Google Stadia Bakal Sajikan 12 Game di Hari Pertama Peluncurannya

Konsumen yang telah membeli Stadia Founder’s Edition tentu sudah tidak sabar lagi menanti tanggal 19 November 2019, tanggal yang sudah Google tunjuk sebagai hari peluncuran layanan cloud gaming-nya tersebut. Bagi yang menggunakan perangkat Android, mereka bahkan sudah bisa mengunduh aplikasi Stadia dari Play Store lebih awal.

Yang menjadi pertanyaan banyak orang, apa saja game yang bisa pelanggan Stadia nikmati mulai hari pertama? Google sekarang sudah punya daftar lengkapnya. Total ada 12 game yang siap dimainkan di hari H peluncuran Google Stadia, berikut rinciannya:

  • Assassin’s Creed Odyssey
  • Destiny 2: The Collection
  • GYLT
  • Just Dance 2020
  • Kine
  • Mortal Kombat 11
  • Red Dead Redemption 2
  • Thumper
  • Tomb Raider: Definitive Edition
  • Rise of the Tomb Raider
  • Shadow of the Tomb Raider: Definitive Edition
  • SAMURAI SHODOWN

Destiny 2: The Collection

Perlu dicatat, gamegame di atas bukan berarti bisa langsung kita nikmati secara cuma-cuma setelah berlangganan Stadia. Kita tetap harus membelinya terlebih dulu, dan Google sendiri menjual digital copy-nya melalui aplikasi Stadia. Lalu bagaimana dengan janji “akses gratis ke sejumlah game” yang dijanjikan paket Stadia Pro (yang termasuk dalam bundel Stadia Founder’s Edition)?

Kuncinya ada pada kata “sejumlah”, dan dari 12 judul di atas, hanya satu yang dapat dinikmati secara cuma-cuma oleh pelanggan Stadia Pro, yakni Destiny 2. Namun tentu saja jumlahnya bakal bertambah seiring Google melengkapi katalog game Stadia.

Pasca peluncuran Stadia, Google juga sudah menyiapkan 14 game yang akan menyusul sebelum pergantian tahun. Berikut daftar lengkap game Stadia yang akan tersedia di tahun ini, tapi tidak pada hari H perilisan Stadia:

  • Attack on Titan 2: Final Battle
  • Borderlands 3
  • Darksiders Genesis
  • DRAGON BALL XENOVERSE 2
  • Farming Simulator 19
  • FINAL FANTASY XV
  • Football Manager 2020
  • Ghost Recon Breakpoint
  • GRID
  • Metro Exodus
  • NBA 2K20
  • RAGE 2
  • Trials Rising
  • Wolfenstein: Youngblood

Sayang sekali saya tidak menemukan Baldur’s Gate 3 tercantum pada daftar. Namun kita juga tak boleh sepenuhnya menyalahkan Google mengingat game tersebut memang belum selesai dibuat oleh developer-nya Larian Studios. Di samping itu, judul-judul lain yang sangat diantisipasi seperti Cyberpunk 2077, WatchDogs: Legion, atau Doom: Eternal baru akan menyusul ke Stadia tahun depan.

Sumber: Google.

Jelang Peluncurannya, Aplikasi Google Stadia Sudah Bisa Diunduh dari Play Store

Peluncuran resmi layanan cloud gaming Google Stadia hanya tinggal hitungan hari. Tepat tanggal 19 November nanti, konsumen di 14 negara yang sudah membeli Stadia Founder’s Edition akhirnya dapat menikmati lebih dari 30 game AAA di beragam perangkatnya.

Maksud kata “beragam” di sini tentu mencakup perangkat Android dan iOS. Untuk pengguna Android, aplikasi Google Stadia bahkan sudah bisa mereka unduh sekarang juga melalui Play Store. Mereka bisa mengenali aplikasinya terlebih dulu sebelum menikmati suguhannya tidak lama lagi.

Selain untuk mulai bermain maupun membeli game baru yang tersedia di katalognya, aplikasi ini rupanya juga bakal memberikan akses ke semacam forum komunitas pengguna Stadia. Konten di segmen ini tentu masih akan sangat terbatas mengingat Stadia memang belum tersedia di banyak negara, dan perangkat yang didukung sejauh ini juga masih bisa dihitung jari.

Deskripsi singkat di halaman Play Store-nya menjelaskan bahwa game dapat dimainkan sesaat setelah dibeli, dengan catatan perangkat tersambung ke jaringan Wi-Fi. Saat ada patch atau update baru untuk setiap game, pelanggan tetap bisa memainkannya tanpa harus menunggu lama, sebab server Stadia yang akan mengurusi semuanya di belakang layar.

Fakta menarik lainnya adalah aplikasi Stadia ini dikembangkan menggunakan software development kit (SDK) bikinan Google sendiri bernama Flutter. Kelebihan utama Flutter adalah kemudahan untuk menciptakan aplikasi multi-platform, dan ini bisa diartikan aplikasi Stadia versi iOS nantinya bakal menawarkan pengalaman yang sama seperti versi Android-nya, sebab codebase yang digunakan pun juga sama.

Sumber: 9to5Google.

Google Akan Berikan Kesempatan Bagi Anda Untuk Menjajal Stadia

Suka tak suka, bertambah canggihnya teknologi game berdampak pada meningkatnya kebutuhan hardware pendukung. Dan demi mendapatkan konten berkualitas terbaik, perangkat gaming memang disarankan untuk selalu up-to-date. Namun kita tahu, tak semua orang mampu meng-upgrade sistemnya tiap tahun. Itu mengapa konsep cloud yang ditawarkan oleh layanan-layanan seperti Stadia dan xCloud terdengar atraktif.

Tapi terlepas dari segala janji dan premis unik dari platform gaming on-demand, banyak orang masih ragu-ragu terhadap efektivitas layanan dalam menyajikan permainan. Saat ini, pertanyaan terbesar yang ada di benak mayoritas calon konsumen adalah, apakah internet pas-pasan di rumah mampu menjalankan Stadia dengan lancar? Bahkan ketika Stadia dipamerkan di GDC 2019 saja pengunjung masih merasakan lag.

Ada kabar baik jika Anda tengah mempertimbangkan untuk jadi pelanggan Stadia. Saat nanti layanan cloud gaming itu meluncur, kita diperkenankan buat menjajalnya terlebih dulu. Hal tersebut diungkapkan oleh head of product Stadia John Justice dalam wawancara bertajuk StadiaCast. Sesi uji coba akan diterapkan baik pada layanan dasar dan juga pada permainan-permainan di sana secara individual.

Dari keterangan Justice, fitur trial akan hadir menyusul, setelah Stadia resmi dirilis. Tim belum bisa memberikan waktu pasti ketersediaannya karena saat ini mereka fokus pada persiapan peluncuran, dan mungkin akan tiba beberapa bulan lagi. Ada deretan panjang hal-hal yang mesti mereka kerjakan, tapi jangan cemas, membubuhkan trial merupakan salah satu prioritas developer.

Stadia 3

Fitur uji coba akan ditawarkan bagi kedua jenis paket Stadia, yaitu standar maupun Pro. Google tidak memungut biaya untuk layanan dasar. Selama memiliki game-nya, Anda bisa menikmati konten via metode stream di resolusi 1080p 60FPS. Pro sendiri dibanderol US$ 10 per bulan, memungkinkan Anda bermain di 4K serta didukung oleh audio surround 5.1. Selain itu pelanggan Pro juga akan memperoleh berbagai promo menarik dan akses ke judul-judul premium secara gratis.

Menurut Justice, memberikan kesempatan bagi calon konsumen untuk mencoba sangat penting karena mereka ingin agar ada banyak orang mencicipi Stadia dan menemukan hal-hal baru di sana.

Stadia rencananya akan melakukan debutnya di tanggal 19 November lewat Founder’s Pack, berisi bundel controller, keanggotan Pro selama tiga bulan dan kesempatan untuk mengajak seorang teman buat turut menikmati Stadia Pro. Paket ini dijajakan seharga US$ 130, di pasarkan di beberapa negara. Setelah itu, Google akan memperluas jangkauan Stadia di tahun 2020.

Via PC Gamer.

Google: Jangan Anggap Stadia Sebagai Netflix-nya Para Gamer

Bulan November nanti, layanan streaming game Google Stadia bakal mulai beroperasi secara resmi. Demi mengantisipasi hype yang tinggi yang kerap berujung pada kesalahpahaman dari pihak konsumen, Andrey Doronichev selaku Product Director Google Stadia pun menyempatkan diri menjawab segala pertanyaan terkait Stadia melalui sesi Reddit AMA.

Ada banyak info sekaligus klarifikasi mengenai Stadia yang bisa kita simpulkan dari sesi tanya-jawab tersebut. Yang paling utama, Andrey mengingatkan agar kita jangan menyamakan Stadia dengan Netflix, menganggapnya sebagai Netflix-nya para gamer, sebab kalau di Netflix kita benar-benar tidak perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk bisa menikmati semua konten yang tersedia.

Stadia di sisi lain tidak demikian. Paket berbayarnya, Stadia Pro, menawarkan sejumlah fasilitas seperti gameplay dalam resolusi 4K/HDR, surround sound 5.1, sejumlah diskon eksklusif serta akses gratis ke sejumlah game. Kalau dirata-rata, pelanggan Stadia Pro bakal mendapatkan setidaknya satu game baru secara cuma-cuma setiap bulannya, diawali oleh Destiny 2.

Ini jelas berbeda dari penawaran Netflix, meskipun jenis kontennya memang berbeda. Andrey pun lebih sreg menyamakan Stadia Pro dengan layanan Xbox Live Gold atau PlayStation Plus. Singkat cerita, tidak semua game bisa Anda mainkan di Stadia secara cuma-cuma, meskipun Anda telah membayar biaya berlangganan sebesar $10 setiap bulannya.

Google Stadia

Untuk paket gratisannya, Stadia Base, konsumen malah diwajibkan untuk membeli game-nya sendiri sebelum bisa dimainkan via Stadia. Ini sangat penting untuk diingat: Stadia Base memang gratis, tapi game yang bisa dimainkan tidak ada yang gratis, kecuali memang ada game free-to-play yang masuk dalam katalognya.

Konsumen Stadia Base pada dasarnya hanya dipinjami akses ke gaming PC berspesifikasi wahid secara cuma-cuma. Mereka bisa menyimpan tabungannya untuk membeli game yang hendak dimainkan, tanpa perlu menyisihkan dana lebih untuk membeli kartu grafis baru, atau bahkan merakit gaming PC dari nol.

Kalau disimpulkan, Google Stadia memang masih punya banyak batasan, tapi tetap saja kehadiran layanan ini bakal mendisrupsi industri streaming game secara menyeluruh. Sebagian besar layanan streaming game yang sudah ada sekarang memiliki mekanisme “bayar biaya berlangganannya, tapi sediakan sendiri game-nya”. Stadia Base nantinya bakal menghapus syarat membayar tersebut.

Sumber: GamesRadar.

Layanan Baru Meluncur di Bulan November, Controller Google Stadia Sudah Mulai Dijual

Meski ada sejumlah hal yang harus dimatangkan, premis layanan cloud gaming seperti Google Stadia memang terdengar mengagumkan di telinga kita: siapa yang tidak mau bisa bermain game di mana dan kapan saja tanpa dibatasi perangkat? Platform game stream ini dijadwalkan untuk meluncur pada bulan November 2019, tapi kita sudah dipersilakan buat siap-siap menyambutnya.

Saat ini sang raksasa internet telah memperkenankan kita memesan bundel Founder’s Edition Stadia di Google Store. Paket ini terdiri dari akses ke keanggotaan Stadia Pro, badge Founder’s serta Buddy Pass yang memberikan Anda kesempatan untuk mengajak seorang teman buat menikmati konten-konten Pro. Dan demi mendukungnya, minggu ini Google juga mulai menawarkan unit controller Stadia secara terpisah.

Controller Google Stadia 1

Controller Stadia belum bisa dikatakan revolusioner dilihat dari sisi desain. Bagi saya, Google malah mencoba mengambil bagian terbaik dari periferal-periferal yang sudah Anda. Bentuknya sedikit berisi seperti gamepad Xbox namun dengan penempatan tombol dan thumb stick simetris ala DualShock 4. Anda dapat memilih controller berwarna putih, hitam dan ‘wasabi’.

Perangkat tersambung via Wi-Fi dan kita dapat memanfaatkan fungsi cross-screen untuk berpindah secara ringkas dari TV plus Chromecast ke PC dan smartphone. Tersedia pula tombol khusus buat mengaktifkan fungsi Google Assistant, memungkinkan Anda memasukan input suara via microphone terintegrasi. Di sana juga ada port headset 3,5mm dan sebuah tombol capture sebagai cara mudah menyimpan video dan screenshot.

Controller Google Stadia 3

Perlu diketahui bahwa Anda tidak bisa segera mengakses Stadia begitu membeli controller-nya. Penawaran ini hanya ditujukan untuk mereka yang dipilih temannya buat mendapatkan Buddy Pass. Jika belum punya teman yang rela memberikan Buddy Pass, maka Anda perlu membeli Founder’s Edition seharga US$ 130 – berisi akses ke Stadia Pro selama tiga bulan.

Ketika periode tiga bulan berlalu, Stadia Pro dijajakan dengan biaya berlangganan sebesar US$ 10 per bulan. Melaluinya, Anda dihidangkan koleksi permainan yang terus bertambah. Judul-judul pertama Stadia Pro yang segera dapat dinikmati meliputi Destiny 2, The Division 2 dan Ghost Recon Breakpoint. Anda juga disuguhkan opsi resolusi 4k di 60fps dan suara 5.1.

Controller Google Stadia 2

Jika Anda tidak mau menggunakan opsi Pro, versi dasar dari Google Stadia sendiri disajikan gratis dan secara dasar pengoperasiannya mirip seperti memiliki console atau PC: Anda harus membeli game terlebih dulu agar bisa memainkannya. Kualitas konten versi basic juga sama sekali tidak buruk. Permainan dijalankan di resolusi full-HD 60-frame per detik.

Controller Google Stadia bisa Anda miliki dengan mengeluarkan uang sebesar US$ 70.

Via TechRadar.

Akan Hadir di Steam Secara Gratis, Gamer Destiny 2 di Stadia dan Steam Tak Bisa Bermain Bersama

Ada banyak kejutan menyenangkan diungkap di ajang E3 2019 minggu lalu, dari mulai partisipasi Google demi mempromosikan platform on demand Stadia sembari memamerkan game-game yang didukungnya, pengumuman judul-judul blockbuster baru, hingga kehadiran Keanu Reeves di presentasi Cyberpunk 2077 yang disambut begitu meriah oleh pengunjung (dan tentu saja khalayak internet).

Sebelum E3, mungkin Anda juga sudah mendengar soal rencana tim Bungie untuk menghadirkan Destiny 2 yang tadinya hanya dapat di akses dari Battle.net ke Steam. Mengagetkannya lagi, Bungie memutuskan untuk memodifikasi model bisnis game dari pay-to-play menjadi free-to-play. Dan tak hanya sampai di sana, Destiny 2 juga jadi salah satu permainan yang memperkuat formasi konten Google Stadia.

Dengan tersedianya Destiny 2 di layanan gaming on demand Stadia bulan November 2019 nanti, Anda bisa menikmati permainan shooter online bertema sci-fi dari perangkat mana pun yang punya browser Chrome atau smartphone Pixel 3. Dengan premis unik ini, banyak orang berharap Stadia dapat merangkul lebih banyak pemain dan menyatukan gamer. Namun ada satu fakta yang harus kita pahami dari Stadia.

Di laman FAQ di bawah pertanyaan ‘Apakah Destiny 2 Stadia ditopang fitur cross-play dengan Steam dan platform lainnya?’, Bungie menjelaskan bahwa Stadia mempunyai ekosistem sendiri. Dan sayang sekali, gamer Destiny 2 di Stadia hanya bisa bermain dengan sesama pengguna Stadia. Meski demikian, tidak berarti versi yang berbeda itu betul-betul ‘terpisah’. Versi Stadia Destiny 2turut ditopang fitur cross-save, sehingga Anda dapat meneruskan progres game setelah sebelumnya bermain di Steam, Xbox One atau PlayStation 4.

Di bawah ini, saya akan mencoba merangkum secara singkat apa saja yang berubah dari transisi Destiny 2 ke free-to-play.

Pertama, permainan ‘dasarnya’ yang disuguhkan secara cuma-cuma kini mengusung tajuk Destiny 2: New Light. Di dalamnya termasuk misi-misi, aktivitas dan reward year one; termasuk mode Strikes (dungeon kooperatif untuk tiga pemain), mode PvP Crucible, serta mode raid Leviathan.

Kedua, expansion pack Shadowkeep (tiba di bulan September 2019 di Steam) akan disajikan secara standalone, dan Anda tidak membutuhkan add-on sebelumnya untuk mengakses Shadowkeep. Selanjutnya, konten-konten tambahan Destiny 2 di waktu ke depan juga dihidangkan sebagai add-on standalone.

Dan ketiga: dengan berakhirnya kesepakatan antara Bungie dan Activision Blizzard, tim pencipta trilogi Halo itu mendapatkan kebebasan dalam memublikasikan versi PC dari Destiny 2. Ke depannya, tidak ada lagi konten yang eksklusif. Seluruh senjata, armor, peta dan aktivitas akan tersedia di seluruh platform.

Via PC Gamer.

Menakar Sentimen Positif dan Negatif dari Google Stadia

Google kembali menjadi pusat perhatian industri game dunia saat mereka mengumumkan Stadia di GDC 2019. Google Stadia adalah layanan game streaming yang mungkin punya tujuan mulia: memberikan akses gaming ke lebih banyak orang, kapan pun dan di mana pun mereka berada.

Sayangnya, ada sejumlah kontroversi tentang Stadia ini yang sudah diutarakan berbagai pemerhati dan pelaku industri game. Kali ini, saya ingin mencoba menjabarkan sejumlah kelebihan dan kekurangan dari Stadia menurut pandangan saya pribadi.

Keunggulan Google Stadia

Satu hal yang jadi ‘jualan’ Google tentang Stadia adalah mengijinkan lebih banyak orang untuk merasakan game berkualitas (AAA) di berbagai perangkat, mulai dari desktop, laptop, tablet, ponsel, ataupun TV (pakai Chromecast dongle).

Selain itu, berhubung game-game yang dijalankan akan menggunakan resource hardware dari data center Google, para penggunanya sudah tak perlu lagi merogoh kocek untuk membeli console ataupun mengalokasikan anggaran beberapa tahun sekali untuk mengupgrade hardware PC nya masing-masing.

Dari dua fitur tadi, sebenarnya ada solusi dari sejumlah masalah yang ditawarkan oleh Stadia.

1. Memungkinkan peningkatan kualitas game pada umumnya 

Pertama, Stadia memungkinkan para gamer mobile untuk merasakan game-game yang benar-benar dibuat untuk memuaskan para pemainnya; tidak seperti kebanyakan game-game mobile saat ini yang dibuat untuk menyedot uang dan perhatian para penggunanya sebanyak mungkin.

Saat dirilis, sudah ada sejumlah game AAA yang akan tersedia untuk Google Stadia. Berikut adalah daftar yang kami temukan dari video Stadia Connect tanggal 6 Juni 2019.

  • Assassin’s Creed: Odyssey
  • Baldur’s Gate 3
  • Borderlands 3
  • The Crew 2
  • Darksiders Genesis
  • Destiny 2
  • The Division 2
  • DOOM Eternal
  • Dragon Ball Xenoverse 2
  • The Elder Scrolls Online
  • Farming Simulator 19
  • Final Fantasy 15
  • Football Manager 2020
  • Get Packed
  • Ghost Recon Breakpoint
  • Grid
  • Gylt (Google Stadia exclusive)
  • Just Dance 2020
  • Metro Exodus
  • Mortal Kombat 11
  • NBA 2K
  • Power Rangers: Battle for the Grid
  • Rage 2
  • Samurai Showdown
  • Thumper
  • Tomb Raider Trilogy
  • Trials Rising
  • Wolfenstein: Youngblood

Dari daftar di atas, ada banyak gamegame berkualitas yang memang kastanya di atas game-game mobile saat ini, seperti Baldur’s Gate 3, Rage 2, Borderlands 3, Destiny 2, Division 2, dan masih banyak lagi (setidaknya menurut saya pribadi).

Kenapa akses lebih luas ke game-game berkualitas ini penting? Karena standar ekspektasi kebanyakan pengguna bisa meningkat, yang akhirnya berimbas pada peningkatan kualitas buat para developer dan publisher (khususnya untuk platform mobile).

Tanpa Stadia, para gamer mobile mungkin masih harus menunggu lama sebelum mereka benar-benar bisa merasakan bagaimana sebuah game seharusnya diciptakan.

2. Menghemat pengeluaran untuk kebutuhan gaming

Selain itu, buat gamer console ataupun PC, mereka bisa menghemat pengeluaran untuk kebutuhan gaming mereka. Gamer console tak perlu lagi mengganti mesin gaming mereka setiap kali generasi baru keluar. Gamer PC pun tak perlu lagi mengganti jeroan setiap beberapa tahun sekali untuk memastikan game-nya tetap mampu berjalan minimal 60 fps.

Sayangnya, penghematan ini akan sangat relatif daya tariknya untuk masing-masing pengguna. Kenapa? Karena, meski kebutuhan atas komponen ataupun mesin gaming menurun, kebutuhan untuk koneksi internet yang sungguh dapat diandalkan (bukan yang hanya sekadar slogan) jadi meningkat drastis. Padahal ketersediaan produk komponen ataupun mesin gaming (console) di Indonesia jauh lebih baik ketimbang jaringan internet yang berkualitas.

Nanti kita akan bahas lebih detail lagi soal koneksi internet di bagian kelemahan dari Google Stadia.

Selain soal 2 hal tadi, berhubung kita tak lagi dapat mengakses file game nya, ada 2 keunggulan lagi yang bisa ditawarkan oleh Stadia. Absennya akses pengguna ke file game nya mungkin memang kedengarannya lebih menguntungkan untuk para publisher ataupun developer karena bisa menurunkan angka pembajakan dan meminimalisir penggunaan cheat.

Sumber: Google
Sumber: Google

3. Menekan angka pembajakan game

Mari kita bahas soal pembajakan lebih dahulu. Hal ini mungkin sekilas hanya menguntungkan para publisher ataupun developer. Namun jika para pembuat game berkualitas mampu meraup keuntungan yang lebih besar lagi, gamers juga yang pada akhirnya berbahagia karena mungkin kisah tragis developer legendaris (seperti BioWare) yang menjual dirinya tak akan lagi terulang untuk yang lainnya.

Plus, para publisher game pun mungkin tak perlu lagi memaksakan untuk menekankan sistem bisnis Game as a Service (GaaS) ke produk-produk mereka. Kenapa sistem bisnis GaaS itu tidak baik untuk konsumen (setidaknya menurut saya pribadi)? Silakan googling sendiri ya sistem bisnis tersebut karena akan terlalu panjang dijelaskan di sini.

4. Memberantas cheat?

Nah, keunggulan ini mungkin akan sangat relatif juga tergantung siapa gamer-nya. Buat saya pribadi, selama itu game singleplayer, Anda bebas menentukan bagaimana cara Anda memainkannya. Namun jika Anda bermain game multiplayer, Anda wajib bermain mengikuti aturan yang telah disepakati bersama.

Kenapa Stadia bisa mengurangi cheat? Karena akses ke game file yang akan jauh lebih terbatas itu tadi. Penjelasan sederhananya, cheating adalah manipulasi sistem permainan demi kemenangan yang biasanya dilakukan dengan memodifikasi file-file yang digunakan (seringnya seperti .exe dan .dll, atau .apk kalau di platform Android) ataupun proses yang sedang berjalan. Sedangkan dengan Stadia, filefile tersebut harusnya tersimpan di data center milik Google; demikian juga dengan proses yang berjalan.

Menurunkan angka cheater mungkin memang tak akan jadi kelebihan yang berarti bagi gamer singleplayer. Namun, buat gamer multiplayer, bermain game yang tidak ada cheat-nya adalah sebuah utopia.

5. Sentimen positif terakhir dari Stadia adalah karena ia produk Google.

Satu aspek penting dari teknologi game streaming adalah lokasi server dan data center tempat memproses game yang dijalankan. Semakin jauh lokasi server dengan pengguna, semakin besar pula latency-nya. Padahal, latency tinggi adalah musuh utama para gamer untuk bermain online.

Jadi, memang hanya raksasa-raksasa teknologi dunia sekelas Google yang punya kapasitas menaruh server-server di berbagai belahan dunia. Meski begitu, Google sendiri juga punya serentetan produk gagal yang sudah tak lagi beroperasi, seperti Google Plus.

Itu tadi adalah salah satu kekurangan yang patut dicatat juga dari Stadia, yang akan kita bahas lebih lengkap di bagian selanjutnya.

Kelemahan Google Stadia

Meski Stadia punya peluang untuk meningkatkan kualitas game secara keseluruhan yang punya nilai positif penting; ada satu rintangan besar yang harus diselesaikan sebelum Stadia bisa meraih kesuksesan di Indonesia atau negara-negara lainnya.

Kebutuhan Google Stadia. Sumber: Google
Kebutuhan Google Stadia. Sumber: Google

1. Kebutuhan kualitas jaringan internet yang tak mudah dipenuhi

Tantangan besar pertama yang harus coba dijawab adalah soal latency dan bandwidth. Menurut Google, Stadia butuh koneksi sebesar 10Mbps untuk streaming game di resolusi 720p dan 20Mbps untuk 1080p. Padahal di Indonesia, kecepatan rata-rata internet kita ada di 10.4Mbps untuk mobile dan 17Mbps untuk broadband (menurut data dari Speedtest.net saat artikel ini ditulis).

Itu tadi masih soal bandwidth belum soal latencyLatency akan menjadi tantangan yang lebih berat juga ketimbang bandwidth karena game-game bertempo cepat semacam FPS dan fighting butuh response time serendah mungkin, bahkan di bawah genre RPG ataupun MOBA.

Dari pengalaman yang dirasakan oleh PC Gamer saat mencoba Stadia di GDC 2019 di San Fransisco, Amerika Serikat, mereka tak mampu bermain DOOM di latency yang optimal sehingga kesulitan bermain dengan nyaman. Itu cerita dari mereka yang menggunakan koneksi internet di sana. Saya sungguh tak berani membayangkan seperti apa ceritanya jika menggunakan koneksi internet di Indonesia.

Menurut pengujian yang dilakukan oleh Digital Foundry (videonya bisa Anda lihat di atas), Stadia punya latency sebesar 166ms; bandingkan dengan bermain di PC sendiri yang hanya menyentuh angka 79ms. Hal ini berarti Stadia punya response time 2x lebih lambat dibanding bermain di PC sendiri. Jangan lupakan juga, Digital Foundry menggunakan koneksi internet di UK (setahu saya), yang kemungkinan besar lebih baik dari koneksi di Indonesia.

Selain soal bandwidth dan latency, persoalan juga datang dari kuota data yang dibutuhkan. Jika requirements yang ditunjukkan oleh Google memang benar adanya, 20Mbps untuk 1080p dan 10Mbps untuk 720p, Anda berarti butuh kuota 9GB per jam untuk streaming game di 1080p dan 4,5GB per jam untuk 720p.

Buat yang tinggal di Jakarta dan punya akses ke provider internet kabel sekelas CBN, Biznet, My Republic, ataupun First Media, Anda memang tak perlu khawatir soal kuota karena memang benar-benar unlimited. Namun jika Anda tinggal di luar Jakarta dan (atau) hanya punya akses ke ISP yang jangkauannya paling luas di Indonesia (yang tak perlu lagi saya sebutkan namanya), istilah unlimited-nya ada tanda bintangnya alias tidak sepenuhnya jujur karena ada aturan FUP (Fair Usage Policy).

Kebutuhan internet ini mungkin sekilas lebih sederhana dan bisa jadi lebih murah ketimbang membeli seperangkat console ataupun PC gaming. Namun faktanya, sebagian besar penduduk Indonesia tak bisa memilih provider internet (khususnya kabel) yang mereka inginkan.

Padahal, varian kartu grafis yang tersedia di Indonesia itu sangat beragam. Anda juga bisa mendapatkan Nintendo Switch ataupun PlayStation 4 dengan mudah di Indonesia. Jadi, kebutuhan atas mesin gaming yang ideal itu lebih mudah didapatkan karena hanya soal seberapa besar anggaran yang Anda miliki. Sedangkan koneksi internet yang ideal? Bisa jadi, berapapun jumlahnya, kekayaan Anda tetap tak bisa membeli koneksi internet yang ideal jika Anda bersikeras tinggal di satu lokasi.

2. Penghematan anggaran yang masih sebatas teori?

Untuk bisa bermain game di Stadia, Anda tetap harus membeli game-nya dan juga membayar biaya berlangganan. Hal ini mungkin sama juga sistemnya dengan console generasi sekarang (PS4, Switch, Xbox One) jika ingin mendapatkan fitur online-nya. Namun setidaknya, di console, Anda tetap bisa memilih untuk tidak menggunakan fitur tersebut.

Di PC, Anda bahkan tak perlu membayar biaya langganan apapun untuk bermain online meski mungkin PC bisa jadi lebih boros juga pengeluarannya dibanding console jika ingin mendapatkan mesin gaming yang ideal.

Selain masih harus membeli game-nya, jangan lupa dengan kecepatan koneksi rata-rata Indonesia yang masih di bawah 20Mpbs. Hal ini berarti Anda hanya bisa mendapatkan kualitas 720p 60fps dengan Google Stadia. Padahal PC gaming generasi sekarang (2019) yang mampu memberikan kualitas gaming 720p 60fps itu sudah sangat terjangkau. Jadi, membeli PC gaming tadi justru jadi solusi yang lebih ideal untuk bermain game di 720p 60fps dibandingkan Stadia yang masih punya problematika soal latency.

Penghematan anggaran memang akan jauh lebih terasa jika Anda ingin mengejar kualitas 4K gaming namun, mengingat kondisi jaringan internet di Indonesia, hal ini berarti Anda harus pindah tempat tinggal yang memiliki akses internet 35Mbps ke atas dengan harga terjangkau dan tanpa kuota sama sekali.

Sumber: Google
Sumber: Google

3. Berkurangnya taman bermain untuk para game modder

Absennya akses pengguna ke file game mungkin memang bisa menekan angka pembajakan dan cheater, namun kekurangannya juga tak bisa dipandang sebelah mata; setidaknya bagi saya pribadi yang memang suka bermain-main dengan game modding.

Dari namanya, game modding adalah modifikasi file game untuk berbagai tujuan. Aspek krusial yang membedakan modding dengan cheating adalah tujuannya karena tujuan modding bisa sangat beragam; sedangkan tujuan cheating hanya satu. Modding ini bisa berarti mengganti texture, model 3D, scripting, ataupun animasi tertentu di sebuah game.

Modding mungkin dipandang tidak penting buat kebanyakan gamer namun, faktanya, modding adalah faktor terbesar yang memungkinkan game-game singleplayer masih terus eksis dan dimainkan selama bertahun-tahun. Salah satu contohnya adalah Skyrim.

Buat yang paham sejarah, modding sendiri juga berperan besar atas perkembangan industri game ataupun esports sampai hari ini. Kenapa? Karena tanpa yang namanya modding, tidak ada yang namanya Counter Strike dan DotA. Cari sendiri soal sejarah Counter Strike dan DotA ya, kalau belum tahu.

4. Sentimen negatif terakhir dari Stadia juga karena ia adalah produk Google

Di satu sisi, mungkin memang hanya segelintir raksasa teknologi sekelas Google yang punya kapasitas untuk membuat layanan game streaming berhasil. Namun di sisi lain, bagi saya, Google pun punya rekam jejak negatif untuk sejumlah produk mereka.

Seperti yang saya tuliskan tadi di atas, Google punya sejumlah produk yang sudah masuk kuburan (seperti Google Plus, Google URL Shortener, dan masih banyak lagi yang bisa Anda temukan daftarnya di tautan ini). Nah berhubung gamegame yang Anda mainkan di Stadia semuanya tersimpan di data center, bukan tidak mungkin juga Anda akan kehilangan semuanya andaikan satu saat layanan ini tidak laku dan masuk peti.

Di sisi lainnya, jika berbicara soal Google, ada satu produk mereka yang mungkin memang populer tapi sangat tidak saya sukai; yaitu Google Play. Kenapa? Karena Google Play lebih mengandalkan mesin untuk memberikan rekomendasi. Padahal, game adalah sebuah karya kreatif yang membutuhkan kemampuan kognitif manusia untuk menilainya.

Google Play lebih mengutamakan jumlah download dan penilaian berbasis kuantitatif sebagai landasan penilaian mereka. Bagi saya pribadi, Anda tidak bisa melakukan hal tersebut atas sebuah hasil kreatifitas. Karena, jumlah download itu mudah dikejar jika punya anggaran iklan yang besar; tanpa memedulikan kualitas.

Popularitas itu juga malah biasanya berbanding terbalik dengan kualitas. Tak sedikit game-game yang populer di Google Play justru rendah nilai originalitasnya; entah soal aset-aset kreatif ataupun gameplay yang terang-terangan meniru yang lain.

Sebenarnya memang ada gamegame di Google Play yang istimewa kualitasnya namun sistem yang digunakan sekarang justru membuat mereka tenggelam, terhimpit oleh yang picisan. Seberapa banyak dari Anda yang tahu Battleheart Legacy, Implosion, Evoland 2, The Room, DEEMO, ataupun game-game underrated yang lainnya?

Tenggelamnya banyak game berkualitas itu juga saya kira disebabkan karena standar penilaian yang mungkin terlalu rendah untuk bisa masuk ke Google Play, sehingga terlalu banyak dan justru menyulitkan pengguna. Menemukan gamegame berkualitas di Google Play bahkan, bagi saya, seperti ibarat menemukan harta karun di antara timbunan sampah… 

Menurut data Statista, ada 3,5 juta aplikasi di Google Play di Desember 2017. Di sisi lain, Google sendiri yang mengumumkan bahwa mereka menemukan 700 ribu aplikasi yang menyalahi aturan main Google Play di 2017 juga. Hitung-hitungannya berarti 1 dari 5 aplikasi yang ada saat itu bermasalah. Memang Google Play juga sudah mencoba memperbaiki semua masalah yang ada di sini, termasuk mencoba memberikan kurasi game dan aplikasi yang berbasis penilaian manusia.

Namun, untuk sebuah produk yang jadi sumber utama sistem operasi mendapatkan aplikasi dan ada di semua produk Android, saya kira usaha Google masih jauh dari maksimal… Itu tadi Google Play yang dipakai oleh semua pengguna Android. Pertanyaannya, bagaimana dengan Stadia yang mungkin akan jauh lebih sulit untuk meraih popularitas? Andaikan nanti Stadia juga akan memiliki marketplace, suram saja membayangkan jika semua permasalahan Google Play juga ada di sana.

Penutup

Akhirnya, mungkin memang Stadia belum akan tersedia untuk kawasan Asia (termasuk Indonesia) saat dirilis nanti. Kita juga belum tahu apakah memang Google punya rencana membawa Stadia ke Indonesia di masa depan. Meski begitu, saya kira artikel ini menjadi penting karena dua hal.

Saya rasa teknologi game streaming memang cukup masuk akal untuk berjalan bersama ataupun malah menggantikan ekosistem dan industri gaming yang ada sekarang (asalkan infrastruktur jaringan internetnya sudah mumpuni) dan Google sendiri pun punya kapasitas untuk mendisrupsi status quo. Ditambah lagi, saya juga jadi bisa menyematkan banyak kritik di artikel ini… Nyahahaha…

Segala yang Perlu Anda Ketahui Mengenai Layanan Cloud Gaming Google Stadia

Game Developers Conference tahun ini berpotensi menjadi ajang yang lebih istimewa dari sebelumnya. Di momen pembukan, Nvidia mengumumkan agenda buat menghadirkan ray tracing di kartu grafis GeForce GTX. Lalu di sesi presentasi Unity, desainer game veteran Warren Spector mengabarkan keikutsertaannya dalam pengembangan System Shock 3. Dan sejak berminggu-minggu lalu, kita tahu Google berencana untuk melakukan penyingkapan besar di sana.

Dan akhirnya resmi sudah. GDC 2019 jadi saksi pengungkapan Google Stadia, sebuah platform hiburan baru berbasis Project Stream yang dapat diakses secara lebih luas – tak cuma dari browser Chrome. Mendeskripsikan Stadia sebetulnya tidaklah sulit, bayangkan saja platform on demand seperti Netflix tetapi menyajikan konten berupa game. Stadia adalah layanan streaming yang mempersilakan Anda menikmati permainan video di perangkat apapun selama internet tersedia.

Dengan Stadia, Google mencoba memberi solusi atas keterbatasan penyajian video game lewat metode konvensional (home console atau PC misalnya). Ia tidak membutuhkan hardware spesialis gaming, tak memerlukan proses instalasi, serta tak ada update maupun patch. Teorinya, setelah jadi pelanggan, Anda bisa langsung bermain.

 

Kualitas konten

Di era console generasi kedelapan, resolusi 1080p dan 60-frame per detik dianggap gamer sebagai standar minimal penyajian game. Banyak judul sudah bermain-main di tingkat 4K (meski ada kompensasi pada frame rate) dan gamer di PC sudah cukup lama memperoleh akses ke ratusan frame rate per detik berkat dukungan GPU high-end dan monitor dengan refresh rate tinggi. Menggunakan kriteria ini sebagai patokannya, tingkatan kualitas yang ditawarkan Stadia terlihat mengesankan.

Ketika layanan cloud gaming Google itu meluncur nanti, pemainan bisa dijalankan di resolusi 4K dengan 60-frame rate per detik. Setup ini bahkan dapat di-upscale ke 8K dan 120fps jika Anda punya perangkat yang mampu menopangnya. Selain memberikan pengalaman gaming single-player biasa, Stadia kabarnya juga siap menyuguhkan mode multiplayer cross-platform, serta terdapat pula dukungan mode kooperatif split-screen.

Stadia 2

 

Game yang sudah dikonfirmasi

Kolaborasi antara Google dan Ubisoft bukan lagi rahasia. Setelah jadi ‘kelinci percobaan’ di Project Stream, Assassin’s Creed Odyssey dipilih jadi salah satu judul pertama yang menemani peluncuran Stadia. Permainan action-RPG tersebut ditemani oleh game shooter id Software baru, Doom Eternal. Via Stadia, permainan ini siap menghidangkan resolusi maksimal di 3840x2160p dan mampu berjalan di 60-frame per detik.

 

 

Dukungan developer dan studio game baru Google

Selain Ubisoft, Google diketahui telah menggandeng sejumlah perusahaan bereputasi tinggi lainnya di industri, misalnya CryTek (developer CryEngine), Tequila Works, dan Epic Games (pencipta Unreal Engine) dalam membangun ekosistem Stadia. Dengan kemunculan nama-nama tersebut, kita bisa menduga akan ada sederet permainan segera memenuhi daftar library-nya.

Bagi saya, langkah paling menarik dari kehadiran Stadia ialah pembentukan studio first-party Stadia Games and Entertainment. Tugasnya mereka adalah mengembangkan permainan-permainan eksklusif di platform game on demand itu. Belum ada proyek baru yang diumumkan, tetapi keseriusan Google dalam bermanuver di gaming terlihat dari sosok yang mereka pilih untuk menahkodainya: Jade Raymond, developer berpengalaman asal Kanada mantan studio head Ubisoft dan Electronic Arts.

Jade Raymond I Variety
Jade Raymond, Variety

 

Hardware?

Google Stadia bisa bekerja tanpa memerlukan hardware dedicated, dapat diakses dari segala perangkat berlayar – smartphone, tablet, PC desktop ataupun laptop – melalui perpaduan antara dukungan Chrome, Chromecast, dan Google Play. Meski begitu, perusahaan internet raksasa ini sudah penyiapkan periferal khusus seperti yang sempat terungkap dari bocoran informasi minggu lalu.

Stadia 1

Garis besar wujud controller Google Stadia menyerupai ilustrasi yang muncul di paten, tetapi desain versi retail-nya lebih baik dan ergonomis. Lewat sesi hands-on, The Verge melaporkan bahwa gamepad mempunyai tubuh ala controller Xbox One S yang ‘mengisi’ genggaman, dikombinasikan dengan layout tombol serta thumb stick khas DualShock 4. Ia turut dibekali port audio 3,5mm di area bawah dan port USB type-C di atas.

Sesuai perkiraan sebelumnya, tombol di tengah berfungsi untuk mengaktifkan fitur Google Assistant dan mempersilakan kita untuk memberi perintah via suara. Dengannya, Anda bisa menyalakan fungsi perekaman atau yang lebih uniknya lagi: membuka video tutorial di YouTube ketika ada bagian puzzle atau sesi pertarungan melawan bos di game yang menyulitkan Anda.

Canggihnya lagi, controller Stadia tersambung langsung ke data center Google, bukan ke perangkat yang Anda gunakan buat menikmati layanan ini. Itu artinya, tidak ada proses sinkronisasi ulang ketika misalnya kita mencoba beralih bermain dari laptop kerja ke layar televisi. Gamepad dirancang agar terhubung ke jaringan Wi-Fi lokal dengan setup via aplikasi, dan selanjutnya dikoneksikan langsung ke layanan Google Stadia.

 

Metode penyajian dan kapan Stadia tersedia

Sejauh ini, Google belum memberi tahu bagaimana mereka akan menjajakan Stadia dan berapa biayanya, tetapi saya cukup yakin ia disajikan sebagai layanan berlangganan. Pembayaran bisa saja ditagih bulanan, per tiga bulan, atau tahunan. Selain itu, saya juga belum menemukan informasi tentang seberapa cepat koneksi internet yang dibutuhkan agar layanan terhidang optimal.

Cloud gaming berbekal judul-judul blockbuster plus infrastruktur Google punya sendiri memang menjanjikan, tapi dengan belum adanya permainan-permainan eksklusif Stadia, developer harus menawarkan layanan ini di harga yang atraktif.

Stadia rencananya akan meluncur di wilayah Amerika Serikat, Kanada dan ‘mayoritas’ kawasan Eropa di tahun ini, tetapi Google masih enggan menyebutkan tanggal rilisnya secara spesifik. Dan selanjutnya, developer berniat untuk memperluas wilayah dukungannya di tahun 2020.

Tambahan informasi dari PC Gamer, GamesRadar, GameSpot, Polygon.