Take-Two Akuisisi Perusahaan Animasi, Mantan Director Mass Effect Buat Studio Game Baru

Take-Two mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi perusahaan animasi asal Prancis, Dynamixyz, pada minggu lalu. Sementara itu, Sony juga telah mengakuisisi Nixxes Software, perusahaan yang mengkhususkan diri pada game porting PC. Pada minggu lalu, mantan Director Mass Effect juga mengungkap bahwa dia telah membuat studio game baru yang disebut Humanoid Studios.

Take-Two Akuisisi Perusahaan Animasi Dyanmixyz

Take-Two menyatakan bahwa mereka telah mengakuisisi Dynamixyz, perusahaan asal Prancis yang mengkhususkan diri pada animasi wajah. Sayangnya, tidak diketahui berapa nilai akuisisi tersebut. Sebelum ini, kedua perusahaan itu juga telah bekerja sama dalam membuat beberapa game, seperti Red Dead Redemption 2 dan NBA 2K21. Selain itu, Dynamixyz juga pernah menangani Avengers: Endgame dan Love, Death & Robots, seri animasi di Netflix.

Ke depan, Dynamixyz akan beroperasi sebagai divisi dari Take-Two. Mereka akan pada proyek yang tengah dikerjakan oleh Take-Two. Namun, Dynamixyz masih akan tetap dipimpin oleh CEO Gaspard Breton. Dia akan bertanggung jawab pada Scott Belmont, Executive Vice President dan Chief Information Officer dari Take-Two, menurut laporan GamesIndustry.

Sony Akuisisi Nixxes Software

Minggu lalu, Sony mengakuisisi Nixxes Software, perusahaan yang fokus untuk membuat game porting PC. Mengingat Sony memang ingin membawa beberapa game mereka ke PC — termasuk Days Gone dan Horizon: Zero Dawn — maka keputusan mereka untuk mengakuisisi Nixxes masuk akal. Sebelum diakuisisi oleh Sony, Nixxes secara eksklusif untuk membuat porting PC dari game-game Square Enix, seperti Shadow of the Tomb Raider dan Marvel’s Avengers, lapor VentureBeat. Selain Nixxes, Sony juga mengakuisisi Housemarque — developer dari Returnal — pada minggu lalu.

Nixxes adalah perusahaan yang fokus dalam melakukan porting game konsol ke PC.

Community Gaming Dapat Kucuran Dana Sebesar US$2,3 Juta

Community Gaming mendapatkan investasi sebesar US$2,3 juta untuk mengotomasi turnamen esports, mulai dari bagian penyelenggaraan turnamen — baik secara online maupun offline, pembayaran peserta, sampai pembagian hadiah untuk pemenang. Ronde investasi ini dipimpin oleh perusahaan blockchain, CoinFund. Beberapa investor lain yang ikut menanamkan modal di Community Gaming juga pernah pernah berinvestasi di bidang cryptocurrency, seperti Dapper Labs, Animoca Brands, Multicoin Capital, 1kx, Warburg Serres, dan Hashed, seperti yang disebutkan oleh VentureBeat. Community Gaming menyebutkan, untuk memudahkan proses pembagian hadiah pada para pemenang, mereka akan menggunakan teknologi blockchain.

Mantan Director Mass Effect Buka Studio Baru

Casey Hudson, mantan General Manager BioWare dan Director Mass Effect, telah mendirikan studio game baru, yang dinamai Humanoid Studios. Dia mengungumumkan hal ini pada 30 Juni 2021, melalui Twitter. Dia akan memimpin Humanoid sebagai CEO. Dalam situs resmi Humanoid, Hudson ditulis sebagai salah satu pendiri dari studio game tersebut. Namun, dia mengakui bahwa dia mendapatkan bantuan dari beberapa koleganya dalam membuat Humanoid. Sayangnya, tidak diketahui siapa saja kolega yang dia maksud.

Saat ini, Humanoid tengah membuka lowongan untuk beberapa posisi penting. Studio itu akan membuka kantor di British Columbia dan Alberta, Kanada. Walau pada awalnya para pekerja bisa bekerja dari rumah karena pandemi, nantinya, para pekerja akan diminta untuk bekerja dari kantor, lapor GamesRadar.

Platform Cloud Streaming Facebook Punya 1,5 Juta Pemain Bulanan

Facebook mengungkap, layanan cloud streaming mereka kini digunakan oleh 1,5 juta orang setiap bulannya. Selain itu, mereka juga mengumumkan, Ubisoft akan menjadi rekan mereka. Hal itu berarti, beberapa game Ubisoft akan tersedia di platform cloud streaming Facebook, seperti Assassin’s Creed Rebellion, Hungry Shark Evolution, dan Hungry Dragon. Selain itu, Mighty Quest dan Trials Frontier juga akan ditambahkan ke platform cloud streaming Facebook pada tahun ini. Facebook juga menyebutkan, mereka berencana untuk menambahkan game-game free-to-play di platform mereka. Belum lama ini, mereka memasukkan Roller Coaster Tycoon Touch dari Atari dan Lego Legacy Heroes Unboxed dari Gameloft, menurut laporan GamesIndustry.

Mobile Game Jadi Semakin Kompleks Dalam 10 Tahun Terakhir

Sejak 1997, mobile game telah populer berkat keberadaan game-game kasual, seperti Snake di ponsel Nokia. Perlahan tapi pasti, teknologi yang diusung perangkat mobile menjadi semakin canggih, memungkinkan developer untuk membuat mobile game yang semakin kompleks. Pada 2002, X-Forge 3D dirilis. Dengan game engine tersebut, developer bisa membuat mobile game dengan grafik 3D. Dan sejak saat itu, mobile game terus berkembang, tidak hanya dari segi grafik, tapi juga gameplay.

Kontribusi Mobile Game yang Semakin Besar ke Industri Game Global

Tahun lalu, hampir setengah dari total pemasukan industri game berasal dari mobile game. Tahun ini, mobile game memberikan kontribusi sebesar US$90,7 miliar — atau sekitar 52% — dari total pemasukan industri game, yang diperkirakan bakal mencapai US$175,8 miliar. Hal ini menunjukkan, kontribusi mobile game pada pemasukan industri game terus naik. Selain itu, jika dibandingkan dengan industri game konsol dan PC, industri mobile game juga memiliki tingkat pertumbuhan paling cepat. Dalam periode 2018-2021, tingkat rata-rata pertumbuhan (CAGR) dari industri mobile game mencapai 13,1%. Sementara CAGR dari industri game secara umum hanyalah 8,1%.

Industri game pada 2021. | Sumber: Newzoo

Mobile game tidak hanya unggul dari segi pemasukan, tapi juga dari jumlah pemain. Tahun ini, Newzoo menyebutkan, jumlah gamers di dunia mencapai 3,22 miliar orang. Sebanyak 2,8 miliar orang, atau sekitar 94%, bermain game di mobile. Sementara itu, jumlah gamer PC mencapai 1,4 miliar orang dan konsol 900 juta orang.

Jika melihat pembagian industri game berdasarkan region, Asia Pasifik masih menjadi kontributor utama. Kawasan Asia Pasifik menyumbangkan 50% dari total pemasukan game atau sekitar US$88,2 miliar. Sementara itu, Tiongkok dan Amerika Serikat merupakan dua negara dengan industri game terbesar. Sekitar 48% pemasukan dari industri game berasal dari dua negara tersebut. Industri game di Tiongkok bernilai US$45,6 miliar dan di AS US$39,1 miliar.

Tren Mobile Game

Seiring dengan bertambahnya jumlah mobile gamers, maka semakin banyak pula developer yang tertarik untuk membuat mobile game. Developer-developer besar yang sebelumnya tak pernah melirik mobile game pun mulai tertarik untuk membuat mobile game. Salah satu contohnya adalah Riot Games. Selama 10 tahun, mereka fokus pada League of Legends, game PC mereka. Mereka bahkan sempat berselisih dengan Tencent karena mereka tidak ingin meluncurkan League of Legends di mobile. Namun, pada 2020, mereka akhirnya meluncurkan League of Legends: Wild Rift untuk mobile.

Tak hanya itu, Blizzard Entertainment dan Nintendo pun akhirnya memutuskan untuk membuat mobile game. Electronic Arts juga telah mengakuisisi Glu Mobile, menunjukkan ketertarikan mereka untuk membuat mobile game sendiri. Dikabarkan, EA akan merilis versi mobile dari Apex Legends pada tahun depan. Selain Apex Legends, beberapa franchise game populer, seperti Devil May Cry dan Final Fantasy, juga punya game yang dirilis untuk mobile. Hal ini terjadi karena mobile game kini sudah bisa mengakomodasi genre-genre favorit para core gamers, seperti MOBA, racing, shooter, battle royale, dan strategy.

Favorit genre dari mobile gamers di AS, Inggris, Tiongkok, India dan Arab Saudi. | Sumber: Newzoo

Berkat entry barrier yang rendah, mobile game juga sangat populer di negara-negara berkembang, termasuk di Tiongkok dan India. Jadi, developer yang ingin menargetkan gamers di negara-negara tersebut bisa mencoba untuk membuat mobile game. Para mobile gamers di negara berkembang, seperti Tiongkok, India, dan Arab Saudi, biasanya menyukai mobile game yang kompleks dan kompetitif. Faktanya, di Tiongkok, genre favorit para mobile gamers adalah MOBA, diikuti oleh puzzle, shooter, dan battle royale. Sementara di India, empat genre favorit bagi para mobile gamers adalah racing, puzzle, sports, dan shooter. Di Arab Saudi, empat genre favorit adalah puzzle, sports, racing, dan adventure.

Sebagai perbandingan, genre favorit para mobile gamers di AS adalah puzzle, match, traditional card games, dan arcade. Mobile gamers di Inggris juga punya selera yang sama dengan mobile gamers di AS. Hanya saja, arcade menjadi genre favorit ketiga, dan traditional card games di posisi keempat. Di AS, genre mobile game kompetitif yang populer adalah strategy. Karena itu, game-game seperti Clash of Clans dan Clash Royale dari Supercell cukup populer di kalangan mobile gamers AS. Selain itu, game 4X strategy dari developer Tiongkok juga cukup sukses. Buktinya, game-game itu berhasil masuk dalam daftar mobile game terpopuler di AS.

Tipe mobile gamers di AS, Inggris, Tiongkok, India, dan Arab Saudi. | Sumber; Newzoo

Dalam laporannya, Newzoo mengategorikan mobile gamers ke dalam tujuh kelompok: Ultimate Gamer, All-Round Enthusiast, Subscriber, Conventional Player, Hardware Enthusiast, Popcorn Gamer, dan Time Filler. Di dunia, dua kelompok mobile gamers yang mendominasi adalah Time Filler (24%) dan Subscriber (23%). Time Filler adalah mobile gamers yang hanya bermain game untuk mengisi waktu luang atau di sela-sela kegiatan sosial. Sementara Subscriber adalah gamers yang senang untuk bermain game berkualitas tinggi, khususnya game free-to-play. Mereka hanya akan membeli hardware yang lebih mumpuni jika memang diperlukan.

Di Tiongkok, sebagian besar mobile gamers merupakan Ultimate Gamers, yaitu para gamers yang rela untuk menghabiskan waktu dan uang mereka demi bermain game. Di Arab Saudi, AS, dan India, kelompok Subscriber mendominasi. Sementara di Inggris, kebanyakan mobile gamers masuk dalam kategori Time Fillers.

Bagaimana Industri Mobile Game Tiongkok Bisa Berkembang?

Saat ini, Tiongkok menjadi negara dengan jumlah core mobile gamers terbanyak. Salah satu alasannya adalah karena hingga 2010, para gamers di Tiongkok hanya bisa bermain game di PC. Memang, pemerintah Tiongkok melarang penjualan konsol sampai 2015. Alhasil, PC menjadi platform utama para gamers. Di kalangan gamers PC Tiongkok, game-game yang populer adalah game kompetitif seperti Counter-Strike atau MMORPG seperti World of Warcraft dan Fantasy Westward.

Gamers Tiongkok mulai mengenal mobile game pada 2010 berkat Angry Birds dan Fruit Ninja. Sementara itu, sejak 2011, perusahaan smartphone lokal, seperti Xiaomi, OPPO, Vivo, dan Huawei, mulai menyasar pengguna smartphone kelas bawah dan menengah. Dan perlahan tapi pasti, mereka mulai menguasai pasar smartphone di Tiongkok. Hal ini menjadi salah satu alasan mengapa industri mobile game di Tiongkok bisa tumbuh pesat. Tak berhenti sampai di situ, pada 2012, Shenxiandao Mobile diluncurkan. Peluncuran game tersebut menginspirasi developer game untuk membuat mobile game dari game-game browser yang sudah populer. Sementara pada 2013, Locojoy merilis I AM MT, mobile game yang berhasil mengintegrasi mekanisme game PC ke mobile.

Kontribusi dari mobile game kompleks semakin besar pada industri mobile game Tiongkok. | Sumber: Newzoo

Kemampuan mobile game untuk mengadaptasi mekanisme game PC semakin terlihat pada 2015, dengan diluncurkannya Honor of Kings. Sejak saat itu, semakin banyak game PC yang dirilis untuk mobile, seperti Fantasy Westward Journey dan CrossFire Mobile. Sampai saat ini, kedua mobile game itu masih masuk dalam daftar mobile game dengan pemasukan terbesar di Tiongkok. Sejak saat itu, tren di game PC pun mulai diadaptasi ke mobile. Pada 2017, NetEase meluncurkan game battle royale berjudul Knives Out. Memang, ketika itu, genre battle royale tengah populer berkat PUBG. Satu tahun kemudian, pada 2018, Tencent merilis PUBG Mobile. Nantinya, game tersebut dirilis ulang dengan nama Peacekeeper Elite.

Popularitas mobile game di Tiongkok mendorong munculnya mobile esports. Pada 2019, turnamen mobile esports tingkat global pertama digelar di Tiongkok. Saat itu, ada dua game yang diadu, yaitu QQ Speed dan Honor of Kings. Pada 2020, developer Tiongkok mulai meluncurkan game di multiplatform. Salah satunya adalah miHoYo dengan Genshin Impact. Tren ini tampaknya akan masih berlanjut pada 2021 dengan peluncuran Revelation Mobile.

Evaluasi dan Relevansi Brand Sebagai Sponsor Game, Esports, ataupun Content Creator

Ketika KFC membuat kolaborasi dengan Genshin Impact di Tiongkok, banyak orang rela menunggu di depan sejumlah gerai KFC sejak tengah malam hanya untuk mendapatkan bonus berupa pin dari Diluc dan Noelle — dua karakter di Genshin Impact. Ada begitu banyak orang yang berkerumun di sejumlah restoran KFC sampai polisi harus turun tangan untuk membubarkan kerumunan di Shanghai dan Hangzhou. Fenomena ini sama seperti fenomena kolaborasi McDonald dengan BTS di Indonesia.

Suksesnya kerja sama antara KFC dengan Genshin Impact menunjukkan, jika dieksekusi dengan baik, kolaborasi antara brand dengan game bisa memberikan dampak yang besar. Pertanyaannya: apa yang harus perusahaan perhatikan ketika akan berkolaborasi dengan game?

Beda Platform = Beda Gamers

Penggemar musik rock belum tentu menyukai musik pop, walau keduanya sama-sama penggemar musik. Sementara itu, penonton sepak bola belum tentu menonton pertandingan basket. Begitu juga dengan game. Gamers adalah istilah yang mencakup banyak orang. Dan, sama seperti penggemar musik atau olahraga, gamers juga punya selera yang berbeda-beda. Salah satu cara untuk mengelompokkan gamers adalah berdasarkan platform yang mereka gunakan. Secara garis besar, ada tiga platform yang bisa digunakan untuk bermain game, yaitu PC, konsol, dan mobile.

Dari ketiga platform tersebut, mobile punya jumlah pemain paling banyak. Menurut laporan Newzoo, jumlah gamers di dunia mencapai 3,22 miliar orang. Sebanyak 94% — atau sekitar 2,8 miliar orang — merupakan mobile gamers. Sementara itu, jumlah gamer PC hanya mencapai 1,4 miliar orang dan konsol 900 juta orang. Mengingat mobile memang memiliki entry barrier paling rendah — dengan harga perangkat yang juga relatif paling murah — maka tidak heran jika jumlah mobile gamers mengalahkan gamers PC dan gamer konsol.

Jumlah gamers di dunia dari waktu ke waktu. | Sumber: Newzoo

Satu hal yang harus diingat, masing-masing platform gaming punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hal ini memengaruhi karakteristik dari para gamers. Misalnya, keunggulan utama dari platform mobile adalah mobilitasnya yang tinggi. Jadi, pemain bisa bermain game hampir dimana saja dan kapan saja. Selain itu, banyak mobile game yang bisa dimainkan secara gratis. Namun, jika dibandingkan dengan konsol dan PC, mobile punya daya komputasi yang lebih rendah. Karena itu, mobile game cenderung punya grafik dan mekanisme yang lebih sederhana daripada game konsol dan PC. Kabar baiknya, dalam 10 tahun terakhir, mobile game terus berevolusi, menjadi semakin kompleks. Kolaborasi dengan mobile game cocok untuk perusahaan yang ingin menjangkau banyak orang.

Daripada mobile, baik konsol maupun PC menawarkan daya komputasi yang lebih tinggi. Namun, harga konsol dan PC gaming juga relatif lebih mahal. Sementara itu, keunggulan konsol dari PC adalah kermudahan pemasangan. Setelah membeli konsol, Anda bisa langsung menghubungkannya ke TV dan menggunakannya untuk bermain game. Lain halnya dengan PC. Kelebihan lain dari konsol adalah keberadaan game-game eksklusif, seperti Marvel’s Spider-Man: Miles Morales dan Horizon Forbidden West untuk PlayStation 5.

Jika dibandingkan dengan mobile dan konsol, salah satu kelebihan PC adalah ia bisa dikustomisasi sesuai kebutuhan. Bagi para sultan dengan dana tak terbatas, mereka bisa membangun PC gaming master race yang bisa menjalankan game-game AAA dengan pengaturan rata kanan. Namun, bagi gamers yang punya dana pas-pasan, mereka tetap bisa membangun PC sesuai dengan dana yang mereka punya. Karena itu, gamer PC biasanya cukup mengerti akan sisi teknis. Jadi, gamer PC cocok untuk brand yang menyasar orang-orang yang melek teknologi.

Model Bisnis dan Genre

Game juga bisa dikategorikan berdasarkan model bisnis yang digunakan: game premium atau game free-to-play alias gratis. Walau bisa dimainkan secara gratis, game F2P biasanya punya sistem monetisasi sendiri, seperti iklan, subscription alias langganan, dan menjual item dalam game.

Pertama, mari membahas soal karakteristik pemain game premium. Karena sudah mengeluarkan uang untuk membeli game, pemain dari gamers premium biasanya ingin mendapatkan pengalaman yang memuaskan. Biasanya, mereka juga alergi pada iklan. Buktinya, ketika Capcom memasang iklan di Street Fighter V, mereka mendapat banyak protes dari para pemain. Pada akhirnya, developer Jepang itu memutuskan untuk menghilangkan iklan dari fighting game mereka.

Untuk bekerja sama dengan game premium, salah satu hal yang perusahaan bisa lakukan adalah membuat konten dalam game terkait produk milik perusahaan. Jenis konten yang bisa disisipkan ke dalam game bisa beragam, mulai dari item dalam game sampai tempat yang bisa pemain kunjungi. Misalnya adalah kerja sama antara Digital Happiness dan Exsport. Sebagai bagian dari kerja sama tersebut, developer Bandung itu membuat karakter utama dari DreadOut 2 mengenakan tas merek Exsport.

Contoh lainnya adalah kerja sama antara KFC dengan Animal Crossing: New Horizons. Dalam kerja sama itu, KFC membuat pulau khusus yang dihias layaknya restoran KFC di dunia nyata. Tak hanya itu, para pemain juga bisa memenangkan satu ember ayam goreng jika mereka berhasil menemukan Colonel Sanders di pulau tersebut. Sebelum mencari Colonel Sanders, pemain harus mendapatkan invite link dari akun media sosial KFC Filipina. Pemain yang berhasil menemukan sang Colonel akan mendapatkan kode yang bisa ditunjukkan ke restoran KFC untuk ditukar dengan ayam goreng. Sayangnya, kegiatan itu terbatas pada gamers di Filipina.

Strategi membuat konten dalam game juga bisa digunakan oleh brand ketika mereka bekerja sama dengan game F2P. Salah satu merek yang pernah melakukan hal itu adalah Louis Vuitton. Sebagai bagian dari kerja sama mereka dengan Riot Games, Louis Vuitton membuat skin untuk karakter di League of Legends. Tak hanya itu, mereka juga meluncurkan koleksi pakaian LVxLOL. KFC juga menggunakan strategi ini ketika bekerja sama dengan Genshin Impact di Tiongkok. Hasil dari kolaborasi tersebut adalah munculnya dua resep baru — resep ayam goreng dan burger — dalam Genshin Impact. Selain itu, pemain juga bisa mendapatkan skin glider khusus, berwarna merah-putih yang menjadi warna khas KFC.

Skin glider khusus KFC. | Sumber: YouTube

Selain model bisnis, hal lain yang harus perusahaan pertimbangkan sebelum berkolaborasi dengan game adalah genre dari game itu sendiri. Bagi perusahaan yang tidak ingin brand mereka dikaitkan dengan kekerasan, mereka bisa memilih game-game olahraga atau balapan. Perusahaan juga bisa memilih game yang memang berkaitan dengan produk yang mereka tawarkan. Sebagai contoh, brand sportswear bisa menggandeng kerja sama dengan game olahraga atau perusahaan otomotif dengan game racing.

Esports dan Konten Game

Apakah sebuah game punya ekosistem esports atau tidak juga bisa menjadi pertimbangan lain bagi perusahaan yang ingin berkolaborasi dengan game tertentu. Pasalnya, jika sebuah game punya skena esports yang berkembang, perusahaan akan punya lebih banyak opsi dalam menjalin kerja sama dengan game tersebut. Alih-alih membuat konten dalam game, brand bisa mensponsori liga atau turnamen esports dari sebuah game. Jenis sponsorship di esports sendiri bermacam-macam, mulai dari sekadar logo placement sampai menjadi title sponsor.

Salah satu bentuk sponsorship unik adalah in-game banner. Jadi, developer meletakkan logo atau merek sponsor di dalam game saat pertandingan  tengah berlangsung. Strategi ini masuk akal, mengingat siaran pertandingan esports biasanya menyorot segala sesuatu yang terjadi dalam game dan bukannya para pemain. League of Legends dan Mobile Legends adalah dua game yang menerapkan model sponsorship ini.

Contoh in-game banner di LOL Worlds 2020. | Sumber: Esports Insider

Sebagian gamers, tidak hanya senang bermain game, tapi juga menonton orang lain bermain game. Karena itu, munculah industri streaming game. Sebagai turunan dari industri game, industri esports dan streaming game juga  punya potensi besar. Menurut data dari Juniper Research, nilai industri esports dari streaming game pada 2021 akan mencapai US$2,1 miliar. Jadi, bagi brand yang ingin menjangkau gamers tapi masih enggan untuk berkolaborasi dengan game secara langsung, mereka bisa memilih untuk bekerja sama dengan streamer atau kreator konten game.

Mengingat keberagaman game, jangan heran jika influencer gaming juga punya gaya yang berbeda-beda. Ada kreator konten yang menonjolkan kepribadian mereka, seperti Felix Arvid Ulf Kjellberg alias PewDiePie. Tidak peduli game apa yang sang YouTuber mainkan, penonton akan tetap setia karena kepribadian sang kreator kontenlah yang menjadi daya jual. Ada juga kreator konten atau streamer yang menonjolkan skill mereka dalam bermain. Biasanya, influencer gaming ini merupakan mantan pemain profesional. Contohnya adalah Michael “Shroud” Grzesiek, yang pernah menjadi pemain profesional CS:GO sebelum berkarir sebagai streamer. Selain itu, juga ada kreator konten yang menonjolkan sisi sensual mereka. Di Twitch, bahkan sempat muncul tren hot tub streamers.

Satu hal yang pasti, ketika perusahaan mendukung seorang influencer, maka image sang influencer juga akan melekat pada brand. Karena itu, penting bagi perusahaan untuk memilih streamer atau kreator konten yang sesuai dengan brand mereka. Jika tidak hati-hati, reputasi merek justru bisa tercoreng. Hal ini pernah terjadi ketika Wacom menggandeng Abqariyyah Halilintar untuk mempromosikan Wacom Cintiq 16 — pen display seharga Rp9,5 juta.

Abqariyyah Halilintar yang menggambar di Wacom Cintiq 16. | Sumber: Instagram

Tak bisa dipungkiri, unggahan endorsement tersebut memang mendapat engagement tinggi. Saat diunggah di akun Instagram resmi Gen Halilintar, ungahan tersebut mendapatkan lebih dari 38 ribu Likes. Namun, Wacom juga mendapatkan protes dari designer dan seniman, yang merupakan target konsumen Wacom. Alasannya, Abqariyyah dianggap tidak bisa menunjukkan fitur-fitur yang dimiliki oleh Cintiq 16.

Memilih Game atau Esports yang Sesuai dengan Brand

Setiap perusahaan biasanya punya target konsumen masing-masing. Karena itu, ketika hendak menjalin kerja sama dengan developer game atau entitas esports, perusahaan sebaiknya memilih rekan yang memiliki target pasar yang mirip. Hal ini akan lebih mudah untuk dicapai oleh perusahaan endemik game dan esports.

Sebagai contoh, perusahaan yang berkutat di bidang komputer, seperti Intel, AMD, Lenovo, Acer dan lain sebagainya, tentu akan lebih memilih bekerja sama dengan developer game PC atau mendukung ekosistem esports game PC.  Karena game PC punya kaitan langsung dengan produk yang mereka jual. Sementara itu, perusahaan smartphone seperti Samsung Mobile dan Xiaomi Blackshark pasti akan lebih tertarik dengan mobile game serta komunitas esports mobile.

Pertanyaannya, bagaimana jika produk perusahaan yang tidak ada kaitannya dengan game dan esports? Dalam kasus ini, perusahaan bisa memilih untuk mendukung game atau esports yang penggemarnya punya karakteristik yang sama atau mirip dengan target pasar perusahaan. Pada 2019, Dua Kelinci menjadi sponsor dari RRQ dan EVOS Esports. Padahal, Dua Kelinci merupakan produsen kudapan. Ketika itu, pihak Dua Kelinci menjelaskan, alasan mereka mendukung tim esports adalah karena fans esports punya profil yang sama dengan target konsumen mereka.

Menyesuaikan dengan Tujuan Perusahaan

Di dunia marketing, ada konsep yang disebut marketing funnel. Pada dasarnya, marketing funnel menunjukkan proses untuk membuat seseorang yang tidak mengenal brand perusahaan sama sekali menjadi konsumen setia. Secara garis besar, marketing funnel terdiri dari lima tahap: awareness, interest, evaluation, trial, dan adoption.

Tampilan marketing funnel. | Sumber: Expert Program Management

Di tahap awareness, tujuan perusahaan adalah untuk membuat calon konsumen tahu akan brand mereka. Tahap kedua, interest, bertujuan untuk membuat orang-orang yang sudah mengenal brand perusahaan menjadi semakin penasaran dengan produk yang ditawarkan perusahaan. Tahap berikutnya adalah evaluation. Di tahap ini, konsumen akan menilai kredibilitas perusahaan. Jika perusahaan dianggap kredibel, maka konsumen akan masuk ke tahap berikutnya, yaitu trial. Di tahap keempat, konsumen akan mulai membeli produk yang ditawarkan oleh perusahaan. Jika konsumen puas dengan produk dari perusahaan, maka mereka akan menjadi pelanggan setia, yang berarti, mereka telah ada di tahap adoption.

Proses marketing funnel sering digambarkan sebagai segitiga terbalik. Hal itu menunjukkan, jumlah konsumen di setiap tahap akan terus berkurang. Jadi, jumlah konsumen yang tertarik untuk mencari tahu akan sebuah brand akan lebih sedikit dari jumlah konsumen yang sadar akan keberadaan brand tersebut. Karena itu, di tahap awareness, semakin banyak orang yang mengenal brand perusahaan, semakin baik.

Sebelum menentukan developer game atau entitas esports yang hendak diajak kerja sama, penting bagi perusahaan untuk menentukan tujuan yang ingin mereka capai. Jika tujuan utama perusahaan adalah untuk meningkatkan awareness, maka mereka sebaiknya bekerja sama dengan game, entitas esports atau influencer yang memang populer di masyarakat, seperti yang Renault lakukan ketika mereka memutuskan untuk mendukung ekosistem esports Free Fire. Padahal, Renault merupakan merek non-endemik game dan game battle royale itu memiliki profil konsumen yang berbeda dari target konsumen Renault.

Namun, tidak semua perusahaan ingin bertujuan meningkatkan awareness. Ada juga perusahaan yang lebih mengutamakan kesetiaan pelanggan dengan menjaga reputasi brand. Perusahaan yang memprioritaskan reputasi biasanya akan sangat berhati-hati dalam memiliki rekan kerja sama. Contohnya adalah Nike. Perusahaan sportswear itu biasanya hanya mensponsori tim atau atlet olahraga. Tidak banyak artis yang mereka dukung. Di esports, satu-satunya tim yang mereka sponsori adalah T1. Organisasi esports asal Korea Selatan itu telah memenangkan League of Legends World Championship sebanyak tiga kali, menjadikan mereka sebagai tim dengan trofi World terbanyak. Keputusan Nike untuk mensponsori banyak tim dan atlet olahraga mengukuhkan reputasi mereka sebagai merek sportswear yang dikenakan oleh atlet atau tim pemenang.

Salah satu hasil kolaborasi T1 dan Nike. | Sumber: Hypebeast

Selain meningkatkan awareness atau mempertahankan reputasi, perusahaan juga bisa melakukan kolaborasi dengan pelaku industri game atau esports karena mereka ingin memenangkan hati para gamers dan penonton esports, yang kebanyakan merupakan generasi milenial dan Gen Z. Menurut Forbes, salah satu karakteristik konsumen milenial adalah mereka lebih percaya omongan influencer daripada iklan. Selain itu, milenial juga biasanya senang dengan brand yang relevan dengan gaya hidup mereka. Jadi, mendukung skena esports atau influencer gaming bisa menjadi jalan bagi brand untuk terlihat terpercaya di mata konsumen milenial.

Intel adalah salah satu perusahaan yang secara berkelanjutan mendukung ekosistem esports Counter-Strike: Global Offensive. Turnamen Major Intel Extreme Masters sukses diadakan selama bertahun-tahun. Tak berhenti sampai di situ, Intel juga punya Intel Grand Slam. Pada April 2021, ESL juga mengumumkan bahwa mereka akan melakukan rebranding dari semua turnamen ESL Pro Tour (EPT), menjadi Intel Extreme Masters. Alhasil, merek Intel sangat lekat di benak para fans esports CS:GO. Intel bahkan bisa mengklaim mereka punya peran penting dalam mengembangkan ekosistem esports CS:GO. Hanya saja, melakukan apa yang Intel lakukan tidak mudah. Selain biaya besar, perusahaan juga harus siap berkomitmen dalam mendukung skena esports dari sebuah game selama bertahun-tahun.

Kesimpulan

Ketika perusahaan memutuskan untuk bekerja sama dengan game atau entitas esports, hal itu merupakan bagian dari kegiatan marketing. Karena itu, sebelum menjalin kolaborasi, sebaiknya perusahaan menentukan alasan mengapa mereka ingin melakukan kerja sama dengan game atau pelaku esports. Setelah itu, perusahaan bisa mencari game atau pelaku esports yang punya audiens dengan karakteristik yang sama dengan target konsumen perusahaan.

Memang, meningkatkan awareness masyarakat akan brand perusahaan merupakan bagian dari kegiatan marketing. Hanya saja, mengeluarkan uang untuk mengenalkan merek pada orang-orang yang memang tak tertarik dengan produk perusahaan adalah sesuatu yang sia-sia. Jadi, penting bagi perusahaan untuk mengetahui target pasar mereka dan karakteristik dari masing-masing kelompok gamers. Dengan begitu, perusahaan bisa menyasar kelompok gamers yang tepat dan memperbesar kesempatan untuk membuat kolaborasi yang sukses.

3 Tren Aplikasi Belanja di Amerika Serikat Pada Q1 2021

Pandemi COVID-19 memaksa orang-orang untuk mengubah gaya hidupnya. Misalnya, para gamers menghabiskan lebih banyak waktunya untuk bermain game dan menonton game karena pandemi. Selain itu, pandemi juga mengubah cara orang-orang berbelanja. Lockdown yang ditetapkan oleh pemerintah di berbagai negara — termasuk Amerika Serikat — membuat banyak orang beralih ke belanja online. Karena itulah, jumlah download dari aplikasi belanja di AS meningkat pesat pada tahun lalu. Dan tren ini tampaknya masih terbawa hingga tahun ini.

Marketplace Kuasai 33% Pangsa Pasar Aplikasi Belanja Online

Pada Q1 2021, jumlah download dari aplikasi belanja online di AS naik 9% dari tahun lalu, menjadi 162 juta downloads, menurut data terbaru dari Sensor Tower. Seiring dengan bertambahnya pengguna, maka persaingan di antara aplikasi belanja online pun menjadi semakin ketat. Dari berbagai jenis aplikasi belanja online, kategori marketplace masih cukup mendominasi. Buktinya, marketplace menguasai sekitar 33% dari total download aplikasi belanja online di AS. Artinya, satu dari tiga aplikasi belanja yang diunduh oleh pengguna smartphone di AS merupakan aplikasi marketplace.

Marketplace kuasai 33% pangsa pasar aplikasi belanja online. | Sumber: Sensor Tower

Sensor Tower mengartikan aplikasi marketplace sebagai aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk melakukan transaksi jual-beli. Jadi, pengguna tak hanya bisa membeli barang melalui aplikasi, tapi juga menjual barang. Salah satu contoh aplikasi marketplace yang beroperasi di Indonesia adalah Tokopedia. Sensor Tower lalu membagi kategori marketplace ke dalam tiga subkategori: marketplace umum, resale, dan jual-beli mobil.

Dari tiga jenis aplikasi marketplace tersebut, subkategori marketplace umum mendapatkan downloads paling banyak. Sekitar 58% dari keseluruhan downloads aplikasi marketplace merupakan aplikasi marketplace umum, seperti Amazon. Sementara itu, 36% downloads berasal dari aplikasi resale, dan 6% sisanya dari aplikasi jual-beli mobil.

Secara umum, jumlah downloads dari aplikasi marketplace memang mengalami kenaikan sepanjang tahun lalu. Download untuk aplikasi marketplace umum menuncak pada Mei 2020. Ketika itu, aplikasi-aplikasi marketplace umum diunduh hingga 9,6 juta kali dalam waktu satu bulan. Di bulan yang sama, total download dari aplikasi resale mencapai lebih dari lima juta downloads. Hanya saja, pengunduhan untuk aplikasi marketplace umum dan resale menunjukkan tren menurun pada 2021. Kabar baiknya, pengunduhan untuk aplikasi jual-beli mobil justru naik. Pada Maret 2021, total download untuk aplikasi jual-beli mobil mencapai 900 ribu downloads.

Rating rata=rata memengaruhi tingkat pertumbuhan download. | Sumber: Sensor Tower

Amazon masih menjadi aplikasi marketplace umum yang paling populer di kalangan warga AS. Di Desember 2020, aplikasi e-commerce tersebut diunduh sebanyak tiga juta kali. Total downloads untuk aplikasi itu kembali memuncak pada Maret 2021, mencapai 2,6 juta downloads. Meskipun begitu, Amazon bukan aplikasi marketplace umum dengan pertumbuhan jumlah downloads paling tinggi.

Gelar itu jatuh ke tangan Stadium Goods. Jumlah downloads dari aplikasi itu pada tahun ini naik 112% dari tahun lalu. Menurut Sensor Tower, salah satu alasan mengapa jumlah downloads dari Stadium Goods naik pesat adalah karena rating rata-rata aplikasi yang tinggi. Di App Store, sejak 2020, rating rata-rata dari Stadium Goods adalah 4,8 bintang. Hal ini menunjukkan, ada hubungan antara ratng rata-rata aplikasi dengan pengalaman pengguna dalam memakai aplikasi.

Retensi Aplikasi Resale Naik 

Pandemi tidak hanya membuat jumlah download dari aplikasi marketplace di AS naik, tapi juga meningkatkan retensi pengguna aplikasi. Di Q1 2021, retensi hari pertama dari pengguna aplikasi marketplace umum naik 5% menjadi 23%. Sementara itu, jika dibandingkan dengan aplikasi marketplace umum dan jual-beli mobil, aplikasi resale punya retensi paling tinggi. Sampai 2021 pun, retensi dari aplikasi resale tetap tinggi. Tingkat retensi hari pertama dari aplikasi resale mencapai 34%, sementara retensi hari ke-7 mencapai 20%.

Enam aplikasi resale paling populer di AS. | Sumber: Sensor Tower

Selain retensi, aplikasi resale juga mengalami pertumbuhan pengguna aktif bulanan (MAU) yang pesat. Pada November 2020, jumlah MAU dari aplikasi resale naik 35% dari jumlah MAU pada Januari 2019. Sensor Tower menyebutkan, alasan mengapa jumlah pengguna aplikasi resale naik adalah karena aplikasi resale, sesuai namanya, memudahkan para pengguna untuk menjual barang-barang bekas mereka. Hal ini bisa membantu orang-orang yang mengalami masalah finansial karena kehilangan pekerjaan selama masa pandemi. Selain aplikasi resale, aplikasi marketplace umum dan jual-beli mobil juga mengalami pertumbuhan pengguna. Pertumbuhan MAU tertinggi, mencapai 23%, terjadi pada Mei 2020.

Di AS, aplikasi resale paling populer adalah OfferUp. Pada Maret 2021, jumlah unduhan dari aplikasi itu mencapai 1,4 juta downloads. Sementara itu, jumlah installs dari OfferUp meningkat tajam pada September 2020. Ketika itu, jumlah download mereka dalam sebulan mencapai 2,8 juta downloads. Peningkatan itu terjadi setelah OfferUp mengumumkan bahwa mereka berencana untuk mengakuisisi aplikasi resale lain, yaitu Letgo.

Jumlah Download Aplikasi Jual-Beli Mobil di App Store Konsisten di Q1 2021

Berbeda dengan aplikasi marketplace umum dan resale, jumlah download dari aplikasi jual-beli mobil justru mengalami penurunan sejak April 2020, saat pemerintah AS menetapkan lockdown. Kabar baiknya, pada Maret 2021, jumlah download dari aplikasi jual-beli mobil mulai pulih. Sayangnya, pandemi masih memengaruhi industri otomotif secara umum, yang memberikan dampak pada jumlah download dari aplikasi jual-beli mobil. Dari enam aplikasi jual-beli mobil di AS, hanya dua aplikasi yang jumlah installs-nya mengalami peningkatan pada Maret 2021, yaitu CARFAX dan Carvana.

Jumlah installs dari aplikasi jual-beli mobil di Play Store dan App Store. | Sumber: Sensor Tower

Penurunan jumlah download dari aplikasi jual-beli mobil sangat terlihat di Play Store. Pada 2020, jumlah installs dari aplikasi jual-beli mobil justru turun 22% dari tahun 2012. Dan tren ini masih berlanjut hingga awal 2021. Secara total, pada Q1 2021, enam aplikasi jual-beli mobil terpopuler di AS hanya mendapatkan 768 ribu downloads. Sementara itu, jumlah download dari aplikasi jual-beli mobil di App Store tidak mengalami perubahan. Pada Q1 2021, jumlah download untuk aplikasi jual-beli mobil mencapai 1,7 juta juta, sedikit lebih rendah dari total downloads pada 2020, yang mencapai 1,8 juta downloads.

How Video Games Change Communication Behavior and Social Interaction

Have you ever known someone chatty on the internet, but is secretly a quiet and introverted person in real life? Or maybe, you are this person. The online era has been vastly affecting how people communicate with one another. Video games, whose growth has been catalyzed by the internet, are also used by more and more people as a medium to socialize. Of course, there are implications to this new trend of social behavior, which will be discussed thoroughly in this article. However, before digging deeper into this topic, let us first take a look at the history of human interaction.

 

The Evolution of Human Communication Tools

Humans are inherently social beings. Communication is the key to the survival of our ancestors and even us today. However, humans have changed their method of interaction according to the technologies or tools that exist at specific time periods. As technology continues to develop, our socializing habits evolves as well. According to a paper called the Development of Communication Technology and its Impact on Human Life, there are four distinct eras that distinguish human interaction methods.

The oldest era took place in 4000 BC when writing was the main tool for communication. The second was commenced when Gutenberg invented the printing press in 1456. Newspapers then came around at 1600. In Europe, the first newspaper printing came from a German company called Aviso di Wolfunbuttel. In Indonesia, Medan Prijaji was the first national newspaper, which operated from 1907 to 1912, according to Kompas.

Matchmaking bureau column in an old newspaper. | Source: Hipwee

Newspapers, as you may have already known, are a form of one-way communication. It is simply impossible to “reply” to a piece of news. However, newspapers in the past have been used as a tool to find friends or even lovers. Indeed, there is a designated “matchmaking” section in old newspapers. The “pen pal” section is usually less common, although I have personally made a friend during elementary school by finding their contacts in a newspaper.

Proceeding from the era of writing is the era of telecommunications. The radio and Films are the primary inventions that formed this era. The term “radio waves” was first coined by the German physicist Heinrich Hertz in 1887. However, it was not until 1896 when the first radio transmitter and receiver were invented by Guglielmo Marconi. Four years later, in 1900, radio began to be used commercially.

In Indonesia, the first generation of radio stations appeared around 1925 in Malabar, Central Java. Radio Republik Indonesia (RRI) was founded on September 11, 1945. This day was later also commemorated as National Radio Day, according to Kompas. Usually, in the past, the radio was used to give greetings to your family or friends, although there is no guarantee that the radio announcer will broadcast our message.

The telecommunications era also includes the arrival of television, which gave way to a variety of communication services. Just like newspapers and radios, TVs are a one-way communication tool. A person can use TV and radio to make announcements to the public, but the listener/audience cannot interact with the messages conveyed. This limitation, however, will later disappear in the fourth era.

The Internet emerged in the era of interactive communication. | Source: Deposit Photos

The fourth era in communication history is called the era of interactive communication. As its name suggests, two-way communication became the norm, and technologies such as satellites, computers, and the internet helped form this trend. According to Forbes, the communication industry in the 1990s underwent major changes thanks to the advent of these brand-new techs. They also established a new array of communication mediums, ranging from email, instant messaging, Voice Over Internet Protocol (VOIP), internet forums, social media, and also online games.

Just like other previous communication tools, social media also evolves from time to time. Friendster, one of the world’s first social media, used to be very popular back in 2001. LinkedIn, founded in 2002, became the standard social media for working professionals. 2 decades later, LinkedIn is still incredibly popular, having more than 675 million users, according to Mary Ville. In 2004, Mark Zuckerberg founded Facebook, which has billions of users today. And two years later, Twitter was founded with the concept of a microblogging site.

Between 2010 and 2011, the emergence of Instagram, Pinterest, and Snapchat changed the focal point of social media content towards images. After the release of TikTok in 2016 by a Chinese company called ByteDance, the mainstream social media content shifted yet again, this time towards short videos. The existence of TikTok is also proof that netizens are now more fond of consuming videos.

Social media is constantly evolving. | Source: Marry Ville

The existence of social media provides several conveniences to us humans, such as connecting with friends or family who live far away. It is also much easier for us to find and connect with people who have the same interests as ours. If you like gaming, you can easily find a gaming community online.

However, social media undoubtedly also has its downsides. Social media is designed in such a way that you can only see the content that you like. Therefore, it can act as an echo chamber that reinforces your biases and polarizes your beliefs. Another problem that commonly arises on social media is cyberbullying, which is caused by the vast anonymity that the internet provides.

Despite its many pros and cons, it is undeniable that social media makes communicating much faster, easier, and cheaper. In the past, you had to consider roaming costs when calling people in different provinces. Now, you can easily connect with people who live in other countries or even continents.

Today, the game is predicted to be the new social media. The arrival of the internet may have single-handedly revolutionized the video game industry. It gave birth to many of the popular online games we know back then, such as Lineage and Starcraft in 1998 or Counter-Strike: Global Offensive in 1999. Initially, online games were used as a means of personal entertainment, similar to offline games. However, especially after the COVID-19 pandemic hit, online games nowadays are mostly used as a medium to hang out, interact, and collectively have fun with other people. 

 

How Games Affect Social Interaction

What comes to your mind when you hear the word cool? Of course, everyone has a different definition or interpretation of being cool. For high school students, for example, cool might be associated with someone who is in a music band, a sports team, or student council presidents. In the past, video game enthusiasts were often labeled as nerds or maybe even losers. Fortunately, the trend today has changed. Now, people who are good at playing games have their own charisma. Being professional esports athletes is a dream for many people in today’s society, even though the chances are extremely slim.

The rise of Pay-to-Win (P2W) games also brought a lot of attention to people who spend a lot of money in-game, often crowned as sultans. Influencers in the gaming world even create content about how much money they spend to acquire certain characters or items. For example, Indonesian YouTuber, feraldoto, spent Rp. 64 million to get Albedo C6 on Genshin Impact.

Unfortunately, many of the negative stigmas attached to gamers still persist until this very day. For one, many still assume that gamers are anti-social or loners. Unknowingly to people with these false beliefs, many people make new friends — or even lovers — through online games. Not only that, in some countries — such as South Korea and China — gaming is considered a social activity. In 2003, Mark Griffiths, a lecturer at Nottingham Trent University, released a study on online gaming. He conducted a survey consisting of 11 thousand Everquest players. From the survey, Griffiths found that 25% of the respondents’ favorite part about Everquest is the element of socializing. Therefore, the idea that gamers are anti-social is extensively misleading. 

In 2007, he repeated the experiment with a different community in online gaming. This time, he gathered 912 Massively Multiplayer Online (MMO) gamers from 45 countries who spent an average of 22 hours a week playing games. From the study, he also concluded that online games are a highly interactive social environment.

Ten percent of the survey’s respondents even ended up in a romantic relationship outside the game,” Griffiths mentioned in BBC. “In-game socialization is actually a concept that has been around for a long time.” And in 2020, when the whole work was brought to a lockdown, more and more people came to the realization that gaming is more than a form of entertainment; it is also a place to socialize and interact.

Last year, gaming has been used as a hangout spot between friends. Important moments, such as birthdays or even weddings, are celebrated inside games. Games have also been used as a medium to show condolences. When streamer Byron “Reckful” Bernsten died in July 2020, World of Warcraft gamers gathered at several locations in-game to pay their respects to the WoW legend.

The Effect of Anonymity On Social Interaction

A person’s behavior in cyberspace is not always the same as his/her behavior in the real world. One of the main reasons why this happens on a vast scale is the anonymity that the internet provides. In online games, for example, rarely anyone uses their real name as his/her in-game name. According to the journal The positive and negative implications of anonymity in Internet social interactions: “On the Internet, Nobody Knows You’re a Dog”, hiding identities can have both positive and negative repercussions.

According to the Social Identity Model of Deindividuation Effect (SIDE) theory, anonymity has the benefit of increasing the effectiveness of a particular group. However, this only applies when all group members completely hide their identity and thus are unidentifiable to each other. If one or more people fail to keep their anonymity, the benefit will cease to exist. Anonymity also eliminates the salience of personal features while enhancing social identity and group immersion.

Anonymity can have both good and bad effects. | source: Deposit Photos

The strength and chemistry in anonymous communities can also bring precarious consequences. One of the most alarming negative effects of anonymous groups is their ability to disrupt major groups using radical ideas. For example, if a minor group of people hates the Indonesian government, they can gather followers to overthrow the government using anonymity.

However, another positive impact anonymity brings is empowering marginalized groups such as women and people with disabilities. Based on the equalization hypothesis, anonymous communication via the internet can balance the “power” held between minor and major groups.

In the real world, we tend to treat people based on their race, gender, appearance, and so on. In cyberspace, however, we cannot see or judge these social cues, prompting us to treat everyone fairly. For example, someone might try to act cool in front of an attractive person of the opposite sex. This cannot occur in internet forums since he/she cannot see the appearance of other people.

The last and probably most obvious advantage of anonymity is privacy. Generally, anonymity has three links to privacy: recovery from social injury, catharsis by expressing their emotions freely, and autonomy by trying new behaviors or activities without having to worry about being judged by the public or known people. Unfortunately, the autonomy and protection that comes from anonymity can also catalyze reckless behavior that might go unpunished.

 

Conclusion

Playing games is no longer considered an antisocial hobby or merely a form of personal entertainment. Today’s games, especially with the current pandemic lockdown, became a medium to interact with friends or new people on the internet. In the past year, gaming has provided a place to hang out and celebrate important moments in people’s lives. 

However, people in the gaming world, or cyberspace as a whole, often put on a mask that does not represent their real-world behaviors.  Due to the protection of anonymity, nobody is afraid to be judged by their appearance, race, or other social cues. 

People in the past have believed that friendships in the online world are pretentious and fragile. However, there are a bunch of internet applications that we can use to stay connected with our friends anywhere around the world, from WhatsApp, Facebook, to Discord. I myself am still in touch with friends that I met in Ragnarok Online from the early 2000s. News about gamers who found the love of their life from games is also common nowadays. Therefore, relationships formed on the internet or online games can, indeed, be very strong and long-lasting.

Translated by: Ananto Joyoadikusumo. Featured Image: Nintendo.

Why the Gaming Market in Southeast Asia Will Be Significantly Important In the Future

The gaming industry used to be monopolized by several large firms from the United States, Europe, and Japan in the 20th century. However, since the 2000s, this trend began to change. Today, even small indie developers can target the global market thanks to the development of the internet and mobile devices. The internet has allowed small developers to share their products and creativeness with gamers around the world without any boundaries. Some examples of these games that have, out of nowhere, exploded in popularity are Flappy Bird and Among Us.

However, not much research or studies have been conducted that discuss the development of the gaming industry and gaming culture in Asia. To fill the void, Phan Quang Anh conducted a research titled Shifting the Focus to East and Southeast Asia: A Critical Review of Regional Game Research. The study discusses the gaming industry and culture in the Asian region, particularly East Asia and Southeast Asia.

East Asia’s Gaming Industry and Culture

There are several reasons why Asia is becoming increasingly important for the gaming industry. One of these reasons is the size of the gaming market in the region. Both in terms of revenue or player numbers, Asia is a very profitable region for many gaming companies. Furthermore, several Asian countries also house many of the big gaming companies we know today, such as Nintendo and Sony in Japan, Nexon in South Korea, and Tencent in China. A majority of governments in Asian countries also put a substantial amount of investment towards the development of the game industry in their respective countries.

Walkman became one of the primary culprits behind the individualistic culture iin Japan. | Source: SCMP

However,  each country in the Asian region has different gaming cultures. For instance, gamers in Japan tend to be more individualistic. The culture of individualism in Japan itself began to emerge in the 1970s when Sony launched the Walkman. The growth of the game ecosystem in Japan is also heavily correlated with its local culture. As a result, most Japanese gamers prefer to play single-player games.

On the other hand, gamers in South Korea and China actually consider gaming as a social activity. They like to play games with their friends, hence why co-op games or competitive games are more popular. In fact, the social or competitive culture of gaming cultivated in South Korea and China is one of the reasons why the two of them produce so many successful pro esports players.

The online gaming culture in South Korea emerged around 1998 when Blizzard launched StarCraft. Playing online games quickly became a favorite hobby for the younger generation at that time. Through the widespread PC bangs — or internet cafes — across the country, playing games is also a relatively inexpensive activity. South Korea’s competitive culture has also made its esports ecosystem flourish. Local TVs began broadcasting esports, and being a pro player became a legitimate career path. This esports phenomenon in South Korea will later spread to other countries in East Asia and Southeast Asia.

Despite the similar gaming culture between South Korea and China, the two countries still have quite a contrasting gaming market. For example, China’s government is far more involved with its local gaming industry than South Korea’s. They frequently create regulations and promote local game companies to compete with foreign brands. Chinese game companies with innovative ideas will often receive government support for their growth. As a result, in 2020, 19 of the 100 games with the largest revenue generated in the United States were all produced by Chinese companies.

Southeast Asia’s Gaming Industry and Culture

Apart from East Asia, Southeast Asia is also a region to be reckoned with by game companies. According to Newzoo and Niko Partners, the growth rate of mobile games in Southeast Asia in 2014-2017 reached more than 180%. This figure is also predicted to continue to grow for the next five years. Shibuya Data Count also forecasted that the Compound Annual Growth Rate (CAGR) of the gaming industry in Southeast Asia will reach 8.5% in the 2020-2025 period. The six countries in Southeast Asia with the largest gaming markets, with no particular order, are Indonesia, Malaysia, Thailand, Vietnam, Singapore, and the Philippines.

One of the factors driving the growth of the game industry in Southeast Asia is the development of internet infrastructure or, more specifically, the emergence of 5G technology in 2020. Another factor that comes to play is the rising popularity of esports. As esports content in YouTube and Twitch continues to amass thousands of viewers, game companies invested in the region will also thrive . Free fire, for example, benefitted a lot from content creation and managed to become the most downloaded mobile game in 2019.

Free Fire is the most downloaded game in 2019.

Furthermore, free-to-play games also play a huge role in the success of the game industry in Southeast Asia. Combine this with the vast implementation of cloud gaming, the possibilities for the gaming industry in SEA will be limitless. Interestingly, more than 55% of mobile gamers in Southeast Asia are over 55 years old, while only 8% are teenagers. These stats can be explained by the fact that mobile games are usually catered to more casual users. 

However, these casual mobile games usually don’t last long, and their popularity can be vulnerable at most times. Thus, most developers of these types of games need to continuously promote their games through advertising. If constant advertising is not conducted, the relevance of casual games can fade in a matter of weeks or even days.

Game Industry in Indonesia

Just like China, the governments of Southeast Asian countries are also involved in the local gaming industry. However, the regulations set by Southeast Asian governments are usually not as strict as those in China. Therefore, foreign gaming companies might have a better chance to expand their market in the SEA countries like Indonesia.

Indonesia is a country with the 4th largest population in the world. Its population is also mostly dominated by the younger generation, who loves building online communities. According to Newzoo, this is a massive advantage that the Indonesian gaming market has over other countries in SEA. The popularity of mobile games in Indonesia is, undoubtedly, a golden opportunity that local developers need to seize

Mobile games have dominated the Indonesian gaming market for the past few years, and fortunately, 49% of mobile gamers do not hesitate to spend money to buy in-game items. Newzoo’s data showed that Indonesian mobile gamers spend an average of $9 USD every year. The strategy game genre is also a favorite among Indonesian gamers and is also populated by gamers with large spendings. 41% of gamers, in fact, are willing to buy in-game items in the strategy genre.

The cost of making mobile games is much cheaper than online PC games.

Mobile games are also generally cheaper to produce than PC games. As a comparison, creating mobile games usually cost around $1 thousand USD, while the expenses of making PC games can cost 10 times more than that. Therefore, it is not surprising that most game developers in Indonesia opt to create and develop mobile games.

The potential of the gaming industry is also recognized by the Indonesian government. The government often supports local gaming companies by holding various gaming-related events, such as Game Prime. Additionally, a lot of ministers, such as the Minister of Communication and Information and the Minister of Tourism and Creative Economy, have expressed their support towards the local gaming and esports industry. Prior to this, Indonesia was also successful in lobbying ASEAN countries to include esports as an exhibition sport at the 2018 Asian Games and declaring esports as a legitimate sport (winners will get medals) at the 2019 SEA Games.

Game Industry in Singapore

According to Darang S. Candra, Director for Southeast Asia Research, Niko Partners, the spendings of gamers in Southeast Asian countries is directly proportional to the Gross Domestic Product (GDP) per capita in each country. Countries with relatively low GDP per capita, such as Indonesia and the Philippines, have an Average Revenue per User (ARPU) of around $4-6 USD for PC games and $5-8 USD for mobile games. On the other hand, countries with higher GDP per capita, such as Malaysia and Singapore, have higher ARPU, reaching $15-20 USD for PC games and $25-60 USD for mobile games.

Singapore, for many years, has been considered the economic center or powerhouse in Southeast Asia. Although Singapore’s population is far smaller than Indonesia’s, its internet penetration rate is exponentially superior, reaching 80% of the total population. Furthermore, 60% of Singaporean internet users are classified as gamers who spend over $189 USD on games every year. English is also one of the primary languages used in Singapore, which is why Western games also have a relatively high penetration rate in the country.

The Singapore government itself has been interested in developing its gaming industry since 1995. The government has supported startups in the gaming sector while also opening and financing various research labs dedicated to gaming. They also set strict regulations, especially those related to piracy. Heavy penalties and charges were imposed to discourage people from using pirated products. As a result, foreign established gaming companies became highly interested in investing and opening offices there. Ubisoft and Electronic Arts, for instance, have opened branches in Singapore.

Translated by: Ananto Joyoadikusumo. Featured image via: Unsplash.com.

KFC Gaming Adakan Turnamen Esports Game Retro, Perusahaan Anak Tencent Buat Kantor Baru di Seattle

KFC Gaming mengumumkan bahwa mereka akan mengadakan turnamen esports dari game-game retro seperti Tetris dan Space Invaders Extreme pada Rabu, 23 Juni 2021. Pada minggu lalu, The Sims 4 juga mengungkap bahwa mereka akan mengadakan festival musik dalam game. Sementara itu, Miracle Gates Entertainment dari Bali bakal meluncurkan game visual novel horror barunya pada 24 Juli 2021.

The Sims 4 Bakal Adakan Festival Musik Dalam Game

The Sims 4 akan mengadakan event dalam game baru, yaitu Sims Session. Event tersebut merupakan festival musik untuk merayakan Simlish, bahasa yang digunakan dalam The Sims. Dari 29 Juni 2021 sampai 7 Juli 2021, Sims Anda akan bisa mengunjungi festival tersebut dan mendengarkan performa dari sejumlah musisi ternama seperti Bebe Rexha, Glass Animals, Joy Oladokun, dan lain sebagainya. Para musisi tersebut akan membawakan lebih dari 500 lagu yang liriknya sudah digubah menjadi Simlish. Untuk mengubah lirik lagu dari ratusan lagu, The Sims bekerja sama dengan para musisi selama bertahun-tahun, menurut laporan Pocket-Lint.

Game Visual Novel Buatan Studio Bali, Grey Lucidity, Rilis Pada 24 Juli 2021

Miracle Gates Entertainment, studio game indie asal Bali, akan meluncurkan Grey Lucidity, game visual novel horror, di Steam pada 24 Juli 2021. Game tersebut mengambil setting lokasi di kota fiksi bernama Roseberry Town. Di sana, terdapat fasilitas rahasia pemerintah yang disamarkan sebagai rumah sakit. Satu waktu, virus berbahaya menyebar ke kota. Orang-orang yang terinfeksi virus itu akan bertingkah layaknya kesurupan, yang menyebabkan warga menjadi ketakutan. Berusaha menutupi kejadian ini, pemerintah lalu memerintahkan pihak militer untuk menyapu bersih kota tersebut.

Grey Lucidity memasukkan elemen horror ke dalam game visual novel.

Dalam Grey Lucidity, Anda akan berperan sebagai Cassandra, anak perempuan dari dokter bernama Larry Brigham yang berhasil selamat dari militer. Sebagai Cassandra, Anda harus bisa melarikan diri keluar kota dan mencari tahu kebenaran dari apa yang sebenarnya terjadi. Menurut laporan IGN, Grey Lucidity menawarkan beberapa ending. Keputusan pemain akan menentukan akhir cerita Caasandra di Roseberry Town.

KFC Gaming Gelar Turnamen Esports dari Game Retro

KFC Gaming menyelenggarakan turnamen esports dari game-game retro. Sayangnya, turnamen itu tidak terbuka untuk umum. Turnamen tersebut hanya bisa diikuti oleh 16 kreator konten yang mendapatkan undangan dari KFC Gaming. Total hadiah yang ditawarkan dari kompetisi tersebut mencapai GBP30 ribu. Kreator yang berhasil keluar sebagai juara akan mendapatkan GBP10 ribu dan mesin arcade khusus dari KFC. Mesin yang dinamai Hot Winger 64 ini dilengkapi dengan dua controllers dan dapat digunakan untuk memainkan sejumlah game retro populer.

Babak pertama dari kompetisi ini digelar pada 25 Juni 2021 lalu. Di sana, 16 peserta saling beradu Tetris. Sementara babak kedua akan diadakan pada 2 Juli 2021. Ketika itu, para peserta akan memainkan Space Invaders Extreme. Babak ketiga digelar pada 9 Juli 2021 dan akan mempertandingkan game yang ditentukan oleh komunitas, menurut laporan Pocket-Lint.

Perusahaan Anak Tencent, TiMi Studio, Buka Kantor Baru di Seattle

Salah satu developer game terbesar di Tiongkok baru saja membuka kantor baru di Seattle, Amerika Serikat. Perusahaan anak Tencent, TiMi Studio mengumumkan bahwa mereka akan membuka studio baru di AS. Studio tersebut akan dipimpin oleh dua veteran industri gaming, yaitu Scott Warner — Lead Designer untuk Halo 4 dan Mercernaries 2: World in Flames — dan Rosi Zagorcheva — Senior Director dari Star Wars: Battlefront, Battlefield 4, dan Battlefield V, lapor GamesBeat.

Studio baru yang dinamai TiMi Seattle ini punya tugas untuk membuat game AAA ber-genre FPS untuk PC dan konsol. Saat ini, studio tersebut telah memiliki 25 pegawai. Tak hanya itu, mereka juga secara aktif merekrut pegawai dari kawasan Seattle dan Los Angeles, seperti yang dilaporkan oleh GeekWire.

EA Akuisisi Playdemic Senilai US$1,4 Miliar

Electronic Arts akan membeli Playdemic dari WarnerMedia senilai US$1,4 miliar. Didirikan pada 2010, Playdemic dikenal berkat game buatannya, Golf Cash, yang dirilis untuk mobile dan di Facebook. Kepada GamesIndustry, EA mengatakan bahwa mereka tidak berencana untuk memecat karyawan dari Playdemic setelah akuisisi. Playdemic adalah perusahaan besar keempat yang EA beli sejak Desember 2020. Sebelum ini, mereka telah mengakuisisi Codemasters senilai US$1,2 miliar.

Golf Cash adalah game terpopuler dari Playdemic.

“Playdemic punya tim yang berpengalaman dan telah bekerja bersama sejak 2014,” kata perwakilan EA. “Mereka adalah ahli dalam membuat game mobile dan kami tidak sabar untuk bekerja bersama serta belajar dari tim mereka.”

Cara Topup Item atau Diamond Game Online dengan Ovo, GoPay atau Pulsa

Cara topup item atau diamond game online sekarang sudah semudah membeli pulsa, bahkan di beberapa platform Anda sudah bisa menggunakan pulsa sebagai alat pembayaran, di samping metode pembayaran eWallet semacam Ovo, GoPay dan Dana.

Continue reading Cara Topup Item atau Diamond Game Online dengan Ovo, GoPay atau Pulsa

Peran Orang Tua dan Kebiasaan Bermain Game Menurut Orang Tua dalam Lingkar Esports

Berkat keberadaan smartphone, bermain game kini menjadi semakin mudah. Anda tidak perlu lagi harus memiliki konsol seharga jutaan atau PC gaming senilai belasan atau bahkan puluhan juta untuk bisa bermain game. Dengan smartphone berharga Rp1-2 juta pun, Anda sudah bisa menggunakannya untuk bermain game. Tak hanya itu, banyak mobile game yang bisa dimainkan secara gratis. Rendahnya entry barrier ini membuat semakin banyak anak dan remaja yang hobi bermain game. Dan tidak ada yang salah dengan itu. Toh, riset membuktikan bahwa game juga punya dampak positif.

Sekarang, orang tua juga sebaiknya tidak sepenuhnya melarang anak bermain game. Pasalnya, bermain game kini mulai menjadi kegiatan sosial. Menurut laporan Accenture, 84% gamers menjadikan game sebagai alat untuk bersosialisasi. Sementara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyebutkan bahwa main bareng alias mabar bisa membuat hubungan pertemanan menjadi semakin erat. Jadi, melarang anak untuk bermain game saat ini sama seperti melarang anak keluar rumah untuk bermain bersama teman-temannya dulu.

Lalu, apa yang harus orang tua lakukan agar hobi bermain game sang buah hati bisa tersalurkan dengan baik?

Membantu Anak Mengatur Waktu Bermain

Ketika mendapati anaknya senang bermain game, orang tua biasanya khawatir sang anak akan menghabiskan banyak waktunya untuk bermain game dan menjadi malas belajar. Padahal, menurut Yohannes Siagian, CEO Morph Team yang juga pernah menjabat sebagai kepala sekolah SMA 1 PSKD, game bukan alasan mengapa anak menjadi malas belajar.

“Yang bikin anak malas belajar bukan game, tapi sistem belajar yang membosankan dan materi yang disajikan dengan cara yang kaku dan tidak menarik minat belajar murid,” kata pria yang akrab dengan panggilan Joey ini saat dihubungi melalui pesan singkat. “Sebenarnya, game itu banyak positifnya kok, seperti mengajar cara berpikir strategis, menggunakan logika, mengidentifikasi masalah, problem solving, dan lain sebagainya.”

Lebih lanjut dia mengatakan, “Namun, sama seperti semua hal, kalau dilakukan secara berlebihan, bermain game bisa menjadi negatif. Kuncinya sebenarnya ada di orang tua: apakah orang tua bisa mendampingi anak, apakah bisa mengajarkan disiplin ke anak, dan seterusnya…”

Orang tua sebaiknya mendampingi anak ketika bermain game. | Sumber: Deposit Photos

Sementara itu, studi berjudul Role of Parental Relationship in Pathological Gaming menyimpulkan bahwa ada hubungan antara kondisi keluarga dengan kebiasaan anak bermain game. Para pathological gamers biasanya merasa, kondisi keluarga mereka kurang menyenangkan. Yang dimaksud dengan pathological gamers dalam jurnal itu adalah para pemain game muda yang menunjukkan gejala patologis berdasarkan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder, 4th Edition (DSM-IV), seperti menghabiskan banyak waktu untuk bermain game, mengalami gejala withdrawal ketika tak bermain game, mengacuhkan tanggung jawab lain demi bermain game, berbohong tentang lama waktu yang dihabiskan untuk bermain game, serta kesulitan untuk berhenti main game.

Dalam jurnal tersebut juga dijelaskan bahwa kebanyakan anak dan remaja ingin hidup di lingkungan keluarga yang menyenangkan. Dan ketika mereka merasa bahwa kondisi keluarga mereka tidak ideal — misalnya, sering terjadi pertengkaran di rumah — mereka cenderung ingin “melarikan diri” ke dunia game. Dan bagi gamers, hubungan yang mereka jalin di dunia game sama pentingnya dengan relasi mereka di dunia nyata. Pasalnya, game online memang mendorong para pemainnya untuk berinteraksi dengan satu sama lain.

Sementara itu, menurut studi Factors Associated with Internet Addiction among Adolescents, remaja yang merasa tidak puas dengan kehidupan mereka di rumah memang punya potensi lebih besar untuk menjadi kecanduan internet. Hal yang sama juga berlaku untuk para gamers. Apalagi ketika teman-teman yang mereka kenal di dunia game bisa membuat mereka merasa nyaman. Rasa nyaman itu akan membuat mereka ingin terus bermain game. Hal ini justru bisa memperburuk persepsi mereka akan keadaan keluarga mereka, yang mendorong mereka untuk menghabiskan lebih banyak waktu di dunia game; layaknya lingkaran setan yang tak pernah berakhir.

Salah satu hal yang bisa orang tua lakukan untuk membatasi waktu bermain game anak adalah dengan memasang program/aplikasi parental control di komputer/smartphone anak. Misalnya, Google menyediakan aplikasi parental control bernama Family Link yang bisa diunduh di Play Store dan App Store. Aplikasi itu menawarkan berbagai fitur. Salah satunya adalah membatasi waktu yang bisa anak habiskan untuk menggunakan smartphone. Melalui aplikasi ini, orang tua bahkan bisa menentukan durasi waktu yang bisa anak habiskan saat menggunakan aplikasi atau bermain game tertentu. Selain itu, Family Link juga menawarkan berbagai fitur lain, termasuk membatasi pembelian aplikasi atau in-app item.

Family Link merupakan aplikasi parental control di smartphone.

Namun, menurut Joey, sekadar memasang program/aplikasi parental control di smartphone atau komputer anak saja tidak cukup. Karena, parental control hanya berfungsi untuk membatasi gerak-gerik anak di dunia online, tapi tidak memberikan edukasi pada sang anak.

“Jadi, begitu anaknya masuk ke device yang tidak ada parental control, atau sudah keluar dari rumah, dia malah nggak tahu gimana caranya untuk jaga diri dan memilih apa yang bisa dia mainkan atau dia lihat,” ujar Joey. “Yang paling benar adalah orang tua mendampingi dan melibatkan diri dalam dunia anaknya. Bukan sekadar berada di luar dan menegur tanpa paham sebenarnya apa yang anak lakukan. Banyak orang tua yang cuma tahu anaknya pegang device atau main game, tapi tidak tahu game apa yang dimainkan anak atau konten apa yang dia tonton.”

Mengatur Uang yang Dihabiskan Anak Dalam Game

Pernahkah Anda melihat video viral tentang seorang bapak-bapak tengah memarahi kasir Indomaret karena membiarkan anaknya menghabiskan Rp800 ribu untuk topup game? Menariknya, fenomena ini tidak hanya terjadi di Tanah Air tercinta, tapi juga di negara-negara maju seperti Singapura dan Amerika Serikat. Kepada Channel News Asia, seorang gamer muda asal Singapura — yang tidak mau disebutkan namanya — mengaku bahwa dia pernah menghabiskan  uang orang tuanya sebesar SGD20 ribu (sekitar Rp10,8 juta) membeli lootbox dalam game. Dia bahkan sempat mencuri demi menutup utang akibat kecanduannya dalam membeli lootbox.

Seiring dengan semakin populernya game free-to-play, semakin banyak developer yang menjual item dalam game sebagai sumber pemasukan. Namun, terkadang, developer tidak menjual item secara langsung, tapi menggunakan sistem lootbox. Jadi, gamers bisa membeli lootbox dalam game, tapi item yang didapatkan dari lootbox itu ditentukan secara random. Selain itu, developer juga terkadang menggunakan sistem gacha. Baik sistem gacha maupun lootbox sering dibandingkan dengan judi dalam dunia nyata karena nyatanya memang judi. Dalam game gacha atau lootbox, pemain memang tidak tahu item/karakter apa yang akan mereka dapatkan. Jika tidak hati-hati, gamers — khususnya yang masih muda — bisa menghabiskan banyak uang tanpa sadar demi mendapatkan item/karakter yang mereka inginkan.

Hal itulah yang menjadi alasan mengapa beberapa negara membuat regulasi khusus untuk game gacha atau lootbox. Misalnya, Belgia melarang keberadaan game lootbox sama sekali, sementara Belanda hanya melarang game lootbox dengan tipe-tipe tertentu. Di Asia, baik Tiongkok maupun Jepang tidak melarang keberadaan game gacha atau lootbox. Hanya saja, pemerintah mengharuskan developer untuk memberitahu pemain tentang persentase untuk mendapatkan item-item dalam game. Semakin rare sebuah item, semakin kecil pula persentase untuk mendapatkan item tersebut. Tak jarang, persentase untuk mendapatkan item/karakter rare kurang dari satu persen.

Sayangnya, Indonesia tidak punya regulasi khusus terkait game gacha atau lootbox. Karena itulah, peran orang tua dalam memastikan anak tidak menghambur-hamburkan uang di game justru menjadi semakin penting. Untuk itu, orang tua harus bisa menjalin komunikasi yang baik dengan anak. Langkah pertama yang bisa orang tua lakukan adalah mencari tahun mengapa sang anak senang untuk bermain game yang sedang dia mainkan. Dari sana, orang tua bisa membuka diskusi tentang berapa banyak uang yang boleh anak habiskan untuk bermain game. Orang tua juga bisa menjadikan game sebagai insentif agar anak mau lebih serius di sekolah. Ketika saya masih duduk di bangku SD dan SMP, orang tua saya sering berjanji untuk membelikan game/konsol baru jika saya berhasil masuk dalam peringkat tiga besar di kelas.

Lootbox sering dikaitkan dengan judi di dunia nyata. | Sumber: Extreme Tech

Orang tua juga bisa mulai mencari tahu mengapa anak rela menghabiskan uang dalam game. Secara psikologis, memang ada beberapa alasan mengapa gamers mau membeli item dalam game. Bagi gamers muda, salah satu alasan utama mereka adalah demi bisa berbaur dengan teman-teman mereka. Contohnya, di Amerika Serikat, murid SMP bisa dirisak hanya karena menggunakan default skin di Fortnite. Padahal, game dari Epic Games itu bisa dimainkan secara gratis. Meskipun begitu, tak bisa dipungkiri, mekanisme dalam game memang dibuat sedemikian rupa untuk mendorong pemain membeli lootbox atau mendapatkan item/karakter yang mereka mau melalui gacha.

“Yang kami khawatirkan adalah banyak gamers muda yang sudah memainkan game gacha atau lootbox. Hal ini bisa membuat mereka terbiasa dengan konsep judi,” kata Nicholas Khoo, pendiri dari Singapore Cybersports and Online Gaming Association dan anggota dari National Council on Problem Gambling (NCPG), seperti dikutip dari Channel News Asia. Tak hanya itu, di game gacha atau lootbox, persentase gamers untuk “menang” — mendapatkan item yang mereka inginkan — lebih besar dari kemungkinan mereka untuk menang judi di kasino. Dan hal ini bisa membuat mereka punya persepsi yang salah, menganggap bahwa kemungkinan untuk menang di game kasino juga sama besar seperti persentase menang di game gacha/lootbox.

Menjadi Orang Tua dari Gamers Profesional

Pesatnya perkembangan industri game memunculkan industri yang sama sekali baru, yaitu esports. Sekarang, esports tidak hanya menjadi semakin populer di kalangan generasi muda, tapi juga diakui oleh pemerintah dari berbagai negara, termasuk Indonesia. Karena itu, tidak heran jika semakin banyak generasi muda yang bercita-cita untuk menjadi pemain esports. Bagaimana rasanya menjadi orang tua dari gamers profesional, yang kerjaannya memang untuk bermain game? Demi menjawab pertanyaan itu, kami lalu menghubungi Ari Susanto, ayah dari dua pemain profesional, yaitu Kevin “xccurate” Susanto dan Jason “f0rsakeN” Susanto.

“Secara teori, tentu banyak orang tua yang akan lebih mementingkan pendidikan anaknya daripada game,” aku Ari ketika dihubungi melalui pesan singkat, “Karena, buat para orang tua, image dari game itu sendiri memang sudah jelek. Tapi, di zaman milenial, sudah saatnya paradigma orang tua tersebut diubah. Orang tua justru harus bisa memanfaatkan situasi ini.” Dia lalu bercerita tentang pengalamannya dalam mendidik anak-anaknya. “Dulu, saya selalu katakan pada anak saya bahwa dia boleh bermain game sesukanya. Dengan catatan, dia harus berprestasi atau bisa menyeimbangkan bermain dengan sekolahnya. Kalau sampai nilai ulangannya jelek, ada konsekuensinya.”

Pak Ari Susanto dengan anak-anaknya. | Sumber: Ari Susanto

Ari menjelaskan, membiarkan anak bermain game bukan berarti orang tua melepaskan anak begitu saja. Orang tua tetap harus mengawasi kegiatan gaming sang anak. Dia mengungkap betapa pentingnya bagi orang tua untuk menanamkan rasa tanggung jawab pada anak. “Apabila anak kita sudah punya tanggung jawab, mereka akan belajar dengan sungguh-sungguh supaya hobi game mereka juga terpenuhi,” katanya. “Untungnya, anak-anak om semuanya tahu akan tanggung jawab dan mereka juga bisa berprestasi.”

Menurut Ari, orang tua harus aktif mengawasi dan mengingatkan anak agar anak tidak menjadi kecanduan game atau terjerumus dalam hal-hal negatif lainnya. “Penting sekali bagi anak untuk mengerti antara hobi dan kecanduan,” ungkapnya. Dia menyebutkan, diskusi antara anak dan orang tua terkait hobi bermain game sudah bisa dilakukan sejak anak masih duduk di bangku SD.

Hal yang sama diungkapkan oleh Joey, yang menyebutkan bahwa selama anak sudah bisa memegang device dan bisa bermain game, walau hanya game anak, maka anak sudah bisa diajak berdiskusi tentang hobinya bermain game. Yang penting, ungkap Joey, orang tua bisa menyesuaikan cara penyampaian mereka sesuai dengan usia dan tingkat pemahaman anak.

Dua bersaudara Susanto: Kevin “xccurate” Susanto dan Jason “f0rsakeN” Susanto. | Sumber: Revival TV

Menjadi pemain profesional bukanlah hal mudah. Kemungkinan seseorang bisa berhasil sebagai gamer profesional di Indonesia kurang dari 1 satu persen. Karena itu, orang tua harus paham kapan mereka harus mendukung cita-cita anak untuk menjadi pemain esports.

“Memang jadi pro player itu tidak mudah dan butuh kerja keras,” kata Ari. “Kita sebagai orang tua juga dituntut untuk mengerti kondisi anak kita: apakah dia memang berbakat untuk menjadi pro player atau sekedar hobi saja. Nah, untuk tahu tentang hal itu, kita bisa membiarkan mereka bermain di komunitas. Setiap game yang anak geluti pasti punya komunitas masing-masing. Biarkan anak bermain di komunitas sambil diawasi. Kalau menurut orang tua anaknya memang jago dan ada tawaran untuk masuk klub esports, sudah waktunya orang tua mendukung.”

Ketika ditanya tentang dukungan apa yang orang tua bisa berikan pada anak yang berkarir sebagai pemain profesional, Ari menjawab, “Ikut menonton semua pertandingan anak, selalu kasih support dan selalu memberikan masukan akan apa saja kekurangan dan kesalahan yang harus diperbaiki. Jadi, anak menjadi semakin disiplin.” Sambil tertawa dia bercerita, ketika anak-anaknya hendak berlaga, sebagai orang tua, dia juga ikut merasa tertekan. “Mereka tidak tahu kalau saat mereka ikut pertandingan, yang stres dan asam lambung itu bapaknya, karena ikut tegang.”

Sementara itu, Carol Bird, ibu dari Fred “Freddybabes” Bird, pemain Gwent profesional, mengakui, memang ada banyak orang tua yang punya pandangan negatif akan game. Menurutnya, hal ini terjadi karena game adalah fenomena yang relatif baru. Namun, dia merasa, orang tua harus mulai sadar bahwa game itu tidak melulu memberikan dampak buruk. Ada berbagai hal positif yang bisa didapat dari bermain game.

“Menjadi pemain esports adalah karir yang serius, begitu juga dengan menjadi streamer, caster, atau komentator esports,” ujar Carol pada British Esports Association. “Orang tua tidak punya masalah ketika anak-anak mereka ingin menjadi pemain sepak bola atau TV presenter. Namun, masih ada stigma yang melekat pada esports. Seolah-olah, bermain game hanyalah hobi yang menghabiskan waktu.” Lebih lanjut, dia berkata, “Jika anak Anda adalah seorang gamer berbakat, dukung dan dorong mereka, tapi jangan memaksa mereka. Percayalah pada anak Anda.”

Mike Atkins, ayah dari pemain Brawlhalla, Bill “Lanz” Atkins menambahkan, “Saya rasa, saat anak menunjukkan keteguhannya, orang tua harus mendukung sang anak, sama seperti ketika orang tua mendukung anak yang punya hobi berolahraga.” Dia menjelaskan, dari bermain game, seorang pemain profesional juga bisa mendapatkan berbagai kemampuan yang bisa digunakan ketika dia bekerja di bidang pekerjaan lain. “Menjadi pemain esports membantu Bill untuk mengatur waktunya,” katanya, memberikan contoh. “Dan ketika kalah, dia harus belajar tentang bagaimana cara menerima kekalahan dan mengubahnya menjadi pengalaman yang positif.”

Kesimpulan

Manusia cenderung takut sesuatu yang baru, sesuatu yang tidak mereka mengerti. Karena itu, ketika muncul inovasi baru, tidak semua orang akan langsung bersedia menggunakan inovasi tersebut. Terkadang, setelah inovasi baru diadaptasi sekalipun, masih ada kelompok yang takut akan dampak buruk dari inovasi tersebut. Waspada akan dampak buruk yang bisa ditimbulkan oleh inovasi baru  — baik internet, smartphone, atau game — sebenarnya bukan hal yang buruk. Segala sesuatu di dunia memang biasanya punya dampak positif dan negatif. Namun, hal itu bukan berarti kita bisa berlarut-larut dalam rasa takut dan terus kukuh berpegang pada pola pikir lama tanpa berusaha untuk mengubahnya.

Begitu juga dengan game. Walau game masih punya stigma buruk, khususnya di kalangan orang tua, tak bisa dipungkiri bahwa game kini tidak hanya berfungsi sebagai media hiburan, tapi juga sebagai alat komunikasi. Tentu saja, orang tua punya hak untuk melarang anaknya bermain game jika mereka memang tidak suka. Namun, ketika bermain game juga menjadi wadah untuk mendekatkan diri dengan teman, apakah bijak jika orang tua melarang anak bermain game sama sekali?

App Annie & IDC: 1 Tahun Setelah Pandemi, Gamers Tetap Doyan Belanja

Pandemi COVID-19 justru memberikan dampak positif pada industri game. Selain mendorong penjualan konsol, hardware, dan game, pandemi juga membuat para gamers menghabiskan lebih banyak waktunya untuk bermain game. Menariknya, meskipun kehidupan sudah mulai kembali normal di beberapa negara, tren yang muncul karena pandemi — seperti mengunduh lebih banyak game dan menonton streaming game lebih lama — juga tetap bertahan.

Mobile Jadi Pendorong Pertumbuhan Industri Game

Mobile game menjadi pendorong utama pertumbuhan spending konsumen di digital game. Menurut laporan App Annie dan IDC, total belanja dari para mobile gamers mencapai US$120 miliar, 2,9 kali lipat dari total belanja gamers di PC/Mac, yang hanya mencapai US$41 miliar. Sementara itu, total belanja dari pemain konsol mencapai US$39 miliar dan konsol handheld US$4 miliar.

Untuk segmen mobile game, Asia Pasifik masih menjadi kawasan dengan kontribusi terbesar pada total spending gamers. Sekitar 50% dari total belanja mobile gamers berasal dari Asia Pasifik. Namun, dari persentase kontribusi Asia Pasifik tidak bertambah. Alasannya karena total belanja mobile gamers di kawasan lain juga mengalami kenaikan. Di kawasan Amerika Utara dan Eropa Barat, dua negara yang menjadi pendorong pertumbuhan spending mobile gamers adalah Amerika Serikat dan Jerman. Walau Asia Pasifik memberikan kontribusi besar pada total spending mobile game, total belanja dari gamers PC/Mac justru mengalami penurunan, sekitar 4%. Hal ini terjadi karena banyak warung internet yang tutup akibat pandemi.

Total spending gamers berdasarkan platform. | Sumber: App Annie

Secara global, total belanja di segmen konsol diperkirakan akan mengalami kenaikan berkat peluncuran PlayStation 5 dan Xbox Series X/S pada akhir tahun 2020. App Annie dan IDC juga menyebutkan, segmen konsol punya potensi besar untuk tumbuh di kawasan Asia Pasifik. Pasalnya, Xbox Series X baru saja diluncurkan di Tiongkok pada 10 Juni 2021 dan PlayStation 5 bahkan telah dirilis pada 15 Mei 2021. Sementara di segmen konsol handheld, saat ini, Nintendo Switch Lite menjadi satu-satunya konsol yang mendorong pertumbuhan spending di segmen ini. Memang, pada September 2020, Nintendo telah mematikan 3DS. Meskipun begitu, e-shop dari 3DS masih bisa diakses oleh kebanyakan gamers.

Di Amerika Serikat, penjualan konsol meningkat pesat pada April 2020, setelah pemerintah mengumumkan bahwa mereka akan melakukan lockdown. Bersamaan dengan meningkatnya penjualan konsol, semakin banyak pula orang yang mengunduh aplikasi pendamping — seperti Steam, PlayStation App, Nintendo Switch, dan Xbox. Tren ini muncul karena aplikasi pendamping memudahkan para gamers untuk mengatur akun game PC/konsol mereka melalui smartphone. Selain itu, aplikasi pendamping juga punya fitur sosial sehingga para gamers bisa mengobrol dengan teman-teman mereka via aplikasi tersebut. Ada juga aplikasi yang menawarkan fitur cloud gaming. Sehingga para gamers bisa memainkan game konsol mereka via smartphone.

Fitur Cross-Platform Buat Game Jadi Populer

Salah satu kebiasaan gamers yang tetap bertahan satu tahun setelah pandemi COVID-19 muncul adalah kebiasaan untuk mengunduh mobile game. Pada Q1 2021, jumlah download mobile game per minggu mencapai 1 miliar game setiap minggunya, naik 30% jika dibandingkan pada total download pada Q4 2019. Total spending mobile gamers di periode yang sama juga mengalami kenaikan. Pada Q1 2021, total spending para gamers mencapai US$1,7 miliar per minggu, naik 40% dari masa sebelum pandemi. Hal ini membuat publisher tertarik untuk meluncurkan game mereka di mobile untuk menumbuhkan jumlah pemain mereka. Saat ini, beberapa mobile game dengan pemasukan terbesar antara lain Lineage M, Lords Mobile, Roblox, dan PUBG Mobile.

Total download dan spending per minggu di tingkat global. | Sumber: App Annie

Sama seperti segmen mobile game, segmen PC gaming juga mengalami pertumbuhan selama pandemi. Hal ini tercermin dari meningkatnya jumlah concurrent users dan players di Steam. Sejak Oktober 2019 sampai April 2020, jumlah concurrent users harian di Steam mengalami peningkatan 46%, menjadi 24,5 juta orang. Dan jumlah concurrent players harian Steam bertambah 61%, menjadi 8,2 juta orang. Sementara para periode Oktober 2019-Maret 2021, jumlah concurrent users harian Steam mencapai 26,85 juta orang — naik 46% — dan jumlah concurrent players mencapai 7,4 juta orang — dengan tingkat kenaikan 60%. Hal ini menunjukkan, peningkatan jumlah pengguna dan pemain di Steam yang terjadi selama pandemi masih akan bertahan.

Lalu, apa yang membuat game menjadi populer? Menurut App Annie dan IDC, fitur real-time online — seperti PvP — merupakan fitur yang banyak ditemui di game-game populer, terlepas dari platform game tersebut. Dengan kata lain, banyak gamers yang ingin bisa bermain dengan gamer lain. Tampaknya, bermain game membantu para gamers untuk tetap terhubung dengan teman-teman mereka dan mengatasi perasaan terisolasi akibat pandemi. Fitur lain yang menjadi populer adalah cross-play, fitur yang memungkinkan gamers untuk memainkan satu game di beberapa platform. Contohnya, pemain bisa memainkan sebuah game di PC dan melanjutkannya di mobile atau sebaliknya.

Jumlah conccuret users dan players di Steam. | Sumber: IDC

Salah satu contoh game yang bisa mengeksekusi fitur cross-play dengan baik adalah Genshin Impact. Memang, ketika diluncurkan pada September 2020, developer miHoYo langsung merilis game tersebut di beberapa platform sekaligus: PC, konsol, dan mobile. Dan keputusan miHoYo untuk mengutamakan fitur cross-play — seperti cross-save dan co-op mode antar platform — menjadi salah satu alasan mengapa Genshin Impact berhasil menjadi populer secara global.

Contoh game lain yang punya fitur cross-platform adalah Among Us. Pada 2020, hanya dalam beberapa bulan, jumlah concurrent players dari game tersebut meningkat drastis. Pada Januari 2020, jumlah concurrent players dari Among Us kurang dari seribu orang. Sementara pada September 2020, angka itu naik menjadi lebih dari 400 ribu orang. Tak hanya itu, Among Us juga sukses di mobile. Buktinya, game itu pernah menjadi game dengan jumlah download terbanyak di Amerika Serikat, Inggris, dan Korea Selatan.

Durasi Menonton Streaming Game Naik

Pandemi tidak hanya membuat orang-orang menghabiskan lebih banyak waktu mereka untuk bermain game, tapi juga untuk menonton siaran konten gaming. Hingga April 2021, tingkat engagement pengguna dari Twitch dan Discord terus mengalami kenaikan. Sementara di Tiongkok, jumlah waktu yang orang-orang habiskan untuk menonton konten di platform streaming game seperti bilibili, Huya, dan DouyuTV, juga naik. Kenaikan terbesar terjadi pada Q1 dan Q2 2020. Memang, ketika itu, gelombang pertama COVID-19 telah muncul, memaksa orang-orang untuk tidak keluar rumah.

Jumlah waktu yang dihabiskan untuk menonton konten game per bulan. | Sumber: App Annie

Seiring dengan bertambahnya waktu yang dihabiskan orang-orang untuk menonton konten game, maka besar uang yang mereka keluarkan pun ikut bertambah. Belakangan, total spending dari pengguna Twitch dan Discord menunjukkan kenaikan yang stabil. Pada Q4 2020, Twitch berhasil masuk dalam daftar 10 aplikasi non-gaming dengan total spending terbesar. Dan pada Q1 2021, mereka bahkan naik ke peringkat 8.

Sumber header: Review Geek