perusahaan makanan seperti Dua Kelinci, layanan keuangan seperti GoPay, sampai perusahaan otomotif seperti Audi. Salah satu alasan merek non-endemik tertarik untuk mendukung tim atau liga esports adalah karena audiens esports yang relatif muda. Honda, misalnya, mendukung liga League of Legends di kawasan Amerika Utara demi mendekatkan diri dengan kalangan milenial dan gen Z.

Selain umur penonton yang relatif muda, merek non-endemik menjadi tertarik untuk menjadi sponsor esports karena jumlah penonton esports yang terus naik. Jumlah audiens esports sangat dipengaruhi oleh ketersediaan konten. Sayangnya, membuat konten esports tidak mudah. CFO Activision Blizzard Dennis Durkin mengatakan, konten pertandingan esports harusnya dibuat sedemikian rupa sehingga orang awam sekalipun bisa memahami jalannya pertandingan. Ini mendorong NODWIN Gaming untuk bekerja sama dengan Blink untuk membuat AI yang dapat memilih momen terbaik dari sebuah pertandingan esports. Selain itu, AI ini juga akan dapat membuat potongan video yang menunjukkan highlight pertandingan dan menampilkan konten dalam banyak perspektif. Semua ini dapat dilakukan secara real-time sehingga video langsung bisa disiarkan pada penonton.

Sumber: TalkEsport
Sumber: TalkEsport

“Kami senang karena bisa bekerja sama dengan perusahaan sebesar Blink untuk memberikan konten berkualitas dan juga platform untuk berinteraksi pada komunitas esports,” kata CEO dan pendiri NODWIN Gaming, Akhsat Rathee, menurut laporan The Esports Observer. “Acara besar seperti PMCO dapat menghasilkan konten sampai ribuan jam dan Blink memungkinkan kami untuk mengakses momen terbaik dari turnamen tersebut secara real-time.” Memang, AI buatan NODWIN Gaming dan Blink ini akan digunakan untuk pertama kalinya dalam PUBG Mobile Open di India.

AI buatan NODWIN dan Blink ini akan memudahkan proses pembuatan video, baik untuk penyelenggara turnamen maupun streamer individual. Dengan bantuan AI ini, biaya untuk memproduksi bisa ditekan atau membuat proses membuat konten menjadi lebih cepat.

NODWIN Gaming adalah perusahaan asal India yang membuat konten untuk esports dan game, seperti Esports 360 dan The Cosplay Genie Show. Sementara Blink adalah perusahaan di bawah Amazon yang bergerak di bidang otomatisasi. Blink mengklaim, mreeka adalah perusahaan pertama yang menggabungkan teknologi AI, suara, dan visual untuk menganalisa turnamen esports secara real-time serta memilih momen paling menarik untuk disiarkan di platform streaming dan media sosial. Continue reading NODWIN dan Blink Buat AI untuk Mudahkan Pembuatan Konten Esports

Platfrom Streaming Game VR, LIV Dapatkan Investasi Rp36,7 Miliar

Platform streaming Virtual Reality, LIV, mendapatkan pendanaan Seri A sebesar US$2,6 juta (sekitar Rp36,7 miliar). Pendanaan kali ini dipimpin oleh Hiro Capital, perusahaan venture capital yang memang memfokuskan diri untuk menyokong perusahaan-perushaaan yang bergerak di bidang esports dan game.

LIV didirikan pada 2016 oleh AJ Shewki (Dr Doom), Steffan “Ruu” Donal, dan teman-teman mereka yang pernah bekerja sabagai streamer Twitch, developer game, dan mantan pemain competitive game. Mereka semua pernah mencoba headset VR dan percaya bahwa VR memiliki potensi besar di industri hiburan dan esports. Namun, ketika mereka mencoba untuk melakukan streaming game VR, mereka merasa bahwa pengalaman menonton para penonton tidak memuaskan.

“Alat yang digunakan untuk menyiarkan game PC tidak bisa menunjukkan intensitas yang kami rasakan saat bermain game VR,” kata Dr Doom, CEO dan Co-founder LIV, pada VentureBeat. “Di VR, tubuh Anda menjadi alat untuk mengendalikan game, dan itulah salah satu alasan mengapa bermain game VR menarik. Ketika bermain game VR, Anda akan merasa seolah-olah Anda masuk dalam dunia game, tapi penonton tidak akan bisa merasakan hal tersebut kecuali jika kita menunjukkan bagaimana pemain berinteraksi dengan keadaan di sekeliling mereka. Dan inilah awal mula kami — kami ingin memberikan pengalaman menonton game VR yang lebih baik.”

Sumber: LIV.tv
Sumber: LIV.tv

LIV akan menggunakan pendanaan Seri A ini untuk merekrut lebih banyak orang untuk mengembangkan platform streaming VR mereka. Selain itu, mereka juga akan menjalin kerja sama dengan lebih banyak game studio untuk mengintegrasikan platform mereka dengan game buatan para developer. Sebelum ini, LIV telah mendapatkan pendanaan Seed dari Seedcamp asal London, Techstars asal Los Angeles, dan Credo Ventures dari Prague. Ketika itu, Jaroslav Beck dari Beat Games dan kreator Oculus Rift, Palmer Lucky juga ikut mendukung pendanaan untuk LIV. Dalam pendanaan Seri A kali ini, selain Hiro Capital, Credo Ventures dan Seedcamp juga ikut.

Managing Partner, Hiro Capital, Luke Alvarez mengatakan bahwa pendanaan atas LIV merupakan pendanaan pertama mereka di bidang Esports/Streaming. Dia juga menyebutkan, saat ini, pasar VR memang masih kecil, tapi audiens streaming sudah besar. Sementara itu, Partner, Credo Ventures, Ondrej Bartos berkata, “VR telah menjadi industri yang menjanjikan selama beberapa waktu dan kami percaya, teknologi yang LIV buat akan dapat merealisasikan potensi di pasar VR.”

Sumber header: PYMNTS.com

Game Google Stadia Bertambah 10, Kini Ada Metro Exodus dan Final Fantasy XV

Layanan cloud gaming Google Stadia dijadwalkan untuk meluncur minggu ini lewat opsi Founder’s atau Premiere Edition. Demi memeriahkan momen tersebut, Google telah menyiapkan 12 game blockbuster yang dapat segera dinikmati. Namun menelaah lebih jauh, Stadia ternyata tak dibekali sejumlah fitur esensial di hari pelepasannya, dan hal ini membuat banyak orang bertanya-tanya apakah betul Stadia siap dirlis…

Berdasarkan penjelasan Google, fitur-fitur penting tersebut (seperti Achievement, Family Sharing dan Stream Connect) baru akan hadir menyusul di tahun 2020. Tapi sepertinya Google menyadari terlepas dari dukungan judul-judul seperti trilogi reboot Tomb Raider, Red Dead Redemption 2, dan Asssassin’s Creed teranyar, 12 game masih terasa sangat sedikit. Keadaan ini mendorong mereka untuk menambah lagi jumlahnya.

Melalui akun Twitter-nya, general manager sekaligus vice president Google Phil Harrison mengumumkan penambahan 10 game di hari peluncuran Stadia, sehingga totalnya kini adalah 22 permainan. Sayangnya, hal itu kemungkinan besar mengubah agenda awal Google yang berniat buat membubuhkan dukungan 14 game sebelum tahun 2019 berakhir. 10 judul baru tersebut meliputi:

  • Attack on Titan: Final Battle 2
  • Farming Simulator 2019
  • Final Fantasy XV
  • Football Manager 2020
  • Grid (2019)
  • Metro Exodus
  • NBA 2K20
  • Rage 2
  • Trials Rising
  • Wolfenstein: Youngblood

Permainan-permainan di atas akan melengkapi 12 judul yang sempat diumumkan:

  • Assassin’s Creed Odyssey
  • Destiny 2: The Collection
  • GYLT
  • Just Dance 2020
  • Kine
  • Mortal Kombat 11
  • Red Dead Redemption 2
  • Thumper
  • Tomb Raider: Definitive Edition
  • Rise of the Tomb Raider
  • Shadow of the Tomb Raider: Definitive Edition
  • Samurai Shodown

Itu artinya, ‘hutang’ Google pada pengguna Stadia di tahun ini hanya tinggal merilis Borderlands 3, Darksiders Genesis, Dragon Ball Xenoverse 2, dan Ghost Recon Breakpoint. Pertanyaannya, apakah Goolge akan menambah lagi jumlahnya? Kita tahu ada banyak gameupcoming‘ yang dijadwalkan buat mendarat di Stadia dan sebagian dari mereka masih dalam proses pengembangan, misalnya Cyberpunk 2077, Baldur’s Gate 3, Watch Dogs: Legion, Doom Eternal, serta Marvel’s Avengers.

Perlu diketahui bahwa meski aplikasi Stadia tersaji gratis, Anda perlu membeli game-nya terlebih dulu agar bisa menikmati layanan on demand ini. Dan di hari perilisannya, Stadia baru dapat diakses oleh perangkat Pixel 2 hingga 4, tablet ber-Chrome OS atau via browser Chrome di PC Anda. Tanpa memesan Founder’s Edition, Anda perlu membeli Stadia Controller serta Chromecast Ultra agar bisa ber-cloud gaming di layar televisi. Namun Stadia versi ‘dasar’ sendiri baru tiba tahun depan.

Via PCGamer.

Fitur-Fitur Esensial yang Absen dari Google Stadia di Hari Peluncurannya

Dijadwalkan untuk meluncur di tanggal 19 November, Google Stadia memulai sebuah babak baru di ranah penyajian konten hiburan. Seperti Steam atau PlayStation, Stadia disiapkan sebagai platform gaming, namun pengoperasiannya dilandaskan pada sistem cloud sehingga pengguna dapat mengakses permainan dari mana saja (walaupun di waktu peluncurannya, Stadia baru mendukung Google Pixel).

Demi meramaikan momen debut Stadia, Google menyiapkan 12 permainan yang bisa segera dinikmati. Sejumlah judul besar ada di sana, dari mulai Assassin’s Creed Odyssey, Red Dead Redemption 2 yang baru saja keluar di PC, edisi lengkap Destiny 2, Mortal Kombat 11, hingga trilogi remake Tomb Raider. Meski begitu, jangan terlalu berharap Stadia akan ditunjang oleh fitur secara lengkap.

Berdasarkan sesi Ask Me Anything di Reddit yang dipandu oleh product director Andrey Doronichev serta product manager Beri Lee, Stadia kehilangan sejumlah fitur esensial di hari pelepasannya – beberapa baru akan hadir menyusul di tahun depan. Satu contoh kecilnya ialah Achievement. Sistem Stadia akan merekam segala pencapaian Anda di permainan, tetapi UI yang bertugas untuk memberitahu bahwa Anda telah mendapatkannya belum diimplementasikan.

Kemudian, Family Sharing juga belum ada, sehingga satu akun belum dapat digunakan bersama-sama oleh anggota keluarga. Doronichev bilang, Family Sharing merupakan fitur ‘prioritas tinggi’, namun baru tersedia tahun. Itu artinya, jika ingin ber-gaming di Stadia bersama pasangan atau buah hati, Anda perlu membeli permainan dua kali. Kabar baiknya, orang tua tetap bisa mengelola apa yang dapat dikonsumsi si kecil lewat Family Link.

Fitur lain yang absen adalah Buddy Pass. Buddy Pass mempersilakan para pelanggan Stadia Founder’s Edition untuk memilih seorang teman buat turut menikmati layanan itu. Paket Founder’s Edition dibanderol di harga yang cukup mahal: US$ 130; bundelnya berisi controller Stadia edisi terbatas berwarna biru, perangkat Chromecast Ultra, kenggotaan Stadia Pro selama tiga bulan, serta Buddy Pass.

Selanjutnya, kita juga belum bisa menggunakan Stream Connect di tanggal 19 November nanti. Itu artinya, untuk sementara tidak ada mode multiplayer asimetris serta kooperatif. Rencananya akan ada satu permainan yang mendukung Stream Connect sebelum tahun 2019 berakhir. Belum ada pula State Share dan Crowd Play yang mempersilakan streamer YouTube membagikan file save-nya dan membiarkan pemirsa buat masuk ke game.

Jawaban-jawaban Andrey Doronichev dan Beri Lee di AMA mengisyaratkan bagaimana Stadia belum betul-betul siap untuk lepas landas dan peluncurannya terasa diburu-buru. Saya tidak bilang layanan ini tak akan bekerja optimal di hari H besok, tapi ada banyak sekali fitur esensial yang absen di platform yang seharusnya menjadi standar baru penyajian video game.

Via PCGamer & DigitalTrends.

Ada Indikasi Valve Tengah Mengembangkan Layanan Cloud Gaming Steam

Meski pada dasarnya masing-masing platform game streaming mengusung penyajian hampir serupa, mereka punya konsep serta premis berbeda. Stadia mencoba memberi solusi cloud gaming menyeluruh, ditopang oleh studio game first-party Google, sedangkan Microsoft xCloud dirancang sebagai pelengkap layanan Xbox – didukung oleh tidak kurang dari 54 data center Azure yang tersebar di seluruh dunia.

Berkecimpungnya dua raksasa teknologi itu di segmen gaming on demand menunjukkan pada kita ke arah sanalah industri ini bergerak. Namun dapatkah Anda bayangkan ketatnya persaingan yang nanti terjadi jika pemilik platform distribusi digital terbesar di dunia turut berpartisipasi di ranah ini? Kabarnya, ada indikasi Valve tengah mengembangkan layanan cloud gaming khusus untuk Steam. Bisa menikmati permainan Steam tanpa perlu PC berspesifikasi tinggi? Sangat menarik!

Steam Database – tool third-party yang secara aktif menganalisis segala macam update dan perubahan di Steam – mendeteksi kode baru di situs Steam yang isinya meminta para mitra setuju dengan ‘Steam Cloud Gaming Addendum’. Kode ini bisa Anda lihat sendiri di GitHub SteamDB (atau via tampilan JavaScript website Steam, lalu cari keywordSteam Cloud Gaming Addendum‘). Penemuan ini diumumkan oleh Steam Database via akun Twitter resmi mereka.

Saat ini, kita hanya memperoleh nama: Steam Cloud Gaming. Selain tim  developer, tak ada yang tahu detail teknisnya, bagaimana Valve akan menyuguhkannya, apakah fitur cloud berlaku untuk seluruh permainan di Steam dan kapan mereka berencana meluncurkannya. Tapi ada satu hal yang pasti. Untuk mengoperasikan layanan gaming on demand, Valve perlu memperbarui perjanjian distribusi konten dengan pihak pengembang.

Valve sendiri cukup familier dengan penyediaan teknologi streaming. Mereka menggarap Remote Play yang memperkenankan kita bermain game di PC non-gaming, lalu terdapat pula Steam Link buat menikmati permainan video via smartphone ataupun tablet Android (penyuguhannya diperluas oleh Steam Link Anywhere). Dan berbekal metode stream, Valve belum lama ini meluncurkan Remote Play Together yang mempersilakan Anda dan kawan mengakses mode multiplayer lokal secara online.

Bagi Anda yang kurang akrab dengan cloud gaming atau gaming on demand: layanan ini memungkinkan kita menikmati permainan video kapan pun dan di mana pun cukup berbekal perangkat dengan sambungan internet. Semua proses pengolahan data dan grafis di lakukan di sisi server, kemudian kontennya di-stream langsung ke device Anda. Lewat metode ini, cloud gaming tidak membebani hardware, tetapi biasanya menuntut koneksi internet yang cepat dan stabil.

Via The Verge.

IP Jadi Masa Depan Streaming Esports

Sekarang, berkat internet, semakin banyak orang yang memilih untuk menonton video melalui perangkat mobile atau komputer daripada TV. Kecepatan internet juga sudah cukup memadai untuk melakukan siaran langsung, yang bisa jadi cara bagi kreator konten atau broadcaster untuk berinteraksi langsung dengan penonton. Di industri gaming dan esports, live streaming memiliki peran penting. Keberadaan platform streaming seperti Twitch dan YouTube memungkinkan sebuah acara disiarkan ke banyak penonton, tak peduli dimana mereka berada.

Dalam sesi “Understanding esports production” di IBC2019, ESL director of broadcast esports services Simon Eicher mengatakan, pihak broadcaster dan platform live streaming bisa mendapatkan untung lebih banyak jika mereka bisa melakukan manajemen data, mengotomatisasi update, dan menawarkan hal-hal yang dapat memperkaya pengalaman penonton di luar acara esports itu sendiri. “Siarkan turnamen esports secara live dan buat acara itu menjadi festival sehingga para fans tetap bisa menikmati kegiatan di luar arena pertandingan,” kata Enrich, dikutip dari IBC.com.

Blizzard director of live operations broadcast technology group Corey Smith menjadikan Twitch sebagai contoh. “Cara Twitch menyiarkan konten membuat kita berpikir ulang tentang bagaimana dulu kita hanya melakukan satu siaran dari tempat acara. Siaran Twitch juga mengubah cara kita berpikir karena mereka menggunakan teknologi produksi konten yang beragam dan memanfaatkan IP (Internet Protocol),” kata Smith. Sama seperti siaran olahraga sepak bola atau basket, siaran turnamen esports juga memiliki caster. Hanya saja, caster esports bisa mendapatkan informasi ekstra tentang tim atau pemain yang berlaga atau bahkan game yang sedang dimainkan. Dengan begitu, selain membahas tentang apa yang terjadi selama pertandingan, caster juga bisa membahas informasi tersebut. “Ini mirip dengan siaran olahraga tradisional, hanya saja, para fans bisa dengan mudah mengakses informasi ekstra,” ujarnya.

Anggota panelis | Sumber: IBC.com
Anggota panelis, Eicher, Chaply, Smith, dan Trauss.  | Sumber: IBC.com

Dalam diskusi IBC2019, semua pembicara setuju, konten yang disajikan pada penonton harus interaktif. Selain itu, broadcaster juga sebaiknya menggunakan teknologi terbaru untuk memberikan pengalaman yang memuaskan bagi para penonton. Sementara itu, Eicher mengatakan, para broadcaster bisa menggunakan peralatan broadcast klasik dan menggabungkannya dengan cloud dan IP workflow.

Smith bercerita tentang apa yang dilakukan oleh Blizzard, perusahaan tempatnya bekerja. Fokus Blizzard pada tahun lalu adalah originalitas konten. Sementara pada tahun ini, mereka fokus untuk mendapatkan siaran dari turnamen esports yang mereka adakan dan mendistribusikan konten itu ke rekan-rekan mereka saat turnamen disiarkan secara langsung. Hanya saja, melakukan ini membutuhkan dana yang tidak sedikit. Karena itulah, menurutnya, IP akan menjadi masa depan dari streaming esports. Saat ini, Smith memimpin tim untuk mengembangkan sistem distribusi dan encoding di cloud untuk Activision Blizzard Esports, yang telah memiliki beberapa data center besar di berbagai belahan dunia.

Riot Games broadcast architect Maxwell Trauss mengatakan, adanya narasi jadi salah satu hal yang membedakan siaran esports dengan olahraga biasa. Ketika menyiarkan konten esports, ada kesempatan lebih banyak untuk menyajikan cerita. Sementara terkait produksi konten, dia berkata, “Mengirimkan data, proses rendering, dan latensi bisa kita buat menjadi rendah. Dalam esports, hal-hal ini bisa kita atur.” Pada akhir diskusi, para narasumber percaya, salah satu cara untuk membuat konten esports dijangkau lebih banyak penonton — yang bisa mendatangkan lebih banyak sponsor dan menjadi sumber pendapatan — adalah dengan memastikan pengalaman menonton di perangkat mobile sama dengan pengalaman menonton di komputer. Untuk itu, diperlukan inovasi terkait codecs yang efisien dan manajemen data di video 4K dan 8K.

Sumber header: The Esports Observer

Google Akan Berikan Kesempatan Bagi Anda Untuk Menjajal Stadia

Suka tak suka, bertambah canggihnya teknologi game berdampak pada meningkatnya kebutuhan hardware pendukung. Dan demi mendapatkan konten berkualitas terbaik, perangkat gaming memang disarankan untuk selalu up-to-date. Namun kita tahu, tak semua orang mampu meng-upgrade sistemnya tiap tahun. Itu mengapa konsep cloud yang ditawarkan oleh layanan-layanan seperti Stadia dan xCloud terdengar atraktif.

Tapi terlepas dari segala janji dan premis unik dari platform gaming on-demand, banyak orang masih ragu-ragu terhadap efektivitas layanan dalam menyajikan permainan. Saat ini, pertanyaan terbesar yang ada di benak mayoritas calon konsumen adalah, apakah internet pas-pasan di rumah mampu menjalankan Stadia dengan lancar? Bahkan ketika Stadia dipamerkan di GDC 2019 saja pengunjung masih merasakan lag.

Ada kabar baik jika Anda tengah mempertimbangkan untuk jadi pelanggan Stadia. Saat nanti layanan cloud gaming itu meluncur, kita diperkenankan buat menjajalnya terlebih dulu. Hal tersebut diungkapkan oleh head of product Stadia John Justice dalam wawancara bertajuk StadiaCast. Sesi uji coba akan diterapkan baik pada layanan dasar dan juga pada permainan-permainan di sana secara individual.

Dari keterangan Justice, fitur trial akan hadir menyusul, setelah Stadia resmi dirilis. Tim belum bisa memberikan waktu pasti ketersediaannya karena saat ini mereka fokus pada persiapan peluncuran, dan mungkin akan tiba beberapa bulan lagi. Ada deretan panjang hal-hal yang mesti mereka kerjakan, tapi jangan cemas, membubuhkan trial merupakan salah satu prioritas developer.

Stadia 3

Fitur uji coba akan ditawarkan bagi kedua jenis paket Stadia, yaitu standar maupun Pro. Google tidak memungut biaya untuk layanan dasar. Selama memiliki game-nya, Anda bisa menikmati konten via metode stream di resolusi 1080p 60FPS. Pro sendiri dibanderol US$ 10 per bulan, memungkinkan Anda bermain di 4K serta didukung oleh audio surround 5.1. Selain itu pelanggan Pro juga akan memperoleh berbagai promo menarik dan akses ke judul-judul premium secara gratis.

Menurut Justice, memberikan kesempatan bagi calon konsumen untuk mencoba sangat penting karena mereka ingin agar ada banyak orang mencicipi Stadia dan menemukan hal-hal baru di sana.

Stadia rencananya akan melakukan debutnya di tanggal 19 November lewat Founder’s Pack, berisi bundel controller, keanggotan Pro selama tiga bulan dan kesempatan untuk mengajak seorang teman buat turut menikmati Stadia Pro. Paket ini dijajakan seharga US$ 130, di pasarkan di beberapa negara. Setelah itu, Google akan memperluas jangkauan Stadia di tahun 2020.

Via PC Gamer.

Google: Jangan Anggap Stadia Sebagai Netflix-nya Para Gamer

Bulan November nanti, layanan streaming game Google Stadia bakal mulai beroperasi secara resmi. Demi mengantisipasi hype yang tinggi yang kerap berujung pada kesalahpahaman dari pihak konsumen, Andrey Doronichev selaku Product Director Google Stadia pun menyempatkan diri menjawab segala pertanyaan terkait Stadia melalui sesi Reddit AMA.

Ada banyak info sekaligus klarifikasi mengenai Stadia yang bisa kita simpulkan dari sesi tanya-jawab tersebut. Yang paling utama, Andrey mengingatkan agar kita jangan menyamakan Stadia dengan Netflix, menganggapnya sebagai Netflix-nya para gamer, sebab kalau di Netflix kita benar-benar tidak perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk bisa menikmati semua konten yang tersedia.

Stadia di sisi lain tidak demikian. Paket berbayarnya, Stadia Pro, menawarkan sejumlah fasilitas seperti gameplay dalam resolusi 4K/HDR, surround sound 5.1, sejumlah diskon eksklusif serta akses gratis ke sejumlah game. Kalau dirata-rata, pelanggan Stadia Pro bakal mendapatkan setidaknya satu game baru secara cuma-cuma setiap bulannya, diawali oleh Destiny 2.

Ini jelas berbeda dari penawaran Netflix, meskipun jenis kontennya memang berbeda. Andrey pun lebih sreg menyamakan Stadia Pro dengan layanan Xbox Live Gold atau PlayStation Plus. Singkat cerita, tidak semua game bisa Anda mainkan di Stadia secara cuma-cuma, meskipun Anda telah membayar biaya berlangganan sebesar $10 setiap bulannya.

Google Stadia

Untuk paket gratisannya, Stadia Base, konsumen malah diwajibkan untuk membeli game-nya sendiri sebelum bisa dimainkan via Stadia. Ini sangat penting untuk diingat: Stadia Base memang gratis, tapi game yang bisa dimainkan tidak ada yang gratis, kecuali memang ada game free-to-play yang masuk dalam katalognya.

Konsumen Stadia Base pada dasarnya hanya dipinjami akses ke gaming PC berspesifikasi wahid secara cuma-cuma. Mereka bisa menyimpan tabungannya untuk membeli game yang hendak dimainkan, tanpa perlu menyisihkan dana lebih untuk membeli kartu grafis baru, atau bahkan merakit gaming PC dari nol.

Kalau disimpulkan, Google Stadia memang masih punya banyak batasan, tapi tetap saja kehadiran layanan ini bakal mendisrupsi industri streaming game secara menyeluruh. Sebagian besar layanan streaming game yang sudah ada sekarang memiliki mekanisme “bayar biaya berlangganannya, tapi sediakan sendiri game-nya”. Stadia Base nantinya bakal menghapus syarat membayar tersebut.

Sumber: GamesRadar.

Akui Signifikansi Cloud Gaming, Nintendo Janji Tak Akan Tertinggal

Kesederhanaan sering kali menjadi inti dari sebuah terobosan. Lihat saja kehadiran home console yang membuat video game tak lagi cuma bisa diakses dari arena arcade. Inovasi sekelas inilah yang orang harapkan dari merakyatnya layanan cloud gaming: bayangkan jika Anda bisa menikmati konten digital kapan saja dan di mana saja tanpa harus memiliki perangkat khusus gaming.

Anda mungkin telah mendengar atau memahami konsep game streaming. Kini hal paling menarik adalah melihat respons pemain ‘tradisional’ di industri game terhadap naik daunnya tren ini, apalagi setelah raksasa seperti Google dan Microsoft mengonfirmasi keikutsertaan mereka. Microsoft sudah siap dari sisi infrastruktur, dan Sony diketahui setuju untuk berkolaborasi dengan rival lamanya itu demi menyongsong era gaming on demand. Lalu bagaimana dengan Nintendo?

Dalam pertemuan tahunan bersama pemegang saham, para eksekutif Nintendo ditanya pendapat mereka soal cloud gaming. Sejauh ini, Nintendo merupakan perusahaan hiburan yang terus berpegang pada pendekatan konservatif dalam menyajikan produk. Bahkan penyediaan platform distribusi eShop saja boleh dikatakan cukup terlambat dibanding kompetitor, baru meluncur pada tahun 2011 untuk 3DS.

Terkait game streaming, Nintendo mengakui bahwa metode ini akan menjadi bagian dari masa depan dan mereka tidak boleh tertinggal. Presiden Shuntaro Furukawa menyampaikan bahwa meski tak semua game akan dihidangkan via cloud dalam waktu dekat, teknologi ini akan bertambah canggih. Pelan-pelan, ia terus berkembang menjadi solusi andal buat mendistribusikan permainan ke konsumen.

Nintendo sendiri merasa optimis mengenai kesiapan mereka menyongsongnya, seandainya cloud gaming menjangkau populasi gamer global. Menurut Furukawa, keadaan tersebut malah memberikan mereka kesempatan untuk memperdalam integrasi antara pengembangan lini software dan hardware, kemudian menyuguhkannya lewat ‘cara-cara unik khas Nintendo’.

Senior executive officer Ko Shiota menjelaskan lebih jauh bagaimana konektivitas 5G dapat mempercepat proses pengembangan game streaming. Nintendo telah mulai mengeksplorasinya, namun perusahaan tak mau hanya sekadar mengejar tren. Nintendo ingin agar teknologi anyar yang mereka usung bisa menghidangkan pengalaman baru serta gameplay revolusioner. Selain itu, produsen harus mempertimbangkan ongkos. Sulit bagi mereka buat mengimplementasikan teknologi mutakhir jika modalnya terlalu mahal.

Shigeru Miyamoto selaku representative director mengomparasi layanan game stream dengan virtual reality. Ia mencoba mengingatkan kita bahwa Nintendo merupakan salah satu pionir di VR dan sudah lama melakukan berbagai eksperimen – misalnya lewat Virtual Boy. Tapi karena Nintendo tak pernah memublikasikan pencapaian tersebut hingga teknologi dirilis dalam bentuk produk (berupa Labo Toy-Con 04: VR Kit), banyak orang mengira mereka tertinggal.

Kini, kita hanya tinggal menunggu terobosan apa yang ditawarkan Nintendo di ranah cloud gaming

Via The Verge.